Gambaran Dan Profil Sel Darah Putih Pada Lumba-Lumba Hidung Botol (Tursiops Aduncus) Di Pusat Konservasi Mamalia Air Pt. Wersut Seguni Indonesia

GAMBARAN DAN PROFIL SEL DARAH PUTIH PADA
LUMBA-LUMBA HIDUNG BOTOL (Tursiops aduncus) DI
PUSAT KONSERVASI MAMALIA AIR PT. WERSUT SEGUNI
INDONESIA

RIZKA FITRI SYARAFINA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Gambaran dan Profil
Sel Darah Putih Pada Lumba-lumba Hidung Botol (Tursiops aduncus) di Pusat
Konservasi Mamalia Air PT. Wersut Seguni Indonesia” adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Rizka Fitri Syarafina
NIM B04100194

ABSTRAK
RIZKA FITRI SYARAFINA. Gambaran dan Profil Sel Darah Putih Pada Lumbalumba Hidung Botol (Tursiops aduncus) di Pusat Konservasi Mamalia Air PT.
Wersut
Seguni
Indonesia.
Dibimbing
oleh
ARYANI
SISMIN
SATYANINGTIJAS dan AGUSTIN INDRAWATI.
Dewasa ini lumba-lumba yang merupakan mamalia laut mulai dimanfaatkan
oleh manusia untuk berbagai tujuan. Upaya pemantauan dan pencegahan kesehatan
dilakukan dengan melihat gambaran darahnya. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui gambaran sel darah putih pada lumba-lumba hidung botol sebagai
parameter yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis kesehatan. Penelitian ini
dilakukan pada bulan September 2013 dengan menggunakan tujuh ekor lumba-lumba
hidung botol (Tursiops aduncus) yang ada di kawasan konservasi mamalia air PT.
Wersut Seguni Indonesi. Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena
superficialis sirip ekor. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan leukosit, diferensial
leukosit dan preparat ulas darah. Preparat ulas darah diwarnai dengan menggunakan
pewarna Giemsa dan diamati dibawah mikroskrop dengan perbesaran 1000x. Hasil
gambaran hematologi pada lumba-lumba hidung botol memiliki kisaran nilai leukosit
4,2 ± 0,822 x 103/mm3, limfosit 63,1 ± 9,771%, monosit 3,6 ± 1,718%, neutrofil
31,6 ± 8,432%, eosinofil 1,3 ± 1,604% dan basofil 0,1 ± 0,378%.

Kata kunci: hematologi, sel darah putih, diferensial leukosit, Tursiops aduncus

ABSTRACT
RIZKA FITRI SYARAFINA. ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and
AGUSTIN INDRAWATI. Representation of White Blood Cells In Bottle Nose
dolphins (Tursiops aduncus) in the Area of Water Mammals Conservation PT.
Wersut Seguni Indonesia. Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS
dan AGUSTIN INDRAWATI.

Nowadays dolphins which are sea mammals were began to be used by
human for any purposes. Therefore health monitoring to determine the health
condition of the dolphins is important to do. This study aimed to describe the
white blood cells in the bottle nose dolphins as a parameter that can be used to
help health diagnose. This study was conducted on September 2013 by using
seven bottle nose dolphins (Tursiops aduncus) at the area of Water Mammals
Conservation PT. Wersut Seguni Indonesia. Blood smear was performed through
the superficial veins of each tail fin for examination of leukocytes and diferential
leukocyte. Thin blood smears were stained by Giemsa and observed under
microscope with 100 x 10 magnification. The hematological result of bottle nose
dolphins has a range values of 4,2 ± 0,822 x 103/mm3 for leukocytes, 63,1 ±
9,771% for lymphocytes, 3,6 ± 1,718% for monocytes, 31,6 ± 8,432% for
neutrophils, 1,3 ± 1,604% for eosinophils and 0,1 ± 0,378% for basophils.
Keywords: hematology, white blood cell, diferential leukocyte, Tursiops aduncus

GAMBARAN DAN PROFIL SEL DARAH PUTIH PADA
LUMBA-LUMBA HIDUNG BOTOL (Tursiops aduncus) DI
PUSAT KONSERVASI MAMALIA AIR PT. WERSUT SEGUNI
INDONESIA


RIZKA FITRI SYARAFINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang merupakan syarat
untuk memperoleh gelar sarjana di Kedokteran Hewan. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc selaku
pembimbing I dan Ibu Dr. drh. Agustin Indrawati, M.Biomed selaku pembimbing
II atas segala waktu, perhatian bimbingan, arahan bantuan dan kesabaran selama
penyusunan skripsi.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Bapak dan Ibu tersayang serta keluarga tercinta yang selalu mensuport
dan mendoakan.
2. Dr. Drh. Yudha, Drh. Zaki dan staf yang bekerja di PT. Wersut Seguni
Indonesia yang telah bersedia membantu dalam penelitian ini.
3. Staf Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor atas semua
bantuannya.
4. M. Suryaputra dan Talita Fauziah Milani selaku rekan sepenelitian tas
kebersamaan dalam suka dan duka yang telah dilewati
5. Semua dosen yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis kuliah
di Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
6. Keluarga stressoo (Retno, Anne, Azis, Rian, Ari dan Ika) atas doa dan
dukungannya
7. Teman-teman angkatan Acromion 47 yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini, semoga penelitian dan skripsi ini dapat brmanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukan.

