PENGARUH INTERVENSI SEFT TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASEIN DIABETES MELITUS TIPE 2

(1)

PENGARUH INTERVENSI SEFT TERHADAP PENURUNAN

KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA DIABETES

MELITUS TIPE 2

TESIS

BRIAN PUTRA BARATA

20131050035

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS

PENGARUH INTERVENSISEFT TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA

DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

Disusun Oleh : Brian Putra Barata

20131050035

Pembimbing dan Penguji :

Shanti Wardaningsih., Ns.,M.Kep.,Sp.Jiwa.,Ph.D :

Novita Kurnia Sari., Ns., M.Kep :

Dr.Titih Huriah.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.K :

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Keperawatan

Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(3)

ABSTRAK

PENGARUH INTERVENSISEFT TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA

DARAH PADA PASEIN DIABETES MELITUS TIPE 2 Oleh : Brian Putra Barata

Latar Belakang : Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik kronis, yang ditandai dengan gangguan dalam metabolisme sebagai akibat dari sekresi insulin menurun, atau karena penurunan sensitivitas insulin dari sel sel tubuh. Penyebab lain terjadinya diabetes melitus adalah stres, yang merupakan penyumbang utama untuk diabetes. SEFT merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat stres. Sehingga, diharapkan setelah dilakukan terapi SEFT pada pasien bisa membantu untuk menurunkan kadar glukosa darah.

Tujuan Penelitian : Menganalisis pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2.

Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian quasi experiment menggunakan dengan desain penelitian pretest posttest with control group design. Dilakukan pada sekelompok subyek yang berjumlah total 24 orang, yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan terhadap keadaan yang ingin diteliti, kemudian dilakukan intervensiSEFTselama 3 kali terapi dalam waktu 3 hari.

Hasil Penelitian : Nilai penurunan kadar glukosa darah terbesar pada kelompok kontrol yaitu sebesar 78 mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi penurunan terbesar yaitu sebesar 171 mg/dl. Karakteristik jenis kelamin didapatkan perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, yaitu 60% untuk kelompok kontrol dan 83,3% untuk kelompok intervensi. Pada tingkat pendidikan, didapatkan pendidikan rendah sebagai tingkatan terbanyak yang dienyam oleh responden yaitu 83,3% untuk kelompok kontrol dan 75,0% untuk kelompok intervensi. Pada lama menderita DM didapatkan rata-rata responden menderita lebih dari 4 tahun, yaitu 58,3% untuk kelompok kontrol dan 50% untuk kelompok intervensi.

Kesimpulan : Terdapat penurunan kadar glukosa darah yang signifikan pada penderita diabetes melitus tipe 2.


(4)

ABSTRACK

SEFT INTERVENTION EFFECT OF LOWERING BLOOD GLUCOSE LEVELS IN PATIENTS OF DIABETES MELLITUS TYPE 2

By : Brian Putra Barata

Background:Diabetes mellitus is a chronic metabolic disease, which is characterized by disturbances in the metabolism as a result of decreased insulin secretion, or because of decreased insulin sensitivity of the cells of the body. Other causes of diabetes mellitus is stress, which is a major contributor to diabetes.SEFTis a complementary therapy that can be used to reduce stress levels. Thus, expected after SEFTtherapy in patients can help to lower blood glucose levels.

Methods: This study uses a quasi-experimental research design using a research design pretest - posttest control group design. Conducted on a group of subjects who totaled 24 people, who meet the inclusion criteria of the state examination to be observed, then intervention therapy SEFT for 3 times in 3 days.

Results: Values largest decrease in blood glucose levels in the control group at 78 mg/dl. While the intervention group the largest decrease in the amount of 171 mg/dl. Number of female sex more than men, ie 60% for the control group and 83.3% for the intervention group. At the educational level of the table got lower as the highest educational dienyam by respondents ie 83.3% for the control group and 75.0% for the intervention group. In the long-suffering DM obtained an average respondent suffered more than 4 years, ie 58.3% for the control group and 50% for the intervention group.

Conclusion: There was a decrease in blood glucose levels significantly in patients with type 2 diabetes mellitus.


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik kronis, yang ditandai dengan gangguan dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan asam amino, baik sebagai akibat dari sekresi insulin menurun, atau karena penurunan sensitivitas insulin dari sel sel tubuh (Papazafiropoulou et al, 2008). Diabetes melitus adalah penyakit yang memperoleh bentuk epidemi, seperti prevalensinya sudah meningkat lima kali lipat selama lima belas tahun terakhir dan merupakan salah satu ancaman utama kesehatan manusia di abad ke-21 (Zimmet, et al, 2001).

Indonesia pada tahun 2011 telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030 akan ada 20,1 juta penyandang diabetes dengan tingkat prevalensi 14,7 persen untuk daerah urban dan 7,2 persen di rural. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Sedangkan Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) pada tahun 2009 memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (Pdpersi, 2011). Demikian juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen pada tahun 2007 menjadi 2,1 persen pada tahun 2013


(6)

penderita pada 2014 mencapai 530 pasien sedangkan sampai dengan bulan november 2015 jumlahnya meningkat menjadi 624 pasien (Dinkes Banyuwangi, 2015).

Diabetes melitus diklasifikasikan dalam empat jenis yaitu; (a) Tipe 1 yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas akibat proses autoimun yang menyebabkan kekurangan insulin. (b) Tipe 2 yang merupakan hasil dari kerusakan sekresi insulin yang progresif bersamaan dengan resistensi insulin, biasanya berhubungan dengan obesitas. (3) Gestasional yang didiagnosa selama kehamilan. (4) Tipe lain dapat muncul akibat kerusakan fungsi pankreas yang bersifat genetik, penyakit pankreas, atau penyakit yang dipengaruhi oleh obat (Smeltzer & Bare, 2009; Black & Hawks, 2009). Diabetes tipe 2 adalah yang terbanyak yaitu 90 – 95% dan 90% dari diabetes tipe 2 ini disebabkan oleh faktor keturunan dan obesitas (Williams & Hopper, 2007).

Diabetes tipe 2 yang merupakan hasil dari kerusakan sekresi insulin yang progresif bersamaan dengan resistensi insulin, biasanya berhubungan dengan obesitas, penuaan, dan keturunan (Smeltzer & Bare, 2009). Dari berbagai macam tipe diabetes, diabetes tipe 2 adalah yang terbanyak yaitu 90 – 95% dan 90% dari diabetes tipe 2 ini disebabkan oleh faktor keturunan dan obesitas (Williams & Hopper, 2007).

Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di


(7)

atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan remaja (Smeltzer & Bare, 2009).

Individu dengan diabetes melitus dibebani dengan faktor-faktor sosio-demografi dan perilaku pribadi, yang berkontribusi terhadap munculnya manifestasi dari gejala cemas. Wanita dengan diabetes mellitus mendapatkan pengaruh yang lebih tinggi dari munculnya cemas dibandingkan dengan laki-laki sebagai akibat dari penyakit ini. Orang yang hidup sendiri lebih rentan dan menghadapi risiko lebih besar dariorang-orang yang hidup dengan orang lain yang signifikan (Roupa et al, 2009). Sebuah studicross-sectional di Inggris menemukan bahwa hampir sepertiga dari penderita diabetes menderita kecemasan dan pasien seperempat menderita depresi (Collins, Corcorant, Perry, 2009). Hasil dari banyak survei dan meta-analisis yang dilakukan pada diabetes mellitus dan depresi dan cemas telah menunjukkan bahwa keberadaan diabetes mellitus menggandakan probabilitas kejadian depresi dan gejala depresi yang muncul lebih signifikan pada wanita, daripada laki–laki (Anderson et al, 2001., Ali et al, 2006 ).

Penyebab lain terjadinya diabetes melitus adalah stres, yang merupakan penyumbang utama untuk diabetes, tetapi kebanyakan orang tidak mengerti apa yang harus dilakukan ketika hal itu muncul. Ketika tubuh akan merasakan ancaman yang berbahaya, tubuh secara otomatis akan merespon. Kelenjar adrenal kita akan memompa keluar sejumlah hormon. Hormon itu adalah kortisol, yang memberitahu hati dan sel-sel lain untuk menuangkan semua gula yang disimpan (glukosa) ke dalam aliran darah. Hal ini dilakukan agar kaki dan lengan otot dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar untuk melarikan diri, melawan, atau mungkin memanjat pohon saat darurat. Ketika tubuh, di bawah tekanan, sebagian besar


(8)

sel-sel Anda menjadi resisten insulin, sebagian dari glukosa ekstra tetap dalam darah dan menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Hal inilah yang menyebabkan kadar gula darah meningkat. Jika proses ini terus berlangsung maka kita akan memiliki gula darah yang berlebih didalam darah (Spero, 2006).

Loyd & Johnson dalam buku The Healing Code : 6 Minutes to Heal theSource of Your Health, Success, or Relationship Issue mengeluarkan hasil riset terbaru bahwa pembunuh nomor satu di dunia saat ini adalah stres emosional. Lebih dari 95% penyakit fisik maupun nonfisik memiliki akar permasalahan yang sama yaitu stres emosional. Ini membuktikan adanya hubungan yang erat antara tekanan emosional dengan penyakit, inilah hubungan pikiran – tubuh (body mind). Keadaan ini bila tidak cepat diatasi maka akan menyebabkan mudahnya seseorang terjangkiti penyakit yang berat (Loyd, 2011). Masalah-masalah fisik, pikiran dan jiwa, yang kalau terganggu aliran energinya akan timbul keluhan dan gejala yang menurunkan kualitas hidup manusia yang mengalaminya (Saputra, 2012).

Pada penelitian ditemukan bahwasanya EFT mampu untuk menurunkan glukosa darah (Mahnaz, et al, 2014). Metode ini dikembangkan kembali di Indonesia dengan menambahkan unsur spiritual menjadi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Metode terapi SEFT dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa beban emosional (pikiran negatif) yang dialami individu menjadi penyebab utama dari penyakit fisik maupun penyakit nonfisik yang dideritanya. Tekanan emosional yang tidak teratasi akan menghambat aliran energi di dalam tubuh sehingga tubuh menjadi lemah dan mudah terjangkiti penyakit. Untuk mengatasinya perlu menetralisir pikiran-pikiran negatif dengan kalimat doa dan


(9)

menumbuhkan sikap positif bahwa apapun masalah pikiran, jiwa dan rasa sakitnya ia ikhlas menerimanya serta mempasrahkan kesembuhannya pada Allah SWT (Zainuddin, 2009; Saputra, 2012).

Cara pandang manusia sebagai makhluk yang holistik dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya sesuai dengan teori keperawatan yang dikemukakan oleh Calista Roy. Dalam konsepnya, Roy menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku secara adaptif. Manusia adalah sebagai sebuah sistem adaptif yang menerima input rangsangan dari lingkungan luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri. Manusia memiliki fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Kebutuhan dasar ini meliputi : kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas dan istirahat, proteksi, penginderaan, cairan dan elektrolit, persarafan (neurologi), fungsi endokrin (Alligood & Tomay, 2006).

Manusia juga dipandang memiliki konsep diri yang berhubungan dengan psikososial dengan penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self.

Physical self yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Sedangkanpersonal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral- etik dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut menjadi beban emosional dan merupakan hal yang berat dalam area ini. Oleh sebab itu manusia juga membutuhkan interaksi satu sama lain yang fokusnya adalah untuk saling memberi


(10)

dan menerima cinta/ kasih sayang, perhatian dan saling menghargai (Alligood & Tomay, 2006).

SEFT merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat stres. Keefektifan terapi ini terletak pada pengabungan antara Spiritual Power dengan Energy Psychology. Spiritual Power memiliki lima prinsip utama yaitu ikhlas, yakin, syukur, sabar dan khusyu. Energy Psychology merupakan seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan system energy tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku (Freinstein dalam Zainudin, 2012). Jika dilihat dari aspek reaksi fisiologis terhadap SEFT, maka perangsang dengan cara mengetuk-ngetuk ringan (tapping) pada titik 12 titik meridian tubuh tersebut dapat menstimulasi gland pituitary untuk mengeluarkan hormon endorphins (Johnson, 1999; Nopadow etc 2008 dalam Rokade, 2011), dimana hormon endorphins tersebut dapat memberikan efek menenangkan serta menimbulkan perasaan bahagia (Goldstein dan Lowry, 1975 dalam Rokade, 2011). Hal yang diharapkan dari keluarnya hormon endorphin yaitu bisa menurunkan hormon kortisol dan epineprin karena hormon ini berkerja berlawanan. Sehingga bisa menekan produksi glukagon dan glukosa darah.

B. Rumusan Masalah

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis dengan prevalensi yang meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia terutama di kalangan kelompok dewasa. Padahal penderita DM juga memiliki risiko komplikasi penyakit kardio-sebrovaskular seperti retinopati, kebutaan, stroke, hipertensi dan serangan jantung yang jauh lebih tinggi daripada populasi normal. Oleh karena itu, peneliti ingin memberikan penyuluhan sekaligus melakukan penelitian akan penyakit ini dengan


(11)

menggunakan terapiSEFT. Hal ini peneliti lakukan karena terapi ini sudah terbukti diberbagai negara dan universitas – universitas di indonesia akan manfaat darinya. Dengan harapan dapat mengetahui akan pengaruh terapi ini pada penderita diabetes mellitus di daerah kami.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh terapiSEFTterhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah terapi

SEFTpada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

b. Mengidentifikasi karakteristik usia, jenis kelamin, pendidikan, dan lama menderita pada pasien diabetes melitus tipe 2.

c. Menganalisis perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah terapi

SEFTpada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

d. Menganalisis perbedaan kadar glukosa darah pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

e. Menganalisis variabel SEFT, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan lama menderita yang berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah. D. Manfaat Penelitian

1. Untuk pelayanan kesehatan masyarakat.

Memberikan informasi kepada pihak pelayanan kesehatan akan manfaat terapi

SEFT sebagai salah satu terapi komplementer yang memungkinkan digunakan menjadi intervensi inovatif keperawatan guna meningkatkan derajat kesehatan


(12)

masyarakat khususnya dalam hal menurunkan gula darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2.

2. Untuk institusi pendidikan.

Memberikan informasi dan acuan penelitian akan manfaat terapi SEFT dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya dalam hal menurunkan gula darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2.

3. Untuk perkembangan ilmu keperawatan.

Dapat digunakan sebagai bahan referensi dan kajian tentang manfaat dan potensi akan terapiSEFT.Memperkuat dukungan teori akan penggunaan terapi

SEFTuntuk penelitian selanjutnya. 4. Untuk penelitian keperawatan

Menjadi landasan dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang terapiSEFT

dan diabetes melitus tipe 2. Sehingga, bisa memperoleh data penelitian yang lebih mudah dan cepat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka, beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini yaitu :

1. Masyitah, Dewi (2013) Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.

Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimen dengan pendekatan the one group pretest posttest. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara

consecutive sampling.Penelitian dilakukan selama 3 hari, instrumen yang akan digunakan untuk pengumpulan data berupa lembar observasi pelaksanaan


(13)

terapi SEFT, kuesioner karakteristik responden dan alat ukur tekanan darah (tensimeter air raksa, manset ukuran dewasa dan stetoskop). Analisa data menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat degan uji statistik Uji t dependent (paired-sample t test). Hasil analisis data menunjukkan ada pengaruh terapi SEFT terhadap tekanan darah pasien hipertensi. Faktor karakteristik umur, jenis kelamin, riwayat penyakit keluarga dan penyakit penyerta tidak ada hubungan dengan penurunan tekanan darah setelah terapi

SEFT. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar terapi SEFT sebagai intervensi keperawatan yang mandiri dan inovatif pada asuhan keperawatan klien dengan hipertensi.

2.Yanti, Nova (2012) Perbandingan Efektifitas Terapi Zikir Dengan Relaksasi Benson Terhadap Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Di Sumatera Barat.

Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperiment pre test and post test nonequivalent control group. Variabel independen adalah terapi zikir dan relaksasi Benson sedangkan variabel dependen adalah kadar glukosa darah pasien diabetes melitus. Karakteristik (faktor konfounding) yang dapat membedakan antara kadar glukosa darah adalah usia, jenis kelamin, komplikasi, dosis insulin, dan stress. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling. Peneliti memilih responden berdasarkan pada pertimbangan subjektif bahwa responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian Peneliti membandingkan efektifitas terapi zikir dengan relaksasi Benson terhadap kadar glukosa darah pada tiga kelompok independen. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan menggunakan glukometer. Glukometer


(14)

yang digunakan adalah GlucoDR. Biosensor AGM 2100, Terumo Finetouch Blood Glucose meter MS*GR102M, dan Accu-Chek Active meter system. Volume sampel 2µl, minimal 1,5µl. Rentang pengukuran 20–900 mg/dl, waktu test 10 detik. Sistem kalibrasi menggunakan kode chip. Penelitian dilakukan selama lima hari dan kadar glukosa darah ketiga kelompok diukur sebanyak dua kali sehari yaitu kadar glukosa darah sewaktu. Kerangka penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen dan variable dependen. variabel independen adalah terapi zikir dan relaksasi Benson sedangkan variabel dependen adalah kadar glukosa darah pasien diabetes melitus. Karakteristik (faktor konfounding) yang dapat membedakan antara kadar glukosa darah adalah usia, jenis kelamin, komplikasi, dosis insulin, dan stress. Analisis data pada penelitian ini adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar glukosa darah sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing kelompok (p=0,00), selisih rata-rata kadar glukosa darah sebelum dan setelah intervensi antar kelompok (p=0,000), dan rata-rata kadar glukosa darah setelah intervensi antar kelompok (p=0,00). Terapi zikir lebih efektif dibandingkan relaksasi Benson dalam menurunkan kadar glukosa darah.

3. Burhanudin (2013) Pengaruh Hypnotherapy Terhadap Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Di Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten Pekalongan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh hypnotherapy terhadap kadar glukosa darah pasien diabetes melitus di Puskesmas Kedungwuni II


(15)

kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Desain penelitian pre eksperimental menggunakan metode one group pretest-posttest. Jumlah sampel sebanyak 20 pasien. Uji statistik yang digunakan yaitu uji Wilcoxon Signed Ranks Test dengan 5%. Variabel independen dalam penelitian ini adalah hypnoterapy dan variabel dependen adalah kadar glukosa darah. Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat pengaruh hypnotherapy terhadap kadar glukosa darah pasien diabetes melitus.

4. Anwar, Zainul (2011). Model Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) Untuk Mengatasi Gangguan Fobia Spesifik.

Penelitian ini merupakan penelitian kasus tunggal. Desain dalam penelitian ini menggunakan desain ABA. penelitian ini peneliti menggunakan rancangan penelitian studi-kasus tunggal atau small-N-design. Rancangan penelitian studi-kasus tunggal ini biasa diterapkan pada penelitian yang bersifat

behavioral analysis. Subyek penelitian ini adalah orang yang mengalami fobia spesifik sesuai dengan kriteria DSM IV. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan teknik visual inspection

terhadap Subjective Units of Disturbance Scale (SUDS) selama tahap pra-terapi serta sesi pra-terapi. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan teknik visual inspection terhadap Subjective Units of Disturbance Scale (SUDS) selama tahap pra-terapi serta sesi terapi.

SEFTdiberikan sebanyak 8 putaran selama 3 kali pertemuan terapi. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat ukur Subjective Units Disturbance Scale (SUDS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SEFT mampu menurunkan ketakutan yang berlebihan secara signifikan pada


(16)

penderita gangguan fobia spesifik. Penurunan level kecemasan atau ketakutan berdasarkan SUDS (Subjective Units Disturbance Scale) selama pemberian terapi sangat signifikan dan terdapat perubahan reaksi fisiologis dan respon pada perilaku subyek.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks dan memerlukan perawatan medis terus menerus dengan strategi pengurangan risiko multifaktorial luar kontrol glikemik (ADA, 2015). Kriteria diagnostik WHO diabetes harus dipelihara agar kadar glukosa plasma puasa ≥ 7.0mmol / l (126mg / dl) atau 2 - jam glukosa plasma ≥ 11.1mmol / l (200 mg / dl) (WHO, 2006). Diabetes tipe 2 merupakan hasil dari kerusakan sekresi insulin yang progresif bersamaan dengan resistensi insulin, biasanya berhubungan dengan obesitas (Black & Hawks, 2009).

