Kerentanan Ikan Pelagis Besar Dari Alat Tangkap Gill Net Yang Didaratkan Di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, Jawa Tengah

KERENTANAN IKAN PELAGIS BESAR DARI ALAT TANGKAP
GILL NET YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN
SAMUDERA CILACAP, JAWA TENGAH

DIAH WARDANI ISKA MARSELIN

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kerentanan Ikan
Pelagis Besar dari Alat Tangkap Gill Net yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan
Samudera Cilacap, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, September 2015
Diah Wardani Iska Marselin
NIM C24110042

ABSTRAK
DIAH WARDANI ISKA MARSELIN. Kerentanan Ikan Pelagis Besar dari Alat
Tangkap Gill Net yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap,
Jawa Tengah. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan YONVITNER
Samudera Hindia merupakan salah satu perairan yang mempunyai banyak
sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Banyaknya kegiatan
penangkapan dengan berbagai alat tangkap dapat berpengaruh terhadap
keberlanjutan ikan. Ikan cakalang dan tongkol merupakan hasil tangkapan utama
dari alat tangkap jaring insang (gill net) di PPS Cilacap. Upaya penangkapan
dengan alat tangkap jaring insang dapat menyebabkan penurunan populasi bahkan
kerentanan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji tingkat kerentanan ikan
cakalang dan tongkol akibat penangkapan dengan alat tangkap gill net dan potensi
keberlanjutannya. Analisis yang dilakukan untuk menentukan tingkat kerentanan
yaitu dengan menggunakan software PSA (Produktivity and Susceptibility
Analysis). Indeks kerentanan yang didapat dengan menggunakan program PSA

adalah sebesar 1,36 dan 1,35. Hasil penelitian didapatkan nilai indeks kerentanan
kedua ikan tersebut kurang dari 1,8 yang menunjukkan bahwa ikan cakalang dan
tongkol dari Samudera Hindia belum tergolong rentan.
Kata kunci : gill net, ikan cakalang, ikan tongkol, kerentanaan, Samudera Hindia

ABSTRACT
DIAH WARDANI ISKA MARSELIN. Vulnerability of Large Pelagic Fish from
Gill Net that landed in the Cilacap Fishing Port, Central Java. Suvervised by
ACHMAD FAHRUDIN and YONVITNER
Indian Ocean has a lot of fisheries resourcess that catch of fisherman. The
higest fishing activity with various fishing gear could affect the sustainability of
fish. Skipjack and eastern little tuna is the main catch of gill net in PPS Cilacap.
Fishing effort by gill net fishing gear can lead to population declines and even
vulnerability. The aim of this study is to assess the skipjack and eastern little tuna
vulnerability due to fishing with gill net and its potential sustainability. Analysis
conducted to determine the level of vulnerability that using PSA software
(Productivity and Susceptibility Analysis). Vulnerability index obtained by PSA
program are at 1,36 and 1,35. The result showed the vulnerability index value of
the fish is less than 1,8 that indicated of skipjack and eastern little tuna from the
Indian Ocean has not been classified as vulnerable.

Keywords: gill net, skipjack, eastern little tuna, vulnerability, Indian Ocean

KERENTANAN IKAN PELAGIS BESAR DARI ALAT TANGKAP
GILL NET YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN
SAMUDERA CILACAP, JAWA TENGAH

DIAH WARDANI ISKA MARSELIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul Kerentanan Ikan Pelagis Besar dari Alat Tangkap Gill Net yang
didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi ini
disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1.
Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan bagi penulis
untuk menempuh studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
2.
Beasiswa Bidik Misi IPB yang telah memberikan bantuan dana selama
perkuliahan.
3.
Dr Yonvitner, SPi MSi yang telah memberikan dana bantuan penelitian.
4.
Dr Majariana Krisanti, SPi MSi selaku pembimbing akademik yang telah
memberi saran selama perkuliahan.
5.

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi dan Dr Yonvitner, SPi MSi selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan masukkan dan arahan dalam penulisan
karya ilmiah ini.
6.
Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku penguji tamu dan Zulhamsyah
Imran, SPi MSi PhD selaku Komisi Pendidikan Program S1 Manajemen
Sumberdaya Perairan yang telah memberikan saran dan masukan dalam
penulisan karya ilmiah ini.
7.
Ibu Eko dan seluruh staf PPS Cilacap (Pak Taufik, Mas Agung, Mas Ikbal,
Mas Ibnu, dan Mas Naufal) yang telah membantu selama proses
pengambilan data.
8.
Staf Tata Usaha Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
9.
Bapak, Mamah, Adik, dan seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan
doa, kasih sayang, dan dukungannya selama ini.
10. Mba Desti, Kak Fitri, Bang Genta, Meti, dan tim penelitian Cilacap MSP 48
(Aisya, Tini, Riana, dan Ira) yang telah membantu selama penelitian.
11. Seluruh teman-teman MSP 48 atas doa, dukungan, dan bantuannya.

Saran dan kritik atas skripsi ini sangat diharapkan demi perbaikan penulisan
di waktu yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2015
Diah Wardani Iska Marselin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan Data
Prosedur Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

viii
viii
viii
ix
1
1
1
2
3
3

3
3
5
11
11
18
22
22
22
22
26
35

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

7
8
9
10

Pengumpulan data primer
Pengumpulan data sekunder
Analisis parameter produktivitas
Analisis parameter suseptibilitas
Kriteria penilaian PSA
Parameter pertumbuhan ikan berdasarkan model von Bertalanffy
Laju mortalitas dan eksploitasi ikan cakalang dan tongkol
Hasil parameter produktivitas
Hasil parameter suseptibilitas
Indeks kerentanan PSA, spesies (Cheung 2007), dan intrinsik

4
4
5
5

9
14
15
15
16
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitan
Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan tongkol (Euthynnus affinis)

Sebaran frekuensi panjang total ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Sebaran frekuensi panjang total ikan tongkol (Euthynnus affinis)
Grafik analisis produktivitas dan suseptibilitas