Bogor, Juli 2014


Rizka Fitri Syarafina

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Morfologi Lumba-lumba Hidung Botol (Tursiops aduncus)

2

Distribusi Geografis Lumba-lumba Hidung Botol (Tursiops aduncus)

4


Sel Darah Putih

4

Diferensial Leukosit

5

METODE

6

Waktu dan Tempat

6

Bahan dan Alat

6


Pelaksanaan penelitian

6

Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Neutrofil

9

Eosinofil

10


Basofil

10

Limfosit

11

Monosit

11

SIMPULAN DAN SARAN

12

Simpulan

12


Saran

12

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

113
15

DAFTAR TABEL
1 Hasil Pemeriksaan Darah Lumba-lumba Hidung Botol

8

DAFTAR GAMBAR
1 Tursiops aduncus
2 Perbandingan morfologi lumba-lumba hidung botol Tursiops aduncus
dan Tursiops trucantus
3 Distribusi geografis Tursiops aduncus
4 Pengambilan darah lumba-lumba pada vena superficialis di dorsal sirip
ekor
5 Gambaran sel neutrofil lumba-lumba (pewarnaan Giemsa) dan sel
neutrofil paus pembunuh (Orcinus orca) dengan pewarnaan Wright
6 Sel eosinofil lumba-lumba dan mencit dengan pewarnaan Giemsa
7 Sel basofil mencit dengan pewarnaan Giemsa
8 Morfologi sel limfosit lumba-lumba dan mencit dengan pewarnaan
Giemsa
9 Morfologi sel monosit lumba-lumba dan sel monosit mencit dengan
pewarnaan Giemsa

3
4
4
7
9
10
10
11
12

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lumba-lumba merupakan mamalia laut yang tergolong cerdas dan unik
sehingga mamalia ini mulai dimanfaatkan keberadaannya oleh manusia.
Pemanfaatan lumba-lumba ini adalah sebagai hewan entertain dan sebagai alat
bantu pengobatan/terapi, selain itu pada beberapa kasus seperti di Taiji, Jepang
daging hewan ini juga dikonsumsi. Salah satu alasan lumba-lumba cukup
digemari masyarakat adalah lumba-lumba merupakan mamalia yang cerdas.
Masyarakat dapat menikmati suguhan menarik atraksi lucu yang dilakukan oleh
lumba-lumba terlatih. Bentuk tubuhnya yang kompleks juga merupakan salah satu
contoh pemanfaatan dalam pembuatan baju renang yang dibuat mirip seperti kulit
lumba-lumba dengan tujuan untuk memperkecil gaya gesekan dengan air. Sistem
komunikasi lumba-lumba yang unik, yaitu sistem sonar juga diterapkan dalam
teknologi pembuatan radar kapal selam (Shirihai dan Jarrett 2006).
Pemanfaatan lumba-lumba yang banyak lama-kelamaan akan menyebabkan
lumba-lumba di ambil dari habitat aslinya sehingga populasi lumba-lumba dapat
menurun. Pemanfaatan lumba-lumba yang berlebihan dapat mengancam jumlah
populasi lumba-lumba juga berdampak pula terhadap penyebaran penyakit
zoonotik yang berasal dari lumba-lumba tersebut. Di perairan Indonesia terdapat
lebih dari sepertiga jenis paus dan lumba-lumba, termasuk beberapa jenis
dikategorikan langka dan terancam punah (Klinowska 1991; Kahn 2005).
Menurut UU Lingkungan Hidup Internasional, lumba-lumba saat ini adalah
mamalia laut yang dilindungi dan oleh karena itu setiap orang dilarang untuk
menangkap, dan atau memeliharanya. dimana didalam lampirannya ditegaskan
bahwa lumba-lumba adalah mamalia laut yang dilindungi oleh undang-undang.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam dan Ekosistem, serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, lumba-lumba hidung botol
Indo-Pasifik (T. aduncus) merupakan salah satu fauna yang perlu dilindungi
keberadaannya. Berdasarkan konvensi internasional yang mengatur perdagangan
tumbuhan dan satwa liar, Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES), T. aduncus dikategorikan ke dalam
Appendix II yaitu daftar nama spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi
mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya
pengaturan (CITES 2012).
Berbagai usaha yang dilakukan sebagai usaha pelestarian lumba-lumba
diantaranya adalah konservasi di bidang reproduksi dan di bidang penyakit.
Berkaitan dengan menurunnya jumlah populasi lumba-lumba dan kesehatan
lumba-lumba itu sendiri maka diperlukan pemantauan dan upaya pencegahan
terhadap kesehatan lumba-lumba. Pemantauan kesehatan lumba-lumba dapat
dilakukan dengan melihat gambaran darahnya. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui gambaran sel darah putih pada lumba-lumba hidung botol (Tursiops
aduncus) yang berperan dalam mekanisme kekebalan tubuh. Penelitian mengenai
fisiologi darah pada lumba-lumba hidung botol (Tursiops aduncus) belum banyak

2
dilakukan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan masih sedikitnya informasi
yang berhubungan dengan sel darah pada Tursiops aduncus.

Tujuan Penelitian
Menghitung jumlah dari sel darah putih serta diferensial leukosit pada
lumba-lumba hidung botol (Tursiops aduncus) sebagai parameter yang dapat
digunakan untuk membantu diagnosis lebih lanjut.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran dari sel darah putih
dan diferensial leukosit dari lumba-lumba hidung botol (Tursiops aduncus),
sehingga informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan penelitian lain
selanjutnya demi meningkatkan kesehatan lumba-lumba.

TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Lumba-lumba Hidung Botol (Tursiops aduncus)
Lumba-lumba hidung botol merupakan salah satu anggota dari famili
Delphinidae yag berukuran sedang, memiliki keragaman warna dari biru keabuabuan hingga hitam dengan pigmentasi yang cukup jelas di bagian ventral. Kata
Tursiops diambil dari gabungan bahasa Yunani tursio yang artinya lumba-lumba
dan ops yang berarti rupa atau berbentuk, sedangkan aduncus berasal dari bahasa
latin yang berarti bengkok (rahang bawah sedikit membengkok ke belakang)
(Perrin et al. 2008). Spesies ini merupakan kelompok cetacea yang paling umum
berada di perairan. Beberapa kelompok cetacea dapat tumbuh hingga ukuran yang
sangat besar, hal ini terjadi karena mereka tidak perlu menahan bobot tubuhnya.
Berbagai bentuk tubuh dan ukuran kelompok cetacea mencerminkan habitat dan
pola makan yang berbeda, struktur sosial dan perilaku masing masing kelompok
(Nowak 2003).
Carwadine (1995) menerangkan ciri-ciri umum yang terdapat pada
Cetacea yaitu mereka memiliki bentuk bagian tubuh yang berbeda dengan
kebanyakan mamalia yang lain. Kebanyakan mamalia memiliki lubang hidung
yang menghadap ke depan, tetapi Cetacea memiliki lubang hidung diatas kepala.
Lebih ke belakang, terdapat cekungan di samping kepala yang merupakan posisi
dari kuping namun tidak terdapat daun telinga. Cetacea memiliki leher yang
pendek, tidak fleksibel dan pergerakan kepala yang terbatas. Di belakang kepala
terdapat lengan depan yang berbentuk seperti sirip tanpa jari dan lengan. Bentuk
seperti ikan yang terdapat pada bagian tubuh Cetacea adalah sirip dorsal dan sirip
ekor (fluks). Sirip dorsal berguna untuk kestabilan dan pengaturan panas tubuh.
Perbedaan mendasar antara ikan dan Cetacea adalah dari bentuk tubuh yaitu ekor.
Ekor mamalia berbentuk horizontal dan ketika berenang bergerak keatas dan
kebawah dan dikombinasikan dengan sedikit gerakan memutar, sedangkan pada
ikan ekornya berbentuk vertikal dan bergerak dari sisi ke sisi ketika berenang.

3

Gambar 1 Tursiops aduncus (Amir et al. 2002).
Lumba-lumba hidung botol indo-pasifik (Tursiops aduncus) memiliki
taksonomi sebagai berikut:
Kerajaan
Filum
Subfilum
Kelas
Ordo
Subordo
Familia
Genus
Spesies

: Animalia
: Chordata
: Vertebrata
: Mammalia
: Cetacea
: Odontoceti
: Delphinidae
: Tursiops
: Tursiops aduncus (Perrin et al. 2008)

Tursiops aduncus (Indo-Pacific Bottlenosed Dolphin) cenderung hidup di
perairan dangkal yang dekat dengan pantai pada kedalaman kurang dari 300 m.
Spesies ini dapat menahan nafas ketika menyelam dan bernafas secara normal
ketika di permukaan secara teratur karena proses pertukaran gas terjadi dengan
sangat cepat di kapiler paru-paru. Selain itu spesies ini memiliki jumlah eritrosit
dua kali lipat lebih banyak dan 2-9 kali jumlah myoglobin hewan darat.
Tursiops aduncus dewasa memiliki panjang tubuh sekitar 175 – 400 cm
dan panjang sirip di bagian pektoral sekitar 23 cm. Bobot tubuhnya mencapai
sekitar 230 kg. Biasanya ukuran pejantan dewasa lebih panjang dan besar
dibandingkan yang betina. Secara umum lumba-lumba hidung botol memiliki 20
– 28 gigi pada setiap sisi rahangnya. Bentuk tubuh T.aduncus memiliki kemiripan
dengan T.truncatus, namun terdapat perbedaan pada bagian ventral dari spesies
dewasa. T.aduncus memiliki ukuran tubuh dan kepala lebih kecil, selain itu sirip
yang lebih besar dibandingkan T.truncatus (Martin, et al 2001). Secara umum
T. aduncus memiliki proporsi sirip dorsal (dorsal fin) dan sirip ventral (flipper)
yang lebih besar dibandingkan T. truncatus bila dilihat dari ukuran tubuhnya yang
lebih kecil (Perrin et al. 2008). T.aduncus juga memiliki sifat lebih pemalu dan
kurang memiliki sifat sosial dibandingkan dengan lumba-lumba hidung botol
lainnya (Hoelzel 2002).

4

(a)
(b)
Gambar 2 Perbandingan morfologi (a) lumba-lumba hidung botol Tursiops
aduncus (Corbet and Harris 1991) dan (b) Tursiops truncatus.
Distribusi Geografis Lumba-lumba Hidung Botol (Tursiops aduncus)
Tursiops aduncus ditemukan hanya pada daerah bertemperatur hangat
sampai tropis di seluruh pesisir Indo-Pasifik, dari bagian barat Afrika Selatan,
sepanjang Laut Hindia (termasuk Laut Merah, Teluk Persia, Laut China Selatan,
Laut Sulu, Laut Celebes, dan di seluruh pulau serta semenanjung kepulauan IndoMelayu, Kepulauan Solomon dan Caledonia Baru) hingga Jepang bagian selatan
dan Australia tenggara (Wells dan Scott 2002; Moller dan Beheregaray 2001).
Namun tingkat kontinuitas dalam kisaran distribusi tidak diketahui (Wang dan
Yang 2009).

