Prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech pada novel pertemuan dua hati karya NH. Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA

PRINSIP KESANTUNAN BERBAHASA MENURUT LEECH PADA NOVEL
PERTEMUAN DUA HATI KARYA NH. DINI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan

Oleh
Mia Nurdaniah
NIM 1110013000095

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

ABSTRAK
MIA NURDANIAH. NIM: 1110013000095. Skripsi. Prinsip Kesantunan Berbahasa

Menurut Leech pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA, Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Djoko Kentjono, M. A.
Kesantunan berbahasa merupakan aspek yang sangat penting saat berinteraksi
dengan lawan tutur. Apalagi pada dunia pendidikan, kesantunan berbahasa memiliki
peran penting dalam kemampuan berbahasa siswa. Novel sebagai media ajar dapat
digunakan pengajar untuk menyampaikan pengajaran mengenai kesantunan
berbahasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prinsip kesantunan
berbahasa menurut Leech dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini dan
implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Manfaat dari
penelitian ini meliputi dua hal, yaitu manfaat teoritis yang dapat memberikan
wawasan tentang kesantuan berbahasa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di
Sekolah Menengah Atas dan manfaat praktis yang dapat memberikan sumber
referensi baru untuk penelitian selanjutnya.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan pragmatik.
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu sumber
data primer yang merupakan sumber data pokok berupa novel karya Nh. Dini yang
berjudul Pertemuan Dua Hati dan sumber sekunder yang merupakan buku ataupun
sumber lain yang berhubungan dengan permasalahan objek penelitian. Metode

pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut (1)
membaca keseluruhan data primer sambil memahami isi dari data tersebut, (2)
pengumpulan data, yaitu menandai hal-hal penting yang terdapat pada sumber primer.
Hasil penelitian menunjukkan lebih banyak tuturan yang mematuhi maksim
kesantunan berbahasa menurut Leech. Berikut adalah jumlah hasil penelitian, terdapat
45 tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan dan 38 tuturan yang melanggar prinsip
kesantunan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa novel Pertemuan
Dua Hati karya Nh. Dini sangat layak untuk dijadikan bahan ajar Bahasa Indonesia
pada materi yang berhubungan dengan novel, terutama mengenai membaca novel.
Walaupun novel Nh. Dini adalah novel lama, namun Nh. Dini sangat piawai
menggunakan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca dan memiliki nilai
kehidupan untuk pembacanya, terutama untuk guru dan orang tua dalam mendidik
anak-anak. Selain siswa dapat mengusai materi pelajaran mengenai membaca novel,
siswa pun dapat mempelajari kesantunan berbahasa yang terdapat dalam novel dan
dapat langsung dipraktekkan pada kehidupan sehari-harinya dalam segala situasi
sosial, baik dalam lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan sekolah.

Kata kunci: kesantunan berbahasa, prinsip kesantunan, novel Pertemuan Dua Hati

i


ABSTRACT
MIA NURDANIAH. NIM: 1110013000095. The title of the research paper is
“Language Politeness Principle Based on Leech in the Novel Entitled Pertemuan Dua
Hati by Nh. Dini and its Implication towards Teaching Learning Process in Senior
High School”, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen
Pembimbing: Djoko Kentjono, M. A.
Language politeness is the important aspect when someone interact with other
people. In the education environment, language politeness has an important role in
the students speaking ability. Novel as the media of teaching learning process can be
used by the teacher to convey materials about language politeness. The aim of this
research is to know language politeness principle based on Leech in the novel entitled
Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini and its implication towards teaching and learning
process in Senior High School. The benefit of this research includes two aspects; the
theoretic benefit which could give knowledge about language politeness on teaching
and learning process in Senior High School, and practical benefit which could give
new reference source for the next research.
This research used descriptive method with pragmatic approach. The source
of data that used in this research is divided into two: the primary source of the data

that is the main source in the form of novel by Nh. Dini entitled Pertemuan Dua Hati,
and secondary source of the data in the form of book or another source related to the
problem of object research. Collecting data technique that is used in this research
were in this following list; (1) read overall the primary source and try to understand
about its content, (2) collected the data, marking important things in the primary
source.
Result of the research showed that most of the discourses obey the language
politeness maxim based on Leech. The following is the amount of research result,
there were forty-five discourses which obey the politeness principle and thirty-eight
discourses which contravene the politeness principle. Based on the result of the
research, it could be said that the novel entitled Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini is
very suitable to be used as a material for teaching and learning Bahasa Indonesia in
the topic related with novel, especially about reading a novel. Even though this novel
belongs to old novel, Nh. Dini is very adept of using language style that is easy to be
understood by the readers and has so many life values for the readers, especially for
the teacher and the parents who educate their children. Students are not only able to
acquir the material about reading novel, but also able to study about language
politeness from the novel and able to practice it directly in their daily life in every
social situation, not only in the society environment but also in the school
environment.

Keywords: language politeness, politeness principle, novel entitle Pertemuan Dua
Hati

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, atas segala nikmat dan karunia-Nya serta limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
yang berjudul ”Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech Pada Novel
Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”, sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Sarjana Strata (S1) pada jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Faktultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai
hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak,
skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan
inipenulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1) Dra. Nurlena Rifai, M. A., P.h.D., selaku Dekan FTIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2) Didin Syafruddin, M. A., Ph.D., selaku PLT Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia;
3) Dra. Hindun, M. Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi;
4) Djoko Kentjono, M.A selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan ilmu, bimbingan serta kesabaran dalam membimbing
penulis;
5) Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia,
yang telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan;

iii

6) Ayahanda Cuparno, S. Sos dan Ibunda Aidah selaku orangtua penulis,
serta adik-adik Agung Permana dan M. Argya. Raffa yang senantiasa
mendoakan, memberikan dorongan moral, dan moril, serta memotivasi
penulis sehingga penelitian dapat terselesaikan dengan baik;
7) Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2010,

terimakasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis
dapatkan selama ini;
8) Aris Fadilah, Deby Rachma Rizka, Nisa Kurniasih, Rizka Amalia
Sapitri, Widia Cahya Pratami, Ajeng Rosmala, Siti Halimatussadiah,
Anggi Pramesti. Terimakasih telah mundukung, mengingatkan,
membantu, menyemangati penulis dalam proses pembuatan skripsi;
9) Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan
kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Amin.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca, dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi para pembaca.

Jakarta, 21 November 2014

Penulis

iv


DAFTAR ISI

ABSTRAK

.............................................................................................

i

KATA PENGANTAR ...............................................................................

iii

DAFTAR ISI .............................................................................................

v

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................

vii


BAB I

PENDAHULUAN ..............................................................

1

A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

1
4
4
5
5
5

5

BAB II

BAB III

Latar Belakang Masalah ................................................
Identifikasi Masalah ......................................................
Pembatasan Masalah .....................................................
Perumusan Masalah ......................................................
Tujuan Penelitian ..........................................................
Manfaat Penelitian ........................................................
Sistematika Penulisan ...................................................

LANDASAN TEORI .........................................................
A. Pragmatik ......................................................................
1. Pengertian Pragmatik ..............................................
2. Kesantunan ..............................................................
3. Prinsip Kesantunan Menurut Leech ........................
4. Konteks ...................................................................

B. Sastra ..............................................................................
a. Pengertian Sastra .....................................................
b. Pengertian Novel ....................................................
c. Jenis-Jenis Novel .....................................................
d. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel ......................
e. Biografi Nh. Dini .....................................................
f. Sinopsis Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh.
Dini ........................................................................
C. Penelitian Relevan .........................................................

25
28

METODOLOGI PENELITIAN ......................................

30

A.
B.
C.
D.

30
31
31
31

Metode Penelitian..........................................................
Sumber Data ..................................................................
Metode Pengumpulan Data ...........................................
Teknik Analisis Data .....................................................

v

7
7
7
8
8
15
17
17
18
20
21
23

BAB IV

HASIL PENELITIAN .......................................................
A. Tabel Tuturan dalam Novel Pertemuan Dua Hati
Karya Nh. Dini ..............................................................
B. Analisis Deskriptif Prinsip Kesantunan Berbahasa
Menurut Leech pada Novel Pertemuan Dua Hati
Karya Nh. Dini ..............................................................
C. Hasil Analisis Prinsip Kesantunan dalam Novel
Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini ............................
D. Implikasi Penelitian dengan Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMA .........................................................

BAB V

33
33

60
103
103

SIMPULAN DAN SARAN ...............................................

106

A. Simpulan .......................................................................
B. Saran ..............................................................................

106
107

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

vi

Daftar Lampiran

Lampiran 1

Surat Pernyataan Karya Sendiri

Lampiran 2

Lembar Uji Referensi

Lampiran 3

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Lampiran 4

Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 5

Cover novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini

Lampiran 6

Profil Penulis

vii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu tata bahasa yang
berkaitan erat dengan tindak tutur. Konteks dalam suatu tindak tutur
adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Apabila seorang mitra tutur
menafsirkan maksud dari penutur tanpa memperhatikan konteks maka
dapat dikatakan orang itu belum sepenuhnya menangkap informasi atau
tujuan apa yang disampaikan oleh penutur. Begitu pula dengan penutur,
jika ia berbicara seenaknya saja sekedar basa-basi tanpa memperhatikan
konteks, maka tujuan dari tuturan tersebut pun tidak tercapai.
Agar tercapainya tujuan penutur kepada mitra tutur maka penutur
harus memiliki kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan bukan hal yang
asing lagi bagi masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang kental akan
budaya dan adat istiadat. Kesantunan dapat berupa tindak tutur, sikap dan
sebagainya yang menggambarkan identitas diri seseorang. Maka dari itu
kesantunan merupakan hal yang sangat penting saat berinteraksi dengan
orang lain agar hubungan baik selalu terjaga. Pragmatik, dalam hal ini
kesantunan berbahasa dapat dilihat dari karya sastra, misalnya novel.
Sastra

merupakan

karya

lisan

ataupun

tulisan

yang

menggambarkan, dan membahas segala macam kehidupan manusia.
Kehidupan dalam sastra dibangun oleh tema, penokohan, alur cerita, latar
maupun gaya bahasa pengarang dalam penciptaannya. Bahasa yang
digunakan pada sastra pun bukan bahasa sehari-hari, tapi bahasa yang
memiliki ciri khas, ciri khas tersebut diciptakan oleh para pengarang agar
menambah keindahan dari karya sastra yang dihasilkan.
Novel berisi tentang gambaran kehidupan sehari-hari yang
biasanya diangkat dari realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Ide-ide
yang pengarang ekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari
situasi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, pengalaman, kejadian,