2
3
11
12
13
13
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Dokumentasi penelitian
Penetapan skor atribut produktivitas dan suseptibilitas (Patrick et al.
2009)
Ukuran pertama kali matang gonad
Sebaran frekuensi panjang
Parameter pertumbuhan
Laju mortalitas dan eksploitasi
Pemberian skor produktivitas
Pemberian skor suseptibilitas

viii

26
26
28
29
29
31
32
33

DAFTAR ISTILAH
Area overlap
F/M

Fekunditas

Kerentanan

Konsentrasi geografis

Management strategy

Migrasi musiman

Nilai ekonomi
Produktivitas
PSA

Rekrutmen
Spawning stock biomass

Survival after capture

Suseptibilitas

Vertical overlap

: Tingkat tumpang tindih penangkapan ikan
berdasarkan daerah penangkapan.
: Laju mortalitas ikan atau perbandingan
mortalitas penangkapan dengan mortalitas
alami.
: Jumlah telur yang telah matang dalam suatu
ovarium sebelum dikeluarkan pada waktu
memijah.
: Tingkat resiko yang akan mempengaruhi
spesies ikan akibat alat tangkap terhadap
produktivitas dan suseptibilitas.
: Kisaran penyebaran sumberdaya ikan yang
tertangkap di pelabuhan dengan hasil
tangkapan dari WPP.
: Strategi pengelolaan sumberdaya perikanan
dengan melakukan batasan penangkapan ikan
di perairan.
: Pergerakan aktif ikan akibat perubahan siklus
hidup dan pengaruh lingkungan yang berganti
setiap musim.
: Nilai sumberdaya perikanan berdasarkan
tingkat harga di pasaran.
: Kemampuan untuk menghasilkan sesuatu
(daya reproduksi).
: PSA (Productivity and Susceptibility Analysis)
merupakan salah satu software yang
digunakan untuk menentukan tingkat resiko
kerentanan sumberdaya ikan dari parameter
produktivitas dan suseptibilitas.
: Penambahan individu dalam suatu populasi.
: Pengamatan
terhadap
hasil
tangkapan
sumberdaya ikan yang sedang matang gonad
dengan komposisi ikan lainnya yang
tertangkap.
: Ketahanan
ikan
setelah
penangkapan
dilakukan, seberapa lama ikan dapat bertahan
setelah kegiatan penangkapan.
: Kemampuan
untuk
dengan
mudah
memberikan respon terhadap kerja (gaya) atau
kecenderungan sumberdaya untuk tertangkap.
: Tumpang tindih penangkapan berdasarkan
kedalaman perairan dan alat tangkap yang
digunakan.

ix

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa merupakan daerah kegiatan
penangkapan dengan tingkat penangkapan ikan cukup tinggi. Salah satu tempat
pendaratan ikan di Samudera Hindia yaitu di Pelabuhan Perikanan Samudera
(PPS) Cilacap, Jawa Tengah. Pelabuhan ini merupakan tempat perikanan yang
berintensitas tinggi yang ditandai dengan banyaknya jumlah armada kapal yang
melakukan bongkar muat dan setiap tahunnya banyak pemanfaatan sumberdaya
ikan di wilayah tersebut. Sumberdaya ikan yang banyak didaratkan di PPS
Cilacap adalah ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Ikan pelagis besar
tersebut di antaranya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan tongkol
(Euthynnus affinis). Ikan cakalang dan tongkol merupakan ikan yang memiliki
nilai ekonomis penting, sehingga permintaan akan ikan tersebut tinggi. Ikan
tersebut juga merupakan salah satu komoditi ekspor.
Produksi hasil tangkapan ikan cakalang dan tongkol mengalami penurunan
yang cukup signifikan pada tahun 2012 hingga 2013. Produksi ikan cakalang dan
tongkol berturut-turut pada tahun 2012 sebesar 2400,81 ton dan 5,94 ton,
sementara pada tahun 2013 produksi hanya mencapai 723,76 ton dan 4,21 ton
(PPS Cilacap 2013). Menurunnya produksi hasil tangkapan mengindikasikan
bahwa telah terjadi penangkapan berlebih atau diduga karena eksploitasi berlebih
yang dikhawatirkan dapat menurunkan stok ikan di perairan tersebut. Dahuri
(2002) menyebutkan bahwa tingkat eksploitasi dapat berbeda-beda sesuai dengan
jumlah nelayan yang ada serta peralatan yang dimiliki. Penggunaan alat tangkap
dan cara pengoperasian yang berbeda dapat mempengaruhi stabilitas ikan di alam.
Salah satu alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan cakalang
(Katsuwonus pelamis) dan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di PPS Cilacap adalah
gill net atau jaring insang.
Ikan yang memiliki nilai produktivitas rendah dan nilai suseptibilitas tinggi
maka memiliki peluang keberlanjutan yang rendah atau tingkat kerentanan tinggi
dan sebaliknya (Patrick et al. 2009). Menurut Karsperson et al. (2001) in
Runtuboi (2012), kerentanan adalah tingkat resiko yang akan mempengaruhi
spesies ikan akibat alat tangkap terhadap produktivitas dan suseptibilitas.
Produktivitas stok ikan yang menurun akibat adanya penangkapan ikan yang
berlebih dapat menyebabkan penurunan produksi dan kerentanan stok ikan. Oleh
karena itu maka perlu dilakukan penelitian mengenai kerentanan sumberdaya ikan
yang bertujuan agar diperoleh suatu informasi untuk melakukan upaya
pemanfaatan dan pelestarian.

Perumusan Masalah
Sumberdaya ikan mampu membarui dirinya melalui reproduksi dan
rekrutmen. Walau demikian sumberdaya ikan merupakan milik bersama sehingga
pemanfaatan sumberdaya ikan bersifat open acces, dapat diartikan bahwa semua
pengguna dapat mengaksesnya. Hal ini dapat menyebabkan upaya penangkapan
berlebih yang dapat menimbulkan resiko kerentanan pada ikan. Kerentanan dapat

2
didefinisikan sebagai tingkat resiko yang akan mempengaruhi spesies ikan akibat
alat tangkap terhadap produktivitas dan suseptibilitas.
Permasalahan yang menyangkut produktivitas dapat berupa perubahan
pertumbuhan ikan, panjang maksimum ikan yang menurun, kemampuan ikan
mencapai umur maksimum lambat, maupun kemampuan ikan menghasilkan telur
sedikit. Permasalahan yang menyangkut suseptibilitas dapat berupa mortalitas
penangkapan yang tinggi, biomassa hasil tangkapan ikan yang rendah, alat
tangkap yang dapat merusak morfologi ikan dan ekosistem perairan, maupun
manfaat terhadap usaha nelayan tinggi. Kondisi demikian dikhawatirkan dapat
menimbulkan potential risk yang semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan sumberdaya ikan agar tetap lestari dan berkelanjutan. Menurut
Patrick et al. (2009), Productivity and Susceptibility Analysis (PSA) merupakan
salah satu metode yang tepat untuk mengukur tingkat kerentanan sumberdaya ikan
akibat penangkapan berdasarkan parameter produktivitas dan suseptibilitas.
Perubahan pertumbuhan
Panjang maksimum
menurun
Produktivitas
Kemampuan mencapai
umur maksimum lambat
Kemampuan
menghasilkan telur
sedikit

Potential risk

Mortalitas penangkapan
tinggi

Pengelolaan
sumberdaya ikan

Biomassa hasil
tangkapan rendah
Suseptibilitas
Alat tangkap merusak
morfologi ikan dan
ekosistem
Manfaat terhadap usaha
nelayan tinggi
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji tingkat kerentanan sumberdaya
ikan cakalang dan tongkol akibat penangkapan dengan alat tangkap gill net, serta
untuk mengevaluasi potensi keberlanjutan sumberdaya ikan tersebut.

