Pengaruh Relaksasi Autogenik Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

(1)

PENGARUH RELAKSASI AUTOGENIK TERHADAP

KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN

DIABETES MELITUS TIPE 2

TESIS

Oleh

MARTALINA LIMBONG

127046004/KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH RELAKSASI AUTOGENIK TERHADAP

KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN

DIABETES MELITUS TIPE 2

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARTALINA LIMBONG

127046004/KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

(5)

Telah diuji

Pada tanggal :14 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Ridha Darma Jaya, Sp.BS Anggota : 1. Yesi Ariani, S.Kep, Ns., M.Kep

2. Dr 3. Ikhsanuddin A. Harahap, S.Kp., MNS


(6)

Judul Tesis : Pengaruh Relaksasi Autogenik Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

Nama Mahasiswa : Martalina Limbong

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Pasien diabetes melitus tipe 2 relatif mengalami kekurangan insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah menjadi tidak terkontrol, pada akhirnya menyebabkan hiperglikemia. Bilamana hal ini tidak ditangani dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi pada diabetes mengindikasikan pasien menjalani perawatan di rumah sakit untuk pengelolaan kadar glukosa darah. Kondisi seperti ini sering membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Relaksasi autogenik merupakan relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata atau kalimat pendek atau pikiran yang dapat membuat pikiran tentram. Relaksasi autogenik dapat mengalihkan respon tubuh kita secara sadar berdasarkan perintah dari diri sendiri, maka dapat membantu melawan efek stres yang berbahaya. Relaksasi autogenik diduga dapat mengontrol kadar glukosa darah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh relaksasi autogenik terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM Tipe 2. Desain penelitian ini kuasi eksperimen dengan pre and

post with control group, untuk masing-masing kelompok terdiri 31 orang sampel


(7)

Uji statistik yang digunakan Wilcoxon Sign Range Test dan Mann Whitney U. Hasil analisis menunjukkan ada pengaruh relaksasi autogenik terhadap penurunan kadar glukosa darah (p=0,001). Kesimpulan penelitian ini, ada pengaruh relaksasi autogenik terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan keperawatan untuk menjadikan relaksasi autogenik menjasi salah satu intervensi keperawatan mandiri dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien DM Tipe 2.


(8)

Thesis Title : The effects of Autogenic Relaxation on Blood Glucose level Patients with Diabetes Mellitus Type 2

Student’s Name : Martalina Limbong Studi Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Patients with type 2 diabetes relative insulin deficiency so that blood glucose regulation becomes screwed, eventually causing hyperglycemia. When it is left untreated can lead to complications. Complications in diabetic patients undergoing indicate hospitalization for management of blood glucose levels. Such conditions often make the patient stress and anxiety experiencing great that ultimately may increase blood glucose levels. Autogenic relaxation is the relaxation that comes from yourself form of words or short sentences or thoughts that can make the mind peaceful. Autogenic relaxation response can divert our bodies consciously by the command of yourself, it can help fight the harmful effects of stress. Autogenic relaxation could be expected to control blood glucose levels. The purpose of this study was to determine the effect of autogenic relaxation on blood glucose levels in patients with Type 2 Diabetes. Research design was quasi-experimental with pre and post with control group, for each sample group consisted of 31 people with consecutive sampling technique. Data


(9)

were analyzed using univariate and bivariate. The statistical test used the Wilcoxon Sign-Range Test and Mann Whitney U . Analysis showed there is effect of autogenic relaxation to decrease blood glucose levels (p = 0.001). The conclusion of study, there are significant autogenic relaxation to decrease blood glucose levels in patients with diabetes mellitus type 2. Results of this study can be input for nursing services to make the autogenic relaxation womanly one independent nursing interventions in providing nursing care to patients with DM Type 2


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “Pengaruh Relaksasi Autogenik Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2”.

Dalam penyelesaian penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itulah pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dr. Dedi Ardinata, M.Kes, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan pada Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara. Begitu juga kepada Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara, Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D, yang telah memberikan arahan dan tuntunannya selama proses perkuliahan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. dr. Ridha Darma Jaya, Sp.BS dan Yesi Ariani, S.Kp, Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan masukan, arahan dan motivasi selama proses persiapan, penelitian, dan penulisan tesis ini, begitu juga dengan Dr dan Ikhsanuddin A. Harahap, S.Kp., MNS, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran-saran untuk perbaikan tesis ini.


(11)

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, yang tidak dapat satu persatu penulis sebutkan, terima kasih atas bekal ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan selama ini. Teman-teman Angkatan II (kedua) Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara, yang saling memberikan dukungan moril, dan kerjasamanya, walaupun berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, namun tetap saling mendukung sehingga proses studi dapat terselesaikan dan membuat memori yang mendalam dan tak terlupakan antar sesama.

Secara khusus kepada Suami tercinta Pipin Sumantrie, S.Kp., M.Kep beserta anak-anak Franklin Jason Sitorus, dan Felicia Kathleen Sitorus, atas dukungan dan motivasinya hingga penyelesaian tesis ini. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin menyempurnakan tesis ini, namun jika terdapat ketidaksempurnaan, kiranya dapat menjadi telaah dan kajian bagi pemerhati berikutnya, akhirnya penulis berharap semoga penulisan tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bagi bidang keperawatan.

Medan, Agustus 2014 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Martalina Limbong

Tempat / tanggal lahir : Sei Lebah, 03 Maret 1980

Alamat : Komplek Perumahan Perguruan Tinggi Advent Surya Nusantara, Jl Rakutta Sembiring No 1, Pematangsiantar 21101

Email

No. Hp : 081360745065

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

Sekolah Dasar SD INPRES No. 17375825 Ginolat 1993

SLTP SLTP N 1 Sianjurmula-mula 1996

SMA SMA Advent Martoba, Pematangsiantar 1999

Sarjana Universitas Advent Indonesia Bandung 2003

Riwayat Pekerjaan :

2004 – 2005 Staf Perawat Rumah Sakit Advent, Medan 2005 – 2006 Instruktur Klinik Akper Surya Nusantara 2006 – Sekarang Dosen Tetap Yayasan Akper Surya Nusantara,


(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………..

ABSTRACT ………...

KATA PENGANTAR ……… RIWAYAT HIDUP………. DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN………... BAB 1.PENDAHULUAN………... 1.1. Latar Belakang ………. 1.2. Permasalahan ……….. 1.3. Tujuan Penelitian ……….

1.4. Hipotesis ………..

1.5. Manfaat Penelitian ………... BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA ………. 2.1. Glukosa Darah ………. 2.2. Diabetes Mellitus Tipe 2 ……….. 2.2.1. Definisi Diabetes Melitus ……… 2.2.2. Klasifikasi Diabetes Melitus ……… 2.2.3. Diabetes Melitus Tipe 2 ………... 2.2.4. Etiologi………. 2.2.5. Faktor Resiko Diabetes Melitus ………... 2.2.6. Patofisiologi ………. 2.2.7. Manifestasi Klinis ……… 2.2.8. Diagnosis Diabetes melitus ……….. 2.2.9. Penatalaksanaan ………... 2.2.10. Komplikasi ………... 2.2.11. Pemantauan Pengendalian Diabetes Melitus ……... 2.3. Stres dan Diabetes ……….... 2.4. Konsep Relaksasi Autogenik ………... 2.4.1. Definisi Relaksasi Autogenik ……….. 2.4.2. Kontraindikasi Relaksasi Autogenik ………... 2.4.3. Langkah-langkah Relaksasi Autogenik …………... 2.4.4. Relaksasi Sebagai Intervensi Keperawatan ………. 2.5. Landasan Teori ……….…………... 2.6. Kerangka Teori ……… 2.7. Kerangka Konsep ………. BAB 3.METODELOGI PENELITIAN ……….. 3.1. Jenis Penelitian ………...…………..

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………...…………

Halaman i iii v vii viii x xi xii 1 1 6 6 7 7 8 8 11 11 11 13 13 13 15 16 16 17 25 26 29 31 31 33 33 40 41 48 49 50 50 51


(14)

3.3. Populasi dan Sampel ……….………... 3.4. Metode Pengumpulan Data ……….. 3.5. Prosedur pengumpulan ……….… 3.6. Data Variabel dan Definisi Operasional …………...……... 3.7. Metode Analisa Data ………..…….. 3.8. Pertimbangan Etik ……… BAB 4. HASIL PENELITIAN………... 4.1. Analisis Univariat ……….

4.1.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Penyakit Penyerta dan Lama Menderita DM Tipe 2………. 4.1.2 Gambaran Glukosa Darah Sebelum dan Setelah

Intervensi………...

4.2 Analisis Bivariat ………...

4.2.1 Pengaruh Relaksasi Autogenik Terhadap Kadar Glukosa Darah ……….. 4.2.2 Perbedaan Selisih Mean Kadar Glukosa Darah…… 4.2.3 Hubungan Faktor Penganggu Dengan Kadar

Glukosa Darah Setelah Intervensi ………

BAB 5. PEMBAHASAN………. 5.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian ………. 5.2 Keterbatasan Penelitian ……… 5.3 Implikasi Penelitian ……….. BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 6.1. Kesimpulan ………... 6.2. Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA ………. LAMPIRAN………. 52 55 57 59 60 63 65 65 66 67 68 69 71 72 74 74 84 85 87 87 87 89 95


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) ……… 17 Tabel 2.2 Kriteria Pengendalian DM ……… 27 Tabel 2.3 Standar Relaksasi Autogenik ………... 36

Tabel 3.1 Definisi Operasional 60

Tabel 4.1 Hasil Analisis Umur, Jenis Kelamin Responden, Penyakit Penyerta dan Lamanya Menderita DM Tipe 2 Di RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar dan RSVI Pematangsiantar April-Juni 2014 (n1=n2=30) ……….. 66 Tabel 4.2 Hasil Analisis Kadar Glukosa Darah Responden Di RSUD.

Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar dan RSVI Pematangsiantar April-Juni 2014 (n1=n2=30) ……….. 67 Tabel 4.3 Hasil Analisis Perbedaan Rata-rata Kadar Glukosa Darah

Sebelum dan Setelah Intervensi DMT2 Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Di RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar dan RSVI Pematangsiantar,

April-Juni 2014 ……….. 69

Tabel 4.4 Hasil Uji Mann-Whitney U Terhadap Selisih Mean KGD Antara kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Di RSUD. Dr.Djasamen Saragih Pematangsiantar dan RSVI

Pematangsiantar, April-Juni 2014 (n1=n2=30) ……… 71 Tabel 4.5 Hasil Analisis Umur, Jenis Kelamin, Penyakit Penyerta dan

Lama Menderita DMT2 Terhadap Rata-rata Kadar Glukosa Darah Setelah Relaksasi Autogenik ……….. 73


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Kerangka Teori ………... 48 Gambar 2.2. Kerangka Konsep ………... 49 Gambar 3.1 Rancangan Penelitian ………... 51 Gambar 4.1 Profil Plots Penurunan Kadar Glukosa Darah Pada


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Instrumen Penelitian ……… 95

Penjelasan Penelitian ………... 96

. Lembar Persetujuan Responden ……….. 97

Data Responden ………... 98

Lembar Observasi Pelaksanaan Relaksasi Autogenik, Kepatuhan Diet, dan Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah ………... 99

Lembar Observasi Pelaksanaan Relaksasi Autogenik …. 100 Prosedur Tetap Pelaksanaan Pengukuran Kadar Glukosa Darah .………... 101

Buku Panduan Relaksasi Autogenik ………... 102

Petunjuk Pelaksanaan Penelitian ………. 110

Lampiran 2. Izin Penelitian ……….. 114

Surat ijin Dekan ………... 115

Surat Ethical Clearance………... 117

Surat Ijin Pengambilan Data ……… 118


(18)

Judul Tesis : Pengaruh Relaksasi Autogenik Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

Nama Mahasiswa : Martalina Limbong

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Pasien diabetes melitus tipe 2 relatif mengalami kekurangan insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah menjadi tidak terkontrol, pada akhirnya menyebabkan hiperglikemia. Bilamana hal ini tidak ditangani dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi pada diabetes mengindikasikan pasien menjalani perawatan di rumah sakit untuk pengelolaan kadar glukosa darah. Kondisi seperti ini sering membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Relaksasi autogenik merupakan relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata atau kalimat pendek atau pikiran yang dapat membuat pikiran tentram. Relaksasi autogenik dapat mengalihkan respon tubuh kita secara sadar berdasarkan perintah dari diri sendiri, maka dapat membantu melawan efek stres yang berbahaya. Relaksasi autogenik diduga dapat mengontrol kadar glukosa darah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh relaksasi autogenik terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM Tipe 2. Desain penelitian ini kuasi eksperimen dengan pre and

post with control group, untuk masing-masing kelompok terdiri 31 orang sampel


(19)

Uji statistik yang digunakan Wilcoxon Sign Range Test dan Mann Whitney U. Hasil analisis menunjukkan ada pengaruh relaksasi autogenik terhadap penurunan kadar glukosa darah (p=0,001). Kesimpulan penelitian ini, ada pengaruh relaksasi autogenik terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan keperawatan untuk menjadikan relaksasi autogenik menjasi salah satu intervensi keperawatan mandiri dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien DM Tipe 2.


(20)

Thesis Title : The effects of Autogenic Relaxation on Blood Glucose level Patients with Diabetes Mellitus Type 2

Student’s Name : Martalina Limbong Studi Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Patients with type 2 diabetes relative insulin deficiency so that blood glucose regulation becomes screwed, eventually causing hyperglycemia. When it is left untreated can lead to complications. Complications in diabetic patients undergoing indicate hospitalization for management of blood glucose levels. Such conditions often make the patient stress and anxiety experiencing great that ultimately may increase blood glucose levels. Autogenic relaxation is the relaxation that comes from yourself form of words or short sentences or thoughts that can make the mind peaceful. Autogenic relaxation response can divert our bodies consciously by the command of yourself, it can help fight the harmful effects of stress. Autogenic relaxation could be expected to control blood glucose levels. The purpose of this study was to determine the effect of autogenic relaxation on blood glucose levels in patients with Type 2 Diabetes. Research design was quasi-experimental with pre and post with control group, for each sample group consisted of 31 people with consecutive sampling technique. Data


(21)

were analyzed using univariate and bivariate. The statistical test used the Wilcoxon Sign-Range Test and Mann Whitney U . Analysis showed there is effect of autogenic relaxation to decrease blood glucose levels (p = 0.001). The conclusion of study, there are significant autogenic relaxation to decrease blood glucose levels in patients with diabetes mellitus type 2. Results of this study can be input for nursing services to make the autogenic relaxation womanly one independent nursing interventions in providing nursing care to patients with DM Type 2


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang paling sederhana yang diabsorbsi ke dalam cairan darah melalui sistem pencernaan. Konsentrasi glukosa darah sangat penting dipertahankan pada kadar yang cukup tinggi dan stabil sekitar 70-120 mg/dl untuk mempertahankan fungsi otak dan suplai jaringan secara optimal. Kadar glukosa darah juga perlu dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi mengingat glukosa juga berpengaruh terhadap tekanan osmotik cairan ekstraseluler (Ignatavicius & Walkman, 2006; Robbin, et al., 2007).

Pada keadaan normal glukosa darah di atur sedemikian oleh insulin, sehingga kadarnya selalu dalam batas normal, kadar glukosa darah selalu stabil sekitar 70 – 140 mg/dl. Pada keadaan Diabetes Melitus (DM) tubuh relatif kekurangan insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah jadi kacau. Walaupun kadar glukosa darah tinggi, glukoneogenesis di hati tidak dapat dihambat sehingga kadar glukosa darah dapat semakin meningkat (Waspadji, 2009).

Hiperglikemia adalah kondisi dimana kadar glukosa darah puasa lebih dari 126 mg/dl atau glukosa darah 2 jam setelah makan lebih dari 200 mg/dl (Soegondo, 2009). Hiperglikemia dapat menyebabkan dehidrasi seluler, keluarnya glukosa dalam urin yang menyebabkan diuresis osmotik oleh ginjal. Kondisi ini menyebabkan manifestasi poliuria (pengeluaran urin secara berlebihan), polidipsi


(23)

(minum berlebihan), dan polifagia yang disebabkan oleh kegagalan metabolisme glukosa oleh tubuh yang menyebabkan penurunan berat badan. Manifestasi ini merupakan gejala khas DM (Soegondo, Soewondo dan Subekti, 2009).

DMT2 adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai hiperglikemia akibat kerusakan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (American Diabetes Association (ADA), 2012; Smeltzer & Bare, 2008). DMT2 sering tidak terdiagnosis untuk bertahun-tahun karena hiperglikemia berkembang secara bertahap dan pada tahap awal sering tidak cukup bagi pasien untuk melihat salah satu gejala klasik diabetes. DMT2 sering tidak menunjukkan gejala yang khas pada awalnya, sehingga diagnosis baru dapat ditegakkan ketika pasien berobat untuk keluhan yang lain yang sebenarnya merupakan komplikasi dari DMT2 tersebut (Soegondo, et al., 2009).

Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2005 dalam Soegondo, et al., 2009) Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke 3 terbesar di dunia, sementara IDF pada tahun 2006 menyatakan angka prevalensi DM untuk Amerika Serikat 8,3% dan Cina 3,9% dan Indonesia berada diantaranya. Lebih lanjut penelitian Litbang Depkes (2008) menunjukkan bahwa prevalensi nasional adalah 5,7% meningkat 1,1% dari dari 4,6% tahun 2000 (Suyono, 2009 dalam Soegondo, et al., 2009) dan IDF (2009 dalam PERKENI, 2011) memprediksikan kenaikan jumlah penyandang DM dari 7.0 juta pada tahun 2009 menjadi 12.0 juta tahun 2030. Data terbaru hasil survey WHO (2011), Indonesia menduduki ranking ke 4 terbesar di dunia.


(24)

Untuk mencegah terjadinya komplikasi DM, maka diperlukan pengontrolan yang terapeutik dan teratur melalui perubahan gaya hidup pasien DMT2 yang tepat, tegas dan permanen, bila diabaikan komplikasi dapat menyerang seluruh anggota tubuh yang di akibatkan kadar gula darah yang tidak terkontrol. Pengontrolan kadar gula darah diantaranya adalah pembatasan diet, peningkatan aktivitas fisik, regimen pengobatan yang tepat, kontrol medis yang teratur, pengontrolan metabolik secara teratur melalui pemeriksaan kadar gula darah (Golie, et al, dalam Ronquillo, et al., 2003). Tindakan pengendalian untuk mencegah terjadinya komplikasi sangatlah diperlukan khususnya menjaga tingkat gula darah sedekat mungkin dengan normal. DM jika tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan komplikasi akut dan kronik (Soegondo, et al., 2009).

Komplikasi kronik pasien DMT2 seperti retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuro diabetik yang mengindikasikan pasien harus menjalani perawatan di rumah sakit untuk pengelolaan kadar gula darah dan keluhan keluhan lain yang ditimbulkan oleh penyakit yang menyertainya. Kondisi seperti ini sering membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar glukosa darah (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2008; ADA, 2012).

Selama kurun waktu dua dekade terakhir ini asuhan keperawatan pada pasien DMT2 dilakukan dalam konteks kolaborasi farmakologi (Smeltzer & Bare, 2008), padahal perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan secara mandiri dalam konteks nonfarmakologi (Dochterman & Bulecheck, 2004). Pengelolaan DM yang disepakati oleh para ahli


(25)

diabetes di Indonesia yang terdiri atas 4 pilar utama pengelolaan DM, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis (Perkeni, 2006). Pengelolaan DM melalui edukasi yaitu relaksasi autogenik dikembangkan melalui melatih individu untuk menguasai munculnya emosi sehingga individu mampu melakukan perubahan dalam dirinya sendiri (Saunders, 2007).

Terapi relaksasi ini ada bermacam-macam diantaranya adalah PMR, Benson, nafas dalam, relaksasi autogenik dimana semua jenis relaksasi ini sudah di uji coba melalui berbagai penelitian (Moyad & Hawks, 2009). Tehnik relaksasi dengan gerakan dan instruksi yang lebih sederhana daripada tehnik relaksasi lainnya, dapat dilakukan dengan posisi berbaring, duduk dikursi dan duduk bersandar yang memungkinkan klien dapat melakukannya dimana saja tanpa menyita banyak waktu adalah relaksasi autogenik dimana (Greenberg, 2002).

Penelitian tentang relaksasi autogenik dilakukan dalam menguji efektifitas dalam upaya menurunkan kecemasan dalam masalah tidur dan relaksasi autogenik dalam penurunan kecemasan pada mahasiswa keperawatan (Kanjia, et al., 2006; Bowden, et al., 2012), menurunkan nyeri (Ishinova, et al., 2009; Prato & Yucha, 2012;). Di Indonesia juga telah dilakukan penelitian relaksasi autogenik. Prayitno (2008) menyatakan bahwa relaksasi autogenik dapat menurunkan nyeri pada penderita ulkus peptikum, selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Setyawati, (2010) dimana relaksasi autogenik dapat menurunkan kadar glukosa darah dan tekanan darah pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi.

Relaksasi autogenik merupakan relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata atau kalimat pendek atau pikiran yang dapat membuat pikiran


(26)

tentram. Relaksasi autogenik dapat mengalihkan respon tubuh kita secara sadar berdasarkan perintah dari diri sendiri, maka dapat membantu melawan efek stres yang berbahaya (Greenberg, 2002). Relaksasi autogenik diduga sesuai diterapkan pada penyakit endokrin, mengingat fungsi tubuh yang paling berhubungan dengan stres adalah sistem endokrin. Agardh, et al., (2003) membuktikan dalam penelitian epidemiologinya adanya hubungan antara stres dengan DMT2.

Relaksasi merupakan bentuk mind body intervention dalam terapi komplementer dan alternative (CAM) dalam setting keperawatan (kozier et al, 2004). Penggunaan terapi komplementer ini semakin meningkat beberapa dekade terakhir ini, bahkan terapi CAM ini sudah merupakan bagian dari keperawatan sejak periode Florence Nightingale seperti dalam bukunya Notes on Nursing tahun 1859. Relaksasi diduga bekerja dengan pengaturan hormon kortisol dan hormon stres lainnya. Hal ini diperkuat oleh penelitian DiNardo (2009) efek meditasi pada penurunan kadar gula darah. Relaksasi autogenik sendiri merupakan penelitian yang dianjurkan untuk diteliti selanjutnya.

Mengingat keuntungan dan manfaat relaksasi autogenik, maka peneliti tertarik untuk mengindetifikasi pengaruh relaksasi autogenik terhadap kadar gula darah pada klien DMT2 di Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Djasamen Saragih Pematangsiantar dan Rumah Sakit Vita Insani. Pematangsiantar.

1.2. Permasalahan

DMT2 menjadi masalah kesehatan yang serius, baik dinegara maju maupun di negara berkembang karena insidensinya terus meningkat (Soegondo, et


(27)

al., 2009). DM merupakan penyakit kronis yang dapat menyebabkan komplikasi pada berbagai sistem tubuh, dan tidak dapat disembuhkan melainkan pengontrolan kadar gula darahnya, sehingga kadar gula darah menjadi fokus perhatian intervensi kesehatan (Inzucchi, et al., 2005).

Dalam mengelola DM langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis, berupa edukasi, terapi gizi medis dan latihan jasmani. Relaksasi sebagai terapi non farmakologis juga merupakan salah satu bentuk latihan pasif,. Tehnik relaksasi autogenik terdiri dari enam standar dengan gerakan dan instruksi sederhana dengan waktu yang efisien dibandingkan dengan relaksasi lainnya (Kanji, et al., 2006).

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah relaksasi autogenik berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah (KGD) pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Djasamen Saragih Pematangsiantar dan Rumah Sakit Vita Insani (RSVI) Pematangsiantar.

1.3Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum

1.2.2. Tujuan umum penelitian ini adalah mengindentifikasi pengaruh relaksasi autogenik terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DMT2. 1.2.3. Tujuan Khusus


(28)

1. Mengidentifikasi perbedaan mean KGD pasien DMT2 sebelum dan setelah relaksasi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

2. Menganalisa perbedaan selisih mean KGD pada kelompok kontrol dan intervensi

3. Mengidentifikasi pengaruh faktor pengganggu terhadap kadar glukosa darah setelah relaksasi autogenik

1.4 Hipotesis Penelitian

Adapun yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh relaksasi autogenik terhadap kadar gula darah pada pasien DMT2 di Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar dan Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Bagi pelayanan keperawatan

Memberikan masukan bagi pihak pelayanan kesehatan untuk menggunakan relaksasi autogenik sebagai salah satu terapi komplementer dalam

menurunkan kadar glukosa darah pasien DMT2. 2. Bagi pendidikan dan perkembangan ilmu keperawatan

Memperkuat dukungan teoritis penggunaan relaksasi autogenik dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DMT2.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini peneliti akan menguraikan konsep teori yang mendukung penelitian meliputi: glukosa darah, DMT2, stres dan diabetes, relaksasi autogenik, landasan teori dan kerangka konsep

2.1. Glukosa Darah

Glukosa darah merupakan bentuk karbohidrat yang paling sederhana diabsorbsi ke dalam cairan darah melalui pencernaan. Kadar glukosa darah (KGD) ini akan meningkat setelah makan dan biasanya akan turun pada level yang paling rendah pada pagi hari sebelum orang makan. Kadar glukosa darah diatur melalui umpan balik negatif untuk mempertahankan keseimbangan di dalam tubuh (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2008). Kadar glukosa dalam darah dimonitor oleh pankreas, bila konsentrasi glukosa menurun karena dikonsumsi untuk memenuhi energi tubuh, pankreas melepaskan glukagon, organ yang menargetkan sel-sel dihati. Kemudian sel ini merubah glikogen menjadi glukosa. Glukosa dilepaskan ke dalam aliran darah, hingga meningkatkan kadar gula darah (Ignatavicius & Walkman, 2006).

Pada keadaan normal glukosa darah di atur sedemikian oleh insulin, sehingga kadarnya selalu dalam batas normal, KGD normal sekitar 70-140 mg/dl. Pada keadaan DM tubuh relatif kekurangan insulin sehingga pengaturan KGD jadi kacau. Walaupun KGD tinggi, glukoneogenesis di hati tidak dapat dihambat sehingga menyebabkan nilai KGD semakin meningkat (Waspadji, 2009, dalam Soegondo, et al., 2009).


(30)

Hiperglikemia adalah kondisi dimana KGD puasa lebih dari 126mg/dl dan KGD 2 jam setelah makan lebih dari 200 mg/dl. Hiperglikemia terjadi karena adanya gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin) dan rendahnya respon tubuh terhadap insulin atau resistensi insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Hiperglikemia dapat menyebabkan dehidrasi seluler akibat keluarnya glukosa dalam urin yang menyebabkan diuresis osmotik oleh ginjal. Akibatnya terjadilah gejala-gejala DM, yaitu poliuria, polidipsia, berat badan menurun dan kecenderungan makan berlebihan (Waspadji, 2009 dalam Soegondo, et al., 2009).

2.1.1 Glukosa darah pada diabetes melitus tipe 2

Di dalam darah, kadar glukosa darah selalu fluktuatif bergantung pada asupan makanan. Kadar paling tinggi tercapai pada satu jam setelah makan. Satu jam setelah makan, glukosa di dalam darah akan mencapai kadar paling tinggi, normalnya tidak melebihi 180 mg per 100 cc darah (180 mg/dl). Kadar 180 mg/dl disebut ambang ginjal dimana ginjal bisa menahan gula pada kadar tersebut. Lebih dari angka tersebut ginjal tidak dapat menahan gula dan kelebihan gula akan keluar bersama urin. Pada diabetes terdapat masalah dengan efek kerja insulin dalam hal ini pemasukan gula ke dalam sel tidak sempurna sehingga gula darah tetap tinggi. Hal ini dapat meracuni dan menyebabkan rasa lemah dan tidak sehat serta menyebabkan komplikasi dan gangguan metabolisme yang lain. Apabila tidak bisa mendapatkan energi yang cukup dari gula, tubuh akan mengolah zat-zat lain di dalam tubuh untuk diubah menjadi energi. Zat-zat itu adalah lemak dan protein. Penggunaan atau penghancuran lemak dan protein menyebabkan turunnya berat badan (Kariadi, 2009).


(31)

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah

Ada beberapa hal yang menyebabkan glukosa darah naik, yaitu kurang berolah raga, bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi, meningkatnya stres dan faktor emosi, pertambahan berat badan dan usia, serta dampak perawatan dari obat, misalnya steroid (Fox & Kilvert, 2010).

1) Olah raga secara teratur dapat mengurangi resistensi insulin sehingga insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel-sel tubuh. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas fisik (sekitar 30 menit/hari) dapat mengurangi resiko diabetes. Olah raga juga dapat digunakan sebagai usaha untuk membakar lemak dalam tubuh sehingga dapat mengurangi berat badan bagi orang obesitas.

2) Asupan makanan terutama melalui makanan berenergi tinggi atau kaya karbohidrat dan serat yang rendah dapat mengganggu stimulasi sel-sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Asupan lemak di dalam tubuh juga perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap kepekaan insulin. 3) Interaksi antara pituitary, adrenal gland, pancreas dan liver sering

terganggu akibat stres dan penggunaan obat-obatan. Gangguan organ-organ tersebut mempengaruhi metabolism ACTH (hormon dari pituitary), kortisol, glucocorticoids (hormon adrenal gland), glucagon merangsang glukoneogenesis di liver yang akhirnya meningkatkan kadar gula dalam darah (Mahendra, Krisnatuti, Tobing, & Alting, 2008).

4) Semakin bertambah usia perubahan fisik dan penurunan fungsi tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi. Berbagai penelitian


(32)

menunjukkan bahwa masalah gizi pada usia lanjut sebagian besar merupakan masalah gizi berlebih dan kegemukanyang memicu timbulnya penyakit degenerative (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, 2008).

2.2. Diabetes Melitus 2.2.1. Definisi

Diabetes melitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang dikarakteristikkan oleh tingginya KGD (hiperglikemia) karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Smeltzer & Bare, 2008; Levitt, 2008). 2.2.2. Klasifikasi DM

Klasifikasi DM dapat dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan lamanya mendapat terapi. Secara garis besar DM dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Tipe 1, yaitu DM tergantung insulin

DM Tipe 1 (DMT1) adalah diabetes melitus yang tergantung insulin untuk mengatur metabolisme glukosa dalam darah. Tipe ini terjadi 5%-10% dari keseluruhan penderita DM. Pada DMT1 terjadi kerusakan sel beta dalam menghasilkan insulin karena proses autoimun, sebagai akibatnya pasien kekurangan insulin bahkan tidak ada insulin, sehingga memerlukan insulin supaya glukosa darah dalam batas terkontrol (Smeltzer & Bare, 2008; Sustrani, et al., 2010).


(33)

2) Tipe 2, yaitu tidak tergantung insulin

DMT2 merupakan jenis penyakit diabetes melitus dimana individu mengalami sensitivitas terhadap insulin atau lebih dikenal dengan resistensi insulin dan kegagalan fungsi sel beta sehingga mengakibatkan penurunan produksi sel beta. Tipe ini mengenai sekitar 90%-95% dari keseluruhan penderita DM. Pada awalnya diatasi dengan diet dan latihan. Jika peningkatan glukosa darah tetap terjadi, maka dilengkapi dengan obat hiperglikemia oral (OHO). Pada sebagian penyandang DMT2, obat oral tidak mengendalikan kondisi hiperglikemia, sehingga diperlukan penyuntikan insulin. DMT2 sering ditemukan pada usia lebih dari 30 tahun atau obesitas (Smeltzer & Bare, 2008; Soegondo, et al., 2009).

3) DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya

Beberapa DM tipe lain seperti defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insuslin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi dan sindrom genetik. Risiko berkembangnya jenis diabetes ini seiring dengan meningkat usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Terjadi sebanyak 1% - 2% dari semua penderita DM, dimana jenis ini sering ditemukan didaerah tropis dan negara berkembang (Soegondo, 2009; Black & Hawks, 2006).

4) DM gestasional

DM gestasional adalah terjadi intoleransi tingkat glukosa darah pada masa kehamilan. Hiperglikemia terjadi karena sekresi hormon placenta sehingga menyebabkan resistensi insulin. Diabetes gestasional terjadi pada 14 % dari


(34)

semua wanita hamil dan meningkat resikonya pada mereka yang mengalami hipertensi pada masa kehamilan. DM tipe ini meliputi 2% hingga 5% dari keseluruhan DM (ADA, 2010; Soegondo, et al., 2009).

2.2.3. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 ditandai oleh beberapa gangguan metabolik seperti adanya gangguan sekresi insulin, resistensi insulin dan adanya pelepasan glukosa hati yang berlebihan (Ilyas, 2009).

2.2.4. Etiologi

DMT2 dapat disebabkan oleh faktor genetik, resistensi insulin, dan faktor lainnya. Selain itu ada faktor-faktor yang mencetuskan diabetes yaitu obesitas, kurang bergerak/olahraga, makan berlebihan dan penyakit hormonal yang kerjanya berlawanan dengan insulin (ADA, 2010; Suyono & Subekti, 2009).

2.2.5. Faktor Resiko Diabetes Melitus

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah dan terjadinya DMT2, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, faktor keturunan, faktor demografi dan faktor kegemukan (Dunning, 2003; Suyono, 2009 dalam Soegondo, et al., 2009; Sustrani, et al., 2010).

1) Usia

Resiko terjadinya diabetes juga dipengaruhi peningkatan usia (proses menua), biasanya terjadi diatas usia 30 tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun serta akan terus meningkat pada usia lanjut (Levitt,


(35)

2008; Sustrani, et al., 2010). Sekitar 6% individu berusia 40-64 tahun dan 11% individu berusia diatas 65 tahun (Ignatavicius & Walkman, 2006). 2) Penyakit penyerta

Penyandang DM mempunyai resiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah 2 kali lebih besar, 5 kali lebih mudah menderita ulkus/gangren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal, dan 25 kali mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina daripada non DM. Kalau sudah terjadi penyulit, usaha untuk menyembuhkan keadaan tersebut ke arah normal sangat sulit, kerusakan yang sudah terjadi umumnya akan menetap. Oleh karena itu usaha pencegahan dini untuk penyulit tersebut diperlukan dan diharapkan akan sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan (Waspadji, 2009 dalam Soegondo, et al., 2009).

3) Lama menderita

Lamanya pasien menderita DM dikaitkan dengan komplikasi kronik yang menyertainya, semakin lama pasien menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya komplikasi kronik. Atas dasar hipotesis ini lah Kelly West lebih menganggap kelainan vaskuler sebagai manifestasi patologis DM dari pada sebagai penyulit, karena erat hubungannya dengan KGD normal. Sedangkan untuk mudahnya terjadi infeksi seperti tuberkulosis atau ganggren diabetik lebih sebagai komplikasi (Waspadji, 2009 dalam Soegondo, et al., 2009).


(36)

4) Faktor keturunan/genetik

DM dapat diturunkan dari keluarga sebelumnya yang juga menderita DM, karena kelainan gen menyebabkan tubuhnya tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Tetapi resiko terjadinya DM juga tergantung pada kelebihan berat badan, kurang gerak dan stres (Levitt, 2008; Sustrani, et al., 2010).

2.2.6. Patofisiologi

Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin, didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau dalam peta, sehingga disebut pulau-pulau langerhans pankreas. Pulau-pulau ini berisi sel alpa yang menghasilkan hormon glukagon dan sel beta yang menghasilkan insulin. Kedua hormon ini bekerja berlawanan, glukagon meningkatkan glukosa darah sedangkan insulin bekerja menurunkan kadar glukosa darah (Price & Wilson, 2006; Subekti & Suyono, 2009).

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, kemudian di dalam sel glukosa ini dimetabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada (DM tipe 1) atau bila insulin itu kerjanya tidak baik seperti dalam keadaan resistensi insulin (DMT2), maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel akibatnya glukosa akan tetap berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadar glukosa dalam darah meningkat (Suyono, 2009 dalam Soegondo, et al., 2009).

Pada awalnya, resistensi insulin belum menyebabkan diabetes klinis. Sel Beta pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia,


(37)

dengan tujuan normalitas KGD. Mekanisme kompensasi yang terus menerus menyebabkan kelelahan sel beta pankreas (exhaustion), kondisi ini disebut dekompensasi dimana produksi insulin menurun secara absolut. Resistensi dan penurunan produksi insulin menyebabkan peningkatan KGD. Kondisi ini memenuhi kriteria diagnostik DM (Manaf, 2006; Waspadji, 2009).

2.2.7. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis DMT2 berhubungan dengan defisiensi relatif insulin. Akibat defisiensi insulin ini pasien tidak dapat mempertahankan KGD normal. Apabila hiperglikemia melebihi ambang ginjal (180mg/dl), maka timbul tanda dan gejala glukosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik. Akibat diuresis osmotik akan meningkatkan pengeluaran urin (poliuri), timbul rasa haus yang menyebabkan banyak minum (polidipsi). Pasien juga banyak makan (polifagi) akibat katabolisme yang dicetuskan oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein serta lemak. Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif, akibatnya berat badan menurun. Pasien juga mengalami gejala lain seperti keletihan, kelemahan, tiba-tiba terjadi perubahan pandangan, kebas pada tangan atau kaki, kulit kering, luka yang sulit sembuh, dan sering muncul infeksi (Price & Wilson, 2006; Schteingart, 2006; Smeltzer & Bare, 2008).

2.2.8. Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat


(38)

dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas pemeriksaan glukosa darah sewaktu

≥ 200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat satu kali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl (PERKENI, 2006). (lihat tabel 2.1)

Tabel 2.1

Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum Pasti DM DM Kadar glukosa darah

sewaktu (mg/dL)

Plasma vena < 100 100 – 199 > 200 Darah kapiler < 90 90 – 199 > 200 Kadar glukosa darah

puasa (mg/dL)

Plasma vena < 100 100 – 125 > 126 Darah kapiler < 90 90 – 99 > 100 Sumber: PERKENI, 2006.

Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Catatan :

2.2.8. Penatalaksanaan

Dalam mengelola DM langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis, berupa perencanaan makanan dan kegiatan


(39)

jasmani. Bilamana dengan langkah-langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes yanag ditentukan belum tercapai, dilanjutkan dengan penggunaan obat/pengelolaan farmakologis. Pengelolaan DM terdiri atas empat pilar utama mencakup : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan terapi farmakologis (PERKENI, 2006; Waspadji, 2009; Subekti, 2009; Batubara, 2009). Pada dasarnya manajemen ini dilakukan dengan dua pendekatan yaitu terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.

1. Program edukasi

DMT2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan baik. Pemberdayaan penyandang DM memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi (PERKENI, 2006). Edukasi DM adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan ketrampilan bagi pasien DM guna menunjang perubahan perilaku, meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya, sehingga tercapainya kesehatan yang optimal, penyesuaian keadaan psikologis dan peningkatan kualitas hidup (Soegondo, et al., 2009).

2. Perencanaan makanan

Penekanan perencanaan makan pada pasien DMT2 adalah untuk mengendalikan glukosa, lipid, dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diet hipokalori pada pasien gemuk akan memperbaiki kadar glikemik jangka pendek dan berpotensi meningkatkan kontrol metabolik jangka panjang.


(40)

Sukardji (2009) dalam Soegondo, et al., (2009) mengatakan penurunan berat badan ringan atau sedang, (5-10kg), dapat meningkatkan kontrol diabetes, walaupun berat badan idaman tidak dicapai. Penurunan berat badan dapat dicapai dengan penurunan asupan energi yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi gizi seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut : karbohirat (45%-60%), protein (10%-20%, dan lemak (20%-25%). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman (Sukardji & Waspadji, (2009) dalam Soegondo, et al., 2009).

Untuk menentukan kebutuhan kalori pada pasien, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan. Pertama: Penetuan status gizi berdasarkan rumus Broca (Berat Badan Idaman/BBI), BBI=(TB cm – 100) – 10 % . Kecuali untuk laki-laki < 160 cm dan perempuan <150 cm tidak dikurangi 10%. Kedua : BB Idaman yg didapat dikalikan kebutuhan kalori basal (30 Kkal/Kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/Kg BB untuk wanita. Penambahan kalori 10%-30% aktivitas, bila gemuk dikurangi 20-30%, bila kurus ditambah 20-30%. Ketiga: Selanjutnya adalah sejumlah kalori terhitung makanan dibagi dalam tiga porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) (Sukardji & Waspadji, (2009); PERKENI, 2006).


(41)

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) yang sifatnya CRIPE (continuous,

rhythmical, interval, progresive, endurance training). Latihan jasmani selain

untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani dianjurkan berupa latihan bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006; Waspadji, 2009). Hasil dari program pencegahan diabetes menunjukkan bahwa individu yang berisiko untuk mengembangkan diabetes dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes dengan mengubah perilaku yang terkait dengan perencanaan makan dan aktivitas fisik (Fain, 2009).

4. Pengelolaan farmakalogis

Sarana pengelolaan farmakologis diabetes menurut PERKENI (2006) berupa: 1). Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan: 1). Pemicu sekresi insulin yaitu sulfonilurea dan glinid, 2). Penambah sensitivitas terhadap insulin yaitu metformin,tiazolidindion, 3). Penghambat glukoneogenesis (metformin), 4). Penghambat absorpsi glukosa.


(42)

1) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan kerja panjang.

2) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

3) Tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada

Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu

reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Pada pasien yangmenggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauanfaal hati secara berkala.


(43)

4) Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.

5) Penghambat glukosidase alfa (acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

2). Insulin

Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DMT2 kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan KGD. Untuk pasien yang tidak dapat dikendalikan KGDnya kombinasi sulfonilurea dan metformin, langkah berikutnya yang diberikan adalah insulin. Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis yaitu: insulin kerja cepat

(rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin

kerja menengah (intermediate actinginsulin), insulin kerja panjang (long

acting insulin)

2.2.9. Komplikasi

Menurut Price dan Wilson (2006), komplikasi penyakit DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu komplikasi yang terjadi secara akut (komplikasi metabolik akut) dan komplikasi yang terjadi secara kronis (komplikasi vaskuler


(44)

jangka panjang). Sedangkan komplikasi seperti halnya hipoglikemia dan hiperglikemia merupakan keadaan gawat darurat yang pada akhirnya dapat menimbulkan koma hipoglikemia dan hiperglikemia ketoasidosis atau non ketoasidosis (Black & Hawks, 2005; Boedisantoso dan Subekti, 2009).

1). Komplikasi akut DM a. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang. Tanda hipoglikemia mulai muncul bila glukosa darah kurang dari 50mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia dapat juga muncul pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda-tanda hipoglikemia menurut Boedisantoso (2009) dapat berupa:

1. Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun.

2. Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara,kesulitan menghitung sederhana.

3. Stadium simpatik : keringat dingin pada wajah terutama di hidung, bibir atau tangan, berdebar-debar.

4. Stadium gangguan otak : koma (tidak sadar) dengan atau tanpa kejang. Penyebab dari hipoglikemia adalah terlau sedikit makan dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan, sembuh dari sakit, makan obat yang mempunyai sifat serupa, dan pemberian suntikan yang tidak tepat. Pada keadaan apapun pengobatan terbaik adalah pencegahan, oleh karena itu hipoglikemia dapat dapat


(45)

dicegah dengan memastikan ketepatan dosis insulin, jangan menyuntik terlalu dalam, dan kurangi dosis insulin bila didapati terjadi perubahan (makan kurang dari kebutuhan kalori, kurang olah raga, selesai operasi, dan selesai melahirkan).

b. Diabetes ketoasidosis

Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolism karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinis yang penting pada diabetes ketoasidosis yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asodosis. Pasien diabetes ketoasidosis dapat kehilangan hingga 6,5 liter air dan 400-500 mEq natrium, kalium dan klorida dalam periode waktu 24 jam. Komplikasi ini dapat dicegah dengan menganjarkan kepada klien untuk tidak mengurangi dosis insulin ketika terjadi mual dan muntah. Pada subkelompok ketoasidosis diabetes (KAD) terdapat hiperglikemia berat dengan ketosis atau asidosis. Ketoasidosis merupakan komplikasi yang serius pada kasus DM (Boedisantoso, 2009).

Apabila kadar insulin menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asotoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton meningkatkan beban ion hydrogen dan asidosis metabolik. Glikosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat menyebabkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien menjadi hipotensi dan


(46)

mengalami syok yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan perfusi jaringan ke otak sehingga menjadi koma (Price & Wilson 2006; Schteingart, 2006).

c. Hiperglikemik non-etotik (HNK)

HNK ditandai dengan hiperglikemia berat non ketotik atau ketotik dan asidosis ringan. Pada keadaan lanjut dapat mengalami koma. Koma hiperosmolar hiperglikemia non ketotik ialah suatu sindrom yang ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis disertai menurunnya kesadaran. (Boedisantoso, 2009).

2). Komplikasi kronik DM

Komplikasi kronik DM pada dasarnya terjadi pada seluruh tubuh (angiopati diabetik). Angiopati diabetik dibagi 2 yaitu : makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler), walaupun tidak berarti bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak terjadi sekaligus (Waspadji, 2009). Sedangkan menurut PERKENI, 2006, komplikasi DM terdiri atas makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati.

1. Komplikasi mikrovaskuler

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriol retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot dan kulit (Waspadji, 2009). Retinopati diabetik disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh darah kecil retina (Schteingart, 2006).


(47)

2. Komplikasi makrovaskuler

Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran hispatologis berupa arterosklerosis yang disebabkan karena penimbunan sorbitol dalam intima vaskuler (Waspadji, 2009), apabila mengenai arteri perifer dapat mengakibatkan insufisiensi vaskuler perifer disertai klaudikasio intermitten dan gangguan ekstrimitas seperti luka yang sulit disembuhkan. Bila mengenai arteri koronaria dan aorta menyebabkan angina infark miokard (Price & Wilson, 2006; Smelzer & Bare, 2008).

3. Neuropati

Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan adalah kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram. Dilakukan sedikitnya setiap tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi.

3. Pemantauan Pengendalian DM

Pemantauan pengendalian DM dapat dilakukan berdasarkan kriteria pengendalian yang ingin dicapai (lihat tabel 2.2).


(48)

Tabel 2.2

Kriteria Pengendalian DM

No Baik Sedang Buruk

1. Glukosa darah puasa (mg/dl) 80-109 110-125 > 125 2. Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 110-144 145-179 > 180

3. A1C (%) < 6.5 6.5-8 > 8

4. Kolesterol total (mg/dl) < 200 200-239 > 240 5. Kolesterol LDL (mg/dl) < 100 100-129 > 130 6. Kolesterol HDL (mg/dl) > 45

7. Trigliserida (mg/dl) < 150 150-199 >200

8. IMT (kg/m20 18.5-22.9 23-25 > 25

9. Tekanan darah (mgHg) < 130/80 130-140/80-90 > 140/90 Sumber : PERKENI(2006)

a) Pemeriksaan kadar glukosa darah

Pemeriksaan KGD hingga kini masih direkomendasikan, yang dapat dilakukan dilaboratorium dengan metode oksidasi glukosa atau o-toluidin ini memberikan hasil yang lebih akurat. Sering kali pemeriksaan darah dilakukan dengan uji strip, dengan metode enzimatik. Pemeriksaan dengan cara ini dapat lebih cepat, mudah dan cukup akurat walaupun relatif agak mahal dibandingkan dengan cara kimia basah. Bila cara tersebut dilakukan secara benar melalui prosedur yang baku maka hasilnya cukup baik untuk evaluasi pengobatan. Dengan uji strip menggunakan glukometer maupun secara kasat mata, memungkinkan pasien melakukan pemeriksaan mandiri dirumah. b) Pemeriksaan kadar glukosa urine

Dahulu pemeriksaan glukosa dan keton urine adalah satu-satunya cara bagi pasien DM untuk mengetahui status glikemia. Pengukuran kadar glukosa urine menggambarkan kadar glukosa darah secara tidak langsung dan bergantung pada batas ambang ransang ginjal yang bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan glukosa urine tidak memberikan informasi


(49)

tentang kadar glukosa darah dibawah batas kemampuan tersebut, sehingga tak dapat membedakan normoglikemia dan hipoglikemia

c) Pemeriksaan hiperglikemia kronik

Hasil pemeriksaan A1C merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe penyandang DM. Nilai A1C juga merupakan prediktor terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi diabetes. Pemeriksaan ini bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan kendali glikemik yang ketat seperti pasien diabetes hamil. Kendala pemeriksaan A1C ini ialah relatif mahal dan harus dilakukan dilaboratorium. Pada DMT2 dianjurkan pemeriksaan HbA1C dua kali setahun.

d) Pemeriksaan keton urine

Pemeriksaan ini dilakukan pada semua penyandang DM yang sedang menderita penyakit akut, stres, hiperglikemia persisten (glukosa plasma 300 mg/dl), atau gejala yang berhubungan dengan KAD seperti mual, muntah atau nyeri perut. Pemeriksaan keton urine pada DMT2. Dalam keadaan normal, kadar keton dalam urine adalah dibawah ambang deteksi alat pengukur.

e) Pemantauan kadar glukosa sendiri

Tujuan pemeriksaan glukosa darah adalah untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai, untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. ADA (2010) dalam Soewondo mengindikasikan PKDS pada kondisi-kondisi berikut:


(50)

2. Mencegah dan mendeteksi hipoglikemia 3. Mencegah hiperglikemia berat

4. Menyesuaikan dengan perubahan gaya hidup

5. Menentukan kebutuhan untuk memulai terapi insulin.

2.3. Stres dan Diabetes Melitus Tipe 2

Stres merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia (Selye, 1976 dalam Potter and Perry, 2009). Monat, Lazarus & Reevy (2007) dalam Potter & Perry (2009) menyatakan bahwa stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan penyakit karena peningkatan hormon yang mengubah proses dalam tubuh. Ahli psikoneuroimunologi juga menunjukkan bahwa stres dan keadaan emosional seorang individu memainkan peranan penting dalam menimbulkan kerentanan terhadap suatu penyakit (Daruna, 2004 dalam Lorenst), dimana stres memodulasi kegiatan sistem tubuh untuk mempertahankan kesehatan. Hal ini menunjukkan adanya koneksi antara pikiran dan tubuh melalui interaksi sistem endokrin, saraf, dan sistem kekebalan tubuh, sehingga penyakit juga dapat menjadi bentuk stres terhadap fisik dan psikologis (Song & Leonard, 2000 dalam Lorentz).

Stresor pertama kali diterima oleh panca indera dan diteruskan ke sistem limbik yang merupakan pusat emosi dan regulasi stres di sistem saraf pusat. Ketikan terjadi rangsangan yang sama,sistem saraf simpatik akan memproduksi neuroepineprin, yaitu sebuah neurotransmitter yang memperkuat memori stres dan mengaktifkan respon stres, Bloom & Lazerson, 2000). Hal ini menjelaskan bagaimana pikiran dan emosi mengalami perubahan fungsi fisiologis.


(51)

Pikiran dan tubuh dapat berkomunikasi satu sama lain dengan adanya interaksi antara sistem saraf, sistem endokrin, dan sistem kekebalan tubuh melalui dua jalur fisiologi yaitu simpatik-adrenal-medular (SAM) dan

hipitalamus-hipofisis-adrenal (HPA) (Freeman & Lawliw, 2001 dalam Lorentz). Jalur SAM

diawali dengan produksi neurotransmitter berupa asetilkolin dari serat praganglion simpatis dan parasimpatis, sedangkan ujung saraf pascaganglion simpatis melepaskan norepineprin. Selain disintesis dibatang otak, norepineprin juga disintesis di medula adrenal yang menghasilkan hormon katekolamin terutama epineprin dan norepineprin. Epineprin bekerja di otot polos arteriol dan pankreas menghambat produksi insulin dan meningkatkan glukagon.

Jalur kedua adalah HPA yang memberi sinyal terhadap sistem endokrin untuk melepaskan hormon (tiroid dan adrenal) yang memiliki efek langsung pada sistem kekebalan tubuh. Di awali dengan produksi corticotrophin releasing

hormone (CRH) yang akan merangsang hipofise anterior untuk melepaskan

adeno-corticotropin hormone (ACTH) yang akan merangsang kelenjar korteks

adrenal untuk melepaskan hormon glukokortikoid/kortisol. Kortisol ini merupakan produk akhir dari HPA yang sebagai efek anti inflamasi dan imunosupresi, disamping itu kortisol juga memiliki efek metabolik berupa menghambat penyerapan dan penggunaan glukosa oleh banyak jaringan ( kecuali otak ), merangsang penguraian protein untuk membantu glukoneogenesis, dan lipolisis sebagai pengganti glukosa, sehingga glukosa dapat digunakan oleh otak. Stres kronis dan berulang dapat menyebabkan disregulasi sumbu HPA dan


(52)

hipertrofi kelenjar adrenal, sehingga mengubah sekresi kortisol yang mempengaruhi fungsi organ seperti hiperkortisolism dan hipokortisolism.

Stres memberikan stimulus pada SAM dan HPA untuk merangsang produksi hormon epineprin dan kortisol dari kelenjar adrenal (Guilliams & Edwards, 2010). Efek dari peningkatan hormon kortisol dan epineprin adalah terjadi peningkatan glukosa dalam darah (Dilman, 1989 dalam Lorentz, 2006). Kedua hormon ini meningkatkan kadar glukosa darah karena berpengaruh secara biokimia terhadap sistem endokrin, saraf, dan imunitas (Sherwood, 2011). Selanjutnya menurut Freeman & Lawlis, (2001), kortisol dan epineprin yang dilepaskan dalam jumlah yang lebih tinggi ketika seseorang berada dalam dibawah tekan, dapat menekan aktivitas sel T sehingga sistem kekebalan tubuh menurun.

Konsep sindrom umum (general adaptation syndrome/GAS) yang meyakini bahwa semua stresor, tanpa memperhatikan jenis, pada dasarnya menghasilkan respon patofisiologi yang sama (Corwin, 2009). Berarti baik stress fisik maupun psikologis mempunyai efek yang sama. Stimulasi pada sistem limbik akan mengaktifkan aksis HPA dan merangsang kelenjar adrenal untuk mensekresikan epineprin dan kortisol (Sherwood, 2011).

2.4. Konsep Relaksasi Autogenik 2.4.1 Definisi relaksasi autogenik

Relaksasi autogenik adalah program sistematis yang akan melatih tubuh dan jiwa untuk berespon dengan cepat dan efektif terhadap perintah verbal untuk rileks dan kembali pada keadaan seimbang dan normal (Davis, et al., 1995).


(53)

Menurut Greenberg (2002 dalam Setyawati, 2010) relaksasi autogenik adalah relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata atau kalimat pendek atau pikiran yang biasanya membuat pikiran tenang. Autogenik adalah pengaturan diri atau pembentukan diri sendiri, autogenik juga berarti tindakan yang dilakukan oleh diri sendiri. Istilah autogenik menyiratkan bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengendalikan beragam fungsi tubuh, seperti frekuensi jantung, aliran darah dan tekanan darah.

Relaksasi merupakan suatu keadaan dimana seseorang merasakan bebas mental dan fisik dari ketegangan dan stres. Teknik relaksasi bertujuan agar individu dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa ketegangan dan stres yang membuat individu merasa dalam kondisi yang tidak nyaman (Potter & Perry, 2005). Relaksasi psikologis yang mendalam memiliki manfaat bagi kesehatan yang memungkinkan tubuh menyalurkan energi untuk perbaikan dan pemulihan, serta memberikan kelonggaran bagi ketegangan akibat pola-pola kebiasaan (Goldbert, 2007).

Terapi autogenik juga dikenal sebagai autogenik training (AT), merupakan teknik relaksasi menyeluruh dan komprehensif dikembangkan pada tahun 1932 oleh seorang psikiater Jerman, Dr Johannes Schultz (Saunders, 2007). Autogenik memiliki makna pengaturan sendiri. Autogenik merupakan salah satu contoh dari teknik relaksasi yang berdasarkan konsentrasi pasif dengan menggunakan persepsi tubuh (misalnya, tangan merasa hangat dan berat) yang difasilitasi oleh sugesti diri sendiri (Kanji, et al, 2006; Saunders, 2007). Prosedur pasif dari relaksasi ini dikembangkan dengan melatih individu untuk menguasai munculnya emosi yang


(54)

bergelora, yang dikenal sebagai relaksasi autogenik. Pada latihan autogenik pasien tidak lagi bergantung kepada terapisnya tetapi melalui tehnik sugerti diri (Auto

suggestive), seseorang dapat melakukan sendiri perubahan dalam dirinya sendiri,

juga dapat mengatur pemunculan emosinya (Saunders, 2007). Widyastuti (2004) menambahkan bahwa relaksasi autogenik membantu individu untuk dapat mengendalikan beberapa fungsi tubuh seperti tekanan darah, frekuensi jantung dan aliran darah.

2.4.2 Kontraindikasi Relaksasi Autogenik

Relaksasi autogenik tidak dianjurkan untuk anak dibawah 5 tahun, individu yang kurang motivasi atau individu yang memiliki masalah mental dan emosional yang berat. Individu dengan masalah serius seperti DM atau masalah jantung harus dibawah pengawasan dokter atau perawat ketika melakukannya. Beberapa peserta latihan mengalami kenaikan tekanan darah dan sebagainya mengalami penurunan tekanan darah yang tajam. Jika cemas atau gelisah selama atau sesudah latihan, atau mengalami efek samping tidak bisa diam, maka latihan harus dihentikan (Saunders, 2007).

2.4.3 Langkah-langkah Relaksasi Autogenik 2.4.3.1Persiapan Klien

Persiapan klien meliputi: 1) Persiapan dalam posisi tubuh dan 2) Konsentrasi dan kewaspadaan, yang diuraikan sebagai berikut:


(55)

1) Posisi tubuh

Posisi tubuh terbaik melakukan relaksasi autogenik adalah posisi berbaring. Sebaiknya dengan berbaring di lantai berkarpet atau tempat tidur, dengan kedua tangan disamping tubuh dan telapak tangan menghadap ke atas dan tungkai lurus sehingga tumit menapak dipermukaan lantai. Bantal yang tipis diletakkan dibawah kepala atau lutut dan punggung lurus (National Safety Council, 2004).

Menurut Saunders (2007) ada tiga posisi dasar dalam melakukan relaksasi autogenik yaitu duduk di kursi, menyandar di atas kursi, atau berbaring di lantai. Pada posisi berbaring prinsipnya sama dengan dengan yang dikemukakan dalam National Safety Council (2004) memungkinkan gravitasi untuk mendukung . Posisi duduk memiliki keuntungan yaitu praktis, dapat dilakukan dimana saja dan meminimalkan respon mengantuk, sehingga posisi ini paling populer. Namun, dalam posisi duduk otot tidak serileks posisi berbaring (Saunders, 2007).

2) Konsentrasi dan Kewaspadaan

Dalam melakukan relaksasi autogenik ini, sangat penting mempertahankan sikap konsentrasi pasif yaitu alami respon fisik, mental atau emosi apapun yang anda miliki. Biarkan saja segalanya terjadi. Konsentrasi pasif bukan berarti “membuat jarak” atau pergi tidur tetapi anda tetap sadar akan pengalaman anda tanpa menganalisanya. Sangat penting menjaga stimulus eksternal seminimal mungkin. Pilihlah ruangan yang sunyi dimana anda tidak akan terganggu. Jaga kehangatan ruangan, tingkat kenyamanan dan jika memungkinkan hidupkan


(56)

lampu redup, gunakan baju yang longgar. Biarkan tubuh anda rilek dan pejamkan mata anda sebelum mulai latihan (Davis, et al., 1995).

Ketika pertama kali melakukan latihan ini yang akan dirasakan adalah bahwa pikiran menerawang ke hal-hal yang tampaknya lebih penting. Jika pada awalnya menemukan pikiran lain yang berusaha mengalihkan perhatian, perlahan kenali pikiran tersebut dan fokuskan kembali pikiran pada kewaspadaan tubuh. Anda mungkin merasakan perubahan berat badan atau suhu tubuh, perasaan geli, aliran listrik, gerakan otomatis, kekakuan, nyeri, ansietas, ingin menangis, iritabel, sakit kepala, mual. Apakah keluaran relaksasi autogenik yang anda alami menyenangkan atau tidak menyenangkan, perlu diingat bahwa keadaan ini adalah peralihan, bukan tujuan dari relaksasi autogenik dan keadaan ini akan hilang jika meneruskan latihan. Dengan latihan teratur, maka akan semakin menguasai ketrampilan berkonsentrasi (National Safety Council, 2004; Davis, et al., 1995).

Greenberg (2002) menuliskan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi kesuksesan relaksasi autogenik adalah kerjasama dan motivasi tinggi, self

direction dan self control, dapat menjaga postur tubuh yang kondusif untuk

latihan, dapat meminimalkan stimuli eksternal dan dapat memfokuskan mental pada proses serta konsentrasi pada sensasi tubuh.

2.4.3.2Fase dalam relaksasi autogenik

Relaksasi autogenik dibagi dalam tiga macam latihan utama yaitu latihan standar berpusat pada tubuh, latihan meditasi berfokus pada pikiran dan latihan khusus yang dirancang untuk menyelesaikan masalah khusus. Bagian pertama ditujukan untuk perasaan berat. Hal ini meningkatkan relaksasi dari otot polos


(57)

untuk menggerakkan tangan dan kaki. Bagian kedua menimbulkan vasodilatasi perifer, dengan mengatakan “tangan kanan saya panas”, otot halus yang mengontrol diameter pembuluh darah pada tangan menjadi rileks sehingga semakin banyak darah mengalir ke tangan. Hal ini membantu mengembalikan penyimpanan darah pada tubuh dan kepala. Bagian ketiga berfokus menormalkan kegiatan jantung dengan menyatakan “denyut jantung saya kembali tenang”. Bagian keempat adalah mengembalikan keteraturan sistem pernafasan, yang kelima adalah mengendurkan dan menghangatkan bagian perut dan yang terakhir adalah mengurangi aliran darah ke kepala (Kanji, 2006).

Latihan diawali dengan menarik nafas dalam secara perlahan dan merasakan sensasi rileks dalam tubuh saat melepaskan nafas, dan diulangi lagi lebih dalam dari sebelumnya. Selama mengikuti suatu program, pasien didorong melakukan relaksasi autogenik 3 kali sehari selama 15 menit dalam masing-masing sesi (Saunders, 2006). Sedangkan menurut Luthe dan Schults (1969 dalam Saunders, 2006) relaksasi autogenik adalah janji dengan diri sendiri dimana pasien yang memutuskan kapan dan dimana untuk berlatih. Berikut adalah fasenya:

Tabel 2.3

Standar Relaksasi Autogenik No Fase

1. Lengan kanan-kiri dan kaki kanan-kiri terasa berat 2. Lengan kanan-kiri dan kaki kanan-kiri terasa hangat 3. Denyut jantung tenang dan rileks

4. Nafas saya pelan dan rileks 5. Perut saya terasa hangat 6. Dahiku terasa terasa sejuk 7. Pembatalan


(58)

Kanji (2006) memberikan pendapat yang sama bahwa tehnik relaksasi autogenik terdiri dari enam latihan standar. Latihan pertama bertujuan untuk relaksasi otot, yang dicapai terutama oleh mengulangi formula verbal untuk mendorong berat. Selanjutnya, konsentrasi difokuskan pasif pada perasaan hangat, kemudian menenangkan aktivitas jantung, memperlambat pernapasan, kehangatan di daerah perut dan akhirnya kesejukan di kepala.

Prinsip dalam melakukan relaksasi autogenik dituliskan dalam National

Safety Council (2004); Saunders (2006); Kanji, et al., (2006) adalah sebagai

berikut:

1) Fase 1 fokus pada sensasi berat melalui tangan dan kaki dimulai dari tangan dan kaki yang dominan dengan kata instruksi untuk masing-masing ekstrimitas cukup 1 kali (“lengan kanan saya berat”).

2) Fase 2 fokus pada sensasi hangat pada tangan dan kaki yang dimulai dari tangan dan kaki yang dominan dengan kata-kata instruksi untuk masing-masing ekstrimitas cukup 1 kali (“lengan kanan saya hangat”).

3) Fase 3 fokus pada menenangkan aktivitas jantung yaitu dengan kata-kata instruksi diulang 4 hingga 5 kali (“irama jantung saya tenang dan teratur”). 4) Fase 4 fokus pada memperlambat pernafasan dengan kata-kata instruksi

diulang hingga 5 kali (“ nafas saya pelan dan rileks”).

5) Fase 5 fokus pada sensasi hangat pada abdomen dengan kata-kata instruksi diulang 4 hingga 5 kali (“perut saya terasa hangat”)

6) Fase 6 fokus pada sensasi dingin pada kepala dengan kata-kata instruksi diulang 4 hingga 5 kali (“dahi saya terasa sejuk”).


(59)

2.4.3.3Evaluasi Relaksasi Autogenik 2.4.3.3.1 Respon verbal

Latihan autogenik ini dilakukan secara terus menerus, minimal 15 menit dalam sehari sampai di dapatkan perasaan berbeda atau rileks, sehingga secara verbal dapat didengarkan perkataan pada fase akhir “keseluruhan tubuhku tenang dan rileks” (Kanji, et al., 2006)

2.4.3.3.2 Respon non verbal

Respon verbal dapat diobservasi melalui frekuensi nafas, jantung dan mengukur tekanan darah segera setelah selesai melakukan relaksasi autogenik. Bila berhasil dan terampil dalam melakukan tehnik ini, maka pernafasan akan lebih tenang dan tekanan darah dalam batas fisiologis (National Safety Council, 2004).

2.4.3.4Cara Kerja Relaksasi Autogenik Terhadap Respon Tubuh

Relaksasi autogenik menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Efek fisiologi relaksasi autogenik sama dengan respon fisiologi pada jenis relaksasi lainnya. Frekuensi nadi, frekuensi nafas, ketegangan otot dan level kolesterol akan menurun sebagai respon fisiologis. Gelombang otak alfa dan aliran darah pada tangan dan kaki akan meningkat (Greenberg, 2002 dalam Setyawati, 2010).

Beberapa studi lain juga menemukan bahwa relaksasi ini menolong menurunkan kecemasan, menurunkan nyeri, menurunkan sakit kepala, meningkatkan tidur, menenangkan suasana hati, meningkatkan kekuatan otot dan


(60)

kebugaran jantung (Simeit, et al., 2004; Kanji, et al., 2006; Ring-Dimitro, et al., 2009; Bowden, et al., 2012; Prato & Yucha, 2012).

Pada klien DM dianjurkan untuk melakukan relaksasi autogenik ini dengan rasional bahwa relaksasi ini akan mempengaruhi fungsi pulau-pulau langerhans sehingga dapat mengalirkan hormon-hormonnya dengan baik ke seluruh tubuh dan diduga relaksasi ini akan menurunkan kebutuhan mereka akan terapi insulin (DiNardo, 2009. Greenberg (2002 dalam Setyawati, 2010) mengatakan bahwa relaksasi autogenik akan memberikan hasil setelah dilakukan sebanyak tiga kali latihan.

DMT2 disebabkan oleh kurang berfungsinya kelenjar pankreas dalam menghasilkan insulin. Kelenjar pankreas juga memproduksi glukosa sebagai makanan darah dan juga insulin yang berfungsi mengatur keseimbangan kadar gula yang masuk ke dalam darah. Secara medis penanganan DM adalah dengan pemberian minum OHO atau suntik insulin, yang pada dasarnya tidak menormalkan kembali pankreas sebagai penghasil insulin (Joyce & Hawks, 2005). Relaksasi autogenik dapat membantu keseimbangan dengan memperbaiki keseimbangan antara organ tubuh dan sirkulasi tubuh. Hal ini dicapai dengan mengendorkan pembuluh darah sehingga aliran darah ke pankreas akan lancar. Perbaikan sirkulasi darah dimaksudkan untuk membawa unsur-unsur yang dibutuhkan untuk memperbaiki dan membuat keseimbangan dengan lingkungan. Relaksasi autogenik menurut Greenberg (2002) akan mampu :

1) Menstimulasi kelenjar adrenal, paru-paru, pankreas dan hati untuk dapat membantu menjaga glukosa darah dalam batas normal.


(61)

2) Menstimulasi sistem saraf parasimpatis yang membuat otak memerintahkan pengaturan rennin angiotensin pada ginjal sehingga ginjal membantu menjaga tekanan darah

3) Menjaga organ-organ yang terluka , artinya dengan relaksasi autogenik yang teratur maka akan menjaga pasien dari situasi-situasi yang cepat berubah sehingga stresor terkurangi dan relaksasi terjadi

4) Relaksasi akan mengurangi stres dan tekanan, dimana hal ini disebabkan oleh banyaknya masalah.

2.4.4. Relaksasi Autogenik sebagai Intervensi Keperawatan

Dalam rangka memperbaiki asupan nutrisi, maka perlu dilakukan diet disertai pengendalian kadar glukosa darah, gaya hidup klien, tingkat aktivitas dan kegemaran terhadap jenis makanan tertentu perlu mendapat perhatian. Memberikan perawatan mandiri dengan memberikan penyuluan, hal ini merupakan suatu strategi penting untuk mempersiapkan klien dalam perawatan mandiri (Smeltzer & Bare, 2002).

Dalam rangka manajemen DM ini telah dilakukan penelitian oleh DiNardo (2009) bahwa meditasi dengan konsep self healing dapat menurunkan HbA1C, dapat menurunkan tekanan darah, dan dapat menurunkan kadar gula darah. DiNardo (2009) menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut yang dapat dipraktekkan oleh klien dalam keseharian secara rutin dengan konsep yang sama dengan meditasi. Snyder dan Lindquist (2002 dalam Setyawati, 2010) mengklasifikasikan meditasi sebagai intervensi yang setara dan memiliki konsep


(62)

yang sama dengan relaksasi autogenik dalam Mind Body Therapy, yaitu kesamaan dalam hal konsentrasi dan self healing.

