Kewenangan Peradilan Militer Terhadap Penegakan Hukum Pada Perkara Koneksitas Dilakukan Oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer JUNCTO Tentara Nasional Indonesia

(1)

1

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.Negara Indonesia menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada pengecualianya.1

Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakan supremasi hukum, untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Negara hukum akan terlihat dengan ciri-ciri adanya, jaminan perlindungan hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, kedudukan hukum yang sama di depan hukum bagi rakyat dan pejabat, dan legalitas dalam arti hukum, yaitu baik penyelenggara negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasarkan hukum.2

Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan jiwa bangsa Indonesia harus menjiwai semua peraturan hukum dan pelaksanaanya, ketentuan ini menunjukan bahwa di negara Indonesia dijamin adanya perlindungan hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum, bukan kemauan seseorang yang menjadi dasar kekuasaan.3

1 Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Penerbit Bumi Aksara,

Jakarta, 2013,hlm.136.

2 Ibid.hlm.146.


(2)

Menjadi suatu kewajiban bagi setiap penyelenggaraan negara untuk menegakan keadilan dan kebenaran berdasarkan pancasila yang selanjutnya melakukan pedoman peraturan-peraturan pelaksanaan, selain itu sifat hukum yang berdasarkan pancasila, hukum mempunyai fungsi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa Indonesia tercapai dan terpelihara.4

Penegakan hukum berdasarkan keadilan dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelengara negara, setiap lembaga masayarakat termasuk kalangan militer, untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibutuhkan adanya lembaga untuk menegakan hukum dalam mencapai keadilan, kepastian hukum dan ketertiban sistem hukum yaitu badan-badan peradilan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman disebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan, dalam Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.

Lingkungan peradilan tersebut dalam mempunyai kewenangan yang berbeda-beda diantaranya peradilan militer dan peradilan umum, karena subyek dalam masing-masing peradilan mengandung perbedaan yang sifatnya mendasar. Peradilan umum adalah peradilan warga sipil yang pada umumnya berwenang dan memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sedangkan peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana yang pelakunya militer serta warga sipil dalam kasus perkara koneksitas, berdasarkan ketentuan tersebut

4Ibid


(3)

maka sistem peradilan yang dijatuhkan kepada anggota militer dibedakan dengan warga sipil, anggota militer yang melakukan pelanggaran hukum, harus tunduk terhadap sistem di peradilan militer, yang dilaksanakan di Pengadilan Militer.

Pengadilan Militer, ialah pengadilan yang merupakan badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di dalam lingkungan militer, pengadilan dalam peradilan militer terdiri atas pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama, dan pengadilan militer pertempuran .5

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia menyatakan prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur oleh undang-undang.

Tentara Nasional Indonesia atau disebut juga prajurit TNI berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, (yang selanjutnya disebut TNI) adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan, yang dalam pengertian umum TNI terdiri atas Anggkatan Darat, Angkatan laut, dan Angkatan Udara.

TNI adalah suatu organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan Negara untuk menegakan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi

5 Moch. Faisal Salam Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju,


(4)

militer untuk perang dan operasi militer selain perang serta ikut secara aktif dalam tugas pemilharaan perdamaian regional dan internasional.6

TNI dalam melakukan tanggung jawabnya tentu saja memiliki kemungkinan penyimpangan yang dilakukannya, bentuk penyimpangan itu antara lain, melakukan tindak pidana militer, tindak pidana umum dan perkara koneksitas.

Anggota Militer sebagai subjek hukum, artinya seseorang militer termasuk subjek tindak pidana umum dan juga subjek dari tindak pidana militer, artinya militer tersebut secara berbarengan adalah subjek dari tindak pidana umum dan tindak pidana militer.7

Tindak Pidana Militer adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus militer, tindak pidana militer yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (yang selanjutnya, disebut KUHPM) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu .8

1. Tindak pidana militer murni ( zuiver militaire delict ) dan 2. Tindak pidana campuran ( gemengde militaire delict )

a. Tindak pidana militer murni adalah tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena keadaanya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer mengkehendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana, disebutkan “pada prinsipnya” tindak pidana militer

6 Markas Besar TNI AD, Kultur Prajurit TNI Angkatan Darat , Jakarta: CV, Lavita

Graha, 2005, hlm.1.

7 Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Cetakan ketiga, Diterbitkan Oleh: Badan

Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, Jakarta, 2010, hlm.20.


(5)

tersebut, ada perluasan subjek militer, contoh tindak pidana militer antara lain9 :

1) Kejahatan dalam melaksanakan kewajiban perang, yaitu seorang militer yang dalam keadaan perang dengan sengaja menyerahkan seluruhnya atau sebagaian dari suatu pos yang diperkuat kepada musuh tanpa ada usaha mepertahankannya sebagian dituntut atau diharuskan dari padanya.

2) Kejahatan disersi yaitu kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seorang militer menarik diri dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara tanpa dibenarkan untuk itu. 3) Kejahatan Terhadap berbagai keharusan dinas yaitu

seorang militer yang meninggalkan posnya dengan semaunya tidak melaksanakan sesuatu tugas yang merupakan keharusan baginya, ataupun membuat dan membiarkan dirinya dalam suatu keadaan dimana diamana dia tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai penjaga sebagaimana mestinya

b. Tindak pidana militer campuran adalah tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, dan diatur lagi dalam KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer),

9Moch. Faisal Salam,

Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm.279


(6)

karena adanya sesuatu keadaan yang khas militer mengingat hal-hal khusus yang melekat pada hal seorang militer, misalnya: seorang militer sengaja dipersenjatai untuk menjaga keamanan justru mempergunakan senjata tersebut untuk memberontak; para militer ditempatkan dalam suatu chamber

tanpa dibatasi tembok atau oleh dingding karena pada mereka telah dipupukan rasa korsa (corsa geest) akan tetap justru dari salah satu dari mereka melakukan pencurian di chambre

tersebut.

Tindak pidana koneksitas, diatur dalam Pasal 89 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menjelaskan Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.10

Ketentuan Pasal 89 ayat (1) KUHAP tersebut, apabila suatu peristiwa pidana dilakukan secara bersama-sama oleh orang-orang sipil yang tunduk kedalam lingkungan peradilan umum dengan anggota TNI yang tunduk dalam lingkungan peradilan militer, dalam tindak pidana yang seperti itu terdapat koneksi antara orang sipil dan anggota TNI, dengan adanya koneksitas antara dua kelompok yang berlainan lingkungan peradilanya dalam melakukan suatu tindak pidana, Yahya Harahap mengatakan, lebih efektif untuk sekaligus menarik dan mengadili mereka dalam suatu peradilan saja, mungkin diperiksa dan diadili di dalam lingkungan peradilan umum, dapat juga diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer.11

10 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar

Grafika, Jakarta, 2008, hlm 28.


(7)

Tindak pidana koneksitas yang diatur dalam Pasal 198 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer menyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Peradilan koneksitas dalam perkara tindak pidana yang dilakukan bersama-sama militer dan warga sipil sering ditemui kendala yaitu ketidak mudahan dalam menentukan peradilan mana yang berwenang mengadili perkara koneksitas.12

Kewenangan dalam menentukan peradilan mana yang berwenang dalam perkara tindak pidana koneksitas, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Jaksa atau Jaksa Tinggi sebagai penyidik bersama-sama penyidik militer meliputi, Polisi Militer dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi yang merupakan satu tim melakukan penelitian perkara dan menyepakati peradilan mana yang harus mengadili perkara tindak pidana koneksitas tersebut.13 Sekalipun telah ada ketentuan umum yang menetapkan pada prinsipnya semua perkara koneksitas diadili dilingkungan peradilan umum, namun dalam Pasal 90 KUHAP memerintahkan untuk melakukan penelitian terlebih dahulu atas kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana koneksitas tersebut.

12 Kansil Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Penerbit, Balai Pustaka,

Jakarta, 1986, hlm.379.


(8)

Tindak pidana yang terjadi di masyarakat yang dilakukan oleh Anggota TNI bersama-sama dengan orang sipil, pihak Instansi militer tersebut berusaha agar anggota TNI tersebut diadili dalam lingkungan peradilan militer. Dalam surat putusan Nomor : PUT-256-K/PM.II-09/AD/AD/XII/2009, dalam putusan ini terjadi pelanggaran perkara koneksitas yang dilakukan oleh anggota TNI dan keenam warga sipil bersama-sama melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasaan dimana kasus tersebut diadili terpisah, anggota TNI yang menjadi tersangka diadili oleh Pengadilan Militer dan keenam tersangka dari warga sipil diadili di pengadilan umum.

Pemerintah dalam menjalankan sistem hukum di Indonesia tidak boleh ada warga negara yang mempunyai ke istimewaan termasuk dalam masalah peradilan, semua warga negara harus tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah seorang warga negara tersangkut hukum, oleh karena itu pengadilan harus dapat menjalankan dan mengayomi para pihak yang berperkara dipengadilan, dari kalangan sipil maupun dari kalangan militer, mengingat kejahatan bisa dilakukan oleh setiap orang baik dari kalangan sipil maupun militer atau kejahatan yang dilakukan bersama-sama antara sipil dan militer.

Meskipun telah ada pengaturannya, akan tetapi dalam prakteknya terdapat perbedaan, maksudnya antara apa yang seharusnya (das sollen) secara normatif tidak sesuai dengan kenyataan atau fakta yang terjadi (das sein), karena berdasarkan Pasal 89 KUHAP bahwa apabila terjadi tindak pidana yang sama-sama dilakukan oleh oknum militer dan sipil maka mereka diadili dalam lingkup peradilan umum,


(9)

Kenyataannya tindak pidana yang terjadi dimasyarakat yang dilakukan oleh oknum TNI bersama-sama dengan sipil, pihak instansi Militer tersebut berusaha agar anggota TNI tersebut diadili dalam Pengadilan Militer. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka Peneliti tertarik untuk memilih judul sebagai berikut : “Kewenangan Peradilan Militer Terhadap Penegakan Hukum Pada Perkara Koneksitas Yang Dilakukan Oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dikaitkan Dengan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer JUNCTO

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia”

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana kewenangan peradilan militer di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia?

2. Bagaimanakah penyelesaian perkara koneksitas ditinjau dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer?

C. Maksud dan Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan maka maksud dan tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui, memahami dan mengkaji mengenaikewenangan Pengadilan Militer terhadap tiindak pidana koneksitas yang dilakukan menurut Undang-Undang Nomor 31 tentang Peradilan


(10)

Militer setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.

2. Untuk mengetahui penyelesaian perkara koneksitas dalam lingkungan Pengadilan Militer ditinjau dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dan masukan baik secara teoritis maupun dari segi praktis untuk seluruh masyarakat.

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan peneliti mengenaiKewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili Perkara tindak pidana konesitas

b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan tambahan bagi kepustakaan khususnya mengenai kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili perkara tindak pidana koneksitas

2. Kegunaan Praktis a. Bagi Mahasiswa

1). Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dari segi hukum pidana yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili perkara koneksitas.


(11)

2). Melatih cara berfikir praktis dan logis untuk memecahkan masalah hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana dan perkembangannya dimasyarakat.

b. Bagi Masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat mengenai kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili perkara tindak pidana koneksitas.

c. Bagi Lembaga Akademik

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi dan pengetahuan bagi lembaga Fakultas hukum Universitas Komputer Indonesia dalam program kekhususan Hukum pidana, sebagai suatu sarana pengkajian masalah-masalah aktual secara ilmiah khususnya dalam penegakan hukum terhadap kewenangan Pengadilan Militer dalam perkara tindak pidana koneksitas.

d. Bagi Pemerintah

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran sebagai sumber pemikiran sebagai sumber pertimbangan mengambil tindakan hukum mengenai kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili tindak pidana perkara koneksitas.

E. Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan Negara hukum berdasarkan Pancasila yang bertujuan menciptakan ketertiban umum, masyarakat adil dan makmur


(12)

secara spiritual dan materil.14 Pancasila mengatur ketentuan-ketentuan mengenai hubungan sesama manusia. Manusia dengan Tuhan maupun segala sesuatu yang bersangkutan dengan manusia. Martabat manusia harus dijunjung tinggi dalam arti melindungi kepentingan individu dan melindungi masyarakat sebagai perwujudan cita-cita bangsa untuk hidup adil dan makmur dalam ketentraman.15

Tujuan Negara Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat formal mengandung konsekuensi bahwa negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya. Hal tersebut tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat menyebutkan bahwa:

“…pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejatrahan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan landasan perlindungan hukum kepada masyarakat, karena kata “melindungi” mengadung asas perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan. Selain itu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga mengandung pokok mengenai pancasila, dimana adil dan makmur tersebut bisa diimplementasikan diadalam sila ke-5 (lima) Pancasila yaitu keadilan bagi

14 Winarno Op. Cit, hlm.17.

15 E. Y Kanter dan SR Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2010, hlm.2.


(13)

seluruh rakyat Indonesia dan juga dinamika berbudaya menegenai kepentingan individu, masyarakat dan Negara.16

Keadilan adalah perlakuan yang sama di mata hukum dan pemerintahan sehubungan dengan keadilan tersebut Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemeritahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing. Kesamaan dihadapan hukum yang berarti setiap warga negara diperlakukan adil oleh pemerintah, di sisi lain warga negara juga wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku.17

Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum ialah perangkat kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, dapat disimpulkan bahwa salah satu fungsi yang terpenting dari hukum adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat, keteraturan ini yang menyebakan orang dapat hidup dengan berkepastian, artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang

16 Otje Salman Soemangdiningrat, Anthon F, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm.156.

17 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Alumni, Bandung. 2003. hlm. 24.


(14)

diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat karena dapat mengedakan perhitungan tentang apa yang akan terjadi atau apa yang bisa diharapkan.18

Kata kaidah dan asas merupakan kaidah (hukum) yang kemudian ditarik menjadi asas. Jadi, pasti hal ini ada kaitannya dengan yurispudensi, karena, setelah putusan tersebut dibuat, ditarik asas sebagai sumber hukum atau patokan untuk hakim yang akan datang.19

Kata hukum dalam kata mewujudkan berlakunya hukum dalam kenyataan, mengambarkan pengertian yang lebih luas, yaitu sumber hukum (formil) tertulis dan tidak tertulis sumber hukum tidak tertulis ialah

yurispudensi dalam rangka mengisi kekosongan hukum yang tidak sempat diatur dalam undang-undang, hal ini dikarenakan undang-undang hanya berlaku untuk waktu tertentu dan tempat tertentu, sedangkan permasalahan hukum selalu berkembang mengikuti kebutuhan masyarakat yang selalu berubah.20

Fungsi hukum menjamin keteraturan dan ketertiban ini demikian pentingnya sehingga ada orang yang menyamakan fungsi ini dengan tujuan hukum, dikatakan bahwa tujuan hukum adalah terpelihara dan terjaminnya keteraturan (kepastian) dan ketertiban.21

Menurut Muljatno hukum pidana adalah kumpulan peraturan yang bersifat memaksa, apabila peraturan dilanggar oleh seseorang, bagi seseorang yang melanggar akan dijatuhkan sanksi. Sanksi hukum pidana

18 Mochtar Kusuma Atmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 49 19 Mochtar Kusuma Atmadja, Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006,

hlm .7

20Ibid.


(15)

berupa suatu penderitaan, yakni berupa hukuman yang dilanggar kepada sesorang yang melanggar .22

Sanksi hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu:

Pidana terdiri atas: “a. pidana pokok;

1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan; b.pidana tambahan:

1. pencabutan hak-hak tertentu

2. perampasan barang-barang tertentu 3. pengumuman keputusan hakim”

Hukum Pidana merampas kepentingan-kepentingan hidup sesorang yang sangat berharga. Penjatuhan pidana bagi pelanggar dilakukan melalui peradilan, di dalam ilmu hukum, hukum pidana dibagi menjadi dua23 :

1. Hukum pidana materil

Hukum pidana materil merupakan peraturan yang mengatur tentang peristiwa-peristiwa pidana, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi itu diancam dengan hukuman atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah peraturan yang memuat perbuatan-perbuatan apa saja yang diancam dengan pidana, siapakah yang dapat dipidana dan macam pidana apakah yang dijatuhkan.

22 Moch. Faisal, Op. Cit, hlm 10 23 Ibid


(16)

2. Hukum pidana formil

Hukum pidana formil yang lebih dikenal disebut, hukum acara pidana merupakan peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana melaksanakan hukum pidana materil dengan perkataan lain hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana caranya agar hakim dapat menjatuhkan hukuman terhadap orang yang telah melanggar hukum pidana materil.

Menurut Muljatno hukum pidana adalah bagian dari pada hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar dan aturan-aturan untuk.24

1. Menentukan perbuatan-perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan itu.

2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menetukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Menurut Simons hukum pidana adalah semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan diancam dengan derita, serta aturan-aturan yang menentukan syarat bagi akibat hukum itu, dan aturan-aturan untuk menjatuhi dan menjalankan pidana atau derita tersebut.25

24 Ibid

25 P. A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,


(17)

Hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana biasa

algeemeen strafrecht dengan hukum pidana khusus bijzonder strafrecht. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang pada umumnya, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum yang dengan sengaja dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja misalnya bagi anggota militer.26

Pengertian Militer, pengertian militer berasal dari bahasa Yunani “Milies” yang berarti sesorang yang dipersenjatai dan siap untuk melakukan pertempuran-pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan.27

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, yang berbunyi;

“Tentara adalah warga negara Indonesia yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna mengahadapi ancaman militer maupun acaman militer maupun ancaman bersenjata”

Tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional yang berbunyi:

“Tugas pokok TNI adalah menegakan kedaulatan negara mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tympah darah Indonesia dari anacaman dan ganganguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”

Pengertian tindak pidana militer adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer karena sifatnya militer, tindak pidana militer dalam KUHPM dibagi menjadi dua bagian yaitu: tindak pidana militer

26 Ibid.


(18)

murni (Zuiver Militerire Delict) dan tindak pidana militer campuran (Gemengde Militerire Delict) Contoh Tindak pidana militer murni yang diatur dalam KUHPM.28

Kejahatan dalam melakasanakan kewajiban perang sebagaimana diatur dalam Pasal 73 KUHPM yaitu:

“Diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun, militer yang pada waktu perang dengan sengaja menyerahkan kepada musuh atau membuat atau membiarkan berpindah ke dalam kekuasaan musuh , suatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki yang berada di bawah perintahnya, ataupun angkatan darat, angkatan laut angkatan udara atau sebagian dari padanya tanpa melakukan segala sesuatu untuk itu sebgaiamana yang dipersyaratkan atau dituntut oleh kewajiban dari dia dalam keadaan itu”

Kejahatan desersi sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Ayat (1), (2) dan (3) KUHPM yaitu:

“1) Diancam karena desersi, militer:

Ke-1, yang pergi dengan maksud untuk menarik diri untuk selamanya dari kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang kemusuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.

Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari;

Ke-3, yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada pasal 85 ke-2. 2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.

3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan.”

28 Ibid.


(19)

Kejahatan terhadap berbagai keharusan dinas sebagaimana diatur dalam Pasal 188 KUHPM yaitu:

“Penjaga yang meninggalkan pos dengan semaunya, tidak melaksanakan suatu tugas yang merupakan keharusan baginya ataupun membuat atau membiarkan dirinya dalam suatu keadaan dimana dia tidak mampu menjalakan tugasnya sebagai penjaga sebagimana mestinya diancam dengan pidana penjara maksimum empat tahun”

Tindak pidana militer campuran adalah suatu perbuatan yang terlarang yang sebenarnya sudah ada peraturannya hanya peraturan itu berada pada perundang-undangan yang lain, sedangkan ancaman hukumannya dirasakan terlau ringan apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang militer, oleh karena itu perbuatan yang telah diatur perundang-undangan lain yang jenisnya sama, diatur kembali dalam KUHPM disertai ancaman hukuman yang lebih berat, disesuaikan dengan kekhasan militer, contoh tindak pidana militer campuran:

1. Perkosaan yang dilakukan oleh seorang militer pada waktu perang, jika perkosaan dilakukan pada keadan damai maka pemerkosa dikenakan ancaman hukuman yang berlaku didalam KUHP, tetapi jika dilakukan pada waktu perang maka akan dikenakan ketentuan-ketentuan pada KUHPM

2. Pencurian perlengkapan militer, dimana militer tersebut diberi tugas untuk menjaganya, maka bagi militer yang melakukan pencurian itu tidak dikenakan


(20)

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHP, tetapi dikenakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPM.

Pengertian tindak pidana koneksitas ialah, tersangka pembuat delik penyertaan antara warga sipil dan Anggota militer, atau dapat juga dikatakan peradilan antara mereka yang tunduk kepada yurdiksi peradilan umum dan peradilan militer.29

Tindak pidana koneksitas menurut Pasal 198 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yaitu :

“Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”

Selain itu tindak pidana koneksitas diatur juga dalam Pasal 89 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:

“Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”

Apabila mencermati bunyi ketentuan kedua pasal diatas, maka pasal-pasal tersebut merupakan satu kalimat utuh tanpa diselangi oleh titik, hal ini menandakan bahwa makna kata bersama-sama selain diperutukan untuk tindak pidana atau perbuatan pidana tersebut dilakukan bersama-sama oleh

29 Andi Hamzah , Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, jakrta, 2010, hlm.


(21)

mereka yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer dan juga satu berkas yang sama.

Bahwa sebenarnya tindak pidana yang dilakukan oleh militer dengan sipil tersebut sudah ada ketentuan undang-undang yang mengaturnya namun dalam pelaksananya terdapat banyak hambatan dalam penyelesainya. Tujuan dari koneksitas memberikan jaminan bagi terlaksananya peradilan koneksitas yang cepat dan adil, walupun ada kemungkinan proses yang ditempuh ini tidak semudah seperti mengadili perkara pidana pada umumnya.30

Penentuan peradilan yang berwenang dalam mengadili perkara koneksitas, sekalipun telah ada ketentuan umum yang menetapkan perkara koneksitas diadili di lingkungan peradilan umum namun dalam Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memerintahkan untuk melakukan penelitian terlebih dahulu atas kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana koneksitas tersebut.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 90 Ayat (1) KUHAP menetukan sebagai berikut:

“Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2)”.

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang dalam bentuk kata benda pada istilah hukum Belanda diartikan sebagai “bevoegheid”. Jika dicermati, terdapat perbedaan antara istilah


(22)

kewenangan dengan istilah wewenang (bevoegheid) yang terletak pada karakter hukumnya, kewenangan adalah apa yang disebut dengan kekuasaan formal atau kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya sebagai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Pada kewenangan

terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).31

kewenangan atau wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Mengenai hal tersebut, H.D. Van Wijk/Willem sebagai berikut:.32

1) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada suatu organ/badan pemerintahan (toekening van een bestuurs bevoeg heid door een wetgeveran een bestuurs orgaan)

2) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya (overdracht van een bevoegheid van het een bestuurs orgaan aan een ander) ;

3) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya (een bestuurs orgaan isst zijn bevoegheid namenskem vitoevenen door een ander).

Wewenang yudikatif di Indonesia dikenal adanya beberapa lingkungan peradilan yang merupakan salah satu kenyataan dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Hal ini bertindak kepada ketentuan dasar pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

1) Ayat (2) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan peradilan yang ada dibawahnya

31 Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, 1987, hlm 20

32http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-kewenangan.html Diakses pada


(23)

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahakamah agung.

2) Ayat (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang.”

Ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselengaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pengadilan adalah lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk mengadili, yaitu menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.33

Dari ketentuan tersebut di Negara Indonesia dikenal adanya 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu:

1. Peradilan Umum 2. Peradilan Agama 3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Adapun kekuasaan masing-masing dari peradilan sebagai berikut : 1. Peradilan Umum

33

http://fourseasonnews.blogspot.com/2012/04/pengertian-pengadilan.html Diakses pada tanggal 11 Juni 2014 pukul 00.52 WIB


(24)

Mempunyai kekukasaan memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara pidana dan perkara data sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kecuali perkara pidana yang dilakukan oleh militer atau yang di persamakan menjadi yurisdiksi dari lingkungan peradilan militer.

2. Peradilan Agama

Mempunyai kekuasaan khusus memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang menyangkut hubungan perkawinan serta akibat-akibat bagi orang yang beragama islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

3. Peradilan Militer

Mempunyai kekuasaan memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana militer atau yang dipersamakan dengan militer dan juga mengadili, memeriksa dan memutus sengketa tata usaha militer sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 KUHPM yang berbunyi untuk penerapan kitab Undang-Undang ini, berlaku ketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama KUHP kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 2 KUHPM, maka bagi militer diberlakukan KUHP.


(25)

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan ini berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan yang antara negara di satu pihak dengan warga negara lain.

Dua lingkungan peradilan di antara keempat lingkungan peradilan tersebut, yakni peradilan umum dan peradilan militer mempunyai persamaan yaitu sama-sama berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara pidana, sedangkan perbedaannya adalah antara warga sipil dan militer terdapat dalam kaitan dengan penegakan hukum pidana membawa konsekuensi pula di bidang lingkungan badan peradilannya, lingkungan badan peradilan bagi orang sipil adalah peradilan umum dengan mempergunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan lingkungan badan peradilan bagi militer dengan mempergunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

Setelah melihat kewenangan dan fungsi masing-masing peradilan, bahwa sebenarnya tindak pidana yang dilakukan oleh militer dengan sipil tersebut sudah ada ketentuan undang-undang yang mengaturnya namun dalam pelaksanaanya terdapat banyak hambatan dalam penyelesainya. Tujuan dari koneksitas memberikan jaminan bagi terlaksananya peradilan koneksitas yang cepat dan adil, walupun ada kemungkinan proses yang ditempuh ini tidak semudah seperti mengadili perkara pidana pada umumnya.34

34 A.T. Hamid, Op. Cit hlm.36


(26)

Salah satu contoh kasus tindak pidana koneksitas yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan warga sipil, yaitu perkara yang dilakukan oleh seorang anggota Tentara Nasional Indonesia berinisilal RW bersama-sama dengan keenam warga sipil, yang diadili di Pengadilan Militer II-09 Bandung dengan nomor perkara: PUT/256-K/PM.II-09/AD/XII/2009.

Kronologi singkat dari kasus tersebut adalah sebagai berkut; Senin 18 Mei 2009 Terdakwa bersama para saksi berkumpul dirumah makan minang depan pulo gadung Jakarta lalu mereka mematangkan rencana pencurian dan melakukan pembagian tugas masing.

Selasa tanggal 26 Mei 2009 sekitar pukul 03.30 WIB saat sampai daerah Cicau jalan raya Padalarang Purwakata terdakwa bersama yang lainnya, berpapasan dengan satu unit truk hino Nomor Polisi B.9699.og bermuatan susu mereka melaksanakan pencurian terhadap truk tersebut, mereka mengacam kernet dan memukul kepala supir truk yang melakukan perlawanan dengan palu kecil hingga pinsan

Barang yang dicuri terdakwa bersama yang lainnya bernilai Rp 650,000,000 dan pada hari selesa itu juga barang tersebut dijual oleh dua orang teman tersangka (saksi-2 dan saksi-3) kepada saksi- 11 di daerah Bekasi namun harga jual belum di sepakati, dan pada tanggal 29 Mei 2009 sekitar 17.30 WIB di rumah makan minang di daerah pulogadung Jakarta terdakwa, saksi-2, saksi-3, saksi-4, saksi-5 dan saksi-6 berhasil ditangkap anggota kepolisian sedangkan sdr. Poni (Alm) meningal saat penangkapan, selanjutnya pada tanggal 30 Mei 2009 terdakwa diserahkan kepada petugas


(27)

Pomdam III/Siliwangi untuk diproses karena terdakwa adalah anggota militer (TNI) sedangkan pelaku lainya yaitu saksi-2, saksi-3, saksi-4, saksi-5 dan saksi-6 diproses dan berkas secara terpisah (Splitsing) melalui saluran peradilan umum.

Hakim menyatakan bahwa Terdakwa yang berinisial “EW” Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan, memidana Terdakwa dengan pidana pokok: Penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan mentapkan selama waktu Terdakwa berada dalam Tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, dan mendapatkan pidana tambahan dipecat dari dinas militer.

Berkaitan dengan Pasal 365 ayat (1) juncto ayat (2) KUHP, Pasal 26 KUHPM, Pasal 190 Ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

Pasal 365 Ayat (1) KUHP Berbunyi:

“ (1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, dihukum pencurian yang didahului, disertai atau di ikuti dengan kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada ditangannya”

Pasal 365 Ayat (2) KUHP Berbunyi:

“(2). Hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun, dijatuhkan

1e. jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam didalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada rumahnya atau dijalan atau didalam kereta api atau trem yang sedang berjalan


(28)

2e. jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih

3e. jika sitersalah masuk ketempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat, atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu

4e. jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat”

Pasal 26 KUHPM Berbunyi:

“Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata, selain dari pada yang ditentukan dalam Pasal 39, dapat dijatuhkan oleh hakim bersamaan dengan setiap putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara kepada seorang militer yang berdasarkan kejahatan yang dilakukan, dipandangnya tidak layak lagi tetap dalam kalangan militer.”

Pasal 190 Ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer Berbunyi:

(1) Apabila Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan pidana.

(2) Pengadilan dalam menjatuhkan putusan apabila Terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya Terdakwa tersebut ditahan apabila dipenuhi ketentuan sebagaiman dimaksud dalam pasal 79 dan terdapat alasan untuk itu.

(3) Dalam hal Terdakwa ditahan, Pengadilan dalam menjatuhkan putusannya dapat menetapkan. Terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskanya apabila terdapat alasan cukup itu.

(4) Waktu penahanan wajib dikurungkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

(5) Dalam hal Terdakwa pernah dijatuhi hukuman disiplinyang berupa penahan, hukuman disiplin tersebut wajibdipertimbangkan dari pidana yang dijatuhkan.

Berdasarkan perkara koneksitas yang di uraikan diatas, peneliti

berpendapat agar kasus ini perlu dituangakan kedalam suatu kajian


(29)

hukum berupa penulisan karya ilmiah skripsi untuk mencari jalan atas

permasalahan yang terjadi.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam spesifikasi penelitan ini bersifat pendekatan Deskriptif Analitis yaitu35:

“Menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas.”

Suatu pendekatan deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang masyarakat, sehingga mampu menjelaskan seperti apa tindak pidana koneksitas yang berkembang di intansi peradilan militer dan bagaimana tindakan hukum yang tepat agar penanganan kasus perkara koneksitas dapat berjalan sesuai dengan kewenengan peradilan-peradilan di Indonesia.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif, yaitu:36

“Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan norma-norma hukumya yang merupakan patokan untuk bertingkah laku atau melakukan perbuatan yang pantas.”

35 Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia

Indonesia, Semarang, 1998, hlm. 97-98.


(30)

3. Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu: a. Penelitian kepustakaan (library research) Penelitian kepustakaan yaitu:37

“Penelitian terhadap data sekunder, yang dengan teratur dan sistematis menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan bahan pustaka untuk disajikan dalam bentuk layanan yang bersifat edukatif, informatif, dan kreatif kepada masyarakat.”

Studi kepustakaan ini untuk mempelajari dan meneliti literatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan bagaimana penanganan mengenai pelaku yang sekaligus sebagai korban, sehingga data yang diperoleh adalah sebagai berikut:

1) Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti Undang-Undang dasar 1945, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Peradilan militer,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana Militer.

2) Data sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer antara lain:38

a) Rancangan peraturan perundang-undangan b) Hasil karya ilmiah para sarjana

37 Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2001, hlm. 42.


(31)

c) Hasil-hasil penelitian

3) Data Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan infomasi maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.39

b. Penelitian lapangan (Field Research) Penelitian lapangan yaitu:

“Suatu caramemperoleh data yang bersifat primer.”40

Penelitian ini dimaksudkan untuk menunjang dan melengkapi data primer, dengan caramelakukan pencarian data sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi literatur dan studi lapangan.Studi literature digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan primer, bahan sekunder maupun bahan tertier, sedangkan studi lapangan digunakan untuk memperoleh data primer yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan masalah penelitian.

5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti ialah sebagai berikut:

a.

Dalam Observasi digunakan catatan lapangan (catatan berkala).

b.

Dalam Interview, dipergunakan Directive Interview atau pedoman

wawancara terstruktur, dengan menggunakan buku catatan untuk mencatat hasil pembicaraan narasumber.

39Ibid.


(32)

6. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode yuridis kualitatif, yaitu dengan cara penyusunan data secara kualitatif dan sistematis untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas, kemudian data yang telah disusun dianalisis untuk dicari kesimpulan.

7. Lokasi penelitian

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data dan bahan untuk melakukan penelitian di berbagai lokasi, yang diantaranya adalah:

a. Perpustakaan:

1) Perpustakaan Hukum Universitas Padjadjaran Bandung yang bertempat di jalan Imam Bonjol No 21.

2) Perpustakaan Hukum Universitas Pasundan Bandung yang bertempat di jalan Lenngkong Dalam No. 17 Bandung.

b. Beberapa Instansi yaitu:

1) Pengadilan Militer II-09 Bandung yang bertempat di Jl. Soekarno-Hatta No. 745.


(33)

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

JUNCTO

UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA

NASIONAL INDONESIA

JUDICIAL AUTHORITY OF MILITARY LAW ENFORCEMENT IN THE CASE

CONNECTIVITY PERFORMED BY INDONESIAN ARMED FORCES (TNI) IS

ASSOCIATED WITH LAW NUMBER 31 YEAR 1997 ON MILITARY JUSTICE

LAW IN CONJUNCTION WITH NUMBER 34 OF 2004 ON INDONESIAN

ARMED FORCES

Oleh

Nama : Dian Pratama Sandi

NIM : 31610023

Program Kekhususan : Hukum Pidana

ABSTRAK

Indonesia adalah negara hukum, penegakan hukum berdasarkan keadilan dilaksanakan oleh setiap penyelenggara negara, setiap lembaga masyarakat, termasuk anggota TNI (militer), ada berbagai lembaga peradilan untuk berbagai status masyarakat yang melanggar hukum, seperti Peradilan Militer dan Peradilan Umum. Pengadilan Militer merupakan badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di dalam lingkungan militer, sedangkan Pengadilan Umum merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman untuk warga sipil pada umumnya, sistem peradilan militer di Indonesia saat ini lebih menganut pada sistem dimana peradilan militer mempunyai kewenangan yang bersifat umum yaitu berwenang mengadili tindak pidana militer dan tindak pidana umum atau tindak pidana yang dilakukan bersama-sama warga sipil dan anggota TNI (koneksitas). Dari penelitian dalam penulisan karya ilmiah ini menjadi penting untuk memberi jawaban atas beberapa permasalahan berikut ini. Bagaimana kewenangan peradilan mliter di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan bagaimanakah penyelesaian perkara koneksitas ditinjau dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian dan penulisan hukum ini adalah secara yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan norma-norma hukum yang merupakan patokan untuk bertingkah laku atau melakukan perbuatan yang pantas ditunjang dengan alat pengumpulan data berupa


(34)

Anggota TNI pelaku tindak pidana umum maupun tindak pidana yang dilakukan bersama-sama Anggota Militer bersama warga sipil (koneksitas) menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer diadili dalam lingkungan Peradilan Militer tetapi setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia maka pelaku tindak pidana umum maupun pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota TNI bersama-sama warga sipil (koneksitas) dalam mengadili merupakan kewenangan mengadili Pengadilan Negeri (umum). Proses penyelesaian perkara koneksitas berdasarkan peraturan perundang-undangan diadakannya Tim Tetap sesuai dengan ketentuan Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Pasal 198 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dibentuk dengan Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman, pelaksaan penyidikan oleh Tim Tetap koneksitas akan didapat suatu penetapan hukum bahwa perkara tersebut merupakan kewenangan dari lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer dengan pertimbangan, titik berat kerugian, sifat kejahatan, jumlah pelaku tindak pidana, tetapi setelah ditetapkannya Undang-Udang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia maka apabila perkara koneksitas yang dilakukan oleh TNI maka anggota TNI tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Negeri (umum).


(35)

Forces). There are various judicial bodies assigned for various statuses of people who violate law, such as military court and civil court. Military court is a body assigned to administer judicial authority within the military domain, whereas civil court is accorded with judicial authority upon civil member of society, in general. Nowadays, military court in Indonesia mainly adopts a system in which military court is accorded with an authority which is civil in nature, i.e. an authority to try criminal act and non-criminal act or a criminal act committed jointly by civil person and military member (connectivity case). The research conducted in connection with the writing of this paper is important in finding solution of several problems mentioned below. What is judicial authority of military court in Indonesia according to the Act Number 31 Year 1997 regarding Military Court after promulgation of the Act Number 34 Year 2004 regarding Indonesia Armed Forces, and how to solve the connectivity case as viewed from the Act Number 34 Year 2004 regarding Indonesia Armed Forces and the Act Number 31 Year 1997 regarding Military Court.

Method of approach used in this research and in writing this paper is juridical-normative, meaning that research or examination of legal principles were conducted with legal norms to which acceptable behaviors or acts refer, supported by tool of data collection in the form of observation and field records or periodic records and interview by the use of directive interview or structured interview guidelines.

From results of this research it was concluded that judicial authority upon member(s) of Indonesia Armed Forces who commit a civil criminal act or criminal act conducted by military personnel in joint with civil person (connectivity case) according to the Act Number 31 Year 1997 regarding Military Court, must be tried before the military court; however, after promulgation of the Act Number 34 Year 2004 regarding Indonesia Armed Forces, then actor of civil criminal act and criminal act committed by military personnel in joint with civil citizen (connectivity) must be tried by district (civil) court. The processes of trying connectivity case based on constitutional regulation must be assigned to a Definitive Team, in accordance with the stipulation of Article 89 of Criminal Code and Article 198 Act Number 31 Year 1997 regarding Military Court, was established based on the Decree of Minister of Defense and Security and Minister of Justice; implementation of investigation by connectivity definitive team resulted in a legal standing that the case fell into the domain of civil court or military court as based on considerations of focus of losses, nature of criminal act, and number of actor of the criminal act; however, after promulgation of the Act Number 34 Year 2004 regarding Indonesia Armed Forces, if a connectivity case is committed by member of Indonesia Armed Forces, then the case must be tried by district (civil) court.


(36)

negara, setiap penyelengara negara, setiap lembaga masayarakat termasuk kalangan militer, untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibutuhkan adanya lembaga untuk menegakan hukum dalam mencapai keadilan, kepastian hukum dan ketertiban sistem hukum yaitu badan-badan peradilan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman disebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan, dalam Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.

Lingkungan peradilan tersebut dalam mempunyai kewenangan yang berbeda-beda diantaranya peradilan militer dan peradilan umum, karena subyek dalam masing-masing peradilan mengandung perbedaan yang sifatnya mendasar. Peradilan umum adalah peradilan warga sipil yang pada umumnya berwenang dan memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sedangkan peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana yang pelakunya militer serta warga sipil dalam kasus perkara koneksitas, berdasarkan ketentuan tersebut maka sistem peradilan yang dijatuhkan kepada anggota militer dibedakan dengan warga sipil, anggota militer yang melakukan pelanggaran hukum, harus tunduk terhadap sistem di peradilan militer, yang dilaksanakan di Pengadilan Militer.


(37)

militer terdiri atas pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama, dan pengadilan militer pertempuran .1

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia menyatakan prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur oleh undang-undang.

Tentara Nasional Indonesia atau disebut juga prajurit TNI berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, (yang selanjutnya disebut TNI) adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan, yang dalam pengertian umum TNI terdiri atas Anggkatan Darat, Angkatan laut, dan Angkatan Udara.

TNI adalah suatu organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan Negara untuk menegakan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang serta ikut secara aktif dalam tugas pemilharaan perdamaian regional dan internasional.2

1 Moch. Faisal Salam Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,

2002, hlm.70.

2 Markas Besar TNI AD, Kultur Prajurit TNI Angkatan Darat , Jakarta: CV, Lavita Graha,


(38)

tindak pidana militer, tindak pidana umum dan perkara koneksitas.

Anggota Militer sebagai subjek hukum, artinya seseorang militer termasuk subjek tindak pidana umum dan juga subjek dari tindak pidana militer, artinya militer tersebut secara berbarengan adalah subjek dari tindak pidana umum dan tindak pidana militer.3

Tindak Pidana Militer adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus militer, tindak pidana militer yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (yang selanjutnya, disebut KUHPM) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu .4

1. Tindak pidana militer murni ( zuiver militaire delict ) dan 2. Tindak pidana campuran ( gemengde militaire delict )

a. Tindak pidana militer murni adalah tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena keadaanya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer mengkehendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana, disebutkan “pada prinsipnya” tindak pidana militer tersebut, ada perluasan subjek militer, contoh tindak pidana militer antara lain5 :

3 Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Cetakan ketiga, Diterbitkan Oleh: Badan

Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, Jakarta, 2010, hlm.20.

4Ibid.

5Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia,

Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm.279


(39)

seluruhnya atau sebagaian dari suatu pos yang diperkuat kepada musuh tanpa ada usaha mepertahankannya sebagian dituntut atau diharuskan dari padanya.

2) Kejahatan disersi yaitu kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seorang militer menarik diri dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara tanpa dibenarkan untuk itu.

3) Kejahatan Terhadap berbagai keharusan dinas yaitu seorang militer yang meninggalkan posnya dengan semaunya tidak melaksanakan sesuatu tugas yang merupakan keharusan baginya, ataupun membuat dan membiarkan dirinya dalam suatu keadaan dimana diamana dia tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai penjaga sebagaimana mestinya

b. Tindak pidana militer campuran adalah tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, dan diatur lagi dalam KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer), karena adanya sesuatu keadaan yang khas militer mengingat hal-hal khusus yang melekat pada hal seorang militer, misalnya: seorang militer sengaja dipersenjatai untuk menjaga keamanan justru mempergunakan


(40)

pada mereka telah dipupukan rasa korsa (corsa geest) akan tetap justru dari salah satu dari mereka melakukan pencurian di chambre

tersebut.

Tindak pidana koneksitas, diatur dalam Pasal 89 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menjelaskan Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.6

Ketentuan Pasal 89 ayat (1) KUHAP tersebut, apabila suatu peristiwa pidana dilakukan secara bersama-sama oleh orang-orang sipil yang tunduk kedalam lingkungan peradilan umum dengan anggota TNI yang tunduk dalam lingkungan peradilan militer, dalam tindak pidana yang seperti itu terdapat koneksi antara orang sipil dan anggota TNI, dengan adanya koneksitas antara dua kelompok yang berlainan lingkungan peradilanya dalam melakukan suatu tindak pidana, Yahya Harahap mengatakan, lebih efektif untuk sekaligus menarik dan mengadili mereka dalam suatu peradilan saja, mungkin diperiksa dan diadili di dalam lingkungan peradilan umum, dapat juga diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer.7

Tindak pidana koneksitas yang diatur dalam Pasal 198 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer menyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh

6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,

Jakarta, 2008, hlm 28.


(41)

lingkungan peradilan militer.

Peradilan koneksitas dalam perkara tindak pidana yang dilakukan bersama-sama militer dan warga sipil sering ditemui kendala yaitu ketidak mudahan dalam menentukan peradilan mana yang berwenang mengadili perkara koneksitas.8

Kewenangan dalam menentukan peradilan mana yang berwenang dalam perkara tindak pidana koneksitas, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Jaksa atau Jaksa Tinggi sebagai penyidik bersama-sama penyidik militer meliputi, Polisi Militer dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi yang merupakan satu tim melakukan penelitian perkara dan menyepakati peradilan mana yang harus mengadili perkara tindak pidana koneksitas tersebut.9 Sekalipun telah ada ketentuan umum yang menetapkan pada prinsipnya semua perkara koneksitas diadili dilingkungan peradilan umum, namun dalam Pasal 90 KUHAP memerintahkan untuk melakukan penelitian terlebih dahulu atas kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana koneksitas tersebut.

Tindak pidana yang terjadi di masyarakat yang dilakukan oleh Anggota TNI bersama-sama dengan orang sipil, pihak Instansi militer tersebut berusaha agar anggota TNI tersebut diadili dalam lingkungan peradilan militer. Dalam surat putusan Nomor : PUT-256-K/PM.II-09/AD/AD/XII/2009, dalam putusan ini terjadi pelanggaran perkara koneksitas yang dilakukan oleh anggota TNI dan keenam warga sipil

8 Kansil Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Penerbit, Balai Pustaka,

Jakarta, 1986, hlm.379.


(42)

Pengadilan Militer dan keenam tersangka dari warga sipil diadili di pengadilan umum.

Pemerintah dalam menjalankan sistem hukum di Indonesia tidak boleh ada warga negara yang mempunyai ke istimewaan termasuk dalam masalah peradilan, semua warga negara harus tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah seorang warga negara tersangkut hukum, oleh karena itu pengadilan harus dapat menjalankan dan mengayomi para pihak yang berperkara dipengadilan, dari kalangan sipil maupun dari kalangan militer, mengingat kejahatan bisa dilakukan oleh setiap orang baik dari kalangan sipil maupun militer atau kejahatan yang dilakukan bersama-sama antara sipil dan militer.

Meskipun telah ada pengaturannya, akan tetapi dalam prakteknya terdapat perbedaan, maksudnya antara apa yang seharusnya (das sollen) secara normatif tidak sesuai dengan kenyataan atau fakta yang terjadi (das sein), karena berdasarkan Pasal 89 KUHAP bahwa apabila terjadi tindak pidana yang sama-sama dilakukan oleh oknum militer dan sipil maka mereka diadili dalam lingkup peradilan umum.


(43)

Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia? 2. Bagaimanakah penyelesaian perkara koneksitas ditinjau dari Undang-Undang

Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer?

Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif, yaitu:10

Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan norma-norma hukumya yang merupakan patokan untuk bertingkah laku atau melakukan perbuatan yang pantas.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi literatur dan studi lapangan.Studi literature digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan primer, bahan sekunder maupun bahan tertier, sedangkan studi lapangan digunakan untuk memperoleh data primer yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan masalah penelitian.

10 Ibid, hlm. 15.


(44)

baik secara teoritis maupun dari segi praktis untuk seluruh masyarakat.

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan peneliti mengenaiKewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili Perkara tindak pidana konesitas

b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan tambahan bagi kepustakaan khususnya mengenai kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili perkara tindak pidana koneksitas

2. Kegunaan Praktis a. Bagi Mahasiswa

1). Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dari segi hukum pidana yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili perkara koneksitas.

2). Melatih cara berfikir praktis dan logis untuk memecahkan masalah hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana dan perkembangannya dimasyarakat.

b. Bagi Masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat mengenai kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili perkara tindak pidana koneksitas.


(45)

informasi dan pengetahuan bagi lembaga Fakultas hukum Universitas Komputer Indonesia dalam program kekhususan Hukum pidana, sebagai suatu sarana pengkajian masalah-masalah aktual secara ilmiah khususnya dalam penegakan hukum terhadap kewenangan Pengadilan Militer dalam perkara tindak pidana koneksitas.

d. Bagi Pemerintah

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran sebagai sumber pemikiran sebagai sumber pertimbangan mengambil tindakan hukum mengenai kewenangan Pengadilan Militer dalam mengadili tindak pidana perkara koneksitas.

Simpulan Dan Saran 1. Simpulan

a. Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana umum maupun tindak pidana militer ataupun tindak pidana yang dilakukan Prajurit TNI bersama-sama warga sipil (koneksitas), sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana Militer (KUHPM) Juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan militer, diadili di Peradilan Militer, tetapi setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia maka anggota TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum


(46)

yang di lakukan oleh TNI apabila akibat yang di timbulkan lebih kepada kepentingan umum maka yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Negeri (umum)

b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, mengatur, Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Juncto Pasal 3 Ayat (4) Ketatapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri yang menyatakan bahwa Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, maka seharusnya apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota TNI secara Individual maupun melakukan tindak pidana bersama-sama warga sipil (koneksitas) maka Anggota TNI tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Negeri (umum)

2. Saran

a. Adanya pelatihan atau seminar untuk menambah wawasan aparat penegak hukum terkait dengan penyelesain tindak pidana umum yang dilakukan oleh Angggota TNI, maupun tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh Anggota TNI dan warga sipil (koneksitas) setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).


(47)

tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota TNI bersama-sama warga sipil (koneksitas) setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga jelas yuridiksi pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas


(48)

106

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut maka terdapat beberapa hal pokok yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan, yaitu sebagai berikut:

1. Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana umum maupun tindak pidana militer ataupun tindak pidana yang dilakukan Prajurit TNI bersama-sama warga sipil (koneksitas), sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana Militer (KUHPM) Juncto

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan militer, diadili di Peradilan Militer, tetapi setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia maka anggota TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka untuk penanganan kasus tindak pidana umum maupun tindak pidana koneksitas yang di lakukan oleh TNI apabila akibat yang di timbulkan lebih kepada kepentingan umum maka yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Negeri (umum).


(49)

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, mengatur, Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Juncto Pasal 3 Ayat (4) Ketatapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri yang menyatakan bahwa Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, maka seharunya apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota TNI secara Individual maupun melakukan tindak pidana bersama-sama warga sipil (koneksitas) maka Anggota TNI tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Negeri (umum)

B. SARAN

1. Adanya pelatihan atau seminar untuk menambah wawasan aparat penegak hukum terkait dengan penyelesain tindak pidana umum yang dilakukan oleh Angggota TNI, maupun tindak pidana yang dilakukan bersama-sama .oleh Anggota TNI dan warga sipil (koneksitas) setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

2. Harus adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terkait menganai tindak pidana umum maupun tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota TNI bersama-sama warga sipil (koneksitas) setelah ditetapkannya


(50)

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga jelas yuridiksi pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas.


(51)

KEWENANGAN PERADILAN MILITER TERHADAP PENEGAKAN

HUKUM PADA PERKARA KONEKSITAS YANG DILAKUKAN OLEH

TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DIKAITKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN

MILITER

JUNCTO

UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2004

TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA

JUDICIAL AUTHORITY OF MILITARY LAW ENFORCEMENT IN THE

CASE CONNECTIVITY PERFORMED BY INDONESIAN ARMED

FORCES (TNI) IS ASSOCIATED WITH LAW NUMBER 31 YEAR 1997 ON

MILITARY JUSTICE LAW IN CONJUNCTION WITH NUMBER 34 OF

2004 ON INDONESIAN ARMED FORCES

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Penulisan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

Oleh

Nama : Dian Pratama Sandi

NIM : 31610023

Program Kekhususan : Hukum Pidana Dosen Pembimbing :

Dwi Iman Muthaqin, S.H.,M.H. NIP: 4127 330 0012

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(52)

vi

LEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN

ABSTRAK... i

ABSTRACT...ii

KATA PENGANTAR………....………iii

DAFTAR ISI...vi..

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...……….………... 1

B. Identifikasi Masalah………..……. 9

C. Maksud dan Tujuan...………...…....9

D. Kegunaan Penelitian………..10

E. Kerangka Pemikiran……….…….. 11

F. Metode Penelitian………..……...29

BAB II TINJAUAN

PUSTAKA

MENGENAI

KEWENANGAN

MENGADILI PERKARA KONEKSITAS

A. Kewenangan Pengadilan

...

33

1. Pengertian Pengadilan

………...………

33

2. Fungsi dan Tugas Pengadilan…….……….…...………… 34

3. Pengertian Teori Kewenangan………...………37

B. Susunan dan Kekuasaan pengadilan di Indonesia………... 42

1. Pengadilan Negeri………..………...…………..…. 42


(53)

3. Pengadilan Tata Usaha Negara………45

4. Pengadilan Militer………..……… 46

C. Tindak Pidana Militer... 51

1. Pengertian Militer………..……… 51

2. Hukum Pidana Militer………..……… 53

3. Macam-Macam Tindak Pidana MIliter………58

4. Tindak Pidana Koneksitas………61

5. Dasar Hukum Koneksitas………64

6. Maksud dan Tujuan Koneksitas... 71

BAB III HASIL PENELITIAN KASUS PERKARA KONEKSITAS YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) A. Terdakwa Pada Putusan No. PUT/256-K/PM.II-09/AD/XII2009... 74

B. Data Korban………74

C. Kasus Posisi………75

D. Putusan Pengadilan pada Putusan Perkara PUT/256-K/PM.II-09/AD/XII2009………...………... 80

BAB IV ANALISI KEWENANGAN PENGADILAN MILITER PADA PERKARA KONEKSITAS YANG DILAKUKAN OLEH TENTARA INDONESIA (TNI)

A. Analisis Kewenangan Peradilan Militer di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Setelah Ditetapkanya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia


(54)

(TNI)………... 88

B. Penyelesaian Perkara Koneksitas Ditinjau dari Undang-Undan Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara NasionaL...97

BAB V PENUTUP

A. Simpulan……….……….… 107

B. Saran……… 108

DAFTAR PUSTAKA……….. 110


(55)

110

Andi Hamzah ,Hukum Acara Pidana Indonesia, SinarGrafika, jakrta, 2010.

A.T. Hamid,

Praktek Penagdilan Perkara Pidana

, Rajawali, Jakarta, 1982.

CikHasan Basri

, Peradilan Agama di Indonesia

, Raja GrafindoPersada,

Jakarata, 2003.

Erdianto Efendi,

Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung,

2011.

E. Y Kanterdan SR Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan

penerapannya, StoriaGrafika, Jakarta, 2010.

Hadjon, Philipus M,

Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia,

Bina

Ilmu, Surabaya, 1987.

Henry Cambell Black,

Black’s Law Dictionary,

Amerika Serikat, West

Publishing, Co., 1978, hlm 121.

Kaelan,

Pendidikan Kewarganegaraan

, Paradigma, Yogyakarta, 2007.

Kansil

Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,

Penerbit, Balai

Pustaka, Jakarta.

