Karakter Morfologi dan Fisiologi Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu Tinggi di Dataran Tinggi dan Sedang

KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI GENOTIPE
GANDUM (Triticum aestivum L.) INTRODUKSI TOLERAN
SUHU TINGGI DI DATARAN TINGGI DAN SEDANG

SANDY PRATOMO

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakter Morfologi dan
Fisiologi Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu
Tinggi di Dataran Tinggi dan Sedang adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014

Sandy Pratomo
NIM G34090087

ABSTRAK
SANDY PRATOMO. Karakter Morfologi dan Fisiologi Genotipe Gandum
(Triticum aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu Tinggi di Dataran Tinggi dan
Sedang. Dibimbing oleh MIFTAHUDIN dan TATIK CHIKMAWATI.
Gandum (Triticum aestivum L.) adalah tanaman dari famili Gramineae yang
berasal dari daerah subtropik, memiliki protein tinggi dan banyak digunakan
sebagai bahan dasar makanan di Indonesia, tetapi sebagian besar masih diimpor.
Upaya menghemat devisa negara dari impor gandum adalah dengan cara
mengembangkan gandum di Indonesia. Penanaman gandum di Indonesia
menghadapi masalah cekaman suhu tinggi. Pemberian poliamin putresin
diharapkan dapat menginduksi toleransi cekaman suhu tinggi. Penelitian ini
bertujuan mempelajari sifat morfologi dan fisiologi dua genotipe gandum
introduksi toleran suhu tinggi (Sbr dan Astreb) yang telah mendapat perlakuan

putresin dan membandingkannya dengan genotipe lokal (Nias). Gandum ditanam
di dua lokasi yaitu Cipanas (1100 m dpl) dan Cisarua (600 m dpl) kemudian
diamati karakter morfologi (tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah stomata,
sudut, tebal dan luas daun bendera) dan fisiologinya (kandungan klorofil dan laju
transpirasi) terhadap pengaruh putresin 1.25 dan 2.5 mM. Pemberian putresin
pada tanaman berpengaruh nyata pada kandungan klorofil a, b dan total pada
periode aplikasi putresin ke-2 dengan konsentrasi 2.5 mM di Cipanas. Perbedaan
genotipe hanya berpengaruh pada kerapatan stomata adaksial daun di Cipanas dan
kerapatan stomata adaksial daun periode aplikasi putresin ke-1 di Cisarua.
Genotipe Sbr memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan
genotipe Astreb pada daerah yang tercekam suhu tinggi.
Kata kunci: fisiologi, morfologi, putresin, Triticum aestivum

ABSTRACT
SANDY PRATOMO.Morphological and Physiological Characters of High
Temperature Tolerant Wheat (Triticum aestivum L.) Genotypes in Mid and High
Altitudes. Supervised by MIFTAHUDIN and TATIK CHIKMAWATI.
Wheat (Triticum aestivum) is a member of Gramineae family originated
from subtropical regions, that is consumed as a second food in Indonesia, but most
of it are imported. Efforts to save foreign exchange from import of wheat is to

develop wheat in Indonesia. Planting wheat in Indonesia is facing high
temperature stress. Application of putrescine is expected to induce high
temperature stress tolerance. This research aimed to study the morphological and
physiological respons of two introducted wheat genotypes (Sbr and Astreb) that
are tolerant to high temperatures under putrescine application. Wheat was planted
in two locations: Cipanas (1100 m asl) and Cisarua (600 m asl) and then was
observed the morphological (plant height, number of tillers, number of stomata;
angles, thickness and flag leaf area) and physiological characters (chlorophyll
content and transpiration rate) to evaluate the effect of 0, 1.25 and 2.5 mM
putrescine application. Putrescine treatment in plants significantly affected on the
content of chlorophyll a, b and total chlorophyll after 2nd period of putrescine
application consentration 2.5 mM in Cipanas. Genotypic differences only affected
on adaxial stomatal density after putrescine application in Cipanas, and adaxial
stomatal density after 1st period of putrescine application in Cisarua. Genotype
Sbr showed better growth in both locations compared with genotype Astreb at
high temperature area.
Key word: morphology, physiology, putrescine, Triticum aestivum

KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI GENOTIPE
GANDUM (Triticum aestivum L.) INTRODUKSI TOLERAN

SUHU TINGGI DI DATARAN TINGGI DAN SEDANG

SANDY PRATOMO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Indonesia
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Karakter Morfologi dan Fisiologi Genotipe Gandum (Triticum
aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu Tinggi di Dataran Tinggi
dan Sedang
Nama

: Sandy Pratomo
NIM
: G34090087

Disetujui oleh

Dr Ir Miftahudin, MSi
Pembimbing I

Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Tuhan Semesta Alam atas
segala karunia-Nya serta Shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2013 ini ialah gandum,
dengan judul :Karakter Morfologi dan Fisiologi Genotipe Gandum (Triticum
aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu Tinggi di Dataran Tinggi dan Sedang.
Penulis mengucapkan rangkaian terima kasih kepada Bapak Dr Ir
Miftahudin, MSi dan Ibu Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi selaku pembimbing yang
selalu memberikan arahan, bimbingan serta kepedulian yang tulus kepada penulis
juga kepada Ibu Dr Ir Sri Sulistiyowati, MSi yang telah mencurahkan waktunya
untuk perbaikan tulisan ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Dr Ir Adeel Abdulkarim Fadhl Althuhais, MSi dalam memberikan
segala dukungan serta arahan dan Ibu Ir Karlina Syahruddin, MSi yang telah
membantu selama pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data di lapangan.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada tim peneliti gandum S1 (Shely
Rahmalani, Wulan RA dan Yusi Nurmala), serta Firda dan Syasti yang telah
banyak membantu. Penghargaan juga ditujukan untuk Bapak, Ibu dan Adikku
Bogie; Yuliani, Maimuna, Bapak Misbah dan Bapak Jajang; serta seluruh
keluarga, teman-teman Departemen Biologi, Biologi angkatan 46, teman-teman
Asrama Sylvasari, Sylvasari 46 (Nasir, Irpan, Babang, Muharrom, Hendri, Alfian,

Khusnul, Ilham, Ifan, Agung, Andi, Warto, Gunawan dan Kodrat) dan Sylvapinus
yang selalu mengingatkan untuk cepat menyelesaikan tugas akhir serta atas segala
doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Sandy Pratomo

“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya
menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada
(tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi
kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala
macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada
tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS An Nahl: 10-11).

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Suhu
Kelembapan
Cekaman Suhu Tinggi
Putresin sebagai Pemicu Toleransi Cekaman Suhu Tinggi
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan Tanaman
Desain percobaan
Pelaksanaan Percobaan
Pengamatan Parameter Lingkungan
Penanaman dan Pemeliharaan
Penentuan Tanaman Sampel
Pengamatan Pertumbuhan Tanaman.
Daun Bendera
Laju Transpirasi Relatif
Kandungan Klorofil a, b dan total.
Pengukuran Kerapatan Stomata
Prosedur Analisis Data
HASIL

Keadaan Umum
Tinggi tanaman
Daun Bendera
Laju Transpirasi Relatif
Kerapatan Stomata
Kandungan Klorofil
PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
RIWAYAT HIDUP

