Keberlanjutan Kelembagaan Ekonomi dan Taraf Hidup Masyarakat Pedesaan Sekitar Industri Perkebunan

KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN EKONOMI DAN
TARAF HIDUP MASYARAKAT PEDESAAN SEKITAR
INDUSTRI PERKEBUNAN

FITRI HILMI HIKMAYANTI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keberlanjutan
Kelembagaan Ekonomi dan Taraf Hidup Masyarakat Pedesaan Sekitar Industri
Perkebunan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Fitri Hilmi Hikmayanti
NIM. I34110010

ABSTRAK
FITRI HILMI HIKMAYANTI. Keberlanjutan Kelembagaan Ekonomi dan Taraf
Hidup Masyarakat Pedesaan Sekitar Industri Perkebunan. Dibimbing oleh
FREDIAN TONNY NASDIAN.
Pengembangan industri perkebunan di pedesaan merupakan salah satu
kegiatan pembangunan yang dilakukan untuk meningkatkan perekonomian. Hal
ini berkaitan dengan perkembangan kelembagaan ekonomi masyarakat sekitar
perkebunan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis sejarah perkembangan
industri perkebunan, 2) Mengidentifikasi kelembagaan ekonomi masyarakat, 3)
Menganalisis tingkat keberlanjutan kelembagaan ekonomi, 4) Menganalisis taraf
hidup masyarakat dan 5) Menganalisis hubungan tingkat keberlanjutan
kelembagaan ekonomi dengan taraf hidup. Penelitian dilakukan di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Metode penelitian
ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dengan survei kepada 30

responden dan kualitatif dengan wawancara mendalam kepada informan. Hasil
penelitian menunjukan hubungan yang lemah dan moderat antara tingkat
keberlanjutan kelembagaan ekonomi dan tingkat taraf hidup masyarakat Desa
Cigudeg.
Kata kunci: Industri Perkebunan, Kelembagaan Ekonomi, Taraf Hidup

ABSTRACT
FITRI HILMI HIKMAYANTI. Economic Institutional Sustainability and
Standard Living of Rural Communities around Plantation Industries. Supervised
by FREDIAN TONNY NASDIAN.
Plantation industry development in rural areas is one of the development
activities to improve the economic growth. This is related to the economic
institutional development of communities around the plantation industries. This
research aims to 1) analyze historical development of plantation, 2) Identify the
economic institutions, 3) to analyze the level of economic institutional, 4)
analyzing people's lives and 5) analyze the relationship between the level of
institutional sustainability of the economy with people's lives around the
plantation. The study was conducted in Cigudeg Village, District Cigudeg, Bogor
Regency, West Java Province. This research method using a combination of
quantitative approach with a survey of 30 respondents and qualitative depth

interviews with informants. The results showed a weak and moderate correlation
between the level of economic institutional sustainability and the level of people's
lives Cigudeg village.
Keywords: Plantation, Institutional Economics, Standard of Living

KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN EKONOMI DAN
TARAF HIDUP MASYARAKAT PEDESAAN SEKITAR
INDUSTRI PERKEBUNAN

FITRI HILMI HIKMAYANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Keberlanjutan Kelembagaan Ekonomi dan Taraf Hidup
Masyarakat Pedesaan Sekitar Industri Perkebunan
: Fitri Hilmi Hikmayanti
: I34110010

Disetujui oleh

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS
Pembimbing

Dketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Keberlanjutan Kelembagaan Ekonomi dan Taraf Hidup Masyarakat Pedesaan
Sekitar Industri Perkebunan”. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat
mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk menganalisis
keberlanjutan kelembagaan ekonomi masyarakat pedesaan sekitar industri
perkebunan serta hubungannya dengan tingkat taraf hidup masyarakat di Desa
Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ir Fredian Tonny Nasdian,
MS sebagai pembimbing yang telah memberikan kritik dan saran membangun
selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Kepada Martua Sihaloho,
SP, MSi selaku dosen uji petik, Dr Ir Saharuddin, MSi selaku dosen penguji
utama skripsi serta Ir Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji skripsi wakil

departemen yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun bagi
penulisan skripsi ini. Selain itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
pihak PTPN VIII Kebun Cikasungka dan Desa Cigudeg yang telah bersedia
membantu dalam penelusuran data penelitian ini. Penulis juga menyampaikan
hormat dan terimakasih kepada Ibunda Yoyoh Cahyati dan Ayahanda Dana
Sulaeman selaku orang tua tercinta penulis atas doa dan dukungan moril baik
materil yang diberikan serta adik tersayang Irsyad Lukmanul Hakim, Muhammah
Azhar dan seluruh keuarga tercinta. Tidak lupa juga penulis sampaikan
terimakasih kepada teman-teman satu perjuangan di Departemen SKPM 48,
akselerasi SKPM 48, Apri, Rika, Nata, Lydia, Balqis serta Atik selaku rekan satu
dosen pembimbing skripsi, akang teteh keluarga Gentra Kaheman yang selalu
memberikan semangat kepada penulis. Kemudian ucapan terimakasih penulis
sampaikan juga kepada pihak perpustakaan FEMA (PLASMA) dan Perpustakaan
IPB (LSI) karena telah menyediakan berbagai sumber pustaka yang menunjang
penulisan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015
Fitri Hilmi Hikmayanti


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xvii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Masalah Penelitian

3

Tujuan Penelitian

4

Kegunaan Penelitan

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

7
7

Perkembangan Industri Perkebunan


7

Karakteristik Masyarakat dan Kebudayaan Perkebunan

8

Konsep Kelembagaan dan Keberlanjutan Kelembagaan

9

Kelembagaan Ekonomi

12

Taraf Hidup

13

Kerangka Pemikiran


14

Hipotesis Penelitian

16

Definisi Operasional

16

PENDEKATAN LAPANGAN

19

Lokasi dan Waktu Penelitian

19

Teknik Pengambilan Responden dan Informan


21

Teknik Pengumpulan Data

22

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

23

PROFIL LOKASI PENELITIAN

25

Profil Desa Cigudeg

25

Kondisi Geografis

26

Struktur Sosial

26

Pendidikan

28

Kondisi Ekonomi

28

Kependudukan

29

Pola Kebudayaan

31

Pola Adaptasi Sosioekologi

32

Profil Perkebunan

33

Gambaran Umum Perusahaan

33

Struktur Perkebunan

35

PROSES PERKEMBANGAN INDUSTRI PERKEBUNAN

39

Sejarah Industri Perkebunan PTPN VIII Kebun Cikasungka di Desa Cigudeg 39
Peranan Perkebunan terhadap Masyarakat Sekitar