Gambar 3 Distribusi geografis Tursiops aduncus (Hammond et al. 2009).
Sel Darah Putih
Secara anatomis, darah terdiri atas komponen-komponen yang meliputi
plasma darah dan sel-sel darah. Plasma darah adalah cairan intravaskular yang
memiliki komposisi dan konsistensi tertentu. Sel-sel darah terdiri atas sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping-keping darah (trombosit).
Sel darah putih berdasarkan ada atau tidaknya granula dalam sitoplasmanya
diklasifikasikan dalam granulosit dan agranulosit. Agranulosit merupakan leukosit
yang tidak memiliki granula pada sitoplasmanya. Terdapat dua jenis agranulosit,
yaitu limfosit dan monosit. Granulosit merupakan leukosit yang memiliki granula
pada sitoplasmanya. Berdasarkan sifat-sifat granul yang dimilikinya, granulosit
dibedakan menjadi tiga, yaitu neutrofil, basofil dan eosinofil (Price 2006).

5
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asingan. Ketika viskositas darah meningkat dan aliran
lambat, leukosit mengalami marginasi, yakni bergerak ke arah perifer sepanjang
pembuluh darah. Kemudian melekat pada endotel dan melakukan gerakan
amuboid. Melalui proses diapedesis, yaitu kemampuan leukosit untuk
meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus
kedalam jaringan penyambung. Pergerakan leukosit di daerah intertisial pada
jaringan meradang setelah leukosit beremigrasi, atau disebut kemotaktik terarah
oleh sinyal kimia (Price 2006).
Diferensial Leukosit
Neutrofil adalah leukosit yang jumlahnya paling banyak. Granula ini
terwarnai oleh zat warna netral. Nukleus dari sel-sel ini terbagi dalam lobus-lobus
(segmen). Neutrofil bersegmen menandakan bahwa granula ini sudah tua,
sedangkan yang lebih muda belum bersegmen (band). Neutrofil memiliki gerakan
seperti amoeba dan aktif dalam proses fagositosis, menelan bakteri dan partikel
lainnya. Neutrofil dibentuk dalam sumsum tulang dari myelosit neutrofilik ekstra
vaskular. Intinya bermacam-macam, dengan bentuk bermacam-macam pula antara
lain batang, bengkok, dan bercabang-cabang. Sel-sel neutrofil paling banyak
dijumpai pada sel darah putih (Effendi 2003).
Eosinofil adalah salah satu jenis granulosit. Pada sitoplasma banyak granul
besar dan terwarnai oleh zat warna asam. Intinya tidak bersegmen seperti neutrofil,
biasanya berlobus dua dan jumlahnya tidak banyak. Eosinofil berasal dari
myelosit eosinofilik dari sumsum tulang. Dalam keadaan alergi shock anafilaksis
dan parasitism akan meningkat jumlahnya. Sedangkan pada keadaan stres atau
tercekam akan menurun jumlahnya karena adanya respon adrenocortical (Moberg
and Mench 2000). Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, bergaris tengah
9um. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan
fagositosis, lebih lambat tetapi lebih selektif dibanding neutrofil. Memfagositosis
komplek antigen dan anti bodi merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan
fagositosis selektif terhadap komplek antigen dan antibodi. Eosinofil mengandung
profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan,
khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses Patologi.
Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat.
(Effendi 2003).
Basofil adalah granulosit yang larut dalam air dan terwarnai oleh zat warna
basa. Dalam keadaan normal jumlahnya sangat sedikit, yaitu 1 % dari leukosit
darah. Kemampuan fagositik kecil, bahkan terkadang tidak ada. Basofil berasal
dari sumsum tulang pada myelosit basofilik. Ukuran garis tengah 12µm, inti satu,
besar bentuk ireguler umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul
yang lebih besar dan seringkali menutupi inti. Granula basofil metakromatik dan
mensekresi histamin dan heparin dalam keadaan tertentu. Basofil merupakan sel
utama pada tempat peradangan hipersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan
basofil berhubungan dengan mekanisme kekebalan (Effendi 2003).
Limfosit adalah agranulosit yang terdapat banyak dalam darah. Limfosit
terbentuk pada sumsum tulang dan timus yang kemudian pada jaringan dan organ
limfoid memngalami proses pematangan, seperti organ limfonodus, daun peyer,

6
limpa, dan tonsil. Limfosit menghasilkan antibodi karena kandungan
gamaglobulin pada ekstraknya. Memiliki gerakan amoeboid, tapi tidak terlalu
aktif dalam fagositosis. Monosit adalah agranulosit yang beredar dalam darah
dalam jumlah terbatas. Sel darah putih ini berbentuk besar, memiliki sitoplasma
berbutir-butir banyak dan menyerap zat warna. Merupakan sel leukosit yang besar,
jumlanya 3-8% dari jumlah leukosit normal. Monosit dapat ditemui dalam darah,
jaringan penyambung, dan rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik
mononuclear (sistem retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor
pada permukaan membrannya untuk imunoglobulin dan komplemen. Monosit
beredar melalui aliran darah dan menembus dinding kapiler masuk kedalam
jaringan penyambung. Dalam jaringan penyambung monosit bereaksi dengan
limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel
immunocompetent dengan antigen (Effendi 2003).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September tahun 2013 di kawasan
wisata Pantai Cahaya, Sendang Sikucing-Kendal dan Laboratorium Wahana,
Pawiyatan Luhur, Bendandhuwur, Semarang, Jawa tengah.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah 7 sampel darah Tursiops
aduncus yang sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan pada PT. Wersut Seguni
Indonesia, EDTA sebagai anti koagulan, alkohol 70%, larutan Tur, metil alkohol,
pewarna Giemsa dan akuades.
Peralatan yang digunakan untuk pengambilan sampel darah lumba-lumba
adalah spoid 5 ml, tabung reaksi anti koagulan, cool box. Peralatan yang
digunakan untuk penghitungan jumlah leukosit dan diferensial leukosit adalah
kaca preparat, pipet Thoma leukosit, kamar hitung, blood counter tabulator dan
mikroskop.
Pelaksanaan Penelitian
Tahap Pengambilan Sampel Darah
Hewan ditangani oleh beberapa orang untuk dilakukan pengambilan sampel
darah. Pengambilan sampel dilakukan pada 7 ekor Tursiops aduncus dengan
melakukan pengambilan darah masing-masing sebanyak 5 ml pada bagian
pembuluh darah superficial di dorsal sirip ekor lumba-lumba menggunakan spoid
5 ml. Darah yang telah diambil dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah
diberi anti koagulan yang kemudian dibawa ke Laboratorium Wahana, Pawiyatan
Luhur, Bendandhuwur, Semarang untuk dilakukan penghitungan jumlah sel darah
putih dan diferensial leukosit.

7

Gambar 4 Pengambilan darah lumba-lumba di vena superficialis di dorsal sirip
ekor
Pembuatan Preparat Ulas Darah
Pewarnaan preparat ulas dilakukan untuk mengamati ada tidaknya
kelainan morfologi sel darah putih. Kaca preparat dibersihkan dengan alkohol
70%. Satu tetes darah lumba-lumba diteteskan di salah satu sisi preparat. Kaca
preparat lain diambil dan ditempatkan di salah satu sisi ujungnya pada kaca
preparat pertama dengan membentuk sudut kira-kira 45 derajat. Kaca preparat
kedua ditarik sampai menyentuh tetes darah dan dibiarkan menyebar sepanjang
tepi kaca preparat kedua. Kaca preparat kedua didorong sepanjang permukaan
kaca preparat pertama sehingga terbentuk lapisan merata dan tipis. Preparat
dikeringkan dengan cara diayun-ayunkan di udara. Kemudian preparat ulas
dimasukkan ke dalam metil alkohol selama 5 menit. Setelah dikeringkan preparat
dimasukkan ke dalam larutan Giemsa 10% selama 15 menit. Setelah 15 menit,
preparat dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan di udara. Preparat yang
sudah jadi diamati dengan mikroskop perbesaran 1000x. Kemudian dilakukan
pengamatan dan penghitungan jumlah sel leukosit dan diferensial leukosit
(Tambur et al. 2006).
Penghitungan Jumlah Sel Leukosit dan Diferensial Leukosit
Penghitungan jumlah leukosit dilakukan dengan menggunakan pipet Thoma
leukosit. Sampel darah yang diberi anti koagulan (EDTA) dihisap dengan pipet
sampai tanda “0,5”. Pipet kemudian dicelupkan ke dalam larutan Turk dihisap
sampai tanda “11” sehingga diperoleh pengenceran 1:20. Pipet dihomogenkan
dengan memutarkan pipet membentuk angka delapan, kemudian 2-3 tetes darah
yang pertama dibuang. Selanjutnya darah diteteskan dipinggir kamar hitung.
Kamar hitung dibiarkan satu menit yang bertujuan untuk melisiskan eritrosit dan
memberi kesempatan kepada leukosit untuk menempati kamar hitung.
Penghitungan leukosit dilakukan dengan bantuan mikroskop perbesaran 400x
pada empat kotak besar dari kamar hitung. Jumlah leukosit tiap milimeter kubik
(mm³) adalah jumlah sel terhitung dikalikan dengan 50 (Tambur et al. 2006).
Preparat ulas darah yang sudah jadi diperiksa di bawah mikroskop dengan
perbesaran 1000x untuk dihitung setiap jenis diferensial leukosit menggunakan
blood counter tabulator. Sel yang dihitung paling sedikit 100 sel dan dilakukan

8
perhitungan persentase jenis leukosit. Angka yang diperoleh merupakan jumlah
relatif masing-masing jenis leukosit dari seluruh jenis leukosit (Tambur et al.
2006).
Analisis Data
Data yang didapat dianalisa secara deskriptif dengan pengamatan
hematologi. Pengamatan morfologi sel darah putih dilakukan pada preparat ulas
darah dengan pewarnaan Giemsa.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian hematologi darah lumba-lumba hidung botol
(Tursiops aduncus) yang telah dilakukan diperoleh jumlah leukosit/WBC/SDP
dan diferensial leukosit dari masing-masing sampel darah lumba-lumba seperti
yang ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Darah Lumba-lumba Hidung Botol
No. Sampel
Tabaru
Arapin
Ragil
Penti
Ginda
Ucil
Ozawa
Rata-rata ± SD