M. Yahya Harahap,

Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Markas Besar TNI AD,

Kultur Prajurit TNI Angkatan Darat

, Jakarta: CV,

LavitaGraha.

Mahkamah Agung RI,

Pedoman PelaksanaanTugas dan Administrasi


(56)

Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem

Peradilan Pidana Indonesia

. Alumni, Bandung. 2003.

Moch.Faisal Salam

HukumAcara Pidana Militer di Indonesia,

Mandar

Maju, Bandung.

Moch. Faisal salam,

Hukum Pidana Militer di Indonesia,

Mandar Maju,

Bandung, 2006.

Mochta rKusuma Atmadja,

Hukum Dalam Pembangunan

, Alumni,

Bandung, 2006.

Mochta rKusuma Atmadja,

Pengantar Ilmu Hukum,

Alumni, Bandung,

2009.

Otje Salman Soemangdiningrat, Anthon F, TeoriHukum, Mengingat,

Mengumpulkan, dan Membuka Kembali. PT. Refika Aditama,

Bandung, 2010.

P. A.F. Lamintang,

Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia

, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Pusat Bahasa Departemen PendidikanNasional,

Kamus Besar Bahasa

Indonesia,

Pusat Bahasa, Jakarta.

Ronny HanitjoSoemitro,

Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri

,

Ghalia Indonesia, Semarang, 1998

SalimHs, Erlies Septiana Nurbani,

PenelitianTesis dan Disertasi,

PT Raja


(57)

Oleh: Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia,

Jakarta, 2010..

Subekti, R. Tjitrosoedibio,

Kamus Hukum

, Pradnya Paramita, Jakarta,

1972.

SoejonoSoekanto

dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif

, PT.

Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2001.

SitiSoetami,

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

, Refika

Aditama, Bandung.

S.R. Sianturi Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapanya ,

Alumni AHM-PTHM, Jakarta 1986.

Sumaryanti, Peradilan Koneksitas di Indonesia, Bima Aksara, Jakarta

1987.

Winarno,

Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan,

Penerbit Bumi

Aksara, Jakarta, 2013.


(58)

PUT/256-K/PM.II-09/AD/XII2009

SUMBER INTERNET

http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-kewenangan.html

Diakses pada tanggal 8Juni 2014 pukul 21.00 WIB

http://fourseasonnews.blogspot.com/2012/04/pengertian-pengadilan.html

Diakses pada tanggal 11 Juni 2014 pukul 00.52 WIB

http://zaldym.wordpress.com/2008/10/23/ibnu-khaldun-bapak-sosiologi-islam/ Diakses pada tanggal 3 Juli, 2014 pukul 02.14 WIB

Diah Restuning Maharani, Teori Kewenangan, http : //www.blogspot.com/

Diakses pada tanggal 18 Jun, i 2014, pukul 22.56 WIB

http://ryandotuwaidan.blogspot.com/2011/05/penyelesaian-perkara-koneksitas.html

Diakses pada tanggal 23, Juni, 2014, pukul 06.57 WIB

http://lawindonesia.wordpress.com/hukum-islam/pengertian-peradilan-dan-pengadilan/ Diakses pada tanggal 28 Desember, 2014, Pukul, 20:07WIB


(59)

Tempat/Tanggal Lahir : Cimahi, 25-06-1990

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Mekarsari, Jalan Lapang Tembak, Kel. Padasuka, Kec. Cimahi Tengah, Kota Cimahi

Telepon : 087722449298

Email : dianpratamasandi@gmail.com

Status : Belum Menikah

PENDIDIKAN FORMAL

MI AL-HIDAYAH CILEGON ( BANTEN)

SDN. SAMANGRAYA 1 CILEGON (BANTEN) MTsN SUKASARI CIMAHI (JAWA BARAT)

MAN KALIANDA LAMPUNG SELATAN (LAMPUNG) UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

PENGALAMAN KERJA PRAKTIK


(1)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat serta karena ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang dengan judul “Kewenangan Peradilan Militer Terhadap Penegakan Hukum Pada Perkara Koneksitas Yang Dilakukan Oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer Juncto Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang

Tentara Nasional Indonesia” solawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad

SAW kepada para sahabat dan umatnya di akhir zaman.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapan kepada ayahanda dan ibunda yang telah memberikan motivasi doa yang barokah dan dorongan moril serta materil yang tiada henti-hentinya kepada peneliti.

Peneliti mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat dan terpelajar Dwi Iman Muthaqin, S.H.,M.H., selaku pembimbing Skripsi peneliti yang berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan dorongan kepada peneliti sejak pengajuan judul Skripsi, penyusunan, hingga penulisan Skripsi ini.

Ucapan terima kasih yang tulus juga peneliti sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada peneliti, sampai dengan selesainya Skripsi ini terutama kepada yang terhormat:


(2)

iv

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto M.Sc., selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Yth., Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth, Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali Angkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang selalu dengan penuh kesabaran mendampingi kami semua.

5. Yth. Febilita Wulansari, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Rika Rosilawati Ruhimat, A.Md., selaku Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Sugeng Sutrisno, S.H., M.H., selaku Kepala Pengadilan Militer II-09 Bandung yang telah menrima dan menyediakan tempat dan waktunya untuk peneliti melakukan penelitian;

Peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman perjuangan Fakultas hukum Universitas Komputer Indonesia Angkatan 2010 Khususnya yth Arman Marlando dan Farhan Aziz, Ivan Reynaldi yang dari awal sampai akhirr kuliah setia menemani berserta Angkatan 2011-2014 antara lain, Rohimin sangadji, rijal, rizky iskandar, arif rahman, rhendy, okky, reyhan, Tony, ilham, hasbi, igga, nurfadila, pina, anggitya putri, nurul edwina, dila, asmaul husna, malik, jhordan.


(3)

v

Akhir kata semoga segala pengorbanan yang diberikan oleh orang-orang terkasih dalam menyelesaikan penulisan Skripsi ini, baik moril maupun materil mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga penulisan Skripsi ini bermanfaat bagi para masyarakat pada umumnya.

Bandung, 13 Januari 2015 Peneliti

Dian Pratama Sandi 316.100.23.


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia

9 146 215

TINJAUAN MENGENAI HUBUNGAN ANTARA BADAN PEMBINAAN HUKUM TENTARA NASIONAL INDONESIA (BABINKUM TNI) DAN ODITURAT MILITER (ODMIL) DALAM PENANGANAN PERKARA.

0 3 10

TINJAUAN MENGENAI HUBUNGAN ANTARA BADAN PEMBINAAN HUKUM TENTARA NASIONAL INDONESIA (BABINKUM TNI) DAN TINJAUAN MENGENAI HUBUNGAN ANTARA BADAN PEMBINAAN HUKUM TENTARA NASIONAL INDONESIA (BABINKUM TNI) DAN ODITURAT MILITER (ODMIL) DALAM PENANGANAN PERKARA.

0 4 14

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI TINJAUAN TERHADAP FUNGSI ODITUR MILITER DALAM PROSES PERKARA KONEKSITAS DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER.

1 4 13

BABI TINJAUAN TERHADAP FUNGSI ODITUR MILITER DALAM PROSES PERKARA KONEKSITAS DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER.

0 3 15

PENUTUP TINJAUAN TERHADAP FUNGSI ODITUR MILITER DALAM PROSES PERKARA KONEKSITAS DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER.

0 4 5

IMPLEMENTASI PEMASYARAKATAN NARAPIDANA TENTARA NASIONAL INDONESIA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN MILITER PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA.

0 1 21

Pencerminan Nilai-nilai Sapta Marga Sebagai Jati Diri Tentara Nasional Indonesia Ditinjau Dari Ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.

0 0 16

UU 31 1997 PERADILAN MILITER

0 0 94

KEKERASAN TERHADAP ISTRI YANG DILAKUKAN OLEH PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DAN PENYELESAIANNYA DI PERADILAN MILITER Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 14