41

Ikhtisar

43

KELEMBAGAAN EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR INDUSTRI
PERKEBUNAN

45

Kelembagaan Kemitraan

45

Kelembagaan Koperasi

48

Kelembagaan Paguyuban

51

Ikhtisar

53

KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN EKONOMI MASYARAKAT
SEKITAR INDUSTRI PERKEBUNAN
Keseimbangan Pelayanan-Peranserta

55
55

Tingkat Pelayanan

55

Tingkat Partisipasi

56

Prinsip-prinsip Good Governance

58

Tingkat Akuntabilitas

58

Tingkat Transparansi

60

Ikhtisar
TARAF HIDUP MASYARAKAT SEKITAR INDUSTRI PERKEBUNAN

65
67

Tingkat Pendapatan

67

Tingkat Pengeluaran

69

Kondisi Perumahan

71

Tingkat Kepemilikan Barang dan Aset

74

Tingkat Kesehatan

76

Tingkat Pendidikan

77

Hubungan Sosial

79

Ikhtisar

83

HUBUNGAN KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN EKONOMI DENGAN
TARAF HIDUP MASYARAKAT
85
Ikhtisar
SIMPULAN DAN SARAN

88
89

Simpulan

89

Saran

89

DAFTAR PUSTAKA

91

LAMPIRAN

95

RIWAYAT HIDUP

115

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

Jumlah perusahaan perkebunan besar menurut jenis tanaman, tahun
2008-2012
Perkembangan perkebunan di Indonesia berdasarkan periode waktu
Indikator pengukuran taraf hidup berdasarkan beberapa sumber
Pendekatan lapang yang digunakan berdasarkan tujuan penelitian
Jadwal pelaksanaan penelitian
Jenis data, metode pengumpulan data dan sumber data penelitian
Jumlah penduduk Desa Cigudeg berdasarkan tingkat pendidikan,
tahun 2010
Jumlah penduduk Desa Cigudeg berdasarkan usiadan jenis kelamin,
tahun 2014
Registrasi penduduk masuk dan keluar Desa Cigudeg berdasarkan
tahun
Persentasi pendapatan Koprasi Harapan Mulya berdsarkan jnis usaha
yang dilakukan tahun 2007-2013
Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat pelayanan
kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat partisipasi
kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat
keseimbangan pelayanan-peranserta kelembagaan ekonomi di Desa
Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat
akuntabilitas pada kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat transparansi
pada kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat
berfungsinya good governance pada kelembagaan ekonomi di Desa
Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat
keberlanjutan kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg, Kecamatan
Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
Jumlah dan persentase rumahtangga yang menilai kelembagaan
menurut tipe kelembagaan dan tipologi di Desa Cigudeg, Kecamatan
Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat pendapatan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat pendapatan dan sektor lapangan pekerjaan utama di Desa
Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014

1
7
14
19
20
23
28
30
30
49

55

57

58

59

61

61

63

64

67

69

21 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat pengeluaran di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
22 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat pengeluaran dan sektor lapangan pekerjaan utama di Desa
Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
23 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
kondisi perumahan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
24 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
kondisi perumahan dan sektor lapangan pekerjaan utama di Desa
Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
25 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat kepemilikan barang dan aset di Desa Cigudeg, Kecamatan
Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
26 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat kepemilikan barang serta aset dan sektor lapangan pekerjaan
utama di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor,
Tahun 2014
27 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat kesehatan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor, Tahun 2014
28 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat kesehatan dan sektor lapangan pekerjaan utama di Desa
Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
29 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat pendidikan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
30 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat pendidikan dan sektor lapangan pekerjaan utama di Desa
Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
31 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat hubungan sosial di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
32 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat hubungan sosial dan sektor lapangan pekerjaan utama di
Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
33 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
tingkat taraf hidup di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
34 Jumlah dan persentase rumahtangga sekitar perkebunan menurut
taraf hidup dan sektor lapangan pekerjaan utama di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
35 Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat
keberlanjutan kelembagaan ekonomi kemitraan dan tingkat taraf
hidup di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor,
Tahun 2014

70

71

72

73

74

75

76

77

78

79

80

81

81

82

86

36 Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat
keberlanjutan kelembagaan ekonomi koperasi dan tingkat taraf
hidup di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor,
Tahun 2014
37 Jumlah dan persentase rumahtangga berdasarkan tingkat
keberlanjutan kelembagaan ekonomi paguyuban dan tingkat taraf
hidup di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor,
Tahun 2014

86

87

DAFTAR GAMBAR
1 Tipologi Kelembagaan
2 Kerangka pemikiran penelitian
3 Tingkat kelahiran dan kematian penduduk Desa Cigudeg, tahun
2013-2014
4 Peta operasi PTPN VIII
5 Persentase pendapatan Koprasi Harapan Mulya berdsarkan jenis
usaha yang dilakukan tahun 2007-2013
6 Jumlah laba setelah pajak dari Koperasi Harapan Mulya menurut
tahun 2008-2013
7 Persentase rumahtangga berdasarkan tingkat pelayanan
kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
8 Persentase rumahtangga berdasarkan tingkat partisipasi
kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
9 Persentase rumahtangga berdasarkan tingkat keseimbangan
pelayanan-peranserta kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
10 Persentase rumahtangga berdasarkan tingkat akuntabilitas
kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
11 Persentase rumahtangga berdasarkan tingkat transparansi
kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
12 Persentase rumahtangga berdasarkan tingkat berfungsinya prinsip
good governance pada kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014
13 Persentase rumahtangga berdasarkan tingkat keberlanjutan
kelembagaan ekonomi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
14 Tipologi Kelembagaan ekonomi menurut tipe kelembagaan dan
tipologi di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor,
Tahun 2014
15 Persentase rumahtangga sekitar perkebunan berdasarkan tingkat
pendapatan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor, Tahun 2014
16 Persentase rumahtangga sekitar perkebunan berdasarkan tingkat
pengeluaran di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor, Tahun 2014
17 Persentase rumahtangga sekitar perkebunan berdasarkan kondisi
perumahan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor, Tahun 2014
18 Persentase rumahtangga sekitar perkebunan berdasarkan tingkat
kepemilikan barang berharga dan aset pertanian di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Tahun 2014

11
15
31
35
50
50

56

57

58

59

61

62

63

64

68

70

73

74

19 Persentase rumahtangga sekitar perkebunan berdasarkan tingkat
kesehatan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor, Tahun 2014
20 Persentase rumahtangga sekitar perkebunan berdasarkan tingkat
pendidikan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor, Tahun 2014
21 Persentase rumahtangga sekitar perkebunan berdasarkan tingkat
hubungan sosial di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Tahun 2014
22 Persentase rumahtangga sekitar perkebunan berdasarkan tingkat
taraf hidup di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor, Tahun 2014

76

78

80

82

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Sketsa Desa Cigudeg
Kerangka sampling
Kuesioner penelitian
Panduan wawancara mendalam
Tulisan tematik
Uji korelasi tingkat keberlanjutan kelembagaan ekonomi dan tingkat
taraf hidup masyarakat pedesaan sekitar industri perkebunan
Dokumentasi penelitian

95
96
98
103
106
113
114

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan industri perkebunan di Indonesia merupakan salah satu
usaha yang dilakukan untuk meningkatkan perekonomian. Peningkatan
perekonomian di sektor perkebunan ini didukung kuat oleh komoditi
perkebunan yang sabagian besar masih berskala ekspor. Sampai saat ini sektor
industri perkebunan masih menjadi sektor yang diandalkan dan dianggap
sangat menguntungkan. Oleh karena itu perkembangan industri perkebunan
di Indonesia sangat pesat, terutama untuk komoditi kelapa sawit. Menurut
data BPS, perkembangan jumlah perusahaan industri perkebunan besar di
indosnesia terus meningkat. Peningkatan tersebut ditunjukan pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1 Jumlah perusahaan perkebunan besar menurut jenis tanaman, tahun
2008-2012
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Jenis Tanaman
Karet
Kelapa
Kelapa sawit
Kopi
Kakao

2008
406
154
1146
109
129

2009
404
154
1151
111
129

2010
379
137
1176
119
118

2011
383
125
1217
122
116

2012
332
111
1510
97
87

Sumber: Hasil Survei Perusahaan Perkebunan, BPS (diolah)

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa dari lima besar komoditi
perkebunan, perusahaan perkebunan kelapa sawit memiliki perkembangan
jumlah yang paling besar. Hal itu disebabkan karena komoditi kelapa sawit
selain memiliki potensi pasar yang menguntungkan juga memiliki jangka
waktu produksi yang lebih pendek dan rentan terhadap perubahan musim
dibandndingkan komoditi lainnya. Menurut Kartodirjo dan Suryo (1994)
industri perkebunan mulai bekembang di Nusantara dalam bentuk usahausaha perkebunan berskala besar sejak awal abad ke-19. Saat menjelang
kemerdekaan Indonesia, para pelaku usaha dari Belanda, Inggris, Belgia dan
lainnya mulai membuka perkebunan-perkebunan karet, teh, kopi, tebu, kina
serta rempah-rempah lengkap dengan fasilitas pengolahannya terutama di
Pulau Jawa dan Sumatera. Berkembangnya perkebunan pada masa itu telah
mendorong terbukanya wilayah baru yang terpencil, berkembangnya sarana
dan prasarana umum serta kolonisasi. 1 Sektor industri perkebunan saat ini
tidak hanya dikelola oleh negara, namun juga oleh perkebunan rakyat dan
swasta. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1827 ribu ha

1

www.lpp.ac.id/pusinfo.php?id=36 diunduh tanggal 05 Juni 2014

2
(34,9%), perkebunan negara seluas 645 ribu ha (12,3%), dan perkebunan
besar swasta seluas 2627 ribu ha (52,8%).2
Kegiatan pembukaan lahan untuk mengembangkan industri
perkebunan sebagian besar dilakukan di daerah pedesaan. Oleh karena itu
masyarakat pedesaan sekitar perkebunan mau tidak mau harus menerima
pengaruh dari perkembangan industri perkebunan tersebut. Kartodirjo dan
Suryo (1994) juga mengungkapkan bahwa karakretistik lokasi industri
perkebunan cenderung dekat dengan pemukiman warga. Hal itu tiada lain
dimaksudkan untuk memudahkan dalam menyerap tenaga kerja perkebunan.
Pengaruh utama yang diterima masyarakat dengan masuknya industri
perkebunan adalah perubahan pada sektor ekonomi, yaitu pekerjaan atau
matapencaharian. Namun, peluang kerja yang dimiliki masyarakat desa
ternyata tidak hanya sebatas dapat masuk ke sektor industri perkebunan.
Bermacam sumber pendapatan lain yang memberikan andil yaitu pedagang
(dagang barang-barang harian, dagang karet, tiket angkutan dan penjual es),
pegawai (guru, pemerintahan desa), industri rumah tangga (industri tahu, roti,
dan percetakan genteng), buruh kasar, nelayan, pencari kayu di hutan dan
tukang kayu (Syahza 2005). Perkembangan industri perkebunan yang pesat
menyebabkan daerah-daerah pedesaan sekitar pembangunan perkebunan
muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini menyebabkan daya
beli masyarakat pedesaan meningkat, terutama terhadap kebutuhan rutin
rumah tangga.
Dari segi pembangunan devisa negara, sektor perkebunan memang
telah membantu pertumbuhan ekonomi Nasional. Hal itu dijabarkan dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 pasal 4 yang
menyebutkan bahwa perkebunan memiliki fungsi ekonomi, yaitu peningkatan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi
wilayah dan Nasional. Selain itu juga memiliki fungsi sosial budaya, yaitu
sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Dengan begitu, pembangunan industri
perkebunan di pedesaan dapat dikatakan berfungsi jika kehadirannya dapat
memberikan sumbangan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
Seringkali untuk mewujudkan fungsi tersebut, perusahaan industri perkebunan
membuat suatu program kemitraan baik di bidang sosial ekonomi maupun
lingkungan dengan masyarakat sekitar tempat operasi perusahaan. Disisi lain
kehadiran sistem ekonomi perkebunan di Indonesia telah merubah masyarakat
sekitar perkebunan secara signifikan. Mata pencaharian masyarakat menjadi
berubah, yang pada dulunya hanya sebagai petani biasa, sekarang menjadi
semakin beragam. Rosyani (2009) menemukan terdapat suatu kondisi hidup
yang belum berkelanjutan pada masyarakat pedesaan yang dipengaruhi oleh
hadirnya industri perkebunan di sekitar mereka. Masyarakat cenderung
tergantung pada kelembagaan ekonomi perkebunan yang memosisikan
masyarakat sebagai buruh perkebunan.
Salah satu pembangunan industri perkebunan ini juga terjadi di
Kabupaten Bogor. Kebun Cikasungka merupakan salah satu industri
perkebunan kelapa sawit milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII
(Persero) yang berlokasi di Kecamatan Cigudeg, Kabupetan Bogor, Provinsi
2

www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4sawit diunduh tanggal 05 Juni 2014

3
Jawa Barat. Pada awalnya PTPN VIII merupakan PT Perkebunan XI Jakarta,
namun berdasarkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 236 tanggal 08
Januari berubah berubah nama menjadi PTPN VIII. Salah satu desa yang
digunakan sebagai areal pertanaman adalah Desa Cigudeg. Masyarakat sekitar
Desa Cigudeg menerima beberapa pengaruh dari kehadiran perkebunan kelapa
sawit tersebut. Masyarakat Cigudeg juga diduga telah banyak mengalami
berbagai perubahan dalam segala aspek seperti ekonomi, sosial dan budaya
termasuk kelembagaan ekonominya.
Dalam hal ini, telah banyak membuktikan bahwa perubahan yang
paling menonjol dari masyarakat sekitar perkebunan adalah di bidang
ekonomi, termasuk juga perubahan pada kelembagaan ekonominya. Jika
kelembagaan merupakan suatu tata aturan atau prilaku masyarakat yang
terpola untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka keberadaan kelembagaan
ekonomi menjadi hal yang sangat penting pada masyarakat pedesaan untuk
mengatur tata perekonomian di pedesaan. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan
kelembagaan ekonomi yang berkembang pada masyarakat sekitar perkebunan.
Kelembagaan ekonomi pada masyarakat sekitar perkebunan dapat terbentuk
atas pengaruh dari keberadaan perkebunan maupun terbentuk dan berkembang
diluar pengaruh perkebunan. Untuk melihat perkembangan dari kelembagaan
ekonomi pada masyarakat sekitar perkebunan tersebut, dapat dikaji dari
tingkat keberlanjutan kelembagaannya. Tingkat keberlanjutan kelembagaan
tersebut akan menggambarkan kekuatan suatu kelembagaan untuk dapat
bertahan pada masyarakat. Kelembagaan ekonomi pada masyarakat akan
memberikan hubungan pada kondisi hidup atau tingkat taraf hidup masyarakat
tersebut. Sehingga menarik kemudian untuk mengkaji sejauh mana tingkat
keberlanjutan kelembagaan ekonomi dan hubungannya dengan tingkat
taraf hidup masyarakat pedesaan sekitar industri perkebunnan PTPN
VIII Kebun Cikasungka di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor?
Masalah Penelitian
Sejarah perkebunan di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh
kolonialisasi ternyata telah membekali para pengusaha di sektor perkebunan
untuk selalu mengembangkan usahanya. Pengembangan tersebut salah
satunya dilakukan dengan membuka areal atau lahan baru untuk dijadikan
lahan industri perkebunan. Oleh karena itu penting bagi penulis untuk
menganalisis bagaimana sejarah perkembangan industri perkebunan
yang terjadi di pedesaan Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor?
Berdasarkan perspektif perekonomian, sektor perkebunan memang
merupakan sektor yang dapat menjanjikan. Industri perkebunan mampu
meningkatkan perekonomian negara maupun wilayah. Hal ini juga kemudian
diatur dan dikuatkan dalam suatu Undang-undang Perkebunan tentang peran
perkebunan bagi perekonomian. Padahal, telah kita ketahui bahwa latar
belakang perekonomian perkebunan jelas berbeda dengan latar belakang
perekonomian masyarakat di pedesaan. Sehingga, bagi masyarakat sekitar
pedesaan, struktur ekonomi perkebunan merupakan struktur ekonomi yang

4
baru. Struktur baru tersebut pada akhirnya dapat mempengaruhi
perkembangan kelembagaan ekonomi yang berkembang dalam masyarakat.
Maka, penulis akan mengidentifikai bagaimana kelembagaan ekonomi yang
terdapat pada masyarakat sekitar industri perkebunan di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor?
Suatu kelembagaan masyarakat pedesaan akan memberikan pengaruh
pada pola kehidupan yang dijalankan. Perkembangan industri perkebunan di
pedesaan merupakan suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan untuk
kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan suatu kegiatan pembangunan salah
satunya dapat ditentukan oleh keberlanjutan kelembagaan yang ada
didalamnya. Begitu juga untuk menganalisis pembangunan industri
perkebunan yang dilakukan di sekitar Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, dapat dilakukan dengan menganalisis tingkat keberlanjutan
kelembagaan ekonomi pada masyarakat pedesaan sekitar perkebunan. Oleh
karena itu, penting bagi penulis untuk untuk menganalisis bagaimana tingkat
keberlanjutan kelembagaan ekonomi pada masyarakat pedesaan sekitar
industri perkebunan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor?
Fungsi perkebunan juga dijelaskan mampu meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan memperkuat ekonomi wilayah. Dalam hal ini
pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PTPN VIII
pada Kebun Cikasungka di Desa Cigudeg juga harus dilihat implikasinya bagi
taraf hidup masyarakat pedesaan sekitar perkebunan. Oleh karena itu, penulis
penting manganalisis bagaimana taraf hidup masyarakat sekitar industri
perkebunan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor?
Industri perkebunan merupakan salah satu kegiatan pembangunan
yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di pedesaan.
Beberapa penelitian sebelumnya seperti Syahza (2005) serta Susila dan
Setiawan (2011) menyebutkan bahwa industri perkebunan telah mampu
memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat sekitarnya. Selanjutnya mengenai
kegiatan industrialisasi di pedesaan, Sundar dan Srinivasan (2009)
menyebutkan bahwa terdapat hubungan inustrialisasi dengan kelembagaan di
pedesaan. Oleh karena itu, peneliti juga ingin menganalisis bagaimana
hubungan tingkat keberlanjutan kelembagaan ekonomi dengan tingkat
taraf hidup masyarakat sekitar industri perkebunan di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan
masalah penelitian seperti disebutkan sebelumnya yaitu:
1. Menganalisis sejarah perkembangan industri perkebunan yang terdapat
di pedesaan Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor.
2. Mangidentifikasi kelembagaan ekonomi pada masyarakat pedesaan
sekitar industri perkebunan PTPN VIII Kebun Cikasungka di Desa
Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor.

5
3. Menganalisis tingkat keberlanjutan kelembagaan ekonomi pada
masyarakat pedesaan sekitar industri perkebunan di Desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor.
4. Menganalisis taraf hidup masyarakat sekitar industri perkebunan di
Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor.
5. Manganalisis hubungan tingkat keberlanjutan kelembagaan ekonomi
dengan tingkat taraf hidup masyarakat sekitar industri perkebunan di
Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor.
Kegunaan Penelitan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para
pihak yang berminat maupun terkait dengan masalah industri perkebunan,
terutama bagi:
1. Peneliti dan civitas akademika yang ingin mengkaji lebih jauh
mengenai
industri
perkebunan
dalam
kaitannya
dengan
perkembangannya di pedesaan, perubahan pada masyarakat
disekitarnya terutama tentang kelembagaan ekonominya dan tingkat
taraf hidup masyarakatnya.
2. Masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran
dalam meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya dalam hal
merespon perkembangan industri perkebunan di pedesaan.
3. Pemerintah, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam
merumuskan pedoman dan kebijakan khususya yang terkait dengan
bidang industri perkebunan.
4. Perusahaan, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi atau
masukan bagi perusahaan yang bergerak di bidang indutri perkebunan
terutama jika akan melakukan pengembangan industri perkebunannya.

6

7

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Perkembangan Industri Perkebunan
Kehadiran perkebunan di Negara-negara sedang berkembang
umumnya sebagai perkembangan kapitalisme agraris barat yang
diperkenalkan malalui sistem perekonomian kolonial. Menurut Kartodirjo dan
Suryo (1994), perkebunan pada awalnya hadir sebagai sistem perekonomian
baru yang semula belum dikenal, yaitu sistem perekonomian pertanian
komersial yang bercorak kolonial. Sebagai sistem perekonomian pertanian
baru, sistem perkebunan telah memperkenalkan berbagai pembaharuan dalam
sistem perekonomian pertanian yang membawa dampak perubahan penting
terhadap kehidupan masyarakat tanah jajahan atau negara-negara berkembang.
Sejalan dengan Lauer (2003) yang mengungkap tentang industrialisasi di
Negara berkembang, perkembangan perkebunan di Indonesia juga erat
kaitannya dengan proses modernisasi. Sejarah perkembangan perkebunan di
Indonesia dari waktu ke waktu dapat dijelaskan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Perkembangan perkebunan di Indonesia berdasarkan periode waktu
No. Periode
(Tahun)
1. 1600-1870

Perkembangan Perkebunan

Awal pertumbuhan perkebunan; perkebunan sebagai
pengaruh kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi.
Masa pengaruh VOC; komersialisasi produk rempah2. 1600-1800
rempah.
Masa pemerintahan konservatif; mulai muncul sistem sewa
3. 1800-1830
tanah untuk lahan perkebunan.
Muncul sistem tanam paksa tanaman perkebunan pada
4. 1830-1870
masyarakat pedesaan.
Perkembangan perkebunan.
5. 1870-1980
Mulai muncul usahawan perkebunan pemerintah maupun
6. 1870-1914
swasta dengan teknologi produksi baru serta komoditi yang
lebih beragam.
Masa PD I dan PD II; sistem impor dan ekspor mengalami
7. 1914-1942
ketidakseimbangan, perkebunan rakyat meningkat.
Krisis dunia menyebabkan pasaran komoditi perkebunan
8. 1929-1942
menurun.
Kegiatan lapangan pada pendudukan Jepang dilakukan
9. 1942-1955
untuk menopang usaha perang. Muncul organisasi buruh
pada masa revolusi dan mulai muncul gerakan koperasi,
pembangunan pedesaan, kelompok wiraswastawan dan
badan usaha pribumi.
10. 1956-1980-an Perkembangan perkebunan di bawah penanganan Pusat
Perkebunan Negara Baru (PPN-Baru) dan Perusahaan
Negara Perkebunan (PNP). Adanya perubahan kebijakan
sektor perekonomian, yang mencakup perdagangan,
perindustrian dan perkebunan.
Sumber: Kartodirjo dan Suryo, 1994

