HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (POLRI)
HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN REPUBLIK
INDONESIA (POLRI)
SKRIPSI
Oleh :
Farah Fadhilah
201210230311119
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN REPUBLIK
INDONESIA (POLRI)
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai syarat untuk
memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
Farah Fadhilah
201210230311119
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
LEMBAR PENGESAHAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
: Hubungan Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being pada
Pensiunan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
Nama Peneliti
: Farah Fadhilah
NIM
: 201210230311119
Fakultas
: Psikologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Waktu Penelitian : Januari – Maret 2016
Judul Skripsi
Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 29 April 2016
Dewan Penguji
Ketua Penguji
Anggota Penguji
: Hudaniah, S.Psi., M.Si.
: 1. Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si.
2. Dr. Iswinarti, M.Si
3. Zainul Anwar, S.Psi., M.Psi
(
(
(
(
)
)
)
)
Pembimbing I
Pembimbing II
Hudaniah, S.Psi., M.Si.
Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si.
Malang,
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Dra. Tri Dayakisni, M.Si
i
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Farah Fadhilah
Nim
: 201210230311119
Fakultas/Jurusan
: Psikologi
Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Malang
Menyatakan bahwa skripsi/karya ilmiah yang berjudul:
Hubungan Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being pada Pensiunan Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI)
1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk
kutipan yang digunakan dalam naska ini dan telah disebutkan sumbernya.
2. Hasil tulisan karya/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan hak bebas royalti
non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini
tidak benar, maka saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
Malang, 29 April 2016
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Yang menyatakan
Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si
Farah Fadhilah
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian akhirnya yang berjudul
“Hubungan Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being pada Pensiunan Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kelulusan
sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Tidak lupa pula shalawat dan salam
kita kirimkan kepada junjungan baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Dalam menjalankan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak pihak
yang telah membantu dalam hal apapun, baik itu berupa motivasi, bimbingan dan petunjuk
kepada penulis. Untuk itulah pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
2. Ibu Hudaniah, S.Psi., M.Si dan Ibu Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si, selaku Pembimbing I
dan Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu dan pikiran untuk memberikan
bimbingan serta arahan yang sangat berguna hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
3. Bapak Muhammad Shohib, S.Psi., M.Si selaku dosen wali yang telah membimbing dan
memberikan motivasi penulis dari awal perkuliahan sampai penulisan skripsi ini selesai.
4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah banyak mencurhakan ilmunya kepada
penulis selama perkuliahan.
5. Pensiunan POLRI yang tergabung dalam PP POLRI cabang Malang yang telah bersedia
menjadi responden penelitian, khususnya kepada Pak Tamno yang banyak membantu
peneliti dalam proses penelitian.
6. Ayahanda Dr. Syahrir, M.P dan Ibunda Ir. Wijayanti, M.Si yang telah menjadi sumber
inspirasi dan motivasi baik dalam perkuliahan, penyelesaian skripsi dan juga dalam
menjalankan kehidupan penulis.
7. Adik-adik penulis, yaitu Moh. Dwi Rahmadi dan Ibnu Jahsy yang telah memberikan
banyak dukungan dan semangat kepada penulis dari awal penulis merantau di Malang
untuk berkuliah sampai dengan menyelesaikan tahap akhir yaitu skripsi.
8. Bule’ Sayekti Handayani yang telah membantu ketika penulis mengalami kesulitan dan
menyemangati penulis ketika mengalami kejenuhan dalam menyelesaikan skripsi
9. Teman-teman kontrakan, yaitu Kak Iyan, Tifa, Sila, Dini, dan Nida yang telah banyak
memberikan banyak bantuan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi.
10. Teman-teman Fakultas Psikologi UMM angkatan 2012 khususnya kelas B yang telah
menjadi bagian hidup penulis dan memberikan banyak pengalaman yang berharga selama
kuliah di Malang.
iii
11. Miftah, Hasri, Tia, Puput, Rima, dan Eka sebagai teman seperjuangan yang susah dan
senang bersama dan selalu membantu penulis ketika mengalami kesulitan dalam
perkuliahan serta dalam penyelesaian skripsi.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat-Nya atas kontribusi yang telah mereka
berikan dan selalu penulis haturkan doa untuk keselamatan dan kesuksesan bagi kita semua.
Penulis menyadari jika dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga
diharapkan kritik dan saran yang membangun dapat diberikan kepada penulis. Walaupun
demikian, diharapkan isi dari skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi
pembaca.
Malang, 29 April 2016
Penulis,
Farah Fadhilah
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................ i
SURAT PERNYATAAN .................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 2
LANDASAN TEORI ........................................................................................................ 5
Psychological Well-being........................................................................................... 5
Dimensi-dimensi Psychological Well-being .............................................................. 5
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being .................................. 6
Partisipasi Sosial ........................................................................................................ 8
Hubungan Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being ...................................... 8
Hipotesa...................................................................................................................... 9
METODE PENELITIAN ................................................................................................ 10
Rancangan Penelitian ............................................................................................... 10
Subjek Penelitian ...................................................................................................... 10
Variabel dan Instrumen Penelitian ........................................................................... 10
Prosedur dan Analisa Data Penelitian ...................................................................... 13
HASIL PENELITIAN ..................................................................................................... 14
DISKUSI ......................................................................................................................... 15
SIMPULAN DAN IMPLIKASI...................................................................................... 17
REFERENSI.................................................................................................................... 18
LAMPIRAN .................................................................................................................... 21
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Cara Skoring...................................................................................................... 11
Tabel 2. Cara Skoring Bulanan ....................................................................................... 12
Tabel 3. Cara Skoring Tahunan....................................................................................... 12
Tabel 4. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian............................................................... 12
Tabel 5. Indeks Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ........................................................... 13
Tabel 6. Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................................... 14
Tabel 7. Korelasi Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being .......................... 14
Tabel 8. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being ......................... 14
Tabel 9. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being
Berdasarkan Jenis Kelamin ............................................................................. 15
Tabel 10. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being
Berdasarkan Pangkat ....................................................................................... 15
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Blue Print Skala Partisipasi Sosial dan Skala Psychological Well-being... 22
Lampiran 2. Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas Skala Partisipasi Sosial dan
Skala Psychological Well-being .................................................................. 26
Lampiran 3. Skala Penelitian .......................................................................................... 34
Lampiran 4. Hasil Analisis Data ..................................................................................... 40
Lampiran 5. Uji Asumsi .................................................................................................. 45
Lampiran 6. Tabulasi Data .............................................................................................. 47
vii
HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA (POLRI)
Farah Fadhilah
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected]
Pensiun merupakan masa dimana terjadi banyak perubahan, salah satunya perubahan
aktivitas. Tidak semua pensiunan POLRI siap menghadapi perubahan yang terjadi sehingga
mereka cenderung merasakan cemas, stress, dan tidak sejahtera secara psikologis.
Psychological well-being adalah suatu dorongan untuk menggali potensi individu secara
keseluruhan agar mendapatkan hidup yang bermakna, hubungan berkualitas, dan siap untuk
menerima tantangan hidup. Salah satu faktor yang membuat pensiunan merasakan
psychological well-being adalah partisipasi sosial. Partisipasi sosial adalah partisipasi
seseorang dalam kelompok sosial yang dilakukan secara sukarela. Tujuan penelitian ini
adalah untuk melihat hubungan antara partisipasi sosial dengan psychological well-being pada
pensiunan POLRI. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang dilakukan
pada 80 pensiunan POLRI dengan menggunakan teknik purposive sampling dan
menggunakan instrumen Ryff’s Psychological Well-being Scale dan Social Participation
Scale. Teknik analisa data menggunakan korelasi product moment. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara partisipasi sosial dengan
psychological well-being (r = 0,290, p = 0,009 < 0,01). Jadi, semakin tinggi partisipasi
sosialnya, maka semakin tinggi pula psychological well-being seorang pensiunan POLRI.
Kata Kunci : Partisipasi Sosial, Psychological Well-being, Pensiunan POLRI
Pension is a period which is so many alteration things happened. One of them is activity
alteration. Not all of POLRI pensioners ready to prepared for the changes, so that they are
disposed to feel anxiety, stress, and unhappiness psychologically. Psychological well-being is
an urge to explore individuals potential as whole in order to obtain a meaningful life, quality
of relationships, and ready to accept the challenges of life. One of the factors that make
pensioner feel psychologycal well-being is social participation. Social participation is a
person’s participation in social groups voluntarily. The purpose of this study is to discern the
relations between social participation with psychological well-being in POLRI pensioners.
The research is quantitave correlation performed on 80 POLRI pensioners using purposive
sampling techniques and using instruments of Ryff’s psychological well-being scale and
social participation scale. The technique of data analysis using product moment correlation.
The result showed that there is a positive and significant correlation between social
participation with psychological well-being (r = 0,290, p = 0,009 < 0,01). So, the higher the
social participation, the higher the psychological well-being of POLRI pensioners.
Keyword : Social Participation, Psychological Well-being, POLRI Pensioners
1
Masa pensiun tentu akan dialami oleh orang-orang yang bekerja. Pensiun merupakan suatu
fase yang memerlukan beberapa persiapan karena nantinya para pensiunan akan dihadapkan
pada kondisi dan situasi yang baru, dimana mereka butuh penyesuaian diri terhadap apa yang
mereka hadapi di depan dalam masa pensiun mereka. Terdapat perubahan-perubahan yang
terjadi pada masa pensiun, seperti perubahan aktivitas yang dulunya bekerja menjadi tidak
bekerja, terjadi penurunan pendapatan, terjadi perubahan dalam relasi sosial, dan terjadi
penurunan kondisi kesehatan karena bertambahnya usia (Santrock, 1998). Oleh karena itu,
psychological well-being erat kaitannya dengan pensiunan karena tidak semua pensiunan siap
untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut.
Seringkali masa pensiun menimbulkan masalah karena ketidaksiapan dari para pensiunan
untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Pensiun juga dianggap sebagai
kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba., tidak sedikit dari
calon pensiunan sudah merasa cemas dan khawatir karena tidak tahu kehidupan seperti apa
yang akan dihadapinya di masa mendatang. Menurut Prasojo (2011) kecemasan tersebut juga
terjadi karena dalam menghadapi masa pensiun, individu mendapat goncangan perasaan yang
begitu berat karena harus meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, pensiunan biasanya
mengalami suatu gangguan suasana hati dimana individu merasa sangat tidak bahagia,
kehilangan semangat, merendahkan diri, dan mudah merasa bosan atau biasanya dikenal
dengan depresi mayor (Santrock, 2011).
Masa pensiun tidak selalu berdampak negatif dan menimbulkan masalah, tetapi juga bisa
berdampak positif. Ketika pensiunan tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi barunya,
kemungkinan besar pensiunan akan merasakan cemas, stress, bahkan akan mengalami
depresi. Sebaliknya jika pensiunan mampu beradaptasi dan menjalani masa pensiunnya
dengan berpikir serta melakukan hal-hal yang positif, maka mereka akan mempunyai mental
yang sehat. Orang yang dikatakan memiliki kesehatan mental yaitu orang yang mampu
menyesuaikan diri dan aktif dalam lingkungannya, serta memiliki kesatuan kepribadian yang
disebut Shek (1992) sebagai psychological well-being. Keadaan sehat secara mental,
kebahagiaan, serta kepuasaan hidup sangatlah penting bagi pensiunan untuk dapat menjalani
masa tuanya dengan baik.