3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait potensi
kerentanan sumberdaya ikan, sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Samudera Hindia yang tepat untuk perikanan berkelanjutan.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bertempat di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap,
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Gambar 2). Pengambilan contoh ikan dan
wawancara dengan nelayan dilaksanakan empat kali di PPS Cilacap pada bulan
Desember 2014 sampai Maret 2015. Ikan contoh yang diperoleh merupakan ikan
hasil tangkapan nelayan gill net di perairan Samudera Hindia. Analisis ikan
contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Gambar 2 Peta lokasi penelitan

Pengumpulan Data
Data primer
Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan di lapang, baik berasal
dari data pengukuran ikan secara langsung maupun wawancara. Pengambilan

4
contoh ikan dilakukan secara acak dan contoh nelayan dipilih (purposive)
berdasarkan alat tangkap yang digunakan untuk tiap jenis ikan yang diteliti. Data
yang dikumpulkan meliputi data panjang total ikan contoh yang diukur dengan
menggunakan meteran dan bobot basah ikan contoh yang ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital. Data panjang total ikan contoh digunakan untuk
menganalisis nilai koefisien pertumbuhan (K), umur maksimum, ukuran
maksimum, mortalitas alami (M), dan pola rekrutmen dengan menggunakan
program FISAT II. Wawancara dilakukan terhadap 25 responden nelayan gill net
yang mendaratkan hasil tangkapan di PPS Cilacap, Jawa Tengah dengan
menggunakan media kuisioner. Berikut merupakan pengumpulan data primer
dengan jumlah ikan cakalang yang diamati sebanyak 822 ekor dan tongkol
sebanyak 224 ekor (Tabel 1).
Tabel 1 Pengumpulan data primer
Data
Panjang
Bobot
Distribusi
Schooling
Nilai ekonomi
Data migrasi
Morfologi

Pengambilan data
Pengukuran
Pengukuran
Wawancara
Wawancara
Wawancara
Wawancara
Wawancara

Data sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan data dan
informasi terkait stok ikan cakalang dan tongkol yang menjadi objek penelitian.
Sumber data sekunder terdiri dari data penelitian yang telah dilakukan terhadap
ikan yang diteliti di PPS Cilacap dan perairan Samudera Hindia. Data sekunder
yang bersumber dari penelitian sebelumnya di Samudera Hindia, yaitu fekunditas
dan diameter telur (breeding stock) ikan cakalang dan tongkol. Adapun data yang
bersumber dari www.fishbase.org, yaitu laju pertumbuhan intrinsik, umur pertama
kali matang gonad, dan mean trophic level baik untuk ikan cakalang maupun ikan
tongkol. Berikut merupakan pengumpulan data sekunder dengan sumbernya
(Tabel 2).
Tabel 2 Pengumpulan data sekunder
Data
r (Pertumbuhan intrinsik)
Telur
Diameter telur
Food habit
Produksi

Sumber data
Fish base
Grande et al. 2010 dan Rao 1964
Fish base
Fish base
PPS Cilacap

5
Prosedur Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini digunakan untuk parameter produktivitas
dan suseptibilitas untuk mengetahui tingkat kerentanan ikan. Adapun analisis
data setiap parameter yang dipakai terdapat dalam Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3 Analisis parameter produktivitas
Sumber data

Parameter produktivitas

Analisis data

Produksi

Pertumbuhan intrinsik (r)
Umur maksimum
Ukuran maksimum
Koefisien pertumbuhan (K)

Pola rekrutmen
Fekunditas
Breeding strategy
Umur pertama matang gonad

*)
Analisis Pauly (1984)
Length frequency analysis
Metode NORMSEP
Persamaan empiris Pauly
(1980)
Metode ELEFAN 1
Gravimetrik dan volumetrik
Cohort analysis
*)

Mean trophic level

*)

Panjang

Mortalitas alami (M)

Telur
Kebiasaan
makanan
Sumber: *) Fish base

Tabel 4 Analisis parameter suseptibilitas
Sumber data

Parameter produktivitas

Analisis data

Sebaran ikan

Management strategy
Area overlap
Vertical overlap
Migrasi musiman

Produksi

Konsentrasi geografis

Panjang

F/M

TKG

SSB (spawning stock biomass)
Pengelompokkan dan respon
kebiasaan
Pengaruh alat tangkap
terhadap morfologi ikan
Survival after capture
Nilai ekonomi/harga ikan
Dampak alat tangkap terhadap
ekosistem

Rasio 23 : 25
Rasio 75 : 100
Rasio 17 : 25
Rasio 20 : 25
Perbandingan produksi di PPS
Cilacap dengan WPP 573
Analisis Pauly dan Evanof
(1984)
Patrick et al. (2009)

Schooling
Morfologi
Harga jual
Morfologi fisik

Rasio 25 : 25
Rasio 23 : 25
Patrick et al. (2009)
Rasio 22 : 25
**)

Sumber: **) Walus 2001

Sebaran frekuensi panjang
Analisis sebaran frekuensi panjang ikan dilakukan menggunakan data
panjang total ikan yang ditangkap. Langkah-langkah dalam menganalisis data
frekuensi panjang ikan adalah menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan,

6
menentukan lebar selang kelas, menentukan kelas frekuensi, dan memasukkan
frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang masing-masing ikan
contoh pada selang kelas yang telah ditentukan. Sebaran frekuensi panjang yang
telah ditentukan dalam selang kelas panjang yang sama kemudian diplotkan dalam
sebuah grafik yang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada
dan perubahan posisi ukuran panjang kelompok umur yang sama (Sparre dan
Venema 1999).

Ukuran pertama kali matang gonad
Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan cakalang
mencapai matang gonad (M) adalah metode Spearman-Karber yang menyatakan
bahwa logaritma ukuran rata-rata mencapai matang gonad adalah (Udupa 1986) :
m

xk

x

-(x ∑ pi )

(1)

Sehingga, M = antilog m
dan selang kepercayaan 95% bagi log m dibatasi sebagai :
ntilog m

m

√x ∑

pi x qi
ni -

(2)

m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, �� adalah log
nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log
pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad
pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah
jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan M adalah panjang ikan
pertama kali matang gonad.