8
Adapun ciri-ciri sistem perkebunan menurut Kartodirjo dan Suryo
(1994) adalah suatu bentuk usaha pertanian skala besar dan kompleks,
bersifat padat modal (capital intensive), penggunaan areal pertanaman yang
luas, organisasi tenaga kerja yang besar, pembagian kerja rinci, penggunan
tenaga kerja upahan (wage labour), struktur hubungan kerja yang rapih, dan
penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi,
serta penanaman tanaman komersial untuk komoditi ekspor di pasaran. Selain
itu, lingkungan perkebunan biasanya dibentuk oleh kesatuan lahan penanaman
tanaman komoditi perdagangan, pusat pengolahan produksi (pabrik) dan
komunitas pemukiman penduduk yang terlibat dalam kegiatan perkebunan.
Secara pokok, Kartodirjo dan Suryo (1994) mengungkapkan juga dua
fase perkembangan pertumbuhan sistem perkebunan pada masa kolonial, yaitu
fase perkembangan industri negara ke fase industri perkebunan swasta. Pada
tahun 1870-1914 mulai berkembang perusahaan perkebunan di Indonesia
yang semakin meningkat sampai tahun dua puluhan. Tahun 1929-1942 sempat
terjadi krisis dunia dan produksi beberapa komoditi perkebunan juga menurun.
Namun disisi lain masyarakat Indonesia seperti Sunda, Jawa dan Kalimantan
mulai ikut terlibat dalam penanaman komoditi perkebunan. Namun hasil
ekspor tanaman perkebuan masih ada yang jatuh ke tangan perantara sehingga
masyarakat tetap berada dalam kondisi terbelakang. Pada dasarnya, industri
perkebunan terbagi menjadi tiga, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan
perusahaan swasta dan perkebunan perusahaan negara.
Menurut Rosyani (2009) pesatnya perkembangan industri perkebunan
ternyata telah mendesak masyarakat sekitar perkebunan semakin terpuruk
dengan mengaharuskan mereka bekerja pada areal kebunnya sendiri. Hal itu
terjadi karena pemberian izin usaha perkebunan belum mempertimbangkan
kepentingan teritorial lingkungan dan belum melibatkan masyarakat adat dan
masyarakat desa. Namun banyak juga penelitian lain seperti Syahza (2005)
serta Susila dan Setiawan (2011) menyebutkan bahwa perkembangan
perkebunan mempunyai pengaruh yang baik bagi perkembangan
perekonomian Indonesia, baik skala Nasional maupun lokal. Setiap jenis
perkebunan diperkirakan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda pada
pekembangannya.
Karakteristik Masyarakat dan Kebudayaan Perkebunan
Adapun karakteristik masyarakat perkebunan menurut Kartodirjo dan
Suryo (1994) adalah: 1) pluralistik, 2) tersegmentasi menurut golongan etnik,
3) rasialistik, 4) dualistik berdasarkan sektor ekonomi Eropa dan non-Eropa
serta 5) dominasi sosial, ekonomi, dan politik kaum kolonial. Salah satu
keuntungan besar perusahaan perkebunan adalah tenaga kerja yang banyak
dan murah. Seringkali dalam situasi masyarakat perkebunan terjadi konflik
kepentingan antara pekerja dan pengusaha. Pekerja sering melakukan gerakan
protes dengan berbagai bentuk mulai dari melarikan diri, sabotase, pura-pura
tidak sehat sampai kekerasan.
Kartodirjo dan Suryo (1994) lebih lanjut mengungkapkan perbedaan
Antara perkebunan di Jawa dan luar Jawa. Derajat isolasi perkebunan di luar
Jawa lebih tinggi daripada di Jawa. Kemuadian di Jawa kepadatan
penduduknya tinggi sehingga jarak perkebunan dengan dengan pedesaan tidak

9
terlalu jauh maka kaum buruh dapat dimobilisasi dari daerah sekitarnya dan
tidak perlu mendatangkan pekerja dari daerah lain. Selain sebagai pekerja
perkebunan, masyarakat juga dapat melanjutkan pekerjaan semulanya.
Pekerjaan di perkebunan dapat menambah penghasilannya sebagai hubungan
simbiosis mutualisme. Namun terdapat perbedaan taraf hidup antara golongan
Eropa dan golongan pribumi yang sangat mencolok.
Konsep Kelembagaan dan Keberlanjutan Kelembagaan
Pengertian kelembagaan sampai saat ini masih menjadi bahan
perdebatan yang sengit di kalangan ilmuan sosial. Diantara para ahli masih
terdapat kebelumsepahaman tentang arti kelembagaan. Istilah kelembagaan
merupakan terjemahan langsung dari institution yang selalu terdapat dalam
kehidupan masyarakat yang memegang nilai-nilai budaya atau pada
masyarakat modern. Seokanto (2002) mengartikan istilah kelembagaan
sebagai lembaga kemasyarakatan yang mengandung pengertian abstrak
tentang norma-norma dan pengaturan tertentu. Ia mengistilahkan kelembagaan
dengan lembaga kemasyarakatan (lembaga sosial) dan mengartikannya
sebagai suatu bentuk abstrak dengan norma-norma dan aturan-aturan tertentu
yang menjadi ciri lembaga tersebut.
Kelembagaan (institution) menurut Uphoff (1986) merupakan
kompleksitas norma dan pola perilaku yang berorientasi pada tujuan bernilai
sosial tertentu secara kolektif. Kelembagaan dapat berwujud organisasi seperti
pengadilan dan bukan organisasi seperti hukum. Dengan demikian
kelembagaan menurut Uphoff (1986) berhubungan dengan pola-pola tindakan
individu dalam ruang hidupnya. Dalam kaitannya dengan ini, kelembagaan
ditentukan pula oleh tingkatan pengambilan keputusan dalam masyarakat,
mulai dari individu hingga internasional (Uphoff 1986). Tingkatan
pengambilan keputusan terpenting untuk pembangunan pedesaan berada pada
level lokalitas sehingga kemudian ia mengajukan kelembagaan lokal sebagai
alternatif pembangunan (local institution development). Yang dimaksud
dengan kelembagaan level lokal adalah level lokalitas (atau setingkat kota
kecamatan di Indonesia), level komunitas (seperti desa di Indonesia), dan
level grup (seperti kelompok rumah tangga/Rukun Tetangga di Indonesia).
Kelembagaan adalah perilaku yang berulang, bersifat stabil, dan menjadi nilai
suatu masyarakat Kelembagaan adalah suatu sistem yang dibuat oleh manusia
baik itu masyarakat maupun komunitas untuk mengatur tata kehidupan dalam
rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Kelembagaan pedesaan secara sederhana mengacu pada aktivitas atau
praktek-praktek tradisional dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan, seperti
bagi hasil, pemasaran hasil pertanian, hubungan ketenagakerjaan dan
organisasi-organisasi yang dibentuk oleh pemerintah, misalnya koperasi. Oleh
karena itu mempelajari kelembagaan lebih ditekankan pada aspek perilaku dan
aturan main. Kemudian Koentjaraningrat (1979) mengemukakan bahwa
belum terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para
sarjana sosiologi untuk menerjemahkan istilah Inggris ‘social institution’. Ada
yang menerjemahkan dengan istilah ‘pranata’ ada pula yang menerjemahkan
‘bangunan sosial’. Istilah kelembagaan seringkali dipertukarkan dengan
istilah organisasi, sehingga menimbulkan beberapa keambiguan diantara

10
keduanya. Oleh karena itu, Syahyuti (2002) menunjukan empat cara
membedakan kelembagaan dengan organisasi, yaitu:
1. Kelembagaan adalah tradisional, organisasi adalah modern.
2. Kelembagaan dari masyarakat itu sendiri sedangkan organisasi datang
dari atas.
3. Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum. Organisasi
adalah kelembagaan yang belum melembaga. Sedangkan yang
dikatakan sempurna adalah organisasi yang melembaga.
4. Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan.
Adapun, Soekanto (2002) merumuskan kelembagaan yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka
harus bertingkah laku atau bersikap dalam mengahdapi masalah di
masayarakat, terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
2. Menjaga keutuhan masyarakat.
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial. Artinya sebagai fungsi pengawasan masyarakat
terhadap tingkah laku anggotanya.
Dalam mempelajari suatu masyarakat besar dan kebudayaannya, maka
harus turut juga memperhatikan kelembagaan-kelembagaan yang hidup dalam
masayarakat tersebut. Namun bagi Pranadji (2003) dalam mengadakan
penelitiannya pada komunitas padi sawah, tidak terlalu memberikan
penegasan perbedaan antara kelembagaan ekonomi pedesaan dengan
organisasi ekonomi lokal pedesaan. Dalam hal ini Pranadji (2003) memakai
ungkapan Sunsaryanto dan Pranadji tentang organisasi atau kelembagaan
ekonomi pedesaan adalah bangunan jaringan kemitraan agribisnis ekonomi
pedesaan yang dinilai mampu untuk meningkatkan daya saing ekonomi
pedesaan. Disisi lain, Syahyuti (2002) mengungkapkan dua aspek
kelembagaan, yaitu kultural dan struktural. Aspek kultural mencakup nilai,
norma, aturan, kepercayaan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan
sebagainya. Sedangkan aspek struktural mencakup struktur, peran, hubungan
antar peran, integrasi antar bagian, struktur umum, perbandingan tekstual dan
struktur riil, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek
solidaritas, keanggotaan, pola kekuasaan dan sebagainya. Untuk itu
kelembagaan dalam masyarakat Sedangkan cara mempelajari suatu
kelembagaan Soekanto (2002) mengemukakan tiga pendekatan, yaitu:
1. Analisis secara historis, yaitu untuk meneliti sejarah timbul dan
perkembangan suatu lembaga masyarakat tertentu. Misal diselidiki
asal mula serta perkembangan lembaga demokrasi, perkawinan yang
monogam, keluarga batin dan lain-lain.
2. Analisis komparatif, yaitu untuk menelaah suatu lembaga masyarakat
tertentu dalam pelbagai masyarakat berkenaan ataupun pelbagai
lapisan sosial masyarakat tersebut. Bentuk-bentuk milik, praktekpraktek pendidikan anak dan lainnya.
3. Analisis fungsional, yaitu lembaga-lembaga masyarakat dapat
diselidiki dengan menganalisis hubungan antar lembaga tersebut dalam
suatu masyarakat tertentu. Pendekatan ini lebih menekankan hubungan
fungsionalnya, seringkali mempergunakan analisis historis dan

11
komparatif. Sesungguhnya lembaga satu berhubungan dengan lembaga
lainnya. misalnya lembaga perkawinan berhubungan dengan lembaga
muda-mudi dan harta perkawinan.
Suatu kelembagaan dalam masyarakat penting untuk diketahui
kekuatannya. Hal tersebut salah satunya dapat dianalisis dengan melihat
tingkat keberlanjutan kelembagaan yang ada. Nasdian (2004) secara lebih jauh
melakukan pentipologian kelembagaan suatu komunitas lokal yang
‘dikonstruksi’ berdasarkan dua variabel pokok, yaitu: tinggi rendahnya
“keseimbangan palayanan-peranserta” dalam suatu kelembagaan dan
berfungsi tidaknya good governance dalam suatu kelembagaan. Menurut
Nasdian (2004) suatu keberlanjutan kelembagaan ditentukan oleh dua
variabel, yaitu variabel keseimbangan pelayanan-peranserta dan good
governance. Studi tersebut dikonstruksikan tipologi kelembagaan ke dalam
bentuk kuadran. Suatu garis horizontal yang menggambarkan tingkat
keberhasilan proses manajemen keseimbangan pelayanan peranserta dari
rendah sampai tinggi (kiri ke kanan). Garis vertikal menggambarkan tingkat
keberfungsian prinsip good goverance sampai bad governance (dari atas ke
bawah).
Pentipologian yang dimaksud Nasdian (2004) adalah perpotongan
antara garis vertikal dan horizontal yang membentuk empat kuadran. Kuadran
pertama (Tipe-1) adalah ruang antara tingkat keseimbangan pelayananperanserta tinggi dan berfungsinya prinsip-prinsip good governance. Dalam
kuadran pertama, kelembagaan akan bersifat sustain. Kuadran kedua (Tipe-2)
adalah ruang yang menjadi tempat bagi kelembagaan yang memiliki tingkat
keseimbangan pelayanan-peranserta rendah, tetapi prinsip-prinsip good
governance nya berfungsi. Dalam kuadran kedua, kelembagaan akan bersifat
semi sustain dengan kendala manajemen. Kuadran ketiga (Tipe-3) adalah
ruang antara tingkat palayanan-peranserta rendah dan tidak berfungsinya
prinsip-prinsip good governance atau menjadi kelembagaan yang bad
governance. Dalam kuadran ketiga, kelembagaan akan bersifat tidak sustain
atau unsustain. Terakhir, kuadran keempat (Tipe-4) adalah ruang antara
keseimbangan palayanan peranserta tinggi, tetapi prinsip-prinsip good
governance tidak berfungsi atau bad governance. Dalam kuadran keempat ini,
kelembagaan akan bersifat semi sustain dengan kendala good governance.