Perubahan-perubahan yang telah dijelaskan diatas, dialami pula oleh pensiunan POLRI. Pada
masa aktif kerja, anggota POLRI patut bangga akan status sosialnya. Mereka dipandang oleh
masyarakat sebagai bagian dari instansi hukum tertinggi negara, memakai seragam yang
sangat familiar oleh masyarakat, mempunyai pangkat dan jabatan, serta mendapatkan
fasilitas-fasilitas tertentu dari negara karena masuk dalam Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ryff
(1995) mengatakan bahwa individu yang mempunyai status pekerjaan yang baik, status
ekonomi yang baik dan pendidikan yang tinggi akan mempunyai psychological well-being
yang tinggi. Anggota POLRI juga dikenal dengan pekerja dengan jadwal yang padat.
Dedikasinya pada negara dan masyarakat membuat mereka rela untuk pergi pagi dan pulang
malam, serta meninggalkan keluarga di hari libur demi menjalankan tugas-tugasnya sebagai
anggota POLRI. Namun, semua itu akan terlepas ketika mereka memasuki masa pensiun.
Masa pensiun tentunya akan dialami oleh orang-orang yang bekerja sebagai pegawai, apakah
itu pegawai negeri maupun pegawai swasta. Pensiun bukan merupakan suatu peristiwa,
melainkan suatu proses dimana pada masa pensiun, masa kerja secara formal akan berakhir.
Ketika memasuki masa pensiun, seseorang akan berada pada masa transisi dari dunia kerja
menjadi dunia yang bebas dari tuntutan kerja (Turner & Helms, 1995). Selain bebas dari
2
tuntutan kerja, pensiun juga merupakan perubahan karir dari yang meninggalkan sesuatu
menjadi memulai sesuatu yang baru (Schlossberg, 2004). Menurut Pasal 30 Ayat (2) UUD
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa usia
pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ialah 58 tahun dan bagi
anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat
dipertahankan sampai dengan 60 tahun. Menjadi pensiun dapat membuat individu merasa
senang karena terbebas dari beban pekerjaan. Namun, disisi lain pensiun dapat menyebabkan
tekanan karena telah meninggalkan pekerjaan, pendapatan maupun partisipasi sosial di dunia
kerja menurun (Wegman & Mcgee, 2004).
Tidak jarang faktor ekonomi menjadi penyebab rendahnya psychological well-being pada
pensiunan. Karena di masa pensiun, individu tidak lagi mendapatkan gaji penuh seperti yang
didapatkannya pada saat aktif kerja. Menurut Ryff (1999), individu miskin cenderung
membandingkan dirinya dengan orang lain sebagai orang yang tidak beruntung dan merasa
tidak mampu untuk memperoleh sumber daya yang bisa menyesuaikan kesenjangan yang
dirasakan. Oleh karena itu, individu yang memiliki status ekonomi yang rendah cenderung
memiliki psychological well-being yang rendah, sebaliknya individu yang mempersiapkan
dengan baik tabungan pensiunnya dan mempunyai status ekonomi yang baik cenderung
memiliki psychological well-being yang baik.
Faktor status sosial pun juga mempunyai pengaruh pada psychological well-bing pensiunan
POLRI. Pangkat dan jabatan yang diperoleh pada masa kerja, tidak lagi mereka dapatkan pada
saat pensiun. Status sosial erat kaitannya dengan penerimaan diri dan tujuan hidup. Ketika
individu tidak mampu menerima dirinya secara keseluruhan dan tidak mempunyai pandangan
terhadap tujuan dan arah hidupnya setelah pensiun, maka psychological well-beingnya
menjadi rendah. Tidak jarang pensiunan yang merasa tertekan karena perubahan dalam status
sosial ketika memasuki masa pensiun.
Dalam menjalani masa pensiun dengan begitu banyak perubahan yang dialami dalam
hidupnya, para pensiunan memerlukan dukungan sosial dari orang disekitarnya, dimana
dukungan sosial ini merupakan salah satu faktor dari psychological well-being. Menurut
Dzuka & Dalbert (2000), dukungan sosial dapat memfasilitasi kesejahteraan di masa dewasa
yang lebih tua dengan berfokus kepada orang-orang terdekat yang mungkin akan memainkan
peran penting dalam dukungan sosial. Hal ini berarti bahwa dukungan sosial sangat penting
bagi para pensiunan untuk tetap merasa sejahtera secara psikologis di masa tuanya. Dukungan
sosial dapat diperoleh melalui partisipasi sosial. Di dalam partisipasi sosial, individu akan
mendapatkan dukungan sosial mulai dari lingkup kecil seperti keluarga hingga lingkup besar
seperti perkumpulan atau organisasi. Di masa pensiun, dukungan sosial sangat diperlukan
oleh para pensiunan.
Konsep utama partisipasi sosial didasarkan pada asumsi bahwa partisipasi sosial memerlukan
suatu kontak sosial, serta menunjukkan kontribusi sumber daya yang diberikan kepada
masyarakat dan menerima sumber daya dari masyarakat (Levasseur, 2008). Dengan kata lain
bahwa dengan berkontribusi dalam suatu kegiatan dan melakukan kontak sosial dengan orang
lain, maka hal tersebut bisa disebut dengan partisipasi sosial. Dengan banyaknya jumlah
kegiatan sosial yang diikuti maka akan menguatkan hubungan partisipasi sosial, kesehatan,
dan kesejahteraan. Selain itu, penelitian lain juga mengemukakan bahwa menjadi relawan
akan meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penurunan depresi (Thoits & Hweit, 2001;
Li & Ferraro, 2005). Sebuah studi dengan sampel lebih dari 12.500 orang dewasa di Swedia
3
antara usia 16 atau 74 yang kelangsungan hidupnya dipantau dari tahun 1983 sampai akhir
tahun 1991 menemukan bahwa orang yang melaporkan sering menghadiri atau berpartisipasi
dalam acara-acara kebudayaan, diukur dari segi menghadiri teater dan musik pertunjukan,
lebih mungkin untuk bertahan hidup (Bygren et al. 1996).
Di Indonesia, partisipasi sosial yang biasanya dilakukan oleh pensiunan ialah partisipasi sosial
seperti mengikuti pengajian, paduan suara di gereja, arisan, PKK, ronda malam, posyandu,
dan masih banyak lagi. Salah satu tempat dimana para pensiunan yang notabene adalah lansia
melakukan partisipasi sosial adalah posyandu lansia. Posyandu lansia adalah tempat
pelayanan kesehatan yang diperuntukkan oleh penduduk lansia. Selain pelayanan kesehatan,
posyandu lansia ini juga memberikan pelayanan sosial, agama, pendidikan, keterampilan,
olahraga, seni budaya, dan pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh para lansia untuk
peningkatan kesehatan dan kesejahteraan hidup (Pusat Data dan Informasi, 2014). Untuk para
pensiunan POLRI, terdapat organisasi yang menaungi mereka dalam hal partisipasi sosial,
yaitu Perkumpulan Pensiunan POLRI (PP POLRI). Di Malang, para pensiunan POLRI yang
tergabung dalam PP POLRI rutin mengadakan pertemuan bulanan dalam rangka untuk
menjalin silaturahmi dan menjalankan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan organisasi
tersebut. PP POLRI cabang Malang yang terdiri dari 5 ranting ini, mempunyai kegiatan
masing-masing seperti arisan, pengumpulan uang kas yang akan digunakan untuk membantu
teman yang sakit atau yang meninggal, dan masih banyak lagi. Dengan partisipasi sosial, para
pensiunan dapat melakukan kontak sosial dan mendapatkan dukungan sosial sehingga
psychological well-being mereka menjadi baik.
Selain itu, menurut Employment and Social Development Canada (2016), partisipasi sosial
mengacu pada keterlibatan sosial masyarakat dan interaksi dengan orang lain. Kegiatan
seperti menjadi relawan, bakti sosial (baksos), berpartisipasi dalam kegiatan olahraga,
kegiatan politik dan kegiatan rekreasi adalah bentuk partisipasi sosial. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Canada, masyarakat Canada merupakan masyarakat yang sangat aktif
dalam partisipasi sosial. Hal ini dikarenakan, dengan adanya partisipasi sosial mereka dapat
mendapatkan kesejahteraan. Hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2011) bahwa di masa
tuanya, banyak lansia pensiunan yang memilih bekerja tanpa dibayar, seperti menjadi
sukarelawan atau menjadi partisipan aktif dalam asosiasi sukarela. Pilihan ini memberikan
peluang kepada mereka untuk terlibat dalam aktivitas yang produktif, menjalin interaksi sosial
dan memperoleh identitas positif.
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengetahui apakah partisipasi sosial mempunyai
hubungan dengan psychological well-being pada pensiunan POLRI. Kenapa harus pensiunan
POLRI? Karena pada masa aktif kerja, anggota POLRI mempunyai aktivitas yang cukup
padat dalam kesehariannya yang berkaitan dengan masyarakat, selain itu dengan menjadi
anggota POLRI mempunyai suatu kebanggaan bagi mereka karena mempunyai status sosial
ekonomi yang baik. Namun, pada masa pensiun para pensiunan anggota POLRI mengalami
perubahan aktivitas dan juga perubahan status sosial ekonomi. Perubahan-perubahan tersebut
yang membuat penulis ingin menjadikan pensiunan POLRI sebagai subjek penelitian. Alasan
peneliti melakukan penelitian ini karena peneliti ingin membuktikan apakah penelitianpenelitian sebelumnya yang dilakukan di luar negeri terjadi juga di Indonesia khususnya pada
pensiunan POLRI ataukah sebaliknya tanpa melakukan partisipasi sosial pensiunan POLRI
tetap merasakan kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian yang
berjudul “Hubungan Partisipasi Sosial Dengan Psychological Well-Being Pensiunan POLRI”.
4
Psychological Well-Being
Konsep awal psychological well-being didasarkan pada teori psikologi perkembangan dan
psikologi klinis. Teori tersebut menekankan pada potensi yang dimiliki individu untuk dapat
memiliki hidup yang bermakna, menjalin hubungan yang berkualitas, dan dapat
merealisasikan dirinya untuk menghadapi tantangan hidup (Keyes, Shmotkin, dan Ryff,
2002). Selanjutnya Ryff dan Keyes (1995) mendefinisikan psychological well-being sebagai
suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan. Ketika seseorang
pasrah terhadap keadaan maka psychological well-being menjadi rendah, sebaliknya ketika
seseorang berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya maka psychological well-being
menjadi tinggi. Selain itu, psychological well-being juga didefinisikan sebagai sebuah kondisi
dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, mampu
menentukan dan membuat keputusan atas hidupnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain,
dapat mengatur dan menciptakan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya,
memiliki tujuan hidup, dapat membuat hidupnya bermakna, dan mampu mengembangkan
dirinya (Ryff, 1989). Kondisi-kondisi tersebut dijadikan patokan untuk menentukan dimensidimensi psychological well-being.
Dimensi-dimensi Psychological Well-Being
Ryff (1995) menyatakan terdapat enam dimensi yang membentuk psychological well-being,
yaitu:
1. Penerimaan diri (self acceptance)
Penerimaan diri adalah kemampuan seseorang untuk menerima dirinya secara
keseluruhan baik pada masa sekarang maupun pada masa lalunya. Seseorang yang
menilai dirinya secara postif adalah orang yang dapat memahami dan menerima
berbagai aspek dalam dirinya, mampu mengaktualisasikan diri, berfungsi secara
optimal, dan bersikap positif atas kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya seseorang
yang menilai dirinya secara negatif adalah orang yang menunjukkan ketidakpuasan
terhadap kondisinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi di masa lalunya,
ingin menjadi orang lain atau tidak menerima dirinya dengan apa adanya.