Pendugaan L∞, K, dan t0
Analisis pertumbuhan ikan dilakukan menggunakan data panjang total ikan
contoh yang tertangkap. Koefisien pertumbuhan (K) dan L∞ dapat diduga dengan
menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) :
t

-e-



(t-t )

(3)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) d n ∞ dil kuk n deng n
menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model von Bertalanffy
untuk t sama dengan t+1, sehingga persamaannya menjadi :
t



-e-

(t

-t )

(4)

7
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), Lt+1 adalah panjang
ikan pada saat umur t+1 (satuan waktu), L∞ adalah panjang maksimum secara
teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu),
dan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol. Persamaan 1
dan 2 disubstitusikan dan diperoleh persamaan :
t

-e-



t

e-

(5)

Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi
linier y = b0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat
(y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan b1 = e-K dan titik potong
dengan absis sama dengan b0 = L∞ [1-e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L∞
diperoleh dengan cara :
-ln


)

(6)
(7)

-

Pendugaan terhadap nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama
dengan nol) diperoleh melalui persamaan Pauly (1980) in Sparre dan Venema
(1999) :
log(-t )

log

-



-

log )

(8)

Menurut Pauly (1984) in Waileruny (2014), dengan nilai K dan t0 yang
diperoleh dapat diketahui umur maksimum suatu ikan. Pendugaan umur
maksimum ikan (tmax) dapat diperoleh menggunakan rumus sebagai berikut :
tm

x

t

(9)

Mortalitas dan laju eksploitasi
Konsep parameter pertumbuhan penting untuk diketahui guna pengelolaan
sumberdaya perikanan selanjutnya. Mortalitas dan laju eksploitasi dianalisis
menggunakan data panjang total ikan yang ditangkap. Parameter mortalitas ini
meliputi mortalitas alami dan mortalitas penangkapan (Sparre dan Venema 1999).
Berikut ini adalah langkah-langkah untuk menduga laju mortalitas total (Z) :
Langkah 1 : Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan
inverse persamaan von Bertalanffy
t

t -

ln

-



(10)

Langkah 2 : Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh
dari panjang L1 ke L2

8
t

-t

t

ln



-



-

(11)

Langkah 3 : Menghitung waktu panjang rata-rata
t -

t

ln

-

(12)



Langkah 4: Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang
dikonversi ke panjang
ln

t

-

t

(13)

Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) =
-Z dan untuk laju mortalitas alami (M) dapat diduga dengan menggunakan rumus
empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut :
n

-

ln

-

ln



)

ln

(14)

Ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol seperti ikan cakalang dan
tongkol maka menurut Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) menyarankan
dalam perhitungan, ikan dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk nilai dugaan
menjadi 20% lebih rendah :
exp -

-

ln ∞

ln )

ln )

(15)

Keterangan :
M
= mortalitas alami
L∞
= panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (mm)
K
= koefisien pertumbuhan
t0
= umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol
T
= suhu rata-rata permukaan air (ºC)
Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui
maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan dengan rumus :
-

(16)

Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan
dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas
total (Z) :
(17)
Keterangan :
F
= laju mortalitas penangkapan
Z
= laju mortalitas total

9
M
E

= laju mortalitas alami
= tingkat eksploitasi

Mean trophic level
Nilai mean trophic level ikan cakalang dan tongkol diperoleh dari
www.fishbase.org. Stergiou dan Karpouzi (2002) membagi nilai trofik level ke
dalam empat kelompok, yaitu herbivora dengan kisaran nilai trofik level (2,0 –
2,1), omnivora cenderung herbivora (2,1 < trofik level < 2,9), omnivora
cenderung karnivora (2,9 < trofik level < 3,7), dan karnivora (3,7 < trofik level <
4,5). Nilai mean trophic level digunakan untuk input data ke dalam PSA.

Konsentrasi geografis
Konsentrasi geografis merupakan kisaran penyebaran sumberdaya ikan yang
tertangkap di pelabuhan dengan hasil tangkapan dari WPP daerah tersebut
(Patrick et al. 2009). Nilai konsentrasi geografis diperoleh dari rumus :
onsentr si geogr fis

∑ produksi ik n di pel uh n i
∑ produksi ik n di
i

(18)

Tahapan PSA
Analisis produktivitas dan suseptibilitas pengoperasiannya dilakukan
dengan menggunakan program PSA (Productivity and Susceptibility Analysis)
yang dikembangankan oleh NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration). Langkah awal analisis produktivitas dan suseptibilitas untuk
mengetahui tingkat kerentanan adalah dengan memasukan database ke dalam
format Excel untuk masing-masing parameter produktivitas dan suseptibilitas.
Setiap parameter produktivitas dan suseptibilitas dilakukan penilaian dalam
kategori bobot nilai, skor atribut, dan kualitas data. Data yang telah dibuat ke
dalam suatu skor kemudian dimasukkan ke dalam format stock list yang baru pada
software PSA (Patrick et al. 2009). Kriteria penilaian PSA disajikan pada Tabel 5
Tabel 5 Kriteria penilaian PSA

Bobot nilai

Bobot nilai menunjukan nilai kepentingan dari setiap
parameter. Nilai ini cukup subjektif dan diperoleh
melalui penilaian peneliti terhadap parameter mana yang
paling penting. Nilainya berkisar antara 0-4.
0 = Tidak penting
1 = Kurang penting
2 = Penting
3 = Lebih penting
4 = Sangat penting

10
Tabel 5 (lanjutan)
Dibagi berdasarkan dua parameter, produktivitas dan
suseptibilitas. Atribut skor disesuaikan dengan kriteria
dari NOAA (Lampiran 2). Nilai dari setiap parameter
produktivitas dan sueptibilitas berkisar 1-3.
1 = Rendah
2 = Sedang
3 = Tinggi
Berkisar antara 1-5
1 = Data banyak dan lengkap
2 = Data terbatas (temporal dan spasial)
3 = Data dari genus atau family yang sama
4 = Data baru bersifat informasi yang belum
terpublikasi

Atribut skor

Kualitas data

Sumber: Patrick et al. 2009

Indeks kerentanan
Penentuan kerentanan dengan menggunakan indeks PSA mengarah
langsung pada nilai kerentanan stok secara keseluruhan (v), didefinisikan sebagai
jarak Euclidean (Patrick et al. 2009) :
v

√(p- )

(s- )

(19)

Keterangan :
v
= indeks kerentanan
p
= skor produktivitas
s
= skor suseptibilitas
Ikan yang memiliki indeks kerentanan (v) lebih dari 1,8 menunjukkan
bahwa ikan memiliki resiko kerentanan yang tinggi terhadap aktivitas
penangkapan. Berdasarkan perhitungan nilai v, jika nilai v > 1,8 berarti stok
potensial terjadi overfishing, sedangkan nilai v < 1,8 bisa produktivitas tinggi atau
suseptibilitas rendah (potensi overfishing rendah).
Indeks kerentanan intrinsik (Cheung 2007) :
v

∑ r t -r t produksi ik n i

indeks kerent n n spesies)

tot l produksi ik n

(20)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Deskripsi ikan
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan cakalang merupakan ikan pelagis besar yang terkenal sebagai ikan
perenang cepat dan hidup bergerombol. Ikan cakalang termasuk dalam famili
scombridae dengan nama umum skipjack tuna. Makanan ikan cakalang adalah
udang (crustacea), ikan kecil, dan cumi-cumi (moluska). Ikan cakalang memiliki
bentuk tubuh fusiform, memanjang, dan agak bulat. Bagian punggung berwarna
biru keungu-unguan hingga gelap. Bagian perut dan bagian bawah berwarna
keperakkan, dengan 4-6 garis-garis berwarna hitam yang memanjang di samping
badan (Gambar 3). Menurut FAO (1983), pada bagian sirip dorsal diikuti dengan
7-9 finlet sedangkan dibagian sirip anal diikuti 7-8 finlet.

Gambar 3 Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan cakalang ditangkap dengan menggunakan jaring insang hanyut dengan
ukuran mata jaring 3-6 inchi. Pengoperasian alat tangkap ini yaitu dengan cara
dibiarkan hanyut pada perairan dan salah satu ujung jaringnya diikatkan pada
kapal (Syofyan et al. 2010). Kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan
dengan jaring insang hanyut yaitu 20-30 GT. Ikan cakalang di PPS Cilacap dijual
dengan harga Rp. 20 000 per kilogram.

Ikan tongkol (Euthynnus affinis)
Ikan tongkol merupakan golongan ikan tuna kecil yang memiliki nilai
ekonomis penting dengan sifat hidup selalu bergerombol dan termasuk ikan
perenang cepat. Ikan tongkol termasuk dalam famili scombridae dengan nama
umum eastern little atau mackerel tuna. Kebiasaan makanan ikan tongkol adalah
udang (crustacea), ikan pelagis (ikan teri dan ikan sarden), dan cumi-cumi
(moluska) (Azwir et al. 2004). Menurut Wisnuwidayat (1977) in Atmaja (2009)
ikan tongkol memiliki bentuk tubuh seperti torpedo atau badannya memanjang,
dan tidak bersisik, pada bagian punggung terdapat garis-garis yang arahnya ke
atas dan berwarna keputih-putihan. Bagian belakang sirip dorsal dan anal terdapat
sirip-sirip tambahan yang kecil-kecil (Gambar 4).

12

Gambar 4 Ikan tongkol (Euthynnus affinis)
Ikan tongkol di PPS Cilacap merupakan hasil tangkapan dari alat tangkap
jaring insang (gill net) dengan ukuran mata jaring 3-6 inchi. Nelayan jaring
insang umumnya melakukan operasi penangkapan ikan dalam satu hari. Ikan
tongkol di PPS Cilacap dijual dengan harga Rp. 18 000 per kilogram.

Alat tangkap gill net
Gill net atau jaring insang adalah salah satu jenis alat tangkap ikan dari
bahan jaring yang berbentuk empat persegi panjang. Ukuran mata jaring sama
diseluruh bagian jaring utama. Jumlah mata jaring ke arah panjang (Mesh LengthML) lebih banyak daripada jumlah mata jaring ke arah bawah (Mesh Depth-MD)
(Martasuganda 2002). Nelayan PPS Cilacap menggunakan giil net yang bertipe
drift gill net dengan kedudukan jaring berada di permukaan perairan. Warna
jaring ini adalah bening atau biru laut, hal ini merupakan salah satu alasan supaya
ikan susah mendeteksi keberadaan jaring di dalam perairan.
Tertangkapnya ikan oleh gill net bukan hanya karena ukuran tubuh ikan,
tetapi juga oleh anggota tubuhnya. Cara tertangkapanya ikan pada gill net yaitu
terbelit (entangled) dan terjerat (gilled). Menurut Sudirman dan Mallawa (2004),
untuk gill net yang tertangkapnya secara entangled maka nilai shortening sekitar
35-60% dan secara gilled sekitar 30-40%. Ikan cakalang dan tongkol di PPS
Cilacap merupakan ikan yang tertangkap dengan drift gill net. Pengoperasian alat
ini ada tiga tahap, yaitu setting (penurunan alat), soaking (perendaman), dan
hauling (penarikan/pengangkatan alat). Penurunan alat tangkap dilakukan setelah
nelayan yakin bahwa daerah tersebut merupakan daerah penangkapan ikan.
Nelayan menurunkan dan mengangkat alat tangkap ini dengan menggunakan
tangan tanpa alat bantu. Kondisi ikan saat tertangkap dengan alat ini kebanyakan
sudah dalam keadaan mati dan beberapa ikan ada yang kondisinya rusak seperti
pada sirip, insang, dan ekor. Hal tersebut dapat terjadi karena pengoperasian alat
tangkapnya kurang baik. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka dapat
meningkatkan suseptibilitas dan akhirnya menyebabkan kerentanan ikan.

13
Sebaran frekuensi panjang
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Sebaran frekuensi panjang adalah distribusi ukuran panjang pada kelompok
panjang tertentu. Jumlah ikan cakalang yang diamati selama penelitian sebanyak
822 ekor. Panjang maksimum ikan cakalang yang diperoleh mencapai 790 mm
dan untuk panjang minimum sebesar 220 mm. Sebaran frekuensi panjang ikan
cakalang disajikan pada Gambar 5.

Frekuensi (ind)

300

Lm = 439,40 mm

250
200

n = 822

150
100
50
0

Selang kelas (mm)

Gambar 5 Sebaran frekuensi panjang total ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Frekuensi panjang ikan cakalang meyebar mulai selang kelas panjang 220791 mm. Frekuensi panjang ikan cakalang tertinggi berada pada selang kelas 324375 mm. Ukuran panjang rata-rata ikan cakalang yang diamati sebesar 389,68
mm, ukuran tersebut masih di bawah ukuran petama kali matang gonadnya yang
sebesar 439,40 mm. Hal ini menunjukkan bahwa dominan ikan cakalang yang
tertangkap belum matang gonad.

Ikan tongkol (Euthynnus affinis)

Frekuensi (ind)

Jumlah ikan tongkol yang diamati selama penelitian dari Desember 2014
hingga Maret 2015 sebanyak 224 ekor. Panjang maksimum ikan tongkol yang
diperoleh mencapai 700 mm dan panjang minimumnya sebesar 250 mm. Sebaran
frekuensi panjang ikan tongkol disajikan pada Gambar 6.
100
80
60
40
20
0

Lm = 522,75 mm
n = 224

Selang kelas (mm)

Gambar 6 Sebaran frekuensi panjang total ikan tongkol (Euthynnus affinis)

14
Gambar 6 memperlihatkan bahwa frekuensi panjang ikan tongkol menyebar
mulai selang kelas 250-704 mm. Frekuensi panjang ikan tongkol tertinggi pada
selang kelas 315-379 mm. Ukuran panjang rata-rata ikan tongkol yang diamati
sebesar 406,52 mm, ukuran tersebut masih di bawah ukuran pertama kali matang
gonadnya yang sebesar 522,75 mm. Hal ini menunjukkan bahwa dominan ikan
tongkol yang tertangkap belum matang gonad.