Diabetes terjadi jika terdapat kerusakan produksi insulin pada sel beta pankreas, atau karena ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin. Glukosa yang tidak dapat masuk kedalam sel akan tetap berada dialiran darah sehingga terjadilah hiperglikemia. Sementara itu sel membutuhkan energi yang berasal dari glukosa sehingga sekresi glukagon abnormal terjadi untuk memecahkan glukosa di hati dan otot yang makin memperparah hiperglikemia (Williams & Hopper, 2007). Selama periode puasa (antara waktu makan dan malam hari) penurunan glukosa diatasi dengan proses glikogenolisis dengan bantuan glikogen, namun setelah 8 sampai 12 jam tanpa makanan, hati akan membentuk glukosa dari prosesglukoneogenesis(Smeltzer & Bare, 2009).


(18)

1. Penyebab terjadinya Diabetes Mellitus type 2 adalah : a. Stress

Stres diartikan sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi ancaman (nyata atau membayangkan) terhadap mental, fisik, emosional, dan kesejahteraan spiritual seseorang, yang menghasilkan serangkaian respon fisiologis dan adaptasi (Seaward, 2006 didalam Moffit).

Ketika tubuh merasakan ancaman, terjadi serangkaian respon kimia dan fisik. Tanggapan pertama adalah aktivasi sistem saraf otonom

(ANS) (Pelletier, 1993). Merupakan bagian dari sistem saraf yang tidak normal di bawah kendali kita. Cabang simpatik dari sistem saraf otonom mengatur respon stres sedangkan sistem saraf parasimpatis mengontrol respon relaksasi. Ketika respon stres terjadi, tubuh mengeluarkan

katekolamin (hormon stres) yang membantu mempersiapkan diri seseorang baik melawan atau berpaling dari ancaman dan menyelesaikannya. Hormon stres ini yang paling dikenal adalah

epinefrin, yang disekresi oleh kelenjar adrenal (medulla) yang terletak di atas ginjal, dan norepinefrin, juga disekresikan oleh kelenjar adrenal dan ujung saraf di seluruh tubuh (Seaward, 2006).

Epinefrin dilepaskan oleh medula adrenal dalam menanggapi hipoglikemia (sebagai serta rangsangan stres lainnya), dan sebagai bagian dari persiapan untuk latihan. Norepinefrindilepaskan dari neuron simpatik. Kedua katekolamin ini memiliki peran penting dalam menjaga kadar glukosa dalam latihan (terutama dalam mendukung peningkatan besar dalam penggunaan glukosa oleh otot), dan dalam kondisi yang terkait dengan stres. Katekolamin merangsang pelepasan glukagon dan


(19)

menghambat produksi insulin, yang pada akhirnya berefek langsung pada metabolisme glukosa di hati, sehingga kadar glukosa darah meningkat. Epinefrin juga memiliki efek langsung dalam menstimulasi hati glukoneogenesis, glikolisis otot, dan pemecahan glikogen di kedua jaringan (Brant, 1999).

Kelenjar pituitari anterior mengeluarkan hormon

adrenokortikotropik (ACTH), yang merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan aldosteron dan cortisol. Kelenjar pituitari juga mengeluarkan vasopressin, atau hormon antidiuretik. Aldosteron dan vasopressin menjaga volume darah dengan mengurangi jumlah natrium dan air yang dieksresikan melalui ginjal (Eliopoulos, 2004; Leddy, 2006). Pengaruhnya yaitu terjadi peningkatan detak jantung, tekanan darah meningkat, laju dan kedalaman pernapasan meningkat, pelepasan glukosa hati, dan pelebaran pembuluh darah di organ penting, sedangkan pembuluh organ yang tidak penting (seperti kulit dan saluran pencernaan) menyempit. Seluruh tubuh difokuskan pada menjaga otak, jantung, paru-paru, dan otot-otot besar siap untuk melawan atau melarikan diri. Kortisol meningkatkan produksi glukosa dan membantu memecah lemak dan protein untuk memberikan tubuh dengan energi yang dibutuhkan untuk menangani proses metabolisme tubuh (Eliopoulos, 2004; Leddy, 2006).

b. Gaya hidup

Banyak faktor gaya hidup yang diketahui berperan penting dalam menimbulkan penyakit diabetes tipe 2 termasuk : kegemukan (yang


(20)

ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh yang lebih besar dari tiga puluh), kurangnya kegiatan fisik, asupan gizi yang tidak baik, stres, dan urbanisasi. Kelebihan lemak tubuh dikaitkan dengan 30% kasus diabetes pada pasien keturunan China dan Jepang, 60-80% kasus pada pasien keturunan Eropa dan Afrika, dan 100% kasus pada pasien Indian Pima dan Kepulauan Pasifik. Pasien yang tidak gemuk biasanya memiliki rasio pinggang-pinggulyang besar (Wikipedia, 2015).

Faktor diet juga mempengaruhi risiko munculnya penyakit diabetes tipe 2. Konsumsi minuman yang mengandung pemanis gula berlebihan juga berhubungan dengan peningkatan risiko. Tipe lemak dalam diet juga berpengaruh penting, dengan lemak jenuh dan asam lemak trans bisa meningkatkan risiko, sebaliknya tidak jenuh ganda dan lemak tidak jenuh tunggal menurunkan risiko. Konsumsi beras putih yang terlalu banyak juga tampaknya berperan dalam meningkatkan risiko. Kurang olahraga diyakini menyebabkan 7% kasus (Wikipedia, 2015).

c. Olahraga

Olahraga adalah jenis latihan fisik (jasmani) melalui gerakan-gerakan anggota tubuh atau gerakan-gerakan tubuh secara keseluruhan, dengan maksud untuk meningkatkan dan mempertahankan kebugaran jasmani. Olahraga berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa darah. Olahraga juga dapat secara efektif mengontrol Diabetes Melitus, antara lain dengan melakukan senam khusus Diabetes Melitus Tipe II, berjalan kaki, bersepeda, dan berenang. Diet yang dipadu dengan olahraga


(21)

merupakan cara efektif mengurangi berat badan, menurunkan kadar gula darah, dan mengurangi stres (Wikipedia, 2015).

d. Usia

Intoleransi terhadap glukosa meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Menurut (Black &Hawks, 2005) hal ini disebabkan oleh penurunan sensitivitas reseptor insulin, penurunan regulasi hormon glukagon dan epineprin yang mempengaruhi kadar glukosa darah, penurunan berat badan, dan penurunan aktivitas fisik.

e. Pendidikan

Studi prospektif sebelumnya telah meneliti hubungan antara tingkat pendidikan dan kejadian diabetes dan menemukan bahwa pendidikan rendah adalah prediktor signifikan dari diabetes tipe 2. Dalam sebuah studi cross sectional dari Survei Kesehatan Penduduk Nasional menemukan bahwa orang dengan kurang dari ijazah sekolah tinggi hampir dua kali lebih mungkin untuk melaporkan memiliki diabetes sebagai orang-orang dengan gelar sarjana atau lebih. Sectional lain lintas dari National Health Interview Survey menemukan bahwa wanita dengan pendidikan rendah memiliki prevalensi diabetes yang lebih tinggi daripada yang berpendidikan lebih baik. Selanjutnya, asosiasi bervariasi oleh ras / etnis dan jenis kelamin, dengan Whites, Hispanik dan wanita menunjukkan hubungan yang lebih kuat antara pendidikan dan diabetes dibandingkan orang kulit hitam dan laki-laki. Sebuah studi baru-baru ini sectional lintas menemukan bahwa risiko diabetes tipe 2 lebih tinggi pada setidaknya berpendidikan yang obesitas dan tidak aktif


(22)

dibandingkan dengan lebih terdidik. Studi ini menunjukkan bahwa pencapaian pendidikan mempromosikan minat pada kesehatan sendiri dan akuisisi pengetahuan yang sangat mempengaruhi kemampuan orang untuk mengurangi risiko dengan berhasil mengadopsi gaya hidup sehat (Joseph, 2014).

B. Spiritual Emotional Freedom Technique(SEFT)

SEFT merupakan hasil pengabungan dan penyempurnaan dari banyak tehnik terapi yang sudah terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan kualitas kesehatan pasien, sehingga menjadikannya menjadi lebih efektif dari pendahulunya. Penggabungan tehnik juga berlandaskan dari metode – metode sebelumnya yang pernah digunakan seperti penggunaan titik – titik energi meridian pada akupunktur dan akupresur, NLP (Neuro-Linguistic Progamming), Systemic Desensitization, Psycoanalisa, Logotherapy, EMDR (Eye Movement Desensitization Reprocessing), Sedona Method (Releasing Technique), Ericksonian Hypnosis, Provocative Theraphy, Suggestion dan Afirmation, Creative Visualization, Relaxation dan Meditaion, Gestald Therapy, Energy Psychology, Powerful Prayer, Loving-Kindness Therapy. Sedangkan

SEFTsendiri merupakan pengembangan dari TFT (Tought Fields Therapy)dan

EFT (Emotional Freedom Technique)(Zainuddin, 2012).

Tabel 1 Tehnik Terapi yang mendasariSEFT

No. Metode Terapi Peran dalamSEFT

1.

NLP (Neuro-Linguistic Progamming)

Penerapan Reframing dan Anchoring

pada fase “Set up”.


(23)

“tapping”

3. Psycoanalisa

Penerapan Psikoanalisa pada fase menemukan akar masalah (finding the core issues)

4. Logotherapy

PenerapanThe meaning in suffering pada fase memikirkan akan kepasrahan, keikhlasan, dan rasa syukur.

5.

EMDR (Eye Movement Desensitization Reprocessing)

Penerapan gerakan mata (nine gamut procedure) pada fase akhir.

6.

Sedona Method (Releasing Technique)

Penerapan letting go pada fase sikap pasrah dan ikhlas.

7. Ericksonian Hypnosis

Penerapan hipnosis diri ringan (mild hypnosis) saat menggunakan kata pilihan yang memiliki efek hipnosis.

8. Provocative Theraphy

Penerapannya saat indvidu “dipaksa”

masuk dalam kondisi yang paling tidak menyenangkan, paling menyakitkan.

9. Suggestion dan Afirmation

Penerapan di saat kita banyak menggunakan pengulangan kata – kata

yang memberdayakan diri (suggestion & affirmation).

10. Creative Visualization

Penerapannya disaat kita mendramatisir pikiran atau perasaan negatif.

11. Relaxation dan Meditation

Penerapannya saat indvidu “dipaksa”

masuk dalam kondisi yang paling tidak menyenangkan, paling menyakitkan.


(24)

12. Gestald Therapy

Penerapan di saat kita banyak menggunakan pengulangan kata – kata

yang memberdayakan diri sehingga menciptakan harapan dan rasa optimis dalam alam bawah sadar kita.

13. Energy Psychology

Penerapan pada saat proses tapping yang dilakukan pada acupoints sepanjang jalur meredian yang akan menetralisir gangguan sistem energi tubuh.

14. Powerful Prayer

Penerapan pada fase memikirkan akan kepasrahan, keikhlasan, kekhusukkan dan rasa syukur.

15. Loving-Kindness Therapy

Penerapan pada fase kita memikirkan akan pentingnya cinta kasih dan kebaikan hati akan menyembuhkan orang yang kita kasihi.

1. Cara MelakukanSEFT

SEFT memandang jika aliran energi tubuh terganggu karena dipicu kenangan masa lalu atau trauma yang tersimpan dalam alam bawah sadar, maka emosi seseorang akan menjadi kacau. Mulai dari yang ringan, sepertibad mood,

malas, tidak termotivasi melakukan sesuatu, hingga yang berat, depresi, phobia, kecemasan berlebihan dan stres emosional berkepanjangan. Sebenarnya semua ini penyebabnya sederhana, yakni terganggunya sistem energi tubuh. Karena itu solusinya juga sederhana, menetralisir kembali gangguan energi itu dengan


(25)

Aliran energi yang tersumbat di beberapa titik kunci tubuh harus dibebaskan, hingga mengalir lagi dengan lancar. Cara membebaskannya adalah dengan mengetuk ringan menggunakan dua ujung jari (tapping)di bagian tubuh tertentu. Berikut ini adalah uraian tentang bagaimana melakukan SEFT untuk membebaskan aliaran energi di tubuh, yang dengannya akan membebaskan emosi dari berbagai kondisi negatif (Zainuddin, 2009; Saputra, 2012) :

1) The Set–Up

Bertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh terarah dengan tepat. Langkah ini dilakukan untuk menetralisir “Psychological Reversal” atau

“Perlawanan Psikologis” (biasanya berupa pikiran negatif spontan atau keyakinan bawah sadar negatif).

Contohpsychological reversalini diantaranya : a) Saya tidak bisa sehat seperti dulu lagi

b) Saya tidak mungkin sembuh dari sakit diabetes ini c) Saya kesal karena harus dirawat di rumah sakit ini

d) Saya menyerah, saya tidak mampu mematuhi diet diabetes (Zainuddin, 2009).

The Set - Upsebenarnya terdiri dari 2 aktifitas, yaitu :

Pertama, mengucapkan The Set– Up Word dengan penuh rasa khusyu’, ikhlas dan pasrah sebanyak 3 kali. Dalam bahasa religius, The Set– Up Words adalah doa kepasrahan kepada Allah SWT, bahwa apapun masalah dan rasa sakit yang dialami saat ini, kita ikhlas menerima dan kita pasrahkan kesembuhannya pada Allah SWT. The Set Up harus diucapkan dengan perasaan untuk menetralisir


(26)

Kedua, sambil mengucapkan The Set - Up Word dengan penuh perasaan, kita menekan dada kita, tepatnya di bagian “sore spot” (titik nyeri, letaknya di sekitar dada atas yang jika ditekan terasa agak sakit), atau mengetuk dengan dua ujung jari di bagian“karate chop”.(Zainuddin, 2009; Thayib, 2010) :

Contoh kalimatset–up(doa) untuk masalah fisik :

“Ya Allah..meskipun kepala saya pusing karena diabetes ini, saya ikhlas menerima pusing saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu pusingsaya ini.”

Contoh kalimatset–up(doa) untuk masalah emosi :

“Ya Allah..meskipun saya cemas dengan penyakit diabetes ini, saya ikhlas menerima kecemasan saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu ketenangan hati saya.

2) The Tune - In

Untuk masalah fisik, melakukan Tune - in dengan cara merasakan rasa sakit yang dialami, lalu mengarahkan pikiran ke tempat rasa sakit, dibarengi dengan hati dan mulut mengatakan : “Ya Allah saya ikhlas, saya pasrah…” atau “Ya Allah saya ikhlas menerima sakit saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu kesembuhan saya”. Untuk masalah emosi, Tune in dilakukan dengan cara memikirkan sesuatu atau peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangkitkan emosi negatif yang ingin kita hilangkan. Ketika terjadi reaksi negatif (marah, sedih, takut, dsb), hati dan mulut kita mengatakan, “Ya Allah..saya ikhlas..saya pasrah..”. Bersamaan denganTune - inini kita melakukan langkah ketiga yaitu

tapping. Pada proses ini (Tune–Inyang dibarengi dengantapping), kita menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik (Zainuddin, 2009).


(27)

Tapping adalah mengetuk ringan denga dua ujung jari pada titik – titik tertentu di tubuh sambil terus Tune in. titik – titik ini adalah titik – titik kunci dari

“The Major Energy Meridians”, yang jika kita ketuk beberapa kali akan berdampak pada netralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang kita rasakan.

Tapping menyebabkan aliran energi tubuh berjalan dengan normal dan seimbang kembali (Zainuddin, 2009).

Pengobatan pada akupressur dan akupuntur dilakukan dengan cara melakukan penekanan pada titik tertentu yang diharapkan bisa melepaskan penyumbatan di bidang energik yang ada di daerah energi meredian seseorang. Kemudian menghasilkan energi di daerah meridian mengalir lebih bebas. Hasilnyaendorfin positif dan neurotransmitter dilepaskan dalam otak yang bisa menyebabkan keseimbangan, harmoni dan menurukan rasa sakit (Namka, 2013). Endorfin diproduksi dan dilepaskan dari kelenjar pituitari. mereka dilepaskan selama latihan terus menerus saat kita muncul rasa takut, cinta, musik, makan cokelat, tawa, seks, orgasme dll. Olahraga tertawa, meditasi, dan mendengarkan musik semua latihan ini untuk menjaga pikiran tenang, merasa percaya diri, dan perasaan senang berhubungan dengan adanya pelepasan

endorfin(Rokade, 2011 dan Grant, 2015).

Peptida opioid β-endorphin, yang juga disekresi dari kelenjar adrenal telah terbukti menginduksi sekresi insulin juga melalui mengaktifkan reseptor opioid pankreas (El-Abhar dan Schaalan, 2014). Hasil dari penelitian pada hewan yang memiliki gen yang hampir sama dengan manusia membuktikan bahwa pemberian β-endorfin dalam dosis tertentu dapat menurunkan kadar glukosa dan glukagon plasma tanpa memandang status kesehatannya (Akalin


(28)

dan Baspinar, 2010). Peningkatan sekresi β-endorphin dari kelenjar adrenal dapat mengaktifkan opioid perifer μ-reseptor (MOR) untuk meningkatkan ekspresi transporter glukosa otot dan / atau mengurangiglukoneogenesis hepatik

pada tingkat gen, sehingga menyebabkan penggunaan glukosa ditingkatkan dalam jaringan perifer untuk perbaikan hiperglikemia parah (Liu dan Cheng, 2011). Sedangkan pada tekanan darah dan nadi, pemberian β-endorphin dalam dosis tertentu juga bisa menurunkan tekanan dan jumlah pompannya dalam waktu tertentu (Xiao, etc, 1994, dan Sitsen, etc, 1982).

Relaksasi akan mengurangi kadar adrenalin (epineprin) dan

noradrenalin (norepineprin) dan meningkatkan tingkat neuropeptida opoid yang memodulasi tonus otot polos bronkus. Penelitian pada hewan telah melaporkan bahwa beta endorfin dapat mempengaruhi tonus otot polos bronkus. Reseptor untuk neuropeptida ini hadir dalam beberapa neuron di pusat pernapasan otak. (Biju, Geetha, dan Sobhakumari, 2012).

Teknik EFT bekerja dengan sistem energi manusia, yang bersinergi melaluiBodymind kita di saluran meridian. Ketika kita menekan pada titik-titik tertentu untuk merangsang aliran bebas energi melalui meridian. Penekanan titik neuro-reseptor di bawah kulit mengkonversi tekanan untuk impuls listrik yang ditransmisikan ke otak dan merangsang dan melepaskan endorfin, bahan kimia kesenangan yang mengirimkan sinyal kesejahteraan ke otak. Hal ini dikombinasikan dengan kekuatan pikiran atau niat. Ketika kita berfokus pada masalah tertentu, kita mengirimkan niat untuk penyembuhan itu. Pada saat yang sama, kita membuat respon fisiologis dengan menekan pada titik-titik garis meredian. Kombinasi dari listrik, kesadaran, dan produksi biokimia endorfin dan


(29)

elemen biokimia lainnya, digabungkan secara keseluruhan dalam satu tehnik membuat respon penyembuhan yang kuat, berupa penurunan rasa nyeri, phobia, cemas, depresi dll (Gordon, 2006).

Terapi SEFT dilakukan sejak pasien paska-operasi SC hari pertama (setelah melewati 24 jam paska-operasi), dilakukan satu kali dalam sehari selama tiga hari. Setiap kali terapi hanya melakukan satu putaran SEFT dan membutuhkan waktu 5 menit. Segera setelah terapi, intensitas nyeri dinilai dengan menggunakan skala numerik 1-10. Hasil penelitian diperoleh bahwa terapi SEFT efektif mengurangi nyeri ibu paska-operasi SC. Penelitian ini merekomendasikan bahwa terapi SEFT dapat digunakan sebagai intervensi mandiri keperawatan untuk mengurangi nyeri (Fajar, 2010).


(30)

C. Kerangka Teori Penelitian

Referensi :Rokade,(2011).Grant,(2015), Liu & Cheng,(2011), El-abhar & Schaalan,(2014),Xiao,(1994),Sitsen,(1982).

