Gambaran Psychological Well-Being Pada Pekerja Sosial

(1)

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA

PEKERJA SOSIAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyatan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

NURMAYANI MARIA SITUMORANG

041301083

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala berkat dan kasih-Nyalah sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti juga tidak lupa ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakults Psikologi USU.

2. Kakak Arliza Juairiani Lubis., M. Si, Psikolog selaku dosen pembimbing. Terima kasih Kak buat semua kesabaran, waktu, pikiran, petunjuk, saran serta semangat yang telah kakak berikan kepada peneliti terutama diawal-awal penelitian skripsi ini dimana peneliti sempat merasa jenuh, bosan, tidak berdaya dan mempunyai kekuatan sehingga menghilang beberapa bulan tetapi kakak dengan sabar dan penuh semangat tetap mau membimbing peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Peneliti juga minta maaf karena selama ini mungkin banyak sikap, perkataan, perbuatan atau permintaan yang telah menyakiti hati kak Lisa. Doakan ya kak, semoga cita-cita peneliti dan harapan kakak agar peneliti tetap mengabdikan diri dalam pekerjaan sosial bisa peneliti penuhi.

3. Ibu Rodiatul Hassanah M, Si dan Ibu Hasnida, M.Si selaku dosen penguji skripsi peneliti. Terima kasih atas waktu, kesempatan,


(3)

saran, nasehat dan masukan yang akan dengan sukacita peneliti terima.

4. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, Psi selaku penasehat akademis peneliti . Terima kasih Bu atas bimbingan, nasehat, semangat dan doa yang Ibu berikan kepada peneliti selama ini. peneliti juga memohon maaf apabila selama ini ada sikap, perkataan, perbuatan atau tingkah laku yang menyakiti Ibu. 5. Semua staf pengajar (dosen dan asisten dosen) yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu. Terima kasih atas didikan dan pengajaran yang telah Bapak/Ibu dosen berikan.

6. Kedua orang tua peneliti tercinta, Papa (L. Situmorang alias Tan Pek Liang) dan Mama (M. Br Simarmata alias Tinung) di Tarutung. Terima kasih atas cinta kasih, nasehat, doa dan dukungan moril serta materil yang peneliti terima sejak peneliti hadir ke dunia ini. Peneliti bersyukur dan bangga bisa hadir di tengah-tengah keluarga kita ini. Semoga keluarga kita bisa tetap hidup harmonis dan bahagia seperti biasanya. Maafkan semua kesalahan yang pernah peneliti lakukan semenjak terlahir ke dunia yang indah ini. Maafkan juga karena peneliti telah mengecewakan harapan Papa dan Mama karena tidak bisa lulus tepat pada waktunya seperti yang kita harapkan dan cita-citakan. Doakan juga agar peneliti bisa membahagiakan Papa dan Mama dan bisa meraih sukses seperti yang kita harapkan.

7. Saudara-saudari peneliti terkasih (K`Tina & B`Rudi suaminya, B` Hot & Mbak Sisca istrinya, K`Melda & B`Sanggam suaminya, B`Anto, B`Adi,


(4)

dan adik tersayang Ayu serta keponakan-keponakan yang yang lucu dan Manis (Samuel, Kevin, Birgitta, Guido/Hangoluan dan yang akan lahir bulan Oktober ini). Terima kasih atas cinta kasih, rasa persaudaraan serta perhatian yang boleh peneliti rasakan selama ini. Peneliti juga berterima kasih atas doa, semangat dan dukungan moril serta materil yang diberikan kepada peneliti terutama di saat-saat peneliti merasa tertekan, jatuh dan tak berdaya. Semoga Tuhan selalu memberkati hubungan persaudaraan kita ini untuk selama-lamanya dan tidak akan ada masalah apapun yang dapat memisahkan kita. Amin!!!!

8. Komunitas Sant` Egidio. Terima kasih karena telah menjadi sumber inspirasi dalam melakukan penelitian ini. Terima kasih juga karena telah mmemberi pelajaran yang sangat berarti bagi peneliti. Banyak hal telah peneliti rasakan selalu peneliti berada di komunitas tercinta ini terutama apa arti melayani dan menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Peneliti juga merasa hidup ini sangat indah dan bermakna. Banyak pengalaman, pembelajaran hidup yang boleh peneliti rasakan dan membuat peneliti semakin kuat dan bersyukur atas apa yang telah peneliti miliki dan nikmati. Terima kasih tak terhingga juga atas persaudaraan tak terbatas yang selama ini peneliti rasakan. Semoga kita tetap setia dan memegang teguh panggilan hidup kita untuk melayani orang-orang miskin. Amin 9. Anak-Anak Sekolah Damai terkasih teristimewa Bobby, Karan & Karen


(5)

semua pembelajaran hidup yang boleh Bu May rasakan selama dua tahun ini. Rajinlah belajar dan gapailah cita-cita kalian. Semangat!!! 10.Sahabat-sahabatku tercinta: Yustisi (teman KTB peneliti), Wiwik, Grace,

Ichin. Terima kasih karena atas masa-masa suka-duka yang kita alami. 11.TTM (Teman-Teman Main): Doris, Lidya, Risna, Yanti, Cimun (Puput)

dan Keong (Rosa). Kalian adalah sahabat-sahabat terbaik yang penah peneliti miliki.

12. Teman-teman seperjuangan stambuk 2004 teristimewa Agnes (Teman KTB peneliti), Hotpascaman, Nova, Julia, Johan, Bontor, Saut, Juneidi, Bima, Asroni. Terima kasih telah mengisi satu episode manis dalam kehidupan peneliti. Semoga kita sukses semuanya.

13.Yustian `05, Herti `06 & Friska `06 yang merupakan teman KTB peneliti, Erna `06 teman satu bimbingan akademik dan Margareth `07. terima kasih atas dukungan doa dan semangatnya. Semoga kalian sukses. 14.Senior-senior yang peneliti hormati : K` Ridhoi, K`Etenk (yang peneliti anggap seperti kakak sendiri), Tante Atin, K` Juliana, K` Ganda, K` Naomi, K` Tika (anak-anak KLD), B`Yandi (PKK kelompok kecil peneliti), K`Naomi `03 (teman sekaligus senior peneliti dari mulai SMP sampai Kuliah), K`Lestari `03, B`Frans `03, K` Sondang `03, K` Ruslinda `02, K` Corry `03, K` Rahmi `03, dan semua yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuannya dan semoga Tuhan memberkati abang dan kakak sekalian.


(6)

15.Ibu Alamina (dosen bahasa Inggris FKM), K` Rimpun `99 serta Pak Yahya Anwar yang telah membantu peneliti untuk mengalih bahasakan skala yang akan peneliti gunakan.

16.semua responden peneliti yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu baik ketika mengadakan uji coba alat ukur maupun ketika in take data. Terima kasih atas bantuannya dan semoga Tuhan memberkati dan membalas kebaikan anda semua.

17.Semua pihak yang telah berjasa dalam penyelesaian penelitian ini dimana peneliti tidak dapat menyebutkannya satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan. Semoga Tuhan memberkati anda semua dan semua kebaikan yang telah anda lakukan bagi peneliti mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Amin...

Seperti kata pepatah ”Tak ada gading yang tak retak”. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, peneliti memohon saran dan masukan yang membangun dari semua pihak agar kelak dalam penelitian selanjutnya dapat lebih baik lagi. Peneliti berharap semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Sekian dan Terima Kasih

Medan, Desember 2007

Peneliti


(7)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Sejak awal lahirnya, manusia adalah makhluk sosial. Hal ini berarti bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari dunianya karena manusia selalu ada dan harus hidup dalam ikatan lingkungan sosial seperti keluarga, kerabat, tetangga dan masyarakat. Keadaan ini juga disebabkan karena menurut kodratnya, manusia merupakan makhluk yang memiliki keterbatasan sehingga memerlukan orang lain sebagai mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak atau untuk mengisi, melengkapi dan menyempurnakan keterbatasan tersebut (Nurdin, 1990).

Crumbaugh (dalam Bastaman, 1996) menyatakan bahwa membina hubungan yang mendalam (encounter) dengan sesama manusia merupakan penerapan prinsip pelayanan memberi dan menerima (take and give) yakni berusaha mengetahui apa yang diperlukan orang lain dan kemudian memenuhinya. Proses memenuhi (give) ini dilakukan berdasarkan naluri kemanusiaan yaitu melalui usaha tolong menolong karena pada hakekatnya, sesuai pandangan biologis, manusia memiliki dorongan menolong bawaan (Hogg, 2002). Oleh sebab itu, agar kegiatan ini dapat dijalankan dengan lebih efektif maka pada abad ke-19 di Amerika Serikat, kegiatan ini secara formal didirikan menjadi suatu profesi yang disebut sebagai pekerjaan sosial (Morales & Sheafor, 1980). Ali (2001), menyatakan bahwa suatu kegiatan dapat disebut sebagai profesi apabila telah memiliki kode etik sebagai sarana pengatur norma-norma


(8)

profesi dan adanya organisasi profesi sebagai wadah yang berfungsi memberikan pengajaran dan pembinaan kualitas profesi. Demikian juga halnya dengan pekerjaan sosial yang memiliki kode etik dan organisasi profesi. Oleh sebab itu maka layaklah pekerjaan sosial disebut sebagai suatu profesi.

Menurut Siporin; Morales & Sheafor (dalam Suharto, 1997), definisi pekerjaan sosial adalah suatu profesi pertolongan kemanusiaan yang tujuan utamanya adalah membantu keberfungsian sosial individu, keluarga dan masyarakat dalam melaksanakan peran-peran sosialnya. Sedangkan Skidmore, Thackery & Farley (1994), menyatakan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu usaha profesional untuk menolong orang memecahkan dan mencegah masalah-masalah dalam fungsi sosial, memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan cara-cara hidup mereka dimana orang-orang yang melakukan profesi tersebut disebut sebagai pekerja sosial (Adi, 2004).

Secara konvensional, pekerjaan sosial biasanya dipandang sebagai suatu profesi yang menangani permasalahan kesejahteraan sosial baik pada lingkungan lembaga maupun masyarakat. Dalam lingkungan lembaga, pekerja sosial biasanya bekerja pada institusi-institusi pelayanan sosial seperti lembaga rehabilitasi sosial, pengasuhan anak, perawatan orang tua, penampungan korban narkoba dan lain sebagainya. Sementara, pada lingkungan masyarakat, umumnya pekerja sosial menangani permasalahan sosial yang berkaitan dengan pembangunan lokal (pedesaan dan perkotaan), pengentasan kemiskinan atau perancang proyek-proyek usaha ekonomis produktif (Suharto, 1997).


(9)

Di Indonesia sendiri, sering terjadi kerancuan tentang siapa yang disebut sebagai pekerja sosial. Dalam masyarakat, ada tiga pandangan tentang pekerja sosial. Pandangan pertama melihat pekerja sosial sebagai setiap orang yang melakukan kegiatan menolong orang lain tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan, berdasarkan rasa kemanusiaan dan ajaran agama. Pandangan kedua melihat pekerja sosial sebagai orang yang menduduki jabatan fungsional pekerja sosial yang diperuntukkan khusus bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan pandangan ketiga melihat pekerja sosial sebagai lulusan atau alumni perguruan tinggi jurusan kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial yang mengikuti pendidikan formal minimal strata satu (S1) atau Diploma IV yang dapat bekerja di lembaga pemerintahan, swasta maupun praktik mandiri (Thoyib, 2006).

Pada era pemerintahan presiden Suharto, didirikan Himpunan Pekerja Sosial Indonesia (HIPSI) yang sayangnya lebih banyak didominasi oleh orang-orang yang bukan berlatar belakang dari bidang pekerjaan sosial ataupun ilmu kesejahteraan sosial tetapi orang-orang yang berasal dari berbagai latar pendidikan lain (Adi, 2004). Hidayat (2004), menyatakan bahwa pekerja sosial memiliki arti secara luas, yaitu pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Dunham (dalam Adi, 1994) menyatakan, karakteristik untuk menjadi pekerja sosial adalah mereka tahu bahwa pekerjaan sosial yang dilakukannya adalah kegiatan pemberian bantuan (helping profession), lebih mengutamakan kegiatan yang non-profit dalam artian lebih mementingkan pelayanan (service)


(10)

daripada mencari keuntungan (profit), dan mereka bertindak sebagai perantara agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat. Sedangkan, mandat utama pekerja sosial adalah memberikan pelayanan sosial baik kepada individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat yang membutuhkannya sesuai nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan profesional pekerjaan sosial (Adi, 1994). Fungsi utama pekerja sosial adalah melakukan restorasi, penyediaan sumber-sumber bagi individu dan masyarakat serta mencegah disfungsi sosial (Skidmore dalam Adi, 1994).

Setiap profesi yang digeluti memiliki dampak negatif dan positif. Seorang pekerja sosial terkadang menghadapi berbagai dampak negatif, salah satunya adalah trauma sekunder. Trauma sekunder adalah masalah-masalah khusus akibat pekerjaan misalnya trauma tidak langsung akibat membantu orang lain yang mengalami trauma atau memiliki bentuk-bentuk reaksi yang sama dengan subyek yang didampingi misalnya mengalami mimpi buruk, gelisah dan ketakutan. Dampak lain adalah stres dan kelelahan kepedulian (caregiver fatigue) dikarenakan beberapa faktor misalnya tuntutan atau beban kerja yang sangat berat, tidak adanya masa istirahat dan kelekatan yang sangat besar pada individu yang didampingi (Pulih, 2006) serta terjadinya burn out terutama pada pekerja sosial perempuan yang telah menikah karena konflik peran yang dialami antara tanggung jawab pada keluarga atau karir sebagai pekerja sosial (Morales & Sheafor, 1980). Selain itu, tidak jarang pekerja sosial juga mengalami bias dan prasangka sosial dari individu atau masyarakat terhadap segala aktivitas yang mereka lakukan. Hal ini dapat terlihat dari kutipan seperti di bawah ini:


(11)

“Dibayar berapa kamu kesini? Kalian orang-orang luar hanya memanfaatkan kami karena bencana ini memobilisasi uang dan menciptakan proyek-proyek” (Pulih, 2006).

Sebenarnya, merupakan hal yang wajar bila masyarakat memiliki prasangka terhadap para pekerja sosial. Hal ini terbukti dari sejak terjadinya bencana tsunami di kawasan paling barat Indonesia (Aceh) membuat kondisi negara kian terpuruk sehingga mengundang banyak orang untuk membantu dan terjadi pembludakan pekerja sosial baik dari dalam maupun luar negeri, yang terlatih dan terorganisir maupun yang dadakan (Pitaloka, 2005). Pada saat genting seperti ini, banyak orang mengaku sebagai pekerja sosial namun orientasi sebenarnya adalah proyek (Koentjoro, 2003). Banyak pekerja sosial yang terampil dari LSM lokal (di Aceh) tertarik untuk direkrut oleh Non-Government Organizations (NGO), atau di Indonesia biasa dinamakan sebagai LSM internasional, dimana mereka menawarkan gaji yang tinggi dan melampaui standar upah minimum regional sehingga tidak jarang kehidupan pekerja sosial telah menempatkan mereka sebagai konsumen kelas tinggi dan hidup mewah (Kompas, 2005).

Selain memiliki dampak negatif, menjadi pekerja sosial juga memiliki dampak positif yaitu adanya perasaan dibutuhkan dan merasa puas apabila dapat menolong orang lain (Morales & Sheafor, 1980), tersalurkannya perilaku prososial dalam pekerjaan sosial karena manusia memiliki sense of competence dan social responsibility dalam menolong orang (Whrightsman & Deaux, 1993) serta adanya dorongan atau motif untuk mengaktualisasikan diri dengan melakukan suatu kegiatan sosial (Nurdin, 1990).


(12)

Di negara-negara yang sedang berkembang (developing countries) seperti Indonesia, menjadi seorang pekerja sosial, belum mempunyai porsi yang mapan karena profesi ini belum begitu dikenal masyarakat dan belum mendapat prioritas yang signifikan dari lembaga pemerintahan (Adi, 2004) seperti Departemen Sosial yang kurang memberikan penghargaan terhadap profesi pekerjaan sosial ini atau seperti ada kesan ambivalen dalam memberikan penghargaan pada profesi pekerja sosial (Koentjoro, 2003).

Pada saat pekerja sosial melakukan praktek pekerjaan sosial, mereka dituntut untuk melakukannya dengan semaksimal mungkin dan menggunakan seperangkat nilai yang merupakan sarana pemandu dalam praktik pekerjaan sosial. Adapun seperangkat nilai tersebut adalah pelayanan, keadilan sosial, martabat dan keberhargaan manusia, hubungan antara manusia, integritas, dan kompetensi (NASW, 2005). Nilai-nilai ini merupakan bentuk operasionalisasi dari nilai makna hidup karena berdasarkan definisinya nilai adalah alat yang esensial untuk memilah-milah pengetahuan dan mengindikasikan apa yang sesuai dengan kepercayaan sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus melakukannya (Morales & Sheafor, 1980) dan apabila berhasil merealisasikannya maka akan dapat menemukan makna hidup.

Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap penting serta berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (purpose of life). Tujuan hidup bersinonim dengan makna hidup yang merujuk pada memiliki sasaran dan misi dalam hidup serta memiliki arah hidup dari masa lalu, sekarang dan masa akan datang (Reker dalam De Klerk,2005).


(13)

Bila makna hidup tidak berhasil terpenuhi akan menyebabkan kehidupan ini tidak bermakna (meaningless), tetapi bila berhasil memenuhinya maka akan menyebabkan seseorang merasa kehidupan ini berguna, berharga dan berarti (meaningful) dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness). Dalam ilmu psikologi penelitian mengenai kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dikenal sebagai psychological well-being.

Ryff (dalam Halim & Atmoko, 2005) mendefinisikan psychological well-being sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Pada intinya psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes, 1995).

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran psychological well-being pada pekerja sosial?

I.B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well-being pada pekerja sosial


(14)

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada pekerja sosial.

I.D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis.

I.D.1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi khususnya Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial yaitu mengenai psychological well-being pada pekerja sosial

I.D.2. Manfaat Praktis

a. Memberi informasi deskriptif untuk penelitian berikutnya yang berhubungan dengan psychological well-being serta pekerja sosial. b. Membantu pekerja sosial lebih memahami psychological well-being-nya

sehingga dapat membenahi diri untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi pada klien atau pengguna jasanya

c. Memberi informasi pada lembaga-lembaga sosial tentang psychological well-being pekerja sosialnya sehingga dapat mengupayakan perbaikan psychological well-being pekerja sosial yang kurang baik dan megoptimalkan psychological well-being yang baik yang dapat berpengaruh ketika berkecimpung atau melakukan praktik pekerjaan


(15)

sosial dapat lebih maksimal dan berorientasi kepada kepentingan klien atau pengguna jasa.

I.E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang berhubungan dengan sumber makna hidup dan pekerja sosial

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan dan reliabilitas, serta metode analisis data.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian,


(16)

hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian ditinjau dari teori yang relevan.

Bab V : Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperolah dari penelitian, diskusi hasil penelitian,

serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian atau untuk


(17)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Pengertian Psychological Well-Being Pekerja Sosial

Kesehatan mental (Ryff, 1989) seringkali dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi secara positif. Oleh sebab itu, orang-orang lebih mengenal kesehatan mental dengan istilah tidak adanya penyakit daripada berada dalam kondisi well-being. Well-being didefinisikan sebagai derajat seberapa jauh seseorang dapat berfungsi secara optimal (Ryan & Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), penelitian mengenai well-being yang telah dilakukan selama ini didasarkan pada dua perspektif yang berbeda. Perspektif yang pertama disebut pendekatan hedonik (hedonic approach), sedangkan pendekatan lainnnya disebut pendekatan eudaimonik.

Eudaimonia (kebahagiaan) pertama kali dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dikenal dengan istilah psychological well-being. Aristoteles (Ryff,1989) menyatakan bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu melainkan melalui tindakan nyata dimana individu mengaktualisasikan potensi-potensinya. Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia sehinga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau gagal.


(18)

Penelitian mengenai psychological well-being penting untuk dilakukan karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya membuat seseorang dapat mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya (Ryff, 1995). Ryff (dalam Halim & Atmoko, 2005) mendefinisikan psychological well-being sebagai hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim & Atmoko, 2005). Pada intinya psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes, 1995).

Ryff mengajukan beberapa literatur untuk mendefinisikan psikologis yang berfungsi positif yaitu Rogers menyebutnya dengan istilah fully functioning person, Maslow menyebutnya dengan konsep self-actualized person, dan Jung mengistilahkannya dengan individuasi, serta Allport menyatakannya dengan konsep maturity (Ryff, 1989).


(19)

II. B. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being

Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari psychological well-being yaitu :

1. Penerimaan Diri (self-acceptance)

Penerimaan diri merupakan suatu ciri utama dari kesehatan mental yang sama dengan karakteristik individu yang mengaktualisasi diri, berfungsi optimal dan memiliki ciri kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Individu yang menerima dirinya sendiri akan bersikap positif tehadap penilaian dirinya. (Ryff dalam Compton, 2005). Menurut Maslow (dalam Calhoun & Acocella, 1990) penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri.

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Dimensi penting lain dari psychological well-being adalah kemampuan individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan empati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik. Selain itu, menurut teori perkembangan masa dewasa, individu juga perlu untuk memiliki kedekatan (intimacy) dengan orang lain dan mampu memberikan


(20)

bimbingan dan arahan kepada orang lain (generativity). Semua ciri yang ditekankan di atas merupakan karakteristik penting dari konsep psychological well-being.

3. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri. Menurut Maslow (dalam Calhoun & Acocell, 1990) dalam konsep aktualisasi diri, individu yang otonomi adalah individu yang memiliki rasa puas diri yang tinggi dan mampu untuk bertahan sendirian. Individu ini akan bertahan pada pendapatnya sendiri meskipun yang lain tidak setuju. Kekuatan yang ada di dalam diri mampu membuat individu tersebut bertahan menghadapi tekanan dan gangguan dari luar. Ryff (1989) menyatakan sependapat dengan pandangan Rogers yang menyatakan bahwa individu yang otonomi merupakan individu yang dapat menentukan kondisi diri sendiri dalam bertindak. Dalam kondisi ini, individu mempunyai kepercayaan terhadap pengalaman sendiri sebagai sumber dalam pengambilan keputusan. Konsekuensinya, individu itu akan mampu untuk bersikap mandiri dan tidak hanya mengandalkan norma-norma sosial yang berlaku atau pendapat orang lain, sehingga berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu.

Jika dikaitkankan dengan konsep Frankl (dalam Koeswara, 1992), mengemukakan bahwa manusia harus memiliki kebebasan untuk menemukan arti dari keberadaan mereka. Kebebasan ini berarti bebas untuk memilih antara menerima atau menolak suatu hal.


(21)

4. Penguasaan Lingkungan (enviromental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka mengembangkan diri. Ini merupakan definisi karakteristik dari kesehatan mental. Individu yang matang (dalam konsep Allport), digambarkan segabai individu yang mampu mengelola dan mengontrol lingkungan sekitarnya. Individu juga mampu mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik ataupun mental, serta menggunakan setiap kesempatan yang ada di lingkungan sekitar. Partisipasi aktif dalam lingkungan dan penguasaan lingkungan merupakan karakteristik penting dari psychological well-being.

Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa definisi dari dimensi psychological well-being adalah sejauhmana pekerja sosial mampu mengelola berbagai aktivitas eksternalnya, mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, mampu memilih dan mempunyai kompetensi untuk mengelola lingkungan yang cocok dengan kebutuhan pribadi.

5. Tujuan Hidup (purpose in life)

Adanya tujuan hidup yang jelas merupakan bagian penting dari karakteristik individu yang memiliki psychological well-being. Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi hidupnya. Individu yang memiliki psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada masyarakat.


(22)

Pandangan Frankl (dalam Koeswara, 1992) tentang kesehatan psikologis menekankan pada keinginan atau kehendak untuk bermakna (the will to meaning). Individu yang merasa kehilangan makna hidup (meaningless), tanpa tujuan dan arah akan membuat individu tersebut merasa bosan dalam menjalani kehidupannya. Perasaaan tidak bermakna merupakan perasaan dimana individu tidak berhasil menyadari arti hidup yang bermanfaat bagi dirinya. Apabila pekerja sosial mengalami kondisi ini, maka ia tidak akan dapat mengisi pekerjaannya dengan baik, merasa bosan, jemu, kosong dan hampa.

6. Pertumbuhan Pribadi (personal growth)

Fungsi psikologis yang optimal tidak hanya mampu mencapai karakteristik-karektisitk pribadi dari pengalaman-pengalaman terdahulu, melainkan juga mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dapat berfungsi secara penuh (fully functioning). Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.

II.A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being

Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.

1. Usia

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai


(23)

kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor psychological well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan orang lain tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).

2. Jenis kelamin

Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotipe jender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia dkk., 2001). Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotipe ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut


(24)

dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

3. Status sosial ekonomi

Ryff dkk., (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya.

4. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.


(25)

II. B. Pekerja Sosial

II.B.1. Pengertian Pekerja Sosial

Menurut Adi (2004), konsep pekerja sosial digunakan untuk menggambarkan seseorang yang bergelut di bidang pekerjaan sosial yang berasal (lulusan) dari pendidikan pekerjaan sosial ataupun ilmu kesejahteraan sosial dimana mereka memiliki karakteristik yaitu mereka tahu bahwa pekerjaan sosial yang dilakukannya adalah kegiatan pemberian bantuan (helping profession), lebih mengutamakan kegiatan yang non-profit dalam artian lebih mementingkan service (pelayanan) daripada mencari keuntungan (profit), dan mereka bertindak sebagai perantara agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat (Dunham dalam Adi, 1994). Mereka dapat bekerja di lembaga pemerintahan, swasta maupun praktik mandiri.

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, pekerja sosial adalah orang yang menduduki jabatan fungsional sebagai pekerja sosial. Jabatan fungsional pekerja sosial diperuntukan khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS)

Menurut Skidmore sebagaimana yang dikutip oleh Jusman Iskandar (dalam Hermawati, 2001), pekerja sosial adalah orang yang bekerja atau dikaryakan dalam suatu lembaga pelayanan sosial. Dalam lembaga sosial, pekerja sosial dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian tergantung dimana orang tersebut dikaryakan, misalnya pada LSM X, pekerja sosial dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu staf lapangan dan staf kantor. Staf lapangan adalah pekerja sosial yang langsung melakukan pendampingan dengan klien atau pengguna jasa,


(26)

sedangkan staf kantor adalah pekerja sosial yang yang menangani hal-hal yang berhubungan dengan lembaga misalnya administrasi (Komunikasi Personal, 2008).

Hidayat (2004), menyatakan pekerja sosial dapat diartikan secara luas, yaitu pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan masyarakat atau LSM. Tugas yang diemban pekerja sosial diterjemahkan ke dalam beberapa fungsi yaitu: a) melaksanakan pencegahan terhadap timbul dan berkembangnya masalah sosial; b) melaksanakan rehabilitasi yang meliputi memperbaiki dan memulihkan peran-peran sosial yang terganggu dan c) melaksanakan pengembangan kemampuan individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya dan mendayagunakan potensi dan sumber-sumber. Memberikan dukungan terhadap profesi dan sektor-sektor lain guna peningkatan kualitas pelayanan sosial (Depsos RI dalam Hidayat, 2004 ).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan pekerja sosial adalah semua pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial dimana mereka lebih mengutamakan pelayanan daripada mencari keuntungan atau tanpa mengharapkan imbalan tetapi didasarkan atas rasa kemanusiaan atau ajaran agama.

II.B.2. Nilai-Nilai Utama dalam Praktek Pekerjaan Sosial

Menurut Morales dan Sheafor (1980), nilai merupakan alat yang esensial untuk memilah-milah pengetahuan dan mengidentifikasi apa yang sesuai dengan


(27)

kepercayaan sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus melakukannya. Rokeach (dalam Morales & Sheafor, 1980) menyatakan nilai adalah suatu bentuk kepercayaan, yang letaknya pada pusat sistem kepercayaan seseorang, mengenai bagaimana seseorang harus dan tidak harus berperilaku atau keadan eksistensi yang berharga atau yang tidak berharga. Nilai berada di dalam hati setiap orang yang digunakan sebagai pandangan bagaimana seharusnya mereka hidup dan untuk menuntun aksi-aksi mereka. Begitu juga dengan pekerja sosial yang menggunakan nilai-nilai profesi sebagai nilai penuntun (value-guided) dalam praktek pekerjaan sosial (Morales & Sheafor, 1980).

Menurut Morales dan Sheafor (1980), ada tiga nilai yang dibutuhkan pekerja sosial sebagai panduan dalam praktik pekerjaan sosial yaitu nilai sebagai gambaran istimewa manusia, nilai sebagai akibat istimewa bagi manusia dan nilai sebagai perantara istimewa agar bisa berhadapan dengan orang, namun nilai yang ketigalah yang biasanya digunakan dalam pekerjaan sosial karena bentuknya lebih konkrit tidak seperti nilai yang pertama dan kedua yang bersifat abstrak. Nilai-nilai ini terdapat dalam kode etik NASW (National Association of Social Worker) yaitu: pekerjaan sosial berdasarkan asas kemanusiaan demokratis. Pekerja sosial profesional didedikasikan untuk melayani kesejahteraan umat manusia, menertibkan penggunaan pengetahuan untuk kesejahteraan manusia (well-being) dan interaksi mereka, dan mengatur sumber-sumber untuk mempromosikan kesejahteraan manusia tanpa diskriminasi. Praktek pekerjaan sosial adalah kegiatan kepercayaan umum (public trust) yang membutuhkan integritas, rasa kasihan atau haru (compassion), kepercayaan pada martabat dan keberhargaan


(28)

manusia, menghormati perbedaan individual, komitmen pada pelayanan dan berdedikasi pada kebenaran.

Pekerjaan ini juga membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman profesional. Selain itu diperlukan juga adanya pengetahuan, ketrampilan dan pelayanan yang akan diberikan serta menunjukkan pelayanan yang penuh integritas dan kompetensi. Setiap anggota dari profesi ini memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan pelayanan pekerjaan sosial, secara konstan untuk menguji, menggunakan, dan meningkatkan pengetahuan tentang praktek dan kebijakan sosial yang mendasarinya serta mengembangkan filosofi dan ketrampilan profesi.

Berdasarkan nilai-nilai praktek pekerjaan sosial (Morales & Sheafor, 1980) dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai utama pekerja sosial adalah:

a. Pelayanan (service)

Nurdin (1990) mendefinisikan pelayanan sebagai memberikan jasa kepada orang-orang dan membantu mewujudkan tujuan-tujuan mereka dan bukan untuk kepentingan atau keuntungan sendiri. Romanyshyn (dalam Nurdin, 1990) menyatakan bahwa usaha pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha memulihkan, memelihara, dan meningkatkan kemampuan berfungsi sosial individu dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin berfungsinya kolektivitas seperti kelompok-kelompok sosial, organisasi serta masyarakat.

Tujuan utama pekerja sosial adalah untuk menolong orang-orang dalam memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan masalah sosial dimana pelayanan


(29)

yang dilakukan bukan atas dasar ketertarikan sendiri (self-interest). Pekerja sosial menggunakan pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan untuk menolong orang lain dalam memenuhi dan mengatasi masalah-masalah sosial. Pekerja sosial disemangati untuk menggunakan ketrampilan profesional tanpa mengharapkan imbalan (pro bono service).

Nilai pelayanan ini mencerminkan nilai kreatif yang terlihat dari kegiatan yang dilakukan yaitu menolong memenuhi kebutuhan klien, memulihkan, memelihara dan meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga dan masyarakat serta menuntut pekerja sosial untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi.

b. Keadilan Sosial (Social Justice)

Pekerja sosial mengejar perubahan sosial, terutama pada individu atau kelompok yang dihina dan terhimpit. Pekerja sosial mengusahakan perubahan sosial yang fokus utamanya pada masalah kemiskinan, pengangguran, diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan sosial. Kegiatan-kegiatan ini untuk meningkatkan sensitifitas dan pengetahuan tentang tekanan, budaya dan perbedaan etnik. Pekerja sosial berusaha untuk memastikan adanya akses pada informasi, pelayanan dan sumber-sumber yang dibutuhkan; memiliki kesempatan yang sama; dan partisipasi yang bermakna dalam membuat keputusan pada semua orang.

Nilai keadilan sosial merupakan cerminan dari nilai kreatif dimana pekerja sosial berusaha mengusahakan terjadinya perubahan sosial dan memastikan adanya akses informasi dan pelayanan terhadap semua pengguna jasa atau klien


(30)

c. Martabat dan Keberhargaan manusia (Dignity and Worth of the Person) Pekerja sosial menghormati kelekatan antara martabat dan keberhargaan manusia. Pekerja sosial memperlakukan setiap orang dengan penuh perhatian dan rasa hormat, menyadari perbedaan individu, budaya dan etnik. Pekerja sosial meningkatkan pertanggungjawaban penentuan diri (self-determining) klien secara sosial dan berusaha untuk meningkatkan kapasitas dan kesempatan bagi klien untuk berubah dan untuk menyalurkan kebutuhan mereka. Pekerja sosial menyadari tanggung jawab ganda mereka kepada klien dan masyarakat yang lebih luas. Mereka mengatasi konflik antara minat klien dan minat masyarakat dengan nilai, prinsip, etika profesi.

Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu menyadari tanggung jawabnya sebagai pekerja sosial. Nilai ini juga mencermikan nilai bersikap yaitu memperlakukan semua orang terutama klien dengan penuh perhatian dan rasa hormat. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai kreatif yaitu meningkatkan kapasitas serta kesempatan bagi klien untuk berubah serta mengatasi konflik yang terjadi.

d. Pentingnya Hubungan Antara Manusia (Importance of Human Relationships)

Pekerja sosial mengetahui pentingnya hubungan anatara manusia. Pekerja sosial mengerti bahwa hubungan antara dan pada manusia merupakan sarana penting untuk melakukan perubahan. Pekerja sosial memperlakukan orang-orang sebagai rekan (partner) pada proses pertolongan. Pekerja sosial berusaha untuk menguatkan hubungan diantara orang-orang dengan tujuan untuk


(31)

mempromosikan, merestorasi, memelihara dan meningkatkan kesejahteraan individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi dan komunitas-komunitas

Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu mengetahui serta mengerti bahwa hubungan manusia itu penting dan merupakan sarana penting untuk melakukan perubahan. Nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu memperlakukan orang-orang sebagai rekan dalam proses pertolongan. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai kreatif yaitu berusaha menguatkan hubungan diantara individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi dan komunitas.

e. Integritas (Integrity)

Pekerja sosial berperilaku dengan cara yang dapat dipercayai. Pekerja sosial secara terus menerus menyadari misi, nilai, prinsip, standar etika dan praktek profesi pada klien. Pekerja sosial berlaku jujur, bertanggung jawab dan meningkatkan etika praktek sesuai organisasi dimana ia berafiliasi.

Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu secara terus menyadari misi, nilai, prinsip, standar etika dan praktik profesi pada klien. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu berlaku jujur, bertanggung jawab serta meningkatkan etika sesuai organisasi tempat berafiliasi.

f. Kompetensi (Competence)

Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan seseorang ketika melakukan sesuatu. Hal inilah yang dituntut dari seorang pekerja sosial dimana mereka harus melakukan praktek pekerjaan sosial sesuai area


(32)

kompetensinya dan secara terus menerus berjuang untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan profesionalnya serta pengaplikasian dalam praktek. Pekerja sosial harus menerima tanggung jawab atau pekerjaan hanya atas dasar kompetensi yang diperlukan atau dibutuhkan.

Kompetensi merupakan cerminan dari nilai kreatif yaitu melakukan pekerjaan sosial sesuai area kompetensinya dan berjuang utnuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan pengaplikasian dalam praktek. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu menerima suatu tanggung jawab pekerjaan yang sesuai kompetensinya.

II. B. 3. Peran Pekerja Sosial

Menurut Zastrow (dalam Isbandi, 1994), setidak-tidaknya ada tujuh peran pekerja sosial yaitu:

a. Enabler

Sebagai enabler seorang pekerja sosial membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka; mengidentifikasikan masalah mereka; dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Peran sebagai enabler ini adalah peran klasik dari seorang community worker ataupun community organizer. Fokusnya adalah help people (organize) to help themselves.

Ada empat fungsi utama seorang community worker yaitu (a) membantu masyarakat menyadari dan melihat kondisi mereka; (b) membangkitkan dan


(33)

mengembangkan relasi interpersonal yang baik; (d) memfasilitasi perencanaan yang efektif.

b. Broker

Peranan seorang broker (pialang) berperan dalam menghubungkan individu ataupun kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan masyarakat (community services) yang tidak tahu di mana dan bagaimana mendapatkan bantuan tersebut. Broker dapat juga dikatakan menjalankan peran mediator yang menghubungkan pihak yang satu (klien) dengan pemilik sumber daya.

c. Expert

Dalam kaitan peranan seorang community worker sebagai tenaga ahli di mana ia lebih banyak memberikan saran dan dukungan informasi dalam berbagai area. Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan bukanlah mutlak harus dijalankan masyarakat, tetapi usulan dan saran tersebut lebih merupakan sebagai masukan gagasan untuk bahan pertimbangan masyarakat ataupun organisasi dalam masyarakat tersebut.

d. Social Planner

Seorang perencana sosial mengumpulkan data mengenai masalah-masalah sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut; menganalisanya; dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut. Setelah itu, perencana sosial mengembangkan program, mencoba mencari


(34)

alternatif sumber pendanaan dan pengembangan konsensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan.

Peran expert dan social planner saling tumpang tindih. Seorang expert lebih memfokuskan pada pemberian usulan dan saran, sedangkan perencana sosial lebih memfokuskan tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pengimplementasian program.

e. Advocate

Peran sebagai advokat dalam pengorganisasian masyarakat dicangkok dari profesi hukum. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah (directive) di mana community worker menjalankan fungsi sebagai advokat (advocacy) yang mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan ataupun layanan tersebut tidak memperdulikan (bersifat negatif ataupun menolak tuntutan warga).

Peran advokasi, misalnya saja dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah yang menyampaikan tuntutan pada pemerintah agar pemerintah menyediakan ganti rugi yang memadai bagi mereka yang tergusur, atau pemerintah meringankan biaya pendidikan dan lain sebgainya.

f. Activist

sebagai activist, seorang community worker melakukan perubahan institutional yang lebih mendasar dan seringkali tujuannya adalah pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok yang kurang mendapatkan keuntungan. Seorang activist biasanya memperhatikan isu-isu tertentu seperti ketidaksesuaian dengan hukum yang berlaku, ketidakadilan dan perampasan hak.


(35)

Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada. Taktik yang biasa mereka lakukan adalah melalui konflik, konfrontasi dan negosiasi. Serupa dengan peran advokat, seorang activist juga menjalankan peran partisan. Hal ini dilakukan karena kelompok tersebut dianggap sebagai korban dari struktur yang berkuasa.

g. Educator

Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, pekerja sosial diharapkan mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja sosial harus mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi mengenai beberapa hal tertentu sesuai dengan bidang yang ditanganinya.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang dimaksudkan untuk melihat bagaimana gambaran sumber makna hidup pada pekerja sosial berdasarkan nilai-nilai utama pekerjaan sosial.

Menurut Azwar (2001) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Dalam penelitian


(36)

Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada. Taktik yang biasa mereka lakukan adalah melalui konflik, konfrontasi dan negosiasi. Serupa dengan peran advokat, seorang activist juga menjalankan peran partisan. Hal ini dilakukan karena kelompok tersebut dianggap sebagai korban dari struktur yang berkuasa.

g. Educator

Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, pekerja sosial diharapkan mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja sosial harus mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi mengenai beberapa hal tertentu sesuai dengan bidang yang ditanganinya.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang dimaksudkan untuk melihat bagaimana gambaran sumber makna hidup pada pekerja sosial berdasarkan nilai-nilai utama pekerjaan sosial.

Menurut Azwar (2001) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Dalam penelitian


(37)

ini data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi. Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan hubungan antar variabel dan tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori di suatu variabel. Dalam pengolahan dan analisis data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif.

III.A. Pertanyaan Penelitian

Secara lebih terperinci, operasionalisasi pertanyaan dalam penelitian ini bila dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran psycholocical well-being pada pekerja sosial secara umum?

2. Bagaimana gambaran psycholocical well-being pada pekerja sosial berdasarkan dimensi psycholocical well-being?

3. Bagaimana gambaran psycholocical well-being pada pekerja sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin, usia, status perkawinan dan lamanya bekerja

III.B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah psychological well-being pada pekerja sosial.


(38)

III.C. Definisi Operasional

III.C.1. Psycholocical Well-Being Pekerja Sosial

Psychological well-being pekerja sosial adalah hasil evaluasi atau penilaian pekerja sosial terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya sehari-hari.

Adapun dimensi-dimensi psycholocical well-being (Ryff dalam Snyder & Lopez, 2005) adalah :

1. Penerimaan Diri (self-acceptance)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini menggambarkan individu yang memiliki sikap positif terhadap diri; mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas yang baik atau buruk; dan merasa positif terhadap masa lalu. Sedangkan apabila pekerja sosial merasa kurang puas dengan diri; merasa kecewa dengan apa yang terjasi di kehidupan masa lalu; mengalami persoalan pada beberapa kualitas diri; dan berharap menjadi pribadi yang berbeda dari apa yang dialami sekarang, ini diartikan bahwa skornya rendah.

2. Hubungan positif dengan orang lain (having positive relationship with others)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini menggambarkan individu yang hangat, menyenangkan, memiliki hubungan yang penuh dengan kepercayaan dengan orang lain; perhatian terhadap kesejahteraan orang lain; mampu berempati, menyayangi dan intim terhadap orang lain; mengerti arti saling memberi dan menerima dalam hubungan kemanusiaan. Sedangkan, Skor rendah adalah hanya memiliki beberapa teman akrab dan


(39)

memiliki hubungan yang penuh kepercayaan; mengalami kesulitan untuk menjadi orang yang hangat, terbuka dan perhatian pada orang lain; merasa terisolasi dan frustasi dengan hubungan interpersonal; tidak ingin berkompromi dalam mempertahankan hubungan atau ikatan penting dengan orang lain.

3. Otonomi (Autonomy)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini menggambarkan individu yang menentukan nasib sendiri dan bebas (independen); mampu bertahan dari tekanan sosial dengan berbagai cara pikir dan perilaku; dapat mengendalikan perilaku dari dalam; dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi atau perseorangan. Sedangkan, skor rendah adalah memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain; mengandalkan penilaian dari orang lain dalam membuat keputusan yang penting; konformitas terhadap tekanan sosial dengan berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu.

4. Penguasaan lingkungan atau keadaan (enviromental mastery)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini menggambarkan individu yang memiliki perasaan untuk menguasai dan berkompetensi untuk mengelola lingkungan atau keadaan; mengontrol atauran yang kompleks untuk kegiatan-kegiatan eksternal; melakukan penggunaan yang efektif dari kesempatan-kesempatan yang ada disekeliling; mampu untuk memilih dan menciptakan keadaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Sedangkan, skor rendah adalah memiliki kesulitan untuk mengatur pekerjaan-pekerjaan setiap hari; merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki keadaan disekeliling; tidak sadar akan kesempatan yang ada disekeliling.


(40)

5. Tujuan hidup (purpose in life)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini menggambarkan merupakan individu yang memiliki cita-cita dalam hidup dan perasaan untuk mengarahkannya; merasa memiliki makna untuk kehidupan sekarang dan masa lalu; menganut kepercayaan yang akan memberinya tujuan hidup; memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sedangkan, skor rendah adalah gagal memiliki makna hidup; hanya memiliki beberapa cita-cita atau tujuan; gagal memiliki perasaan yang mengarahkannya; tidak melihat adanya tujuan pada kehidupan masa lalu; tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang memberi makna hidup.