Parameter pertumbuhan
endug n nil i koefisien pertum uh n
) d n ∞ dil kuk n deng n
menggunakan metode Ford Wallford (Lampiran 5) yang diturunkan dari model
von Bertalanffy. Analisis parameter perumbuhan terhadap ikan cakalang dan
tongkol meliputi koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik atau panjang yang
tidak dapat dicapai oleh ikan (L∞), dan umur teoritis ikan pada saat panjang ikan
nol (t0). Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan cakalang dan tongkol
berdasarkan model von Bertalanffy disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Parameter pertumbuhan ikan berdasarkan model von Bertalanffy
Parameter pertumbuhan
L∞ (mm)
K (tahun-1)
t0 (tahun)

Total
Cakalang
992,63
0,29
-0,22

Tongkol
737,90
0,57
-0,12

Persamaan pertumbuhan model von Bertalanffy untuk ikan cakalang adalah
Lt = 992,63 (1-e-0,29(t+0,22)) dan untuk ikan tongkol Lt = 737,90 (1-e-0,57(t+0,12)).
Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai koefisien pertumbuhan (K) per
tahun untuk ikan cakalang dan tongkol berturut-turut sebesar 0,29 dan 0,57.
Menurut penelitian Koya et al. (2012) di perairan Samudera Hindia, nilai K ikan
cakalang yang diperoleh sebesar 0,50 per tahun dengan nilai L∞ sebesar 920,00
mm, sedangkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurhayati (2001) di
perairan Pelabuhan Ratu diperoleh nilai K untuk ikan tongkol sebesar 2,86 dengan
nilai L∞ sebesar 751,20 mm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ikan cakalang di
perairan Samudera Hindia pada penelitian ini memiliki siklus hidup lebih lama
dibandingkan dengan ikan cakalang dari penelitian Koya et al. (2012), sedangkan
ikan tongkol di Samudera Hindia memiliki siklus hidup yang lebih pendek
dibandingkan ikan tongkol yang berada di perairan Pelabuhan Ratu.

Mortalitas dan laju eksploitasi
Mortalitas dapat terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan oleh manusia
atau mortalitas alami. Laju mortalitas alami ikan cakalang dan tongkol dihitung
dengan menggunakan rumus empiris Pauly (Sparre dan Venema 1999) (Lampiran
6). Hasil analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang dan tongkol
dapat dilihat pada Tabel 7.

15
Tabel 7 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan cakalang dan tongkol
Nilai

Parameter

Cakalang
0,25
3,34
3,09
0,93

Mortalitas alami (M)
Mortalitas total (Z)
Mortalitas penangkapan (F)
Laju Eksploitasi (E)

Tongkol
0,42
2,75
2,34
0,85

Tabel 7 memperlihatkan bahwa nilai mortalitas penangkapan ikan cakalang
dan tongkol lebih besar dibandingkan dengan nilai mortalitas alami. Hal ini
menunjukkan bahwa ikan cakalang dan tongkol lebih banyak mati akibat adanya
penangkapan.
Laju eksploitasi ikan cakalang sebesar 0,93 lebih besar
dibandingkan laju eksploitasi ikan tongkol yang sebesar 0,85. Hasil tersebut
menunjukkan sumber potensi resiko kerentanan yang tinggi adalah mortalitas
penangkapan.

Parameter produktivitas dan suseptibilitas
Parameter produktivitas dan suseptibilitas merupakan parameter yang
digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui resiko atau kerentanan dari stok
ikan tertentu terhadap tekanan penangkapan. Ikan cakalang dan tongkol
merupakan hasil tangkapan dari sekitar perairan Samudera Hindia yang didaratkan
di PPS Cilacap. Hasil tangkapan yang berlebih dapat menyebabkan stok ikan
menjadi rentan. Oleh karena itu pengelolaan perikanan berkelanjutan perlu
dilakukan untuk menjaga kelestariannya. Salah satu cara untuk mengetahui
kerentanan stok ikan terhadap penangkapan yaitu menggunakan pendekatan
Productivity and Susceptibility Analysis (PSA). Produktivitas adalah salah satu
parameter PSA yang digunakan untuk melihat seberapa cepat suatu spesies dapat
memulihkan diri dari dampak atau penipisan akibat penangkapan ikan. Hasil
parameter produktivitas ikan cakalang dan tongkol disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil parameter produktivitas
Atribut

Satuan

Pertumbuhan intrinsik (r)
Umur maksimum
Ukuran maksimum
Koefisien pertumbuhan (K)
Mortalitas alami (M)
Fekunditas
Breeding strategy
Pola rekrutmen
Umur pertama matang
gonad
Mean trophic level

tahun-1
tahun
cm
tahun-1
butir
butir
%

Nama ikan
Cakalang
Tongkol
3)
2,30
2,043)
10,13
5,17
79
70
0,29
0,57
0,25
0,42
100828-6273251)
210000-6800002)
Partial spawner
Partial spawner
16,71
17,62

tahun

1,003)

1,403)

4,403)

4,503)

Sumber: 1) Grande et al. 2010, 2) Rao 1964, 3) Fish base

Tabel 8 menunjukkan bahwa pertumbuhan intrinsik ikan cakalang lebih
besar dari ikan tongkol yaitu 2,30 per tahun. Ikan cakalang hidup dalam jangka

16
waktu lebih lama yaitu 10,13 tahun dibandingkan ikan tongkol yang dapat hidup
selama 5,17 tahun. Ikan cakalang memiliki ukuran yang lebih panjang daripada
ikan tongkol yaitu sebesar 79 cm. Nilai koefisien pertumbuhan dan mortalitas
alami ikan tongkol lebih tinggi dibandingkan ikan cakalang. Fekunditas yang
dihasilkan oleh setiap ikan itu tidak sama. Keberhasilan rekrutmen menunjukkan
ikan tongkol memiliki potensi yang paling besar yaitu 17,62 % dibandingkan ikan
cakalang. Mean trophic level ikan cakalang dan tongkol tidak terlalu berbeda
yaitu sebesar 4,4 dan 4,5.
Suseptibilitas menunjukkan kecenderungan sumberdaya ikan untuk
tertangkap. Parameter suseptibilitas berupa manajemen strategi, area overlap,
konsentrasi geografis, vertical overlap, F/M, spawning stock biomass (SSB),
migrasi musiman, pengelompokkan dan respon kebiasaan, pengaruh alat tangkap
terhadap morfologi ikan, survival after capture, nilai ekonomi, dan dampak alat
tangkap terhadap ekosistem. Hasil parameter suseptibilitas ikan cakalang dan
tongkol disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil parameter suseptibilitas
Atribut
Management strategy
Area overlap (distribusi
ikan terhadap
penangkapan)
Konsentrasi geografis
Vertical overlap
(kedalaman)
F/M
SSB (Spawning Stock
Biomass)
Migrasi musiman