1

2

dan situasi yang pengarang alami diolah sedemikian rupa sehingga
menciptakan karya sastra berupa novel.
Totalitas ekspresi pengarang yang dituangkan dalam karyanya
yang berupa novel menjadi lebih hidup karena disisipkan interaksi antar
tokoh dalam suatu konteks atau situasi kehidupan sehari-hari. Konteks
atau situasi kehidupan sehari-hari pada novel biasanya berkaitan dengan
masalah pendidikan, percintaan, kemiskinan, kekuasaan, kekeluargaan,
dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, novel dapat dikaji menggunakan ilmu
pragmatik tentang kesantunan berbahasa karena terdapat interaksi antar
tokoh dengan konteks atau situasi seperti pada kehidupan sehari-hari.
Aspek kesantunan sangat penting saat berinteraksi dengan lawan
tutur. Apalagi pada dunia pendidikan, aspek kesantunan memiliki peran
penting dalam kemampuan berbahasa siswa. Hal tersebut berkaitan dengan
buku yang digunakan dalam pengajaran terutama pada pelajaran Bahasa
Indonesia. Pada siswa SMA kelas XI terdapat pelajaran tentang
“menceritakan isi novel”, maka dapat dijadikan media untuk siswa
mendapatkan pengajaran kesantunan. Siswa dapat mengetahui kesantunan
dari buku yang bahasanya santun, dan memiliki amanat yang bermanfaat
bagi kehidupan siswa.
Novel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Pertemuan Dua
Hati karya seorang pengarang wanita bernama Nh. Dini. Novel ini
bertema tentang kehidupan guru sekolah dasar yang mengalami konflik
batin dengan siswa, dan keluarganya. Walaupun novel ini bukan novel
yang baru, karena cetakan pertamanya tahun 1986, namun konflik yang
terkandung dalam novel ini masih menarik pada era modern ini yaitu
masalah pada dunia pendidikan, keprofesionalan guru yang dipertaruhkan.
Sekilas tentang novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini
menceritakan tentang kehidupan guru Sekolah Dasar yang bijak, dan
sepenuh hati dalam menjalankan tugasnya. Ia menjadi guru baru di suatu
sekolah dasar, ada siswa yang menarik perhatiannya bernama Waskito.
Waskito merupakan murid yang nakal. Hati bu Suci pun tergerak untuk

3

menyelesaikan masalah Waskito, dan ingin membantu membimbingnya
agar menjadi anak yang lebih baik. Namun, disaat yang bersamaan anak
kedua bu Suci dinyatakan menyidap penyakit ayan oleh dokter, maka
harus dijaga dan tidak boleh beraktivitas. Bu Suci pun merasa ingin di
kelas untuk mengetahui perkembangan Waskito, namun di sisi lain dia
harus mengantar anaknya ke rumah sakit. Karena bu Suci tidak memiliki
informasi yang cukup tentang Waskito, akhirnya ia memutuskan untuk ke
kediaman kakek, dan nenek Waskito. Di sana bu Suci mendapatkan
informasi, bahwa Waskito sebenarnya bukanlah anak nakal hanya saja
orangtuanya salah mendidiknya. Dari situ bu Suci mulai mendekati
Waskito, ia membuat Waskito lebih dianggap ada keberadaannya oleh
teman-teman sekelasnya. Waskito dipercayakan oleh bu Suci melakukan
hal-hal

yang

sebelumnya

belum

pernah

ia

lakukan,

termasuk

mengantarkan makanan kepada anak bu Suci yang sedang di rumah sakit.
Di akhir cerita, Waskito berhasil menjadi anak yang baik, dan dapat naik
kelas.
Terdapat banyak nilai kehidupan dari novel Pertemuan Dua Hati
karya Nh. Dini, sehingga penulis tertarik memilih novel ini sebagai
sumber penelitian. Perjuangan seorang guru untuk muridnya sangat
terlihat pada novel ini. Selain isi dari novel ini peneliti pun tertarik karena
pengarang novel ini adalah Nh. Dini, seorang sastrawan wanita yang
berjaya pada masanya. Novel ini pun bisa menjadi bahan bacaan siswa
pada pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dalam materi yang
membahas novel. Maka dari itu peneliti memilih judul Prinsip
Kesantunan “Berbahasa Menurut Leech Pada Novel Pertemuan Dua
Hati Karya N.H Dini dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Bahasa Indonesia di SMA”.

4

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut.
1. Kurangnya siswa dalam menggunakan kesantunan dalam berbahasa.
2. Kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran bahasa.
3. Keterbatasan

kemampuan

siswa

dalam

memahami

kesantunan

berbahasa.
4. Rendahnya minat siswa dalam membaca karya sastra.
5. Kurangnya presentase pengajaran sastra pada siswa SMA.
6. Tindak tutur tidak hanya terjadi pada karya sastra.

C. Pembatasan Masalah
Pembatasan suatu masalah dalam suatu penelitian sangat penting
agar permasalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang
dari masalah yang diterapkan. Peneliti lebih berfokus pada prinsip
kesantunan menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh.
Dini yang diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di
Sekolah Menengah Atas.

