Kajian Efektivitas Pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus Terhadap Pembangunan Pertanian

KAJIAN EFEKTIVITAS PENGALIHAN
DANA TUGAS PEMBANTUAN KE DANA ALOKASI KHUSUS
TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN

ARDIANI AGUSTINA RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Kajian Efektivitas
Pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus Terhadap
Pembangunan Pertanian adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Ardiani Agustina Rahmawati
NIM H152120211

RINGKASAN
ARDIANI AGUSTINA RAHMAWATI. Kajian Efektivitas Pengalihan Dana
Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus Terhadap Pembangunan Pertanian.
Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan ALLA ASMARA.
Pembangunan sektor pertanian antar daerah di Indonesia, masih terdapat
kesenjangan, dan berdampak terhadap lambatnya laju pembangunan pertanian,
sehingga dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal, melalui top down
planning diharapkan adanya pemerataan pembangunan pertanian. Mekanisme top
down planning melalui pengalihan dana Tugas Pembantuan (TP) ke Dana Alokasi
Khusus (DAK) sektor pertanian memiliki tujuan untuk menertibkan sistem
pendanaan di daerah dengan menerapkan prinsip money follow function, yaitu
memberikan kewenangan bagi daerah dalam hal penanganan urusan yang
sebelumnya menjadi kewenangan pusat, serta meningkatkan besaran alokasi dana
di daerah melalui transfer daerah, sehingga diharapkan dengan adanya pengalihan
dana TP ke DAK sektor pertanian dapat meningkatkan pertumbuhan

pembangunan sektor pertanian, yang arahnya adalah menciptakan pemerataan
pendapatan daerah serta meningkatkan kesejahteraan petani.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat keefektivan perencanaan
dan pelaksanaan dalam pengalihan TP ke DAK, melihat peranan anggaran TP
dan DAK saat tidak ada pengalihan terhadap pembangunan pertanian, serta
menganalisis efektivitas pengalihan anggaran
TP
ke DAK terhadap
pembangunan pertanian. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis deskriptif dan analisis regresi panel, yaitu interaksi antara time
series dengan cross section, dengan menggunakan data time series dari tahun
2012-2014 dan data cross section dari 32 provinsi di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalihan dana Tugas Pembantuan
ke Dana Alokasi Khusus dalam pembangunan pertanian, yang diperoleh melalui
kuesioner dan wawancara rata-rata adalah efektif. Variabel realisasi anggaran
efektif terhadap pembangunan pertanian pada saat pengalihan sebesar
62,50%,realisasi kegiatan efektif terhadap pembangunan pertanian pada saat
pengalihan sebesar 64,06%, variabel pedoman pelaksanaan efektif terhadap
pembangunan pertanian pada saat pengalihan sebesar 57,81%, variabel sumber
daya manusia efektif terhadap pembangunan pertanian pada saat pengalihan

sebesar 38,54% dan variabel kelembagaan efektif terhadap pembangunan
pertanian pada saat pengalihan sebesar 53,90%. Kondisi tersebut mengindikasikan
bahwa pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap
pembangunan pertanian dari variabel yang digunakan hanya variabel sumber
daya manusia yang menunjukkan tidak efektif, sedangkan variabel lainnya adalah
efektif.
Hasil estimasi model regeresi panel data menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi efektivitas pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana
Alokasi Khusus Terhadap Pembangunan Pertanian, yaitu 1) Dana Tugas
Pembantuan, 2) Dana Alokasi Khusus, 3) Tenaga Kerja Pertanian, 4) Nilai Tukar
Petani, dan 5) Penduduk Miskin di pedesaan,

pengaruh positif kepada dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus terhadap
pembangunan pertanian baik pada saat tidak dilakukan pengalihan, dan juga pada
saat pengalihan dilakukan.
Melalui penelitian ini diharapakan kepada para pengambil kebijakan
pembangunan pertanian bahwa dari hasil penelitian, untuk meningkatkan
kesejahteraan petani dapat dilakukan dengan langkah kebijakan, yaitu 1)
pengalihan dana tugas pembantuan ke dana alokasi khusus untuk tetap
dilanjutkan, dalam rangka meningkatkan pembangunan pertanian yang merata, di

seluruh daerah di Indonesia, 2) melalui kebijakan desentralisasi fiskal,
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi lebih mudah untuk diwujudkan.
Kata kunci: Pertanian, Tugas Pembantuan, Dana Alokasi Khusus, Efektivitas

SUMMARY
ARDIANI AGUSTINA RAHMAWATI. Study of the
Transfer
Effectiveness Co-Administered Fund to Special Allocation Fund toward
Agricultural Development. Supervised by BAMBANG JUANDA and ALLA
ASMARA.
Nowadays, there is a gap on the development of the agricultural sector between
regions in Indonesia, so that are the impact of the slow pace of agricultural
development, so that with the policy of fiscal decentralization, through top-down
planning is expected for equitable agricultural development. Mechanism top down
planning through transfer of Co-Administration Fund (TP) to the Special
Allocation Fund (DAK) , has aim to curb the financing system in the area by
applying the principle of money follow function, which gives authority to the
regions in terms of handling the affairs of the earlier to the central authority, as
well as increasing the amount of the allocation of funds in the region through the
transfer area, which is expected by the transfer of funds Co-Administration Fund

(TP) to Special Allocation Fund (DAK) to agricultural sector can boost the growth
of agricultural sector development, which direction are created equal distribution
of income and welfare of farmers.
This study aim to know the effectiveness of the planning and execution of
the transfer of TP to DAK, see the role of TP and DAK budget when there is no
diversion to agricultural development, as well as analyze the effectiveness of the
transfer of TP to DAK budget to agricultural development. The analytical method
used in this research is descriptive analysis and regression analysis of panel, ie the
interaction between time series with cross section, using time series data from the
years 2012-2014 and a cross section of 32 provinces in Indonesia.
The results showed that the diversion of funds Assistance to the Special
Allocation Fund for agricultural development, which is obtained through question
and interviews are an effective average. Variable realization of effective budgets
to agricultural development at the time of transfer amounted to 62.50%, the
realization of effective activity against agricultural development at the time of
transfer amounted to 64.06%, variable guidelines for the effective implementation
of the agricultural development at the time of transfer amounted to 57.81%,
variable resource humans effective against agricultural development at the time of
transfer amounted to 38.54% and institutional variables effectively to agricultural
development at the time of transfer amounted to 53.90%. The condition indicates

that the diversion of funds Assistance to the Special Allocation Fund (DAK) for
agricultural development of the variables used only variable that shows the human
resources are not effective, while the other variable is effective.
Results of model estimation regeresi panel data show the factors that
influence the effectiveness of the transfer of Co-Administration Fund to the
Special Allocation Fund to Agricultural Development, namely 1) CoAdministration Fund, 2) Special Allocation Fund, 3) Labor Agriculture, 4)
Farmers Exchange Rate and 5) Rural Poor. Positive influence on CoAdministration Fund to Special Allocation Funds to agricultural development is
not good at the time when the transfer done.