Pengelompokkan dan
respon kebiasaan

Pengaruh alat tangkap
terhadap morfologi ikan
Survival after capture
Nilai ekonomi ikan
Dampak alat tangkap
terhadap ekosistem

Nama ikan
Cakalang
Tongkol
Stok ikan memiliki batasan Stok ikan memiliki batasan
penangkapan tetapi tidak
penangkapan tetapi tidak
ada monitoring
ada monitoring
75% berada pada daerah
penangkapan

75% berada pada daerah
penangkapan

65,92% tersebar dari
seluruh daerah
penangkapan
68% berada pada
kedalaman yang sama
12,54

18,31% tersebar dari
seluruh daerah
penangkapan
68% berada pada
kedalaman yang sama
5,62

< 25%

< 25%

Ikan melakukan migrasi
sehingga mempengaruhi
pengurangan hasil
tangkapan
Kebiasaan ikan hidup
bergerombol
mempengaruhi
pengurangan hasil
tangkapan
92% ikan tidak mengalami
kerusakan morfologi saat
ditangkap
Ketahanan ikan setelah
penangkapan sekitar < 33%
Rp. 20 000 (harga tinggi)
Alat tangkap jaring insang
tidak mengganggu habitat

Ikan melakukan migrasi
sehingga mempengaruhi
pengurangan hasil
tangkapan
Kebiasaan ikan hidup
bergerombol
mempengaruhi
pengurangan hasil
tangkapan
92% ikan tidak mengalami
kerusakan morfologi saat
ditangkap
Ketahanan ikan setelah
penangkapan sekitar < 33%
Rp. 18 000 (harga sedang)
Alat tangkap jaring insang
tidak mengganggu habitat

17
Kegiatan penangkapan ikan cakalang dan tongkol yang didaratkan di PPS
Cilacap belum ada kebijakan perikanan yang tegas, meskipun ada ketentuan batas
penangkapan namun belum berjalan dengan baik dan tidak ada kegiatan
monitoring. Banyaknya armada dan kegiatan penangkapan yang dilakukan
menyebabkan area overlap dan vertical overlap tinggi. Nilai F/M menunjukkan
bahwa laju mortalitas ikan cakalang lebih besar dibandingkan dengan ikan
tongkol. Ikan cakalang dan tongkol merupakan ikan yang hidup bergerombol dan
melakukan migrasi. Jaring insang (gill net) adalah alat tangkap yang digunakan
untuk menangkap ikan cakalang dan tongkol yang cukup ramah lingkungan.
Harga jual ikan cakalang yang didaratkan di PPS Cilacap yaitu sebesar Rp. 20 000
per kilogram dan harga ikan tongkol sebesar Rp. 18 000 per kilogram.
Hasil dari parameter produktivitas dan suseptibilitas yang didapatkan,
dilakukan skoring untuk setiap parameter pada kategori bobot nilai, skor atribut,
dan kualitas data. Penilaian kategori untuk masing-masing ikan dapat dilihat pada
Lampiran 7 dan Lampiran 8.
Analisis produktivitas dan suseptibilitas
menggunakan software PSA yang dikembangkan oleh NOAA (National Oceanic
and Atmospheric Administration) menghasilkan grafik yang menghubungkan
parameter produktivitas dan suseptibilitas. Hasil analisis kerentanan ikan dengan
software PSA disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Grafik analisis produktivitas dan suseptibilitas
Gambar 7 menunjukkan bahwa lingkaran hijau yang berangka menandakan
kualitas data yang dipakai adalah baik atau kebanyakan data dari hasil penelitian.
Apabila data yang dipakai kurang baik maka lingkaran tersebut berwarna kuning
dan jika data yang dipakai kebanyakan dari sumber kurang terpercaya (tingkat
keakuratan kurang) maka lingkaran tersebut akan berwarna merah. Angka dalam
lingkaran menunjukkan jenis ikan yang diteliti. Angka 1 menjelaskan ikan
cakalang dan angka 2 adalah ikan tongkol. Garis warna merah yang membujur
menjelaskan bahwa ikan memiliki tingkat kerentanan tinggi. Kerentanan sedang
dan rendah ditunjukkan pada daerah garis warna hijau dan biru yang membujur.

18
Analisis kerentanan
Analisis produktivitas dan suseptibilitas dilakukan agar mengetahui tingkat
kerentanan ikan cakalang dan tongkol terhadap penangkapan. Indeks kerentanan
ikan yang diteliti disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Indeks kerentanan PSA, spesies (Cheung 2007), dan intrinsik
Nama
ikan
Cakalang
Tongkol

Spesies
Katsuwonus
pelamis
Euthynnus
affinis

Indeks kerentanan
Spesies (Cheung
PSA
2007)

Nilai
produktivitas

Nilai
suseptibilitas

2,30

2,17

1,36

55

2,50

2,25

1,35

60

Tabel 10 memperlihatkan bahwa indeks kerentanan ikan cakalang lebih
tinggi dibandingkan ikan tongkol yaitu sebesar 1,36 sedangkan ikan tongkol 1,35
yang artinya ikan cakalang memiliki resiko rentan lebih besar daripada ikan
tongkol.
Indeks kerentanan dapat menunjukkan potensi keberlanjutan
sumberdaya ikan. Indeks kerentanan ikan cakalang dan tongkol berdasarkan PSA
sebesar 1,36 dan 1,35 menunjukkan bahwa kedua ikan memiliki resiko kerentanan
rendah atau potensi overfishing rendah (v < 1,8). Nilai produktivitas ikan
cakalang lebih rendah dari ikan tongkol begitu juga nilai suseptibilitasnya, tetapi
kedua ikan tersebut memiliki nilai produktivitas yang lebih tinggi dari nilai
suseptibilitasnya artinya ikan tersebut memiliki potensi keberlanjutan yang baik di
Samudera Hindia.
Menurut data statistik PPS Cilacap, produksi total hasil tangkapan ikan
cakalang dan tongkol dengan alat tangkap gill net dari tahun 2010-2014 diperoleh
sebesar 6700,33 ton/tahun. Rata-rata poduksi hasil tangkapan dengan alat tangkap
gill net untuk ikan cakalang sebesar 1336,06 ton/tahun dan ikan tongkol rata-rata
produksinya sebesar 4,004 ton/tahun. Berdasarkan indeks kerentanan spesies
(Cheung 2007) dan data produksi, diperoleh nilai indeks kerentanan intrinsik dari
alat tangkap gill net untuk kedua ikan sebesar 11,00 yang menunjukkan tingkat
kerentanan tinggi. Hasil analisis kerentanan menggunakan software PSA
menunjukkan ikan cakalang dan tongkol memiliki tingkat kerentanan rendah,
sedangkan dari analisis kerentanan intrinsik menunjukkan bahwa tingkat
kerentanan tinggi dilihat dari hasil produksinya.

Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi panjang total ikan
cakalang menyebar mulai selang kelas panjang 220-791 mm dan untuk ikan
tongkol mulai menyebar pada selang kelas 250-704 mm. Jika dibandingkan
dengan penelitian menurut Fadhilah (2010), panjang ikan cakalang total yang
tertangkap di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya berkisar antara 246-535 mm
dan hasil penelitian Fayetri et al. (2013) menyebutkan bahwa panjang ikan
tongkol total yang tertangkap di perairan Natuna berkisar antara 305-495 mm.
Spesies ikan yang sama dan hidup di lokasi perairan yang berbeda akan

19
mengalami pertumbuhan yang berbeda karena adanya faktor dalam dan faktor luar
yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut. Faktor dalam umumnya adalah
faktor yang sukar dikontrol seperti keturunan, sex, umur, penyakit, dan parasit.
Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan yaitu makanan dan suhu
perairan (Effendie 2002).
Ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu aspek biologi
yang perlu diketahui dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, karena dapat
dijadikan sebagai salah satu dasar pengelolaan perikanan (Waileruny 2014).
Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Sperman Karber (Udupa 1986),
dugaan ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan cakalang jantan yaitu sebesar
439,40 mm dan untuk ikan tongkol jantan sebesar 522,75 mm, sedangkan untuk
ikan cakalang dan tongkol betina tidak ditemukannya TKG III dan TKG IV
sehingga tidak didapatkan hasil ukuran pertama kali matang gonad (Lampiran 3).
Ukuran panjang rata-rata ikan cakalang dan tongkol berturut-turut sebesar 389,68
mm dan 406,52 mm, nilai tersebut menunjukkan bahwa dominan ikan yang
tertangkap di PPS Cilacap belum matang gonad. Hal ini karena rata-rata ikan
yang tertangkap ukurannya masih dibawah ukuran pertama kali matang gonad.
Ketersediaan stok ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
pertumbuhan dan kematian ikan.
Pertumbuhan dapat diartikan sebagai
pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam satu ukuran waktu, bagi populasi
adalah pertambahan jumlah. Laju pertumbuhan intrinsik ikan cakalang dan
tongkol sebesar 2,30 dan 2,04 per tahun, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
ikan cakalang dan tongkol di Samudera Hindia untuk pulih kembali termasuk
kategori besar. Ikan cakalang memiliki koefisien pertumbuhan lebih rendah
dibandingkan ikan tongkol (Tabel 6). Sparre dan Venema (1999) menyatakan
bahwa semakin rendah nilai koefisien pertumbuhan maka semakin lama waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai panjang asimtotik, sehingga umur hidupnya
lebih lama. Perbedaan nilai koefisien pertumbuhan dapat disebabkan oleh adanya
perbedaan tempat, waktu, nutrisi, dan iklim (Ozvarol et al. 2010). Nilai koefisien
pertumbuhan dapat menentukan produktivitas dari ikan yang diteliti.
Hasil analisis parameter pertumbuhan pada penelitian ini menunjukkan
bahwa ikan cakalang di perairan Samudera Hindia memiliki siklus hidup yang
lebih lama dibandingkan dengan penelitian Koya et al. (2012) di perairan yang
sama, sedangkan ikan tongkol di perairan Samudera Hindia memiliki siklus hidup
yang lebih pendek dibandingkan dengan penelitian ikan tongkol menurut
Nurhayati (2001) di perairan Pelabuhan Ratu. Perbedaan nilai parameter
pertumbuhan tersebut (L∞ dan K) dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang
berbeda dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan masing-masing perairan seperti
ketersediaan makanan, suhu perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan, dan
kematangan gonad (Merta 1992 in Jamal et al. 2011). Oleh karena itu perbedaan
nilai parameter pertumbuhan yang didapatkan antara lokasi-lokasi tersebut diduga
dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda. Selanjutnya Widodo
dan Suadi (2008), menyatakan bahwa kecenderungan ketidaktepatan nilai
parameter pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh komposisi ikan contoh yang
dianalisis mengenai cara atau metode yang digunakan.
Ikan yang memiliki umur maksimum lebih pendek maka kematian alami
ikan tersebut akan tinggi karena ikan tersebut cepat mencapai panjang asimtotik.
Hal ini sesuai dengan hasil analisis yaitu bahwa ikan tongkol memiliki umur yang

20
lebih pendek dan menunjukkan bahwa kematian alami ikan tongkol lebih tinggi
dibandingkan ikan cakalang. Effendie (1997) menyatakan bahwa ikan-ikan yang
berumur muda akan memiliki pertumbuhan yang relatif cepat sedangkan ikan-ikan
dewasa akan semakin lambat untuk mencapai panjang asimtotiknya. Hal ini
disebabkan karena energi yang didapatkan dari makanan tidak lagi dipergunakan
untuk pertumbuhan melainkan dipergunakan untuk mengganti sel-sel tubuh yang
rusak. Tingkat kematangan gonad ikan dicapai pada ukuran dan umur tertentu.
Ikan cakalang memiliki ukuran maksimum yang lebih besar dari ikan tongkol
yaitu 79 cm. Menurut Lagler et al. (1977) in Usman et al. (1996), ikan yang
mempunyai ukuran maksimum lebih besar dan jangka waktu hidup panjang
umumnya akan mencapai kedewasaannya pada usia tua atau ukuran yang lebih
besar.
Mortalitas dapat terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan oleh manusia
atau mortalitas alami. Laju mortalitas alami (M) ikan tongkol dari Samudera
Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap lebih besar dibandingkan ikan cakalang
yaitu 0,42. Menurut Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999), yang
mempengaruhi nilai mortalitas alami adalah faktor panjang maksimum (L∞) dan
laju pertumbuhan (k) serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa laju mortalitas penangkapan (F) lebih dominan
daripada mortalitas alami untuk kedua ikan, hal ini menunjukkan bahwa ikan
cakalang dan tongkol lebih banyak mati akibat adanya kegiatan penangkapan
(overfishing). Laju eksploitasi (E) disuatu perairan dipengaruhi oleh nilai dugaan
mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 4)
dapat dilihat bahwa laju eksploitasi ikan cakalang dan tongkol mencapai 0,93 dan
0,85. Menurut Gulland (1971) in Susilawati et al. (2013) batas tingkat
penangkapan optimum (Eopt = 0,5), sehingga dapat dikatakan bahwa nilai laju
eksploitasi kedua ikan tersebut sudah melebihi 0,5 artinya ikan cakalang dan
tongkol di Samudera Hindia telah mengalami eksploitasi berlebih. Hal ini serupa
dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mayangsoka (2010)
yang memiliki nilai la