6. Pertumbuhan diri (personal growth)

Pekerja sosial yang memiliki skor tinggi dalam dimensi ini menggambarkan individu yang memiliki perasaan terus berkembang; melihat diri bertumbuh dan berkembang; terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensinya; melihat kemajuan dalam diri dan perilaku sepanjang waktu; melakukan perubahan yang merefleksikan lebih mengetahui diri dan efektif. Sedangkan, skor rendah adalah merasa stagnasi diri mengalami stagnasi, kurang dapat mengembangkan dirinya, merasa jenuh dengan kehidupan yang sedang dijalaninya, tidak tertarik dengan kehidupan, dan merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku baru.


(41)

III.D.1. Populasi dan Sampel

Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi pada penelitian ini adalah pekerja sosial yang bekerja di pada suatu kelompok, lembaga atau instansi tertentu yang bergerak dalam bidang pekerjaan sosial yang lebih mengutamakan pelayanan daripada mencari keuntungan atau tanpa mengharapkan imbalan tetapi didasarkan atas rasa kemanusiaan atau ajaran agama.

Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi yang dinamakan sampel. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Subjek penelitian menurut Azwar (2001) adalah sumber utama data penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel yang akan diteliti. Karakteristik subjek penelitian diperlukan untuk menjamin homogenitasnya.

Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Orang-orang yang tergabung pada suatu kelompok, lembaga atau instansi tertentu yang bergerak dalam bidang pekerjaan sosial dan melakukan pekerjaan sosial di lapangan

2. Dewasa (18-40 tahun)

Masa dimana seorang individu menilai kembali prioritas dan nilai personal mereka yang nantinya berpengaruh pada kemampuannya untuk


(42)

memperoleh cinta, kesenangan, dan rasa kebermaknaan dalam hidupnya (Corr, Nabe & Corr, 2003).

3. Tamat SD

Menurut Anastasi (nn), individu yang diberi inventori harus sudah menempuh pendidikan selama 6 tahun yang di Indonesia ini setara dengan pendidikan sekolah dasar yang diasumsikan telah dapat baca tulis.

III.D.2. Jumlah Sampel Penelitian

Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30. Sementara, Azwar (2001) menyatakan tidak ada angka yang dikatakan dengan pasti, namun secara tradisional, statistika menganggap jumlah sampel lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 40 orang.

III.D.3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Poerwanti, 1994). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling.

Incidental sampling adalah pemilihan sampel atas dasar kebetulan responden berada pada tempat yang sama saat penelitian sedang berlangsung. Pada teknik ini, tidak semua individu dalam populasi diberi peluang yang sama


(43)

untuk dipilih menjadi anggota sampel, tetapi hanya dan kemudahan dijumpainya sampel yang disesuaikan dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000). Pemilihan penggunaan teknik ini dengan pertimbangan kurangnya data lengkap mengenai jumlah dan keadaan pekerja sosial di kota Medan. Alat pengumpul data akan dibagikan kepada subjek setelah terlebih dahulu diketahui apakah subjek memenuhi karakteristik untuk dijadikan sampel atau tidak. Adapun kelebihan penggunaan teknik ini adalah lebih efisien, efektif dan praktis di bandingkan dengan penggunaan teknik lain. Sedangkan kekurangannya adalah sukar dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena ia tidak menggunakan suatu prinsip ilmiah yang kuat dan generalisasinya juga tidak dapat memberikan taraf keyakinan yang tinggi (Hadi, 2000).


(44)

III. E. Metode dan Alat Pengumpul Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan skala (Hadi, 2000). Metode skala digunakan karena data yang ingin diukur berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2001).

Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat digunakan dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi berikut:

1.Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2.Hal-hal yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan peneliti.

Kelebihan penggunaan skala adalah proses kuantifikasi dari atribut psikologis yang diukur hasilnya berupa angka-angka sehingga memberi gambaran yang mudah dimengerti oleh hampir semua orang. Sedangkan keterbatasan dari penggunakan skala adalah prosedur pengkonstruksian skala psikologi cukup rumit dan harus dilakukan dengan penuh perencanaan serta mengikuti langkah-langkah metodologis sehingga sumber error yang mungkin ada dapat ditekan sesedikit mungkin. Permasalahan validitas pengukuran juga sudah harus diperhitungkan dan diusahakan sejak awal sampai langkah konstruksi terakhir (Hadi, 2000).


(45)

III.E.1. Skala Psychological Well-Being

Skala psycholocical well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis yang dikemukakan Ryff tahun 1989. Skala ini terdiri dari enam dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan diri. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan adaptasi terhadap skala tersebut karena meyakini bahwa skala ini akan mampu mengukur psycholocical well-being orang dewasa yang dalam hal ini adalah pekerja sosial. Pengadaptasian skala dengan meminta bantu atau melibatkan orang-orang yang kompeten dibidangnya atau biasanya disebut dengan professional judgement.

Skala ini menggunakan skala model Likert yang terdiri dari pernyataan dengan enam pilihan jawaban yaitu : Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Agak Setuju (AS), Agak Tidak Setuju (ATS), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-6, bobot penilaian untuk pernyataan SS = 6, S = 5, AS = 4, ATS = 3, TS = 2, dan STS = 1. Untuk lebih jelasnya, cara penilaian skala nilai-nilai utama pekerjaan sosial yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1

Cara Penilaian Skala Psychological Well-Being pada Pekerja Sosial

Bentuk Pernyataan SKOR

STS TS ATS AS S SS

Favorable 1 2 3 4 5 6


(46)

Butir-butir aitem skala psychological well-being disusun berdasarkan dimensi psychological well-being dikemukakan oleh Ryff (1989) dengan blue print pada tabel berikut ini :

Tabel 2

Blueprint skala Psychological Well-Being saat uji coba

No. Dimensi

Psychological Well-Being

Nomor Aitem Jumlah Persentase

Favorable Unfavorable

1. Penerimaan Diri 6, 12, 30, 36, 48, 72,

78,

18, 24, 42, 54, 60, 66, 84

14 16,67

2. Hubungan Positif dengan Orang

Lain

1, 19, 25, 37, 49, 67,

79

7, 13, 31, 43, 55, 61, 73

14 16,67

3. Otonomi 8, 14, 26, 38, 50, 68,

80

2, 20, 32, 44, 56, 62, 74

14 16,67

4. Penguasaan Lingkungan

3, 21, 33, 39, 51, 57,

69, 81

9, 15, 27, 45, 63, 75

14 16,67

5. Tujuan Hidup 5, 23, 47, 53, 59, 71,

77

11, 17, 29, 35, 41, 65, 83

14 16,67

6. Pertumbuhan diri 10, 16, 28, 40, 46, 52,

64, 70

4, 22, 34, 58, 76, 82

14 16,67

Total 44 40 84 100

III.F. Uji Coba Alat Ukur

Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam sebuah penelitian sangat menetukan keakuratan dan keobjektifan hasil penelitian yang dilakukan. Suatu alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan informasi yang tidak akurat mengenai keadaan subjek atau individu yang dikenai tes ini


(47)

(Azwar, 2001). Peneliti akan melakukan uji coba pada skala terhadap sejumlah responden, dengan tujuan memperoleh alat ukur yang valid dan reliabel.

Hadi (2000) mengemukakan beberapa tujuan dari try out adalah sebagai berikut:

1. Menghindari pernyataan-pernyataan yang kurang jelas maksudnya

2. Menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik, ataupun kata-kata yang menimbulkan kecurigaan.

3. Memperbaiki pernyataan-pernyataan yang biasa dilewati (dihindari) atau hanya menimbullkan jawaban-jawaban dangkal.

4. Menambah aitem yang sangat perlu ataupun meniadakan aitem yang ternyata tidak relevan dengan tujuan penelitian.

III.F.1. Uji Validitas

Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk menguji coba alat ukur dalam menjalankan fungsinya. Dalam penelitian ini, uji validitas dilakukan dengan menggunakan uji daya beda aitem yang tujuan dilakukannya adalah untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Dengan kata lain, memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes secara keseluruhan (Azwar, 2001).


(48)

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) dan validitas tampang (face validity). Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional melalui inter item consistency dan lewat professional judgement yaitu dosen pembimbing. Selain itu, validitas isi juga diuji dengan melakukan pengujian daya beda aitem dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks diskriminasi aitem (Azwar, 2001).

III.F.2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat reliabilitas alat ukur yang menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi ukurnya bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 1997).

Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan reliabilitas konsistensi internal yaitu single trial administration dimana skala psikologi hanya diberikan satu kali saja pada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisiensi tinggi (Azwar,


(49)

1997). Selain memiliki memiliki keuntungan, ternyata pendekatan ini juga memiliki kelemahan yaitu .

Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan koefisien Alpha dari Cronbach. Analisa data diperoleh melalui program SPSS version 12.0 for windows.

