Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi

PERANAN NILAI ADAT DALAM MODERNISASI DI
KAMPUNG CIPTAGELAR CISOLOK SUKABUMI

MUHAMMAD MAHDI

DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ABSTRAK
MUHAMMAD MAHDI. Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di Kampung
Ciptagelar Cisolok Sukabumi di bawah bimbingan FREDIAN TONNY
NASDIAN
Modernisasi merupakan ciri dari perkembangan global pada saat ini, hampir
di seluruh Negara berlomba untuk melakukan modernisasi yang diyakini dapat
mendorong pembangunan sehingga terciptanya kesejahteraan dan mengurangi
angka kemiskinan. Modernisasi sebagai suatu model pembangunan yang
didukung dan didorong oleh pemerintah terkadang harus berbenturan dengan

nilai-nilai adat yang telah dianut oleh masyarakat lokal. Karena itu menjadi
penting untuk mengetahui peran nilai adat di dalam modernisasi guna
mempercepat dan mengontrol prosesnya. Untuk mengetahui peran tersebut maka
perlu diketahui bagaimana sikap masyarakat terhadap modernisasi dan bagaimana
tingkat keterdedahan media di Kampung Ciptagelar. Metode yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif yang didukung dengan metode kuantitaif dengan pendekatan survei.
Nilai adat terbukti mampu berakulturasi dengan proses modernisasi yang ada
dikarenakan sifat dinamisme yang dimilikinya sehingga tidak hanya mampu
berjalan beriringan dengan modernisasi, akan tetapi menjaga dan menuntun proses
modernisasi yang ada. Oleh karena itu diharapkan kepada seluruh pihak terkait
agar dapat memperhitungkan dan memanfaatkan nilai-nilai lokal yang dimiliki
suatu masyarakat di dalam suatu program pembangunan.
Kata kunci: Modernisasi, Masyarakat, Nilai Adat, Pembangunan
ABSTRACT
MUHAMMAD MAHDI. The Role of Indegenious Value in Modernization at
Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi by FREDIAN TONNY NASDIAN
Modernization is the hallmark of global development at the moment, almost all
over the Country to compete to make the modernization which is believed to be
pushing the construction so that the creation of prosperity and reduce poverty,

modernization as a model of development that supported and impelled by the
Government sometimes have to collide with the values of the custom which has
been embraced by the local people. Because it becomes important to know the
role of custom in the modernization in order to expedite and control the process.
To find out the role, then I need to know how the attitude of society towards
modernization and how the level of media exposure in Kampung Ciptagelar. An
method that is used to answer this question is the qualitative method with a
descriptive approach in nature which is to be supported with an quantitative
method with a surveying approach.The value of customary proven able to
berakulturasi with the process of modernization of existing because of the nature
of dinamisme file so as not only capable of running in tandem with modernization
but keeping and guide the process of modernization.Hence it is expected to all
sides related to be able to reckon and take advantage of local values in have a
society in a course of development.
Keywords: Modernization, Community, Indegenous Value, Development

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Peranan Nilai

Adat dalam Modernisasi di Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Muhammad Mahdi
NIM I34100082

ABSTRAK
MUHAMMAD MAHDI. Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di Kampung
Ciptagelar Cisolok Sukabumi di bawah bimbingan FREDIAN TONNY
NASDIAN
Modernisasi merupakan ciri dari perkembangan global pada saat ini, hampir
di seluruh Negara berlomba untuk melakukan modernisasi yang diyakini dapat

mendorong pembangunan sehingga terciptanya kesejahteraan dan mengurangi
angka kemiskinan. Modernisasi sebagai suatu model pembangunan yang
didukung dan didorong oleh pemerintah terkadang harus berbenturan dengan
nilai-nilai adat yang telah dianut oleh masyarakat lokal. Karena itu menjadi
penting untuk mengetahui peran nilai adat di dalam modernisasi guna
mempercepat dan mengontrol prosesnya. Untuk mengetahui peran tersebut maka
perlu diketahui bagaimana sikap masyarakat terhadap modernisasi dan bagaimana
tingkat keterdedahan media di Kampung Ciptagelar. Metode yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif yang didukung dengan metode kuantitaif dengan pendekatan survei.
Nilai adat terbukti mampu berakulturasi dengan proses modernisasi yang ada
dikarenakan sifat dinamisme yang dimilikinya sehingga tidak hanya mampu
berjalan beriringan dengan modernisasi, akan tetapi menjaga dan menuntun proses
modernisasi yang ada. Oleh karena itu diharapkan kepada seluruh pihak terkait
agar dapat memperhitungkan dan memanfaatkan nilai-nilai lokal yang dimiliki
suatu masyarakat di dalam suatu program pembangunan.
Kata kunci: Modernisasi, Masyarakat, Nilai Adat, Pembangunan
ABSTRACT
MUHAMMAD MAHDI. The Role of Indegenious Value in Modernization at
Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi by FREDIAN TONNY NASDIAN

Modernization is the hallmark of global development at the moment, almost all
over the Country to compete to make the modernization which is believed to be
pushing the construction so that the creation of prosperity and reduce poverty,
modernization as a model of development that supported and impelled by the
Government sometimes have to collide with the values of the custom which has
been embraced by the local people. Because it becomes important to know the
role of custom in the modernization in order to expedite and control the process.
To find out the role, then I need to know how the attitude of society towards
modernization and how the level of media exposure in Kampung Ciptagelar. An
method that is used to answer this question is the qualitative method with a
descriptive approach in nature which is to be supported with an quantitative
method with a surveying approach.The value of customary proven able to
berakulturasi with the process of modernization of existing because of the nature
of dinamisme file so as not only capable of running in tandem with modernization
but keeping and guide the process of modernization.Hence it is expected to all
sides related to be able to reckon and take advantage of local values in have a
society in a course of development.
Keywords: Modernization, Community, Indegenous Value, Development

PERANAN NILAI ADAT DALAM MODERNISASI DI

KAMPUNG CIPTAGELAR CISOLOK SUKABUMI

MUHAMMAD MAHDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

v

Judul Skripsi


:

Nama
NIM

:
:

Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di
Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi
Muhammad Mahdi
I34100082

Disetujui oleh

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS
Pembimbing

Diketahui


Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal pengesahan: _______________________

vi

PRAKATA
Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT
atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya, shalawat dan salam kepada
Rasul dan keluarganya yang disucikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan bantuan moril dan material
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Fredian Tonny selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis

menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Abdullah
Assegaf dan Ibu Maemunah Al-Haddad, yang selalu melimpahkan kasih sayang,
doa, serta motivasi kepada penulis. Terima kasih juga saya sampaikan kepada
Abah Ugi selaku ketua dari keluarga Kampung Adat Ciptagelar dan juga kepada
masyarakat Ciptagelar yang telah menerima dengan baik serta memberikan
banyak bantuan berharga hingga selesainya skripsi ini. Tidak lupa terima kasih
juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM angkatan 47, teman-teman
bimbingan, dan teman-teman lainnya yang selalu bersama saling memberi
semangat dan masukan untuk penulis dalam seluruh proses perkuliahan dan
penulisan skripsi ini.

Bogor, September 2014

Muhammad Mahdi

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Konseptual
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Sampling
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
PROFIL DESA CIPTAGELAR

PERANAN NILAI ADAT DALAM MODERNISASI
MODERNISASI DALAM MASYARAKAT ADAT
HUBUNGAN SIKAP DENGAN KETERDEDAHAN MEDIA
PENUTUP
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
ix
1
1
3
4
4
5
5
11
12
12
13
15
15
15
15
16
16
19
27
35
41
45
45
45
47
49
66

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan pengumpulan data
Tabel 2 Jumlah dan presentase responden menurut sikap terhadap
Modernisasi Tahun 2014
Tabel 3 Jumlah dan presentase responden menurut tingkat keterdedahan
media Tahun 2004
Tabel 4 Jumlah dan presentase responden menurut sikap terhadap
modernisasi dan tingkat keterdedahan media di Desa Ciptagelar
tahun 2014
Tabel 5 Hasil uji statistik rank Spearman antara sikap terhadap modernisasi
dengan tingkat keterdedahan media

16
41
41

43
43

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka pemikiran peranan nilai adat dalam modernisasi
Gambar 2 Potensi alam Desa Ciptagelar
Gambar 3 Struktur Organisasi Desa Ciptagelar

12
22
25

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Desa Ciptagelar
Lampiran 2 Kerangka sampling
Lampiran 3 Kuesioner penelitian
Lampiran 4 Panduan wawancara mendalam
Lampiran 5 Reduksi data: nilai adat dalam modernisasi
Lampiran 6.Reduksi data: modernisasi dalam nilai adat
Lampiran 7. Dokumentasi

49
50
52
55
57
61
65

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kampung Gede Kampung Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang
masih bertahan dengan nilai-nilai lokalnya yang mempunyai ciri khas dalam
lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat
pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut
masyarakat kasepuhan 1 . Meskipun desa tersebut termasuk desa adat yang
memiliki kesan tertinggal dan terpencil, Akan tetapi tetap tidak terhindarkan dari
arus modernisasi yang terus berkembang di negeri ini. Namun yang menarik
justru arus modernisasi dibawa oleh ketua adat stempat, yang mana ia
menginisiasikan sebuah tv lokal guna menciptakan kohesifitas dan melestarikan
nilai mereka.
Banyak ahli yang telah menjelaskan dan memaparkan hasil penelitiannya
sekaitan dengan proses dan dampak modernisasi. Beragam pandangan berusaha
menjelaskan bahwa modernisasi yang diyakini mampu membawa perubahan
kesejahteraan, justru akan berdampak pada rusaknya ketahanan nilai-niali lokal.
Hal itu disebabkan modernisasi sendiri membawa nilai yang cendrung
menghapuskan dan menggantikan nilai-nilai yang sebelumnya telah ada dan
berjalan di tengah masyarakat. banyak perspektif dalam melihat persoalan tersebut
salah satunya seperti yang diungkapkan Dove dalam bukunya peran kebudayaan
dalam modernisasi. Dove menjelaskan bahwa nilai lokal yang sebelumnya telah
ada seharusnya dapat menjadi suatu modal dalam memanfaatkan modernisasi
yang ada. Nilai lokal merupakan nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakat
lokal, sehingga apabila nilai lokal dapat diintegrasikan dengan modernisasi yang
ada dapat menciptakan sebuah akulturasi yang saling menguntungkan.
Kehidupan masyarakat sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial.
Perubahan sosial di sini tidak hanya perubahan pada masyarakat yang
bersangkutan melainkan juga orang luar. Maksudnya perubahan ini dapat
dirasakan langsung karena adanya faktor tertentu yang masuk ke dalam
kehidupannya atau pun secara tidak langsung melihat kebiasaan orang lain. Kedua
hal ini sama-sama mengalami perubahan sosial. Perubahan sosial ada yang terjadi
dalam waktu singkat maupun waktu lama. Biasanya, perubahan yang terjadi
dalam waktu singkat bersifat sementara dan dapat dengan mudah kembali ke sifat
semula. Perubahan dalam waktu lama, kemungkinan akan sulit untuk kembali ke
semula.
Dilihat dari kehidupan sehari-hari, perubahan sosial ini memiliki
kekurangan dan kelebihannya tergantung aspek yang berubahnya. Kelebihannya
yaitu dapat merubah yang kurang baik menjadi baik jika memang aspek yang
berubah mengacu pada hal yang baik misalnya menjadi masyarakat yang lebih
saling menghargai satu sama lain, meningkatnya kerjasama antar sesama ataupun
1

Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan /ka/ dan akhiran /an/. Dalam bahasa
Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini,
muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun
menunjukkan model 'sistem kepemimpinan' dari suatu komunitas atau masyarakat yang
berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot).

2

dapat memajukan daerahnya. Sebaliknya, kekurangan dari perubahan sosial ini
yaitu dapat merubah yang baik menjadi kurang baik jika mengacu pada hal buruk
misalnya menjadi masyarakat yang individualis, kurang bersosialisasi dengan
yang lain karena sibuk atau terlalu ketergantungan dengan alat teknologi.
Pada abad 21 para teoritis sosial mulai disibukkan dengan persoalan
apakah masyarakat abad 21 telah mengalami perubahan-perubahan dramatis atau
tidak. Apabila dikatakan telah mengalami perubahan, maka perubahan seperti
apakah yang dilalui masyarakat abad 21 ini. Salah satu hal yang sangat mendasar
dan mudah untuk dicermati adalah ketika terjadinya perubahan yang dialami
masyarakat abad 21 akibat berkembang pesatnya teknologi dan komunikasi yang
melahirkan masyarakat modern. Lahirnya masyarakat modern ini sesungguhnya
merupakan objek perhatian pokok dalam sosiologi, sehingga berbagai teori mulai
dari klasik sampai kontemporer berupaya untuk menjelaskan perubahan pada pola
masyarakat ini.
Dalam teori sosiologi klasik masyarakat modern dijelaskan melalui
analisis komparasi dengan masyarakat pra modern, atau sering disebut dengan
masyarakat tradisionil. Marx melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi
kapitalisnya, Weber melihat adanya perubahan rasionaliasi menjadi rasionalisasi
formal, dan Durkheim melihat adanya peningkatan solidaritas organik dan
menurunnya kesadaran kolektif. Namun selain dari pandangan masing-masing
mengenai masyarakat modern tersebut, ketiga ahli ini ternyata mengkhawatirkan
adanya arah dan sisi negatif oleh masyarakat modern. Marx melihat pada alienasi
dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh, Weber mengkhawatirkan penjara
besi rasionalitas (iron cage rasionality), sementara Durkheim mengkhwatirkan
anomi yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak
selalu bisa diikuti oleh semua orang. Tetapi sedikit berbeda dengan ketiga
sosiolog klasik yang mengkhawatirkan sisi masyarakat modern, George Simmel
melalui bukunya Philosophy of Money, ia menolak kekhawatiran atas pengaruh
lahirnya masyarakat modern. Justru Ia berpendapat, bahwa lahirnya masyarakat
modern dapat melahirkan keuntungan secara materi menurut Ritzer (2003).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2007 tentang pedoman
pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat
Menimbang : a. Bahwa adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat
merupakan salah satu modal social yang dapat dimanfaatkan dalam rangka
pelaksanaan pembangunan sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian dan
pengembangan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat adat; b. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
menetapkan peraturan menteri dalam negeri tentang pedoman pelestarian dan
pengembangan adat istiadat dan nilai budaya masyarakat.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2007 pasal 1
ayat 3 bahwa pelestarian adalah upaya untuk menjaga dan memelihara adat
istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan, terutama nilai-nilai
etika, moral, dan adab yang merupakan inti dari adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan
dalam masyarakat, dan lembaga adat agar keberadaannya tetap terjaga dan
berlanjut dan ayat 4 bahwa pengembangan adalah upaya yang terencana, terpadu,
dan terarah agar adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat dapat berkembng
mengikuti perubahan sosial, budaya dan ekonomi yang sedang berlangsung.

3

Dari regulasi di atas dapat terlihat pentingnya nilai dan norma adat
masyarakat guna menjaga stabilitas dan juga menjaga berjalannya pembangunan
yang ada, oleh karena itu nilai, yang memiliki kekuatan terbesar di dalam aspek
pengendalian sosial disamping materi dan koersif seharusnya dapat menjaga
masyarakat dari perubahan-perubahan yang ada. Menurut Witrianto (2007)
modernisasi yang melanda kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia juga
melanda kehidupan masyarakat pedesaan Minangkabau. Modernisasi telah
menyebabkan terjadinya perubahan besar pada masyarakat, terutama yang
bermatapencaharian sebagai petani. Perubahan-perubahan yang terjadi mencakup
bidang sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dalam bidang sosial, dengan
adanya modernisasi, telah menyebabkan munculnya lapisan-lapisan sosial baru
dalam masyarakat. Dalam bidang budaya, setelah adanya modernisasi, muncul
budaya baru dalam masyarakat, yaitu budaya komersialisasi.
Seperti yang diungkakan oleh Dove (1985) bahwa seharusnya modernisasi
dan nilai-nilai lokal harus mampu berakulturasi guna saling menunjang satu sama
lain. Oleh karena itu menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut bagaimana
peranan nilai adat dalam modernisasi di Desa Ciptagelar Kecamatan
Cisolok, Sukabumi, Provinsi Jawa Barat?
Rumusan masalah
Drs. Suparto dalam Moriaga (2006) mengemukakan bahwa nilai-nilai
sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat, diantaranya nilai-nilai dapat
menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir
dan bersikap. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi
manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi
seseorang untuk bersikap sesuai dengan peranannya. Melihat fungsi nilai di atas
seharusnya nilai dapat digunakan dan dimanfaatkan guna mengatur perilaku
masyarakat dalam membangun komunitasnya agar terciptanya kesejahteraan.
Adat istiadat merupakan alat yang digunakan untuk menjaga masyarakat dari
suatu perubahan yang mana hal tersebut dapat dilihat melalui sikap masyarakat
adat tersebut. Oleh sebab itu perlu dianalisis bagaimana sikap masyarakat
adat Desa Ciptagelar terhadap modernisasi?
Dove dalam Kistiawan (2011) membagi dampak modernisasi menjadi
empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek
ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil contoh di daerah Sulawesi
Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang
terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang telah
mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi merupakan
sebuah perubahan sosial yang dapat membawa dan mengarahkan masyarakat
menuju suatu titik sosial yang baru, sehingga dalam pengembangan dan
pembangunan desa tidak terlepas dari efek modernisasi tersebut, tentu saja
modernisasi yang ada akan bersentuhan dengan nilai-nilai adat yang ada di tengah
masyarakat dikarenakan modernisasi membawa nilai-nilai baru yang akan
menyebabkan perubahan. Oleh sebab itu perlu dianalisis sejauh mana tingkat
keterdedahan modernisasi yang ada di tengah masyarakat adat Desa
Ciptagelar?

4

Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis peran nilai adat yang
dianut oleh masyarakat dalam modernisasi. Tujuan tersebut dijawab melalui
tujuan-tujuan khusus, yaitu :
1. Menganalisis sikap masyarakat adat Desa Ciptagelar terhadap modernisasi.
2. Menganalisis tingkat keterdedahan modernisasi yang ada pada masyarakat
adat Desa Ciptagelar.

Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak yang
berminat maupun yang terkait dengan nilai adat dan modernisasi, khususnya
kepada :
1. Peneliti untuk memaknai secara ilmiah fenomena nilai adat dan
Modernisasi yang terlihat. Sedangkan untuk Civitas Akademika dapat
memperkaya perkembagan pengetahuan mengenai nilai adat dan
modernisasi.
2. Masyarakat, dapat memperoleh pengetahuan serta gambaran tentang
fenomena nilai adat dan modernisasi.
3. Pemerintah, diharapkan dapat menentukan arah kebijakan dan pertauran
mengenai nilai khususnya nilai adat sehingga mampu menciptkan
perubahan sosial yang terarah bagi masyarakat.

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Konsep Modernisasi
Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke arah
yang lebih maju atau meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah proses perubahan
dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju dalam rangka untuk
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagai suatu bentuk perubahan sosial,
modernisasi biasanya merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan
terencana.
Modernisasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan atau
pembaharuan. Pembaharuan mencakup bidang-bidang yang sangat banyak.
Bidang mana yang akan diutamakan oleh suatu masyarakat tergantung dari
kebijaksanaan penguasa yang memimpin masyarakat tersebut Soekanto (1987).
Modernisasi yang terstruktur dan terencana diharapkan dapat menciptakan
kesejahteraan di tengah masyarakat, oleh sebab itu pemerintah mengatur rencana
dan langkah guna menerapkan modernisasi di tengah masyarakat. Asumsi
modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan
beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa
Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh
Sajogyo (1982) dan Dove (1985). Kedua hasil penelitian mengupas dampak
modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya
menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas
lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang
berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai
budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi.
Dove (1985) membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu
ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek ideologi sebagai
kegagalan modernisasi mengambil contoh di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa
Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku
Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak
lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah
kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk
di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi
sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya
dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh
pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.
Scott (2000) menunjukan bahwa penggunaan teknologi pertanian
mempunyai dampak terhadap perubahan struktur masyarakat, dan akhirnya
berpengaruh terhadap pola-pola institusional masyarakat. Kondisi ini akan
memperluas struktur kemiskinan. Tujuan dari pembangunan pertanian itu sendiri
pada dasarnya adalah untuk memperkecil struktur kemiskinan.
Koentjaraningrat (1985) menyatakan kebijakan pembangunan pertanian
dengan pola top down dengan orientasi produksi melalui penggunaan teknologi

6

modern yang sangat teknis mekanistis, telah menimbulkan masalah-masalah dan
perubahan-perubahan, baik pemerintah daerah yang mengimplementasikan
kebijaksanaan pusat maupun masyarakat petani sebagai obyek dari pembangunan.
Masalah masalah umum yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan
pembangunan pertanian antara lain: 1) Menumbuhkan ketergantungan pemerintah
daerah dalam perencanaan pembangunan sehingga sering tidak sesuai dengan
kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat, 2) Menimbulkan ego sub sektoral
dalam pelaksanaan progam-program pembangunan pertanian, karena lemahnya
kordinasi dan integrasi antara sub sektor, 3) Merosotnya nilai-nilai tradisional dan
norma-norma kekeluargaan yang saling membutuhkan dan ketergantungan yang
hidup di pedesaan, 4) Melahirkan ketergantungan petani terhadap pemerintah
dalam pembangunan, sebagai akibat pendekatan pelaksanaan program melalui
bantuan subsidi.
Menurut Nugroho (1999) seperti dikutip oleh Arkanudin (2012) dalam
proses pembangunan yang menjalani distorsi instrumen ruang publik telah
diintervensi oleh kekuatan politis negara, sehingga opini publik yang muncul
adalah bukan opini masyarakat tetapi justru opini elit politik. Akibat dari
dominasi ruang publik oleh negara adalah adanya kecenderungan keputusan
teknis bukan didasarkan atas diskusi dan opini publik tetapi didasarkan pada
keputusan elit politik yang dipaksakan ke dalam masyarakat luas. Mengikuti
persyaratan secara normatif, sebenarnya dalam pembangunan diskusi publik
merupakan landasan untuk mengejar target-target yang telah disepakati, bukan
sebaliknya dianggap tidak efisien demi mengejar target pertumbuhan ekonomi.
Menurut Pranadji (2000) mentalitas yang diuraikan oleh Kontjaraningrat
(1985) tidak dapat begitu saja diterima sebagai sesuatu yang berlaku universal,
melainkan sangat tergantung kepada setiap individu, kelompok komunitas dalam
memahami diri terhadap orientasi masa depannya, serta tergantung pada kondisi
wilayah dan sosial budaya setempat. Pranadji mempunyai pandangan bahwa
desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya pranata sosial setempat
untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan pertanian. Selain itu,
desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya perantara keteraturan,
kerjasama sosial dan kontrol sosial yang lebih baik terhadap proses transformasi
pertanian secara berkelanjutan di wilayah setempat. Pemerintah tetap sebagai
kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari
tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah
harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan tertentu.
Dalam beragam teori modernisasi di atas, hampir seluruh teori
memandang bahwa tradisi dan nilai adat merupakan aspek yang akan tergerus
oleh arus modernisasi dikarenakan, tradisi dianggap sebagai penghalang
pembangunan, namun tradisi dipandang sebagai faktor positif pembangunan,
seperti yang digambarkann teori Modernisasi Baru bahwa masyarakat tradisional
Indonesia pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis, mengolah “resistensi”
serbuan budaya Barat sesuai dengan tantangan internal dan kekuatan eksternal
yang mempengaruhinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Dove (1985)
menyatakan bahwa budaya tradisional merupakan sesuatu yang dinamis dan
selalu mengalami perubahan, mampu melakukan penyesuaian dengan baik
terhadap kondisi lokal.

7

Modernisasi dalam Konsepsi Ogburn
Secara sederhana, Ogburn melihat modernisasi sebagai salah satu arah dari
perubahan sosial masyarakat. Perubahan sosial yang dikonsepsikan oleh Ogburn
mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat materil maupun yang tidak
bersifat materil (inmaterial) dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur
unsur kebudayaan yang materil terhadap unsur-unsur inmateril. Ogburn
cenderung melihat fenomena perubahan sosial dari sudut pandang teori struktural
fungsional. Ada beberapa asumsi tentang perubahan sosial yang dikonsepsikan
oleh William Ogburn:
1. Penyebab dari perubahan sosial adalah adanya ketidakpuasan masyarakat
karena kondisi sosial yang berlaku pada masa tersebut mempengaruhi
pribadi individu yang terlibat.
2. Meskipun dalam perubahan sosial beberapa unsur-unsur sosial mengalami
perubahan dan dalam unsur-unsur tersebut mempunyai kesinambungan,
namun beberapa unsur lainnya masih dalam keadaan tetap atau dapat
dikatakan statis –dalam hal ini, kemudian Ogburn menyebutnya sebagai
cultural lag–.
3. Setiap perubahan sosial tidak selalu berpengaruh pada semua unsur-unsur
sosial, sebab masih ada sebagian yang tidak ikut berubah.
4. Ogburn melihat bahwa perubahan teknologi akan berjalan lebih cepat
dibanding dengan perubahan pada substansi budaya, pemikiran,
kepercayaan, nilai-nilai dan norma yang menjadi alat untuk mengatur
kehidupan manusia.
Untuk itulah, dalam hal ini modernisasi dapat dipandang dari empat dimensi,
yaitu; substansi budaya; pemikiran; kepercayaan; nilai dan norma pada
masyarakat itu sendiri. Untuk mengukur dan mengidentifikasi modernisasi dalam
masyarakat, Ogburn kemudian memberikan beberapa variabel yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat modernisasi suatu masyarakat dalam bentuk
syarat terjadinya modernisasi yang berupa:
1. Cara berfikir yang ilmiah (scientific thinking) yang melembaga dalam
masyarakat.
2. Sistem administrasi yang baik, yang benar-benar mewujudkan pelaksanaan
birokrasi yang tertib dan teratur.
3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur serta terpusat pada
suatu badan atau lembaga tertentu.
4. Penciptaan iklim yang sesuai (favourable) dengan kehendak masyarakat
terhadap modernisasi dengan cara alat-alat komunikasi massa.
5. Tingkat organisasi yang tinggi.
6. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial (social
planning).

8

Nilai
Menurut Horton dan Hunt dalam Narwoko & Suyanto (2004) nilai adalah
gagasan mengenai apakah suatu pengalaman berarti atau tidak berarti. Nilai pada
hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi tidak
menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu salah atau benar. Nilai adalah suatu
bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah artinya secara
moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan
dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan.
Suparto seperti dikutip dalam Moriaga (2006) mengemukakan bahwa
nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Nilai-nilai dapat
menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir
dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu
terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat
memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya.
Melihat fungsi nilai diatas seharusnya nilai dapat digunakan dan
dimanfaatkan guna mengatur perilaku masyarakat dalam membangun
komunitasnya agar terciptanya kesejahteraan. Nilai adat yang merupakan
kekayaan bagi bangsa Indonesia seharusnya mampu dimanfaatkan dengan baik
oleh pihak pemerintah dalam menata dan mengatur pembangunan yang ada.
Moriaga (2006) tentang pengaturan hukum adat sebagaimana disinggung
dalam Pasal 5 UUPA, dalam penjelasan pasal tersebut yang kemudian merujuk
pada penjelasan umum poin III butir (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
istilah “hukum adat” di sini adalah “hukum adat yang telah disempurnakan dan
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara moderen dan dalam
hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme
Indonesia” yakni sekedar bermakna sebagai hukum yang mewujudkan kesadaran
masyarakat Indonesia yang berbeda dari hukum perdata barat (yang sudah tidak
dipakai lagi). Istilah hukum adat menurut Soehardi (2004) seperti dikutip oleh
Kurniawan (2008) ini bukanlah hukum yang berlaku dalam lingkunganlingkungan masyarakat adat sebagaimana menjadi makna hukum adat secara
tradisional, tetapi merupakan “hukum adat yang sudah dihilangkan sifat
kedaerahannya dan diganti dengan sifat nasional.
Konsekuensi dari adanya konsep pengakuan sebagaimana demikian,
sebagai turunan langsung dari konsep Negara Hukum, adalah bahwa jika ternyata
terdapat eksistensi masyarakat adat berikut hak-hak dan kepentingannya yang
bertentangan dengan kepentingan negara (kepentingan nasional), ataupun jika ada
aturan hukum adat yang bertentangan dengan aturan hukum positif negara dalam
perundang-undangan, maka keberadaan masyarakat adat beserta kepentingankepentingan dan hak-hak tradisioanalnya yang diatur dalam hukum adat tersebut
bisa diabaikan. Hal inilah yang kemudian seringkali berujung pada konflik sosial
yang pada umumnya melibatkan masyarakat adat di satu sisi dan negara beserta
perusahaan di sisi yang lain yang berkepentingan hendak melakukan investasi dan
“pembangunan” pada area di lokasi di mana masyarakat adat tersebut tinggal,
hidup, dan mendasarkan kehidupannya, yang mana konflik ini berakar pada
kontradiksi kepentingan di antara para pihak yang masing-masing mendasarkan
diri pada tatanan normatif sistem hukum yang sama sekali berbeda satu sama lain,
yakni antara hukum adat (yang digunakan sebagai dasar berpikir dan bertindak

9

masyarakat adat) dan hukum positif (yang digunakan sebagai dasar berpikir dan
bertindak negara dan perusahaan yang terlibat).
Aspek yang seharusnya diketahui dan disadari oleh pihak-pihak yang ingin
memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat adalah kenyataan
tentang keragaman mereka. Keragaman ini dapat dilihat dari segi budaya, agama
dan atau kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya
dengan permasalahan lingkungan hidup, sebagian kelompok memposisikan
mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam
dengan menekankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas dari
masyarakat-masyarakat adat dengan alam. Kelompok lain termasuk pemerintah
orde baru, mereka dianggap sebagai penghambat utama dari perkembangan
“kemajuan” khususnya dari segi ekonomi.
Nilai Adat Dalam Konsepsi Koentjaraningrat
Koentjaraningrat (1985) membedah nilai adat yang dia sebut dengan
unsur-unsur kebudayaan yang universal karena unsur-unsur tersebut pasti bisa di
dapatkan di seluruh dunia dalam beragam kondisi, baik di pedesaan yang kecil
dan terpencil maupun di masyarakat perkotaan yang komplex. Menurutnya unsur
tersebut merupakan isi dari seluruh kebudayaan yang ada di dunia ini. Adapun
unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan
Susunan tersebut dibuat secara berurutan yang menggambarkan tingkat
kesukaran berubah, atau hal yang mudah tergantikan oleh budaya lain. Namun hal
tersebut bersifat umum sehingga terkadang pada kasus-kasus tertentu urutannya
dapat berubah. Kemudian Koentjaraningrat mengklasifikasikan hal tersebut
kedalam tiga bentuk yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu bentuk kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dsb. Sifatnya abstrak, tak dapat dilihat
ataupun diraba. Lokasinya berada dalam kepala –kepala atau alam pikiran.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu aktivitas yang kompleks dari pola
kelakuan suatu masyarakat, atau sering diisebut juga dengan istilah sistem
sosial, hal tersebut berisi rangkaian aturan yang memiliki pola-pola
tertentu.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, hal tersebut
disebut juga dengan kebudayaan fisik yang berupa bentuk fisik yang
merupakan hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat. oleh karena itu wujud ini adalah bentuk yang paling konkrit
dapat dilihat dan diraba.