xi
1
1
1
2
2

2
3
3
4
4
4
4
5
5
5
5
6
6
6
7
7
7
8
8
8

10
11
12
15
16
19
19
19
20
23
30

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Data rataan suhu, kelembapan relatif, intensitas cahaya dan kecepatan
angin bulanan di Cipanas dan Cisarua
Tinggi dan jumlah anakan gandum di Cipanas dan Cisarua pada dua
aplikasi konsentrasi putresin berbeda pada minggu ke-8
Tinggi dan jumlah anakan pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan
Nias
Sudut, tebal dan luas daun bendera pada gandum genotipe Sbr, Astreb
dan Nias di Cipanas dan Cisarua
Sudut, tebal dan luas daun bendera pada gandum di Cipanas dan
Cisarua dengan dua macam konsentrasi putresin
Laju transpirasi relatif pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan Nias di
Cipanas dan Cisarua
Laju transpirasi relatif pada gandum dengan dua konsentrasi berbeda
di Cipanas
Laju transpirasi relatif pada gandum pada dua aplikasi konsentrasi
putresin yang berbeda di Cisarua
Kerapatan stomata gandum pada genotipe Sbr, Astreb dan Nias di
Cipanas dan di Cisarua
Kerapatan stomata pada gandum pada dua aplikasi konsentrasi
putresin berbeda di Cipanas
Kerapatan stomata daun gandum pada dua aplikasi konsentrasi
putresin berbeda di Cisarua
Kandungan klorofil gandum pada genotipe Sbr, Astreb dan Nias di
Cipanas dan Cisarua
Kandungan klorofil gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin
berbeda di Cipanas
Kandungan klorofil gandum pada dua konsentrasi putresin berbeda di
Cisarua 16

8
9
10
10
11
11
12
12
13
13
14
15
15

DAFTAR GAMBAR
1
2

Pengukuran laju transpirasi relatif menggunakan kertas kobalt klorida
Pertumbuhan tinggi tanaman gandum pada minggu ke 3 sampai
minggu ke 8 di Cipanas dan Cisarua: Sbr Cipanas
, Sbr Cisarua
, Astreb Cipanas
, Astreb Cisarua
, Nias Cipanas
dan Nias Cisarua

6

9

1

2

3
4
5
6
7

8

9

10

DAFTAR LAMPIRAN
Data rataan tiga bulan suhu udara, kelembaban udara, kecepatan
angin dan intensitas cahaya di Cipanas bulan Januari, Februari dan
Maret tahun 2013
Data rataan tiga bulan suhu udara, kelembaban udara, kecepatan
angin dan intensitas cahaya di Cisarua bulan Januari, Februari dan
Maret tahun 2013
Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah
aplikasi putresin ke-1 di Cipanas
Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah
aplikasi putresin ke-2 di Cipanas
Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah
aplikasi putresin ke-1 di Cisarua
Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah
aplikasi putresin ke-2 di Cisarua
Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Nias bagian adaksial dan
abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 setelah aplikasi putresin ke-1 di
Cipanas pada. Perbesaran 400
Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Nias bagian adaksial dan
abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM setelah aplikasi putresin ke2 di Cipanas. Perbesaran 400
Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Niasbagian adaksial dan
abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM setelah aplikasi putresin ke1 di Cisarua pada. Perbesaran 400
Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Niasbagian adaksial dan
abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM setelah aplikasi putresin ke2 di Cisarua pada.Perbesaran 400