D. Perumusan Masalah
Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan terarah, maka
diperlukan rumusan masalah dalam suatu penelitian. Adapun rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana prinsip kesantunan
berbahasa menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya N.H Dini
dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Menengah Atas?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan prinsip kesantunan

5

berbahasa menurut Leech dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh.
Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Menengah Atas.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat teoretis
Dapat memberikan wawasan tentang kesantunan berbahasa
terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.
Manfaat praktis
Dapat memberikan sumber referensi baru untuk mahasiswa lain
yang ingin meneliti hal yang sama dengan penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini penulis membagi
dalam lima bab, yaitu:
BAB I

: Pendahuluan
Dalam bab pendahuluan ini penulis akan memaparkan
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan

masalah,

perumusan

masalah,

tujuan

penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II

: Landasan Teori
Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian sastra,
pengertian novel, jenis-jenis novel, unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel, biografi Nh. Dini, sinopsis novel
Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini, pengertian
pragmatik,

kesantunan,

prinsip

kesantunan

Leech,

penelitian relevan, serta implikasi penelitian dengan
pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.
BAB III

: Metodologi Penelitian
Dalam bab ini penulisakan menguraikan tentang metode
penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan

6

teknik analisis data.
BAB IV

: Hasil Penelitian
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang
gambaran umum prinsip kesantunan berbahasa

dalam

novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini serta deskripsi,
data, analisis data dan interpretasi data.
BAB V

: Penutup
Dalam bab ini penulis memberikan kesimpulan dan saransaran.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pragmatik
1. Pengertian Pragmatik
Menurut Leech pada tahun 1983, fonologi, sintaksis dan semantic
merupakan bagian dari tata bahasa atau gramatika, sedangkan pragmatik
merupakan bagian dari pengunaan tata bahasa (language use).1 Telah banyak
ahli yang mendefinisikan pengertian pragmatik. Istilah pragmatik berasal dari
pragmatika diperkenalkan oleh Charles Moris (1938).2 Dalam sumber lain
dikatakan pula, :”… pragmatik adalah tindakan aliran struktural yang
berkonteks, dan yang pada hakikatnya ada karena digunakan di dalam
komunikasi.”3
Pragmatik adalah telaah umum tentang cara kita menafsirkan kalimat
dalam suatu konteks (unsur waktu dan tempat mutlak dituntut oleh suatu
ujaran).4 Menurut Heatherington (1980:155), pragmatik adalah ilmu yang
menelaah mengenai ucapakan-ucapan khusus dalam situasi-situasi tertentu dan
memandang performasi ujaran sebagai suatu kegiatan sosial yang ditata oleh
aneka ragam konvensi sosial.5 Pragmatik adalah studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). 6 Menurut Ninio
dan Snow pada tahun 1998 dan Verschueren pada tahun 1999, pragmatik
adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan orang lain
dalam masyarakat yang sama. 7
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan pragmatik adalah ilmu
yang merupakan bagian dari linguistik, meneliti ujaran yang memiliki konteks
dan digunakan dalam berkomunikasi. Cara penutur menafsirkan kalimat dalam

1
2

Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik, (Yogjakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h.20.
Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik (Bandung: PT Refika Aditama, 2012),

h.60.
3

Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum
1984 (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.16.
4
Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi (Depok: Nofa Citra Mandiri, 2012), h.3.
5
Ibid., h. 3.
6
Geoffrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Terj. Dari The Principles Of Pragmatics oleh
M. D. D. Oka, (UI-Press, 2011), h.8.
7
Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
(Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 264.

7

8

suatu konteks bergantung pada tanda yang melibatkan unsur waktu dan tempat
yang digunakan setiap ujaran.
2. Kesantunan
Leech mengatakan bahwa “kesantunan merupakan ujaran yang membuat
orang lain dapat menerima dan tidak menyakiti perasaannya.” Sedangkan Yule
menyatakan bahwa “kesantunan adalah usaha mempertunjukan kesadaran yang
berkenaan dengan muka orang lain. Kesantunan dapat dilakukan dalam situasi
yang bergayut dengan jarak sosial dan keintiman.” 8 Selanjutnya, Baryadi
dalam PELBBA 18 mengartikan kesantunan sebagai “salah satu wujud
penghormatan seseorang kepada orang lain”.9
Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, kesantunan adalah suatu usaha
pola penyampaian pesan dengan menjaga perasaan mitra tutur dengan
menghomati mitra tutur agar tidak menyakiti perasaannya dalam situasi
tertentu. Cara penghormatan guna menjaga perasaan mitra tutur dilakukan
dengan menjaga bahasa yang digunakan dalam berinteraksi, tidak asal bicara
dan menyampaikan ujaran dengan bahasa yang sopan.
3. Prinsip Kesantunan Menurut Leech
Prinsip kesantunan yang dianggap paling lengkap adalah prinsip
kesantunan menurut Leech pada tahun 1983. Prinsip kesantunan ini dituangkan
dalam enam maksim.
Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual.
Kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucaapan mitra tuturnya.
Selain itu, maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip
kerja sama dan prinsip kesantunan. Berikut ini enam maksim yang merupakan
prinsip kesantunan menurut Leech:

8

George Yule dalam buku Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi , (Depok: Nofa
Citra Mandiri, 2012), h. 67.
9
Yassir Nasanius (peny.), PELBBA 18:Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan
Budaya Atmajaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h.101.

9

1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Kurangi kerugian orang lain, tambahi keuntungan orang lain.
Contoh:
: “Ayo dimakan bakminya! Di dalam masih banyak, kok.”

Ibu

Rekan Ibu : “Wah, segar sekali. Siapa yang memasak ini tadi, Bu?”
Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang ibu kepada teman dekatnya pada
saat ia berkunjung ke rumahnya.
Kalau dalam tuturan penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang
lain, maka mitra tutur harus pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan
sebaliknya..

Bandingkan

pertuturan

(25)

yang

mematuhi

maksim

Pragmatics,

maksim

kebijaksanaan dan petuturan (26) yang melanggarnya.
(25) A: Mari saya bawakan tas Bapak!
B: Jangan, tidak usah!
(26) A: Mari saya bawakan tas Bapak!
B: Ini, begitu dong jadi mahasiswa!10
2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Menurut

Leech

dalam

The

Principles

Of

kedermawanan mengacu pada, “Minimize benefit to self: maximize cost to
self.”11 Kurangi keuntungan diri sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri.
Contoh:
Bapak A

: “Wah, oli mesin mobilku agak sedikit kurang.”

