Mimpi Agung Boddhisattva Siddharta

81 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 3. Banyak cacing putih berkepala hitam merayap naik ke lututnya dan meliputinya. Ini diartikan di kelak kemudian hari banyak para perumah tangga berjubah putih yang datang untuk berlindung kepada Tathagatha menjadi pengikut-Nya. 4. Empat burung yang berbeda warna datang dari empat penjuru dan menjatuhkan diri di kakinya serta menjadi putih sama sekali. Mereka adalah keempat kasta yang meninggalkan hidup berkeluarga untuk melaksanakan ajaran Tathagata dan mencapai pembebasan abadi. Artinya, suatu saat nanti Buddha mengajarkan Dhamma kepada siapa saja tanpa memandang kasta atau golongan. Siapa saja boleh dan bisa mempelajari Dhamma hingga mencapai Pencerahan Agung. 5. Beliau berjalan di gunung yang penuh dengan kotoran binatang pupuk tanpa terkotori olehnya. Itulah Tathagata, yang menerima sesuatu yang dibutuhkan, tetapi menikmatinya tanpa melekat pada hal-hal itu.

B. Pertemuan dengan Sujuta

Setelah menyiksa diri selama 6 tahun, Petapa Siddharta mencuci mangkoknya di tepi sungai setelah ditolong oleh seorang gembala domba, dengan memberi makan bubur. Namun, lima kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali karena dengan berhenti berpuasa, Petapa Siddharta dianggap telah gagal dalam petapaannya dan tidak mungkin akan mencapai Penerangan Sempurna. Mereka meninggalkan petapa Agung. Petapa Siddharta akhirnya meninggalkan lima petapa dan menuju Taman Rusa di Benares. Gambar 4 : Boddhisattva diliputi cacing Gambar 5 : Boddhisattva diliputi burung-burung Gambar 6 Petapa Siddharta berjalan di atas pegunungan Sumber: www.thedhama.com Gambar 7 : Sujata mempersembahkan makanan 82 Kelas V SD Setelah pulih, Petapa Siddharta bertekad akan melanjutkan pertapaan di hutan dekat sungai. Di tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin berkaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya untuk membersihkan tempat di bawah pohon tempat ia akan mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon. Ia agak terkejut waktu pelayannya tergesa-gesa kembali dan memberitahukan: “O, Nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari kayangan untuk menerima langsung persembahan Nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan Nyonya.” Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang duduk bermeditasi. Ia tidak tahu, bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah Petapa Siddharta. Dengan hati-hati, makanan ditempatkan di mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada Petapa Siddharta yang dikira Sujata sebagai dewa pohon. Petapa Siddharta menyambut persembahan ini. Setelah habis makan, terjadilah percakapan antara Petapa Siddharta dengan Sujata seperti di bawah ini. “Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?” “Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada tuanku adalah cetusan terima kasihku karena Tuan telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.” Kemudian, Petapa Siddharta menyikap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah: “Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi petapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan memperoleh sinar terang itu. Dalam hal ini persembahan makanmu telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu, dengan persembahanmu ini, engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi, adikku yang baik, coba katakan apakah engkau sekarang bahagia dan apakah penghidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?” “Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak, hatiku dengan mudah mendapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus rumah tangga, memasak, memberi sesajen kepada para dewata, menyambut suamiku yang baru pulang dari pekerjaan, apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kami kelak meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi pada semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti