112 Kelas XII SMAMA
3. Dualisme Kepemimpinan Nasional
Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno
masih menjabat presiden, namun pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak
agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto
setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam
pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet,
yang diberi nama Kabinet Ampera.
Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi
seperti ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai
pelaksana pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto
banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan. Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik
dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa.
Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan Tap
MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno.
Bahkan sebaliknya secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.
Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar
Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi
judul “Nawaksara”.
Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting
Di unduh dari : Bukupaket.com
Sejarah Indonesia 113
oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah yang terjadi
pada tanggal 30 September 1965. Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota
MPRS. Melalui Keputusan Nomor 5MPRS1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggung jawabannya,
khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30 September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak.
Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelnawaksara itu presiden
mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain.
Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.
Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera Amanat Penderitaan Rakyat. Kabinet tersebut diresmikan pada 28
Juli 1966. Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program kabinet tersebut antara lain adalah memperbaiki
kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XIMPRS1966.
Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian dilakukan
oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto.
Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari
1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu usaha-usaha untuk menenangkan
keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan kepada
pengemban ketetapan MPRS RI No. IXMPRS1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di
kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno.
Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri
dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konlik politik yang tidak kunjung berhenti. Mr. Hardi
Di unduh dari : Bukupaket.com
114 Kelas XII SMAMA
menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI.
Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang
Surat Perintah 11 Maret 1966.
Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan
konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa
draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut
tidak membantu menyelesaikan situasi konlik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Presiden
menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan
kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian
sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari
1967, Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar diumumkan
pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution.
Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V
MPRS. Melalui Tap No. XLIVMPRS1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil
pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.
PENGAYAAN Jelaskan hikmah apa yang dapat diambil dari
adanya dualisme kepemimpinan dalam politik Indonesia pasca peristiwa G30SPKI. Kaitkan
pendapatmu dengan sebab-sebab kemunculan dan penyelesaian yang akhirnya terjadi
Sumber: Deppen, 1975 Gambar 4.5 Soekarno dan Soeharto
Di unduh dari : Bukupaket.com
Sejarah Indonesia 115
TUGAS • Buatlah essai tentang kondisi Indonesia yang menyebabkan terjadinya aksi
Tritura, seperti yang tercermin dalam tuntutan Tritura
B. Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi