Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia

(1)

KEWENANGAN PERADILAN MILITER PASCA

BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 34 TAHUN 2004

TENTANG

TENTARA NASIONAL INDONESIA

TESIS

Oleh

PAUL SIHOMBING

0670055037/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEWENANGAN PERADILAN MILITER PASCA

BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 34 TAHUN 2004

TENTANG

TENTARA NASIONAL INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

PAUL SIHOMBING

0670055037/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN PERADILAN MILITER PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA Nama Mahasiswa : Paul Sihombing

Nomor Pokok : 077005037 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 10 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Penulisan ini mengkaji kewenangan Peradilan Militer pasca berlakunya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini bertitik tolak dan Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR No: VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri yang ada kaitannya dengan pertahanan keamanan (HANKAM) karena pertahanan dan keamanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena merupakan politik nasional untuk mencapai tujuan negara. Kemudian diikuti Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang penundukan Militer pada peradilan umum dalam melakukan Tindak Pidana Umum. Sedangkan militer sudah merupakan Yustisiabel Peradilan Militer termasuk Civil yang berhubungan dengan Pertahanan Keamanan Negara (Bangsa dan Negara).

Politik nasional (negara) harus mampu menerapkan kebijakan pertahanan keamanan sebagai suatu strategi nasional untuk dapat mencapai tujuan nasionalnya. Kebijakan strategi pertahanan keamanan (Hankam) menyangkut harkat martabat bangsa, untuk itu politik negara hendaknya memahami akar kewibawaan negara yang merupakan konsensus dasar yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam mencapai tujuan fungsi dan hakekat Hankamnas. Guna penyelesaian permasalahan yang melemahkan Hankamnas baik pertahanan yang menyangkut tugas fungsi militer sebagai aparat pertahanan yang menyangkut kewajiban pelibatan seluruh rakyat, bila tidak terlaksana akan dapat merongrong keamanan nasional (keamanan melalui pembinaan suatu ketertiban dan keamanan penegakan hukum, pembinaan pertahanan keamanan dalam rangka mewujudkan stabilitas nasional. Dengan demikian negara kita tidak terpengaruh kepada situasi yang melemahkan martabat bangsa dimata dunia. Hal ini merupakan kendala bagi Hankamnas, karena menyangkut tugas TNI sebagai penegak Kedaulatan. Akar permasalahan dari ketidakamanan berhubungan dengan ketertiban sipil melalui penegakan hukum hendaknya bersifat Out Word Looking “sekaligus” Inword Looking sebab dalam politik negara harus merupakan kebulatan Hankamnas, Pertahanan, Keamanan yang tercermin dalam politik luar negeri. politik dalam negeri, serta hukum dan HAM sebagai bagian dari kepentingan nasional maka satu sama lain harus terkait erat dan bersinergi dengan tujuan nasional masyarakat yang adil dan makmur. Kata Kunci : Kewenangan, Pasca berlakunya undang-undang, Tentara Nasional


(6)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the authority of military court after the issuance of Law No. 34/2004 on the Indonesian National Army. The focus of study is based on Article 3 (4) a of Decision of MPR (the People’s Advisory Assembly) No: VII/MPR/2000 on the roles of the Indonesian National Army and the Indonesian Police related to defence and security which are inseparable and become the national politics to achieve the state objectives and Article 65 (2) and (3) of Law No.34/2004 on the subjection of military to public trial in performing general criminal act while the military has been subjugated into a justifiable military court including the civilian related to State Security Defense ( Nation and State).

National politics (state) must be able to apply the policy of security and defense as a national strategy to achieve the national objectives. The policy of security and defense strategy concerns with the nation’s dignity and values, therefore, the national politics should understand the national authority which has been a basic consensus namely Pancasila, UUD 1945, NKRI, and Bhinneka Tunggal Ika in achieving the objective, function and essence of Hankamnas (National Security and Defense). To settle the problem that weakens the National Security and Defense either the defense relating to the duty and function of military as defense apparatus or the involvement of all people because if not implemented it can disturb the national security (security through the development of order and security in law enforcement, the development of defense and security to materialize the national stability).So our country will not be influenced to the situation that weakens the dignity of our people in international relation. This becomes a constraint for Hankamnas because it is related to the duty of the Indonesian National Army as sovereignty upholder. The root of insecurity problem related to civilian order through law enforcement should be both out-world looking and in-world looking because in politics, state must be the unity of National Security Defense, Defense, Security portrayed in international politics, domestic politics, and law and human rights as part of national interest that they must be tightly related to each other and have synergy with the national objective of just and prosperous society.

Key words: Authority, of law Tribunal, Indonesian National Army


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dan Pengasih, karena atas kasih dan berkatNya tesis yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan Studi pada Pascasarjana Program Studi Ilmu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini dapat terselesaikan.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS., Prof. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH., M.H. Semua atas segala bimbingan kesabaran dan ketelitian serta tauladannya, di tengah-tengah kesibukan Beliau. Semoga Beliau senantiasa mendapat Berkat dan Rahmat Yang Melimpah dan semakin diberi Kebijaksanaan serta umur panjang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu pula kepada seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staf Pengajar, Staf Pasca Sarjana Ilmu Hukum atas bantuan dan pelayanan yang baik.

Dalam kesempatan ini, secara khusus disampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Suhadi, SH., MH., Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum atas koreksi, kritik dan saran demi sempurnanya tulisa ini, semoga Bapak senantiasa diberi kemurahan dan kemudahan dalam melaksanakan tugas mulia Bapak.

Melalui kesempatan ini, secara khusus disampaikan ucapan terima kasih kepada Istri dan anak-anakku atas pengertian, kesabaran dan dorongan serta doa yang senantiasa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih agar penulis dapat menyelesaikan penulisan ini.


(8)

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Hukum Kodam I/BB, Kepala Pengadilan Militer Tinggi I – Medan, Kepala Oditurat Militer Tinggi I – Medan, atas bantuan berupa pemberian ijin dan kesempatan serta kerjasama dan pengertian Bapak juga.

Kepada Pengadilan Militer I – 02 Medan dan Kepala Oditur Militer I – 02 Medan, Kamasmil dan juga, Sdra/i para senior dan rekan-rekan sekerja di Badan Peradilan Militer Medan serta Kepala Pemasyarakatan Militer (Ka. Masmil) atas bantuan berupa moral dan materil, dan kepada semua rekan, sobat dan handaitaulan yang telah menyiapkan dan memberikan data yang dibutuhkan, demikuan pula rekan-rekan Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan 2006/2007, serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang turut membantu dalam hal pemberian data dan bahan diskusi, sehingga terselesaikannya penulisan ini.

Selanjutnya, seperti pepapatah tiada gading yang tak retak, maka disadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, karena keterbatasan yang ada pada penulisan, oleh karena itu segala saran dan masukan serta kritik yang positif dan konstruktif sangat diharapkan dalam rangka kesempurnaan penulisan ini.

Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi mereka yang membutuhkannya.

Medan, Agustus 20009 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Paul Sihombing

Tempat/Tanggal Lahir : Deli Tua, 13 November 1963 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : TNI AD

Alamat : Jalan Gaperta VII No. 26 H Medan

Pendidikan : SD Negeri 1 Deli Tua Tamat Tahun 1976

SMP Khatolik Delimurni Deli Tua Tamat Tahun 1980

SMA Khatolik Delimurni Deli Tua Tamat Tahun 1983

Strata Satu (S1) Sekolah Tinggi Hukum Militer Tamat Tahun 1999

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 11

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Manfaat Penelitian... 12

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

G. Metode Penelitian ... 25

BAB II LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER DALAM KEPENTINGAN PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA ... 29

A. Peradilan Militer Pada Masa Penjajahan Belanda... 59

B. Masa Penjajahan Jepang ... 65

C. Masa Kemerdekaan Indonesia ... 67

D. Peradilan Militer Masa R.I.S Tahun 1949-1950 ………… ... 79

E. Peradilan Militer Masa Berlakunya UUDS tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 ………... .. 81

F. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966 ... .. 85

G. Peradilan Militer Tahun 1966 sampai dengan tahun 1997 . .. 92


(11)

BAB III KEWENANGAN PERADILAN MILITER BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 34 TAHUN

2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA ... 134

A. Ruang Lingkup ... 134

1. Prajurit ... 135

2. Hukum Pidana Militer ... 137

3. Hukum Pidana Umum ... 139

4. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Militer ... 142

5. Persamaan KUHP dengan KUHPM ... 145

6. Kekhususan KUHPM vis – a – vis KUHP ... 145

B. Sistem Peradilan Pidana Militer... 153

1. Perbedaan Komponen SPP dengan Komponen SPPM... 154

2. Asas Hukum Acara Pidana Militer ... 155

3. Komponen Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) ... 157

4. Proses pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh militer ... 168

C. Perundang-Undangan Yang Mengatur Penundukan Militer Kepada Kekuasaan Peradilan Umum Dalam Melakukan Tindak Pidana Umum ... 171

BAB IV EKSISTENSI PERADILAN MILITER... 180

A. Susunan Pengadilan ... 181

B. Hal-hal yang Menjadi Dasar Pemikiran Masyarakat yang Menghendaki Militer Tunduk pada Peradilan Umum Dalam Melakukan Tindakan Umum... 185

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 196

A. Kesimpulan ... 196

B. Saran ... 197


(12)

ABSTRAK

Penulisan ini mengkaji kewenangan Peradilan Militer pasca berlakunya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini bertitik tolak dan Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR No: VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri yang ada kaitannya dengan pertahanan keamanan (HANKAM) karena pertahanan dan keamanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena merupakan politik nasional untuk mencapai tujuan negara. Kemudian diikuti Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang penundukan Militer pada peradilan umum dalam melakukan Tindak Pidana Umum. Sedangkan militer sudah merupakan Yustisiabel Peradilan Militer termasuk Civil yang berhubungan dengan Pertahanan Keamanan Negara (Bangsa dan Negara).

Politik nasional (negara) harus mampu menerapkan kebijakan pertahanan keamanan sebagai suatu strategi nasional untuk dapat mencapai tujuan nasionalnya. Kebijakan strategi pertahanan keamanan (Hankam) menyangkut harkat martabat bangsa, untuk itu politik negara hendaknya memahami akar kewibawaan negara yang merupakan konsensus dasar yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam mencapai tujuan fungsi dan hakekat Hankamnas. Guna penyelesaian permasalahan yang melemahkan Hankamnas baik pertahanan yang menyangkut tugas fungsi militer sebagai aparat pertahanan yang menyangkut kewajiban pelibatan seluruh rakyat, bila tidak terlaksana akan dapat merongrong keamanan nasional (keamanan melalui pembinaan suatu ketertiban dan keamanan penegakan hukum, pembinaan pertahanan keamanan dalam rangka mewujudkan stabilitas nasional. Dengan demikian negara kita tidak terpengaruh kepada situasi yang melemahkan martabat bangsa dimata dunia. Hal ini merupakan kendala bagi Hankamnas, karena menyangkut tugas TNI sebagai penegak Kedaulatan. Akar permasalahan dari ketidakamanan berhubungan dengan ketertiban sipil melalui penegakan hukum hendaknya bersifat Out Word Looking “sekaligus” Inword Looking sebab dalam politik negara harus merupakan kebulatan Hankamnas, Pertahanan, Keamanan yang tercermin dalam politik luar negeri. politik dalam negeri, serta hukum dan HAM sebagai bagian dari kepentingan nasional maka satu sama lain harus terkait erat dan bersinergi dengan tujuan nasional masyarakat yang adil dan makmur. Kata Kunci : Kewenangan, Pasca berlakunya undang-undang, Tentara Nasional


(13)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the authority of military court after the issuance of Law No. 34/2004 on the Indonesian National Army. The focus of study is based on Article 3 (4) a of Decision of MPR (the People’s Advisory Assembly) No: VII/MPR/2000 on the roles of the Indonesian National Army and the Indonesian Police related to defence and security which are inseparable and become the national politics to achieve the state objectives and Article 65 (2) and (3) of Law No.34/2004 on the subjection of military to public trial in performing general criminal act while the military has been subjugated into a justifiable military court including the civilian related to State Security Defense ( Nation and State).

National politics (state) must be able to apply the policy of security and defense as a national strategy to achieve the national objectives. The policy of security and defense strategy concerns with the nation’s dignity and values, therefore, the national politics should understand the national authority which has been a basic consensus namely Pancasila, UUD 1945, NKRI, and Bhinneka Tunggal Ika in achieving the objective, function and essence of Hankamnas (National Security and Defense). To settle the problem that weakens the National Security and Defense either the defense relating to the duty and function of military as defense apparatus or the involvement of all people because if not implemented it can disturb the national security (security through the development of order and security in law enforcement, the development of defense and security to materialize the national stability).So our country will not be influenced to the situation that weakens the dignity of our people in international relation. This becomes a constraint for Hankamnas because it is related to the duty of the Indonesian National Army as sovereignty upholder. The root of insecurity problem related to civilian order through law enforcement should be both out-world looking and in-world looking because in politics, state must be the unity of National Security Defense, Defense, Security portrayed in international politics, domestic politics, and law and human rights as part of national interest that they must be tightly related to each other and have synergy with the national objective of just and prosperous society.

Key words: Authority, of law Tribunal, Indonesian National Army


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah perebutan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. melahirkan komitmen bangsa, jati diri bangsa keyakinan percaya pada kekuatan sendiri dan melahirkan tradisi kepejuangan.

Lahirnya peradilan militer tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah. Lahirnya Tentara Nasional Indoensia (TNI) yang telah melahirkan keamanan bagi bangsa dan negara yakni TNI dengan Rakyat bersatu padu mengusir penjajah dari bumi Indnesia meskipun telah banyak menelan korban para pahlawan perintis kemerdekaan gugur sebagai patriot, pahlawan heroik dengan gagah perkasa, berani menentang maut, sebagai bukti kecintaan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia meski harus berkorban jiwa dan raganya.

Sejalan sejarah perebutan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan telah disusun pula oleh para Pahlawan Perintis Kemerdekaan (BPUPKI). Konsep dasar negara kita oleh putra-putra terbaik bangsa yakni Soekarno, Soepomo dan Hatta yang kemudian menjadi Komitmen bangsa Indonesia yang berdaulat, maka lahirlah Pancasila Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).

Peradilan militer sebagai lembaga/peradi1an khusus bagi militer yang sudah ada sebelum Perang Dunia I dan terselenggara diberbagai negara. Peradilan Militer di Indoensia pada masa penjajahan sampai dengan kemerdekaan dan sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara masih kapabel, fisibel


(15)

dan eksis serta fleksibel sebagai penegak hukum dan keadilan, juga sebagai perekat bangsa. Lahirnya keamanan merupakan kesadaran, keinginan, kerelaan, sebagai perwujudan putra-putri terbaik pahlawan bangsa, dan pahlawan tumbuh dari rasa persatuan, rasa senasib terhadap tanah air tercinta yang telah membentuk barisan keamanan oleh pejuang-pejuang rakyat. Kemudian terbentuknya BKR, TKR, TRI dan menjadi TNI, hal ini merupakan tonggak keamanan bangsa dan negara yang merupakan catatan sejarah.

Pada tanggal 30 September 1945 Pemuda Pemudi yang mencintai kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 membentuk organisasi massa Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) di Aceh berdiri Ikatan Pemuda Indonesia (IPI). Di medan berdiri Barisan Pemuda Indonesia (BPI), Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Riau berdiri Pemuda Indonesia (PI). Organisasi-organisasi massa yang banyak berdiri itulah diantaranya menjelma menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Tanggal 10 Oktober 1945 secara resmi terbentuk TKR, tanggal 12 Oktober 1945 di Aceh berdiri TKR devisi V, Tanggal 10 Oktober 1945 di Sumatera Timur berdiri TKR Devisi IV, Tanggal 10 Nopember 1945 di Tapanuli berdiri TKR Divisi VI dan Tanggal 1 Juni 1946 di Sumatera Tengah (Sumatera Barat-Riau) berdiri TKR Divisi III. Tanggal 13 Desember 1949 dibentuk Komando Tentara Teritorium Sumatera Utara (KOTT-SU). 1

Dalam perjalanan sejarah Peradilan Militer telah banyak mengalami perubahan-perubahan, namun di Era Reformasi telah pula terjadi pergesaran


(16)

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Saat ini masih terus berlangsung revisi terhadap Peradilan Militer sebagai usul DPR terhadap Pemerintah sebagaimana terdapat dalam TAP MPR dan tertuang dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Dalam teori atau filsafat hukum, agar hukum ditaati, (maksudnya) ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, ssosiologis dan filosofis. Karena peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik harus mengandung ketiga unsur tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsur itu? Hal ini akhirnya sangat tergantung pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur kebaikan hukum dari “rechtsidee” tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis.2

TNI sebagai Wadah pengabdian, pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia telah timbul keyakinan yang kuat tentang hakikat pertahanan dan keamanan negara (Hankamneg) yaitu perlawanan rakyat semesta, yang dilaksanakan dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) dimana TNI sebagai angkatan perang terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU), yang menjadi komponen

2


(17)

utama kekuatan Hankamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan Hamkamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan siap yang relatif kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilisasi yang tinggi dan kekuatan cadangan yang cukup.

Peradilan Militer merupakan wadah, pembinaan prajurit TNI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan, pertahanan maupun keamanan negara. Dalam hal itu pembinaan prajurit TNI merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap Komandan/Pimpinan satuan TNI yang bersangkutan mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. 3 Tugas dan beban yang berat dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan NKRI dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta. Sejalan dan searah dengan sejarah perkembangan Peradilan Militer di Indonesia dan masa ke masa

a. Peradilan Militer pada masa penjajahan

b. Peradilan Militer pada masa perang kemerdekaan (1945-1949) c Peradilan Militer masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950) d. Peradilan Militer masa berlakunya UUDS (1950-1959)

e Peradilan Militer Periode 5 Juli I 959 sampai dengan 11 Maret 1966. f Peradilan Militer 1966 sampai dengan 1997.

g. Peradilan Militer Tahun 1997 sampai dengan sekarang.

Peradilan militer telah berjalan sebagaimana mestinya dan telah melaksanakan reformasi. Perubahan sistim dan sistem dan unsur-unsur pidana

3


(18)

akan sangat berpengaruh terhadap sub sistem lainnya. Hal ini juga menyangkut legalitas baik legal structure, legal substance dan legal culture Doktrin-doktrin yang terdapat dalam hukum militer dan hukum acara pidana militer.

Generasi yang menjalankan negeri saat ini memang bukanlah mereka yang bermandikan peluh darah dalam memperjuangkan kemerdekaan, bila tidak kita lestarikan, bisa saja apapun yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala. Akibat kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan dihargai. 4

Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa para pahlawannya Kata-kata bijak ini mengandung makna yang dalam dan sangat berarti bila kita mengenang dan memaknainya dengan menghargai perjuangan para pahlawan kita, yang rela berkorban jiwa raga demi bangsa dan tanah air tercinta. Para pahlawan yang gugur di medan tempur dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, gugur menjadi bunga kesuma bangsa yang tidak ternilai harganya. Hal inilah yang diwariskan oleh para pahlawan patriot bangsa dengan keberanian dan rela berkorban seogianya kita jadikan benteng dihati sanubari setiap anak bangsa untuk melanjutkan cita-cita negara dalam mengisi kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia tercinta. Semboyan para pejuang kita dalam meraih kemerdekaan “lebih baik hancur lebur bersama debunya kemerdekaan, dari pada hidup subur di alam penjajahan”

4


(19)

Sejarah Perjuangan bangsa ini pulalah yang melahirkan patriot putra-putra bangsa. Berperang mengusir penjajah dengan gagah perkasa dalam gabungan kesatria-kesatria dengan laskar pejuang-pejuang lainnya walau dengan persenjataan yang amat sederhana, terkenal dengan bambu runcingnya melawan meriam dan mortir belanda. Dari laskar pejuang yang berubah menjadi BKR, TKR, TRI, TNI inilah penjelmaan rakyat Indonesia dalam perjuangan menjadi tradisi bangsa manunggal TNI dengan rakyat. Dari pengalaman perjuangan yang panjang TNI sebagai penjelmaan seluruh rakyat mampunyai tugas dan fungsi sebagai penegak kedaulatan.

Dalam teorinya: Teori kedaulatan rakyat bertolak dari persefsi bahwa sesungguhnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara, bukan Penguasa karena penguasa condong mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, maka perlu adanya pembatasan-pembatasan atas kekuasaan yang diserahkan kepada penguasa itu.5

Menurut John Locke utama mengadakan suatu perjanjian masyarakat untuk membentuk negara adalah untuk mempertahankan hak-hak asasi. Dalam perjuangan masyarakat tadi ketika dilakukan penyerahan hak-hak tersebut karena menurut anggapan John Locke kekuasaan seorang Dewan/Pemerintah yang tanpa batas (absolut) dikhawatirkan dapat memperkosa hak asasi. Jadi anggap dapat melenyapkan hakekat dan tujuan membentuk negara.6

5

Majalah Advokasi Hukum, Konsep Kedaulatan Rakyat, Edisi 16 Juni 2009. 6


(20)

Distorsi militer pada masa orde baru dengan rezim yang sangat kuat tidak terlepas dari pendelegasian kewenangan TNI sebagai penegak kedaulatan dan sebagai kekuatan pertahanan keamanan.

Peradilan Militer dalam masa periode tahun 1966 sampai dengan tahun 1998 sebagai awal reformasi, pada masa tersebut TNI telah begitu kuat dan disebut rezim militer yang dinamakan Orde Baru. Hal ini harus diakui merupakan distrorsi yakni kekuatan politik yang dominan tanpa tantangan yang berarti dari kekuatan politik sipil terhadap otoritasnya. Kesalahan orde baru ini disebut rezim militer, terutama dalam bidang kekaryaan, yang dapat melahirkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Negatifnya TNI dapat melakukan pelanggaran HAM yaitu hak demokrasi. Namun dari sisi lain (positifnya) Indonesia telah dapat mempersatukan Asia dan diperhitungkan oleh bangsa dunia. Pada masa orde baru telah terjadi krisis, dimulai dari krisis moneter sampai dengan krisis global termasuk krisis kepercayaan. Dengan adanya penyelewengan seperti : Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini hendaknya diikuti langkah-langkah nyata dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Hingga pada saat ini masih terjadinya campur tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan kerancuan hukum yang mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada bagian sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum


(21)

(rechtstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat).7 Perwujudan hal tersebut adalah dengan memainkan peran hukum sebagai pengatur sekaligus pengawas dalam tata kehidupan nasional dengan tujuan agar tercapainya suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum.

Apa yang kita perbuat hari ini, juga merupakan sejarah depan generasi penerus bangsa, akankah kita warisi “Devide et Impera” apakah kita melupakan komitmen perjuangan kemerdekaan bangsa kita? karena hari ini juga merupakan sejarah hari esok. Benar kata pepatah jangan tunggu sampai esok, apa yang dapat kau kerjakan hari ini sesal kemudian tak berguna. Sejarah perjuangan kemerdekaan kita merupakan saksi hidup yang hendaknya tetap melekat dihati sanubari setiap anak bangsa. Satu-satunya yang tidak berubah dan tak pernah berubah adalah sejarah, hal ini merupakan tugas dan kewajiban pemerintah dalam politik nasional atau politik negara untuk membenahi sistim Hankamnas dalam penyelenggaraan keadilan suatu negara, karena yang terjadi saat ini, saling tumpang tindih dan tidak saling memperkuat/memelihara antara satu sistem dengan sistim lainnya. Untuk hal itu diperlukan pengaturan pula guna mendukung sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban umum

Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1997 di sebutkan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer merupakan badan kekuasaan Kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata dan pelaksanaan

7


(22)

kekuasaan kehakiman sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.8

Dalam Pasal 9 ayat (1) Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah

a. Prajurit

b. Yang menurut Undang-undang dipersamakan dengan prajurit

c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan-badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-undang. d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a. b. dan huruf c, tetapi

atas keputusan Panglima TNI dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.9 Saat ini Peradilan Militer baik pembinaan organisasi administrasi, tehnis dan finansial Peradilan Militer sudah berada dibawah Mahkamah Agung, akibat reformasi, krisis kepercayaan terhadap Peradilan Militer dianggap kebebasan yang tidak mandiri masih campur tangan Mabes, kurang terbuka, sebagian masyarakat menganggap Peradilan Militer impunity karena keberadaan ankum dan adanya Papera, menjadikan penghambat, Peradilan Militer hanya berlaku bagi anggota bawahan sedangkan petinggi militer tidak.

Dasar hal tersebut, atas hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang dibahas konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal yang

8


(23)

sangat mendasar adalah dalam konsep RUU mengenai perubahan atas Undang-undang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Yaitu dengan keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 3 ayat (4) mengatur “

a Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

b. Kekuasaan Peradilan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) tidak berfungsi maka prajurit TNI tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan Undang-undang.

Sampai saat ini, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, atau tindak pidana militer yang diatur dalam KUHPM, maupun tindak pidana lain yang tersebar di luar KUHP, seperti : Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Lalu Lintas dan lain-lain masih diadili dalam Peradilan Militer. Kecuali untuk perkara-perkara yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih yang masing-masing tunduk pada justisiabel peradilan yang berbeda, yaitu dilakukan oleh orang sipil (tunduk pada justisiabel peradilan umum) dan militer (tunduk pada justisiabel peradilan militer) atau yang dikenal dengan istilah perkara koneksitas, maka telah ditentukan dengan ketentuan, apabila kepentingan militer yang lebih banyak dirugikan, ia akan diadili oleh pengadilan militer, tetapi apabila kepentingan sipil lebih banyak dirugikan maka ia akan diadili oleh pengadilan umum.

Tentang penundukan militer pada Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum tidak terlepas dari pelanggaran hukum dan perundang-undangan, kepentingan militer, sebab peradilan militer menyangkut pertahanan


(24)

kepentingan mengadili yang disebut dengan yurisdiksi (kekuasaan memeriksa dan mengadili) sedangkan yustisiabel mempersoalkan tentang asas-asas yang diperiksa dan diadili. Dengan demikian ketentuan-ketentuan mengenai yurisdiksi dapat juga ditafsirkan sebagai ketentuan-ketentuan mengenai justisiabel-justisiabel menyangkut hukum materil atau KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) sedangkan jurisdiksi merupakan hukum acara pidana militer adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997.

B. Permasalahan

Selanjutnya untuk membatasi dan memfokuskan penelitian ini diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apa yang menjadi landasan Filosofis Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ?

2. Apakah ketentuan Perundang-undangan telah dapat mengakomodir penundukan militer pada peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum ?

3. Bagaimana kewenangan Peradilan Militer dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negera ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini adalah mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. Untuk memberikan sumbang saran pemikiran tentang pemahaman dan mengungkapkan kebenaran ilmiah kewenangan atau yurisdiksi peradilan militer berkaitan dengan penyelenggaraan Pertahanan keamanan yang diatur


(25)

dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia terutama Pasal 65 ayat (2) dan (3) serta landasan Hukum Militer dan koneksitas agar dapat memenuhi legalitas perundang-undangan sehingga dapat diberlakukan, Perundang-undangan yang telah ada, dapat diberlakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang dimaksud.

2. Sebagai deksripsi analitis tentang eksistensi prajurit dalam mengemban tugas negara khususnya sebagai Penegak Kedaulatan, Keutuhan NKRI dan Keselamatan Bangsa dan Negara. Peradilan Militer juga merupakan penangkal terhadap segala bentuk ancaman dari dalam maupun dari luar negeri terhadap sistem pertahanan bangsa yang dikenal dengan Sishankamrata, agar menjadikan pedoman pengemban tugas dan kewajiban prajurit TNI dalam pelaksanaan tugas ke depan di masa damai dan masa perang, diperlukan kekhususan peradilan bagi militer untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsi dengan penuh wibawa dan dicintai rakyat, karena TNI sebagai bhayangkara negara, benteng terakhir bangsa dan negara, dalam menegakkan kedaulatan diperlukan regulasi dan delegasi yang menjadikan kekuasaan dan kewenangan dalam memikul tugas dan tanggung jawab TNI ke depan.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini tujuan-tujuan yang ingin dicapai untuk memberikan masukan terhadap kegiatan revisi RUU No. 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi sebagai berikut :


(26)

1. Secara teoritis, sebagai sumbangan pemikiran baik berupa perbendaharaan konsep-konsep pemikiran, metode atau teori dalam khasanah studi ilmu hukum pada umumnya dan hukum militer pada khususnya yang sangat erat dan sarat terhadap pertahanan keamanan (Hankam) terutama yang menyangkut kewenangan peradilan militer, asas-asas militer, aspek-aspek militer sebagai subjek hukum yang termaktub dalam hukum pidana militer sebagai hukum materil dan peradilan militer sebagai hukum Pidana Formil, serta hukum Disiplin militer yang tumbuh dan berkembang dengan penuh kesadaran pribadi yang lahir dengan tulus dan iklas, tercermin dalam sikap dan tingkah laku sebagai insan prajurit, yang sapta margais menjungjung tingi nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menghargai jasa-jasa para Pahlawan Kemerdekaan yang merupakan sosok pengabdian, sebagai aset bangsa yang dapat dijadikan dasar serta landasan untuk pedoman cinta tanah air, bela negara dalam menghadapi ancaman, gangguan hambatan dan tantangan baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut merupakan sifat awal untuk pengabdian terhadap bangsa dan negara, sifat dasar untuk pembinaan, pengembangan postur prajurit dalam fungsi pertahanan, dalam menegakkan hukum dan keadilan demi bangsa dan negara tercinta.

2. Secara praktis menghentikan praktek-praktek dan arogansi terhadap penegakan hukum dan memperlemah sistim pertahanan keamanan bangsa yang digunakan untuk kepentingan pribadi/golongan, serta bahan masukan bagi pembuat kebijakan, praktisi pakar-pakar ilmu hukum serta seluruh


(27)

komponen bangsa dalam memberikan penilaian dan masukan bagi pembangunan hukum yang mendukung Hankanmeg untuk mencapai tujuan nasional dan pengembangan hukum yang sesuai dengan organisasi dan tugas TNI ke depan sebagai jati diri bangsa yang demokratis, berkedaulatan rakyat demi tercapainya tujuan nasional masyarakat yang adil dan makmur.

E. Keaslian Penelitian

Didasarkan dan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian tentang “Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia” belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan azas-azas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan, kritik dan saran yang membangun dan konstruktif

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam membahas permasalahan tersebut sebagaimana penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai pedoman diskripsi analitis penulis yang menjadi dasar-dasar dalam memberikan pedoman kehidupan berbangsa dan


(28)

bernegara. Hal ini penting menurut penulis sebagai kesatuan pandang dan wawasan kebangsaan yang menjujug tinggi nilai-nilai luhur. Bahwa bangsa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan sistim pemerintahan Kabinet Presidentil. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, juga sebagai Panglima Tertinggi dalam Angkatan Perang atau Tentara Nasional Indonesia.

Dalam sejarah perebutan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah sama dengan negara-negara lain pada umumnya, dan masing-masing negara berbeda dalam historis, yuridis dan sosiologisnya. Adapun teori-teori atau pendapat pakar sebagai pedoman penulis juga dalam melakukan penelitian ini menerapkan defenisi yang telah ada, penulis menggunakan beberapa teori sebagai landasan pembahasan masalah. Yang dimaksud dengan teori adalah dasar memberikan pertanggung-jawaban secara ilmiah (wetenschap pelijk verant

wourdong) karena dibicarakan dalam teori konstitusi bukanlah suatu yang serta

merta dapat diperaktekkan, bukanlah mengenai nilai-nilai (practische maarde) melainkan mengenai nilai-nilai teoritis (theoritisch waorde),

a. Teori mengenai kedaulatan b. Teori mengenai fungsi negara

c. Teori pemisahan kekuasaan oleh Montesquieu d. Teori Lawrence M. Friedman tentang Sistim hukum

e. Teori Benhard Grossfeld dalam judul bukunya “The Strength and


(29)

2. Konsepsi

Sebagaimana tercetus dalam Era Reformasi bahwa tekad rakyat Indonesia melalui reformasi untuk memberantas segala bentuk penyelewengan seperti : Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan ternyata belum diikuti langkah-langkah nyata dalam menerapkan da menegakkan hukum. Hal ini terbukti dengan masih terjadinya campur tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya paa bagian sistem pemerintah negara yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan atas kekuasaan (machstaat). Perwujudan hal tersebut adalah dengan memainkan peran hukum sebagai pengatur sekaligus pengawas dalam tata kehidupan nasional dengan tujuan agar tercapainya suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum.10

Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara.

10


(30)

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).

Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.

Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundang-undangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana.


(31)

Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU Perubahan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pidana Peradilan Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan (gaps) artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus.11

Rumusan secara tegas mengenai Koneksitas dapat diketemukan pada BAB XI UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih dikenal dengan KUHAP, dengan judul Pemeriksaan Koneksitas. Sedangkan pengertian koenksitas sendiri dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 89 ayat (1).

Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

Rumusan koneksitas pada BAB XI Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 KUHAP kemudian ditransfer ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam BAB IV bagian Kelima Pasal 198 sampai dengan Pasal 203.

11


(32)

Peraturan-peraturan yang bersifat umum yang hanya berlaku bagi militer yang disebut hukum militer, selain bersifat keras dan berat, sering pula disasarkan kepada azas-azas yang menyimpang dari teori-teori hukum pidana termasuk sanksinya sering menjungjung dari stelsel pemidanaan yang lazim berlaku bagi masyarakat biasa. Dalam arti perluasan jenis-jenis pidana dan pemberatan pidana maka lahirlah di bidang hukum pidana, hukum pidana militer dan satu jenis hukuman lagi mempunyai ciri-ciri seperti hukum pidana, tetapi karena alasan pembentukannya mempunyai tujuan yang berlainan maka dibedakan daripadanya dan disebut hukum disiplin militer.

Jenis-jenis hukum ini dibukukan dalam buku tersendiri yakni berturut-turut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) sekarng Kitab Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Kitab Undang-Undang, Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara (KUHDT) sekarang Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM).

Semula memang pernah dipersoalkan jenis hukum ini, khususnya mengenai Hukum Pidana Militer, tidak sebaiknya dibukukan menjadi satu dalam KUHP. Gagasan untuk membukukan Hukum Pidana Militer menjadi satu dengan Hukum Pidana khusus kemudian dilepaskan, oleh karena perkiraan-perkiraan yang keras dan berat, serta dalam beberapa hal sering menyimpang dari azas yang berlaku umum ini, di samping memang memerlukan adanya hukum yang tersendiri. Juga akan menyulitkan bila dimasukkan dalam satu buku dengan Pidana Umum yaitu dalam KUHP.


(33)

Menurut Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan bahwa puncak peradilan tetap ada di Mahkamah Agung, meskipun nantinya dibawa ke peradilan umum atau dipertahankan. Seperti sekarang diperadilan militer, perkara itu akan tetap berpuncak ke Mahkamah Agung. Semua pihak harus memperhatikan aspek sosiologis dan aspek normatif, secara sosiologis apakah polisi sanggup menyidik tentara dan apakah realistis. Pada bagian lain, pekerjaan pengadilan sudah cukup banyak kalau ditambahkan lagi dengan masalah militer, apakah Peradilan Umum sanggup dan perlu dicek apakah keputusan Peradilan Militer selalu lebih ringan dari pada Peradilan Umum.12

Menurut Juwono Darsono (Menhan) : Aspek psikologis TNI-Polri, Belum siapnya penegak hukum sipil di lapangan, yaitu : Polisi, Jaksa, Hakim, ketika melayani perkara yang melibatkan prajurit TNI. KUHPM sebagai dasar hukum materil masih belum dirubah, perubahan landasan hukum materil harus terlebih dahulu dilakukan sebelum merevisi Undang-Undang Peradilan Militer, sebab di KUHP tidak ada ketentuan yang memungkinkan seorang prajurit bisa dituntut atau dihukum di Peradilan Umum, jadi harus ada aturan peralihan. Peradilan sipil dengan peradilan militer sudah sama tingkatannya. Mencarikan alternatif agar tidak terjadi kebuntuan dengan memasukkan/melibatkan unsur peradilan sipil, seperti Hakim, Jaksa ke peradilan militer. 13

Menurut Muladi (Gubernur Lemhanas) : Pembuatan RUU peradilan militer harus melibatkan hakim, jaksa, dari kalangan militer dan diterapkan

12


(34)

secara gradual dengan meniru Negara lain, namun tetap ciri khas Indonesia. Pemberlakuan Undang-undang militer yang baru secara bertahap, bila sudah ditetapkan pemerintah diberikan waktu 2 tahun bagi anggota TNI menyiapkan sikap dan mental dan menerima perubahan. System campuran menjadi jalan tengah yang baik dari koneksitas. Sulit menginplementasikan jika militer disidik Polri. Sejarah dan aspek sosiologis TNI dan Polri tetap harus menjadi perhatian utama.14

Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan (gaps) artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus.15

Teori atau filsafat hukum, kepada kita diajarkan agar hukum ditaati (maksudnya taat secara spontan bukan dengan paksaan), hukum itu harus mempunyai dasar, ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena

14


(35)

peraturan undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik harus mengandung ketiga unsure tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsur-unsur itu ? hal ini akhirnya sangat tergantung pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur kebaikan hukum dari “rechtsidee” tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis.16

Terlepas dari perbedaan titik pandang tersebut, ketiga unsur yuridis, sosiologis dan filosofis memang penting. Sebab setiap pembuat peraturan undangan berharap agar kaidah yang tercantum dalam perundang-undangan itu adalah sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang panjang.17

Pengertian kaidah hukum meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norm) dan peraturan hukum konkrit. Pengertian kaedah hukum dalam arti luas itu berhubungan satu sama lain dan merupakan satu sisem, sistem hukum.18

16

Bagir Manan, Dasar-dasar Perunang-undangan, Jakarta : Penerbit Indonesia. IND. Hillco, 1992.

17 Ibid.


(36)

Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut (bandingkan dengan Scholten dalam G.J. Scholten,

1949 : 402). Ini berarti menunjuk pada kesamaan-kesamaan yang konkrit itu

dengan menjabarkan peraturan hukum konkrit menjadi peraturan umum yang karena menjadi umum sifatnya tidak dapat diterapkan secara langsung pada peristiwa konkrit. Asas hukum ditemukan dalam hukum positif. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum dalam hukum positif. Jadi asas hukum sebagai pikiran dasar peraturan konkrit pada umumnya bukan tersurat melainkan tersirat dalam kaedah atau peraturan hukum konkrit. 14

Perlu tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya perbedaan fungsi ini tergantung dari pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer.19

Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta


(37)

kepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya.20

Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dari pada seorang militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban lainnya dari pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban utama tadi. Melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut mungkin dapat mengakibatkan suatu malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa.21 Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran Hukum Pidana” yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili.

Undang-undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1 Pasal 56 mengenai istilah hukum pidana sipil ini adalah lebih baik dan dapat diteruskan sebab dalam istilah tersebut dinyatakan perbedaannya dengan hukum pidana militer. Saya katakan berlaku untuk umum, karena juga berlaku bagi para militer (S. 1934-167 Jo

Undang-undang 1947 Nomor 39). Bahwa hukum pidana sipil juga berlaku bagi

tentara, antara lain dinyatakan Pasal 1 KUHP dikatakan bahwa aturan-aturan umum termasuk juga BAB IX KUHP pada umumnya berlaku dalam menggunakan KUHP militer.

20


(38)

Menurut Prof. Romli Atmasasmita pakar hukum Universitas Padjajaran tentang perbedaan “tindak pidana umum, dengan tindak pidana sipil” adalah. Tindak pidana sipil adalah : Tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung terhadap keamanan dan ketertiban sipil. Sedangkan tindak pidana umum adalah tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung kepada pertahanan negara.22

G. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan pendekatan doktrinal atau normatif yang memandang hukum sebagai perangkat aturan atau kaidah yang bersifat normatif dan sebagai ilmu normatif (ilmu tentang norma) ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi bentuk konkrit dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang tertentu. Untuk mengkaji unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan hukum Indonesia dan berbagai negara. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis kompratif secara terbatas yang membandingkan dengan yurisdiksi peradilan militer beberapa negara.

1. Spesifikasi Penelitian

Jadi pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis, yuridis sosiologi, pendekatan konsep, pendekatan perundang-undangan


(39)

dengan menginventarisasi, menemukan Undang-undang. Sehubungan dengan, permasalahan yang diangkat adalah berkaitan Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Diharapkan akan diperoleh pemahaman yang integral dan aspek hukum maupun sistem negara.

2. Sumber dan Jenis Data a. Bahan Hukum Primer

Penelitian ini membutuhkan jenis data yang berasal dan sumber-sumber bahan hukum yaitu : Yang bersumber dan peraturan perundang-undangan (hukum positif di Indonesia), catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan maupun doktrin militer yang merupakan sumber hukum militer termasuk didalamnya berbagai literatur keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi militer dalam pembinaan kehidupan militer.

b. Bahan Hukum Skunder

Yaitu data-data yang berasal dan bahan-bahan pustaka, yang meliputi dokumen-dokumen tertulis, yang bersumber dan publikasi tentang hukum meliputi buku-buku, teks kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal maupun doktrin militer yang hukum dan komentar-komentar atas putusan-putusan pengadilan.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu sebagai bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti


(40)

kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui : Studi kepustakaan (library

research). Sehubungan dengan permasalahan ini akan dilakukan pengumpulan

data melalui studi kepustakaan yaitu buku-buku, dokumen, literatur dan bahan berkaitan dengan penelitian serta mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang hukum militer, tindak pidana militer. hukum disiplin militer dan peradilan militer.

4. Analisis Data

Setelah semua bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang dibutuhkan disamping melalui studi kepustakaan (library research) dihubungkan dengan data lain dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya. kemudian dikelompokkan atas data yang sejenis terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara filosofis, yuridis dan sosiologis melalui pendekatan sejarah maka akan dapat dilihat sistematika penelitian dan digunakan metode deduktif dan induktif.

Metode induktif maksudnya menarik dan generasi yang berkembang dari hukum militer dan hukum disiplin militer serta pelaksanaan peradilan militer dan koneksitas dalam kapasitas TNI sebagai fungsi pertahanan dan keamanan.

Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak berlaku mutlak, baik terhadap peraturan


(41)

militer (hukum pidana militer) atau hukum pidana sipil (hukum pidana umum) atau Hukum Acara Pidana Militer (HAPMIL). Dengan menggunakan metode deduktif induktif ini maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana kewenangan Peradilan Militer yang mengadili semua tindak pidana militer terhadap subjek militer yang dipersamakan dan non militer dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer serta kaitannya pertahanan keamanan negara.

Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan memperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.


(42)

BAB II

LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER DALAM KEPENTINGAN PENYELENGGARAAN PERTAHANAN KEAMANAN NEGARA

Dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer disebutkan :

(1)Peradilan Militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

(2)Oditurat merupakan Badan Pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Teori yang digunakan dalam mengkaji permasalahan ini terdiri atas 5 Teori umum : Pertama Teori Lawrence Friedman tentang sistim hukum. Kedua Kedaulatan dan Hukum. Ketiga Teori Kedaulatan Negara. Keempat Teori Fungsi Negara, dan Kelima Teori Benhard Grossfeld dalam buku “The

Strength and Weak Ness of Comparative Law”.

Ada ahli yang menggolongkan sistem peradilan militer didasarkan pada tiga sistem hukum yang berlaku di dunia mi, yaitu common law system, roman

law system dan socialist law system. Namun beberapa ahli yang lain


(43)

jurisdiksi dan pengadilan militer itu sendiri menjadi empat golongan yaitu (1) peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum, (2) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer, (3) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan militer dan (4) peradilan militer mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer. Selain penggolongan ini masih ada sistem penggolongan yang lain. Kebanyakan peradilan di berbagai negara lebih menganut pada sistem peradilan militer yang berwenang mengadili kejahatan secara umum.

Sistem peradilan militer di Indonesia saat ini lebih menganut pada system dimana peradilan militer mempunyai yurisdiksi yang bersifat umum yaitu berwenang mengadili kejahatan umum dan kejahatan sipil disamping kejahatan militer. Namun demikian yurisdiksi peradilan militer tersebut tidak murni lagi seperti penggolongan yang pertama. Hal ini terjadi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dimana berdasarkan ketentuan tersebut kejahatan HAM Berat yang dilakukan oleh Prajurit TNI diadili Pengadilan HAM. Kemudian diikuti oleh Pandangan tentang Perang : Sejak perang dunia kedua, kemudian disusul berakhirnya perang dingin yang disimbolkan robohnya tembok Berlin tahun 1989 dan rumah tangga negara adidaya Uni Soviet, otomatis eksistensi Pakta Warsawa ikut bubar, masyarakat dunia pun mempunyai harapan besar akan datangnya perdamaian abadi di dunia.

Amerika Serikat dan para sekutunya yang didukung aliansi kekuatan militer Nato keluar sebagai pemenang tanpa harus melalui proses perang. Sejak


(44)

itu pula terjadi pergeseran pandangan mengenai konsepsi pertahanan dan keamanan pada masing-masing negara di dunia. Perang dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah usang (old sashioned). Maka lahirlah cara baru globalisasi yang lebih membawa muatan misi ekonomi yang terlepas dari carut marut persoalan politik dan militer suasana Indonesia pun ikut terbawa oleh perubahan dinamika politik internasional tersebut. Pemerintah dan khususnya Departemen Pertahanan sibuk mencari rumusan yang ideal.23

Praktek Peradilan Militer di Beberapa Negara Malaysia

Sistem peradilan umum di Malaysia tidak membedakan pelaku perbuatan pidana. Oleh karena itu baik orang sipil maupun militer yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana umum diadili oleh pengadilan pidana sipil. Indepensi badan peradilan ini telah ditegaskan dalam konstitutis Federal.24

Permasalahan yang berkaitan dengan kedinasan dan pelanggaran hukum disiplin bagi anggota Angkatan Bersenjata Malaysia diatur dalam Law of

Malaysia Act 77, disebut juga Armed Forces Act, 1972 dan ketentuan ini berlaku

khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata.25

Kondisi Peradilan di Malaysia adanya pemisahan antara pelanggaran terhadap ketentuan (pidana) umum oleh militer (civil offerenses commited by

23

Kerbiantoro H.S. Mayjen (Purn), Rudianto Dody MM, Rekonstruksi Pertahanan

Indonesia, Jakarta : PT Golden Terayon Press, 2006, cet. 1.

24

Marcus Priyo Gunarto, Redefinisi Perbuatan Pidana pada Peradilan Militer, Makalah disampaikan pada Semiloka Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukum, FH UGM, Yogyakarta : 22 – 23 Nopember 2000, hal. 5 - 6


(45)

military), akan diadili oleh peradilan umum/sipil, sedangkan pelanggaran yang

berkaitan dengan tugas dan atau jabatan kemiliteran akan diadili oleh peradilan militer. 26

Amerika Serikat

Sistem Peradilan Militer di Amerikan Serikat merupakan sistem yang paling luas dalam memproses kejahatan, seperti disampaikan Charles A. Shanor and L. Lynn Hoque dalam bukunya National Security and Military Law selama perang dunia kedua hampir dua juta kasus yang diselesaikan melalui peradilan militer. Pada tahun 2001 ada sekitar 1753 kasus yang disidangkan pada Peradilan Militer dengan rincian, 4848 kasus pada Angkatan Laut, 1799 kasus pada Angkatan Darat, 956 kasus pada Angkatan Udara dan 50 kasus pada Penjaga Pantai (Coast quard).27

Dalam beberapa hal sistem Peradilan Militer paralel dengan sistem peradilan sipil pada negara bagian dan negara Federal. Demikian juga Hukum Militer baik secara substansi maupun secara hierarkhi, konstitusi berada paling puncak kemudian hukum perundang-undangan federal, dan peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden, Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta yang dikeluarkan Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta yang dikeluarkan para komandan.

Secara prosedural juga hampir sama dengan pengadilan sipil, yaitu terdiri dari pengadilan militer tingkat pertama dan tingkat banding dua. Tingkat banding

26 Ibid. 27


(46)

pertama hakimnya terdiri dari hakim militer dan banding tingkat kedua hakimnya terdiri dari hakim sipil, putusan banding terakhir dapat ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung.

Sumber hukum militer adalah Uniform Code of Military Justice (UCMU) dan Manual for Court-Martial (MCM), ketentuan lain yaitu Rules for

court-Martial (RCM), Military Rules of Evidence (MRE).28 Pelanggaran atau kejahatan militer dapat diproses melalui tindakan disiplin (Nonjudicial Measures), Hukuman disiplin (Nonjudicial punishement) dan pengadilan Militer.29

a. Tindakan disiplin

Tujuan dari tindakan disiplin ini bukanlah sebagai hukum tetapi sebagai tindakan koreksi terhadap kekurangan prajurit, komandan atau atasan yang bertanggung jawab diberikan wewenang untuk menjatuhkan tindakan disiplin untuk menegakkan ketertiban dan disiplin.

b. Hukum disiplin

Diatur dalam Pasal 15 UCMJ komandan diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin tanpa adanya intervensi dari pengadilan militer terhadap pelanggaran ringan dimana tindakan disiplin dianggap tidak memadai. Hal ini dalam menjaga agar moral dan disiplin prajurit tidak menurun.

28

PLT, Sihombing, Perbandingan Sistem Peradilan Militer dengan Amerika Serikat, Makalah disampaikan pada Workshop Peradilan.


(47)

c. Peradilan Militer terdiri dari : 1) Pengadilan Militer Singkat

Pengadilan ini terbatas hanya mengadili prajurit berpangkat tamtama dan hukuman yang dijatuhkan terbatas pada hukuman penjara tidak lebih dari satu bulan, hukuman kerja paksa tidak lebih dari 45 hari serta pemotongan gaji tidak lebih dari 2/3 (dua pertiga gaji), Peradilan Militer Singkat ini hanya dilakukan oleh seorang hakim perwira yang juga bertindak sebagai oditur dan pembela.

2) Pengadilan Militer Khusus

Pengadilan Militer khusus merupakan pengadilan militer yang berbeda dari Peradilan Militer Singkat dengan Peradilan Militer Umum. Hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan adalah pemberhentian karena perilaku buruk, penjara tidak lebih dari 1 tahun, kerja berat tanpa penahanan tidak lebih dari 3 bulan dan pemotongan gaji tidak lebih dari 2/3 gaji selama maksimum1 tahun. Peradilan Militer khusus terdiri dari 1 orang perwira sebagai hakim militer dan minimal 3 anggota sebagai juri.

3) Pengadilan Militer Umum

Pengadilan Umum mempunyai kewenangan untuk mengadili setiap orang yang tunduk pada UCMJ atas setiap pelanggaran yang diancam pidana berdasarkan UCMJ. Apabila pemerintah sipil digantikan oleh pendudukan militer, Peradilan Militer Umum dapat mengadili setiap orang yang tunduk pada pengadilan militer sesuai hukum perang dan


(48)

juga dapat menjatuhkan semua jenis hukuman termasuk hukuman mati.

Prosedur Pengadilan Militer Umum adalah semua pengacara yang terlibat dalam persidangan adalah pengacara militer yang telah bersertifikat dan hakim militer adalah hakim yang diangkat dan disumpah.

Juridiksi Pengadilan Militer pada dasarnya ditentukan berdasarkan pada : 1) Subjek

Peradilan Militer berwenang mengadili anggota Militer, penjahat perang, orang yang melakukan serangan pada daerah pendudukan.

2) Perbuatannya

Pengadilan Militer berwenang mengadili semua kejahatan Militer yang diatur UCMJ dan kejahatan yang terdapat dalam hukum pidana lainnya.

3) Locus delictinya.

Pengadilan Militer berwenang mengadili kejahatan yang dilakukan militer Amerika Serikat yang terjadi pada instalasi Militer, kejahatan yang terjadi di negara lain dan kejahatan yang terjadi dalam wilayah pendudukan.

Dalam proses pengadilan militer, Perwira penyerah perkara berwenang melimpahkan ke pengadilan apabila berdasarkan pemeriksaan pendahuluan dianggap sebagai pelanggaran pendahuluan dianggap sebagai pelanggaran yang cukup serius. Pasal 22 UCMJ, yang dapat menjadi Perwira penyerah perkara pada Peradilan Milter Umum adalah perwira senior seperti Komandan Teretorial, Komandan Devisi, Komandan Brigade yang berdiri sendiri,


(49)

Komandan Kamando Udara, Komandan Armada Laut, Presiden Amerika Serikat, Menteri Pertahanan, Perwira yang diangkat oleh Preseiden atau Menteri Pertahanan.

Sedangkan pasal 23 UCMJ Papera untuk Pengadilan Militer khusus selain disebut di atas dapat juga Komandan Distrik, Komandan Garnisun, Komandan Kamp, Komandan Group, Komandan Skuardron, Komandan Pangkalan. Selanjutnya Papera untuk Pengadilan Militer Singkat terdiri dari semua Papera yang disebut di atas ditambah dengan Komandan Kompi berdiri sendiri.

Belanda

Perbuatan pidana yang diadili di lingkungan Peradilan Militer adalah pelanggaran Wetboek van Militaire Strafrecht (WvMSr) dan Oorlog Wet yang di dalamnya juga meliputi beberapa perbuatan pidana umum, sebagaimana diatur dalam MvS. Dengan demikian, di Belanda Peradilan Militer juga mengadili perbuatan pidana umum yang dilakukan oleh anggota militer.

Menurut Marcus, hal yang menarik dan berbeda dengan negara lainnya adalah tata cara peradilan yaitu :

Tata cara Peradilan Militer Belanda telah mengalami beberapakali perubahan. Tahun 1945 sampai dengan tahun 1965 yang menjadi central figure dalam penyelidikan adalah Komandan di atasnya, pelakanaannya harus diberitahukan kepada Komandan Jenderal. Komandan Jenderal kemudian akan membentuk sebuah komisi yang terdiri dari beberapa perwira untuk


(50)

memutuskan apakah perkara akan diteruskan atau tidak. Apabila diteruskan Komandan Jenderal akan meminta kepada Jaksa Penuntut Umum untuk membuat dokumen (berita acara). Sedangkan hakim yang akan memeriksa ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Militer berdasarkan advis dari Komandan Jnderal. Sesudah tahun 1965 yang melakukan penyelidikan adalah Polisi khusus yang dikenal dengan Marechaussea atas kuasa Menteri Pertahanan meminta kepada Jaksa Agung untuk menentukan Fiscal (untuk Angkatan Laut) atau Auditeur Generale (untuk Angkatan Udara dan Angkatan Darat). Susunan Hakim Militer dengan 1 hakim sipil sebagai Ketua Majelis. Sesudah tahun 1991 susunan majelis hakim dalam Peradilan Militer teridir dari 2 hakim sipil dan 1 hakim militer. Sedangkan susunan majelis hakim pada Mahkamah Militer Agung terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua Majelis dari hakim sipil dan 3 anggota hakim militer.30

a. Teori Kedaulatan dan Hukum

Kedaulatan rakyat adalah salah satu fokus perhatian penting yang muncul pada saat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan sidang I (29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945) yang menampilkan 3 orang pembicara yaitu: Soepomo, M. Jamin, dan Soekarno. Mereka masing-masing mengemukakan Dasar negara Indonesia yang akhirnya diberi nama Pancasila. PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai


(51)

negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Indonesia perlu mempelajari konsep-konsep kedaulatan dan negara-negara lain yang telah lebih dahulu berdiri.

Hasil dan pengkajian dan diskusi inilah yang kemudian menjadi konsep Kedaulatan Rakyat Indonesia menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya tulisan ini hanya akan dibahas secara konsepsional. Konsepsional yang dimaksud adalah pembahasan didasarkan pada isi UUD 1945 dan sila-sila Pancasila secara teori (konsep).

Menurut Hans Kelsen Teori mengenai negara maka jalan yang paling baik ialah meninjau persoalan tersebut semata-mata dari sudut hukum saja. Tiap peninjauan negara, organisasi negara hendaklah dimulai dengan peninjauan dari sudut hukum. Hans Kelsen menganggap lahirnya suatu negara sebagai suatu pernyataan yang sederhana yang tak dapat dimasukkan dalam hal-hal yang Yurusdiksi.

Generasi yang menjalankan negeri kita saat ini memang bukanlah mereka yang bermandikan peluh dan darah dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bila tidak kita lestarikan, bisa saja apa yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala.

Akibat kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan hargai.


(52)

(TNI) sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap penjajah, dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai intinya. Bersamaan dengan itu, terbentuk pula tradisi kepejuangan prajurit Indonesia yang manunggal dengan rakyat, rela berkorban, percaya pada kekuatan sendiri, dan tidak mengenal menyerah. Tradisi itulah yang kemudian dikukuhkan sebagai kode etik prajurit ABRI, yaitu Sapta Marga, sebagai pencerminan tekad dan kepribadian prajurit ABRI seutuhnya, yaitu pejuang prajurit dan prajurit pejuang.

Disamping melahirkan dan membentuk TNI sebagai wadah pengabdian, pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia telah pula keyakinan yang kuat tentang hakikat Pertahanan Keamanan Negara (Hamkamneg), yaitu perlawanan rakyat semesta, yang dilaksanakan dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). TNI beserta cadangannya, yang menjadi komponen utama kekuatan Hankamneg dalam Sishankamrata, dibina sebagai kekuatan siap yang relative kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilitas yang tinggi dan kekuatan cadangan yang cukup.

Pembinaan prajurit ABRI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan, sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan pertahanan maupun keamanan Negara. Dalam pada itu, pembinaan prajurit ABRI merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap Komandan/Pimpinan satuan ABR1 yang bersangkutan, mulai dan yang terendah sampai yang tertinggi.

Perlu tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya


(53)

perbedaan fungsi ini tergantung dan pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer.31

Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingan-kepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya.32

Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dan pada seorang militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban lainnya dan pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban utama tadi. Melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut mungkin dapat mengakibatkan suatu malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa.

33

Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran Hukum Pidana” yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili.

b. Teori Kedaulatan

Kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan salah satu dan sekian banyak teori kedaulatan. Di samping teori kedaulatan rakyat, dikenal juga teori

31

Himpunan Kuliah Militer, Oleh Brigjen A. Tambunan, Jakarta, 1990. 32


(54)

kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, Kedaulatan negara dan kedaulatan hukum. Jenis teori kedaulatan yang dianut suatu negara biasanya dapat diamati dan dasar negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem hukumnya. Dapat juga terjadi, tidak hanya satu teori kedaulatan yang dianut oleh suatu negara, tetapi gabungan atau kombinasi dan beberapa teori sekaligus. Indonesia misalnya, termasuk negara yang menganut lebih dan satu teori kedaulatan. Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan, bahwa kemerdekaan didasarkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini mengandung pengakuan akan kekuasaan Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas makhluk hidup dan segenap ciptaan-Nya. Dengan demikian, Tuhan memiliki kedaulatan. Selanjutnya disinggung pula tentang Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 ditegaskan tentang kedaulatan ada di tangan rakyat. Pasal 3 UUD 1945 menyatakan: “Oleh karena Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas,..,”. Penjelasan tersebut menyinggung tentang kedaulatan negara. Kemudian Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, kunci pokok yang pertama menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Ini berarti Negara Indonesia juga menganut teori kedaulatan hukum, demikian juga dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 45 secara tegas dituliskan : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam ilmu hukum dan filsafat hukum, kasus mengenai istilah kedaulatan rakyat dikaitkan dengan permasalahan : mengapa orang menaati


(55)

hukum. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dengan perkataan lain: “Siapa yang menjadi sumber hukum utama dalam negara itu?” Jawaban atas pertanyaan itu melahirkan banyak teori kedaulatan, seperti kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, kedaulatan negara, dan kedaulatan hukum.

Demikian pula dalam hukum tata negara, masalah kedaulatan ini juga muncul dalam konteks pembicaraan serupa tentang siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Konsep kedaulatan rakyat ini sering kali diidentikkan dengan konsep demokrasi. Secara etimologis, demokrasi (demos = rakyat, kratos/kratein kekuasaan/berkuasa). Lengkapnya, dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

Pengertian kekuasaan sendiri menurut definisi yang telah diterima secara umum adalah kemampuan seseorang/ sekelompok orang/ suatu badan untuk mempengaruhi orang lain agar bersikap/bertindak sesuai dengan keinginan yang memiliki kemampuan itu. Kekuasaan harus pula dibedakan dengan kewenangan. Kewenangan adalah kekuasaan yang ada pada seseorang/ sekelompok orang yang mempunyai dukungan/ mendapat pengakuan dan masyarakat. Dengan demikian, demokrasi sesungguhnya lebih luas cakupannya daripada kedaulatan rakyat. Demokrasi dalam arti material adalah segala kewenangan yang dimiliki rakyat. Dalam arti formal, demokrasi berkaitan dengan tata cara rakyat dalam melaksanakan kewenangan itu. Jelaslah, bahwa kedaulatan rakyat adalah salah satu unsur penting dalam demokrasi.

Kedaulatan rakyat sendiri merupakan suatu konsep ketatanegaraan yang dianut banyak negara. Konsep kedaulatan dalam alam pikiran modern pertama


(56)

kali dikemukakan oleh Jean Bodin, melanjutkan apa yang dikemukakan oleh Machiaveli. Selanjutnya, konsep ini terus berkembang dan tercatat beberapa nama penting disinggung setiap kali berbicara tentang Kedaulatan Rakyat, yaitu Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Konsep tersebut dikembangkan sebagai reaksi atas kekuasaan yang terlalu besar dan kaum penguasa negara dan gereja, khusus pada abad pertengahan di Eropa. Paham perjanjian yang dikemukakan Thomas Hobbes berangkat dan perjanjian antar individu untuk melahirkan suatu negara. Dalam perjanjian itu, para individu yang selalu bertikai itu menyerahkan semua hak mereka kepada negara. ini berarti perjanjian yang dilakukan bukan antara individu dengan negara, sebab negara adalah buah dari perjanjian itu, dan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap para individu. Negara adalah “manusia buatan”, atau Sang Leviatan sebagaimana judul yang diberikan Thomas Hobbes atas bukunya. Negara mempunyai kehidupan dan kehendak sendiri. Sang Leviatan ini dapat saja mati/bubar, tetapi selama ia ada, selama itu pula ia berkuasa dan berwenang mutlak menyerupai Tuhan.

Hobbes bahkan juga mengatakan, bahwa negara itu ibarat “Tuhan yang dapat mati”. Paham ini melahirkan absolutisme negara, yang dalam prakteknya berarti bukan pula absolutisme penguasa negara (raja). Hobbes bukan tidak menyadari jika absolutisme ini dapat saja disalahgunakan oleh penguasa. Untuk itu ia menyatakan penguasa masih mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada Tuhan, karena kekuasaan yang diperolehnya berasal dan Tuhan, bukan dan masyarakat Landasan moral inilah satu-satunya pembatas yang dapat


(57)

menghindarkan negara dan kesewenang-wenangan. John Locke secara tidak langsung memberi reaksi atas pemikiran Hobbes tersebut. Jika Hobbes berpendapat bahwa individu-individu senantiasa bertikai, Locke sebaliknya mengatakan bahwa manusia itu pada awalnya hidup dalam kedamaian. Situasi ini baru berubah setelah manusia mulai diperdayai oleh materi, termasuk masalah tanah. Untuk melindungi hak milik inilah yang membuat para individu bersepakat mendirikan negara. Hak milik ini meliputi pula hak-hak asasi manusia yang paling utama, seperti hak untuk hidup dan kebebasan. Para individu yang mengadakan perjanjian tersebut kemudian menyerahkan 2 haknya kepada negara, yaitu:

1. Hak untuk menentukan sendiri bagaimana mempertahankan din dan dan orang-orang lain.

2. Hak untuk menghukum seorang pelanggar hukum menurut aturan hukum kodrat.

Kekuasaan negara dengan demikian, terbatas pada tujuan penegakan 2 hak itu saja. Urusan yang pribadi adalah hal individu yang bersangkutan, yang tidak perlu dicampuri oleh negara.

Pemikiran ini lebih jauh melahirkan paham negara sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat). Kekuasaan negara tidaklah tak terbatas. Kekuasaan yang dimiliki negara datang dari para individu yang membuat perjanjian, bukan dari Tuhan seperti teori Hobbes. Pembatasan kekuasaan negara ini dimuat dalam


(1)

Pamong. Sanksinya adalah penjara atau membayar ganti kerugian bila tidak mampu melaksanakan kerja paksa.

Perundang-undangan belum dapat mengakomodir penundukan militer pada peradilan umum. Hal ini menyangkut hukum formal di Peradilan Militer (mengenai kepaperaan) Hukum Militer.

Landasan filosofis militer telah ada dan berlaku sebelum perang dunia, jaman penjajahan Belanda, jaman penjajahan hingga masa kemerdekaan menganut yurisdiksi bersifat umum(maksudnya berlaku bagi militer dan civil / umum. Kompetensi ini merupakan alat bagi negara untuk menyelesaikan permaalahan baik dalam keadaan damai maupun darurat dalam rangka pertahanan keamanan negara (Hankamneg) untuk tujuan negara masyarakat adil dan makmur.

Saran

Dalam kondisi negara Republik Indonesia sekarang, dimana pemerintah dan aparat dengan aparaturnya belum bisa menjamin suatu kondisi keamanan yang kondusif, baik terhadap rakyat Indonesia maupun manca negara saatnya sangat tidak tepat, karena masih terjadi tumpah tindih regulasi dan legislasi terhadap hak dan kewajiban yang menyangkut pertahanan keamanan, keamanan nasional, keamanan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) dan ketertiban umum yang menjadi tanggung jawab negara pemerintah. Hal ini berdampak terhadap kedaulatan negara, keutuhan NKRI serta keselamatan bangsa negara. Apabila harus diadakan perubahan, harus menyangkut pembaharuan hukum nasional dan kebijakan pembaharuan hukum atau penataan ulang keseluruhan tatanan (sistim)


(2)

hukum khususnya hukum pidana militer masih perlu kajian ulang terhadap hukum formal yang menyangkut hukum materil sebagai satu kesatuan dalam kebijakan kriminal (criminal justice systim). Hal ini juga menyangkut kerancuan terhadap turunan Tap MPR No. VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI-Polisi dengan keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang mestinya menunjuk kepada Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer bukan kepada Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Dinas Sejarah TNI, Sejarah TNI 1945, Peranan TNI AD, Bandung: Sejarah TNI AD, 1979.

Farid, A. Zainal Abidin. Hukum Pidana I. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika, 1985. Friedman, Lawrence M. American Law. New York: W.W. Norton & Company,

1984.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Bandung, Kesasi dan Peninjauan Kembali, Ed. II, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Lamintang, PAF. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Cet. II. Bandung: Sinar Baru, 1990.

MPR RI. Buku Kedua Jilid 7 Hasil Rumusan Seminar Panitia Ad Hoc II. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Cet. 2. Semarang: Universitas Diponegoro, 2004.

Mulyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987.

Nasution, A.H, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Jakarta: Mega Book Store, 1966.

Permatasari, Arlina, dkk. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committee of Red Cross, 1999.

Reksodiputro, Mardjono. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia”. Jakarta: 30 Oktober 1993.


(4)

_________. Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana Kumpulan Karangan, Buku Kedua. Cet. II. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997.

_________. Bujukdas tentang Bin Prajurit (Mabes TNI). Kep Pangab. Jakarta 5 Oktober 1991.

_________. Disjarah, Sejarah TNI 1945 – 1973, Peranan TNI AD, Bandung Dinas Sejarah Tni Angkatan Darat, 1979, hal. 85.

Remelink, Jan, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kiab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Sahetapy, JE. Pokok-pokok Penelitian tentang Analisa Beberapa Atas dan Arah Perkembangan Hukum Pidana Dewasa Ini. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, tt.

Salam, Moch. Faisal. Peradilan Militer Indonesia, Cet. I. Bandung: Mandar Maju, 2006.

_________. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia. Cet. I. Bandung: Mandar Maju, 2006.

Sianturi, SR. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Cet. II. Jakarta : Alumni Ahaem-Petehaem, 1985.

Sjarif, Amiroeddin. Hukum Disiplin Militer Indonesia. Cet. I. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Soegiri, dkk. 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia. Cet. I. Jakarta: Indra Djaja, 1976.

Supomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta: Pradnya Paramita, 1972.

Utrecht. E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000.

Waluyo, Bambang, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Busroh H. Abu Daud. Ilmu Negara Bumi Aksara; Jakarta, 1990.


(5)

II. Makalah, Jurnal/Internet dan Peraturan Perundang-undangan

Arief, Barda Nawawi, “Meneropong Kompetensi/Jurusdiksi Peradilan Militer di Indonesia Dalam Prespektif Pembaharuan Sistem Hukum” Makalah disampaikan pada Workshop Peradilan Militer “Menuju Sistem Peradilan Militer yang sesuai dengan Reformasi Hukum Nasional Dan Reformasi Hukum TNI” Bogor 27-29 Maret 2006.

Buaton, Tiarson, Sistem Peradilan Militer Amerika Serikat, Jurnal Hukum Pusat Studi Hukum Militer, Jakarta: STMH, 2006.

Departemen Hukum dan HAM, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga Peradilan 2006, Jakarta: 2006.

Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang Hukum Militer dan Bela Negara, Jakarta: Pebruari 1996.

Majalah Bukti Barisan Tahun Pengabdian Kodam I/BB Edisi II Medan, 2009. Majalah Advokasi Hukum Konsep Kedaulatan Rakyat, Edisi 16 Juni 2009. Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 1945. Internet

www. Indonesia. Kemarin perihal Sejarah Perjuangan Indonesia Dalam menyambut HUT RI ke-63 diakses 09 Peb-2009.

www.Vhr.media.com Ahli Setuju TNI Disidik Polisi Militer, diakses 24 Oktober 2008.

III. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

_________. Kitab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana.


(6)

_________. Kitab Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Peradilan Tentara di Samping Pengadilan Biasa.

_________.Kitab Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Perubahan Hukum Acara Pidana Tentara.

_________. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

_________. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Milter.

_________. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. _________. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

_________. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

_________. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

_________. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

_________. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. _________. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional

Indonesia.

_________. RUU tentang perobahan terhadap UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

_________. RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Acara Pidana. _________. RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.