Leukosit
(x103/mm3)
4,6
4,2
4,4
5,7
3,6
3,1
4,0
4,2 ± 0,822

Range*

7,0-19,1

Neutrofil
38
26
33
41
31
16
36
31,6 ±
8,432
12-62

Diferensial Leukosit (%)
Eosinofil
Basofil
Limfosit
4
1
52
0
0
70
0
0
65
3
0
50
1
0
65
1
0
78
0
0
62
1,3 ±
0,1 ±
63,1 ±
1,604
0,378
9,771
26-57
0-3
3-58

Monosit
5
2
2
6
3
5
2
3,6 ±
1,718
0-4

Ket : Range* = rentang jumlah sel darah putih lumba-lumba (Tursiops truncatus) yang dilaporkan
oleh Patricia et al. tahun 2006
SD = Standar Deviasi

Berdasarkan ada atau tidaknya granula dalam sitoplasmanya leukosit/sel
darah putih diklasifikasikan menjadi leukosit granulosit dan leukosit agranulosit.
Terdapat dua jenis leukosit agranulosit yaitu limfosit dan monosit, sedangkan
leukosit granulosit dibedakan menjadi tiga yaitu neutrofil, basofil dan eosinofil.
Tabel 1 menunjukkan jumlah total leukosit pada ke-7 ekor sampel lumba-lumba
pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan jumlah total leukosit yang pernah
dilaporkan oleh Patricia et al. pada tahun 2006. Jumlah total leukosit dipengaruhi
oleh salah satu atau beberapa jenis leukosit (Frandson 1992). Sel darah putih
sangat dibutuhkan dalam tubuh untuk membantu menjaga sistem kekebalan
terhadap benda asing. Fluktuasi jumlah leukosit dapat terjadi pada kondisi tertentu,
misalnya stress, gizi, umur, penyakit dan lain-lain. Jumlah leukosit yang

9
menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinik yang penting untuk
evaluasi suatu proses penyakit (Dellmann dan Brown 1992).
Benda asing yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan kenaikan
jumlah leukosit. Proses fagositosis yang dilakukan oleh neutrofil dan monosit
untuk melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh dapat mempengaruhi
kenaikan jumlah leukosit. Kelainan kuantitatif leukosit meliputi leukositosis dan
leukopenia. Leukositosis adalah peningkatan jumlah sel darah putih dalam
sirkulasi. Leukositosis merupakan suatu respon normal terhadap infeksi atau
peradangan. Keadaan ini dapat dijumpai setelah gangguan emosi, setelah anestesia
atau berolahraga, dan selama kehamilan (Corwin 2009). Leukopenia adalah
keadaan jumlah sel darah putih yang lebih rendah dari normal (Lonsdale 1995).
Leukopenia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain depresi sumsum
tulang pada kasus anemia aplastik, mielofibrosis dan osteosklerosis, infeksi oleh
bakteri (Thypus abdominalis, Parathypus, Brucellosis), Obat-obat sitostatika
(myleran, mercaptopurin, dll) dan dapat juga disebabkan oleh iradiasi.
Neutrofil
Neutrofil merupakan garis pertahanan utama seluler terhadap invasi jasad
renik dan memfagosit partikel kecil dengan aktif. Neutrofil mempunyai
metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob
maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob
sangat menguntungkan, karena dapat membunuh bakteri dan membantu
membersihkan debris pada jaringan nekrotik (Effendi 2003). Neutrofil merupakan
komponen paling banyak dari jumlah total leukosit (Frandson 1992). Jumlah
neutrofil yang ditemukan pada penelitian menunjukkan jumlah yang sama dengan
yang dilaporkan oleh Patricia et al. tahun 2006. Rata-rata jumlah relatif sel
neutrofil dalam darah pada lumba-lumba (Tursiops aduncus) adalah 31,6 %.
Jumlah neutrofil dalam darah dipengaruhi oleh adanya infeksi, peradangan atau
stress. Perbandingan morfologi sel neutrofil lumba-lumba dan mencit dapat dilihat
pada Gambar 5. Peradangan atau infeksi akan menstimulasi pengeluaran neutrofil
untuk menghancurkan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Neutrofil tersebut
akan menerima sinyal yang dihasilkan oleh sel yang bersangkutan atau racun dari
bakteri (Frandson 1992). Dalam kondisi stres, jumlah kortisol dalam tubuh juga
dapat mempengaruhi keluarnya neutrofil dari sumsum tulang, sehingga
menyebabkan peningkatan neutrofil (Samuelson 2007). Morfologi dari sel
neutrofil dapat dilihat pada Gambar 5.

A

B

Gambar 5 Gambaran (A) sel neutrofil lumba-lumba (pewarnaan Giemsa) dan (B)
sel neutrofil paus pembunuh (Orcinus orca) dengan pewarnaan Wright
(Thomas 2010).