23

24
25
25
25
25

26

27

28

29

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan anggota famili Gramineae yang
berasal dari daerah subtropik (Mac Key 1988). Gandum dimanfaatkan sebagai
bahan baku tepung terigu yang banyak digunakan dalam pembuatan berbagai
produk makanan karena kaya akan sumber kalori dan protein. Gandum sebagai
bahan utama tepung terigu mempunyai keunggulan khas yaitu memiliki gluten
yang dapat mengembangkan adonan olahan berbasis terigu (Budiarti 2005).
Kebutuhan tepung terigu di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya
sejalan dengan perkembangan ekonomi dan jumlah penduduk (Azwar et al. 1988).
Pada tahun 1984 konsumsi tepung terigu di Indonesia mencapai 6.18
kg/kapita/tahun, meningkat terus setiap tahun sampai pada tahun 1999 menjadi
14.29 kg/kapita/tahun (Musa 2002). Pemerintah Indonesia pada tahun 2011-2012
telah mengimpor sebanyak 11.6 juta ton gandum, periode Januari-April 2013
sebanyak 2.5 juta ton gandum dan diperkirakan pada tahun 2019, Indonesia akan
mengimpor 15 juta ton gandum setiap tahunnya (APTINDO 2014). Salah satu
cara untuk menekan impor gandum dan menghemat devisa negara adalah dengan
mengembangkan gandum di dalam negeri sesuai dengan kondisi agroklimat
Indonesia (Setyowati et al. 2009).
Gandum berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia dengan
memperhatikan pengaruh lingkungan biotik dan abiotik terutama curah hujan dan
suhu (Azwar et al. 1988). Hal yang perlu diperhatikan dalam pembudidayaan
gandum di Indonesia adalah pengaruh suhu tinggi yang dapat menyebabkan
cekaman panas bagi tanaman gandum. Hasil dari berbagai penelitian di Indonesia
menyatakan bahwa tanaman gandum dapat tumbuh dan berkembang cukup baik,
dengan daya adaptasi yang terbatas. Pengetahuan mengenai budidaya gandum di
Indonesia terputus sejak 4 sampai 5 dekade yang lalu, hal tersebut menimbulkan
persepsi bahwa gandum tidak bisa ditanam di Indonesia. Areal tanam gandum pun
hanya pada dataran tinggi dan bersaing dengan areal tanam tanaman pangan
lainnya sehingga belum banyak bisa menekan impor gandum (Danakusuma
1985). Pengamatan karakter morfologi dan fisiologi tanaman gandum introduksi
yang diadaptasi pada daerah tropik dataran tinggi dan sedang perlu dilakukan
untuk mengetahui sifat-sifat unggul dari tanaman tersebut (Miswar et al. 2012),
sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan galur/varietas gandum
yang dapat beradaptasi di lingkungan agroklimat Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari karakter sifat morfologi dan fisiologi
dua genotipe gandum introduksi toleran terhadap cekaman suhu tinggi (Sbr dan
Astreb) yang telah diberi perlakuan putresin dan membandingkannya dengan
genotipe lokal (Nias).

2

TINJAUAN PUSTAKA
Gandum (Triticum aestivum L.) termasuk ke dalam famili Gramineae yang
berasal dari daerah subtropis. Sistematika gandum diuraikan di bawah ini :
Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae
Genus
: Triticum
Spesies
: Triticum aestivum L.
Gandum memiliki kelebihan di antara tanaman serealia karena memiliki
kandungan gluten yang tinggi, karbohidrat 60-80%, protein 6-17%, lemak 1.5-2%,
mineral 1.5-2% dan vitamin. Kandungan glutein gandum mencapai 80% yang
merupakan karakter khas dibanding serealia lainnya. Glutein merupakan protein
yang bersifat kohesif dan liat sebagai dasar penentu elastisitas bahan makanan
berbasis tepung (Bowden et al. 2007).
Suhu
Gandum merupakan tanaman yang biasa ditanam di daerah subtropik
dengan suhu rata-rata lebih rendah dari daerah tropik. Tanaman gandum yang
akan ditanam pada daerah tropik harus ditanam pada kondisi yang sesuai dengan
lingkungan daerah subtropik. Geografi Indonesia yang terdiri atas dataran rendah
dan dataran tinggi membuat lokasi penanaman gandum menjadi terkendala.
Tanaman gandum yang ditanam di Indonesia beradaptasi pada dataran tinggi (>
1000 m dpl), jika ditanam di dataran rendah maka tanaman gandum akan
mengalami berbagai cekaman.
Faktor pembatas pertumbuhan gandum di antaranya adalah suhu. Suhu
terendah sebagai syarat tumbuh tanaman gandum adalah 5 °C, sedangkan suhu
tertinggi adalah 37 °C. Suhu optimum untuk tumbuh dan kembang tanaman
gandum adalah sekitar 25 sampai 30 °C (Takeshi dan Amane 2009). Selama masa
reproduktif, suhu yang ekstrem di luar batas optimum akan mempengaruhi
perkembangan, fotosintesis dan organ reproduksi tumbuhan (Bowden et al. 2007).
Kelembapan
Tanaman gandum membutuhkan asupan air dengan kelembapan yang relatif
rendah dibanding tanaman serealia lainnya. Pada kondisi dataran tinggi Indonesia,
gandum ditanam dengan rata-rata kelembapan di atas 80% pada musim hujan dan
di bawah 80 % ketika musim kemarau. Ketika masa reproduktif berlangsung,
tanaman memerlukan kelembapan yang tinggi, dan jika kelembapan rendah maka
pasokan air dari akar akan berkurang yang berakibat daun menjadi stres dan
menghambat proses fotosintesis. Hal tersebut akan berdampak pada penurunan
hasil panen. Pada daerah penanaman gandum yang kering, kelembapan yang
terlalu rendah akan berakibat pada laju fotosintesis yang rendah, dan ukuran luas
daun yang kecil juga mengurangi daya angkut hara. (Bowden et al. 2007).

3

Cekaman Suhu Tinggi
Cekaman suhu tinggi diartikan sebagai peningkatan suhu melampaui batas
maksimum suhu yang diperlukan untuk tumbuh tanaman dan mengakibatkan
kerusakan pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wahid dan Close.
2007). Ketika suhu udara tinggi maka tanaman akan mengangkut air lebih banyak
dan menguapkannya melalui stomata sebagai mekanisme regulasi suhu. Suhu
yang semakin tinggi akan membuat laju transpirasi semakin cepat dan semakin
banyak air yang diambil oleh tumbuhan. Stomata pun akan menutup agar tanaman
tidak kehilangan banyak air. Keadaan tersebut akan menghambat proses
fotosintesis yang akhirnya akan membuat suhu tanaman naik kembali. Jika hal
tersebut terjadi, maka aliran karbohidrat dan hasil fotosintat lainnya akan
berkurang. Suhu di atas 30°C selama pembungaan akan mengakibatkan polen
steril dan aborsi bunga (Bowden et al. 2007).
Suhu tinggi tidak hanya terjadi pada siang hari tetapi juga pada malam hari,
dan jika hal tersebut terjadi maka tanaman gandum akan kehilangan banyak air.
Pada beberapa spesies tanaman ada yang mengakumulasi berbagai jenis osmolit
seperti gula, gula alkohol, prolin, amonium dalam bentuk tersier dan quartener
(Sairan dan Tyagi 2004). Akumulasi dari osmolit tersebut kemungkinan dapat
memicu ketahanan stres pada tumbuhan. Sintesis dari prolin saat terjadi cekaman
akan menjadi buffer redoks yang berpotensi untuk mengurangi cekaman suhu
tinggi (Wahid dan Close 2007). Proses fotosintesis diketahui sebagai proses yang
paling rentan terhadap cekaman suhu tinggi karena akan mengurangi fotosintat
dalam tanaman, hal tersebut akan menjadi penghambat pada aktivitas fotosistem II
yang labil terhadap perbedaan suhu (Banu dan Serpil 2009). Putresin (poliamin)
diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan dan mengurangi cekaman pada
tanaman (Sarvajeet dan Narendra 2010).
Putresin sebagai Pemicu Toleransi Cekaman Suhu Tinggi
Poliamin adalah senyawa kimia dengan gugus penyusun amina yang
memiliki peranan penting dalam pertumbuhan, perkembangan dan respon
tanaman terhadap cekaman di lingkungannya. Poliamin yang ada sekarang ini
adalah putresin, spermidin, spermin dan cadaverin. Poliamin yang umum terdapat
pada tanaman adalah putresin, spermidin dan spermin (Adriana 1996).
Penggunaan poliamin dalam konsentrasi tinggi secara umum berhubungan
dengan pembelahan sel. Pada penelitian yang dilakukan oleh Meral et al (2005)
menunjukkan bahwa konsentrasi rendah dari aplikasi putresin pada Arabidobsis
thaliana akan menstimulasi pertumbuhan akar, namun konsentrasi yang tinggi
akan menghambat pertumbuhan akar. Jika suatu sel kekurangan poliamin endogen
maka pertumbuhannya akan terstimulasi melalui pemberian poliamin eksogen
(Porter dan Bergeron 1983). Penggunaan poliamin juga mempengaruhi sintesis
protein dan DNA (Cortines dan Mizrahi 1991). Saat tumbuhan kekurangan
hormon pertumbuhan, pemberian poliamin secara eksogen dapat menstimulasi
pertumbuhan dengan konsentrasi tertentu. Penggunaan berbagai jenis poliamin
termasuk putresin perlu pertimbangan lebih lanjut karena akan saling
berhubungan antara konsentrasi poliamin endogen dan eksogen terkait perubahan
pada kromosom dan formasi benang spindel.
Pada penelitian El-Bassiouny et al (2008) menyebutkan bahwa aplikasi
putresin pada gandum melalui daun meningkatkan jumlah anakan pertanaman,

4

jumlah daun dan luas daun, jumlah bobot basah, bobot kering akar dan tajuk.
Penggunaan putresin juga akan meningkatkan persentase karbohidrat dan protein.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi percobaan yaitu Balai Percobaan
Tanaman Hias (BALITHI) Cipanas (1100 m dpl) dan kebun percobaan Cisarua
(600 m dpl) pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2013. Cipanas
merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kawasan
tersebut berada di kawasan daerah wisata, jenis tanah Andosol dan terletak pada
ketinggian 1100 m dpl dengan tipe iklim tinggi basah.
Cisarua merupakan Kecamatan di Kabupaten Bogor yang berada pada posisi
06°42’LS dan 106°56’ BB. Kecamatan Cisarua memiliki curah hujan rata-rata
3178 mm/thn dan suhu udara antara 17.58°C sampai 23.91°C. Bentuk wilayah
Kecamatan Cisarua terdiri atas perbukitan sampai bergunung (25%), berombak
sampai berbukit (40%), dan datar sampai berombak (35%).
Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah dua genotipe
gandum introduksi yang bersifat toleran terhadap suhu tinggi tropik dan satu
genotipe lokal. Benih gandum yang diintroduksi adalah SBR*D/I/09/38 dan
ASTREB*2/CBRD berasal dari CYMMIT Meksiko dan benih lokal yang
digunakan adalah Nias berasal dari Departemen Agronomi dan Hortikultura
Faperta IPB.
Desain percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah rancangan
acak kelompok petak terpisah (Split Block Design) dengan dua faktor. Faktor
utamanya adalah putresin yang terdiri atas tiga taraf yaitu 0, 1.25 dan 2.5 mM,
kemudian sub-faktornya adalah genotipe yang terdiri atas tiga genotipe tanaman
yaitu SBR*D/I/09/38, ASTREB*2/CBRD dan Nias.
Percobaan terdiri atas sembilan perlakuan dengan tiga ulangan sehingga
terdapat 27 satuan percobaan di setiap lokasi. Model linier rancangannya adalah
sebagai berikut :

5

X ijk    i   j   ij   k    jk   ijk
keterangan: 