Through this research is expected to policy maker and agricultural
development that results of research, to improve the welfare of farmers can be
done by policy measures, namely 1) the transfer of funds assistance duty to a
special allocation to be continued, in order to increase agricultural development
evenly throughout regions in Indonesia, 2) through fiscal decentralization policy,
economic growth and equity is easier to achieve.
Keywords: agricultural, effectiveness, co-administration, special allocation fund.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN EFEKTIVITAS PENGALIHAN
DANA TUGAS PEMBANTUAN KE DANA ALOKASI KHUSUS
TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN

ARDIANI AGUSTINA RAHMAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si

PRAKATA
Segala puji hanya milik Allah SWT, shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan tesis penelitian dengan judul “Kajian
Efektivitas Pengalihan Dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus
Terhadap Pembangunan Pertanian“.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda,
MS dan Bapak Dr. Alla Asmara, SPt, MSi selaku komisi pembimbing, atas
curahan waktu, arahan, bimbingan dan dorongan semangat sejak penyusunan
proposal, penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga menghaturkan
terimakasih kepada Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Dekan Fakultas Ekonomi
Manajemen beserta staf atas pelayanan yang diberikan selama penulis menempuh
studi di PWD IPB.
Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Dr. Ir. Riwantoro, MM beserta

seluruh jajaran staf Sekretariat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi
Pascasarjana di Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Fakultas
Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor. Kepada teman-teman
seperjuangan di Program Studi PWD angkatan 2012, terimakasih atas
kebersamaan, dukungan, dan jalinan kekeluargaan yang telah dan tetap akan
terjalin hingga masa yang akan datang.
Ungkapan cinta dan terima kasih yang sebesar besarnya penulis sampaikan
kepada kedua orang tua, Bapak Bambang Sutedjo dan Mama Enny Yusuf
Wachidah Yuniwarti. Suami tercinta Iwan Hernawan Hanafi, putra-putriku
tersayang Muhammad Fadhil Hanafi dan Aulia Irdina Hanafi, terimakasih atas
doa, kesabaran, kasih sayang dan motivasi yang tak terhingga bagi penulis.
Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016
Ardiani Agustina Rahmawati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1

1
5
6
6
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Efektivitas Anggaran
Dana Tugas Pembantuan (TP) Pertanian
Dana Alokasi Khusus (DAK) Pertanian
Pengalihan Tugas Pembantuan (TP) ke Dana Alokasi Khusus
Pembangunan Pertanian
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

8
8
9
10
12
13
14
14
16

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan Data
Metode Analisis Data

19
18
18
19
19
23

4 GAMBARAN UMUM
Serapan Anggaran Pertanian di Indonesia
Dana Tugas Pembantuan
Dana Alokasi Khusus
Pembangunan Pertanian di Indonesia
Tenaga Kerja Pertanian
Nilai Tukar Petani (NTP)
Penduduk Miskin

25
25
25
28
31
32
33
35

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Efektivitas Perencanaan dan Pelaksanaan Pengalihan Dana Tugas
Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus terhadap Pembangunan Pertanian
Analisis Pelaksanaan Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus
terhadap Pembangunan Pertanian saat tidak dilaksanakan kebijakan
pengalihan
Analisis Efektivitas Pengalihan Tugas pembantuan ke Dana Alokasi
Khusus terhadap Pembangunan Pertanian

36
36

41
43

5 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan

51
51
51

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
Alokasi anggaran fungsi pertanian periode tahun anggaran 2012-2014
3
Indikator penilaian tingkat efektivitas dalam perencanaan dan
pengalihan anggaran
21
Bentuk Regresi Panel Data
23
Serapan anggaran Tugas Pembantuan per propinsi tahun 2012-2014
25
Prosentase serapan dana Tugas Pembantuan bidang pertanian
tahun 2012-2014
28
Serapan dana Tugas Pembantuan bidang pertanian tahun
2012-2014
30
Serapan Dana Alokasi Khusus bidang pertanian tahun
2012-2014
32
PDRB sektor pertanian menurut lapangan usaha atas dasar harga
konstan tahun 2012 -2014
33
9 Tenaga kerja sektor pertanian (ribu orang) tahun 2012-2014
34
10 Persentase Nilai Tukar Petani di Indonesia tahun 2012-2014
36
11 Jumlah penduduk Miskin pedesaan tahun 2012-2014
37
12 Hasil Estimasi persamaan efektivitas pengalihan dana Tugas Pembantuan
ke Dana Alokasi Khusus
38
13 Alokasi anggaran fungsi pertanian tahun 2012-2014
39

DAFTAR GAMBAR
1.

PDRB sektor pertanian menurut pulau di Indonesia 2012-2014

1
2.

Kerangka

Pemikiran

Penelitian

19
3.

Serapan

dana

Tugas

Pembantuan

di

32

propinsi

27
4.

Serapan

dana

Alokasi

Khusus

32

propinsi

31
Efektivitas anggaran pada pengalihan dana tugas pembantuan ke
dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian
Efektivitas kegiatan pada pengalihan dana tugas pembantuan ke
dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian
Efektivitas pedoman pelaksanaan pada pengalihan dana tugas
pembantuan ke dana alokasi khusus terhadap pembangunan
pertanian
Efektivitas sumber daya manusia pada pengalihan dana
tugas pembantuan ke dana alokasi khusus terhadap pembangunan
pertanian
Efektivitas kelembagaan pada pengalihan dana tugas pembantuan ke
dana alokasi khusus terhadap pembangunan pertanian

5.

6
7

8

9

38
39

41

42
43

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian yang mencakup sub sektor tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan dan peternakan memiliki peranan yang sangat penting di Indonesia.
Sektor pertanian merupakan penyokong utama ketahanan pangan, dan mampu
memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk, dengan total jumlah penduduk
Indonesia saat ini adalah 25.5461.70 ribu jiwa (BPS,2015), dari jumlah penduduk
tersebut, sebanyak 61.204.882 jiwa bermata pencaharian sebagai petani dan
tinggal di pedesaan. Dengan adanya ketimpangan jumlah penduduk yang tinggal
di desa dan kota tersebut, dapat menyebabkan terjadinya ketidakmerataan
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, khususnya pada pertumbuhan ekonomi
pertanian. Siregar, et al (2008) menyatakan pertumbuhan ekonomi antar wilayah
yang mengalami ketimpangan, dapat dilihat dari share PDRB pertanian masingmasing wilayah tersebut. Adapun tingkat pertumbuhan ekonomi yang
menggambarkan pertumbuhan pembangunan pertanian di Indonesia, dapat dilihat
dari share PDRB sektor pertanian antar wilayah dari tahun 2012-2014, yang
terdapat pada gambar 1 berikut.
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000

2012
2013

5.000

2014

-

Sumber : BPS, 2014 (data diolah)
Gambar 1. PDRB sektor pertanian menurut Pulau di Indonesia 2012-2014
Dari gambar PDRB sektor pertanian diatas, dapat kita lihat pertumbuhan
sektor pertanian masih terpusat di wilayah pulau Jawa dengan nilai PDRB
pertanian rata rata duapuluh enam miliar rupiah per tahun, pulau Sumatera dengan
nilai rata rata PDRB pertanian sebesar sembilan miliar rupiah, sedangkan untuk
pulau Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah Indonesia Timur PDRB pertaniannya
rata-rata dibawah dua miliar rupiah per tahun.

2
Dari gambar diatas tersebut, dapat dilihat pertumbuhan sektor pertanian dari
share PDRB pertanian ternyata, pertumbuhan sektor pertanian terpusat di wilayah
pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan untuk pulau Kalimantan, Sulawesi dan
wilayah Indonesia Timur share PDRB pertaniannya lebih rendah.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan pertanian pada
suatu daerah menurut Simatupang (2000) selain anggaran, adalah tenaga kerja
pertanian dan tingkat kesejahteraan petani. Melihat kondisi ketidakmerataan
angka PDRB pertanian di tiap wilayah, dapat mengakibatkan ketimpangan dalam
pembangunan pertanian antar wilayah. Keadaan tersebut tentu saja dapat
mengganggu stabilitas keamanan pangan nasional, yang akan berdampak terhadap
pertumbuhan ekonomi pembangunan pertanian.
Sementara itu Pemerintah Indonesia dalam Muslim (2002), dijelaskan telah
memposisikan sektor pertanian sebagai sektor penting dalam perekonomian.
Selama dua dekade lebih pembangunan pertanian menjadi prioritas pokok dalam
pembangunan, dengan komitmen kuat dari pemerintah dalam pembangunan
pertanian tersebut diwujudkan dalam belanja publik untuk pertanian, subsidi
pertanian, pembangunan infrastruktur pertanian, kelembagaan dan kesisteman
pertanian.
Sejak diamanatkannya kebijakan desentralisasi di Indonesia, berdasarkan
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perlu dilakukan penataan hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Penataan hubungan yang
dimaksud seperti tercantum dalam peraturan tersebut, adalah tentang perubahan
pola hubungan keuangan antara pusat dengan daerah. Perubahan pola pengaturan
keuangan, dicerminkan pada anggaran dan program kegiatan yang sebelumnya
dilakukan dengan mekanisme top down planning atau sentralisasi, yaitu sistem
yang dilakukan dengan arahan penuh dari Pemerintah Pusat, untuk selanjutnya
dialihkan dengan mekanisme bottom up planning atau desentralisasi, yaitu sistem
yang dilaksanakan berdasar dari keinginan dan kebutuhan dari masyarakat,
sedangkan Pemerintah Pusat memfasilitasi. Secara lebih spesifik, dapat dikatakan
penataan ini berperan untuk mengembalikan peranan pemerintah provinsi sebagai
penghubung antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota (DJPK,
2009).
Konsep desentralisasi atau sering disebut dengan istilah money follow
function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada
pemerintah daerah akan selalu disertai dengan pembagian kewenangan dalam hal
keuangan (Sariasih dan Adisasmito,2007). Pendelegasian sebagian urusan
keuangan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan
konsekuensi dari pencapaian taraf hidup masyarakat yang lebih baik (Wibowo,
2008).
Desentralisasi yang diterapkan di Indonesia dilakukan dengan pendelegasian
atau pelimpahan wewenang kepada daerah untuk melaksanakan urusan-urusan
dasar pelayanan publik disertai dengan pelimpahan pembiayaan melalui alokasi
dana yang lebih besar dan lebih leluasa. Pelimpahan wewenang tersebut meliputi
penyerahan tanggung jawab kepada daerah, tetapi pengawasan tetap berada di
pusat (Sarundjang, 2001).

