Ibunya Dinarsih Unsur gender dalam Tokoh dan Penokohan

“Kamu jual untuk aku Fah?” si pucat dengan mengusap air matanya trenyuh. “Tidak hanya untuk kamu, juga untukku…” “Fah, kebaikanmu yang aku hutang sudah banyak sekali. Apa yang akan aku gunakan untuk membayarnya?” WWD hlm:45

4.1.3.6. Ibunya Dinarsih

Ibunya Dinarsih merupakan seorang wanita yang boros dan suka berjudi. Pada saat kehidupannya masih kaya, dia termasuk orang yang sangat boros. Apalagi setelah bergaul dengan orang China, dia menjadi suka berjudi. Semua harta yang dimilikinya habis. Seperti ditunjukkan dalam kutipan berikut ini. “Embok lan bapake Dinarsih ora prayitna ing cecoba, lanang wadon wiwit kekancan Cina doyan kucing. Luwih-luwih wedoke, ya emboke Dinarsih kuwi, dadi nyandu banget marang ngabotohan. Telung tauan wiwit doyan kertu kabeh bang darbeke wis kukut. Jagade kaya-kaya kesusu surup, ora maelu wong-wong ing lali lan sing lagi gelut karo kamlaratan. ” WWD hlm: 11 “Ibu dan Bapaknya Dinarsih tidak berhati-hati dalam cobaannya, laki-laki dan perempuan itu sejak berteman dengan orang cina menjadi suka berjudi. Apalagi perempuannya, ibunya dinarsih itu, dia menjadi pecandu kebutuhan. Tiga tahunan sejak suka bermain kartu semua hartanya bangkrut. Dunia seperti terburu-buru mati, tidak ikut serta orang-orang yang lupa dan sedang bertarung melawan kemiskinan. Keluarganya Dinarsihpun demikian, kembali lagi terendam sampai dasar.” WWD hlm:11 Ibunya Dinarsih adalah sosok wanita yang digambarkan berumur lebih dari lima puluh tahun dengan keadaan yang tidak terlalu sehat. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. “Ora suwe keprungu bakiak mlaku nyedhak lawang. Palang lawang didudut, digered, menga, ketara wong wadon tuwa redhong-redhong jarik klithik masem. Rambute dhawul-dhawul, awake ketara ora waras. Mripate sing ngluyup kuwi mandengi sing lagi njethung ing ngarepe. ” WWD hlm:48 “Tidak lama terdengar suara bakiak mendekati pintu. Palang pintu dicabut, digeret, mbuka, terlihat perempuan tua. Rambutnya dhawul, badannya terlihat tidak sehat. Matanya yang sayup itu memandang yang sedang ad di depannya.” WWD hlm:48 Awalnya saat mengetahui Sudarmin datang di rumahnya, beliau menyambut dengan baik. Seorang mertua yang peduli terhadap menantunya, beliau menanyakan keadaan Sudarmin dan terlihat seperti sangat peduli dengan Sudarmin. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. “Wayah apa mangkatmu? Karo apa isih mentas saka ngomah wae apa saka lelungan?” takone karo ngambakake mengane lawang. “King nggriya mawon Mbok, kinten-kinten nggih jam sanganan ngoten….” “Kene mlebua, biyuh omah ora tau kambon sapu. Aku ki kudu eluh- eluh lo Min, gek awak ijen….” WWD hlm:49 “Kapan mangkatmu? Sengaja dari rumah atau baru dari mana?” tanyanya sambil membukakan pintunya. “Dari rumah Bu, kira-kira jam 9nan…” “Sini masuk, maklum rumah tidak pernah diberihkan. Aku ini harus mengeluh lo Min, sendirian seperti ini…” WWD hlm:49 Setelah mengetahui bahwa kedatangan Sudarmin mencari Dinarsih, beliau langsung cuek dan tidak peduli pada Sudarmin. Beliau langsung menunjukkan rasa tidak sukanya kepada Sudarmin. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. “Dinar boten meling napa-napa Mbok?” “Gak ki…” ulet swara iki metune. “Napa kinten-kinten teng nggene embahe?” “Kuwi aku ora ngerti” Sudarmin mikir-mikir nglelimbang. “Napa sekecane kula padosi ngrika?” “Kuwi sakarepmu, aku ora ngakon….” WWD hlm:50 “Dinar tidak memberi pesan apa-apa Bu?” “Gak” suara itu yang keluar. “Apa kira-kira di tempan Embahnya?” “Itu aku tidak tahu” Sudarmin berpikir sejenak. “Apa lebih baik aku cari di sana?” “Itu terserah kamu, aku tidak memerintah…” WWD hlm:50 Ibunya Dinarsih adalah sosok wanita yang memiliki sifat keras kepala dan tegas apalagi masalah tentang anaknya. Beliau menganggap Sudarmin sebagai suami yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu muncullah rasa tidak peduli dari Ibunya Dinarsih tersebut. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. “Kowe rak wis tau ora bisa nanggung uripe anakku Dinarsih ta?” Sudarmin lagi wiwit ngerti. “Jeneh pancen alangan sakit Mbok….” “Kuwi aku ora perduli, piye rekane wong lanang” WWD hlm:51 “Kamu juga tidak pernah menanggung hidup anakku Dinarsih?” Sudarmin baru mengetahui. “Itu karena aku sakit Bu?” “Itu aku tidak peduli, bagaimana menjadi laki-laki” WWD hlm:51 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan dalam novel Wong Wadon Dinarsih terdiri dari tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah Dinarsih dan Sudarmin, sedangkan tokoh tambahan adalah Mbokdhe Supi, Patah, Latifah, dan Ibunya Dinarsih. Unsur gender dalam tokoh- dan penokohan terlihat dengan pemunculan karakter-karakter dan penyajian watak pada tokoh-tokoh tersebut. Seorang wanita dilukiskan sebagai seseorang yang cantik, lemah lembut, irasional, emosional, sensitif, dan cengeng. Berbanding terbalik dengan wanita, laki-laki digambarkan sebagai seseorang yang kuat, gagah, agresif, rasional, jiwa pemimpin, dan tidak cengeng. Akan tetapi, dalam novel ini penciptaan tokoh antara wanita dan laki-laki sama-sama mempunyai sifat feminine dan maskulin.

4.1.3. Unsur gender dalam Latar Setting