III.G. Hasil Uji Coba Alat Ukur Penelitian

Penyebaran skala untuk uji coba terhadap alat ukur penelitian yaitu dilaksanakan mulai tanggal 30 Juni 2008 sampai 17 Juli 2008 kepada 55 orang pekerja sosial. Akan tetapi, skala yang berhasil kembali sebanyak 49 skala dengan rincian bahwa sebanyak 40 skala dapat diolah datanya, 9 tidak diisi dengan lengkap sesuai dengan petunjuk.

III.G.4.1 Skala Psychological Well-Being

Hasil uji coba skala Psychological Well-Being menunjukkan reliabilitas alpha sebesar 0, 925, dengan nilai rxy aitem bergerak dari -,276 sampai 0,756. Menurut Azwar (2004), untuk jumlah sampel 30 orang, maka aitem dianggap memiliki daya pembeda yang memuaskan dengan nilai korelasi minimal 0, 3. Akan tetapi, apabila jumlah aitem yang lolos ternyata masih kurang mencukupi jumlah yang diinginkan, maka dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi 0,25. Pada umumnya, batas kriteria yang digunakan adalah 0,3 tetapi pada satu aitem menggunakan kriteria 0,27 karena berdasarkan hasil inter item correlation, setelah dilakukan penghapusan aitem, ternyata aitem tersebut memiliki nilai lebih besar dari 0,3.


(50)

Jumlah aitem yang diujicobakan adalah 84 aitem, dan dari 84 aitem tersebut terdapat 55 aitem yang memiliki daya diskriminasi yang tinggi dimana aitem-aitem tersebut memiliki inter item consistency dengan nilai rxy > 0, 3. Tabel 5 menunjukkan distribusi aitem setelah uji coba.

Tabel 5

Distribusi aitem-aitem Skala Psychological Well-Being pada Pekerja Sosial setelah Uji coba

No.

Dimensi

Psychological Well-Being

Nomor Aitem

Jumlah Persentase (%)

Favorable Unfavorable 1. Penerimaan Diri 12, 30, 36,

48

18, 42, 54, 60, 66

9 16, 4 % 2. Hubungan Positif

dengan Orang Lain

19, 25, 37, 49, 67, 79

13, 31, 43, 55, 61

11 20 %

3. Otonomi 8, 14, 50, 68 62 5 9 %

4. Penguasaan Lingkungan

3, 21, 33, 57, 69, 81

15, 63, 75 9 16, 4 % 5. Tujuan Hidup 23, 47, 53,

59, 71

11, 17, 29, 35, 41, 83

11 20 % 6. Pertumbuhan diri 16, 28, 40,

46, 52, 64, 70

34, 76, 82 10 18, 2 %

Total 32 23 55 100 %

Setelah melakukan pengguguran aitem maka koefisien alpha menjadi 0,950, kemudian peneliti melakukan penomoran aitem yang baru. Pada tabel 6, aitem-aitem merupakan penomoran aitem yang baru yang akan digunakan untuk skala penelitian.


(51)

Tabel 6

Distribusi aitem-aitem Skala Psychological Well-Being pada Pekerja Sosial untuk penelitian

No.

Dimensi

Psychological Well-Being

Nomor Aitem Jumlah Persentase (%)

Favorable Unfavorable 1. Penerimaan

Diri

3, 8, 12, 42 16, 25, 32, 35, 50

9 16, 4 % 2. Hubungan

Positif dengan Orang Lain

9, 17, 21, 27, 43, 46

4, 24, 26, 36, 51

11 20 %

3. Otonomi 13, 28, 30, 52

54 5 9 %

4. Penguasaan Lingkungan

5, 18, 19, 29, 44, 47

14, 19, 22 9 16, 4 % 5. Tujuan Hidup 20, 34, 38,

41, 45

2, 7, 11, 15, 31, 49

11 20 %

6. Pertumbuhan diri

1, 10, 23, 37, 40, 53, 55

6, 33, 48 10 18, 2 %

Total 32 23 55 100 %

III. H. Prosedur Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Adapun ketiga tahap tersebut adalah tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pengolahan data.

III.H.1. Tahap Persiapan Penelitian

Dalam tahap persiapan, yang dilakukan peneliti adalah : 1. Pengadaptasian Alat Ukur

Pada penelitian ini, peneliti hanya menggunakan satu alat ukur yang diadaptasi dari skala Psychological Well-Being yang dikemukakan oleh Ryff (1989). Dalam pengadaptasian skala ini, peneliti meminta bantuan penerjemah yang berlatar belakang lulusan S2 bahasa Inggris dari Universitas Negeri Medan dan berprofesi sebagai dosen bahasa Inggris di Universitas Sumatera Utara.


(52)

Kemudian peneliti meminta bantuan kepada staf pengajar di suatu lembaga kerja sama Indonesia-Amerika untuk menerjemahkan kembali terjemahan tersebut ke bahasa Inggris. Selanjutnya peneliti membandingkan hasil terjemahan tersebut ke skala asli milik Ryff untuk memastikan bahwa pernyataan yang Ryff maksudkan sama dengan hasil terjemahan tersebut.

Tahap selanjutnya adalah peneliti meminta bantuan kepada 10 orang dewasa dari berbagai profesi dan ada yang tergabung dalam komunitas pendamping orang miskin untuk meminta bantuan mengisi skala dan melingkari pernyataan yang membingungkan. Tahap ini dilakukan sebanyak dua kali hingga hasilnya tidak ada pernyataan yang membuat orang yang mengisi skala tersebut menjadi bingung.

2. Uji Coba Alat Ukur

Setelah alat ukur selesai diadaptasi, maka selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba. Sebelum melakukan uji coba, terlebih dahulu peneliti meminta izin dari beberapa LSM dengan memberikan surat pengantar pengadaan penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Uji coba dilakukan pada tanggal 30 Juni 2008 sampai 17 Juli 2008 kepada 55 orang pekerja sosial di kota Medan. Skala diberikan melalui perantaraan direktur LSM yang bersangkutan dan sebagian langsung diberikan oleh peneliti. Dari 55 skala yang disebarkan yang kembali sebanyak 46 skala, tetapi data skala yang dapat dipergunakan sebanyak 40 skala dikarenakan 6 skala lagi tidak dapat dipergunakan karena ada pernyataan yang tidak di isi.


(53)

3. Penyusunan Alat Ukur Penelitian

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur yang diberikan kepada 40 orang pekerja sosial, peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala penelitian dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS for windows 12.0 version. Aitem-aitem yang sahih kemudian disajikan dalam skala penelitian. Peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala uji coba sebanyak empat kali pengolahan data sehingga di dapat dari 84 aitem yang diujicobakan, digunakan 55 aitem untuk penelitian lebih lanjut dengan koefisien alpha keseluruhan butir pernyataan sebesar 0,950.

III. H. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diperoleh data dari skala Psychological Well-Being, maka dilaksanakan penelitian pada pekerja sosial. Ada 2 tahap yang peneliti lakukan yaitu :

1. Permohonan izin

Subjek penelitian dalam penelitian adalah pekerja sosial. Oleh karena itu, pengambilan sampel dilakukan di lembaga swadaya masyarakat atau yang lebih dikenal dengan nama LSM. Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu meminta izin dari direktur LSM dengan membawa surat izin penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Peneliti meminta izin kepada tiga LSM yang ada di kota Medan. Adapun LSM yang dituju adalah Econom, H2O dan JKM.


(54)

2. Pengambilan data

Pengambilan data dilakukan dengan memberikan alat ukur berupa skala Psychological Well-Being dimana pekerja sosial diminta memberi respon pada skala tersebut. Pengambilan data dilakukan mulai tanggal 26 Juli 2008 sampai 11 Agustus 2008. Skala diberikan kepada 60 orang pekerja sosial dengan meminta bantuan kepada direktur dan bagian yang membawahi bidang pekerja sosial. Banyaknya skala yang berhasil kembali adalah 42 skala dengan rincian 40 skala dapat diolah datanya sedangkan 2 skala tidak dapat diolah datanya karena tidak sesuai dengan petunjuk pengisian.

III. H. 3. Tahap Pengolahan Data

Setelah diperoleh data dari alat ukur, tahap selanjutnya adalah pengolahan data dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS for windows 12.0 version. Semua data di hitung dengan menggunakan descriptive statistic.

III. I. Metode Analisa Data

Hadi (2000) menyatakan bahwa penelitian deskriptif menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. Data yang akan diolah yaitu skor minimum, skor maksimum, mean dan standar deviasi. Hadi (2000) menyatakan bahwa uraian kesimpulan dalam penelitian deskriptif didasari oleh angka yang diolah tidak terlalu mendalam. Pengolahan


(55)

data didasarkan pada analisis persentase dan analisis kecenderungan. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS for windows 12.0 version. Semua data dianalisis dengan menggunakan descriptive statistic untuk mendapatkan deskripsi karakteristik sampel berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, peran pekerja sosialnya, dan lama masa kerja untuk memberikan deskripsi sampel secara lebih mendetail.


(56)

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian yang berkaitan dengan analisa data penelitian yang sesuai dengan pertanyaan penelitian yang akan dijawab pada penelitian ini maupun analisa tambahan terhadap data yang ada.

IV. A. Gambaran Subyek Penelitian

Subyek penelitian berjumlah 40 orang pekerja sosial. Melalui skala yang disebarkan ke subjek, didapat gambaran subjek penelitian menurut usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, status perkawinan, peran pekerja sosial dan masa kerja.

IV. A. 1. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini Tabel 7

Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Persentase

18-29 Tahun 32 80%

30-40 Tahun 8 20%


(57)

Diagram 1

Diagram Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa subjek terbanyak adalah subjek penelitian dengan usia berkisar antara 18-29 tahun yaitu sebanyak 32 orang (80%). Sedangkan subjek penelitian dengan usia berkisar 30-40 tahun yaitu sebanyak 8 orang (20%).

IV. A. 2. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 8

Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-Laki 21 52,5%

Perempuan 19 47,5%

Total 40 100 %

0 5 10 15 20 25 30 35

18-29 tahun

30-40 tahun


(58)

Diagram 2

Diagram Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel di atas dilihat bahwa subjek terbanyak adalah subjek penelitian dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 21 orang (52,5%). Sedangkan subjek penelitian dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang (47,5%).

IV. A. 3. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Pendidikan

Berdasarkan pendidikan, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 9

Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Frekuensi Persentase

SMA 20 50 %

Diploma 5 12,5 %

S1 15 37,5 %

Total 40 100 %

18 18,5 19 19,5 20 20,5 21


(59)

Diagram 3

Diagram Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan tabel di atas dilihat bahwa subjek terbanyak adalah subjek penelitian dengan tingkat pendidikan SMA sebanyak 20 orang (50%). Subjek penelitian dengan tingkat pendidikan S1 sebanyak 15 orang (37,5%).Sedangkan subjek penelitian dengan tingkat pendidikan Diploma sebanyak 5 orang (12,5%).

IV. A. 4. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Penghasilan

Berdasarkan penghasilan, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 10

Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Penghasilan

Penghasilan Frekuensi Persentase

Rp 0 – 500.000,- 11 27,5 %

Rp 500.000 – 1.000.000,- 10 25 % Rp 1.000.000 – 1.500.000,- 11 27,5 % Rp 1.500.000 – 2.000.000,- 4 10 % Di atas Rp 2.000.000,- 4 10 %

Total 40 100 %

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20


(1)

dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. Tetapi hasil penelitian menunjukkan hasil yang berbeda yaitu bahwa tidak terjadi peningkatan pada dimensi penguasaan lingkungan seiring bertambahnya usia, malah sebaliknya yaitu terjadi penurunan psychological well-being seiring bertambahnya usia.

Selanjutnya, bila di tinjau dari jenis kelamin, Ryff (1989) menyatakan bahwa satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotipe jender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia dkk., 2001). Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotipe ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Pernyataan ini berbeda dengan hasil penelitian dimana pada penelitian ini, hubungan positif dengan orang lain lebih tinggi pada laki-laki.

Berdasarkan kategorisasi dimensi psychological well-being ditemukan bahwa pada dimensi otonomi dan pertumbuhan diri, jumlah subjek yang berada pada rentang atau tergolong rendah lebih banyak daripada subjek yang tergolong


(2)

pada rentang tinggi. Hal ini berkebalikan dengan empat dimensi psychological well-being lainnya dimana subjek pada dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup yang tergolong tinggi lebih banyak daripada yang tergolong rendah.

Berdasarkan hasil analisa tambahan mengenai regresi, ditemukan bahwa tujuan hidup memberi sumbangan sebesar 84,8 % kepada pencapaian psychological well-being. Hal ini berarti bahwa hasil penelitian sejalan dengan Ryff (1989) yang menyatakan bahwa makna hidup yang juga disebut tujuan hidup memberikan konribusi yang sangat besar terhadap pencapaian psychological well-being.

V. C SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan psychological well-being.

V. C. 1. Saran Metodologis

1. Penelitian dapat dilakukan pada kelompok pekerja sosial yang bergerak pada suatu bidang tertentu misalnya pekerja sosial yang menangani masalah HIV/AIDS sehingga psychological well-being pekerja sosialnya bisa lebih spesifik.

2. Penelitian juga dapat dilakukan pada kelompok dampingan pekerja sosial tersebut sehingga dapat diketahui bagaimana gambaran psychological well-being mereka selama dalam pendampingan.


(3)

3. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan secara komparatif maupun korelasional untuk mengetahui perbandingan maupun hubungan tentang psychological well-being.

4. Dari hasil penelitian yang diperoleh melalui penelitian ini, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang melibatkan metode wawancara dan observasi sehingga dapat diketahui mengenai psychological well-being pekerja sosial yang lebih detail dan mendalam.

5. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya jumlah subjek penelitian ditambah sehingga perbandingan jumlah subjek akan lebih proporsional khususnya dari segi usia, pendidikan, status pernikahan, penghasilan, dan masa kerja. Selain itu, apabila jumlah subjek besar atau minimal memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan yaitu 50+8m, maka dapat dilakukan multiple regression sehingga dapat diketahui seberapa besar pengaruh atau sumbangan dimensi-dimensi psychological well-being terhadap pencapaian psychological well-being.

V. C. 2. Saran Praktis

Saran dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu saran terhadap pekerja sosial dan lembaga sosial yang menaungi mereka.

1. Sebaiknya pekerja sosial melakukan peningkatan kualitas pelayanannya dengan mengetahui kondisi psychological well-being-nya dan melakukan refleksi diri untuk memperbaikinya.


(4)

2. Lembaga sosial seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), dinas sosial perlu melakukan pemeriksaan psychological well-being pekerja sosialnya sehingga dengan diketahuinya keadaann psychological well-being pekerja sosial yang sebenarnya, lembaga tersebut dapat mengoptimalisasi dimensi-dimensi mana yang seharusnya dikembangkan sehingga mendapatkan kualitas pelayanan yang lebih baik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, I. R. (1994). Kesejahteraan Sosial, Pekerjaan Sosial dan Psikologi. Jakarta : Penerbit Angkasa.

________. (2004). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar pada Pengertian dan beberapa Pokok Bahasan. Jakarta : FISIP UI Press Ali, H. Z. (2001). Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya

Medika

Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________. (2001). Methodology Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bastaman, H.D. (1996). Meraih Hidup Bermakna; Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis. Jakarta: Paramadina.

________. (2004). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

________.(1998). Adakah Harapan di Tanah Tipis Harapan?: Mengenang Viktor Frankl Pendiri Logoterapi (1904-1997). Psikologika nomor 5 Tahun III, 13-15

________. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

NASW. (2005). Code of Ethicsof the National Association of Social Workers. NASW Press. Diakses tanggal 5 Oktober 2007 dari https://www.socialworkers.org/nasw/ethics/ProceduresManual2006.pdf Corr, C.A., Corr, D.M., Nabe, C..M., (2003). Death and Dying Live and Living

(4th ed). USA: Wadsworth.

Frankl, V. E. The Will To Meaning : An Introduction to Logotherapy. New York: New American Library.

Hadi, S. (2000). Metodologi Research (Jilid 1-4). Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta.

Hermawati, I. (2001). Metode dan Teknik dalam Praktikum Pekerjaan Sosial. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa

Hidayat, U. T. (2004). Analisis Faktor Pembentuk Kinerja Pekerja Sosial dan Hambatannya. Diakses pada tanggal 15 oktober 2007 dari


(6)

http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004/ujangth1.ht m

Irmawati., Nauly., Garliah., dkk. (2003). Pedoman Penulisan Skripsi. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan Koentjoro (2003). Pekerja Sosial: Moralitas dan Profesionalisme dalam Perspektif

Keperilakuan. Buletin Psikologi, Tahun XI, No. 2, 117-114

Koeswara, E., (1992). Logoterapi: Psikoterapi Victor Frankl. Yogya: Kanisius Morales, A., Sheafor, B. W., (1980). Social Work : A Profession of Many Faces.

Massachussetts : Allyn and Bacon, Inc.

Nurdin, M. F. (1990). Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial. Bandung : Penerbit Angkasa

Skidmore, R., Farley, O. W., & Thackeray, M., G. (1994). Introduction to Social Work (6th ed.). New Jersey : Prentice-Hall International, Inc.

Sugiarto, Siagian D., Sunaryanto, L.T., Oetomo, D.S. (2003). Teknik Sampling. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Suharto, Edi (1997). Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial : Spektrum Pemikiran. Bandung : Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-SIKS)

________. (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Thoyib, M. (2006). Pekerja Sosial : Sebagai Ujung Tombak Kinerja Departemen

Sosial. Diakses tanggal 5 Oktober 2007 dari:

http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=356 Whrightsman & Deaux. (1993). Social Psychology in the 90`s. Editon 6th. USA:

Brooks/Cole Publishing

Yayasan Pulih (2006). Trauma dan Kemungkinan Implikasinya dalam Kehidupan : Menguatkan Pekerja Kemanusiaan. Dalam Penguatan Psikososial Berbasis Komunitas untuk Perlindungan Perempuan dan Anak.