= rerata

i

= pengaruh ulangan

j

= pengaruh petak utama

 ij

= galat petak utama

k
  jk

= interaksi efek level A dan B

 ijk

= galat sisa

= pengaruh sub-petak

Pelaksanaan Percobaan
Pelaksanaan percobaan ini dibagi ke dalam empat macam kegiatan yaitu
pengamatan parameter lingkungan, penanaman dan pemeliharaan; penentuan
tanaman sampel dan pengamatan pertumbuhan tanaman. Pengumpulan data
dilakukan di lapangan dan di laboratorium.
Pengamatan Parameter Lingkungan
Pengukuran iklim di Cipanas dan Cisarua dilakukan menggunakan alat
Luther Four in one untuk mengukur parameter suhu udara, kelembapan
relatif,
intensitas cahaya, dan kecepatan angin selama tiga bulan (Lampiran 6 dan 7).
Penanaman dan Pemeliharaan
Tanaman gandum ditanam dengan sistem budidaya lahan kering.
Penanaman benih dilakukan secara langsung dengan menebar benih sebanyak 6 g
dalam barisan pada petak percobaan berukuran petak 1.25 m  4 m. Pada satu
petak terdapat lima baris dan jarak antara baris adalah 25 cm. Pemeliharan
tanaman terdiri atas pemupukan, pengairan dan pengendalian gulma. Pemupukan
dilakukan sebanyak dua kali dengan memberikan pupuk Urea (112.5 g plot-1),
SP36 (100 g plot-1) dan KCl (50 g plot-1) pada saat 10 hari setelah tanam (HST)
dan Urea (112.5 g plot-1) pada saat 30 HST. Pengendalian gulma dilakukan pada
petak percobaan dengan cara mencabut gulma secara manual sebelum pemberian
pupuk. Pengendalian gulma dilakukan sebelum pemberian pupuk kedua dilakukan.
Pemberian putresin dilakukan secara foliar dengan cara menyemprotkan
pada bagian adaksial daun. Pemberian putresin dilakukan saat 1 minggu sebelum
berbunga dan 1 minggu setelah berbunga.
Penentuan Tanaman Sampel
Sampel tanaman ditentukan secara acak dengan jumlah 5 sampel tanaman
per petak percobaan. Sampel diambil pada baris tanam ke-2, 3 dan 4 dari baris
tanam pada petak percobaan. Pengamatan sampel tanaman dibagi ke dalam tiga
periode yaitu pengamatan pada periode sebelum aplikasi putresin ke-1 (1 minggu
sebelum aplikasi putresin ke-1), setelah aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum
pembungaan) dan setelah aplikasi putresin ke-2 (1 minggu setelah pembungaan).
Pada parameter pengukuran laju transpirasi, luas daun dan kandungan klorofil

6

dilakukan sebanyak 3 kali pada saat sebelum aplikasi putresin, setelah putresin ke1 dan ke-2. Pada pengukuran parameter tebal, sudut dan luas daun bendera
dilakukan satu minggu setelah aplikasi putresin ke-2.
Pengamatan Pertumbuhan Tanaman.
Pengukuran pertumbuhan tanaman dilakukan mulai 21 HST. Parameter
yang diukur antara lain tinggi tanaman dan jumlah anakan. Pengukuran tinggi
tanaman diukur dari pangkal batang sampai ujung daun bendera. Tinggi tanaman
diamati pada 21 HST dan diamati sampai dengan minggu ke-9. Jumlah anakan
dihitung secara serentak pada saat pengamatan tinggi tanaman dilakukan.
Daun Bendera
Parameter daun bendera yang diukur meliputi tebal, sudut dan luas daun
bendera. Sudut daun bendera dan tebal daun bendera diukur satu minggu setelah
aplikasi putresin periode ke-2. Sudut daun bendera diukur menggunakan busur
derajat tegak lurus dengan batang tanaman dan pengukuran tebal daun diukur
menggunakan jangka sorong. Luas daun bendera dihitung menggunakan metode
pengukuran linier dengan mengalikan antara panjang dan lebar daun bendera
dengan faktor pengali 0.75 (Chanda dan Singh 2002).
Laju Transpirasi Relatif
Laju transpirasi relatif mengukur sejumlah uap air yang hilang dalam berat
per satuan luas dan per satuan waktu (mg·cm-2·detik-1). Laju transpirasi relatif
diukur dengan metode kertas kobalt-klorida. Sebanyak dua buah kertas kobaltklorida dengan panjang 1 cm dan lebar 0.5 cm yang berwarna biru diletakkan
pada dua sisi daun gandum, kemudian dijepit dengan plastik mika agar tidak
tembus air (Gambar 1). Waktu yang digunakan untuk merubah warna biru
menjadi merah muda dicatat dalam detik. Luasan daun bendera gandum yang
tertutup kertas kobalt-klorida digunakan untuk menduga laju transpirasi.
Perbedaan bobot kertas kobalt-klorida sebelum dan sesudah terjadi perubahan
warna ditentukan dengan ditimbang sebagai jumlah uap air tanaman yang hilang
melalui transpirasi. Pengukuran laju transpirasi relatif dilakukan 15 HST sebelum
aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum aplikasi putresin ke-1), setelah aplikasi
putresin ke-1 (1 minggu sebelum pembungaan) dan setelah aplikasi putresin ke-2
(1 minggu setelah pembungaan).