Black & Hawks (2005) mengidentifikasi Mind Body Intervention sebagai komplementer dan alternatif medicin (CAM), adapun mind body intervention merupakan intervensi pikiran tubuh yang menggunakan tehnik yang bervariasi untuk meningkatkan kapasitas pikiran sehingga mempengaruhi fungsi dan manisfestasi tubuh, meliputi : 1) aromaterapi, 2) terapi seni, musik dan dansa, 3) Biofeedback, 4) imageri dan 5) relaksasi (PMR, Benson, nafas dalam, relaksasi autogenik), 6) meditasi, 7) Shamanism, 8) spiritual healing, 9) tai Chi

2.5 Landasan Teori

2.5.1. Self-Care Deficit Theory of Nursing

Self-Care Deficit Theory of Nursing yang dikembangkan oleh Orem (2001

dalam Tomey & Alligood, (2006).

terdiri dari tiga teori umum yang saling berkaitan, yaitu :

a. The Theory of Self-Care

Untuk memahami tentang teori perawatan diri, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan diri (self-care agency), faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic

conditioning factors), dan terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care

demand).

Perawatan diri (self-care) adalah pelaksanan aktivitas individu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam mempertahankan hidup, kesehatan


(63)

dan kesejahteraan. Jika perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat membantu individu dalam mengembangkan potensi dirinya (Orem (2001) dalam Tomey & Alligood, 2006).

Kemampuan perawatan diri (self-care agency) adalah kemampuan individu untuk terlibat dalam proses perawatan diri. Kemampuan ini berkaitan dengan faktor pengkondisian perawatan diri. Faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic conditioning factor) yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan keadaan ekonomi. Terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care demand), yaitu tindakan yang dilakukan sebagai bantuan untuk memenuhi syarat perawatan diri.

b. The Theory of Self-Care Deficit

Teori ini merupakan inti dari teori keperawatan Orem. Teori ini mengambarkan kapan keperawatan dibutuhkan. Keperawatan diperlukan ketika individu tidak mampu atau mengalami keterbatasan dalam memenuhi syarat perawatan diri yang efektif. Keperawatan diberikan jika tingkat kemampuan perawatan diri lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan perawatan diri atau kemampuan perawatan diri seimbang dengan kebutuhan namun hubungan defisit dapat terjadi selanjutnya akibat penurunan kemampuan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebutuhan atau keduanya.

Teori self care deficit diterapkan bila anak belum dewasa, kebutuhan melebihi kemampuan perawatan, kemampuan sebanding dengan kebutuhan tetapi


(64)

diprediksi untuk masa yang akan datang, kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan.

Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses penyelesaian masalah, orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya; bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi support baik secara fisik atau psikologis, meningkatkan pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau memberi pendidikan pada orang lain.

Inti dari teori ini menggambarkan manusia sebagai penerima perawatan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya dan memiliki berbagai keterbatasan-keterbatasan dalam mencapai taraf kesehatannya. Perawatan yang diberikan didasarkan kepada tingkat ketergantungan; yaitu ketergantungan total atau parsial. Defisit perawatan diri menjelaskan hubungan antara kemampuan seseorang dalam bertindak/beraktivitas dengan tuntutan kebutuhan tentang perawatan diri. Sehingga bila tuntutan lebih besar dari kemampuan, maka ia akan mengalami penurunan/defisit perawatan diri.

Self care adalah kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri.

Perawatan diri dapat mengalami gangguan atau hambatan bila seseorang jatuh pada kondisi sakit atau kondisi yang melelahkan seperti stress fisik dan psikologis. Self care deficit terjadi bila agen self care atau orang yang memberikan perawatan diri baik pada diri sendiri maupun pada orang lain tidak dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri individu dan lebih memberikan self


(65)

care theraupetic. Nursing agency menggunakan kegiatan gabungan berarti bahwa kegiatan perawat perlu dikoordinasi, dilakukan secara serentak atau berhubungan dengan layanan asuhan keperawatan yang akan diberikan. Seseorang yang melakukan kegiatan ini harus mempunyai pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang diberikan sehingga dapat mengambil suatu keputusan yang tepat bagi klien.

c. The Theory of Nursing System

Nursing system adalah bagian dari pertimbangan praktek keperawatan

yang dilakukan oleh perawat berdasarkan koordinasi untuk mencapai kebutuhan perawatan diri (self-care demand) pasiennya dan untuk melindungi dan mengontrol latihan/pengembangan dari kemampuan perawatan diri pasien (

self-care agency).

Orem (2001 dalam Tomey & Alligood, 2006) mengidentifikasi tiga klasifikasi dari sistem keperawatan berdasarkan kemampuan pasien dalam mencapai syarat pemenuhan perawatan diri.

1) Wholly Compensatory System

Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan kompensasi penuh kepada pasien disebabkan karena ketidakmampuan pasien dalam memenuhi tindakan keperawatan secara mandiri. Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh dibutuhkan ketika perawat harus menjadi peringan bagi ketidakmampuan total seorang pasien dalam hubungan kegiatan merawat yang membutuhkan tindakan penyembuhan dan manipulasi. Perawat mengambil alih pemenuhan kebutuhan self care secara


(66)

menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu, misal: pada pasien koma atau pasien bayi.

2) Partly Compensatory System

Sistem penyeimbang sebagian yaitu sistem keperawatan dalam memberikan perawatan diri kepada pasien secara sebagian saja dan ditujukan pada pasien yang memerlukan bantuan secara minimal. Perawat mengambil alih beberapa aktifitas yang tidak dapat dilakukan oleh pasien dalam memenuhi kebutuhan self care-nya, dijalankan pada saat perawat dan pasien menjalankan intervensi perawatan atau tindakan lain yang melibatkan tugas manipulatif atau penyembuhan, misal: pasien usia lanjut, pasien stroke dengan kelumpuhan.

3) Supportive-Educative System

Sistem yang mendukung/mendidik yaitu tindakan keperawatan yang bertujuan untuk memberikan dukungan dan pendidikan agar pasien mampu melakukan perawatan mandiri. Perawat memberikan pendidikan kesehatan atau penjelasan untuk memotivasi melakukan self care, tetapi yang melakukan self care adalah pasien sendiri, misal: mengajarkan pasien merawat lukannya, mengajarkan bagaimana menyuntik insulin. Diperlukan pada situasi dimana pasien harus belajar untuk menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara eksternal atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak dapat melakukan tanpa bantuan. Metode bantuan diantaranya: tindakan, panduan, pelajaran, dukungan dan memberikan lingkungan yang membangun.


(67)

Gambar 2.1 Sistem Dasar Keperawatan oleh Orem

Relaksasi autogenik merupakan relaksasi yang mudah diajarkan pada pasien dalam rangka meningkatkan kemandirian pasien dalam masalah kesehatannya. Perawat berperan memfasilitasi kemandirian pasien, hal ini sesuai dengan konsep self care Orem dalam hal ini teori sistem keperawatan, pasien dipandang sebagai individu yang memerlukan dukungan dan edukatif. Individu masih memiliki potensi untuk merawat diri dalam memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan mencapai kesejahteraan. Pasien DMT2 dapat mencapai atau kesehatan yang optimal dengan mengetahui perawatan yang tepat seperti pengontrolan kadar glukosa darah mandiri (Ernawati, 2013). Kesejahteraan atau kesehatan optimal dapat dicapai pasien apabila mengetahui dan dapat melakukan


(68)

perawatan yang tepat sesuai dengan kondisinya. Perawat menurut Orem berperan sebagai pendukung atau pendidik bagi pasien DMT2 untuk tetap mempertahankan kemampuan optimalnya dalam mencapai sejahtera (Ernawati, 2013; Orem (2001 dalam Tomey & Alligood, 2006).

Menurut Orem (2001), perawatan merupakan suatu kebutuhan universal untuk menjaga dan meningkatkan eksistensi diri, kesehatan dan kesejahteraan hidup. Pasien DMT2 yang menjalani perawatan sering mengalami stres fisik maupun psikologis akibat penyakitnya. Stres fisik maupun psikologis dapat memicu meningkatnya kadar glukosa darah. Oleh sebab itu selain memberikan terapi kolaboratif, perawat dapat membantu pasien mencapai kemampuan dalam mengontrol kadar glukosa darah melalui relaksasi autogenik.

2.6 Kerangka Teori

Pada klien DMT2 terdapat penurunan intake oleh sel terhadap glukosa yang menyebabkan glukosa dalam darah meningkat. Apabila keadaan ini tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi akut dan kronik, dimana komplikasi ini menyebabkan stres dan kecemasan yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan glukosa darah. Relaksasi autogenik bertujuan untuk melatih individu menguasai munculnya emosi dan menstimuli kelenjar andrenal, pankreas dan hati untuk membantu mengontrol kadar glukosa darah dalam batas normal. Perawat berperan memberikan dukungan dan pendidikan melalui relaksasi autogenik hingga klien mampu melakukan sendiri tanpa bergantung pada terapisnya. Hubungan berbagai variabel dalam penelitian ini diuraikan pada gambar 2.1.


(69)

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Kombinasi dari Black & Hawks (2005); Perkeni (2011); Snyder & Lindquist (2002); Riyadi & Sukarmi (2006); Corwin (2009); Tomey & Alligood (2006) Diabetes Melitus SAM HPA Sistem saraf

Medula Kortek adrenal

Produksi Kortisol Produksi -Merangsang glukoneogenesis dan menghambat penyerapan glukosa - Penguraian

protein -Lipolisis -Peningkatan produksi glucagon -Penurunan produksi insulin Penurunan kadar glukosa darah Hiperglikemia Penurunan stres Memperbaiki mood Produksi Endorpin Relaksasi Autogenik Respon Relaksasi Hipofisis anterior Teori Orem Keterbatasan perawatan Kemandirian Bantuan Suportif dan edukasi


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)