Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata Dan Taraf Hidup Masyarakat

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN
DESA WISATA DAN TINGKAT TARAF HIDUP MASYARAKAT
(Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor)

MONA EL SAHAWI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Partisipasi
Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata dan Tingkat Taraf Hidup
Masyarakat” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak
mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain
kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Mona El Sahawi
NIM. I3420032

ABSTRAK
MONA EL SAHAWI. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Desa
Wisata dan Taraf Hidup Masyarakat TITIK SUMARTI.
Pengembangan desa wisata berbasis lokal memerlukan partisipasi
masyarakat untuk mengembangkan desanya. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata,
menganalisis hubungan faktor eksternal dan internal terhadap tingkat partisipasi,
menganalisis taraf hidup masyarakat, menganalisis hubungan tingkat partisipasi
masyarakat dengan tingkat taraf hidup masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif menggunakan metode survey yang didukung data kualitatif. Jumlah
sampel pada penelitian ini adalah 50 responden, merupakan anggota dan pengurus
Desa Wisata Pasir Eurih. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan
memiliki hubungan sedang dan signifikan terhadap tingkat partisipasi. Metode

pelaksanaan kegiatan menunjukkan hubungan yang sangat kuat dan signifikan
dengan tingkat partisipasi. Tingkat usia, lama menetap, dan jumlah anggota
keluarga menunjukkan hubungan yang tidak signifikan dengan tingkat partisipasi.
Kemudian tingkat partisipasi menunjukkan hubungan yang lemah tidak signifikan
terhadap tingkat taraf hidup masyarakat.
Kata Kunci: partisipasi, faktor internal, faktor eksternal, taraf hidup
MONA EL SAHAWI. Community Participation in the Development of Tourism
Village and Society Standard of Living. Supervised by TITIK SUMARTI.
ABSTRACT
The development of tourism village requires community participation to
develop their own village. The aims of this study are to analyzed community
participation in the development of tourism village, to analyzed external and
internal factors with community participation level, to analyzed community
standard of living, to analyzed the relation between community participation
levels with community standard of living level. This research was a quantitative
research with survey method, supported by qualitative data. The number of
samples in this study was 50 respondents, which cosists of the member and all
participants in Pasir Eurih Tourism Village. The results showed that education
level has medium correlation and significant relation to participation level. The
activities implementation method shows a very strong correlation and significant

relation to participation level. Age, long settled, and amount of family member
showed no significant relation with participation level. Then, participation level
showed a weak correlation and no significant relation with community standard
of living level.
Keywords: participation, internal factor, external factor, standard of living

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN
DESA WISATA DAN TINGKAT TARAF HIDUP MASYARAKAT
(Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor)

MONA EL SAHAWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya
penulisan skripsi yang berjudul “Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengembangan Desa Wisata dan Tingkat Taraf Hidup Masyarakat” dapat
diselesaikan. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor internal
dan eksternal masyarakat dengan partisipasi dalam pengembangan desa wisata
dan tingkat taraf hidup masyarakat pada tahun 2016.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti MC,
MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan
selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis pun
menyampaikan ucapan terima kasih kepada keluarga khususnya Ibu Diah Shadiah
dan Hamid El Sahawi atas doa dan dukungan selama proses penulisan proposal
skripsi. Kepada teman-teman seluruh SKPM 49 khususnya Dikna, Ando, Wide,
Rizky, Vanya, Citra, dan semuanya atas keceriaan dan dukungan yang selalu
diberikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan
penulisan skripsi, dan juga bermanfaat bagi pembaca lain.

Bogor, Juni 2016

Mona El Sahawi
NIM. I34120032

vii

viii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

x
xi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Kegunaan Penelitian

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka


6
6

Konsep Partisipasi Masyarakat

6

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat

9

Konsep Desa Wisata

10

Konsep Taraf Hidup Masyarakat

12

Hipotesis Penelitian


15

Definisi Operasional

16

PENDEKATAN LAPANG

25

Metode Penelitian

25

Lokasi dan Waktu Penelitian

25

Teknik Penentuan Responden dan Informan


25

Teknik Pengumpulan Data

26

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

27

PROFIL KOMUNITAS DESA PASIR EURIH

28

Kondisi Geografis

28

Kondisi Demografi


28

Atraksi dan Mata Pencaharian

29

Akomodasi Sarana Dan Prasarana

32

Gambaran Sosial dan Profil Desa Wisata Pasir Eurih

33

Karakteristik Responden Peserta Program Desa Wisata

33

Usia


34

Tingkat Pendidikan

35

ix

Lama Menetap

36

Jumlah Anggota Keluarga

36

Ikhtisar

38

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN
DESA WISATA

39

Partisipasi Masyarakat pada Tahap Pengambilan keputusan

40

Partisipasi Masyarakat pada Tahap Pelaksanaan

42

Partisipasi Masyarakat pada Tahap Evaluasi

43

Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Tahap Menikmati Hasil

44

HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI
MASYARAKAT

45

Hubungan Tingkat Usia dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat

45

Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat

46

Hubungan Lama Menetap dengan Tingkat Partisipasi

47

Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Tingkat Partisipasi

49

HUBUNGAN FAKTOR EKSTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI
MASYARAKAT
50
TINGKAT TARAF HIDUP MASYARAKAT

52

HUBUNGAN TINGKAT PARTISIPASI DENGAN TINGKAT TARAF
HIDUP MASYARAKAT

55

Ikhtisar

57

PENUTUP

58

Simpulan

58

Saran

58

DAFTAR PUSTAKA

60

LAMPIRAN

65

x

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Definisi operasional faktor internal (karakteristik individu) peserta
desa wisata
16
Definisi operasional faktor eksternal peserta desa wisata
18
Definisi partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata
19
Definisi taraf hidup masyarakat
21
Uji statistik reabilitas
27
Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan kelompok usia Desa Pasir
Eurih tahun 2014
29
Jumlah sarana dan prasarana Desa Pasir Eurih tahun 2014
32
Jumlah dan persentase tingkat partisipasi responden tahun 2016
39
Jumlah dan frekuensi responden pada tingkat partisipasi tahap pengambilan
keputusan tahun 2016
41
Jumlah dan frekuensi responden pada tingkat partisipasi
tahap pelaksanaan tahun 2016
42
Jumlah dan frekuensi responden pada tingkat partisipasi tahap evaluasi
tahun 2016
43
Jumlah dan frekuensi responden pada tingkat partisipasi tahap menikmati
hasil tahun 2016
44
Hubungan tingkat usia dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pengembangan desa wisata tahun 2016
45
Hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pengembangan desa wisata tahun 2016
47
Hubungan lama menetap dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pengembangan desa wisata tahun 2016
48
Hubungan jumlah anggota keluarga dengan tingkat partisipasi masyarakat
dalam pengembangan desa wisata tahun 2016
49
Hubungan metode pelaksanaan kegiatan dengan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pengembangan desa wisata tahun 2016
51
Jumlah dan frekuensi pendapatan rata-rata responden per bulan
tahun 2016
53
Jumlah dan frekuensi pengeluaran rata-rata responden per bulan
tahun 2016
53
Jumlah dan frekuensi tingkat taraf hidup responden tahun 2016
54
Hubungan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata
dengan tingkat taraf hidup masyarakat tahun 2016
55

xi

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Kerangka pemikiran
15
Persentase mata pencaharian masyarakat Desa Pasir Eurih 2014
Error!
Bookmark not defined.
Denah lokasi dan pemetaan kegiatan wisata di Desa Wisata Pasir Eurih
tahun 2016
31
Persentase usia responden yang ikut serta dalam pengembangan desa
wisata tahun 2016
34
Persentase tingkat pendidikan responden yang ikut serta dalam
pengembangan desa wisata tahun 2016
35
Persentase lama menetap responden yang ikut serta dalam pengembangan
desa wisata tahun 2016
36
Persentase jumlah anggota keluarga responden yang ikut serta dalam
pengembangan desa wisata tahun 2016
37
DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7

Peta Lokasi Desa Pasir Eurih Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor
Format kerangka sampling
Kuesioner penelitian
Pedoman wawancara mendalam
Hasil uji statistik
Dokumentasi penelitian
Riwayat hidup

65
66
68
76
77
84
86

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan sektor pariwisata merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat baik di tingkat lokal maupun global. Di
Indonesia, industri pariwisata mengalami perkembangan pesat. Kontribusi
pariwisata terhadap PDB nasional sebesar 4,0 persen, devisa yang dihasilkan
mencapai 11,17 juta US$, dan menyerap tenaga kerja pariwisata sebanyak 10,32
juta orang, sedangkan kondisi mikro jumlah wisatawan mancanegara sebanyak
9,44 juta wisman dan wisatawan nusantara (wisnus) sebanyak 251,20 juta
perjalanan pada tahun 2014. Daya saing pariwisata Indonesia menurut WEF
(World Economic Forum) berada di ranking 70 dunia. Pencapaian angka ekonomi
kreatif pada tahun 2014 juga menjadi pijakan dalam menetapkan target ekonomi
kreatif pada tahun tahun 2019. Pencapaian ekonomi kreatif secara makro pada
tahun 2014 antara lain: kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 7,06 persen,
penciptaan lapangan kerja sebanyak 12,30 juta orang, dan kontribusi terhadap
ekspor nasional sebesar 5,9 persen (Kemenpar 2014). Selain itu, hasil data yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pariwisata menduduki
peringkat empat sebagai penyumbang devisa terbesar di Indonesia dengan jumlah
10 054, dan urutan pertama adalah oil and gas (32,633 juta US$), kemudian ada
coal (24,501 juta US$), crude palm oil (15,839 juta US$).1
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan program Visit Indonesia
sebagai upaya mempromosikan tujuan pariwisata di Indonesia kepada wisatawan
mancanegara maupun lokal pada tahun 2007. Kebijakan mengenai kepariwisataan
itulah yang membuat pengembangan desa-desa wisata di Indonesia mulai
bermunculan. Berdasarkan data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sampai
tahun 2012 di Indonesia terdapat 978 desa wisata. Jumlah ini meningkat tajam
dibanding tahun 2009 yang hanya tercatat 144 desa untuk tujuan pariwisata.
Kebijakan pembangunan kepariwisataan yang dijalankan pemerintah
diarahkan pada pengembangan pariwisata sebagai sektor andalan dan unggulan
dalam arti luas agar mampu menjadi salah satu penghasil devisa, mendorong
ekonomi, meningkatkan pendapatan daerah, memberdayakan perekonomian
rakyat, memperluas lapangan pekerjaan, dan kesempatan berusaha serta
meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memelihara kepribadian bangsa, nilainilai agama serta kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup2. Prinsip
kepariwisataan yang terkandung dalam Undang-undang No 10 Tahun 2009
tentang kepariwisataan adalah memberdayakan masyarakat setempat dimana
masyarakat berhak berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan dan
berkewajiban menjaga dan melestarikan daya tarik wisata, serta membantu
terciptanya suasana aman, tertib, bersih, berperilaku santun, dan menjaga
kelestarian lingkungan destinasi pariwisata. Keikutsertaan masyarakat juga
1

http://print.kompas.com/baca/2015/06/16/Pariwisata-Ditargetkan-Sumbang-Devisa-Terbesar [diakses
pada 2 februari 2016]
2
http://journal.lppm.unsoed.ac.id/ojs/index.php/Pembangunan/article/view/48. [diakses pada 24 Oktober
2015]