Diabetes Mellitus Type 2 Produksi Glukagon Meningkat

Produksi Insulin Menurun

Glukosa Darah Meningkat Penurunan Rangsang ke

Sel βdan Peningkatan Rangsang

ke Sel α Pankreas

Terjadi Vasokontriksi dan atau Vasodilatasi, Peningkatan Tekanan

Darah, dan atau Nadi, Kecepatan Nafas, dan

Kontraktilitas Otot Penurunan Produksi β-Endorphin, Peningkatan Produksi Adrenalin, dan Noradrenalin. Penyebab DM Type 2 :

Stress Stress Menetralisir g3 emosional tubuh Aliran energi meredian normal Terapi SEFT

Produksi Insulin Meningkat Produksi Glukagon Menurun

Glukosa Darah Menurun Glukosa Darah Normal Terjadi Vasodilatasi,

Penurunan Tekanan Darah,

Nadi, Kecepatan Nafas, dan

Kontraktilitas Otot.

Peningkatan Rangsang

ke Sel βdan Penurunan Rangsang ke

Sel α Pankreas

Peningkatan

Produksi β -Endorphin dan Penurunan Produksi

Adrenalin, dan Noradrenalin. Koping Efektif Relax


(31)

D. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen dan variable dependen. variabel independen adalah terapiSEFTsedangkan variabel dependen adalah kadar glukosa darah pasien diabetes melitus tipe 2. Karakteristik (faktor confounding) yang dapat membedakan antara kadar glukosa darah adalah Usia, Jenis Kelamin, dan Pendidikan.

=Diteliti

=Tidak Diteliti

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu pernyataan yang merupakan jawaban sementara peneliti terhadap pertanyaan penelitian (Dahlan, 2008). Hal inilah yang akan dibuktikan oleh peneliti melalui penelitian. Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan pustaka dan kerangka konsep, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terapi SEFT

berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus tipe 2.

TerapiSEFT

Penurunan Kadar Glukosa Darah

VariabelConfounding: Usia

Jenis Kelamin Pendidikan Lama Menderita

Penderita DM Tipe 2


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian quasi experiment

menggunakan dengan desain penelitian pretest posttest with control group design. Penelitian ini dilakukan pada sekelompok subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit atau keadaan yang ingin diteliti, kemudian dilakukan intervensi selama 3 hari dan dilakukan 3 kali terapi pada pagi hari. Setelah periode waktu yang dianggap cukup dilakukan pemeriksaan kembali terhadap penyakit atau keadaan tersebut. Jadi setiap subyek penelitian menjadi kontrol terhadap dirinya sendiri.

Tabel 2 RancanganPenelitian pretest – posttest with control group design

Subyek Pra Intervensi Post

K-A O I O1-A

K-B O - O1B

Keterangan :

K-A : Kelompok intervensi (kelompok yang mendapat terapiSEFT)

K-B : Kelompok kontrol (kelompok yang tidak mendapatkan terapiSEFT) O : Pretest sebelum dilakukan terapiSEFT

I : IntervensiSEFT(Diberikan sebanyak 3 sesi dalam 3 hari, sehari 1 sesi selama kurang lebih 10 menit untuk setiap sesinya)

O1 : Posttest diberikan setelah dilakukan intervensi (kelompok perlakuan dan Kelompok kontrol)


(33)

B. Populasi, Teknik Sampling dan Besar Sampel 1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita diabetes melitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Gladag Kota Banyuwangi sebanyak 264 orang.

2. Besar Sampel

Penentuan jumlah sampel yang digunakkan dalam penelitian ini menggunakan rumus estimasi besar sample untuk penelitian yang bertujuan menguji hipotesis beda rerata 2 kelompok independen (Sastroasmoro & Ismael, 2011):

n =2 ( α β)

( )

n = 2 ( α β)

( )

= 2 ( . , )

( , )

= 2[2,5] = 12,44 Keterangan :

n : Jumlah sampel

Zα : Deviat baku alpha, harga kurva normal tingkat kesalahan yang

ditentukan dalam penelitian pada CI 95% maka Zα =(1,96).

Zβ : Deviat baku beta, dengan power = 0,80 maka Zβ =(0,842). s : Simpangan baku kedua kelompok (dari pustaka).

x1–x2 : Perbedaan klinis yang diinginkan (clinical judgment).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mahnaz et all (2014) yang meneliti tentang pengaruh terapi SEFT terhadap kadar gula darah, diketahui


(34)

perbedaan klinis yang diinginkan sebesar 7,88. Berdasarkan rumus diatas maka jumlah sample yang didapatkan, sebagai berikut :

n =2 ( α β)

( )

= 2 ( . , )

( , )

= 2[2,5] = 12,44, dibulatkan menjadi 12 responden.

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, besar sampel minimal adalah 12 responden untuk masing–masing kelompok. Untuk menghindari responden mengundurkan diri selama penelitian, maka peneliti mengantisipasi berkurangnya responden dengan menambahkannya menggunakan rumus, berikut :

n’ =

Keterangan:

n’ = ukuran sampelsetelah revisi n = ukuran sampel asli

1-f = perkiraan proporsidropout, yang diperkirakan 10% (f=0,1) Maka:

n’ =

, = 13

Sehingga jumlah kelompok responden pada penelitian ini menjadi 13 responden untuk kelompok intervensi dan 13 responden untuk kelompok kontrol. Total dari responden pada penelitian ini sebanyak 26 responden. 3. Teknik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive sampling,Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:


(35)

2. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang bersedia menjadi responden. 3. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang berusia dewasa.

4. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Gladag.

5. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak terdapat keterbatasan fisik dan mental.

6. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang mengkonsumsi terapi standar atau hanya terapi oral.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang memiliki luka gangren. C. Variabel Penelitian

1. Variabel Independent.

Variabel independent dalam penelitian ini adalah terapiSEFT. 2. Variabel Dependent.

Variabel independent dalam penelitian ini adalah kadar glukosa darah penderita diabetes melitus tipe 2.

3. VariabelConfounding/Kendali.

Variabel confounding dalam penelitian ini adalah usia, dan pendidikan. Sedangkan variabel confounding yang tidak dikendalikan adalah diet, jenis kelamin, penyakit penyerta, terapi obat, dan lama menderita.

D. Definisi Operasional

Tabel 3 Definisi Operasional Penelitian

No Variabel Definisi Alat Ukur dan

Hasil Ukur Skala 1. Terapi SEFT

Suatu terapi komplementerbodymind


(36)

-Akan membebaskan Emosi dari berbagai Kondisi negatif dalam tubuh. Tiap satu sesi terapi berlangsung kurang lebih 10 menit yang akan dilakukan pada pagi hari oleh peneliti sendiri dan atau dibantu

oleh terapis lain

2.

Kadar Glukosa

Darah

Jumlah glukosa darah yang terdeteksi menggunakan glukometer.

Glukometer dan satuan kadar glukosa darah =

mg/dl

Rasio

3. Usia

Lama waktu hidup yang diukur dari ulang

tahun terakhir. Lembar Observasional Rasio 4. Jenis Kelamin Identitas seksual secara biologis saat

dilahirkan.

Lembar Observasional

Nomin al

5. Pendidikan Tingkat pendidikan terakhir yang sudah ditempuh. Lembar Observasional dan Pendidikan rendah dan pendidikan tinggi Ordinal 6. Lama Menderita

Lama menderita diabetes melitus tipe 2 dari awal terdeteksi.

< 4 tahun dan > 4 tahun

Nomin al

E. Tempat Penelitian

Penelitian ini bertempat di wilayah kerja puskesmas Gladag, Kota Banyuwangi. F. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari–Maret 2016. G. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan ModulSEFT, Glukometer, dan Lembar Observasi.

H. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Peneliti mempersiapkan alat dan bahan berupa ModulSEFT, Inform Consent,

Glukometer, dan Lembar Observasi.


(37)

c. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari dilakukannya penelitian. d. Peneliti memberikan lembarinformed konsentdilakukannya penelitian. e. Peneliti menjelaskan tahapan terapi.

f. Pengukuran glukosa darah pretest yang akan dilakukan oleh peneliti sendiri dan atau dibantu asisten.

g. Pelaksanaan terapiSEFTdilakukan oleh peneliti dan atau dibantu terapis lain, satu sesi terapi dilakukan dalam waktu kurang lebih 10 menit pada pagi hari, dan diberikan tiga kali dalam waktu satu minggu yang akan dilakukan di puskesmas Gladag.

h. Pengukuran hasil terapi berupa nilai kadar glukosa darah. Alur Penelitian

I. Analisa Data 1. Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan salah satu uji mendasar yang dilakukan sebelum melakukan analisis data lebih lanjut atau lebih dalam, data yang normal dijadikan landasan dalam beberapa uji statistik. Uji normalitas Hari ke-1

Hari ke-1

Hari ke-1

Hari ke-3

Pengisian Inform Consent

Pemeriksaan kadar Glukosa Darah Pre test

Kel.Kontrol Kel.Intervensi

TerapiSEFT dan Standar

TerapiSEFT dan Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

Terapi Standar pada Kel.Kontrol Hari ke-1-3


(38)

berfungsi untuk melihat bahwa data sampel yang kita ambil atau kita gunakan mengikuti atau mendekati distribusi normal (distribusi data tersebut tidak melenceng kekiri atau kekanan) dilihat dari hasil histogram.Tehnik yang digunakan untuk uji normalitas pada penelitian ini dengan menggunakan

Shapirowilk test karena jumlah responden lebih kecil dari 50 orang (26 responden).

2. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan karakteristik masing–masing variabel yang diteliti (Hastono, 2007). Variabel yang dianalisis univariat pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, dan lama menderita. Penyajian data kategorik seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, dan lama menderita menggunakan presentase.

3. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan dua variabel. Pada penelitian ini digunakan uji statistik Uji paired sample t test

untuk mengetahui apakah ada perubahan yang bermakna antara nilai glukosa darah sebelum dan sesudah terapi SEFT pada masing-masing kelompok. Dan ujiindependent sample t testuntuk mengetahui perbedaan antara kadar glukosa darah kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dalam penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan 0.05 dan derajat kepercayaan CI 95%. 4. Analisis Multivariat

Analisis Multivariat merupakan salah satu jenis analisis statistik yang digunakan untuk menganalisis data dimana data yang digunakan berupa


(39)

banyak variabel independen dan juga banyak variabel dependen. Variabel yang dianalisis pada penelitian ini adalah jenis kelamin, usia, dan pendidikan dihubungkan dengan penurunan kadar gula darah di uji menggunakanregresi linier. Analisis multivariat dilakukan melalui model prediksi yaitu untuk memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel dependen.

1. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel independen dan dependen. Bila hasil uji variat mempunyai nilai p < 0,25 maka variabel tersebut dapat masuk dalam model multivariat jika secara substansi variabel tersebut penting.

2. Memilih variabel yang dianggap penting dengan cara mempertahankan variabel yang mempunyai p < 0,05 dan mengeluarkan variabel yang mempunyaip > 0,05secara bertahap mulai dari variabel yang memiliki p

paling besar. J. Etika Penelitian

Pelaksanaan melakukan penelitian, peneliti perlu membawa rekomendasi dari institusi untuk pihak lain dengan cara mengajukan permohonan izin kepada institusi/lembaga tempat penelitian yang dituju oleh peneliti. Kemudian peneliti mengajukan surat kelayakan etik penelitian yang dilakukan di Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Selanjutnya surat hasil uji etik dan disertai surat ijin penelitian diserahkan ke Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Dinas Kesehatan, dan Kantor Puskesmas. Setelah mendapat persetujuan, barulah peneliti dapat melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi :


(40)

1. Lembar persetujuan atauInformed Consent.

Lembar persetujuan atau informed consent ini diberikan peneliti kepada reponden yang akan diteliti yang sudah memenuhi kriteria. Lembar persetujuan atau informed consent riset diberikan oleh peneliti kepada responden yang berisi tentang informasi studi penelitian dan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian serta dampaknya, sehingga reponden dapat memutuskan apakah akan terlibat atau tidak dalam penelitian. Jika subyek bersedia maka dia harus menandatangani lembar persetujuan dan apabila tidak bersedia maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-hak subyek.

2. Tanpa Nama atauAnonimity

Kerahasiaan mengacu pada tanggung jawab peneliti untuk melindungi semua data yang dikumpulkan dalam lingkup proyek atau pemberitahuan kepada yang lain. Kerahasiaan informasi dijamin peneliti, hanya kelompok data tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian. Anonymity mengacu pada tindakan merahasiakan nama peserta terkait dalam partisipasi mereka dalam penelitian. Untuk kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama reponden tetapi pada lembar tersebut diberi kode atau inisial untuk nama responden.

3. Kerahasiaan atauconfidentality

Semua informasi dari reponden tetap dirahasiakan, dan peneliti melindungi semua data yang dikumpulkan dalam lingkup proyek dari pemberitahuan kepada orang lain dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.


(41)

Sebelum penelitian dilakukan, responden diberikan penjelasan tentang tujuan dan prosedur penelitian (pada lembar penjelasan penelitian). Responden juga mendapatkan penjelasan bahwa penelitian ini tidak akan membahayakan atau tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan, misalnya : sesak napas, nyeri, luka, penurunan kesadaran ataupun dipungut biaya tertentu. Selama terapi berlangsung, peneliti melakukan observasi penuh di dekat responden. Jika responden merasa tidak nyaman dengan terapi SEFT, maka dapat mengundurkan diri kapan saja.

5.Beneficience(bermanfaat/melakukan yang baik untuk kemanusiaan).

Peneliti menjelaskan tentang keuntungan bila responden berpartisipasi dalam penelitian ini, yaitu terapi SEFT dapat membantu menurunkan glukosa darah pada subyek penelitian. Manfaat lain yang didapatkan oleh responden penelitian adalah mengetahui tentang terapi SEFT dan dapat mengaplikasikan.


(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Gladag Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, pada 28 februari sampai dengan 4 maret 2016. Puskesmas Gladag memberikan pelayanan dasar, rujukan dan pendidikan kesehatan. Jumlah keseluruhan responden pada penelitian ini sebesar 24 orang yang merupakan penduduk yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Gladag. Penetapan responden sebagai sampel dalam penelitian ini didasarkan pada studi pendahuluan yang sudah dilakukan peneliti pada waktu sebelumnya. Responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu 12 orang sebagai kelompok kontrol dan 12 orang sebagai kelompok intervensi. Dalam proses pengambilan data ada responden yang mengundurkan diri atau mengalamidrop out.

Pemberian intervensi SEFT pada penelitian ini dilakukan oleh praktisi yang sudah ahli dalam melakukan SEFT. Peneliti disini memberikan pengetahuan akan penyakit DM pada kedua kelompok kontrol dan perlakuan. Selanjutnya, kelompok perlakuan mendapatkan intervensi SEFT. Sedangkan pada kelompok kontril tidak mendapatkan intervensi apapun, dan langsung dilakukan cek glukosa darah, akan tetapi setelah kegiatan penelitian selesai dilakukan kelompok kontrol juga dilakukan terapi SEFT. Pada kedua kelompok evaluasi terhadap hasil penelitian yaitu perubahan kadar glucosa darah pada penderita DM tipe 2 setelah pemberian intervensiSEFT.


(43)

2. Analisis Univariat

Karakteristik responden yang akan dijelaskan dalam analisis univariat penelitian ini meliputi usia responden, jenis kelamin, pendidikan, dan lama menderita DM untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Distribusi frekuensi karakteristik responden penelitian terlihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 4 Hasil analisis uji homogenitas pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di wilayah kerja puskesmas gladag, Banyuwangi tahun 2016 No. Karakteristik

Kelompok Kontrol (n=12)

Kelompok

Intervensi (n=12) ρ*

f % f %

1 Umur (tahun)

46-55 9 75% 9 75% 1,000**

56-65 3 25% 3 25%

2 Jenis Kelamin

Laki-laki 6 50% 2 16,7% 0,083*

Perempuan 6 50% 10 83,3%

3 Pendidikan Terakhir

Pendidikan Rendah 10 83,3% 9 75,0% 0,615**

Pendidikan Tinggi 2 16,7% 3 25,0%

4 Lama Menderita DM

< 4 tahun 5 41,7% 6 50% 0,682*

≥ 4 tahun 7 58,3% 6 50%

*p<0,05Based onujipearson chi-square

**p<0,05Based onujichi-square fisher’s exact test

Hasil Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur dalam rentang 46-55 tahun sebesar 75% pada kelompok kontrol sedangkan pada kelonpok intervensi juga sama dalam rentang 46-55 tahun sebesar 75%. Variabel umur ini selanjutnya diuji dengan chi-squareuntuk mengetahui kesetaraan umur responden antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol dan diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05), yang berarti bahwa ada kesetaraan umur antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

Hal lain yang didapat dari tabel yaitu jumlah jenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, yaitu 60% untuk kelompok kontrol dan 83,3%


(44)

untuk kelompok intervensi. Variabel ini selanjutnya diuji dengan chi-square

untuk mengetahui kesetaraan jenis kelamin reponden antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol dan diperoleh nilai p=0,083 (p>0,05), yang berarti ada kesetaraan jenis kelamin antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

Pada tingkat pendidikan dari tabel didapatkan pendidikan rendah merupakan jenjang terbanyak yang dienyam oleh responden yaitu 83,3% untuk kelompok kontrol dan 75,0% untuk kelompok intervensi. Variabel ini selanjutnya diuji dengan chi-square untuk mengetahui kesetaraan jenjang pendidikan responden antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi dan diperoleh nilai p=0,615 (p>0,05), yang berarti ada kesetaraan jenjang pendidikan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Pada lama menderita DM didapatkan rata-rata responden menderita lebih dari 4 tahun, yaitu 58,3% untuk kelompok kontrol dan 50% untuk kelompok intervensi. Variabel ini selanjutnya diuji dengan chi-square untuk mengetahui kesetaraan lama menderita responden antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi dan diperoleh nilai p=0,682 (p>0,05), yang berarti ada kesetaraan lama menderita antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Karakteristik responden selanjutnya yang akan kita jelaskan adalah perubahan kadar glukosa darah, dalam tabel berikut :


(45)

Tabel 5 Perubahan kadar glukosa darah pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di wilayah kerja puskesmas gladag, Banyuwangi tahun 2016

No

Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi Kadar Glukosa Darah Sebelum Intervensi SEFT Kadar Glukosa Darah Sesudah IntervensiSEFT Kadar Glukosa Darah Sebelum IntervensiSEFT Kadar Glukosa Darah Sesudah Intervensi SEFT 1. 317.0 mg/dl 320.0 mg/dl 235.0 mg/dl 210.0 mg/dl 2. 352.0 mg/dl 256.0 mg/dl 332.0 mg/dl 223.0 mg/dl 3. 278.0 mg/dl 266.0 mg/dl 330.0 mg/dl 185.0 mg/dl 4. 412.0 mg/dl 354.0 mg/dl 349.0 mg/dl 263.0 mg/dl 5. 260.0 mg/dl 204.0 mg/dl 400.0 mg/dl 287.0 mg/dl 6. 268.0 mg/dl 310.0 mg/dl 279.0 mg/dl 112.0 mg/dl 7. 410.0 mg/dl 385.0 mg/dl 435.0 mg/dl 317.0 mg/dl 8. 332.0 mg/dl 343.0 mg/dl 213.0 mg/dl 198.0 mg/dl 9. 331.0 mg/dl 253.0 mg/dl 457.0 mg/dl 322.0 mg/dl 10. 238.0 mg/dl 176.0 mg/dl 413.0 mg/dl 242.0 mg/dl 11. 412.0 mg/dl 359.0 mg/dl 338.0 mg/dl 179.0 mg/dl 12. 278.0 mg/dl 236.0 mg/dl 252.0 mg/dl 136.0 mg/dl

Dari tabel diatas dapat diperoleh nilai penurunan kadar glukosa darah terbesar pada kelompok kontrol yaitu sebesar 78 mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi penurunan terbesar yaitu sebesar 171 mg/dl.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi SEFT terhadap kelompok perlakuan yaitu dengan melihat dan menganalisis perubahan kadar gula darah pada kelompok kontrol (pre-post) dan menganalisis perubahan kadar gula darah pada kelompok perlakuan (post-test), serta mengetahui perbedaan perubahan skor kadar glukosa darah pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.