Bapak B

: “Pakai oliku juga boleh. Sebentar, saya ambilkan dulu!”

Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seseorang kepada tetangga dekatnya di
sebuah perumahan ketika mereka sedang sama-sama merawat mobil masingmasing di garasi.12
10
11

h. 133.

Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 57.
Geoffrey Leech, The Principles Of Pragmatics (London and New York: Longman, 1989),

10

Menurut Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa, maksim ini disebut
juga sebagai maksim penerimaan, yaitu maksim yang menghendaki setiap
peserta

pertuturan

untuk

memaksimalkan

kerugian

diri

sendiri

dan

meminimalkan keuntungan diri sendiri. Tuturan (27) dan (28) dipandang
kurang santun bila dibandingkan dengan tuturan (29) dan (30).
(27) Pinjami saya uang seratus ribu rupiah!
(28) Ajaklah saya makan di restaurant itu!
(29) Saya akan meminjami Anda uang seratus ribu rupiah.
(30) Saya ingin mengajak Anda makan siang di restaurant.
Tuturan (27) dan (28) serasa kurang santun karena penutur berusaha
memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan mengusulkan orang lain.
Sebaliknya tuturan (29) dan (30) serasa lebih santun karena penutur berusaha
memaksimalkan kerugian diri sendiri.13
3) Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)
Menurut Leech pada The Princiles Of Pragmatics, approbation maxim adalah
sebagai berikut.
Minimize dispraise of other; maximize praise of other. An unflattering subtitle
for the Approbation Maxim would be „the Flattery Maxim’ – but the term
„flattery’ is generally reserved for insincere approbation. In its more important
negative aspect, this maxim says „avoid saying unpleasant things about others,
and more particulary, about h’. Hence whereas a compliment like What a
marvelous meal you cooked! Is highly valued according to the Aprobation
Maxim, †What an awful meal you cooked! Is not.14
Approbation maxim yang telah dijelaskan di atas berarti kurangi cacian pada
orang lain, tambahi pujian pada orang lain. Approbatin maxim bisa diberi nama
lain, namun kurang baik, yaitu, „Maksim Rayuan‟ – tetapi istilah „rayuan‟
biasanya digunakan untuk pujian tidak tulus. Pada approbation maxim, aspek
negatif yang paling penting, yaitu jangan mengatakan hal-hal yang tidak
menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai mitra tutur. Karena
itu, menurut approbation maxim, sebuah pujian seperti “Masakanmu enak
12

Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta:
Erlangga, 2005), h.59.
13
Chaer, op. cit., h.57.
14
Leech, op. cit., h. 135.

11

sekali” sangat dihargai, sedangkan ucapan “Masakanmu samasekali tidak
enak!” tidak dihargai.
Contoh:
Dosen A

: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas

Business English.”
Dosen B

: “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari

sini.”
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen
dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.
Abdul Chaer menyatakan bahwa Approbation Maxim disebut juga maksim
kemurahan. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak
hormat kepada orang lain.
(31) A: Sepatumu bagus sekali!
B: Wah, ini sepatu bekas; belinya juga di pasar loak.
(32) A: Sepatumu bagus sekali!
B: Tentu dong, ini sepatu mahal; belinya juga di Singapura!
Penutur A pada (31) dan (32) bersikap santun karena berusaha
memaksimalkan keuntungan pada (B) mitra tuturnya. Lalu, mitra tutur pada
(31) juga berupaya santun dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri
sendiri; tetapi (B) pada (32) melanggar kesantunan dengan berusaha
memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi, (B) pada (32) tidak berlaku
santun.15
4) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)
15

Chaer, op. cit., h. 58.

12

Kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri.
Contoh:
Sekretaris A: “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda yang
memimpin!
Sekretaris B: “ Ya, Mbak. Tapi, saya jelek, lho.”
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior
pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka.
Dalam Kesantunan berbahasa, Modesty Maxim disebut sebagai maksim
kerendahan hati. Maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan
untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan
rasa hormat pada diri sendiri.
(40) A: Kamu memang sangat berani.
B: Ah tidak; tadi „kan cuma kebetulan saja.
5) Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)
Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang orang lain, tingkatkan
persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Contoh:
Noni: “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun: “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa
pada saat mereka sedang berada di sebuah ruang kelas.16

16

Ibid,. h. 64.

13

Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa menyebut Agreement Maxim
dengan sebutan maksim kecocokan, yang berarti menghendaki agar setiap
penutur dan mitra tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka; dan
meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.
(41) A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat
memalukan.
B: Ya, memang!
(42) A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat
memalukan.
B: Ah, tidak apa-apa. Itulah dinamikanya demokrasi.
Tuturan B pada (41) lebih santun dibandingkan dengan tuturan B pada
(42), mengapa? Karena pada (42), B memaksimalkan ketidaksetujuan dengan
pernyataan A. Namun bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan
pendapat atau pernyataan mitra tuturnya. Dalam hal ia tidak setuju dengan
pernyataan mitra tuturnya, dia dapat membuat pernyataan yang mengandung
ketidaksetujuan parsial (partial agreement) seperti tampak pada pertuturan
berikut.
(43) A: Kericuhan dalam siding umum DPR itu sangat
memalukan.
B: Memang, tetapi itu hanya melibatkan beberapa oknum
anggota DPR saja.
Pertuturan (43) terasa lebih santun daripada pertuturan (42) karena
ketidaksetujuan B tidak dinyatakan secara total, tetapi secara parsial sehingga
tidak terkesan bahwa B adalah orang yang sombong.17
6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

17

Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.59-61.

14

Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain, perbesar simpati antara
diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83).
Contoh:
Ani: “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti: “Innalillahiwainnailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah
berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka. 18
Menurut Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa, Sympathy Maxim
disebut juga sebagai maksim kesimpatian. Maksim ini mengharuskan semua
peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa
antipasti kepada mitra tuturnya. Bila mitra tutur memperoleh keberuntungan
atau kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika mitra tutur
mendapat kesulitan atau musibah penutur sudah sepantasnya menyampaikan
rasa duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Simak pertuturan
(45) dan (46) yang cukup santun karena si penutur mematuhi maksim
kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada mitra tuturnya yang
mendapatkan kebahagiaan pada (45) dan kedukaan pada (46).
(45) A: Bukuku yang kedua puluh sudah terbit.
B: Selamat ya, Anda memang orang hebat.
(46) A: Aku tidak terpilih jadi anggota legislatif; padahal uangku sudah banyak
keluar.
B: Oh, aku ikut prihatin; tetapi bisa dicoba lagi dalam pemilu
mendatang.19
Berdasarkan pemaparan di atasa dapat disimpulkan bahwa
menurut Leech

prisip kesantunan ada 6, yaitu tact maxim (maksim

kebijaksanaan), generosity maxim (maksim kedermawanan atau maksim
penerimaan), approbation maxim (maksim penghargaan atau maksim
18

Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta:
Erlangga, 2005), h.59.
19
Chaer, op.cit., h. 61

15

kemurahan), modesty maxim (maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan
hati), agreement maxim (maksim permufakatan atau maksim kecocokan), dan
sympathy maxim (maksim simpati atau maksim kesimpatian). Keenam maksim
pada prinsip kesantunan, dilihat dari keuntungan terhadap diri sendiri,
pengorbanan, pujian, cacian, penyesuaian diri dan simpati serta antisimpati.
Maksim kemufakatan dan maksim simpati berhubungan dengan
penilaian penutur kepada dirinya sendiri ataupun pada mitra tuturnya.
Sedangkan maksim kebijaksanaan dan maksim kesederhanaan mempunyai
kesamaan, karena keduanya berpusat pada orang lain. Maksim kedermawanan
dan maksim kesederhanaan berpusat pada diri sendiri, baik penutur ataupun
mitra tutur.
4. Konteks
Dalam pragmatik, konteks sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan.
Menurut KBBI, konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna.20 Sedangkan menurut Mey pada
tahun 1993, dalam F.X. Nadar adalah the surrounding, in the widest sense, that
enable the participants the communication process their interaction
intelligible,

yang

berarti

situasi

lingkungan

dalam

arti

luas

yang

memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat
ujaran mereka dapat dipahami. Selain itu, pentingnya konteks dalam pragmatik
ditekankan oleh Wijana pada tahun 1996, yang menyebutkann bahwa
pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks.21 Leech mengartikan konteks
sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh
penutur dan mitra tutur, dan yang membantu mitra tutur menafsirkan makna
tuturan.22 Sehingga, dapat disimpulkan bahwa konteks sangat penting dalam
pragmatik yang mengkaji makna dari setiap ujaran dalam suatu situasi.
Konteks merupakan latar belakang yang sama-sama diketahui oleh penutur dan
mitra tutur.
20

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), Edisi ke-3, h. 728.
21
F.X. Nadar, Pragmatik & Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h.3-4.
22
Geoffrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Terj. Dari The Principles Of Pragmatics oleh
M. D. D. Oka, (UI-Press, 2011), h.20.

16

Menurut John. J. Gumperz dan Dell Hymes, konteks dapat mempermudah
pola-pola komunikatif dengan menggunakan klasifikasi kisi-kisi yang diajukan
Hymes yang dikenal dengan istilah SPEAKING. Istilah SPEAKING,
merupakan akronim yang tiap hurufnya merupakan unsur dari konteks. Unsurunsur itu adalah:
1) Setting dan scene / adegan (S). Setting mengacu pada waktu dan tempat.
Contohnya adalah lingkungan yang secara fisik dapat dilihat pada
peristiwa tutur berlangsung. Sedangkan dapat pula terjadi suatu ujaran
tertentu menjelaskan scene/ adegan.
2) Participant/ peserta (P), termasuk penutur dan mitra tutur, yang
menuturkan dan yang mendengarkan, pengirim dan penerima. Tuturan
tersebut antara penutur dan mitra tutur dan pedengar yang saling berganti
peran.
3) End/ hasil akhir (E), mengacu pada hasil akhir dari respon dalam
percakapan yang dilakukan dan juga tujuan akhir personal yang dicari oleh
peserta percakapan.
4) Act sequence/ urutan tindakan (A), mengacu pada bentuk dan isi yang
actual dari kata-kata yang digunakan, sehingga terhubung antara apa yang
dituturkan dengan urutan tindakan dengan tema yang actual saat itu.
5) Key/ Kunci (K), mengacu pada nada/ tone, perilaku atau semangat saat
pesan tersebut digunakan, di antaranya adalah serius, bahagia, mencekam,
menakutkan, kegembiraan, kelembutan. Kunci yang dimaksud adalah
body language atau bahasa tubuh yaitu dengan perilaku gerak tubuh.
6) Instrument (I), mengacu pada pilihan channel/ jalur yaitu sesuatu yang
digunakan agar pesan itu dapat tersampaikan seperti ujaran lisan, tulisan,
sms, dan bentuk ujaran yang digunakan seperti bahasa, simbol-simbol,
kode dan dialek.
7) Norm/ cara interaksi dan interpretasi (N), merupakan perilaku tertentu
yang berkaitan erat dengan peristiwa tutur, baik dari volume suara,
ekspresi dan gerak tubuh bahkan diam.
8) Genre (G), merupakan jenis bahasa ujaran, seperti ungkapan pantun,
peribahasa, motto, nasihat, lelucon, kampanye yang keseleluruhannya