2

dijelaskan secara eksplisit dijelaskan dalam UU RI No 10 tahun 2009 tentang
kepariwisataan yang menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan
untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat
serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan
global. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang berada di tingkat lokal
memiliki kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan kepariwisataan.
Potensi daya tarik wisata baik yang bernuansa alam maupun budaya pada
umumnya berada di pedesaan, seiring dengan keberadaan masyarakat Indonesia
yang sebagian besar berada di pedesaan. Oleh karena itu, berbagai potensi daya
tarik wisata dikembangkan agar masyarakat mendapat manfaat sebesar-besarnya
terkait potensi desa yang ada dengan menjadikannya kawasan desa wisata, karena
wisatawan dalam perjalanan wisatanya membutuhkan berbagai kebutuhan baik
barang maupun jasa. Masyarakat di pedesaan yang telah merasakan manfaat dari
kunjungan wisatawan ke daerahnya, tentu akan berusaha menjaga lingkungan
untuk tetap lestari bahkan meningkat kualitasnya. Lingkungan alam dan budaya
yang rusak tentu akan menyebabkan wilayah desa wisata tersebut tidak akan lagi
diminati oleh wisatawan. Hal itu tentunya akan berdampak pada berkurangnya
pendapatan mereka. Dengan demikian, melalui pengembangan desa wisata,
lingkungan alam dan budaya setempat akan terjaga kelestarian dan kualitasnya,
karena masyarakat akan berusaha menjaga dan memelihara lingkungannya untuk
tetap lestari bahkan meningkat kualitasnya (Soekarya 2011).
Keppres Nomor. 38 Tahun 2005 mengamanatkan sektor kelembagaan
sebagai penggagas pengembangan pariwisata yang berbasis kerakyatan
(community-based ecotourism development) agar bisa memperluas tujuan dan
mendapatkan dampak konservasi yang lebih besar dengan cara mengoptimalkan
peran dan kerja sama dengan stakeholders yang lain. Seiring dengan
meningkatnya kesadaran lingkungan secara global, maka dibidang pariwisata
terjadi pula kecenderungan perubahan dari pariwisata yang eksploitatif ke arah
pariwisata yang berkelanjutan. Ekowisata merupakan pariwisata alternatif yang
timbul sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap bentuk pariwisata yang
kurang memperhatikan dampak sosial dan ekologis, dan lebih mementingkan
keuntungan ekonomi dan kenyamanan manusia semata (Nugraheni 2002).
Disamping itu pengembangan desa wisata menjadi relevan seiring terjadinya
pergeseran model pembangunan pariwisata yang lebih memperhatikan aspek
sosial dan ekologis serta pembangunan ekonomi kerakyatan masyarakat pedesaan.
Seperti dilaporkan oleh World Tourism Organization (WTO) pada tahun 1995
menunjukkan bahwa telah muncul perkembangan wisata alternatif yang
dipandang lebih menghargai lingkungan alam dan penghargaan kepada
kebudayaan.3
Inskeep (1991) mengatakan bahwa desa wisata merupakan bentuk
pariwisata, yang sekelompok kecil wisatawan tinggal di dalam atau di dekat
kehidupan tradisional atau di desa-desa terpencil dan mempelajari kehidupan desa
dan lingkungan setempat. Nuryanti (1992) mendefinisikan desa wisata merupakan
suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang
disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata
cara dan tradisi yang berlaku. Pengembangan desa wisata didasarkan pada
3

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_209132.pdf.
[Diakses pada 24 Oktober 2015]

3

pemenuhan kepuasaan wisatawan yang tidak hanya didapat dari fasilitas modern
pariwisata tetapi juga interaksi dengan lingkungan dan komunitas lokal yang
memiliki kekhasan tersendiri.
Pengelolaan desa wisata yang berbasis lokal memerlukan kepedulian dan
partisipasi masyarakat untuk senantiasa berinovasi dan kreatif dalam
mengembangkan wilayah desanya yang dijadikan sebagai desa wisata. Dalam hal
ini, salah satu prinsip Community Development adalah partisipasi. Menurut Cohen
dan Uphoff (1980) dalam Nasdian (2014) peran atau partisipasi yang dilakukan
oleh masyarakat bisa dilihat mulai dari tahap pengambilan keputusan,
pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasi. Selain itu aspek akan syarat-syarat
tumbuhnya partisipasi dalam masyarakat juga menjadi suatu hal yang perlu
diperhatikan seperti adanya kesempatan, kemampuan dan kemauan (Slamet
2003).
Desa Wisata Pasir Eurih adalah salah satu desa wisata yang berada di
Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Desa Wisata Pasir Eurih menekankan
pada wisata agroekoedukasi, sentral kerajinan, dan wisata budaya yang
dikembangkan oleh masyarakat melalui pembinaan yang diberikan oleh
pemerintah. Pekerjaan sehari-hari masyarakat dalam bidang pembuatan sandal dan
sepatu menjadi salah satu atraksi yang dikembangkan. Hal tersebut dikembangkan
dengan potensi-potensi yang ada menjadi bermanfaat serta lebih meningkatkan
kelestarian dan kecintaan terhadap lingkungan alam, adat dan budaya baik untuk
masyarakat sekitar maupun yang berkunjung ke Desa Wisata Pasir Eurih. Oleh
karena itu, Desa Wisata Pasir Eurih menekankan budaya keseharian masyarakat
yang hidup di wilayah pedesaan sebagai suguhan utama kegiatan wisata bagi
wisatawan.
Penyelenggaraan pariwisata bagi masyarakat khususnya di wilayah
pedesaan yang memiliki potensi untuk dikembangkan merupakan hal yang sangat
penting. Hal tersebut terbukti dengan adanya data angka kemiskinan di Kabupaten
Bogor cenderung menurun secara melambat selama beberapa tahun terakhir.
Kondisi ini menunjukkan, strategi penanggulangan yang dilakukan oleh
pemerintah belum optimal. Data BPS pada 2014 menyebutkan angka kemiskinan
di Kabupaten Bogor masih 9,11 persen dari 5,3 juta penduduk Kabupaten Bogor.
Persentase ini menurun dari capaian tahun sebelumnya 9,54 persen. Jumlah
penduduk miskin di Bumi Tegar Beriman sebenarnya sempat menyentuh angka
8,83 persen di 20124. Namun, seiring dengan garis kemiskinan yang naik, BPS
pada tahun 2014 menyebutkan angka kemiskinan di wilayah Kabupaten Bogor
sebesar 9,11 persen. Diperlukan akselerasi penurunan kemiskinan sebesar 2,11
persen agar mencapai angka lima persen pada 2018 mendatang5.
Pengembangan wisata pedesaan dan desa wisata dianggap membuka
peluang kunjungan, meminimalkan gelombang urbanisasi dan menciptakan
aktifitas ekonomi di pedesaan sehingga akan dapat menjadi instrumen yang efektif
dalam mendorong pengembangan bidang sosial budaya dan ekonomi masyarakat
pedesaan khususnya di bidang kepariwisataan melalui pemberdayaan masyarakat
yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi. Disisi lain melalui kegiatan wisata
4

http://jabar.pojoksatu.id/bogor/2015/11/26/haduh-penurunan-kemiskinan-di-kabupaten-bogor-lambat/ (Diakses pada
16 Maret 2016)
5
http://megapolitan.antaranews.com/berita/17188/pemkab-bogor-komitmen-turunkan-angka-kemiskinan (Diakses pada
16 Maret 2016)

4

dianggap sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kehidupan ekonomi
masyarakat pedesaan karena dianggap bisa memberikan kesempatan kerja,
kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengembangan kemampuan
berusaha yang selanjutnya dapat berpengaruh terhadap peningkatan taraf hidup
masyarakat. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan data yang
menunjukkan persentase jumlah penduduk miskin khususnya di Kabupaten Bogor
yang masih tinggi meskipun mengalami penurunan. Oleh karena itu, penting
untuk mengkaji hubungan partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa
wisata terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat.
Perumusan Masalah
Partisipasi berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam masyarakat, hal
tersebut memungkinkan kelompok untuk menentukan kebutuhan yang akan
dipenuhi melalui distribusi sumber daya (Curtis et al. 1987) dalam Nasdian
(2014). Menurut Cohen dan Uphoff (1980) dalam Nasdian (2014) peran atau
partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat bisa dilihat mulai dari tahap
pengambilan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil, evaluasi. Oleh
karena itu, penting untuk dianalisis bagaimana partisipasi masyarakat dalam
pengembangan desa wisata?
Orientasi pembangunan kepariwisataan perlu menempatkan fakta di atas
sebagai pertimbangan pokok dalam menumbuhkembangkan kapasitas dan
kapabilitas pada masyarakat (Beeton 2006). Hal ini dilakukan untuk dapat
meningkatkan pelayanan sekaligus merealisasikan peran sentral masyarakat dalam
aktivitas pembangunan kepariwisataan sesuai dengan harapan dan kemampuan
yang dimiliki. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat faktor eksternal dan
internal yang mempengaruhi partisipasi dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena
itu, penting untuk dianalisis apa saja faktor internal dan eksternal yang
berhubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat?
Melalui pengembangan Desa Wisata, masyarakat di pedesaan, khususnya
yang memiliki potensi daya tarik berupa alam maupun budaya, diberi wawasan
mengenai kepariwisataan, diberi kemampuan untuk mengambil manfaat dari
keberadaan potensi dan daya tarik desanya. Namun, berdasarkan data yang
diperoleh dari BPS (2013) pada jumlah penduduk miskin di pedesaan khususnya
wilayah Jawa Barat mencapai 1,7 juta jiwa dari keseluruhan penduduk miskin di
pedesaan Indonesia yang mencapai lebih dari 17 juta jiwa. Hal ini menunjukkan
angka kemiskinan yang tinggi pada komunitas pedesaan, sementara begitu banyak
program yang telah dijalankan untuk mengentaskan kemiskinan baik yang
dilakukan pemerintah ataupun perusahaan (swasta). Sehingga penting untuk
dianalisis bagaimana taraf hidup masyarakat di desa wisata?
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang memiliki dampak dinamis yang luas
dimana berbagai usaha dapat tercipta melalui kegiatan pariwisata. Komponen
utama dalam kegiatan pariwisata adalah daya tarik wisata yang didukung oleh
komponen lainnya, antara lain; transportasi, akomodasi, restoran, atraksi budaya
dan cenderamata. Wisata dapat memberikan kehidupan yang standart pada warga
setempat melalui keuntungan ekonomi yang didapat dari tempat tujuan wisata.
Pengembangan wisata pedesaan dan desa wisata dianggap membuka peluang
kunjungan, meminimalkan gelombang urbanisasi dan menciptakan aktifitas
ekonomi di pedesaan sehingga akan dapat menjadi instrumen yang efektif dalam

5

mendorong pengembangan bidang sosial budaya dan ekonomi masyarakat
pedesaan khususnya di bidang kepariwisataan melalui pemberdayaan masyarakat
yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi. Oleh karena itu, penting untuk
dianalisis bagaimana hubungan tingkat partisipasi dengan tingkat taraf hidup
masyarakat?
Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian secara umum adalah untuk menganalisis “Partisipasi
Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata dan Tingkat Taraf Hidup
Masyarakat” dan secara khusus bertujuan untuk:
1. Menganalisis partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata.
2. Menganalisis hubungan faktor internal dengan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pengembangan desa wisata.
3. Menganalisis hubungan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pengembangan desa wisata.
4. Menganalisis taraf hidup masyarakat di desa wisata
5. Menganalisis hubungan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pengembangan desa wisata dengan tingkat taraf hidup masyarakat.

Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak yang
berminat maupun yang terkait dengan pengembangan desa wisata, khususnya
kepada:
1. Bagi masyarakat, dapat memperoleh pengetahuan serta gambaran
mengenai partisipasi dalam pegembangan desa wisata dalam upaya
peningkatan taraf hidup berdasarkan ekonomi lokal.
2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menentukan arah kebijakan dan
peraturan mengenai pengembangan desa wisata yang lebih baik bagi
masyarakat.
3. Bagi swasta, diharapkan memberikan masukan sebagai data untuk
landasan pengembangan desa wisata yang baik dan sesuai kebutuhan
masyarakat, serta pentingnya melibatkan masyarakat.