(46)

Tabel 6 Uji normalitas kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah intervensi SEFT pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

Responden Kadar Gula Darah ρ*

Kelompok Kontrol KGD pre-test 0,171

KGD post-test 0,744

Kelompok Intervensi KGD pre-test 0,695

KGD post-test 0,898

*p>0,05Based on Shapiro-Wilk test

Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas variabel kadar glukosa darah pre-test dan post-test pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi dengan ujiShapiro-Wilk test didapatkan nilai p>0,05 yang berarti sebaran data normal sehingga analisa data dapat dilanjutkan dengan menggunakan ujistatistik paired t testdanindependent t test.

Tabel 7 Perubahan rata-rata kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah intervensiSEFTpada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

Responden

Kadar Gula Darah

95% CI t ρ*

Sebelum (Mean ± SD)

Setelah (Mean ± SD) Kelompok

Kontrol 324,00±62,30 288,50±66,31 9,97 ; 61,03 3,061 0,011 Kelompok

Intervensi 336,08±79,96 222,83±66,58 81,18 ; 145,32 7,772 0,000 *p>0,05Based on paired t-test

Sumber: Data Primer 2015

Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darah sebelum dilakukan intervensiSEFT pada kelompok kontrol adalah sebesar 324,00 mg/dl, dengan standar deviasi 62,30 mg/dl, dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan rata-rata kadar glukosa darah setelah dilakukan intervensiSEFT

mengalami penurunan menjadi 288,50 mg/dl, dengan standar deviasi 66,31mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi rata-rata kadar glukosa darah sebelum dilakukan intervensi SEFT sebesar 336,08 mg/dl, dengan standar deviasi 79,96 mg/dl. Sedangkan rata-rata kadar glukosa darah pada kelompok intervensi setelah dilakukan intervensi SEFT mengalami penurunan menjadi


(47)

222,83 mg/dl, penurunan pada kelompok intervensi lebih besar dari pada penurunan pada kelompok kontrol dengan standar deviasi 66,58 mg/dl, dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal lain dari tabel juga menjelaskan bahwa berdasarkan hasil uji statistik Paired t-Test didapatkan nilai p untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi masing-masing bernilai 0,011 dan 0,000. Nilai p<0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan secara signifikan kadar glukosa darah sebelum dan setelah diberikan intervensi SEFT pada kedua kelompok penelitian. Hal ini dibuktikan dengan nilai rerata 95% CI pada dua kelompok tidak melibatkan angka 0 maka hasilnya dikatakan bermakna. Pada kelompok intervensi terjadi penurunan kadar glukosa darah lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol ditandai dengan nilai t hitung 7,772.

Tabel 8 Nilai selisih rata-rata kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah intervensiSEFT

KGD

Kelompok Kontrol (Mean ± SD)

Kelompok Intervensi (Mean ± SD)

Mean

Difference 95% CI ρ* Nilai

Selisih 35,50±40,18 113,25±50,48 -77,75 -116,38 ; -39,13 0,000 *p<0,05Based on independent t-test

Tabel 8 menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata perubahan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah diberikan intervensi SEFT pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebesar 77,75 point. Arti 77,75 mengartikan bahwa kelompok kontrol memiliki mean lebih rendah dari pada kelompok intervensi. Dan diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di populasi, maka perbedaan rata-rata kadar glukosa darah sebelum dan setelah intervensi adalah antara -116,38 mg/dl sampai dengan -39,13 mg/dl. Berdasarkan hasil uji statistik independent sample t-Test didapatkan nilai p = 0,000. Nilai p < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan


(48)

perubahan kadar glukosa darah antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi secara signifikan.

3. Analisis Multivariat Regresi Linier Berganda

Pemilihan multivariat variabel yang diduga berhubungan dengan kejadian penurunan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 yaitu: usia, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita DM serta pengaruh intervensi

SEFT. Untuk dilanjutkan keanalisis multivariat maka semua variabel yang telah dilakukan analisis bivariat dan memiliki nilai p<0,25 dapat dijadikan sebagai varibel terpilih.

Tabel 9 Hasil analisis bivariat faktor risiko yang berhubungan dengan kadar glukosa darah

Faktor risiko ρ*

Usia responden 0,770

Jenis kelamin 0,094

Pendidikan 0,397

Lama menderita DM 0,374

SEFT 0,000

*p<0,25Based on bivariat

Hasil analisis bivariat dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar gula darah menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang memiliki nilai p<0,25 yaitu jenis kelamin, dan SEFT. Hal itu dikarenakan variabel jenis kelamin memiliki nilai p=0,094 dan variabel SEFT memiliki p=0,000. Variabel tersebut selanjutnya akan dipaparkan pada analisis regresi linier berganda untuk variabel yang mempengaruhi kadar glukosa darah, sehingga dapat dilanjutkan keanalisis selanjutnya.


(49)

Tabel 10 Hasil analisis regresi linear berganda intervensi SEFT terhadap penurunan dengan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2

Faktor risiko B Beta Sig.

Constant -61.125 0,130

Jenis kelamin 16,179 0,130 0,456

SEFT 72,357 0,619 0,002

*p<0,05Based on regresi linier

Tabel 10 menunjukkan nilai konstan untuk kadar glukosa darah menunjukkan terdapat perubahan kadar glukosa darah tanpa ada kontribusi dari variabel lain adalah -61.125. Hasil analisis regresi linear didapatkan variabel jenis kelamin mempunyai nilai Sig. 0,456>0,05 dan SEFT mempunyai nilai Sig.0,002<0,05. Sehingga bisa disimpulkan bahwa variabel SEFT merupakan faktor yang paling mempengaruhi penurunan kadar gula darah, karena memiliki nilai p<0,05.

B. Pembahasan

1. Karakteristik Responden a. Usia

Data karakteristik responden yang diperoleh dari penelitian ini dimulai dari usia. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian diabetes melitus. Rentang usia dalam penelitian ini adalah 46 tahun sampai 65 tahun.

Kejadian dan prevalensi penderita diabetes meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Deshpande, Hayes & Schootman, 2008). Hal ini dikarenakan adanya penurunan fungsi tubuh seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Dan juga adanya penurunan sensitivitas reseptor insulin, penurunan


(50)

regulasi hormon glukagon dan epineprin yang pada akhirnya mempengaruhi kadar glukosa darah (Black & Hawks, 2009).

Ketika sensitivitas insulin telah dikendalikan , cacat sekretorik insulin telah secara konsisten menunjukkan akibat dari penuaan manusia. Selain itu, sensitivitas sel untuk sekresi hormon mungkin menurun dengan bertambahnya usia. Gangguan Kompensasi sel usia, terkait resistensi insulin dapat mempengaruhi orang tua untuk mengembangkan setelah akibat hiperglikemia dan diabetes tipe 2. Peningkatan pemahaman dari perubahan metabolik yang berhubungan dengan penuaan adalah penting untuk pengembangan pencegahan dan terapeutik untuk intervensi pada populasi yang berisiko tinggi untuk intoleransi glukosa (Chang dan Halter, 2003).

Hubungan usia dengan sekresi insulin telah dibuktikan pada manusia. Glukosa dan asam amino yang menjadi rangsangan utama untuk pelepasan

insulin dari sel β pankreas. Dengan penuaan, terjadi penurunan sekresi insulin

setelah stimulasi dengan glukosa serta asam amino arginine menurun. Penderita yang telah tua tidak dapat meningkatkan sekresi insulin secara proporsional dengan peningkatan tuntutan yang dikenakan oleh resistensi insulin, sehingga memberikan kontribusi untuk gangguan toleransi glukosa. Demikian pula, studi pada manusia tentang efek dari penuaan yaitu menyebabkan cacat sekretorik yang konsisten. Dan banyak faktor lain yang berkontribusi terhadap penurunan sekresi insulin dalam penuaan, termasuk kerugian terkait usia (Gong et al, 2012). Hal yang sama juga dibuktikan oleh survey yang dilakukan oleh Wild, Roglic, Green, Sicree, & King (2004) dimana pada tahun 2000 mayoritas penderita diabetes di negara berkembang berada pada usia 45 – 64 tahun


(51)

sedangkan di negara maju mayoritas berada pada usia lebih dari 64 tahun. Diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes yang berusia lebih dari 60 tahun akan menjadi lebih dari 82 juta di negara berkembang dan lebih dari 48 juta di negara maju. Dengan demikian dapat dimungkinkan bahwa terjadi peningkatan kejadian dan prevalensi diabetes mellitus seiring dengan bertambahnya usia.

b. Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin didapatkan sebagian besar berjenis kelamin perempuan.. Hal tersebut sama dengan hasil penelitian Santoso dan Yudi (2006) tentang gambaran pola penyakit diabetes melitus di ruang rawat inap RSUD Koja Jakarta tahun 2000-2004 yang menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak yang menderita diabetes dibandingkan laki-laki dengan kadar glukosa darah saat masuk rata-rata 201–500 mg/dl.

Menurut Corwin (2009), wanita cenderung mengalami obesitas karena peningkatan hormon estrogen yang menyebabkan peningkatan lemak pada jaringan sub kutis, sehingga wanita mempunyai resiko yang lebih besar terkena diabetes jika mempunyai gaya hidup yang tidak sehat.

Perkembangan pada perempuan dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron. Hormon ini mempengaruhi perkembangan mental perempuan. Perempuan cenderung sering menggunakan emosi dan perasaan ketika dihadapkan akan suatu masalah sehingga hal tersebut memudahkannya untuk menjadi stres. Hal ini yang menjadi penyebab terjadinya peningkatan kadar glukosa darah pada perempuan terkait dengan stres (Priyono, dkk, 2009). Hormon stres ini yang paling dikenal adalah epinefrin, merangsang pelepasan


(1)

mengalami penurunan menjadi 288,50 mg/dl, dengan standar deviasi 66,31mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi rata-rata kadar glukosa darah sebelum dilakukan intervensi SEFT sebesar 336,08 mg/dl, dengan standar deviasi 79,96 mg/dl. Sedangkan rata-rata kadar glukosa darah pada kelompok intervensi setelah dilakukan intervensi SEFT mengalami penurunan menjadi 222,83 mg/dl, penurunan pada kelompok intervensi lebih besar dari pada penurunan pada kelompok kontrol dengan standar deviasi 66,58 mg/dl, dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal lain dari tabel juga menjelaskan bahwa berdasarkan hasil uji statistik Paired t-Test didapatkan nilai p untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi masing-masing bernilai 0,011 dan 0,000. Nilai p<0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan secara signifikan kadar glukosa darah sebelum dan setelah diberikan intervensi SEFT pada kedua kelompok penelitian. Hal ini dibuktikan dengan nilai rerata 95% CI pada dua kelompok tidak melibatkan angka 0 maka hasilnya dikatakan bermakna. Pada kelompok intervensi terjadi penurunan kadar glukosa darah lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol ditandai dengan nilai t hitung 7,772.