Gambar 1 Tipologi Kelembagaan

12
Nasdian (2004) juga menjelaskan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal, yaitu: (1) jejaring
kerjasama; (2) intervensi positif pemerintah; (3) kecukupan anggaran; dan (4)
aturan-aturan tertulis. Dengan demikian melalui program-program
pengembangan jejaring kerjasama, intervensi pemerintah, kecukupan pangan,
dan aturan-aturan tertulis akan dapat meningkatkan keberlanjutan
kelembagaan komunitas lokal. Selanjutnya keberlanjutan kelembagaan dapat
juga dianalisis dari tingkat partisipasi, sistem tatakelola yang baik, kinerja,
kompleksitas dan tingkat kemerosotan. Jika suatu kelembagaan memiliki
tingkat partisipasi tinggi, sistem tata kelola yang baik dan kinerja yang tinggi
maka semakin tinggi tingkat keberlanjutan kelembagaan tersebut. Semakin
rendah kompleksitas dan tingkat kemerosotan maka akan semakin tinggi
tingkat keberlanjutan suatu kelembagaan. Akan tetapi pengukuran tingkat
keberlanjutan kelembagaan lebih mudah dan pasti dengan menggunakan
pentipologian seperti pada ungkapan Nasdian sebelumnya.
Kelembagaan Ekonomi
Kelembagaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia.
Ia dapat dikategorikan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan manusia seperti yang
dijelaskan Koentjaraningrat (1979) tentang penggolongan delapan
kelembagaan menurut kebutuhan manusia. Salah satu golongan kelembagaan
yang diungkapkan adalah kelembagaan ekonomi. Kelembagaan ekonomi
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam
pencaharian hidup,
memproduksi, menimbun, dan mendistribusikan. Contohnya seperti pertanian,
peternakan, industri, keporasi, perdagangan, sambatan, dan lain-lain.
Kelembagaan ekonomi adalah pada umumnya sebagai lembaga-lembaga yang
berkisar pada kegiatan lapangan produksi, distribusi dan konsumsi barangbarang atau jasa.
Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan, Damsar (1997) juga
mengemukakan studi sosiologi ekonomi yang menjelaskan tentang bagaimana
cara orang atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap jasa
dan barang langka, dengan menggunakan pendekatan sosiologi. Menurutnya,
sosiologi ekonomi berkaitan erat dengan dua hal, pertama, fenomena
ekonomi yaitu gejala bagaimana cara orang atau masyarakat memenuhi
kebutuhan hidup mereka terhadap barang atau jasa yang langka. Cara yang
dimaksud di sini adalah semua aktivitas orang atau masyarakat yang
berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi jasa-jasa
dan barang langka. Kedua, pendekatan sosiologis yaitu berupa kerangka acuan,
variabel-variabel dan model- model yang digunakan oleh para sosiolog dalam
memahami dan menjelaskan kenyataan sosial atau fenomena yang terjadi
dalam masyarakat. Pendekatan yang digunakan para sosiolog dalam
memahami dan menjelaskan fenomena ekonomi berbeda dengan yang dipakai
oleh para ekonom.
Tjondronegoro (1999) menyebutkan dalam penjelasan tentang sistem
ekonomi tradisional bahwa kelembagaan merupakan salah satu cakupan dari
sistem kebudayaan. Dalam hal ini terdapat tiga kegiatan ekonomi yang
dilakukan dalam sistem ekonomi tradisional, yaitu:

13
1. Pola produksi, berdasarkan satuan keluarga inti lebih dominan
daripada pola produksi kolektif. Penggarapan tanah secara komunal
dan menerapkan sistem pertanian yang menetap. Tenaga kerja yang
digunakan hanya sebatas tenaga kerja keluarga dan laki-laki biasanya
melakukan pekerjaan yang berat. Kebudayaan ekonomi tidak
merangsang motif untung yang besar. Selain itu biasanya masyarakat
melakukan kegiatan kerajinan tangan dan sebagainya.
2. Pola distribusi, adanya imbalan natura (pada waktu panen). Hal itu
berdasarkan asas timbal balik yang berlangsung antar orang yang
saling mengenal. Sistem bagi hasil juga dilakukan karena lahan
pertanian yang semakin berkurang namun jumlah petani banyak.
Bentuk imbalan barang yang digantikan dengan imbalan uang
menyebabkan seseorang yang mendapat imbalan uang harus mencari
sumber nafkah lain.
3. Pola konsumsi, jumlah warga yang mengkonsumsi sedikit atau tidak
bertambah. Tidak adanya industri berat, karena pertemuan dengan
industri berat merangsang kegiatan non-tradisional. Masyarakat tidak
mengenal gejala pasar antara penawaran dan permintaan atas barang
tertentu. Namun peningkatan pendidikan formal ternyata mulai
memperkenalkan masyarakat dengan industri, akibatnya yang terjadi
adalah gejala pasar, bukan lagi tukar menukar barang.
Taraf Hidup
Suatu masyarakat atau komunitas dapat dibedakan berdasarkan kedaan
atau kondisi hidupnya. Salah satu kondisi yang membedakan antara
masyarakat satu dengan lainnya adalah kondisi kesejahteraan. Kesejahteraan
dapat dijelaskan dengan luas dan diukur dengan beberapa indikator. Adapun
keadaan kesejahteraan juga digambarkan dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 dengan sangat abstrak, yaitu suatu tata
kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi
oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin. Oleh karena
itu, kesejahteraan suatu masyarakat akan lebih nyata jika dilihat dari kondisi
taraf hidup saja. Kata “taraf” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997)
berarti mutu atau kualitas. Jadi taraf hidup dapat diartikan sebagai suatu mutu
hidup atau kualitas hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat.
Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk melihat kondisi taraf hidup
suatu masyarakat. Akhir-akhir ini semakin banyak didengungkan bahwa
kualitas hidup seringkali diidentikkan dengan kesejahteraan. Menurut
Faturochman (1990) hal itu disebabkan oleh munculnya kesadaran bahwa
pembangunan tidak cukup diukur kesuksesannya dengan membangunnya
input yang banyak, tetapi justru yang lebih penting adalah output. Sementara,
kualitas hidup atau taraf hidup merupakan salah satu tolok ukurnya.
Susila dan Setiawan (2011) menggunakan tingkat pendapatan dan
pemerataan untuk melihat kondisi taraf hidup masyarakat. Sedangkan Syahza
(2005) dalam penelitiannya pada masyarakat perkebunan mengukur kualitas
hidup masyarakat secara lebih luas, yaitu hanya dengan faktor pendapatan.
Beberapa indikator taraf hidup lainnnya yang sering digunakan adalah sebagai
berikut.

14
Tabel 3 Indikator pengukuran taraf hidup berdasarkan beberapa sumber
No.
Sumber
Indikator
1.
United
Nations HDI (Human Development Index)
Development
-Pendapatan (daya beli)
Programme (UNDP)
-Kesehatan (angka harapan hidup)
-Pendidikan (melek huruf)
2.
Morris (1979)
-Tingkat kematian bayi (IMR)
-Harapan hidup saat berusia satu tahun
-Angka melek huruf
3.
Williamson (1987)
-Tingkat kematian ba