10
Eosinofil
Eosinofil berperan aktif dalam mengatur alergi akut dan proses peradangan,
mengatur infestasi parasit dan memfagosit bakteri, kompleks antigen-antibodi,
mikoplasma dan ragi (Dellmann dan Brown 1992). Eosinofil mengandung
profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan
khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses patologi.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi jumlah eosinofil dengan menimbulkan
penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat (Effendi 2003). Jumlah rata-rata
sel eosinofil lumba-lumba (Tursiops aduncus) dalam penelitian ini adalah 1,3 %.
Tabel 1 menunjukkan jumlah eosinofil dalam darah sampel kurang dari rentang
jumlah eosinofil dalam darah yang dilaporkan oleh Patricia et al. tahun 2006 yaitu
26-57 %. Gambaran morfologi sel eosinofil pada lumba-lumba dan mencit dapat
dilihat pada Gambar 6.

A
Gambar 6

B
Sel eosinofil (A) lumba-lumba dan (B) mencit dengan pewarnaan
Giemsa (Hoffbrand 2006).

Basofil
Basofil merupakan jenis leukosit yang memiliki jumlah paling sedikit
dalam darah. Basofil memiliki fungsi utama dalam membangkitkan reaksi
hipersensitif dengan sekresi mediator yang bersifat vasoaktif. Sel ini melepaskan
mediator untuk aktivitas peradangan dan alergi (Mahmmod et al. 2011).
Pengamatan darah yang dilakukan pada 7 ekor lumba-lumba ini, hanya ditemukan
adanya basofil pada satu sampel darah saja. Tidak adanya basofil bukan berarti
hewan tidak mengalami alergi atau peradangan, namun perlu dilihat perubahan
dari jenis leukosit lainnya untuk memastikan ada tidaknya peradangan tersebut.
Basofil terlibat dalam proses peradangan, oleh karena itu terjadi suatu
keseimbangan yang peka antara basofil dan eosinofil dalam mengawali dan
mengontrol peradangan tersebut (Frandson 1992). Fagosit oleh basofil bersifat
terbatas, sehingga basofil lebih jarang ditemukan (Samuelson 2007).

Gambar 7 Sel basofil mencit dengan pewarnaan Giemsa (Hoffbrand 2006).

11
Limfosit
Limfosit merupakan leukosit yang berespon terhadap antigen dengan cara
membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan
imunitas seluler (Frandson 1992). Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan,
lima dari tujuh sampel darah yang diambil menunjukkan jumlah limfosit yang
melebihi rentang jumlah limfosit yang pernah dilaporkan oleh Patricia et al.
(2006). Jumlah rata-rata sel limfosit pada penelitian ini adalah 63,1 %.
Peningkatan limfosit terjadi jika antigen masuk ke dalam tubuh, sehingga
tubuh harus memproduksi antibodi (Frandson 1992). Penurunan limfosit dapat
dialami jika terjadi imunosupresi atau kerusakan pada jaringan limfoid akibat
faktor tertentu atau hewan dalam keadaan tercekam (stres). Pada kondisi stres,
kadar kortisol dalam darah meningkat. Kortisol dapat menyebabkan limfopenia
dengan cara mengurangi mitosis atau pembentukan limfosit. Kortisol juga
berpengaruh terhadap berkurangnya limfosit dalam sirkulasi karena terjadi
redistribusi limfosit ke sumsum tulang dan bagian lain (Chastain dan Ganjam
1986). Gambaran morfologi sel limfosit mamalia pada lumba-lumba dan mencit
dapat dilihat pada Gambar 8.

A
Gambar 8

B
Morfologi sel limfosit (A) lumba-lumba dan (B) mencit dengan
pewarnaan Giemsa (Hoffbrand 2006).

Monosit
Monosit merupakan jenis leukosit yang bekerja pada infeksi yang tidak
terlalu akut (Dellmann dan Brown 1992). Keberadaan leukosit dalam darah hanya
beberapa hari (Samuelson 2007). Dalam jaringan monosit bereaksi dengan
limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel
immunocompetent dengan antigen (Effendi 2003). Monosit juga bertugas untuk
memberikan potongan patogen kepada sel T sehingga patogen tersebut dapat
dikenali dan dibentuk antibodinya. Menurut Tabel 1 ditemukan lebih banyak
jumlah monosit pada sampel darah yang diperiksa tergolong sama dengan hasil
yang pernah dilaporkan oleh Patricia et al (2006) meskipun pada tiga sampel
darah ditemukan jumlah monosit yang melebihi rentang jumlah monosit.
Gambaran morfologi sel monosit pada lumba-lumba dan mencit dapat dilihat pada
Gambar 9.

12

A

B

Gambar 9 Morfologi sel monosit (A) lumba-lumba dan sel monosit (B) mencit
dengan pewarnaan Giemsa (Handayani 2008).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil gambaran hematologi pada lumba-lumba hidung botol memiliki
kisaran nilai leukosit (4,2 ± 0,822), limfosit (63,1 ± 9,771), monosit (3,6 ± 1,718),
neutrofil (31,6 ± 8,432), eosinofil (1,3 ± 1,604) dan basofil (0,1 ± 0,378).
Morfologi sel darah putih pada lumba-lumba memiliki kesamaan dengan
morgologi sel darah mamalia lainnya. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian
hematologi Tursiops trucantus yang dilaporkan Patricia et al. pada tahun 2006,
nilai hematologi Tursiops aduncus rata-rata lebih rendah.

Saran
Penelitian lebih lanjut mengenai hematologi lumba-lumba hidung botol
(Tursiops aduncus) sangat perlu dilakukan agar dapat dijadikan sebagai acuan
bagi penelitian lainnya mengenai lumba-lumba hidung botol.