10

Sikap
Sarnoff dalam Sarwono (2000) mengidentifikasi sikap sebagai kesediaan
untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif
(unfavorably) terhadap obyek – obyek tertentu. Krech dan Crutchfield (1963)
berpendapat bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses
motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia individu.
La Pierre (Azwar 2003) memberikan definisi sikap sebagai suatu pola
perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri
dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli
sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Soetarno (1994) memberikan definisi
sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk
bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu
artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang,
peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.
Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat
dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek
situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan
kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau
situasi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap
Proses belajar sosial terbentuk dari interaksi sosial. Dalam interaksi sosial,
individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang
dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
adalah:
1. Pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap,
pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu,
sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi,
penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama
berbekas.
2. Kebudayaan. B.F. Skinner (Azwar 2005) menekankan pengaruh
lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk kepribadian
seseorang. Kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten
yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang
dimiliki. Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku
tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.
3. Orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu bersikap
konformis atau searah dengan sikap orang orang yang dianggapnya
penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.

11

4. Media massa. Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti
televisi, radio, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal
tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila
cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam memsikapkan dan menilai
sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
5. Institusi Pendidikan dan Agama. Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan
dan agama mempunyai pengaruh kuat dalam pembentukan sikap
dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral
dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah
antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6. Faktor emosi dalam diri. Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi
lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu
bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat sementara dan segera
berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap
yang lebih persisten dan lebih tahan lama. Contohnya bentuk sikap yang
didasari oleh faktor emosional adalah prasangka.
Kerangka Pemikiran
Modernisasi merupakan suatu arus perubahan yang dapat mempengaruhi
dan merubah nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat adat, sehingga banyak ahli
yang memandang bahwa modernisasi merupakan momok bagi keutuhan nilai
suatu bangsa, akan tetapi terdapat suatu perspektif yang memandang bahwa nilai
yang berisikan tuntunan hidup bagi penganutnya seharusnya dapat berakulturasi
dengan modernisasi sehingga mampu mengantarkan masyarakat tersebut kepada
kesejahteraan yang merupakan sasaran bagi modernisasi, dan tidak hanya itu
akulturasi dari dua hal tersebut juga seharusnya mampu memilah dan membuang
dampak-dampak negatif dari suatu proses modernisasi. Modernisasi di dalam
proses penetrasinya tentu membawa nilai-nilai tersendiri yang mana nilai tersebut
menurut Ogburn (1964) seperti dikutip oleh Arkanudin (2012) nilai-nilai tersebut
tentu akan bersinggungan dengan nilai masyarakat adat yang mana nilai adat
tersebut menurut Koentjaraningrat (1974) dapat diamati melalui konsep wujud
kebudayaan yang dia paparkan. Dari akulturasi yang tercipta maka hal tersebut
akan menciptakan suatu pandangan baru masyarakat adat terhadap modernisasi
yang berlangsung di tengah mereka, yang hal tersebut tercermin melalui sikap
mereka terhadap modernisasi itu sendiri. Ketika akulturasi yang baik tercipta
maka akan mendorong masyarakatnya untuk memiliki pandangan positif terhadap
modernisasi, sehingga keterdedahan modernisasi dapat berlangsung dengan baik
dan lancar karena disertai dorongan dan kontrol dari nilai adat.

12

Gambar 1 Kerangka pemikiran peranan nilai adat dalam modernisasi
Keterangan:
Saling mempengaruhi
Mempengaruhi
Penelitian secara deskriptif

:
:
:

Hipotesis Pengarah
Nilai adat berperan positif di dalam akulturasinya dengan nilai modernisasi
sehingga mampu mendorong dan mengontrol proses modernisasi.
Hipotesis Uji
Semakin positif sikap masyarakat terhadap modernisasi maka semakin tinggi
tingkat keterdedahan media di masyarakat tersebut.
Definisi Konseptual
1. Tingkat Keilmiahan Berpikir. Tingkat keilmiahan berpikir dapat diukur
dengan menggunakan indikator apakah keluarga menggunakan cara-cara
yang terlembaga dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tingkat Pemanfaatan Relasi Birokrasi. Tingkat pemanfaatan relasi
birokrasi dapat dilihat dari seberapa sering keluarga berinteraksi dan
menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga birokrasi/pemerintahan
seperti bank, pegadaian, rumah sakit, dan lain-lain.
3. Tingkat Administrasi Keluarga. Tingkat administrasi keluarga dapat
diukur dari pengelolaan surat-surat berharga, manajemen keuangan, serta
pembagian warisan.

13

4. Tingkat Iklim Modernisasi Keluarga. Iklim modernisasi keluarga dapat
diukur dari penggunaan tekonologi yang tepat untuk mendukung
efektifitas kegiatan sehari-hari.
5. Tingkat Organisasi Keluarga. Tingkat organisasi keluarga dapat diukur
dengan apakah dalam keluarga terdapat pembagian tugas pokok dan fungsi
yang jelas dan terlaksana secara nyata.
6. Tingkat Perencanaan Sosial Keluarga Tingkat perencanaan sosial keluarga
dapat dikur dengan melihat seberapa besar usaha-usaha yang dilakukan
dan dipersiapkan oleh keluarga untuk menunjang kehidupan keluarganya
di masa depan, misalnya dengan pendidikan, investasi, deposito, dan
usaha-usaha lainnya.
Definisi Operasional
Sikap Masyarakat
Nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia,
sikap adalah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang
atau mengartikan sesuatu mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk, nilai merupakan inti (core) yang terkandung di dalam sikap, oleh
sebab itu maka sikap merupakan manifestasi kongkrit dari suatu nilai yang abstrak
sehingga dapat diamati dan dapat diukur. Untuk dapat melihat apakah suatu nilai
mampu berakulturasi dengan modernisasi maka nilai tersebut dapat diukur dengan
mengukur sikap masyarakat terhadap modernisasi yang ada di tengah mereka,
pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Likert yang mana
setiap jawaban atas pertanyaan memiliki rentang nilai yang berbeda.sangat
setuju(5) setuju: (4), ragu-ragu: (3), tidak setuju: (2), sangat tidak setuju (1). Hasil
penjumlahan skor jawaban dibagi menjadi kategori ( skala ordinal):
a.Sikap positif, total skor 110-150
b.Sikap netral, total skor 70-109
c.Sikap negatif, total skor 30-69
Tingkat Keterdedahan Media
Tingkat keterdedahan media (media exposure) adalah frekuensi responden
dalam menerima informasi melalui berbagai media, baik media cetak maupun
elektronik (6 jenis media : televisi, radio, koran, majalah/tabloid, brosur/selebaran
dan internet). Pengukuran tingkat keterdedahan media informasi ini menggunakan
skor yaitu sangat sering (5), sering (4), jarang (3), Pernah (2) tidak pernah (1).
penjumlahan skor jawaban dibagi menjadi kategori (skala ordinal) :
a. Terpaan media massa tinggi, total skor
38-50
b. Terpaan media massa sedang, total skor
24-37
c. Terpaan media massa rendah, total skor
10-23

14

PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian kuantitatif yang akan dilakukan merupakan penelitian survei. Metode
kuantitatif dilakukan melalui pengisian kuesioner. Pendekatan kuantitatif ini
diharapkan dapat menjawab bagaimana peranan nilai adat dalam modernisasi.
Pendekatan kualitatif bersifat descriptive research dengan menggunakan teknik
wawancara mendalam terhadap informan.
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini mengambil lokasi di Kampung Ciptagelar yang berada di
wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa
Kampung Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas
dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh
masyarakat pendukungnya. Penelitian dilaksanakan dalam waktu enam bulan
sejak bulan April 2014.
Teknik Sampling
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari responden dan
informan. Unit analisis yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan rumah
tangga yang diwakili oleh individu yang ada di dalam keluarga tersebut.
Pemilihan tersebut dibuat dikarenakan individu yang diambil merupakan
perwakilan dari rumah tangga sehingga dapat diketahui gambaran dan kondisi di
dalam rumah tangganya. Responden hanya memberikan informasi terkait dengan
dirinya.
Berdasarkan data, jumlah KK di Desa Ciptagelar adalah 112 KK.
Penentuan jumlah sampel minimal dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin
sebagai berikut:
n

=

N
1+ Ne2

Keterangan :
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi

e : Nilai kritis (batas ketelitian)

Nilai kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 persen sehingga
diperoleh responden sebanyak 31 KK dari jumlah populasi sampling 112 KK.
Sebagai cadangan apabila terjadi hal-hal yang diluar perkiraan terhadap responden
(seperti sakit, tidak bersedia di wawancara, dan lain lain) peneliti menambah
jumlah responden cadangan sebanyak 5 KK. Penentuan responden dipilih dengan
menggunakan metode simple random sampling. Penetapan responden dalam

16

wawancara kualitatif akan menggunakan metode snowball yaitu berdasarkan
informasi yang didapatkan di lokasi penelitian.

Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ialah data kuantitatif dan kualitatif.
Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Data primer merupakan data mentah yang diperoleh secara langsung dari
pihak atau subyek yang berhubungan dengan penelitian, baik melalui
wawancara maupun kuesioner. Data ini kemudian diolah dan dianalisis
sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Data sekunder merupakan data hasil penelitian sebelumnya atau data yang
telah dikumpulkan oleh suatu lembaga kemudian dipublikasikan demi
kepentingan orang banyak.
Terdapat tiga teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh penulis:
1. Teknik observasi yaitu dengan melakukan pengamatan secara langsung ke
lokasi penelitian (Desa Ciptagelar).
2. Teknik wawancara yaitu dengan cara melakukan tanya jawab dan
memberikan kuesioner kepada para responden.
3. Teknik kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data dari buku
ataupun bahan bacaan lainnya yang berguna untuk tujuan penelitian.
Tabel 1. Panduan pengumpulan data
Metode
Variabel
Kuesioner Pengamatan Data
Wawancara Sumber
Sekunder Mendalam
Data


Nilai Adat


Modernisasi
Sikap Terhadap
Modernisasi
Tingkat
Keterdedahan
Media











Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis,
yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diolah menggunakan
aplikasi Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics 22. Ada beberapa tahap
dalam pengolahan data kuantitatif. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan teknik tabulasi silang dan tabel frekuensi kemudian uji korelasi
Rank Spearmen. Hal ini dilakukan untuk menguji hipotesa dan keabsahan guna
memastikan tidak ada informasi yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian.
Dalam tabulasi silang, akan menjelaskan hubungan antara sikap masyarakat

17

dengan keterdedahan modernisasi. Sedangkan data kualitatif akan diolah melalui
tiga tahap analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.

18

PROFIL DESA CIPTAGELAR
Geografis
Kampung Adat Ciptagelar merupakan salah satu kawasan yang dihuni
oleh kelompok masyarakat adat yang berada di dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun (TNGH) Salak. Secara administratif wilayah kerja Taman
Nasional Gunung Halimun Salak meliputi tiga wilayah administratif
pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak.
Pada tingkat k