6

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Konsep Partisipasi Masyarakat
Makna partisipasi menurut Arnstein (1969) adalah sebagai kekuatan yang
dimiliki oleh masyarakat untuk mengatasi persoalannya pada masa kini guna
mencapai kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang. Dijelaskan bahwa
partisipasi merupakan redistribusi kekuatan, yang memungkinkan kaum
terpinggirkan secara ekonomi dan politik untuk dilibatkan dalam perencanaan
pembangunan masa depan. Makna partisipasi yang mengacu pada pendapat
Arnstein adalah kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengatasi
persoalannya pada masa kini guna mencapai kehidupan yang lebih baik pada masa
mendatang. Adapun Cohen dan Uphoff (1980) dalam Nasdian (2014) membagi
partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan
masyarakat dalam rapat-rapat. Proses perencanaan bermaksud untuk melihat
sejauh mana kesadaran masyarakat dalam memberikan penilaian dan
menentukan pemilihan sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Seringkali
pengambilan keputusan dalam perencanaan yang dilakukan oleh stakeholders
hanya terpusat pada orang-orang yang memiliki kekuasaan, seperti pihak
perusahaan yang lebih merasa mampu dari segala bidang, sedangkan
masyarakat cenderung diabaikan bahkan tidak dilibatkan dalam proses ini,
padahal dalam proses perencanaan, keputusan yang dihasilkan sangat
bergantung pada keberhasilan aktivitas kemudian. Apabila masyarakat
diikutsertakan sebagai subyek dan mampu mengambil keputusan mandiri
maka akan lebih baik untuk keberlanjutan programnya.
2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan,
sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi
pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk
sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan
sebagai anggota proyek. Tahap pelaksanaan juga seringkali diartikan sebagai
tahap implementasi, bahwa pada tahap ini partisipasi tidak hanya bernilai
sebuah tindakan nyata, namun dapat pula secara tidak langsung memberikan
masukan untuk perbaikan program dan membantu melalui sumber daya.
Tahap pelaksanaan partisipatif sangat berbeda dengan top down dan bottom
up, namun partisipasi dapat berupa gabungan dari kedua pendekatan tersebut,
seperti yang bekerja bukanlah hanya pihak perusahaan, namun bersama
merumuskan kebutuhan kemudian membangun hal yang diperlukan. Seperti
contoh pelaksanaan top down hanya mengikuti instruksi dari pihak tertentu
baik instansi atau perusahaan tanpa secara langsung mengikuti kebutuhan
dari masyarakat sehingga banyak pelaksanaan pembangunan yang menjadi
sia-sia dan tidak berkelanjutan.
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini
merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan
pelaksanaan proyek selanjutnya. Evaluasi merupakan kemampuan
masyarakat dalam menilai baik-buruknya, berhasil-tidak berhasil, dan efektiftidak efektifnya suatu program. Pada tahapan ini masyarakat setingkat lebih

7

memahami kegunaan dan kerugian dari suatu program yang diberikan
sehingga mereka dapat menyusun dan mengeksekusi solusi atas penilaian
mereka. Evaluasi juga dapat menilai sejauhmana keberhasilan dan
keefektifan program yang mereka lakukan, sehingga mereka dapat
menentukan secara mandiri dan sadar apakah mereka harus melanjutkan atau
meninggalkan kegiatan tersebut. Evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam
cenderung lebih sesuai konteks dengan permulaan difasilitasi oleh orang luar.
Apabila evaluasi dilakukan oleh pihak lain hal ini tentunya menunjukkan
belum munculnya partisipasi dari masyarakat sendiri.
4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan
partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan,
maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut
berhasil mengenai sasaran. Pada tahapan ini masyarakat sudah mampu
merasakan keberhasilan dari program yang telah mereka lakukan. Mereka
juga dapat mengukur hasil yang mereka peroleh dengan potensi sendiri yang
mereka miliki.
Partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi
yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat.
Partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau
warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu Mardikanto (2003).
Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud bukanlah bersifat pasif tetapi
secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan
lebih tepat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok
sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan
atau profesinya sendiri. Pemikiran tentang partisipasi masyarakat juga diutarakan
oleh Slamet (2003), menurut beliau makna partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dapat diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam
pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan baik dari tahap
pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, juga ikut serta
memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Penekanannya disini
bahwa partisipasi dalam pembangunan bukan hanya berarti ikut menyumbangkan
sesuatu input ke dalam proses pembangunan, tetapi termasuk ikut memanfaatkan
dan menikmati hasil- hasil pembangunan. Sehingga dapat dikatakan keberhasilan
pembangunan nasional ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat, baik dalam
menyumbangkan masukan maupun dalam menikmati hasilnya.
Berdasarkan definisi atau pengertian tentang partisipasi dalam
pembangunan seperti diuraikan diatas, maka partisipasi dalam pembangunan
dapat dibagi menjadi lima jenis:
1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input
tersebut dan ikut menikmati hasilnya
2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya.
3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil
pembangunan secara lansung.
4. Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input.
5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.
Kemungkinan adanya jenis partisipasi yang lain masih ada, tetapi seperti halnya
dengan jenis ke-5, partisipasi semacam itu tidak dikehendaki oleh masyarakat,

8

karena tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil
pembangunan berarti pula bahwa masyarakat tidak naik tingkat hidup atau tingkat
kesejahteraannya (Slamet 2003).
Partisipasi secara umum dapat dimaknai sebagai hak warga masyarakat
untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap tahapan
pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian.
Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat atau objek belaka, melainkan
sebagai subjek pembangunan. Pandangan ini serupa dengan Abe (2002) yang
berpendapat bahwa partisipasi masyarakat merupakan hak, bukan kewajiban.
Orientasi pembangunan kepariwisataan perlu menempatkan fakta di atas sebagai
pertimbangan pokok dalam menumbuhkembangkan kapasitas dan kapabilitas
pada masyarakat (Beeton 2006). Hal ini dilakukan untuk dapat meningkatkan
pelayanan sekaligus merealisasikan peran sentral masyarakat dalam aktivitas
pembangunan kepariwisataan sesuai dengan harapan dan kemampuan yang
dimiliki.
Partisipasi intinya adalah sikap sukarela dari masyarakat untuk membantu
keberhasilan program pembangunan. Selain itu, partisipasi juga dapat dimaknai
sebagai bentuk keterlibatan mental sekaligus emosional seseorang dalam situasi
kelompok yang mendorongnya untuk ikut serta menyumbangkan kemampuan
dalam mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggung jawab atas tujuan
kelompok, termasuk pelaksanaan program-program tersebut. Pelibatan ini
membuat masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap proses
keberlanjutan program pembangunan. Pendekatan partisipatif yang dilaksanakan
diharapkan akan memberikan ruang bagi perkembangan aktivitas yang
berorientasi kompetisi dan tanggung jawab sosial oleh anggota komunitas itu
sendiri. Pentingnya partisipasi dalam pembangunan memberikan arti bahwa segala
hal yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan ekonomi, seperti menarik
investor luar, maka harus melibatkan warga (Bryson 1995).
Adiyoso (2009) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat merupakan
komponen terpenting dalam upaya pertumbuhan kemandirian dan proses
pemberdayaan. Pengabaian partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan
desa wisata menjadi awal dari kegagalan tujuan pengembangan desa wisata
(Nasikun 1997). Menurut Timothy (1999) ada dua perspektif dalam melihat
partisipasi masyarakat dalam pariwisata. Kedua perspektif tersebut adalah (1)
partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan, dan (2)
berkaitan dengan manfaat yang diterima masyarakat dari pembangunan
pariwisata. Timothy menekankan perlunya melibatkan masyarakat dalam
pengambilan keputusan dengan mengakomodasi keinginan dan tujuan masyarakat
lokal dalam pembangunan serta kemampuannya dalam menyerap manfaat
pariwisata.
Masyarakat yang berada di wilayah pengembangan harus didorong untuk
mengidentifikasi tujuannya sendiri dan mengarahkan pembangunan pariwisata
untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal. Selain
mengikutsertakan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan, Timothy
memandang pentingnya mengikutsertakan pemangku kepentingan, yaitu
pemerintah, swasta, dan anggota masyarakat lainnya untuk turut ambil bagian
dalam pengambilan keputusan dan melihat pentingnya pendidikan kepariwisataan
bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, terutama dalam

9

menerima manfaat pariwisata. Dengan demikian, perencanaan pembangunan
pariwisata harus mengakomodasi keinginan dan kemampuan masyarakat lokal
untuk berpartisipasi serta memperoleh nilai manfaat yang maksimal dari
pembangunan pariwisata. Partisipasi masyarakat lokal sangat dibutuhkan dalam
pengembangan desa wisata karena masyarakat lokal sebagai pemilik sumber daya
pariwisata yang ditawarkan kepada wisatawan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
Perencanaan dan pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat
secara optimal melalui musyawarah dan mufakat setempat (Dalimunthe 2007).
Bentuk Partisipasi masyarakat meliputi enam kriteria, yakni:
1. Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lain dalam proses
perencanaan dan pengembangan ekowisata.
2. Membuka kesempatan dan mengoptimalkan peluang bagi masyarakat untuk
mendapat keuntungan dan berperan aktif dalam kegiatan ekowisata.
3. Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat untuk
melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap dampak negatif yang
ditimbulkan.
4. Meningkatkan keterampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang
berkaitan dan menunjang pengembangan ekowisata.
5. Mengutamakan peningkatan ekonomi lokal dan menekan tingkat pendapatan
(leakage) serendah-rendahnya, dan
6. Meningkatkan pendapatan masyarakat.
Namun, dalam pelaksanaannya terdapat faktor eksternal dan internal yang
mempengaruhi partisipasi dari masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi
partisipasi masyarakat menurut (Pangestu 1995) adalah sebagai berikut: faktor
internal, yaitu yang mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi
individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu
mencakup usia, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah pendapatan,
dan pengalaman berkelompok. Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi partisipasi anggota, yang dinyatakan dalam besarnya
jumlah jiwa yang ditanggung oleh anggota dalam keluarga. Menurut Ajiswarman
(1996), semakin besar jumlah anggota keluarga menyebabkan waktu untuk
berpartisipasi dalam kegiatan akan berkurang karena sebagian besar waktunya
digunakan untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Murray
dan Lappin (1967) menyatakan bahwa terdapat faktor internal lain, yang
mempengaruhi partisipasi yaitu lama menetap. Semakin lama menetap di suatu
tempat, semakin besar rasa memiliki dan perasaan dirinya sebagai bagian dari
lingkungannya, sehingga timbul keinginan untuk selalu menjaga dan memelihara
lingkungan dimana dia tinggal. Adapun usia yang berpengaruh, hal tersebut
karena semakin tua seseorang, relatif berkurang kemampuan fisiknya dan keadaan
tersebut akan mempengaruhi partisipasi sosialnya (Tamarli 1994). Oleh karena
itu, semakin muda usia seseorang, semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam
suatu kegiatan atau program tertentu. Sama halnya dengan pendapat Silaen
(1998), semakin tua usia seseorang maka penerimaannya terhadap hal-hal baru
semakin rendah. Hal ini karena orang yang masuk dalam golongan tua cenderung
selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima halhal yang sifatnya baru.

10

Adapun faktor eksternal yaitu metode pelaksanaan kegiatan, metode kegiatan
yang dua arah atau interaktif dapat lebih meningkatkan partisipasi seseorang
(Arifah 2002). Hal tersebut dapat menumbuhkan hubungan yang terjalin antara
pihak pengelola proyek dengan sasaran, karena sasaran akan dengan sukarela
terlibat dalam suatu proyek jika sambutan pihak pengelola positif dan
menguntungkan mereka. Kemudian bila didukung dengan pelaksanaan kegiatan
yang positif dan tepat dibutuhkan oleh sasaran, maka sasaran tidak akan ragu-ragu
untuk berpartisipasi dalam proyek tersebut. Ada beberapa faktor yang dapat
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi. Faktor-faktor tersebut antara lain
adalah kondisi yang kondusif untuk berpartisipasi. Kondisi-kondisi tersebut
menurut Nasdian (2002) antara lain:
1. Masyarakat akan berpartisipasi jika mereka memandang penting issueissue atau aktivitas tertentu.
2. Masyarakat akan berpartisipasi jika mereka merasa bahwa tindakannya
akan membawa perubahan, khususnya di tingkat rumah tangga atau
individu.
3. Perbedaan bentuk-bentuk partisipasi dan didukung dalam partisipasinya.
Selain faktor eksternal dan internal, faktor penghambat selanjutnya menjadi
salah satu hal yang biasa dihadapi dalam pelaksanaan sebuah kegiatan yang
membutuhkan partisipasi masyarakat di dalamnya. Faktor penghambat Tosun
(2000) telah membagi hambatan partisipasi mayarakat kedalam tiga bagian
hambatan operasional, hambatan struktural dan, hambatan budaya/cultural. Pada
penelitian sebelumnya Mustapha et al. (2013) telah mengkatagorikan ketiga tipe
hambatan.
1. Tipe hambatan operational seperti: keengganan pemegang saham terhadap
berbagi kekuasaan, sentralisasi administrasi publik, dan kurangnya
informasi.
2. Tipe Hambatan structural yaitu: Dominasi Elite, Kurangnya sumber daya
keuangan, Sikap profesional, dan Kurangnya hukum yang sesuai sistem.
3. Tipe hambatan cultural yaitu: Terbatasnya kemampuan masyarakat orang
miskin, apatis, dan rendahnya tingkat kesadaran di komunitas lokal.
Konsep Desa Wisata
Inskeep (1991) mengatakan bahwa desa wisata merupakan bentuk
pariwisata, yang sekelompok kecil wisatawan tinggal di dalam atau di dekat
kehidupan tradisional atau di desa-desa terpencil dan mempelajari kehidupan desa
dan lingkungan setempat. Nuryanti (1992) mendefinisikan desa wisata merupakan
suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang
disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata
cara dan tradisi yang berlaku. Ditegaskan pula bahwa komponen terpenting dalam
desa wisata, adalah
1. Akomodasi, yakni sebagian dari tempat tinggal penduduk setempat dan
unit-unit yang berkembang sesuai dengan tempat tinggal penduduk, dan
2. Atraksi, yakni seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta
latar fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan
sebagai partisipan aktif, seperti kursus tari, bahasa, lukis, dan hal-hal lain
yang spesifik.

11

3. Fasilitas pendukung, yakni sarana yang mampu memudahkan kegiatan
wisata yang dilaksanakan, seperti WC umum, toilet, tempat parkir.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata membuat suatu program yang
bernama Pariwisata Inti Rakyat (PIR) atau dengan istilah lainnya yaitu
community-based
tourism.
Menurut
PIR,
desa
wisata
adalah
suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang
mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial
budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata
ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta
mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan,
misalnya : atraksi, akomodasi, makanan-minuman, dan kebutuhan wisata lainnya.
Berdasarkan pengembangan pariwisata dan kualitas dari objek dan daya tarik
wisata yang dijadikan sebagai kriteria utama, pariwisata berbasis masyarakat
dapat diklasifikasikan menjadi 7 sebagaimana terdapat dalam Development of
Community Based Tourism: Final Report 2003 (Purnamasari 2011) yaitu:
1. Basic Visitor facilities. Tipe ini terdiri atas fasilitas pariwisata yang sangat
mendasar seperti akomodasi home stay dan restoran yang melayani
pengunjung. Tipe ini biasanya diperuntukkan bagi desa yang terletak di rute
yang menuju objek dan daya tarik wisata. Tipe ini tidak melibatkan
organisasi kemasyarakatan dan pada tipe ini, manfaat ekonomi yang diterima
masyarakat lokal masih sedikit.
2. Basic visitor facilities plus tourism theme. Pada tipe ini, biasanya disediakan
fasilitas dasar dengan tema tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan
jumlah pengunjung, misalnya dengan menetapkan tema pertanian organik
atau wisata alam. Tipe pengembangan pariwisata ini masih berskala kecil dan
biasanya merupakan inisiatif dari pengusaha lokal.
3. Handicraft Villages. Pengembangan tipe ini biasanya dilakukan pada desadesa yang berfungsi sebagai pusat lokasi produksi dan penjualan barang hasil
kerajinan, dan juga merupakan desa yang masih kurang atau bahkan tidak
memiliki atraksi lainnya. Pengelolaannya cenderung berdasarkan pada ikatan
keluarga atau kelompok dan menggunakan tenaga kerja lokal.
4. Hotels and Villages Communities. Masyarakat di daerah ini berada di sekitar
hotel atau resort yang pembangunannya terintegrasi. Masyarakat mendapat
manfaat langsung dan tidak langsung dari pengembangan pariwisata tipe ini.
Manfaat yang dapat langsung dirasakan masyarakat yaitu terbukanya
lapangan pekerjaan dan pelatihan baik di hotel maupun di pusat penjualan
barang produksi kerajinan, sedangkan manfaat lainnya adalah pembangunan
infrastruktur berupa jalan, pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan,
dll.
5. Traditional Tourism Villages. Pengembangan pariwisata tipe ini menonjolkan
budaya dan adat istiadat perdesaan, gaya hidup masyarakat, dan arsitektur
tradisional yang dikemas dalam lingkungan yang menarik.
6. Community Close To primary Tourism Attraction. Daya tarik dari desa ini
adalah atraksi wisata alam dan buatan yang dipadukan sehingga menarik
wisatawan dan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat.
7. Integrated and Organized Community Based Tourism. Tipe ini terorganisasi
dan terintegrasi dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.