2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Hubungan positif adalah kemampuan seseorang menjalin hubungan yang baik dengan
orang lain disekitarnya. Seseorang yang memiliki hubungan positif yang tinggi, mampu
membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain, memiliki
kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, mampu menunjukkan empati dan afeksi,
serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi.
Sedangkan seseorang yang memiliki hubungan positif yang rendah, akan terisolasi dan
merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, serta tidak berkeinginan untuk
berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain
3. Otonomi (autonomy)
Otonomi adalah kemampuan seseorang untuk bebas namun tetap mampu mengatur
hidup dan tingkah lakunya. Seseorang yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai
dengan kebebasan, mampu untuk menentukan nasibnya sendiri, mampu untuk mandiri,
tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu
mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sedangkan seseorang
yang memiliki otonomi rendah, akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan
harapan dan evaluasi dari orang lain, berpedoman pada penilaian orang lain untuk
membuat keputusan penting, dan mudah terpengaruh oleh tekanan sosial.
5
4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Penguasaan lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk mengatur lingkungannya,
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan dan mengontrol
lingkungan sesuai dengan kebutuhannya. Seseorang yang memiliki penguasaan
lingkungan yang tinggi, akan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur
lingkungan, seperti memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, dan mampu
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sedangkan seseorang
yang memiliki penguasaan lingkungan rendah, akan mengalami kesulitan dalam
mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan
kualitas lingkungannya, dan tidak mampu memanfaatkan kesempatan yang terdapat
pada lingkungan sekitarnya
5. Tujuan hidup (purpose of life)
Tujuan hidup adalah pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, mempunyai
keyakinan dalam mencapai tujuan hidupnya dan merasa bahwa pengalaman hidup di
masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Seseorang yang memiliki tujuan
hidup yang tinggi, akan memiliki tujuan dan arah dalam menjalani kehidupan,
merasakan arti dalam kehidupan masa kini dan masa lampau yang telah dijalaninya.
Sedangkan seseorang yang memiliki tujuan hidup rendah, akan kehilangan makna
hidup, tidak mempunyai cita-cita yang jelas, tidak melihat arti dari kehidupan yang
dijalaninya, serta tidak mempunyai harapan dan kepercayaan pada hidup
6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Pertumbuhan pribadi adalah kemampuan seseorang untuk berkembang. Seseorang yang
memiliki pertumbuhan pribadi yang tinggi, akan memandang dirinya sebagai individu
yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru,
memiliki kemampuan menyadari potensi yang dimiliki dan memiliki pengetahuan yang
bertambah. Sebaliknya, seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang rendah,
akan mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa
bosan dan kehilangan minat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being yaitu:
1. Usia
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ryff, ditemukan perbedaan tingkat psychological
well-being pada beberapa kategori usia. Ryff membagi kategori usia kedalam tiga
bagian, yaitu young (25-29 tahun), mildlife (30-64 tahun), dan older (>65 tahun) (Ryff
& Keyes, 1995). Skor tinggi yang diperoleh individu dewasa akhir (older) adalah pada
dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan
penerimaan diri, sedangkan dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup memiliki
skor yang rendah. Pada individu yang masuk dalam kategori dewasa madya (mildlife)
memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan
hubungan positif dengan orang lain, sedangkan pada dimensi pertumbuhan pribadi,
tujuan hidup, dan penerimaan diri mempunyai skor yang rendah. Individu yang berada
dalam kategori usia dewasa awal (young) mempunyai skor yang tinggi pada dimensi
pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup, sedangan pada dimensi
hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki
skor yang rendah (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).
6
2. Gender
Dalam hasil penelitiannya, Ryff (1989) menyatakan bahwa dalam dimensi hubungan
positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi, perempuan memiliki nilai yang
lebih tinggi dibanding laki-laki karena kemampuan perempuan dalam berinteraksi
dengan lingkungan lebih baik dibanding dengan laki-laki. Sebagian besar keluarga,
sejak kecil telah menanamkan sikap agresif, kuat, kasar, dan mandiri pada laki-laki,
sedangkan pada perempuan ditanamkan sikap pasif, tidak berdaya, dan sensitif terhadap
perasaan orang lain sehingga hal-hal seperti ini terbawa sampai anak menjadi dewasa.
Sebagai sosok yang sensitive terhadap perasaan orang lain, perempuan terbiasa untuk
membina hubungan baik dengan orang lain untuk menciptakan keadaan yang harmoni.
Hal ini yang menyebabkan perempuan memiliki psychological well-being yang tinggi
dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain karena perempuan dapat
mempertahankan hubungan baik dengan orang lain yang disebabkan sikap sensitif yang
dimilikinya (Papalia & Feldman, 2008).
3. Status Sosial Ekonomi
Ryff mengatakan bahwa status sosial ekonomi erat kaitannya dengan dimensi
penerimaan diri dan tujuan hidup. Perbedaan status sosial ekonomi dalam psychological
well-being akan berdampak pada kesejahteraan fisik maupun mental seseorang.
Beberapa penelitian mendukung pendapat ini, dimana individu-individu yang
mempunyai pendidikan yang tinggi dan status pekerjaan yang baik, akan mempunyai
psychological well-being yang tinggi (Ryan & Deci, 2001; Ryff & Singer, 2008).
Mereka yang mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi akan memiliki perasaan
yang lebih positif dibandingkan mereka yang mempunyai status sosial dan ekonomi
yang rendah.
4. Budaya
Ryff (1995) mengatakan bahwa nilai individualisme atau kolektivisme memberi
dampak pada psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan, menunjukkan bahwa budaya
barat (Amerika) menjunjung tinggi nilai individualisme memiliki nilai yang tinggi
dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur (Korea Selatan)
yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada dimensi
hubungan positif dengan orang lain.
5. Kepribadian
Berdasarkan hasil penelitian dari Keyes, Shmotkin, dan Ryff (2002) menyatakan bahwa
trait kepribadian neuroticism, extraversion, dan conscientiousness merupakan prediktor
yang kuat untuk dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup.
Trait kepribadian lainnya seperti openness to experience untuk dimensi pertumbuhan
pribadi, dan agreeableness untuk dimensi hubungan dengan orang lain.
6. Dukungan Sosial
Dukungan sosial dapat diartikan sebagai rasa nyaman, perasaan dihargai, dan juga
perhatian yang didapatkan dari orang lain atau kelompok. Individu-individu yang
mendapatkan dukungan sosial seperti dari pasangan, keluarga, teman, dokter, maupun
organisasi sosial akan meningkatkan psychological well-being (Davis dalam Pratiwi,
2000). Dukungan sosial dapat memfasilitasi kesejahteraan di masa dewasa yang lebih
tua dengan berfokus pada orang-orang terdekat yang mungkin akan memainkan peran
penting dalam pemanfaatan dukungan sosial (Dzuka & Dalbert, 2000).
7
Partisipasi Sosial
Prohaska, Anderson dan Binstock (2012) mengungkapkan bahwa definisi keterlibatan sosial
atau partisipasi sosial secara umum digunakan untuk merujuk kepada partisipasi seseorang
dalam kegiatan suatu kelompok sosial. Mereka mencatat bahwa istilah tidak selalu digunakan
secara konsisten dalam sastra, dan kadang-kadang dapat terjadi kebingungan karena terdapat
beberapa istilah yang mirip (tapi berbeda) dalam ilmu-ilmu sosial. Contohnya seperti
keterlibatan sosial berbeda dengan konsep jaringan sosial, jaringan sosial berfokus pada
kelompok, bukan pada kegiatan. Di Indonesia, partisipasi sosial (social participation) lebih
dikenal dengan keterlibatan sosial atau partisipasi masyarakat. Istilah partisipasi sosial lebih
familiar di luar negeri.
Secara kesuluruhan, konsep utama pada partisipasi sosial ini didasarkan bahwa pada dasarnya
partisipasi sosial memerlukan suatu kontak sosial, serta menunjukkan kontribusi sumber daya
yang diberikan kepada masyarakat, dan menerima sumber daya dari masyarakat (Levasseur,
2008). Jadi, pada dasarnya dalam partisipasi sosial, terjadi hubungan timbal balik baik secara
materi maupun psikologis. Partisipasi sosial dilakukan dengan sukarela dengan bergabung
dalam suatu kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok tersebut bisa dalam kelompok politik
seperti ikut berpartisipasi dalam pemilu, kelompok kesehatan seperti ikut berpartisipasi di
puskesmas, dan kelompok sosial seperti mengikuti bakti sosial.
Selain itu, Cicognani dkk (2008) mengatakan bahwa partisipasi sosial sering dijadikan
sebagai sarana untuk melakukan pembebasan, pemberdayaan dan pergerakan sosial. Oleh
karena itu, partisipasi sosial diyakini memiliki unsur-unsur yang menyenangkan karena dapat
meningkatkan hubungan sosial dengan orang lain.
Partisipasi sosial dapat dilihat dari frekuensinya dalam mengikuti aktivitas-aktivitas yang
behubungan dengan kehidupan sehari-hari (Gilmour, 2012). Berikut adalah frekuensi
partisipasi yang masuk dalam klasifikasi partisipasi mingguan:
1. Kegiatan yang dilakukan diluar rumah bersama dengan keluarga dan teman.
2. Melakukan kegiatan keagamaan yang ada di lingkungan sekitar.
3. Melakukan kegiatan fisik atau olahraga dengan orang lain.
4. Aktivitas rekreasi yang berhubungan dengan orang lain, seperti melakukan hobbi dan
juga permainan-permainan lainnya.
Berikut adalah frekuensi partisipasi sosial yang masuk dalam klasifikasi partisipasi bulanan:
1. Kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, kegiatan budaya yang berkaitan dengan
orang lain, menonton konser, dan lain-lain.
2. Mengikuti klub pelayanan kesehatan seperti kegiatan di puskesmas atau rumah sakit.
3. Mengikuti komunitas profesional di lingkungan rumah seperti perkumpulan sesama
rekan kerja, ataupun kegiatan PKK.
4. Turut serta dalam kegiatan suka rela dan kegiatan amal bantuan.
Hubungan Partisipasi Sosial dan Psychological Well-Being
Pada masa dewasa akhir banyak perubahan-perubahan yang dialami, salah satunya adalah
perubahan dalam aktivitas, begitupun yang dialami pensiunan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh beberapa ahli tentang teori aktivitas, mereka menyatakan bahwa semakin besar
aktivitas dan keterlibatan individu usia lanjut, maka semakin puas mereka terhadap
kehidupannya. Selain itu, para peneliti juga menemukan bahwa apabila seseorang aktif,
8
enerjik, dan produktif, maka mereka akan lebih baik di masa tuanya daripada mereka
dijauhkan dari masyarakat (Neugarten dkk, 1968). Hal ini pula yang dialami pensiunan
POLRI. Pada masa bekerja, mereka mempunyai jadwal yang padat dalam melaksanakan
tugas-tugasnya, sering berhubungan dengan masyarakat, dan aktif untuk mengikuti kegiatankegiatan yang berhubungan dengan tugas kepolisian. Ketika mereka telah pensiun, tentunya
mereka tidak dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang pernah mereka lakukan selama
bekerja, tidak ada lagi tanggung jawab pekerjaan yang mereka harus laksanakan. Oleh karena
itu, dengan adanya partisipasi sosial yang mereka lakukan di masa tuanya, akan meningkatkan
kesejahteraannya. Bukan hanya dalam kesejahteraan, tetapi juga dalam aspek kesehatan.
Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian dikemukakan bahwa menjadi sukarelawan dapat
mengurangi keringkihan pada orang lanjut usia (Jung dkk, dalam Santrock, 2011).
Selanjutnya dalam penelitian lain, relawan lansia melakukukan lebih banyak jam dalam
aktivitas sukarela dibandingkan relawan muda. Lansia dengan kemanusiaan dan pemikiran
sosial yang tinggi cenderung untuk menjadi sukarelawan, dan terdapat bukti bahwa terjadi
hubungan timbal balik antara melakukan kegiatan sukarela dan kesejahteraan. (Howell, 2010).
Selain itu, menurut Employment and Social Development Canada, partisipasi sosial mengacu
pada keterlibatan sosial masyarakat dan interaksi dengan orang lain. Kegiatan seperti menjadi
relawan, bakti sosial (baksos), berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, kegiatan politik dan
kegiatan rekreasi semua bentuk partisipasi sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Canada, masyarakat Canada merupakan masyarakat yang sangat aktif dalam partisipasi sosial.
Hal ini dikarenakan dengan partisipasi sosial mereka dapat mendapatkan kesejahteraan.
Psychological well-being tidak serta merta terjadi karena adanya partisipasi sosial. Salah satu
faktor psychological well-being yang berkaitan dengan partisipasi sosial ialah dukungan
sosial. Bagi orang dengan usia lanjut, dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan fisik
dan mental karena dengan adanya dukungan sosial akan tercipta rasa nyaman dan perasaan
dihargai. Dukungan sosial bisa didapatkan dari pasangan, keluarga, teman, dokter, maupun
organisasi sosial (Pratiwi, 2000). Dukungan sosial dapat memfasilitasi kesejahteraan di masa
dewasa yang lebih tua dengan berfokus pada orang-orang terdekat yang mungkin akan
memainkan peran penting dalam pemanfaatan dukungan sosial (Dzuka & Dalbert, 2000).
Contoh dalam lingkup kecil bahwa dukungan sosial terdapat dalam partispasi sosial ialah
seperti mengikuti arisan keluarga. Dengan adanya dukungan dari keluarga dan tidak adanya
diskriminasi oleh pihak keluarga karena usia yang sudah tua dan kondisi fisik yang telah
ringkih, pensiunan merasa dihargai dan akan merasa nyaman untuk mengikuti arisan keluarga
tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, partisipasi sosial erat kaitannya dengan psychological wellbeing karena dalam faktor psychological well-being terdapat salah satu faktor yang berkaitan
dengan partisipasi sosial, yaitu dukungan sosial. Oleh karena itu, dengan berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan sosial seperti menjadi sukarelawan atau ikut berperan dalam suatu kegiatan,
pensiunan juga akan mendapatkan dukungan sosial sehingga akan meningkatkan
psychological well-being pada pensiunan POLRI.
Hipotesa
Terdapat hubungan positif antara partisipasi sosial dan psychological well-being pada
pensiunan POLRI. Semakin tinggi partisipasi sosialnya, maka akan semakin tinggi pula
psychological well-being yang dimiliki pensiunan POLRI.
9
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang merupakan sebuah penelitian yang
identik dengan punggunaan angka-angka dan pengolahannya juga menggunakan analisis
statistik sehingga dilakukan interpretasi terhadap angka-angka tersebut (Sugiyono, 2012).
Pendekatan kuantitatif umumnya merupakan penelitian yang mempunyai jumlah sampel
besar. Berdasarkan karakteristik penelitian, penelitian ini menggunakan metode penelitian
korelasional dimana penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel
partisipasi sosial dan variabel psychological well-being.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah pensiunan POLRI di Kota Malang yang tergabung dalam PP POLRI
dan mulai pensiun pada usia pensiun yang telah ditetapkan yaitu 58 tahun (bukan pensiun
dini). Jumlah subjek dalam penelitian ini ialah 80 orang pensiunan POLRI. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling, yaitu purposive
sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang
didasarkan pada tujuan tertentu, namun harus memperhatikan kriteria atau ciri-ciri yang dapat
menggambarkan populasi. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan,
yaitu keterbatasan waktu, dana, dan tenaga sehingga tidak dapat mengambil sampel yang
besar (Arikunto, 2013)
Variabel dan Instrumen Penelitian
Variabel independen (bebas) yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah
partisipasi sosial, sedangkan variabel dependen (terikat) adalah psychological well-being.
Partisipasi sosial adalah keikutsertaan individu dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan masyarakat yang dilakukan satu kali atau lebih dengan jangka waktu sebulan ataupun
setahun, seperti kegiatan keagamaan, kesehatan, olahraga, dll. Sedangkan psychological wellbeing adalah upaya individu untuk mengoptimalkam potensi yang ada dalam dirinya yang
didasarkan pada penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan
lingkungan, tujuan, hidup, dan pertumbuhan pribadi agar hidupnya lebih bermakna.
Pada penelitian ini, psychological well-being dapat diukur dengan menggunakan Ryff’s scales
of Psychological Well-being (Ryff, 1989). Skala ini berbahasa asli bahasa Inggris, namun
telah dialih bahasa oleh peneliti dan beberapa orang teman yang ahli dalam bahasa Inggris
menjadi bahasa Indonesia. Skala yang diciptakan Ryff ini menerangkan tentang 6 dimensi,
yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan,
tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Skala ini sebenarnya terdiri dari 54 item yang dalam
jurnal Amalia dan Fitriana (2015), mengukur psychological well-being pada lansia dengan
reliabilitas 0,845 dan validitas >0,30. Namun dalam pelaksanaan try out, peneliti mengurangi
2 item pada masing-masing dimensinya dikarenakan adanya bias budaya sehingga menjadi 42
item. Setelah pelaksanaan try out, didapatkan 28 item yang valid dan layak digunakan dalam
penelitian.
Alat ukur ini menggunakan skala likert. Skala likert adalah skala yang digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena
10
sosial. Dalam skala ini juga dibutuhkan aspek-aspek sebagai tolak ukur dalam pembuatan
item-item. Jawaban dari setiap item mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat
negatif (Sugiyono, 2014). Alat ini memiliki 6 variasi respon, yaitu dimulai dengan STS
(sangat tidak setuju) sampai dengan SS (sangat setuju). Alat ukur ini juga terdiri dari item
favorable dan unfavorable, dimana terdapat 13 item favorable dan 15 item unfavorable. Item
favorable akan mendapat skor 6 jika menjawab pilihan SS yaitu sangat setuju, skor 5 jika
menjawab pilihan S yaitu setuju, begitu seterusnya. Sedangkan item unfavorable merupakan
kebalikan dari item favorable, yaitu akan mendapat skor 6 jika menjawab pilihan STS yaitu
sangat tidak setuju, akan mendapat skor 5 jika menjawab pilihan TS yaitu tidak setuju, begitu
seterusnya.
Tabel 1. Cara Skoring
STS
TS
ATS
AS
S
SS
Variasi Respon
: Sangat Tidak Setuju
: Tidak Setuju
: Agak Tidak Setuju
: Agak Setuju
: Setuju
: Sangat Setuju
Skor Favorable
1
2
3
4
5
6
Skor Unfavorable
6
5
4
3
2
1
Alat ukur kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah Social Participation Scale (SPS)
yang digunakan untuk mengukur partisipasi sosial. Social Participation Scale (SPS) dibuat
oleh peneliti dan rekan-rekan payung penelitian partisipasi sosial dengan berpedoman pada
teori dari Gilmour (2012) yang terdiri dari 7 jenis kegiatan, yaitu kegiatan yang dilakukan
diluar rumah, kegiatan keagamaan, kegiatan olahraga atau aktivitas fisik, kegiatan rekreasi,
kegiatan pelayanan kesehatan, kegiatan komunitas professional di lingkungan sekitar, dan
kegiatan sukarela atau volunteer. Teori Gilmour ini sebenarnya memiliki 8 aspek, tetapi
karena salah satu aspeknya yaitu budaya dan pendidikan memiliki bias budaya maka aspek
tersebut tidak digunakan dalam skala ini. Dalam pelaksanaan try out, skala ini terdiri dari 30
item yang terdiri dari dua bagian, yaitu 4 jenis kegiatan dengan frekuensi bulanan dan 3 jenis
kegiatan dengan frekuensi tahunan. Setelah try out dilakukan, selanjutnya peneliti melakukan
validasi dan mendapatkan 13 item yang valid dan layak untuk digunakan dalam penelitian.
Alat ukur ini menggunakan skala likert. Skala likert adalah skala yang digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena
sosial. Dalam skala ini juga dibutuhkan aspek-aspek sebagai tolak ukur dalam pembuatan
item-item. Jawaban dari setiap item mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat
negatif (Sugiyono, 2014). Item favorable akan mendapat skor 5 jika menjawab pilihan SS
yaitu sangat sering, skor 4 jika menjawab pilihan S yaitu sering, begitu seterusnya. Sedangkan
item unfavorable merupakan kebalikan dari item favorable, yaitu akan mendapat skor 5 jika
menjawab pilihan TP yaitu tidak pernah, skor 4 jika menjawab pilihan J yaitu jarang, begitu
seterusnya. Berikut cara skoringnya:
11
Tabel 2. Cara Skoring Bulanan
SS
sebulan
S
CS
sebulan
J
TP
sekali
Variasi Respon
: Sangat Sering / 4 kali dalam
Skor Favorable
5
Skor Unfavorable
1
: Sering / 3 kali dalam sebulan
: Cukup Sering / 2 kali dalam
4
3
2
3
: Jarang / 1 kali dalam sebulan
: Tidak Pernah / Tidak sama
2
1
4
5
Skor Favorable
5
Skor Unfavorable
1
4
2
3
3
2
4
1
5
Tabel 3. Cara Skoring Tahunan
Variasi Respon
SS
: Sangat Sering / 10-12 kali
dalam setahun
S
: Sering / 7-9 kali dalam
setahun
CS
: Cukup Sering / 4-6 kali dalam
setahun
J
: Jarang / 1-3 kali dalam
setahun
TP
: Tidak Pernah / Tidak sama
sekali
Setelah peneliti melakukan uji try out pada skala psychological well-being dan partisipasi
sosial, dapat diketahui indeks validitas dan indeks reliabilitas masing-masing skala, berikut
hasilnya:
Tabel 4. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian
Alat Ukur
Ryff’s scales of
Psychological Wellbeing
Social Participation
Scales
Jumlah Item
Diujikan
42
Jumlah Item
Valid
28
Jumlah Item
Gugur
14
Indeks Validitas
30
13
17
0,303 – 0,654
0,294 – 0,704
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh hasil try out Ryff’s scales of Psychological Well-being dengan
42 item yang diujikan terdapat 28 item yang valid dan 14 item yang gugur dengan indeks
validitas 0,294 - 0,704 sedangkan Social Participation Scales dengan 30 item yang diujikan
terdapat 13 item yang dinyatakan valid dan 17 item yang gugur dengan indeks validitas 0,303
– 0,654. Perolehan hasil try out dari kedua skala tersebut didapatkan dengan menggunakan
SPSS for windows versi 21 dan untuk menentukan item yang valid menggunakan metode
corrected item-total correlation. Suatu item dikatakan valid atau tidak dapat dilakukan
dengan membandingkan nilai r hitung (corrected item-total correlation) dengan r tabel
(didapat dari tabel r). Nilai r tabel dicari menggunakan tingkat signifikansi 0,05 dengan uji 2
sisi dan df = n
WELL-BEING PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN REPUBLIK
INDONESIA (POLRI)
SKRIPSI
Oleh :
Farah Fadhilah
201210230311119
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN REPUBLIK
INDONESIA (POLRI)
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai syarat untuk
memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
Farah Fadhilah
201210230311119
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
LEMBAR PENGESAHAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
: Hubungan Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being pada
Pensiunan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
Nama Peneliti
: Farah Fadhilah
NIM
: 201210230311119
Fakultas
: Psikologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Waktu Penelitian : Januari – Maret 2016
Judul Skripsi
Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 29 April 2016
Dewan Penguji
Ketua Penguji
Anggota Penguji
: Hudaniah, S.Psi., M.Si.
: 1. Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si.
2. Dr. Iswinarti, M.Si
3. Zainul Anwar, S.Psi., M.Psi
(
(
(
(
)
)
)
)
Pembimbing I
Pembimbing II
Hudaniah, S.Psi., M.Si.
Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si.
Malang,
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Dra. Tri Dayakisni, M.Si
i
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Farah Fadhilah
Nim
: 201210230311119
Fakultas/Jurusan
: Psikologi
Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Malang
Menyatakan bahwa skripsi/karya ilmiah yang berjudul:
Hubungan Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being pada Pensiunan Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI)
1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk
kutipan yang digunakan dalam naska ini dan telah disebutkan sumbernya.
2. Hasil tulisan karya/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan hak bebas royalti
non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini
tidak benar, maka saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
Malang, 29 April 2016
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Yang menyatakan
Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si
Farah Fadhilah
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian akhirnya yang berjudul
“Hubungan Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being pada Pensiunan Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kelulusan
sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Tidak lupa pula shalawat dan salam
kita kirimkan kepada junjungan baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Dalam menjalankan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak pihak
yang telah membantu dalam hal apapun, baik itu berupa motivasi, bimbingan dan petunjuk
kepada penulis. Untuk itulah pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
2. Ibu Hudaniah, S.Psi., M.Si dan Ibu Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si, selaku Pembimbing I
dan Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu dan pikiran untuk memberikan
bimbingan serta arahan yang sangat berguna hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
3. Bapak Muhammad Shohib, S.Psi., M.Si selaku dosen wali yang telah membimbing dan
memberikan motivasi penulis dari awal perkuliahan sampai penulisan skripsi ini selesai.
4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah banyak mencurhakan ilmunya kepada
penulis selama perkuliahan.
5. Pensiunan POLRI yang tergabung dalam PP POLRI cabang Malang yang telah bersedia
menjadi responden penelitian, khususnya kepada Pak Tamno yang banyak membantu
peneliti dalam proses penelitian.
6. Ayahanda Dr. Syahrir, M.P dan Ibunda Ir. Wijayanti, M.Si yang telah menjadi sumber
inspirasi dan motivasi baik dalam perkuliahan, penyelesaian skripsi dan juga dalam
menjalankan kehidupan penulis.
7. Adik-adik penulis, yaitu Moh. Dwi Rahmadi dan Ibnu Jahsy yang telah memberikan
banyak dukungan dan semangat kepada penulis dari awal penulis merantau di Malang
untuk berkuliah sampai dengan menyelesaikan tahap akhir yaitu skripsi.
8. Bule’ Sayekti Handayani yang telah membantu ketika penulis mengalami kesulitan dan
menyemangati penulis ketika mengalami kejenuhan dalam menyelesaikan skripsi
9. Teman-teman kontrakan, yaitu Kak Iyan, Tifa, Sila, Dini, dan Nida yang telah banyak
memberikan banyak bantuan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi.
10. Teman-teman Fakultas Psikologi UMM angkatan 2012 khususnya kelas B yang telah
menjadi bagian hidup penulis dan memberikan banyak pengalaman yang berharga selama
kuliah di Malang.
iii
11. Miftah, Hasri, Tia, Puput, Rima, dan Eka sebagai teman seperjuangan yang susah dan
senang bersama dan selalu membantu penulis ketika mengalami kesulitan dalam
perkuliahan serta dalam penyelesaian skripsi.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat-Nya atas kontribusi yang telah mereka
berikan dan selalu penulis haturkan doa untuk keselamatan dan kesuksesan bagi kita semua.
Penulis menyadari jika dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga
diharapkan kritik dan saran yang membangun dapat diberikan kepada penulis. Walaupun
demikian, diharapkan isi dari skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi
pembaca.
Malang, 29 April 2016
Penulis,
Farah Fadhilah
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................ i
SURAT PERNYATAAN .................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 2
LANDASAN TEORI ........................................................................................................ 5
Psychological Well-being........................................................................................... 5
Dimensi-dimensi Psychological Well-being .............................................................. 5
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being .................................. 6
Partisipasi Sosial ........................................................................................................ 8
Hubungan Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being ...................................... 8
Hipotesa...................................................................................................................... 9
METODE PENELITIAN ................................................................................................ 10
Rancangan Penelitian ............................................................................................... 10
Subjek Penelitian ...................................................................................................... 10
Variabel dan Instrumen Penelitian ........................................................................... 10
Prosedur dan Analisa Data Penelitian ...................................................................... 13
HASIL PENELITIAN ..................................................................................................... 14
DISKUSI ......................................................................................................................... 15
SIMPULAN DAN IMPLIKASI...................................................................................... 17
REFERENSI.................................................................................................................... 18
LAMPIRAN .................................................................................................................... 21
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Cara Skoring...................................................................................................... 11
Tabel 2. Cara Skoring Bulanan ....................................................................................... 12
Tabel 3. Cara Skoring Tahunan....................................................................................... 12
Tabel 4. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian............................................................... 12
Tabel 5. Indeks Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ........................................................... 13
Tabel 6. Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................................... 14
Tabel 7. Korelasi Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being .......................... 14
Tabel 8. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being ......................... 14
Tabel 9. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being
Berdasarkan Jenis Kelamin ............................................................................. 15
Tabel 10. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being
Berdasarkan Pangkat ....................................................................................... 15
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Blue Print Skala Partisipasi Sosial dan Skala Psychological Well-being... 22
Lampiran 2. Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas Skala Partisipasi Sosial dan
Skala Psychological Well-being .................................................................. 26
Lampiran 3. Skala Penelitian .......................................................................................... 34
Lampiran 4. Hasil Analisis Data ..................................................................................... 40
Lampiran 5. Uji Asumsi .................................................................................................. 45
Lampiran 6. Tabulasi Data .............................................................................................. 47
vii
HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA (POLRI)
Farah Fadhilah
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected]
Pensiun merupakan masa dimana terjadi banyak perubahan, salah satunya perubahan
aktivitas. Tidak semua pensiunan POLRI siap menghadapi perubahan yang terjadi sehingga
mereka cenderung merasakan cemas, stress, dan tidak sejahtera secara psikologis.
Psychological well-being adalah suatu dorongan untuk menggali potensi individu secara
keseluruhan agar mendapatkan hidup yang bermakna, hubungan berkualitas, dan siap untuk
menerima tantangan hidup. Salah satu faktor yang membuat pensiunan merasakan
psychological well-being adalah partisipasi sosial. Partisipasi sosial adalah partisipasi
seseorang dalam kelompok sosial yang dilakukan secara sukarela. Tujuan penelitian ini
adalah untuk melihat hubungan antara partisipasi sosial dengan psychological well-being pada
pensiunan POLRI. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang dilakukan
pada 80 pensiunan POLRI dengan menggunakan teknik purposive sampling dan
menggunakan instrumen Ryff’s Psychological Well-being Scale dan Social Participation
Scale. Teknik analisa data menggunakan korelasi product moment. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara partisipasi sosial dengan
psychological well-being (r = 0,290, p = 0,009 < 0,01). Jadi, semakin tinggi partisipasi
sosialnya, maka semakin tinggi pula psychological well-being seorang pensiunan POLRI.
Kata Kunci : Partisipasi Sosial, Psychological Well-being, Pensiunan POLRI
Pension is a period which is so many alteration things happened. One of them is activity
alteration. Not all of POLRI pensioners ready to prepared for the changes, so that they are
disposed to feel anxiety, stress, and unhappiness psychologically. Psychological well-being is
an urge to explore individuals potential as whole in order to obtain a meaningful life, quality
of relationships, and ready to accept the challenges of life. One of the factors that make
pensioner feel psychologycal well-being is social participation. Social participation is a
person’s participation in social groups voluntarily. The purpose of this study is to discern the
relations between social participation with psychological well-being in POLRI pensioners.
The research is quantitave correlation performed on 80 POLRI pensioners using purposive
sampling techniques and using instruments of Ryff’s psychological well-being scale and
social participation scale. The technique of data analysis using product moment correlation.
The result showed that there is a positive and significant correlation between social
participation with psychological well-being (r = 0,290, p = 0,009 < 0,01). So, the higher the
social participation, the higher the psychological well-being of POLRI pensioners.
Keyword : Social Participation, Psychological Well-being, POLRI Pensioners
1
Masa pensiun tentu akan dialami oleh orang-orang yang bekerja. Pensiun merupakan suatu
fase yang memerlukan beberapa persiapan karena nantinya para pensiunan akan dihadapkan
pada kondisi dan situasi yang baru, dimana mereka butuh penyesuaian diri terhadap apa yang
mereka hadapi di depan dalam masa pensiun mereka. Terdapat perubahan-perubahan yang
terjadi pada masa pensiun, seperti perubahan aktivitas yang dulunya bekerja menjadi tidak
bekerja, terjadi penurunan pendapatan, terjadi perubahan dalam relasi sosial, dan terjadi
penurunan kondisi kesehatan karena bertambahnya usia (Santrock, 1998). Oleh karena itu,
psychological well-being erat kaitannya dengan pensiunan karena tidak semua pensiunan siap
untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut.
Seringkali masa pensiun menimbulkan masalah karena ketidaksiapan dari para pensiunan
untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Pensiun juga dianggap sebagai
kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba., tidak sedikit dari
calon pensiunan sudah merasa cemas dan khawatir karena tidak tahu kehidupan seperti apa
yang akan dihadapinya di masa mendatang. Menurut Prasojo (2011) kecemasan tersebut juga
terjadi karena dalam menghadapi masa pensiun, individu mendapat goncangan perasaan yang
begitu berat karena harus meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, pensiunan biasanya
mengalami suatu gangguan suasana hati dimana individu merasa sangat tidak bahagia,
kehilangan semangat, merendahkan diri, dan mudah merasa bosan atau biasanya dikenal
dengan depresi mayor (Santrock, 2011).
Masa pensiun tidak selalu berdampak negatif dan menimbulkan masalah, tetapi juga bisa
berdampak positif. Ketika pensiunan tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi barunya,
kemungkinan besar pensiunan akan merasakan cemas, stress, bahkan akan mengalami
depresi. Sebaliknya jika pensiunan mampu beradaptasi dan menjalani masa pensiunnya
dengan berpikir serta melakukan hal-hal yang positif, maka mereka akan mempunyai mental
yang sehat. Orang yang dikatakan memiliki kesehatan mental yaitu orang yang mampu
menyesuaikan diri dan aktif dalam lingkungannya, serta memiliki kesatuan kepribadian yang
disebut Shek (1992) sebagai psychological well-being. Keadaan sehat secara mental,
kebahagiaan, serta kepuasaan hidup sangatlah penting bagi pensiunan untuk dapat menjalani
masa tuanya dengan baik.