3
Kondisi tersebut bertujuan agar peningkatan kesejahteraan masyarakat lebih cepat
dan lebih tepat, karena seluruh proses dilakukan oleh daerah setempat yang
diasumsikan lebih berkepentingan dan lebih mengetahui kebutuhan
masyarakatnya.
Kebijakan desentralisasi ini dianggap penting dan diperlukan untuk
membuat pemerintah daerah lebih kreatif, efektif dan efisien dalam meningkatkan
fungsi-fungsi publik untuk kesejahteraan masyarakat di daerah (Utami, 2010).
Salah satu kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan yang
diserahkan kepada daerah adalah pelayanan dalam bidang pertanian. Pertanian
merupakan salah satu bidang strategis yang perlu mendapat perhatian serius,
mengingat sektor pertanian memberikan kontribusi utama terhadap penyediaan
bahan pangan, bahan baku industri dan pakan.
Dengan demikian prioritas di bidang pertanian memang sangat diperlukan,
mengingat kebutuhan pangan, sarana prasarana infrastruktur lahan dan air, akses
perbenihan dan perbibitan, kelembagaan usaha ekonomi produktif, serta sistem
pertanian yang efektif akan menciptakan pertanian yang kuat dan mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi pertanian yang kokoh sesuai dengan strategi
tiga jalur (triple track strategy), yaitu pro growth, pro employment, dan pro poor
(Renstra Kementan 2010-2014). Pembangunan pertanian dapat meningkatkan
ketahanan pangan melalui peningkatan jumlah ketersediaan pangan, yang
ditunjukkan dengan peningkatan produktivitas tanaman pangan dan lonjakan
produksi peternakan, sehingga dapat dikatakan bahwa pembagunan pertanian
yang produktif menjadi basis pembangunan ekonomi (Arifin, 2013).
Mengacu pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, berdasarkan Pasal 11 ayat (3) jis Pasal 13 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (2),
disebutkan urusan pertanian merupakan urusan pilihan, tetapi mengingat pertanian
merupakan tulang punggung perekonomian nasional dan juga merupakan tulang
punggung ekonomi sebagian besar daerah (provinsi dan kabupaten/kota), maka
sebaiknya provinsi dan kabupaten/kota menetapkan urusan pertanian menjadi
urusan pertama yang akan dikembangkan di wilayahnya, seperti yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, yaitu telah menetapkan pertanian sebagai sektor
strategis dalam mengembangkan ekonomi Indonesia dengan melakukan
revitalisasi pertanian. Program revitalisasi pertanian tersebut, akan berjalan
dengan baik apabila didukung oleh anggaran dan kebijakan program yang sesuai
dengan kebutuhan daerah khususnya petani. Selama periode tahun 2012-2014,
alokasi APBN di Kementerian Pertanian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Alokasi anggaran fungsi pertanian periode tahun anggaran 2012-2014
(miliar rupiah)
Tahun
2012
2013
2014

Dekon dan TP
18 843.7
17 819.5
15408. 6

Sumber: Biro Perencanaan Kementan.

Alokasi APBN
DAK
1 879.5
2 542.3
2 579.5

4
Jika dilihat dari porsi anggaran sektor pertanian, baik dari dana tugas
pembantuan maupun dana alokasi khusus, yang setiap tahunnya meningkat.
Ternyata keluaran yang dihasilkan, dirasa belum sesuai dengan yang tertera pada
Buku I Bappenas Rencana Kinerja Pemerintah, bab 19 tentang Revitalisasi
Pertanian yang menyebutkan bahwa kesejahteraan petani masih rendah dan
tingkat kemiskinan relatif tinggi. Hal tersebut ditandai dengan kondisi sebagai
berikut: 1) pendapatan petani masih rendah baik secara nominal maupun secara
relatif dibandingkan dengan sektor lain; 2) usaha pertanian masih dalam skala
kecil dengan modal terbatas, serta teknologi yang sederhana; 3) terbatasnya
ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air; 4) lemahnya sistem
perbenihan dan pembibitan nasional; 5) lemahnya kapasitas dan kelembagaan
petani dan penyuluh; 6) masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi;
serta 7) belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian.
Kondisi tersebut diatas diperkuat oleh pernyataan Arifin (2013), bahwa
alokasi anggaran sektor pertanian semakin meningkat setiap tahunnya, dan
seharusnya mempunyai peran yang besar terhadap perekonomian nasional, akan
tetapi yang terjadi adalah kondisi sebaliknya, dimana kesejahteraan petani tidak
mengalami perubahan, justru sekitar 70-80 persen kelompok masyarakat ini
termasuk golongan miskin. Seperti yang diungkapkan oleh Arifin (2016) , bahwa
angka kemiskinan di pedesaan dimana sebagian besar penduduknya bekerja di
sektor pertanian, meningkat pada tahun 2015. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
Saragih (2015), bahwa dari 114,8 juta orang penduduk yang bekerja pada Agustus
2015, sebanyak 37,75 juta (sekitar 32 persen dari total penduduk yang bekerja)
menyandarkan lapangan pekerjaan utama di sektor pertanian, namun banyaknya
jumlah tenaga kerja pertanian tidak diikuti dengan peningkatan produksi pertanian
dan kesejahteraan petani.
Minimnya akses terhadap informasi dan sumber permodalan, menyebabkan
masyarakat petani tidak dapat mengembangkan usahanya secara layak ekonomi.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa hubungan antara pusat dan daerah harus
berdasar dari pemikiran, kebijakan desentralisasi dan delegasi kewenangan
daerah. Pemerintah daerah adalah pihak yang berhubungan langsung dengan
rakyat, sehingga diharapkan dapat memahami dan mengetahui keinginan serta
kebutuhan yang sesuai dengan kondisi di daerah, dalam rangka meningkatkan
efektivitas pembangunan secara ekonomi. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pemberian transfer
kepada daerah antara lain berupa dana perimbangan (Suparno, 2010).
Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004,
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
merupakan bagian dari konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah dan
pemerintah daerah, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan yang
diserahkan, dilimpahkan dan ditugasbantukan kepada daerah secara proposional,
adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi serta kebutuhan
daerah. Dengan mengacu pada pernyataan tersebut, maka kegiatan yang masih
menjadi prioritas pemerintah pusat, namun sudah menjadi urusan daerah, secara
bertahap dialihkan untuk dikelola oleh pemerintah daerah agar penyelenggaraan
pemerintahan terlaksana secara efisien dan efektif, serta mencegah adanya
tumpang tindih dalam pendanaan suatu kegiatan.