13

DAFTAR PUSTAKA
Amir O, Berggren P, Jiddawi NS. 2002. The Occurrence and Distribution of
Dolphins in Zanzibar, Tanzania, with Comments on the Differences
Between Two Species of Tursiops. Western Indian Ocean J. Mar Sci. 4(1):
85-93.
Carwardine M. 1995. Smithsonian Handbooks: Whales, Dolphins, and
Porpoises. New York (US): Dorling Kindersley Publishing Inc.
Chastain CB, Ganjam VK. 1986. Clinical Endocrinology of Companion Animals.
Philadelphia (US): Lea & Febiger.
[CITES]. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora. 2012. Apendices I, II and III. [diunduh 2014 Maret 6].
Tersedia pada: http://www.cites.org.
Corbet GB dan Harris S. 1991. The Handbook of British Mammals Third Edition.
Oxford (UK): Blackwell Scientific Publications.
Corwin JE. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta (ID): EGC.
Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner I. Jakarta (ID):
UI Press.
Effendi Z. (2003). Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam
Tubuh. Sumatera Utara (ID): Universitas Sumatera Utara
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID): UGM press.
Hammond PS, Bearzi G, Bjørge A, Forney K, Karczmarski L, Kasuya T, Perrin
WF, Scott MD, Wang JY, Wells RS, Wilson B (2008) Tursiops aduncus. In:
IUCN 2009. Cambridge (UK): IUCN Red List of Threatened Species.
Version 2009.2. .
Handayani, Wiwik. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta (ID): Salemba Medika.
Hoelzel AR. 2002. Marine Mammal Biology. Australia (AU): Blacwell Science
Ltd.
Hoffbrand, Victor. 2006. At a Glance Hematology. Jakarta (ID): EMS.
Kahn B. 2005. Indonesia Oceanic Cetacean Program Activity Report: January –
February 2005. The Rapid Ecological Assesment (RATE) of Oceanic
Cetaceans and Asociated Habitats In The Bali – Lombok Strait Region. 21.
Klinowska M. 1991. Dolphins, Porpoises and Whales of the World. The IUCN
red data book. IUCN. Gland. Switzterland.
Lonsdale T. 1995. Periodontal Disease and Leucopenia. Journal of Small Animal
Practice 36: 542-546.
Mahmmod YS, Elbalkemy FA, Klaas IC, Elmekkawy MF, Monazie AM. 2011.
Clinical and haematological study on water buffaloes (Bubalus bubalis) and
crossbread cattle naturally infected with Theileria annulata in Sharkia
province, Egypt. Tick and Tick-borne Diseases 54: 1-4.
Martin R., Pine R, DeBlase A. 2001. A Manual of Mammalogy with Keys to
Families of the World. Long Grove (IL): Waveland Press, Inc.
Moberg GP, Mench JA. 2000. The Biology of Animal Stress: Basic Principles and
Implications for Animal Welfare. UK: AMA DataSet Ltd.

14
Moller LM, Beheregaray LB. 2001. Coastal bottlenose dolphin from south-eastern
Australia are Tursiops aduncus according to sequences of the mitochondrial
DNA control region. Mar Mamm Sci 17: 249-263.
Nowak R. 2003. Walker's Marine Mammals of the World. Baltimore (MD): John
Hopkins University Press.
Patricia AF, Thomas CH, Rene AV, Juli DG, Jeffrey A, Eric SZ, Gregory DB.
2006. Hematology, Serum Chemistry and Cytology Findings from
Apparently Healthy Atlantic Bottlenose Dolphins (Tursiops trucantus)
Inhabiting the Estuarine Waters of Charleston, South Carolina. Aquatic
Mammals 32(2): 182-195.
Perrin W, Würsig B, Thewissen J. 2008. Encyclopedia of Marine Mammals. San
Diego (CA): Academic Press.
Price SA. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1
Edisi 6. Lorraine MW, penerjemah. Jakarta (ID): EGC.
Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. China (CN): Saunders,
an imprint of Elsevier Inc.
Shirihai H, Jarrett B. 2006. Whales, Dolphins, and Other Marine Mammals of the
World. Princeton (NJ): Princeton University Press.
Tambur Z, Kulišić Z, Maličević Z, Nevenka AB, Zorana M. 2006. White Blood
Cell Differential Count in Rabbits Artificially Infected with Intestinal
Coccidia. J. Protozool. Res 16, 42-50.
Thomas HR. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. State Avenue (USA):
Blackwell Publishing.
Wang JY, Yang AC. 2009. Indo-Pacific bottlenose dolphin (Tursiops aduncus).
In: Encyclopedia of marine mammals, 2nd Ed. (Perrin WF, Würsig B,
Thewissen JGM, eds.) Academic Press, Amsterdam, pp. 602-608.
Wells RS, Scott MD. 2002. Bottlenose dolphins. In: Encyclopedia of marine
mammals (Perrin WF, Wursig B, Thewissen JGM, eds) Academic Press,
San Diego, pp. 122-125.

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 6 April 1992 dari pasangan
Bapak Rustam Effendi dan Ibu Isnaeni Pamungkasingrum. Penulis merupakan
anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di SMAN 39
Jakarta Timur hingga lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kedokteran Hewan melalui
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi. Selama menjadi mahasiswa, penulis
aktif dalam organisasi intra kampus, yaitu Himpunan Minat Profesi Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) sebagai anggota divisi eksternal.