17

ditandai dengan cara yang tidak biasa. 23 Menurut Swales pada tahun 1990
dirangkum dalam bahasa Indonesia, menyatakan bahwa suatu genre terdiri
atas suatu kelas peristiwa-peristiwa komunikatif yang para anggotanya
bersama-sama memiliki beberapa perangkat tujuan komunikatif.24
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hymes memberikan penjelas
pada setiap unsur dengan akurat. Unsur dari akronim SPEAKING tersebut
digunakan untuk memperjelas konteks setiap tuturan dalam analisis deskriptif
pada BAB IV, yaitu peristiwa tutur, tempat, waktu, tujuan, mitra tutur dan
situasi.

B. Sastra
1. Pengertian Sastra
Sastra adalah bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitabkitab, bukan bahasa sehari-hari.25 Karya sastra adalah karya imajinatif
pengarang yang menggambarkan kehidupan masyarakat pada waktu karya
sastra itu diciptakan.26
Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang
terdiri dari akar kata Ças atau sâs dan –tra. Ças dalam bentuk kata kerja yang
diturunkan memiliki arti mengarahkan, mengajar, memberikan suatu petunjuk
ataupun intruksi. Akhiran –tra menunjukan satu sarana atau alat. Sastra secara
harfiah berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi ataupun
pengajaran.27
Karya sastra (novel, cerpen, dan puisi) adalah karya imajinatif, fiksional,
dan ungkapan ekspresi pengarang. Karya sastra adalah produk budaya, dan
sebagai produk budaya karya sastra mencerminkan ataupun merepresentasikan
realitas masyarakat sekitarnya dan pada zamannya. Dengan asumsi itu, karya
23

Nuri Nurhaidah, Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia, (Yogyakarta: Smart
Writing, 2014), h. 55-56.
24
Fatimah Djajasudarma, Wacana- Pemahaman dan Hubungan Antarunsur, (Bandung:
Refika Aditama, 2006), h.29.
25
A.A. Waskito, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: WahyuMedia, 2009), h. 508.
26
Yuana Agus Dirgantara, Pelangi Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia, (Garudhawaca,
2012), h. 123.
27
Dwi Susanto S.S., M. Hum. Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: Caps, 2012), h. 1

18

sastra hanya mencerminkan jiwa zamannya saja.28
Dapat

dikatakan

bahwa

sastra

adalah

karya

imajinatif

yang

menggambarkan kehidupan sehari-hari namun bahasa yang digunakannya
bukan bahasa sehari-hari. Bahasa yang digunakan pada karya sastra adalah
bahasa yang mempunyai ciri khas pengarang, karena itu karya sastra disebut
karya yang mempunyai keorsinilan pada penciptaannya. Bahasa yang
digunakan mempunyai ciri khas karena sastra diciptakan untuk dinikmati
pembacanya.

2. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan pula dari
kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena jika dibandingkan
dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain maka jenis
novel ini muncul kemudian. 29
Novel merupakan genre sastra baru dibandingkan puisi, drama, dan lainlain, karena novel baru muncul setelah jenis sastra lainnya. Novel merupakan
karya sastra yang mempunyai konteks seperti kehidupan sehari-hari. Ada
beberapa pengertian novel yang dikemukakan oleh para ahli.
The American College Dictionary of Current English yang disebut dalam
buku Henry Guntur Tarigan, menyebut novel adalah suatu cerita yang fiktif
dalam panjang yang tertentu, yang menuliskan para tokoh, gerak, serta adegan
kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang
agak kacau atau kusut.30
Dewasa ini novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan
istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette, yang berarti sebuah karya prosa
fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang namun tidak juga terlalu
pendek.31 Novel merupakan cerita fiktif yang panjang. Di dalam novel terdapat

28

Ibid., h. 32-33.
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa,
2011), h. 164.
30
Ibid,. h. 164.
31
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2012), h. 9-10.
29

19

tokoh, gerakan, dan kehidupan nyata yang diwakilkan pada jalan cerita yang
mempunyai konflik.
Pengertian selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel
adalah karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang sekelilingnya dengan menonjolkan watak
sifat pelaku.32 Pengertian novel menurut R.J. Rees pada tahun 1973, “A
fictitious prose narrative of considerable length in which characters and
actions representative of real life are portrayed in a plot of more or less
complexity.” Dapat diartikan, menurut R.J. Rees novel merupakan sebuah
cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan
perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata, dan yang digambarkan
dalam suatu plot yang cukup kompleks.33
Berdasarkan penjabaran dari beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa
novel merupakan karangan prosa yang mencerminkan kehidupan seseorang
dengan orang-orang di sekelilingnya yang digambarkan dalam suatu alur yang
cukup kompleks dengan beragam bahasa keseharian yang mengandung ciri
khas dari kepribadian pengarangnya. Dalam novel, setiap pelaku mempunyai
watak dan berinterkasi antara tokoh satu dengan tokoh lainnya, hal itu yang
menonjol dalam novel dibandingkan dengan puisi. Dapat dibuktikan pada puisi
tidak terdapat tokoh pun bisa dinikmati oleh pembaca.

3. Jenis-Jenis Novel
Novel memiliki kategori yang beragam, walaupun kategorisasi novel kerap
kali menimbulkan pertentangan karena perbedaan pendapat antara pihak satu
dengan pihak lainnya. Namun kategorisasi novel sangatlah diperlukan untuk
mengetahui serta memahami karakteristik, dan cerita novel. Berikut ini adalah
jenis novel dalam Teori Pengkajian Fiksi.
a. Novel serius
Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru
32

Pusat Bahasa Depdiknas, op.cit., h. 788.
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), h. 1.
33

20

dengan cara pengucapan yang baru pula. Novel serius memerlukan daya
konsentrasi yang tinggi, dan kemauan jika ingin memahaminya. Novel ini
merupakan makna sastra yang sebenarnya. Pengalaman, dan permasalahan
kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti, dan diungkapkan
sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius
mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan
sebuah “dunia-baru” lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi
yang khusus.34
Novel serius biasanya mengangkat cerita yang lebih kompleks,
bukan hanya kisah asmara antara sejoli. Kisah asmara atau kisah cinta yang
diangkat pada novel serius bukan hanya kepada pasangan tetapi bisa saja
kepada keluarga, orang tua, teman dan lain sebagainya. Cerita yang disuguhkan
dalam novel popular pun lebih rumit. Novel popular tidak berkiblat pada selera
pembaca seperti novel popular. Karya novel popular biasanya lebih abadi dari
novel popular yang tidak akan diingat pembaca dalam waktu yang lama.
b. Novel Populer
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan
banyak

penggemarnya.

Khususnya

pembaca

dikalangan

remaja.

Ia

menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun
hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan
kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Novel ini
pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan
zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Biasanya
banyak dilupakan orang, apalagi denhan munculnya novel-novel baru yang
lebih populer pada asa sesudahnya. Menurut Stanton dalam Teori Pengkajian
Fiksi, novel popular lebih mudah dibaca, dan lebih mudah dinikmati karena ia
memang semata-mata menyampaikan cerita.35
Novel popular tidak masuk dalam masalah kehidupan yang rumit,
kebanyakan novel popular hanya menunjukan emosi-emosi yang biasa remaja

34
35

Nurgiyantoro, op. cit., h. 18-20.
Ibid., h. 18.

21

alami, misalnya masalah asmara. Maka dari itu, jenis novel ini banyak diminati
oleh kalangan remaja. Jika sudah habis jamannya, novel jenis ini tidak lagi
diingat lagi. Jalan cerita novel popular biasanya sederhana karena novel
popular mengincar selera pembaca.
Dari jenis-jenis novel yang disampaikan, maka novel Pertemuan
Dua Hati karya Nh. Dini merupakan novel serius. Hal tersebut karena
Pertemuan Dua Hati mengangkat masalah yang perlu direnungkan oleh para
pembaca. Novel ini memiliki nilai kehidupan, dan nilai pendidikan yang tidak
habis dimakan zaman.
4. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel
Unsur-unsur pembangun sebuah novel—yang kemudian secara bersama
membentuk sebuah totalitas itu— di samping unsur formal bahasa, masih
banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur
tersebut secara tradisional dapat dikelompokan menjadi dua bagian, walau
pembagian ini tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang dimaksud adalah
unsur intrinsik dan ekstrinsik.

a. Unsur Intrinsik
Unsur Intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir
sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang
membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang
(secara langsung) turut serta membangun cerita.

36

Unsur intrinsik yang

dimaksud dalam Wellek & Warren adalah sebagai berikut,
1) Sastra dan seni;
2) modus keberadaan karya sastra;
3) efoni, irama dan matra;
4) gaya dan stilistika;
5) citra, metafora, symbol, dan mitos;
6) sifat dan ragam fiksi naratif;
7) genre sastra;
36

Ibid., h. 23.

22

8) penilaian;
9) sejarah sastra;37

b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan
sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra,
namun sendiri, tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur
ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan)
terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Sebagaimana halnya unsur
intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang
dimaksud (Wellek & Warren, 1956 : 75—135) antara lain adalah keadaan
subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan
pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang
ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak
karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik
psikologi pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi
dalam karya. 38

5. Biografi Nh. Dini
Bernama pena Nh. Dini atau N.H Dini, penulis novel dan biografi yang
bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, lahir di Sekay Semarang,
Jawa Tengah pada tanggal 29 Februari 1936. Ia mengenyam pendidikan di
SMA Sastra Bojong pada tahun 1956, selanjutnya Kursus Pramugari Darat
GIA Jakarta pada tahun 1956, dan dilanjutkan Kursus B-1 Jurusan Sejarah
pada tahun 1957.
Nh. Dini menikah dengan Yves Coffin, seorang diplomat yang bekerja di
Konsulat Perancis di Kobe, Jepang pada tahun 1960, namun bercerai pada
37

Renne Wellek and Austin Wareen, Teori Kesusastraan, oleh Melani Budianta, (Jakarta:
PT Gramedia Pusaka Utama, 1993), h.160-338
38
Nurgiyantoro, op.cit., h. 23-24.

23

tahun 1984. Dari pernikahannya tersebut Nh. Dini dik