5
Pengalihan dana dan kegiatan yang terjadi di Kementerian Pertanian, adalah
pengalihan dari tugas pembantuan ke dana alokasi khusus. Pengalihan tersebut
dilakukan tidak hanya semata karena sudah diamanatkan dalam Undang Undang
Nomor 33 Tahun 2004, (pasal 108 ayat 1 sebagaimana disebutkan “dana
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan anggaran
kementerian/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut
peraturan perundangan-undangan menjadi urusan daerah, secara bertahap
dialihkan menjadi dana alokasi khusus”, dan ayat 2 menyebutkan “pengalihan
secara bertahap diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah”).
Selain itu pengalihan tugas pembantuan ke dana alokasi khusus, juga
didasarkan atas kelemahan/kekurangan dari tugas pembantuan itu sendiri, yaitu 1)
kegiatan yang berasal dari tugas pembantuan bersifat top down planning atau
lebih mengacu kepada kepentingan dari kementerian pertanian, terkadang tanpa
memperhatikan kebutuhan, keinginan dan kondisi dari daerah. Sehingga kondisi
tersebut mengakibatkan lokasi dan alokasi kegiatan yang diberikan ke daerah
kabupaten/kota tidak sesuai dengan usulan dari daerah; 2) kegiatan tugas
pembantuan termasuk dalam kontrak kinerja antara Menteri Pertanian dengan
Presiden, padahal kegiatan yang termasuk dalam kontrak kinerja tersebut terdapat
kegiatan yang sudah menjadi urusan daerah.
Dengan adanya ke bijakan desentralisasi ini menurut Utomo (2012), akan
menjadikan pemerintah daerah lebih mempunyai kewenangan yang luas untuk
memajukan daerahnya, melalui potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Melalui kepercayaan yang diberikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah akan lebih memacu pembangunan daerah secara efektif dengan
memberikan kepercayaan pengelolaan dana ke daerah, dengan satu harapan
daerah yang menyelenggarakan desentralisasi tidak memiliki ego yang berlebihan
dalam memikirkan daerahnya sendiri.
Perumusan Masalah
Melalui mekanisme desentralisasi, sebagian besar fungsi pertanian secara
bertahap menjadi bagian dari urusan daerah kabupaten/kota. Penyerahan
kewenangan tersebut, disertai dengan penyerahan pembiayaan melalui dana
perimbangan, sehingga dengan semakin meningkatnya dana yang dikelola oleh
daerah, diharapkan pembangunan pertanian lebih dapat berhasil. Kementerian
Pertanian dengan program “EMPAT TARGET SUKSES” yaitu (1) pencapaian
swasembada kedelai, gula dan daging sapi dan swasembada berkelanjutan untuk
padi dan jagung, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai
tambah, daya saing dan ekspor, serta (4) peningkatan kesejahteraan petani,
(Renstra Kementan 2010-2014), melakukan pengalihan dana tugas pembantuan
(TP) ke dana alokasi khusus (DAK) di lingkup Kementerian Pertanian, secara
bertahap.
Adapun kegiatan yang dialihkan adalah kegiatan yang sifatnya bisa
digunakan untuk membangun/merehabilitasi/merenovasi bangunan baik
UPTD/kandang/laboratorium milik daerah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota, termasuk di dalamnya kelengkapan prasarana, sarana,
dan peralatan untuk berfungsinya UPTD/ kandang/laboratorium, dan berumur
ekonomis panjang, serta sesuai dengan program prioritas pusat.

6
Secara prinsip kegiatan yang dapat dialihkan adalah, kegiatan menyediakan
prasarana fisik dasar pembangunan pertanian dengan memperkuat kapasitas
kelembagaan penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan masyarakat, dan
meningkatkan kinerja pembangunan pertanian di daerah. Sedangkan yang tidak
termasuk dalam kriteria tersebut diatas, adalah kegiatan yang tidak dialihkan.
Kegiatan Tugas Pembantuan (TP) yang dialihkan ke Dana Alokasi Khusus
(DAK), harus mampu menjawab permasalahan mendasar pembangunan pertanian
yang meliputi (1) terbatasnya ketersediaan infrastruktur, (2) belum optimalnya
sistem perbenihan dan perbibitan nasional, (3) terbatasnya akses petani terhadap
permodalan, dan masih tingginya suku bunga usaha tani, serta (4) masih lemahnya
kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh (Juknis DAK, Kementan, 2014).
Mengingat anggaran DAK yang dialokasikan proporsinya tergolong kecil atau
hanya sekitar 8.5% dari total dana TP, namun diharapkan dengan adanya
pengalihan terdapat kebijakan
yang efektif, terutama bagi daerah yang
kemampuan fiskalnya rendah (Bappenas, 2011)
Proses pengalihan kegiatan-kegiatan sektor pertanian, yang semula
diakomodir oleh dana Tugas Pembantuan dan selanjutnya akan diakomodir oleh
Dana Alokasi Khusus, menimbulkan pertanyaan, apakah memang proses
pengalihan tersebut dianggap lebih efektif dalam sistem penganggaran, mengingat
terdapat kendala dalam proses pengalihan tersebut, yaitu: 1) perbedaan dalam
teknis pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan dengan kegiatan Dana Alokasi
Khusus, mengingat kegiatan yang diakomodir oleh Dana Alokasi Khusus lebih
fokus untuk pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana pertanian,
sedangkan Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik dan
penunjang, 2) perbedaan kesiapan dan kemampuan masing-masing daerah dalam
menyediakan dana pendamping DAK sebesar 10% dari total pagu yang diberikan,
serta 3) Masih kurangnya pemahaman dan ketidaksiapan daerah, terhadap
mekanisme pengalihan DAK.
Pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus tersebut pada
prinsipnya adalah, daerah diharapkan dapat membiayai urusan daerahnya sendiri
sesuai dengan prioritas nasional yang termuat dalam rencana kerja pemerintah.
Dimana sesuai dengan asas penyelenggaraan desentralisasi, yaitu semua urusan
pemerintahan yang sudah diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah,
dan merupakan sistem yang menyeluruh sejalan dengan pembagian urusan juga
harus diikuti dengan pengaturan pendanaan secara efektif dan efisien. Pelimpahan
wewenang tersebut tidak hanya berupa pelimpahan kegiatan, tetapi juga diikuti
oleh pelimpahan anggaran yang semula dikelola oleh pusat dalam bentuk APBN,
selanjutnya setelah dialihkan ke daerah menjadi APBD, dengan tujuan untuk lebih
memudahkan daerah dalam mengelola anggaran dan kegiatan sesuai dengan
kebutuhannya. Ketentuannya pelaksanaan Dana Alokasi Khusus pengalihan
mengutamakan kegiatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan
diperuntukkan bagi pembangunan atau perbaikan sarana dan prasarana fisik
pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang.
Sedangkan Tugas Pembantuan prinsipnya adalah melaksanakan anggaran
dan kegiatan di daerah, dengan jumlah anggaran dan jenis kegiatan sudah
ditentukan dan dikelola oleh pemerintah pusat, dan daerah hanya bisa menerima
sesuai dengan yang telah ditetapkan, dengan sumber pendanaan adalah murni
APBN.

7
Berdasarkan kondisi tersebut, Dana Alokasi Khusus yang dialokasikan ke
daerah belum dapat dikelola atau dimanfaatkan secara optimal oleh daerah.
Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian secara
sistematik dan direspon dengan kebijakan yang lebih selaras dan tepat sasaran.
Bagi sebagian besar propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, terutama bagi
propinsi dan kabupaten/kota yang kemampuan fiskalnya rendah, DAK menjadi
salah satu tumpuan harapan daerah, untuk mendanai pembangunan di daerah serta
mendukung pencapaian prioritas nasional.
Pada tahun 2013 di Kementerian Pertanian terjadi mekanisme pengalihan
dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus. Dalam pengalihan tersebut,
belum terdapat evaluasi yang dilakukan terhadap kebijakan tersebut. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian tentang Analisis Pengalihan Dana Tugas
Pembantuan Ke Dana Alokasi Khusus Terhadap Efektifitas Pembangunan
Pertanian. Sehingga sesuai dengan pemikiran diatas tersebut, penelitian ini
difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana efektivitas pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi
Khusus, dilihat dari aspek perencanaan dan pelaksanaan ?
2.
Bagaimana peranan anggaran Tugas Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus
saat tidak terdapat pengalihan, terhadap pembangunan pertanian ?
3.
Bagaimana efektivitas pembangunan pertanian saat dilakukan pengalihan
Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus ?

Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak
kebijakan pengalihan dana Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus, terhadap
pembangunan pertanian secara nasional. Seperti permasalahan yang telah
diungkapkan diatas, maka secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Menganalisis efektivitas perencanaan dan pelaksanaan pengalihan Tugas
Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus.
2.
Menganalisis pembangunan pertanian dilihat dari peran anggaran Tugas
Pembantuan dan Dana Alokasi Khusus saat tidak dilakukan pengalihan.
3.
Menganalisis efektivitas saat dilakukan pengalihan anggaran Tugas
Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain
sebagai berikut :
1.
Memberikan pengalaman bagi penulis, dalam mengamati dan menganalisis
suatu permasalahan yang terkait dengan kebijakan pemerintah, dan berusaha
mencari solusi atas permasalahan tersebut.
2.
Memberikan informasi bagi para pembaca, mengenai gambaran tentang
pembangunan pertanian pada saat tidak dilakukan pengalihan dana Tugas
Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus..

8
3.

Memberikan rekomendasi kebijakan dan masukan, terutama bagi para
perencana di instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah yang menangani
fungsi pertanian, dalam rangka perbaikan kebijakan pengelolaan anggaran
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani, melalui
pengalokasian dana yang tepat dan efektif.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup semua kabupaten atau kota di
Indonesia selama periode 2012-2014, kecuali kota-kota di Provinsi DKI Jakarta
(Propinsi DKI Jakarta, tidak termasuk dalam pengamatan penelitian, dikarenakan
Propinsi DKI Jakarta tidak termasuk dalam kriteria kategori penerima DAK, baik
secara kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis). Kabupaten/kota yang
mengalami pemekaran selama periode tersebut, digabungkan dengan kabupaten/
kota induknya. Penggabungan tersebut dilakukan untuk menjaga konsistensi data
dan hasil analisisnya.
Cakupan penelitian ini, adalah meliputi seluruh wilayah Indonesia, dimana
penelitian dilakukan dengan mengagregasi data kabupaten/kota ke data propinsi.
Dengan demikian daerah yang menjadi unit observasi dalam penelitian ini terdiri
dari 32 (tiga puluh dua) propinsi. Masing-masing propinsi merupakan gabungan
dari kabupaten/kota yang mendapat alokasi anggaran pertanian baik dari dana
Tugas Pembantuan maupun Dana Alokasi Khusus dari tahun 2012-2014,
kabupaten yang mencakup dalam penelitian ini adalah 524 kabupaten/kota Satuan
Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) lingkup koordinasi Kementerian Dalam Negeri,
yang menangani bidang pertanian. Estimasi yang dilakukan pada penelitian ini
adalah, dengan cara membedakan kegiatan dari Kementerian Pertanian yang
menjadi urusan pusat dan yang menjadi urusan daerah, dari tahun 2012 sampai
dengan tahun 2014, dan difokuskan pada tahun 2013 karena pada tahun anggaran
tersebut terjadi pengalihan dari Tugas Pembantuan ke Dana Alokasi Khusus.
Sehingga dengan adanya penelitian ini, diharapkan akan dapat diketahui hal-hal
penting yang menjadi kendala efektivitas pengalihan tugas pembantuan ke dana
alokasi khusus, dan hasilnya diharapkan dapat memberikan rekomendasi
kebijakan untuk meningkatkan efektivitas pencapaian sasaran pengelolaan dan
pelaksanaan Dana Alokasi Khusus di tahun tahun mendatang.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini hanya difokuskan pada dana Tugas Pembantuan dan Dana
Alokasi Khusus, sehingga dana lainnya tidak termasuk dibahas dalam penelitian
ini. Selain itu juga dengan mempertimbangkan keterbatasan yang ada, yaitu
meliputi keterbatasan ketersediaan data-data di instansi lingkup pertanian maupun
instansi pendukung lainnya, serta keterbatasan sumberdaya, sehingga penelitian
ini hanya menampilkan sebagian kecil masalah dari desentralisasi fiskal yang ada
di Indonesia.

9

TINJAUAN PUSTAKA
Efektivitas Anggaran
Efektivitas yang dibahas pada bagian ini, meliputi definisi efektivitas serta
kriteria efektivitas anggaran. Ravianto (1989), dalam pengertiannya tentang
efektivitas menyebutkan bahwa efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang
dilakukan, serta sejauh mana orang dapat menghasilkan keluaran sesuai dengan
target yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan atau kegiatan
dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan, sesuai dengan biaya yang
dianggarkan, dapat selesai sesuai waktu yang ditetapkan dengan target yang telah
ditentukan, maka dapat dikatakan efektif. Efektivitas selalu terkait dengan
hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya telah
dicapai. Efektivitas dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan dapat dinilai
dengan berbagai cara dan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi (Muchtar,
2012).
Sedangkan menurut Abdurahmat (2008) efektivitas adalah pemanfaatan
sumberdaya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu, yang secara sadar
ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada
waktunya. Dalam sebuah kajian, diartikan bahwa efektivitas adalah pencapaian
tujuan secara tepat, atau efektivitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran
keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan (Dewi, 2009).
Pendapat lain tentang efektivitas, yang diutarakan oleh Djumhana (2007), yaitu
efektivitas menggambarkan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang
ditetapkan.
Secara sederhana efektivitas merupakan perbandingan outcomes dengan
output. Rumusan dan pandangan tentang efektivitas yang dikemukakan di atas
menunjukkan bahwa untuk mengetahui sesuatu mencapai efektivitas atau tidak,
harus dikaitkan antara rencana, kehendak, aturan, tujuan atau sasaran dengan hasil
yang telah dicapai setelah melakukan kegiatan untuk mencapai maksud, sasaran
atau apa yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan kata lain bahwa suatu hasil
dikatakan mencapai efektivitas jika hasil tersebut benar-benar sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya, termasuk ketentuan yang berlaku.
Selain dari uraian yang dikemukakan di atas, menunjukkan pula bahwa indikator
atau ukuran efektivitas adalah kesesuaian antara rencana dengan hasil yang
dicapai, atau antara ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan
kenyataan pelaksanaannya, atau dengan kata lain bahwa efektif adalah kesamaan
antara rencana dan hasil yang dicapai. Kesamaan atau kesesuaian dimaksud
mencakup faktor waktu, prosedur dan sebagainya, sehingga untuk mengetahui
sesuatu kegiatan mencapai efektivitas, dalam proses perencanaanya perlu
menetapkan secara jelas dan tegas tingkat keberhasilan yang diharapkan
(Azmiardi, 2011).
Dari beberapa pengertian tentang efektivitas tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa efektifitas merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
tingkat keberhasilan pencapaian hasil dari suatu kegiatan, artinya dengan
menggunakan ukuran tingkat efektivitas, dapat diketahui sejauh mana pengaruh
yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan yang dilakukan atau kebijakan yang

10
diterapkan, terhadap hasil (output) yang diharapkan. Efektifitas dalam penelitian
ini diartikan hubungan antara keberhasilan output yang diperoleh dengan tujuan
yang diinginkan, terhadap kebijakan yang telah ditetapkan. Sehingga, apabila
suatu output yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut besar atau
tinggi, maka dapat dikatakan semakin efektif kegiatan atau kebijakan tersebut.
Efektivitas pengunaan dana APBN melalui dana Tugas Pembantuan dan
Dana Alokasi Khusus, dapat diketahui dari beberapa indikator efektif, yang dalam
penjabarannya diartikan sebagai tercapainya sasaran atau tujuan yang telah
ditentukan, dapat dilihat dari indikator sebagai berikut :
1. Ketersediaan fisik (availability), adalah bahwa dalam setiap aktivitas belanja
negara yang diperuntukan bagi kegiatan fisik, tentunya indikator dasarnya
akan menghasilkan output yang berupa barang/bangunan secara fisik. Hal
tersebut dapat diartikan bahwa ketersediaan secara fisik mutlak harus
dipenuhi oleh aktivitas belanja fisik;
2. Kualitas fisik (quality) adalah kualitas output yang dihasilnya, yaitu bahwa
aspek efektifitas akan lebih reliable apabila cakupannya lebih luas, yaitu tidak
hanya keterpenuhan secara fisik tetapi juga didukung kualitas output yang
baik dan optimal;
3) Kesesuaian (appropriateness) adalah kesesuaian antara kebijakan yang telah
ditetapkan pemerintah dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini dilandasi dasar
pemikiran bahwa kesesuaian antara kebijakan dengan kebutuhan akan
memberi manfaat yang optimal bagi masyarakat selaku penerima manfaat;
4) Pemanfaatan (utility) adalah tingkat pemanfaatan atas output yang telah
dihasilkan, yaitu semakin besar pemanfaatan atas output, maka semakin besar
pula tingkat efektivitas (KSAP, 2012).
Efektivitas dana APBN dalam upaya pembangunan pertanian, berkaitan erat
dengan mekanisme alokasi anggaran yang diberikan, baik melalui dana Tugas
Pembantuan maupun Dana Alokasi Khusus. Sistem pengalokasian anggaran, yang
dipergunakan oleh Kementerian Pertanian harus disesuaikan dengan kepentingan
dan kebutuhan daerah. Artinya sistem pengalokasian anggaran yang mana
dirasakan lebih efektif dan lebih memberi manfaat bagi daerah, dilihat dari
karakteristik daerah serta kemampuan fiskal daerah.
Dana Tugas Pembantuan (TP) Pertanian
Batasan Ketentuan Tugas Pembantuan sesuai dengan UU No. 32/2004 dan
UU No. 33/2004 adalah Penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa,
dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari
pemerintah kabupaten, atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya
kepada yang menugaskan. Sedangkan dana Tugas Pembantuan adalah dana yang
berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup
semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian dari anggaran kementerian
Negara/Lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja Kementerian
Negara/Lembaga dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah(SKPD)
yang ditetapkan dengan surat keputusan dari Gubernur, Bupati/Walikota, dan
diinformasikan kepada DPRD.

11
Daerah yang mendapatkan alokasi Tugas Pembantuan mempunyai
kewajiban untuk melaporkan, mempertanggungjawabkan pelaksanaan kepada
yang memberi penugasan. Tugas Pembantuan mengacu pada PP 38/2007, hanya
dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang merupakan kewenangan Pemerintah
Pusat di Daerah. Kegiatan Tugas Pembantuan mengacu kepada Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) dan Prioritas Nasional dalam rangka mendukung triple track
strategy (pro growth, pro job and pro poor).
Dana Tugas Pembantuan (TP) pertanian, yang dialokasikan ke daerah
adalah kegiatan yang mendukung program pembangunan pertanian yaitu: 1)
peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai
swasembada dan swasembada berkelanjutan; 2) peningkatan produksi,
produktivitas, dan mutu produk tanaman hortikultura berkelanjutan; 3)
peningkatan produksi, produktivitas, perkebunan berkelanjutan; 4) pencapaian
swasembada daging sapi; 5) penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana
pertanian; 6) pengembangan sumber daya manusia pertanian dan kelembagaan
petani; 7) peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat. Kegiatan
tersebut diperuntukkan kegiatan bersifat fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan
keluaran dan menambah aset tetap. Kegiatan yang bersifat fisik antara lain
pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi dan jaringan, serta
dapat berupa kegiatan yang bersifat fisik lainnya. Kegiatan yang bersifat fisik
lainnya antara lain pengadaan barang habis pakai, seperti obat-obatan, vaksin,
pengadaan bibit dan pupuk, atau sejenisnya, termasuk barang bantuan sosial yang
diserahkan kepada masyarakat, serta pemberdayaan masyarakat (DJPK, 2013).

Dana Alokasi Khusus (DAK) Pertanian
Dana Alokasi Khusus menurut Juanda (2009) adalah dana dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu, dan dipergunakan untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional, dengan
dasar hukum UU 32/2004. Selanjutnya pengertian Dana Alokasi Khusus yang
diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah,
menyebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana Alokasi Khusus, diarahkan untuk membiayai kebutuhan fisik sarana
dan prasarana dasar daerah dengan memperhatikan kriteria yang berlaku, yaitu
kriteria umum dan kriteria khusus. Kriteria umum, ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari
penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja pegawai negeri sipil daerah.
Kriteria khusus, ditetapkan berdasar peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelanggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah (Direktorat
Otonomi Daerah, Bappenas, 2014).

12
Formulasi anggaran DAK untuk tiap-tiap daerah disusun bedasarkan tiga
kriteria yaitu, 1) Kriteria Umum (KU), adalah kriteria kemampuan keuangan
daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja Negeri
Sipil Daerah (KKD = APBD – PNSD), daerah dengan kriteria umum dibawah
rata-rata nasional adalah yang diprioritaskan mendapat alokasi DAK. 2) Kriteria
Khusus, adalah daerah yang penyelenggaraan otonominya diatur secara khusus
dengan undang-undang meliputi daerah otonomi khusus (propinsi Papua dan
Papua Barat), daerah tertinggal, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah
rawan bencana dan daerah pesisir dan 3) Kriteria Teknis, adalah daerah yang
mendapatkan alokasi berdasarkan indikator teknis, dari masing-masing
kementerian teknis (DJPK, 2009).
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam pasal 162 UU No.32/2004
disebutkan bahwa DAK (Dana Alokasi Khusus) dialokasikan melalui APBN, bagi
daerah tertentu dalam rangka pendanaan desentralisasi untuk (1) membiayai
kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah Pusat atas dasar prioritas nasional
dan (2) membiayai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Kebutuhan
khusus yang dapat dibiayai oleh DAK adalah kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU (Dana Alokasi
Umum), dan kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
mengamanatkan agar DAK ini diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP). Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan. Pelaksanaan DAK sendiri diarahkan pada kegiatan
investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan
prasarana fisik pelayanan masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang,
termasuk pengadaan sarana fisik penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal.
Anggaran dana alokasi khusus yang telah dialokasikan, tidak dapat
digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik,
penelitian, pelatihan, serta perjalanan dinas. Pelaksanaan penyusunan rencana dan
program, pelaksanaan tender pengadaan kegiatan fisik, kegiatan penelitian dalam
rangka mendukung pelaksanaan kegiatan fisik, kegiatan perjalanan pegawai
daerah dan kegiatan umum lainnya yang sejenis. Untuk menyatakan komitmen
dan tanggung jawabnya, daerah penerima wajib mengalokasikan dana
pendamping dalam APBD daerah masing-masing sebesar minimal 10% dari
jumlah DAK yang diterimanya. Untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu
tidak diwajibkan menyediakan dana pendamping yakni daerah yang selisih antara
Penerimaan Umum APBD dan belanja pegawainya sama dengan nol atau negatif.
Namun, dalam pelaksanaannya tidak ada daerah penerima DAK yang mempunyai
selisih antara Penerimaan Umum APBD dan belanja pegawainya sama dengan nol
atau negative (DJPK, 2009).
DAK Bidang Pertanian pertama kali dianggarkan pada tahun 2005.
Nilaianggarannya pada saat itu adalah 170 Milyar rupiah dan mengalami kenaikan
setiap tahunnya. Tahun 2011, nilai anggaran DAK telah meningkat menjadi 1.806
triliun rupiah (Kementan, 2013). Kondisi tersebut, merupakan bukti komitmen
pemerintah untuk memperbaiki sektor pertanian. Kebijakan DAK Pertanian
me

Dokumen yang terkait

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Lain – Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dengan Desentralisasi Fiskal Sebagai Variabel Moderating di Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera Utara.

3 59 139

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Dengan Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening Studi Empiris Di Kabupaten/ Kota Provinsi Aceh

1 53 124

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat periode Tahun 2009-2012

1 17 161

Desentralisasi fiskal dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di propinsi Yogyakarta

1 12 14

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP INDEKS Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Dengan Belanja K

0 4 16

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH , DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana alokasi Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Studi kasus pada Kabupaten Kota di Jawa

0 3 14

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana alokasi Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana alokasi Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Studi kasus pada Kabupaten Kota

0 2 17

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP INDEKS Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Belanja P

1 6 15

Kajian Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan

0 0 11

Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus; dan

0 0 41