Perubahan-perubahan yang telah dijelaskan diatas, dialami pula oleh pensiunan POLRI. Pada
masa aktif kerja, anggota POLRI patut bangga akan status sosialnya. Mereka dipandang oleh
masyarakat sebagai bagian dari instansi hukum tertinggi negara, memakai seragam yang
sangat familiar oleh masyarakat, mempunyai pangkat dan jabatan, serta mendapatkan
fasilitas-fasilitas tertentu dari negara karena masuk dalam Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ryff
(1995) mengatakan bahwa individu yang mempunyai status pekerjaan yang baik, status
ekonomi yang baik dan pendidikan yang tinggi akan mempunyai psychological well-being
yang tinggi. Anggota POLRI juga dikenal dengan pekerja dengan jadwal yang padat.
Dedikasinya pada negara dan masyarakat membuat mereka rela untuk pergi pagi dan pulang
malam, serta meninggalkan keluarga di hari libur demi menjalankan tugas-tugasnya sebagai
anggota POLRI. Namun, semua itu akan terlepas ketika mereka memasuki masa pensiun.
Masa pensiun tentunya akan dialami oleh orang-orang yang bekerja sebagai pegawai, apakah
itu pegawai negeri maupun pegawai swasta. Pensiun bukan merupakan suatu peristiwa,
melainkan suatu proses dimana pada masa pensiun, masa kerja secara formal akan berakhir.
Ketika memasuki masa pensiun, seseorang akan berada pada masa transisi dari dunia kerja
menjadi dunia yang bebas dari tuntutan kerja (Turner & Helms, 1995). Selain bebas dari
2
tuntutan kerja, pensiun juga merupakan perubahan karir dari yang meninggalkan sesuatu
menjadi memulai sesuatu yang baru (Schlossberg, 2004). Menurut Pasal 30 Ayat (2) UUD
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa usia
pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ialah 58 tahun dan bagi
anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat
dipertahankan sampai dengan 60 tahun. Menjadi pensiun dapat membuat individu merasa
senang karena terbebas dari beban pekerjaan. Namun, disisi lain pensiun dapat menyebabkan
tekanan karena telah meninggalkan pekerjaan, pendapatan maupun partisipasi sosial di dunia
kerja menurun (Wegman & Mcgee, 2004).
Tidak jarang faktor ekonomi menjadi penyebab rendahnya psychological well-being pada
pensiunan. Karena di masa pensiun, individu tidak lagi mendapatkan gaji penuh seperti yang
didapatkannya pada saat aktif kerja. Menurut Ryff (1999), individu miskin cenderung
membandingkan dirinya dengan orang lain sebagai orang yang tidak beruntung dan merasa
tidak mampu untuk memperoleh sumber daya yang bisa menyesuaikan kesenjangan yang
dirasakan. Oleh karena itu, individu yang memiliki status ekonomi yang rendah cenderung
memiliki psychological well-being yang rendah, sebaliknya individu yang mempersiapkan
dengan baik tabungan pensiunnya dan mempunyai status ekonomi yang baik cenderung
memiliki psychological well-being yang baik.
Faktor status sosial pun juga mempunyai pengaruh pada psychological well-bing pensiunan
POLRI. Pangkat dan jabatan yang diperoleh pada masa kerja, tidak lagi mereka dapatkan pada
saat pensiun. Status sosial erat kaitannya dengan penerimaan diri dan tujuan hidup. Ketika
individu tidak mampu menerima dirinya secara keseluruhan dan tidak mempunyai pandangan
terhadap tujuan dan arah hidupnya setelah pensiun, maka psychological well-beingnya
menjadi rendah. Tidak jarang pensiunan yang merasa tertekan karena perubahan dalam status
sosial ketika memasuki masa pensiun.
Dalam menjalani masa pensiun dengan begitu banyak perubahan yang dialami dalam
hidupnya, para pensiunan memerlukan dukungan sosial dari orang disekitarnya, dimana
dukungan sosial ini merupakan salah satu faktor dari psychological well-being. Menurut
Dzuka & Dalbert (2000), dukungan sosial dapat memfasilitasi kesejahteraan di masa dewasa
yang lebih tua dengan berfokus kepada orang-orang terdekat yang mungkin akan memainkan
peran penting dalam dukungan sosial. Hal ini berarti bahwa dukungan sosial sangat penting
bagi para pensiunan untuk tetap merasa sejahtera secara psikologis di masa tuanya. Dukungan
sosial dapat diperoleh melalui partisipasi sosial. Di dalam partisipasi sosial, individu akan
mendapatkan dukungan sosial mulai dari lingkup kecil seperti keluarga hingga lingkup besar
seperti perkumpulan atau organisasi. Di masa pensiun, dukungan sosial sangat diperlukan
oleh para pensiunan.
Konsep utama partisipasi sosial didasarkan pada asumsi bahwa partisipasi sosial memerlukan
suatu kontak sosial, serta menunjukkan kontribusi sumber daya yang diberikan kepada
masyarakat dan menerima sumber daya dari masyarakat (Levasseur, 2008). Dengan kata lain
bahwa dengan berkontribusi dalam suatu kegiatan dan melakukan kontak sosial dengan orang
lain, maka hal tersebut bisa disebut dengan partisipasi sosial. Dengan banyaknya jumlah
kegiatan sosial yang diikuti maka akan menguatkan hubungan partisipasi sosial, kesehatan,
dan kesejahteraan. Selain itu, penelitian lain juga mengemukakan bahwa menjadi relawan
akan meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penurunan depresi (Thoits & Hweit, 2001;
Li & Ferraro, 2005). Sebuah studi dengan sampel lebih dari 12.500 orang dewasa di Swedia
3
antara usia 16 atau 74 yang kelangsungan hidupnya dipantau dari tahun 1983 sampai akhir
tahun 1991 menemukan bahwa orang yang melaporkan sering menghadiri atau berpartisipasi
dalam acara-acara kebudayaan, diukur dari segi menghadiri teater dan musik pertunjukan,
lebih mungkin untuk bertahan hidup (Bygren et al. 1996).
Di Indonesia, partisipasi sosial yang biasanya dilakukan oleh pensiunan ialah partisipasi sosial
seperti mengikuti pengajian, paduan suara di gereja, arisan, PKK, ronda malam, posyandu,
dan masih banyak lagi. Salah satu tempat dimana para pensiunan yang notabene adalah lansia
melakukan partisipasi sosial adalah posyandu lansia. Posyandu lansia adalah tempat
pelayanan kesehatan yang diperuntukkan oleh penduduk lansia. Selain pelayanan kesehatan,
posyandu lansia ini juga memberikan pelayanan sosial, agama, pendidikan, keterampilan,
olahraga, seni budaya, dan pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh para lansia untuk
peningkatan kesehatan dan kesejahteraan hidup (Pusat Data dan Informasi, 2014). Untuk para
pensiunan POLRI, terdapat organisasi yang menaungi mereka dalam hal partisipasi sosial,
yaitu Perkumpulan Pensiunan POLRI (PP POLRI). Di Malang, para pensiunan POLRI yang
tergabung dalam PP POLRI rutin mengadakan pertemuan bulanan dalam rangka untuk
menjalin silaturahmi dan menjalankan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan organisasi
tersebut. PP POLRI cabang Malang yang terdiri dari 5 ranting ini, mempunyai kegiatan
masing-masing seperti arisan, pengumpulan uang kas yang akan digunakan untuk membantu
teman yang sakit atau yang meninggal, dan masih banyak lagi. Dengan partisipasi sosial, para
pensiunan dapat melakukan kontak sosial dan mendapatkan dukungan sosial sehingga
psychological well-being mereka menjadi baik.
Selain itu, menurut Employment and Social Development Canada (2016), partisipasi sosial
mengacu pada keterlibatan sosial masyarakat dan interaksi dengan orang lain. Kegiatan
seperti menjadi relawan, bakti sosial (baksos), berpartisipasi dalam kegiatan olahraga,
kegiatan politik dan kegiatan rekreasi adalah bentuk partisipasi sosial. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Canada, masyarakat Canada merupakan masyarakat yang sangat aktif
dalam partisipasi sosial. Hal ini dikarenakan, dengan adanya partisipasi sosial mereka dapat
mendapatkan kesejahteraan. Hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2011) bahwa di masa
tuanya, banyak lansia pensiunan yang memilih bekerja tanpa dibayar, seperti menjadi
sukarelawan atau menjadi partisipan aktif dalam asosiasi sukarela. Pilihan ini memberikan
peluang kepada mereka untuk terlibat dalam aktivitas yang produktif, menjalin interaksi sosial
dan memperoleh identitas positif.
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengetahui apakah partisipasi sosial mempunyai
hubungan dengan psychological well-being pada pensiunan POLRI. Kenapa harus pensiunan
POLRI? Karena pada masa aktif kerja, anggota POLRI mempunyai aktivitas yang cukup
padat dalam kesehariannya yang berkaitan dengan masyarakat, selain itu dengan menjadi
anggota POLRI mempunyai suatu kebanggaan bagi mereka karena mempunyai status sosial
ekonomi yang baik. Namun, pada masa pensiun para pensiunan anggota POLRI mengalami
perubahan aktivitas dan juga perubahan status sosial ekonomi. Perubahan-perubahan tersebut
yang membuat penulis ingin menjadikan pensiunan POLRI sebagai subjek penelitian. Alasan
peneliti melakukan penelitian ini karena peneliti ingin membuktikan apakah penelitianpenelitian sebelumnya yang dilakukan di luar negeri terjadi juga di Indonesia khususnya pada
pensiunan POLRI ataukah sebaliknya tanpa melakukan partisipasi sosial pensiunan POLRI
tetap merasakan kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian yang
berjudul “Hubungan Partisipasi Sosial Dengan Psychological Well-Being Pensiunan POLRI”.
4
Psychological Well-Being
Konsep awal psychological well-being didasarkan pada teori psikologi perkembangan dan
psikologi klinis. Teori tersebut menekankan pada potensi yang dimiliki individu untuk dapat
memiliki hidup yang bermakna, menjalin hubungan yang berkualitas, dan dapat
merealisasikan dirinya untuk menghadapi tantangan hidup (Keyes, Shmotkin, dan Ryff,
2002). Selanjutnya Ryff dan Keyes (1995) mendefinisikan psychological well-being sebagai
suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan. Ketika seseorang
pasrah terhadap keadaan maka psychological well-being menjadi rendah, sebaliknya ketika
seseorang berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya maka psychological well-being
menjadi tinggi. Selain itu, psychological well-being juga didefinisikan sebagai sebuah kondisi
dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, mampu
menentukan dan membuat keputusan atas hidupnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain,
dapat mengatur dan menciptakan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya,
memiliki tujuan hidup, dapat membuat hidupnya bermakna, dan mampu mengembangkan
dirinya (Ryff, 1989). Kondisi-kondisi tersebut dijadikan patokan untuk menentukan dimensidimensi psychological well-being.
Dimensi-dimensi Psychological Well-Being
Ryff (1995) menyatakan terdapat enam dimensi yang membentuk psychological well-being,
yaitu:
1. Penerimaan diri (self acceptance)
Penerimaan diri adalah kemampuan seseorang untuk menerima dirinya secara
keseluruhan baik pada masa sekarang maupun pada masa lalunya. Seseorang yang
menilai dirinya secara postif adalah orang yang dapat memahami dan menerima
berbagai aspek dalam dirinya, mampu mengaktualisasikan diri, berfungsi secara
optimal, dan bersikap positif atas kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya seseorang
yang menilai dirinya secara negatif adalah orang yang menunjukkan ketidakpuasan
terhadap kondisinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi di masa lalunya,
ingin menjadi orang lain atau tidak menerima dirinya dengan apa adanya.
2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Hubungan positif adalah kemampuan seseorang menjalin hubungan yang baik dengan
orang lain disekitarnya. Seseorang yang memiliki hubungan positif yang tinggi, mampu
membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain, memiliki
kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, mampu menunjukkan empati dan afeksi,
serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi.
Sedangkan seseorang yang memiliki hubungan positif yang rendah, akan terisolasi dan
merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, serta tidak berkeinginan untuk
berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain
3. Otonomi (autonomy)
Otonomi adalah kemampuan seseorang untuk bebas namun tetap mampu mengatur
hidup dan tingkah lakunya. Seseorang yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai
dengan kebebasan, mampu untuk menentukan nasibnya sendiri, mampu untuk mandiri,
tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu
mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sedangkan seseorang
yang memiliki otonomi rendah, akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan
harapan dan evaluasi dari orang lain, berpedoman pada penilaian orang lain untuk
membuat keputusan penting, dan mudah terpengaruh oleh tekanan sosial.
5
4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Penguasaan lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk mengatur lingkungannya,
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan dan mengontrol
lingkungan sesuai dengan kebutuhannya. Seseorang yang memiliki penguasaan
lingkungan yang tinggi, akan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur
lingkungan, seperti memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, dan mampu
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sedangkan seseorang
yang memiliki penguasaan lingkungan rendah, akan mengalami kesulitan dalam
mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan
kualitas lingkungannya, dan tidak mampu memanfaatkan kesempatan yang terdapat
pada lingkungan sekitarnya
5. Tujuan hidup (purpose of life)
Tujuan hidup adalah pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, mempunyai
keyakinan dalam mencapai tujuan hidupnya dan merasa bahwa pengalaman hidup di
masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Seseorang yang memiliki tujuan
hidup yang tinggi, akan memiliki tujuan dan arah dalam menjalani kehidupan,
merasakan arti dalam kehidupan masa kini dan masa lampau yang telah dijalaninya.
Sedangkan seseorang yang memiliki tujuan hidup rendah, akan kehilangan makna
hidup, tidak mempunyai cita-cita yang jelas, tidak melihat arti dari kehidupan yang
dijalaninya, serta tidak mempunyai harapan dan kepercayaan pada hidup
6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Pertumbuhan pribadi adalah kemampuan seseorang untuk berkembang. Seseorang yang
memiliki pertumbuhan pribadi yang tinggi, akan memandang dirinya sebagai individu
yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru,
memiliki kemampuan menyadari potensi yang dimiliki dan memiliki pengetahuan yang
bertambah. Sebaliknya, seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang rendah,
akan mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa
bosan dan kehilangan minat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being yaitu:
1. Usia
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ryff, ditemukan perbedaan tingkat psychological
well-being pada beberapa kategori usia. Ryff membagi kategori usia kedalam tiga
bagian, yaitu young (25-29 tahun), mildlife (30-64 tahun), dan older (>65 tahun) (Ryff
& Keyes, 1995). Skor tinggi yang diperoleh individu dewasa akhir (older) adalah pada
dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan
penerimaan diri, sedangkan dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup memiliki
skor yang rendah. Pada individu yang masuk dalam kategori dewasa madya (mildlife)
memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan
hubungan positif dengan orang lain, sedangkan pada dimensi pertumbuhan pribadi,
tujuan hidup, dan penerimaan diri mempunyai skor yang rendah. Individu yang berada
dalam kategori usia dewasa awal (young) mempunyai skor yang tinggi pada dimensi
pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup, sedangan pada dimensi
hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki
skor yang rendah (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).
6
2. Gender
Dalam hasil penelitiannya, Ryff (1989) menyatakan bahwa dalam dimensi hubungan
positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi, perempuan memiliki nilai yang
lebih tinggi dibanding laki-laki karena kemampuan perempuan dalam berinteraksi
dengan lingkungan lebih baik dibanding dengan laki-laki. Sebagian besar keluarga,
sejak kecil telah menanamkan sikap agresif, kuat, kasar, dan mandiri pada laki-laki,
sedangkan pada perempuan ditanamkan sikap pasif, tidak berdaya, dan sensitif terhadap
perasaan orang lain sehingga hal-hal seperti ini terbawa sampai anak menjadi dewasa.
Sebagai sosok yang sensitive terhadap perasaan orang lain, perempuan terbiasa untuk
membina hubungan baik dengan orang lain untuk menciptakan keadaan yang harmoni.
Hal ini yang menyebabkan perempuan memiliki psychological well-being yang tinggi
dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain karena perempuan dapat
mempertahankan hubungan baik dengan orang lain yang disebabkan sikap sensitif yang
dimilikinya (Papalia & Feldman, 2008).
3. Status Sosial Ekonomi
Ryff mengatakan bahwa status sosial ekonomi erat kaitannya dengan dimensi
penerimaan diri dan tujuan hidup. Perbedaan status sosial ekonomi dalam psychological
well-being akan berdampak pada kesejahteraan fisik maupun mental seseorang.
Beberapa penelitian mendukung pendapat ini, dimana individu-individu yang
mempunyai pendidikan yang tinggi dan status pekerjaan yang baik, akan mempunyai
psychological well-being yang tinggi (Ryan & Deci, 2001; Ryff & Singer, 2008).
Mereka yang mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi akan memiliki perasaan
yang lebih positif dibandingkan mereka yang mempunyai status sosial dan ekonomi
yang rendah.
4. Budaya
Ryff (1995) mengatakan bahwa nilai individualisme atau kolektivisme memberi
dampak pada psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan, menunjukkan bahwa budaya
barat (Amerika) menjunjung tinggi nilai individualisme memiliki nilai yang tinggi
dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur (Korea Selatan)
yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada dimensi
hubungan positif dengan orang lain.
5. Kepribadian
Berdasarkan hasil penelitian dari Keyes, Shmotkin, dan Ryff (2002) menyatakan bahwa
trait kepribadian neuroticism, extraversion, dan conscientiousness merupakan prediktor
yang kuat untuk dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup.
Trait kepribadian lainnya seperti openness to experience untuk dimensi pertumbuhan
pribadi, dan agreeableness untuk dimensi hubungan dengan orang lain.
6. Dukungan Sosial
Dukungan sosial dapat diartikan sebagai rasa nyaman, perasaan dihargai, dan juga
perhatian yang didapatkan dari orang lain atau kelompok. Individu-individu yang
mendapatkan dukungan sosial seperti dari pasangan, keluarga, teman, dokter, maupun
organisasi sosial akan meningkatkan psychological well-being (Davis dalam Pratiwi,
2000). Dukungan sosial dapat memfasilitasi kesejahteraan di masa dewasa yang lebih
tua dengan berfokus pada orang-orang terdekat yang mungkin akan memainkan peran
penting dalam pemanfaatan dukungan sosial (Dzuka & Dalbert, 2000).
7
Partisipasi Sosial
Prohaska, Anderson dan Binstock (2012) mengungkapkan bahwa definisi keterlibatan sosial
atau partisipasi sosial secara umum digunakan untuk merujuk kepada partisipasi seseorang
dalam kegiatan suatu kelompok sosial. Mereka mencatat bahwa istilah tidak selalu digunakan
secara konsisten dalam sastra, dan kadang-kadang dapat terjadi kebingungan karena terdapat
beberapa istilah yang mirip (tapi berbeda) dalam ilmu-ilmu sosial. Contohnya seperti
keterlibatan sosial berbeda dengan konsep jaringan sosial, jaringan sosial berfokus pada
kelompok, bukan pada kegiatan. Di Indonesia, partisipasi sosial (social participation) lebih
dikenal dengan keterlibatan sosial atau partisipasi masyarakat. Istilah partisipasi sosial lebih
familiar di luar negeri.
Secara kesuluruhan, konsep utama pada partisipasi sosial ini didasarkan bahwa pada dasarnya
partisipasi sosial memerlukan suatu kontak sosial, serta menunjukkan kontribusi sumber daya
yang diberikan kepada masyarakat, dan menerima sumber daya dari masyarakat (Levasseur,
2008). Jadi, pada dasarnya dalam partisipasi sosial, terjadi hubungan timbal balik baik secara
materi maupun psikologis. Partisipasi sosial dilakukan dengan sukarela dengan bergabung
dalam suatu kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok tersebut bisa dalam kelompok politik
seperti ikut berpartisipasi dalam pemilu, kelompok kesehatan seperti ikut berpartisipasi di
puskesmas, dan kelompok sosial seperti mengikuti bakti sosial.
Selain itu, Cicognani dkk (2008) mengatakan bahwa partisipasi sosial sering dijadikan
sebagai sarana untuk melakukan pembebasan, pemberdayaan dan pergerakan sosial. Oleh
karena itu, partisipasi sosial diyakini memiliki unsur-unsur yang menyenangkan karena dapat
meningkatkan hubungan sosial dengan orang lain.
Partisipasi sosial dapat dilihat dari frekuensinya dalam mengikuti aktivitas-aktivitas yang
behubungan dengan kehidupan sehari-hari (Gilmour, 2012). Berikut adalah frekuensi
partisipasi yang masuk dalam klasifikasi partisipasi mingguan:
1. Kegiatan yang dilakukan diluar rumah bersama dengan keluarga dan teman.
2. Melakukan kegiatan keagamaan yang ada di lingkungan sekitar.
3. Melakukan kegiatan fisik atau olahraga dengan orang lain.
4. Aktivitas rekreasi yang berhubungan dengan orang lain, seperti melakukan hobbi dan
juga permainan-permainan lainnya.
Berikut adalah frekuensi partisipasi sosial yang masuk dalam klasifikasi partisipasi bulanan:
1. Kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, kegiatan budaya yang berkaitan dengan
orang lain, menonton konser, dan lain-lain.
2. Mengikuti klub pelayanan kesehatan seperti kegiatan di puskesmas atau rumah sakit.
3. Mengikuti komunitas profesional di lingkungan rumah seperti perkumpulan sesama
rekan kerja, ataupun kegiatan PKK.
4. Turut serta dalam kegiatan suka rela dan kegiatan amal bantuan.
Hubungan Partisipasi Sosial dan Psychological Well-Being
Pada masa dewasa akhir banyak perubahan-perubahan yang dialami, salah satunya adalah
perubahan dalam aktivitas, begitupun yang dialami pensiunan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh beberapa ahli tentang teori aktivitas, mereka menyatakan bahwa semakin besar
aktivitas dan keterlibatan individu usia lanjut, maka semakin puas mereka terhadap
kehidupannya. Selain itu, para peneliti juga menemukan bahwa apabila seseorang aktif,
8
enerjik, dan produktif, maka mereka akan lebih baik di masa tuanya daripada mereka
dijauhkan dari masyarakat (Neugarten dkk, 1968). Hal ini pula yang dialami pensiunan
POLRI. Pada masa bekerja, mereka mempunyai jadwal yang padat dalam melaksanakan
tugas-tugasnya, sering berhubungan dengan masyarakat, dan aktif untuk mengikuti kegiatankegiatan yang berhubungan dengan tugas kepolisian. Ketika mereka telah pensiun, tentunya
mereka tidak dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang pernah mereka lakukan selama
bekerja, tidak ada lagi tanggung jawab pekerjaan yang mereka harus laksanakan. Oleh karena
itu, dengan adanya partisipasi sosial yang mereka lakukan di masa tuanya, akan meningkatkan
kesejahteraannya. Bukan hanya dalam kesejahteraan, tetapi juga dalam aspek kesehatan.
Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian dikemukakan bahwa menjadi sukarelawan dapat
mengurangi keringkihan pada orang lanjut usia (Jung dkk, dalam Santrock, 2011).
Selanjutnya dalam penelitian lain, relawan lansia melakukukan lebih banyak jam dalam
aktivitas sukarela dibandingkan relawan muda. Lansia dengan kemanusiaan dan pemikiran
sosial yang tinggi cenderung untuk menjadi sukarelawan, dan terdapat bukti bahwa terjadi
hubungan timbal balik antara melakukan kegiatan sukarela dan kesejahteraan. (Howell, 2010).
Selain itu, menurut Employment and Social Development Canada, partisipasi sosial mengacu
pada keterlibatan sosial masyarakat dan interaksi dengan orang lain. Kegiatan seperti menjadi
relawan, bakti sosial (baksos), berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, kegiatan politik dan
kegiatan rekreasi semua bentuk partisipasi sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Canada, masyarakat Canada merupakan masyarakat yang sangat aktif dalam partisipasi sosial.
Hal ini dikarenakan dengan partisipasi sosial mereka dapat mendapatkan kesejahteraan.
Psychological well-being tidak serta merta terjadi karena adanya partisipasi sosial. Salah satu
faktor psychological well-being yang berkaitan dengan partisipasi sosial ialah dukungan
sosial. Bagi orang dengan usia lanjut, dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan fisik
dan mental karena dengan adanya dukungan sosial akan tercipta rasa nyaman dan perasaan
dihargai. Dukungan sosial bisa didapatkan dari pasangan, keluarga, teman, dokter, maupun
organisasi sosial (Pratiwi, 2000). Dukungan sosial dapat memfasilitasi kesejahteraan di masa
dewasa yang lebih tua dengan berfokus pada orang-orang terdekat yang mungkin akan
memainkan peran penting dalam pemanfaatan dukungan sosial (Dzuka & Dalbert, 2000).
Contoh dalam lingkup kecil bahwa dukungan sosial terdapat dalam partispasi sosial ialah
seperti mengikuti arisan keluarga. Dengan adanya dukungan dari keluarga dan tidak adanya
diskriminasi oleh pihak keluarga karena usia yang sudah tua dan kondisi fisik yang telah
ringkih, pensiunan merasa dihargai dan akan merasa nyaman untuk mengikuti arisan keluarga
tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, partisipasi sosial erat kaitannya dengan psychological wellbeing karena dalam faktor psychological well-being terdapat salah satu faktor yang berkaitan
dengan partisipasi sosial, yaitu dukungan sosial. Oleh karena itu, dengan berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan sosial seperti menjadi sukarelawan atau ikut berperan dalam suatu kegiatan,
pensiunan juga akan mendapatkan dukungan sosial sehingga akan meningkatkan
psychological well-being pada pensiunan POLRI.
Hipotesa
Terdapat hubungan positif antara partisipasi sosial dan psychological well-being pada
pensiunan POLRI. Semakin tinggi partisipasi sosialnya, maka akan semakin tinggi pula
psychological well-being yang dimiliki pensiunan POLRI.
9
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang merupakan sebuah penelitian yang
identik dengan punggunaan angka-angka dan pengolahannya juga menggunakan analisis
statistik sehingga dilakukan interpretasi terhadap angka-angka tersebut (Sugiyono, 2012).
Pendekatan kuantitatif umumnya merupakan penelitian yang mempunyai jumlah sampel
besar. Berdasarkan karakteristik penelitian, penelitian ini menggunakan metode penelitian
korelasional dimana penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel
partisipasi sosial dan variabel psychological well-being.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah pensiunan POLRI di Kota Malang yang tergabung dalam PP POLRI
dan mulai pensiun pada usia pensiun yang telah ditetapkan yaitu 58 tahun (bukan pensiun
dini). Jumlah subjek dalam penelitian ini ialah 80 orang pensiunan POLRI. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling, yaitu purposive
sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang
didasarkan pada tujuan tertentu, namun harus memperhatikan kriteria atau ciri-ciri yang dapat
menggambarkan populasi. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan,
yaitu keterbatasan waktu, dana, dan tenaga sehingga tidak dapat mengambil sampel yang
besar (Arikunto, 2013)
Variabel dan Instrumen Penelitian
Variabel independen (bebas) yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah
partisipasi sosial, sedangkan variabel dependen (terikat) adalah psychological well-being.
Partisipasi sosial adalah keikutsertaan individu dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan masyarakat yang dilakukan satu kali atau lebih dengan jangka waktu sebulan ataupun
setahun, seperti kegiatan keagamaan, kesehatan, olahraga, dll. Sedangkan psychological wellbeing adalah upaya individu untuk mengoptimalkam potensi yang ada dalam dirinya yang
didasarkan pada penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan
lingkungan, tujuan, hidup, dan pertumbuhan pribadi agar hidupnya lebih bermakna.
Pada penelitian ini, psychological well-being dapat diukur dengan menggunakan Ryff’s scales
of Psychological Well-being (Ryff, 1989). Skala ini berbahasa asli bahasa Inggris, namun
telah dialih bahasa oleh peneliti dan beberapa orang teman yang ahli dalam bahasa Inggris
menjadi bahasa Indonesia. Skala yang diciptakan Ryff ini menerangkan tentang 6 dimensi,
yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan,
tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Skala ini sebenarnya terdiri dari 54 item yang dalam
jurnal Amalia dan Fitriana (2015), mengukur psychological well-being pada lansia dengan
reliabilitas 0,845 dan validitas >0,30. Namun dalam pelaksanaan try out, peneliti mengurangi
2 item pada masing-masing dimensinya dikarenakan adanya bias budaya sehingga menjadi 42
item. Setelah pelaksanaan try out, didapatkan 28 item yang valid dan layak digunakan dalam
penelitian.
Alat ukur ini menggunakan skala likert. Skala likert adalah skala yang digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena
10
sosial. Dalam skala ini juga dibutuhkan aspek-aspek sebagai tolak ukur dalam pembuatan
item-item. Jawaban dari setiap item mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat
negatif (Sugiyono, 2014). Alat ini memiliki 6 variasi respon, yaitu dimulai dengan STS
(sangat tidak setuju) sampai dengan SS (sangat setuju). Alat ukur ini juga terdiri dari item
favorable dan unfavorable, dimana terdapat 13 item favorable dan 15 item unfavorable. Item
favorable akan mendapat skor 6 jika menjawab pilihan SS yaitu sangat setuju, skor 5 jika
menjawab pilihan S yaitu setuju, begitu seterusnya. Sedangkan item unfavorable merupakan
kebalikan dari item favorable, yaitu akan mendapat skor 6 jika menjawab pilihan STS yaitu
sangat tidak setuju, akan mendapat skor 5 jika menjawab pilihan TS yaitu tidak setuju, begitu
seterusnya.
Tabel 1. Cara Skoring
STS
TS
ATS
AS
S
SS
Variasi Respon
: Sangat Tidak Setuju
: Tidak Setuju
: Agak Tidak Setuju
: Agak Setuju
: Setuju
: Sangat Setuju
Skor Favorable
1
2
3
4
5
6
Skor Unfavorable
6
5
4
3
2
1
Alat ukur kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah Social Participation Scale (SPS)
yang digunakan untuk mengukur partisipasi sosial. Social Participation Scale (SPS) dibuat
oleh peneliti dan rekan-rekan payung penelitian partisipasi sosial dengan berpedoman pada
teori dari Gilmour (2012) yang terdiri dari 7 jenis kegiatan, yaitu kegiatan yang dilakukan
diluar rumah, kegiatan keagamaan, kegiatan olahraga atau aktivitas fisik, kegiatan rekreasi,
kegiatan pelayanan kesehatan, kegiatan komunitas professional di lingkungan sekitar, dan
kegiatan sukarela atau volunteer. Teori Gilmour ini sebenarnya memiliki 8 aspek, tetapi
karena salah satu aspeknya yaitu budaya dan pendidikan memiliki bias budaya maka aspek
tersebut tidak digunakan dalam skala ini. Dalam pelaksanaan try out, skala ini terdiri dari 30
item yang terdiri dari dua bagian, yaitu 4 jenis kegiatan dengan frekuensi bulanan dan 3 jenis
kegiatan dengan frekuensi tahunan. Setelah try out dilakukan, selanjutnya peneliti melakukan
validasi dan mendapatkan 13 item yang valid dan layak untuk digunakan dalam penelitian.
Alat ukur ini menggunakan skala likert. Skala likert adalah skala yang digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena
sosial. Dalam skala ini juga dibutuhkan aspek-aspek sebagai tolak ukur dalam pembuatan
item-item. Jawaban dari setiap item mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat
negatif (Sugiyono, 2014). Item favorable akan mendapat skor 5 jika menjawab pilihan SS
yaitu sangat sering, skor 4 jika menjawab pilihan S yaitu sering, begitu seterusnya. Sedangkan
item unfavorable merupakan kebalikan dari item favorable, yaitu akan mendapat skor 5 jika
menjawab pilihan TP yaitu tidak pernah, skor 4 jika menjawab pilihan J yaitu jarang, begitu
seterusnya. Berikut cara skoringnya:
11
Tabel 2. Cara Skoring Bulanan
SS
sebulan
S
CS
sebulan
J
TP
sekali
Variasi Respon
: Sangat Sering / 4 kali dalam
Skor Favorable
5
Skor Unfavorable
1
: Sering / 3 kali dalam sebulan
: Cukup Sering / 2 kali dalam
4
3
2
3
: Jarang / 1 kali dalam sebulan
: Tidak Pernah / Tidak sama
2
1
4
5
Skor Favorable
5
Skor Unfavorable
1
4
2
3
3
2
4
1
5
Tabel 3. Cara Skoring Tahunan
Variasi Respon
SS
: Sangat Sering / 10-12 kali
dalam setahun
S
: Sering / 7-9 kali dalam
setahun
CS
: Cukup Sering / 4-6 kali dalam
setahun
J
: Jarang / 1-3 kali dalam
setahun
TP
: Tidak Pernah / Tidak sama
sekali
Setelah peneliti melakukan uji try out pada skala psychological well-being dan partisipasi
sosial, dapat diketahui indeks validitas dan indeks reliabilitas masing-masing skala, berikut
hasilnya:
Tabel 4. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian
Alat Ukur
Ryff’s scales of
Psychological Wellbeing
Social Participation
Scales
Jumlah Item
Diujikan
42
Jumlah Item
Valid
28
Jumlah Item
Gugur
14
Indeks Validitas
30
13
17
0,303 – 0,654
0,294 – 0,704
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh hasil try out Ryff’s scales of Psychological Well-being dengan
42 item yang diujikan terdapat 28 item yang valid dan 14 item yang gugur dengan indeks
validitas 0,294 - 0,704 sedangkan Social Participation Scales dengan 30 item yang diujikan
terdapat 13 item yang dinyatakan valid dan 17 item yang gugur dengan indeks validitas 0,303
– 0,654. Perolehan hasil try out dari kedua skala tersebut didapatkan dengan menggunakan
SPSS for windows versi 21 dan untuk menentukan item yang valid menggunakan metode
corrected item-total correlation. Suatu item dikatakan valid atau tidak dapat dilakukan
dengan membandingkan nilai r hitung (corrected item-total correlation) dengan r tabel
(didapat dari tabel r). Nilai r tabel dicari menggunakan tingkat signifikansi 0,05 dengan uji 2
sisi dan df = n