12

Adapun karakteristik pariwisata berbasis masyarakat yang diterapkan
“Saint Lucida Heritage” antara lain: melibatkan perencanaan partisipatif dalam
setiap tahapan, menciptakan kesempatan pendidikan dan
pelatihan bagi
masyarakat lokal, mendukung lembaga masyarakat, mendorong kohesi sosial,
menciptakan kebanggaan masyarakat, meningkatkan pengembangan individu
dalam mengurangi aliran desa-kota, meningkatkan nilai tambah untuk budaya dan
tradisi lokal, menyediakan keuntungan infrastruktur, menciptakan kesempatan dan
pekerjaan dengan kegiatan ekonomi baru, tidak mengubah kegiatan ekonomi yang
sudah ada, menciptakan hubungan ekonomi antar sektor, menyediakan pasar
untuk promosi barang dan jasa, berkontribusi untuk pembangunan yang seimbang;
memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, tetapi tidak
mengeksploitasi, memperkecil dampak lingkungan, mendorong masyarakat agar
tidak konsumtif dalam menggunakan sumber daya (Purnamasari 2011). Kaitannya
dengan konsep pengembangan desa wisata, Pearce (1995) mengartikan
pengembangan desa wisata sebagai suatu proses yang menekankan cara untuk
mengembangkan atau memajukan desa wisata. Secara lebih spesifik,
pengembangan desa wisata diartikan sebagai usaha-usaha untuk melengkapi dan
meningkatkan fasilitas wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Selain itu,
komponen penting yang perlu ada dalam pengembangan desa wisata itu sendiri
adalah partisipasi masyarakat lokal, sistem norma setempat, sistem adat setempat,
budaya setempat (Dewi 2013).
Berdasarkan agenda WTO (2000) untuk pariwisata berkelanjutan, terlihat
bahwa pariwisata berbasis masyarakat fokus pada dampak sosial-budaya. Prinsip
penerapan pariwisata berbasis masyarakat adalah sebagai berikut: small scale,
tahapan dimulai dari lapis paling bawah, menekankan pada pemenuhan basic
needs dan self reliance; proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat
dan otoritas tertinggi ada di tangan masyarakat lokal, memegang prinsip-prinsip
kesamaan sekaligus perbedaan dan ketimpangan, optimalisasi pemanfaatan
sumber daya lokal, tidak mengabaikan identitas masyarakat lokal, menekankan
pada human capital bukan financial capital, dan menekankan pada manfaat dan
distribusi produksi bukan akumulasi modal/capital Purnamasari (2011).
Pengembangan desa wisata di Indonesia lebih banyak difasilitasi negara,
sedangkan masyarakat cenderung pasif. Bottom up planning memaksa komunitas
lokal untuk berpikir dan bergerak guna merancang dan memutuskan pola
pembangunan pariwisata yang memihak kepentingan komunal. Mubyarto (1988)
menegaskan bahwa partisipasi merupakan kesediaan membantu berhasilnya
program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti harus
mengorbankan kepentingan sendiri.
Konsep Taraf Hidup Masyarakat
Menurut BPS (2007) taraf hidup merupakan tingkat kemampuan seseorang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Taraf hidup berdasarkan BPS (2007) yaitu
variabel kemiskinan meliputi: pendapatan, status rumah, jenis dinding, jenis
lantai, fasilitas MCK, sumber penerangan rumah tangga, sumber air minum,
bahan bakar untuk memasak, pengeluaran konsumsi per bulan, akses kesehatan,
akses pendidikan, aset kepemilikan. Hasil dari pengukuran indikator tingkat taraf
hidup masyarakat dapat menunjukkan pengaruh partisipasi masyarakat terhadap
tingkat taraf hidupnya.

13

Beberapa indikator taraf hidup hanya melihat taraf hidup masyarakat
sesuai dengan keadaan sekitar. Keberhasilan pengembangan desa wisata memiliki
dampak penting terhadap taraf hidup masyarakat, karena melalui kegiatan wisata
yang dikembangkan di wilayah tersebut menyebabkan peningkatan ekonomi yang
selanjutnya dapat berpengaruh pada peningkatan taraf hidup masyarakat.
Meningkatnya kunjungan wisatawan ke desa wisata tentu akan berdampak pada
meningkatnya perekonomian masyarakat pedesaan (Soekarya 2011). Dampak
yang muncul dari suatu kegiatan wisata, yaitu munculnya dampak ekonomi.
Dampak positif yang muncul dari adanya dampak ekonomi dapat bersifat
langsung. Selain dampak positif langsung yang muncul, ada dampak lain yang
akan timbul, seperti dampak tidak langsung. Dampak tidak langsung berupa
aktivitas ekonomi lokal dari suatu pembelanjaan unit usaha penerima dampak
langsung dan dampak lanjutan. Dampak lanjutan ini dapat diartikan sebagai
aktivitas ekonomi lokal lanjutan dari tambahan pendapatan masyarakat lokal.
Dampak ekonomi yang ditimbulkan dari kegiatan wisata pada dasarnya dilihat
dari keseluruhan pengeluaran wisatawan untuk akomodasi, konsumsi (baik
konsumsi dari rumah maupun di lokasi wisata), biaya perjalanan ke lokasi wisata,
pembelian cinderamata, serta pengeluaran lainnya.

14

Kerangka Pemikiran
Partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata sangat dibutuhkan
untuk keberhasilan pengembangan desa wisata. Ukuran partisipasi masyarakat
dapat dilihat melalui keikutsertaan masyarakat dalam tahapan partisipasi seperti
yang dikemukankan oleh Cohen dan Uphoff (1980) dalam Nasdian (2014) yaitu
pengambilan keputusan, pengelolaan, evaluasi, dan menikmati hasil. Namun,
dalam pelaksanaannya terdapat faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi
partisipasi dari masyarakat itu sendiri.
Beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat menurut
(Pangestu 1995) adalah sebagai berikut: faktor internal, yaitu karakteristik
individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam
suatu kegiatan. Karakteristik individu mencakup usia, tingkat pendidikan, dan
jumlah anggota keluarga. Usia berpengaruh terhadap tingkat partisipasi karena
semakin tua seseorang, relatif berkurang kemampuan fisiknya dan keadaan
tersebut akan mempengaruhi partisipasi sosialnya (Tamarli 1994). Oleh karena
itu, semakin muda usia seseorang, semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam
suatu kegiatan atau program tertentu. Sama halnya dengan pendapat Silaen
(1998), semakin tua usia seseorang maka penerimaannya terhadap hal-hal baru
semakin rendah. Hal ini karena orang yang masuk dalam golongan tua cenderung
selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima halhal yang sifatnya baru.
Jumlah angota keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
partisipasi anggota, yang dinyatakan dalam besarnya jumlah jiwa yang ditanggung
oleh anggota dalam keluarga. Menurut Ajiswarman (1996), semakin besar jumlah
anggota keluarga menyebabkan waktu untuk berpartisipasi dalam kegiatan akan
berkurang karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi
memenuhi kebutuhan keluarga. Murray dan Lappin (1967) menyatakan bahwa
terdapat faktor internal lain, yang mempengaruhi par