Pemilihan multivariat variabel yang diduga berhubungan dengan kejadian penurunan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 yaitu: usia, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita DM serta pengaruh intervensi SEFT. Untuk dilanjutkan keanalisis multivariat maka semua variabel yang telah dilakukan analisis bivariat dan memiliki nilai p<0,25 dapat dijadikan sebagai varibel terpilih.

Tabel 4 Hasil analisis bivariat faktor risiko yang berhubungan dengan kadar glukosa darah

Faktor risiko ρ*

Usia responden 0,770


(2)

Pendidikan 0,397

Lama menderita DM 0,374

SEFT 0,000

*p<0,25Based on bivariat

Hasil analisis bivariat dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar gula darah menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang memiliki nilai p<0,25 yaitu jenis kelamin, dan SEFT. Hal itu dikarenakan variabel jenis kelamin memiliki nilai p=0,094 dan variabelSEFT memiliki p=0,000. Variabel tersebut selanjutnya akan dipaparkan pada analisis regresi linier berganda untuk variabel yang mempengaruhi kadar glukosa darah, sehingga dapat dilanjutkan keanalisis selanjutnya.

Tabel 5 Hasil analisis regresi linear berganda intervensi SEFT terhadap penurunan dengan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2

Faktor risiko B Beta Sig.

Constant -61.125 0,130

Jenis kelamin 16,179 0,130 0,456

SEFT 72,357 0,619 0,002

*p<0,05Based on regresi linier

Tabel 5 menunjukkan nilai konstan untuk kadar glukosa darah menunjukkan terdapat perubahan kadar glukosa darah tanpa ada kontribusi dari variabel lain adalah -61.125. Hasil analisis regresi linear didapatkan variabel jenis kelamin mempunyai nilai Sig. 0,456>0,05 dan SEFT mempunyai nilai Sig.0,002<0,05. Sehingga bisa disimpulkan bahwa variabel SEFT merupakan faktor yang paling mempengaruhi penurunan kadar gula darah, karena memiliki nilai p<0,05.

PEMBAHASAN

Data karakteristik responden yang diperoleh dari penelitian ini dimulai dari usia. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian


(3)

diabetes melitus. Rentang usia dalam penelitian ini adalah 46 tahun sampai 65 tahun.

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin didapatkan sebagian besar berjenis kelamin perempuan.. Hal tersebut sama dengan hasil penelitian Santoso dan Yudi (2006) tentang gambaran pola penyakit diabetes melitus di ruang rawat inap RSUD Koja Jakarta tahun 2000-2004 yang menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak yang menderita diabetes dibandingkan laki-laki dengan kadar glukosa darah saat masuk rata-rata 201–500 mg/dl.

Menurut Corwin (2009), wanita cenderung mengalami obesitas karena peningkatan hormon estrogen yang menyebabkan peningkatan lemak pada jaringan sub kutis, sehingga wanita mempunyai resiko yang lebih besar terkena diabetes jika mempunyai gaya hidup yang tidak sehat.

Perkembangan pada perempuan dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron. Hormon ini mempengaruhi perkembangan mental perempuan. Perempuan cenderung sering menggunakan emosi dan perasaan ketika dihadapkan akan suatu masalah sehingga hal tersebut memudahkannya untuk menjadi stres. Hal ini yang menjadi penyebab terjadinya peningkatan kadar glukosa darah pada perempuan terkait dengan stres (Priyono, dkk, 2009). Hormon stres ini yang paling dikenal adalah epinefrin, merangsang pelepasan glukagon dan menghambat produksi insulin, yang pada akhirnya berefek langsung pada metabolisme glukosa di hati, sehingga kadar glukosa darah meningkat (Brant, 1999).

Pemberian intervensi SEFT pada responden memiliki fungsi dalam menurunkan tingkat stress yang berdampak langsung pada penurunan pelepasan


(4)

hormon epinefrin. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi penurunan pelepasan kadar glukagon dalam darah dan meningkatkan produksi insulin dalam darah, sehingga terjadi proses glikolisis, yang mengakibatkan menurunnya kadar glukosa darah (Xiao, etc, 1994, dan Sitsen, etc, 1982).

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan dalam penelitian merupakan faktor yang tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar gula darah. Semakin tinggi pendidikan semakin besar kepedulian terhadap kesehatan.. Namun tidak dipungkiri masih ada orang yang berpendidikan tinggi mengabaikan kesehatan dengan berbagai alasan yang menyebabkannya salah satunya berhubungan dengan pekerjaan dimana dengan adanya kesibukan yang tinggi sehingga pola hidup yang tidak teratur atau tidak teraturnya pola makan meyebabkan gangguan kesehatan. Biasanya orang dengan kegiatan yang padat sering lupa utuk makan namun lebih banyak makan cemilan. Dengan adanya perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan, konsumsi makanan yang energi dan tinggi lemak selain aktivitas fisik yang rendah, akan mengubah keseimbangan energi dengan disimpannya energi sebagai lemak simpanan yang jarang digunakan (Gibney dkk, 2009).

Karakteristik responden berdasarkan lama menderita DM tipe 2 dinyatakan tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah. Pada penderita DM tipe 2 terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif


(5)

karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin.

KESIMPULAN

Terapi SEFT mempengaruhi penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kadar glukosa darah pada penderita. Karakteristik tingkat pendidikan merupakan variabel yang paling berpengaruh jika dibandingkan dengan variabel usia, jenis kelamin dan lama menderita diabetes melitus tipe 2. Karakteristik Jenis kelamin menjadi faktor yang berpengaruh setelah tingkat pendidikan. Sedangkan usia dan jenis kelamin tidak memiliki pengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R., & Tomey, A. M. (2006).Nursing Theory: Utilization and Application. Missouri: Mosby.

Anderson RJ., Freedland KE., Clouse RE., Lustman PJ.(2001). The prevalence of co morbid depression in adults with diabetes: a meta-analysis. Diabetes Care.

Diakses pada 12 Desember 2015 dari

http://care.diabetesjournals.org/content/24/6/1069.full

Brant, Mark. (1999). Endocrine Regulation of Glucose Metabolism. Rose-Hulman Institute of Technology. Diakses pada 24 Desember 2015 dari https://www.rosehulman.Edu /~brandt /Chem330/Endocrine Notes /Chapter 5 Glucose .pdf

Collins MM., Corcorant P., Perry IJ. (2009) Anxiety and depression symptoms in patients with diabetes.Diabet Med, 26:153-161.

Corwin, Elizabeth. (2009).Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Gibney. M. J., Margetts, B. M., Kearney, J. M., Arab, L. (2009). Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC

Loyd, A. (2011). The Healing Code : 6 Minutes to Heal the Source of Your Health, Success, or Relationship Issue. New York : Grand Central Life & Style.

Mahnaz H., Hassan A., Hossein R., Adis KM. (2014). Investigation on Emotional-Freedom Technique Effectiveness in Diabetic Patients’ Blood Sugar Control. Mediterranean Journal of Social Sciences. MCSER Publishing, Rome-Italy.


(6)

Diakses pada 18 Desember 2015 dari http://www. mcser. org/ journal/ index. php/ mjss/ article/ viewFile /5207/5024

Papazafiropoulou A,Tamvakos H, Pappas S. (2008). The challenge of achievement and maintenance of long-term gkycaemic control in: Treatment of usual diseases by Primary Care Physicians. ED Pappas S. Diakses pada 18 Desember 2015 dari http://ijdld.tums.ac.ir/files/site1/user_files_4797e4/tums-A-10-25-98-f546cda.pdf Priyono A., Amin C., & Martini K. T. (2009). Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Pusat

Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Rokade, P,B. (2011). Release of Endomorphin Hormone and Its Effects on Our Body and Moods : A Review. Bangkok. Diakses pada 17 November 2015 dari http://psrcentre.org/images/e xtraimages/1211916.pdf

Riskesdas.(2013). Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. DEPKES. Diakses pada 14 juni 2016 dari http://www.depkes.go.id/ resources/ download/general/ Hasil%20Riskesdas%202013.pdf

Roupa Z., Κoulouri Α., Sotiropoulou P., Makrinika E., Marneras X., Lahana Ι., Gourni Μ . (2009). Anxiety And Depression In Patients With Type 2 Diabetes Mellitus, Depending On Sex And Body Mass Index. Health Science Journal. Diakses pada 30 Januari 2016 dari http://hsj.gr/articles_files/j73wyLMPRwvmhBw.pdf.

Roy S.C-Andrews H.A. (1991).The Roy Adaptation Model: The Definitive Statement, California: Appleton & Large.

Saputra, A. (2012). Buku Terapi Emotional Freedom Technique. Yogyakarta : NQ Publishing

Smeltzer., Suzanne C., Brenda G bare. (2009).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC.

Spero, David.(2006). The Stress-Diabetes Connection. Diakses pada 5 Oktober 2015 dari http://www.mendosa.com/stress.htm.

Williams., Linda Sue., & Hopper, Paula D. (2007). Understanding Medical Surgical Nursing. (3th.ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company

Xiao Q, Chen QS, Yan ZH, Yang R, Dai YL. (1994). Effects Of Beta-Endorphin On Blood Pressure And Heart Rate In Rats. Article in Chinese. Diakses pada 24 Februari 2015 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8085171

Zainuddin A.F. (2012). SEFT For Healing, Success, Happiness, Greatness. Jakarta: Afzan Publishing.

Zimmet , Alberti , Shaw.(2001). Global and societal implications of the diabetes epidemi. PubMed. Diakses pada 14 juni 2016 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /11742409