Gambar 1 Pengukuran laju transpirasi relatif menggunakan kertas kobalt klorida

7

Kandungan Klorofil a, b dan total.
Kandungan klorofil ditentukan dengan mengekstrak daun gandum
menggunakan metode Arnon yang dimodifikasi (Winterman & De Mots 1965).
Daun gandum seberat 0.25 g dihaluskan dengan mortar dan ditambahkan pelarut
aseton (80%) sebanyak 12.5 ml, kemudian disaring dalam labu takar dan volume
ditepatkan kembali hingga 12.5 ml. Hasil ekstraksi kemudian diambil sebanyak 5
ml, dan ditambahkan 6 ml aseton (80%) kemudian diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 645 nm, 652 nm dan 663 nm menggunakan spektrofotometer.
Penentuan kandungan klorofil dilakukan pada periode sebelum aplikasi putresin
ke-1 (1 minggu sebelum aplikasi putresin ke-1), setelah aplikasi putresin ke-1 (1
minggu sebelum pembungaan) dan setelah aplikasi putresin ke-2 (1 minggu
setelah pembungaan). Penentuan kandungan klorofil a, b dan total dihitung
mengunakan rumus:
Klorofil a
(mg·g-1) = (0.0127D663)–(0.00269D645)
Klorofil b
(mg·g-1) = (0.0299D645) –(0.00468D663)
Klorofil total (mg·g-1) = (0.0202D645)–(0.00468D663)
Pengukuran Kerapatan Stomata
Pengukuran kerapatan stomata dilakukan pada saat satu minggu setelah
aplikasi putresin ke-2, dengan mengoleskan kuteks bening pada bagian epidermis
adaksial dan abaksial daun, kemudian dibiarkan beberapa menit hingga
mengering. Selanjutnya kuteks ditarik secara perlahan menggunakan plester
bening kemudian ditempatkan pada plastik preparat mika. Preparat diamati
dengan mikroskop pada perbesaran 10  40 dan dihitung jumlah stomata·mm-2.
Jumlah stomata dihitung dengan mengambil gambar terlebih dahulu
menggunakan kamera digital, kemudian dihitung jumlah stomata (Royer 2001).
Kerapatan stomata dihitung sebanyak tiga kali pada periode sebelum aplikasi
putresin ke-1 yaitu pada periode sebelum aplikasi putresin ke-1 (1 minggu
sebelum aplikasi putresin ke-1), setelah aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum
pembungaan) dan setelah aplikasi putresin ke-2 (1 minggu setelah pembungaan).
Kerapatan stomata dihitung dengan rumus :
Kerapatan stomata =
Prosedur Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA)
dengan uji F pada tingkat kepercayaan 95%. Jika hasil uji F berbeda nyata, maka
data diuji lebih lanjut dengan uji selang berganda Duncan (DMRT) pada tingkat
kepercayaan 95% menggunakan program IBM SPSS Statistic v.20. Analisis data
akan melihat nilai P dari aplikasi putresin konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM dari
tiga periode dan nilai P dari perbedaan pertumbuhan antara genotipe.

8

HASIL
Keadaan Umum
Secara umum suhu udara di Cipanas lebih rendah dibandingkan di Cisarua.
Kelembapan relatif di Cipanas (78.4%) lebih rendah dari Cisarua (83.0%).
Intensitas cahaya di Cipanas (19.8%) lebih rendah dibandingkan dengan intensitas
cahaya di Cisarua (27.3%). Kecepatan angin di Cipanas (2.56 m·s-1) lebih tinggi
dari kecepatan angin di Cisarua (0.81 m·s-1) (Tabel 1, Lampiran 1 dan 2).
Tabel 1 Data rataan suhu, kelembapan relatif, intensitas cahaya dan kecepatan
angin bulanan di Cipanas dan Cisarua
Intensitas
Suhu
Kelembapan relatif
Kecepatan
Bulan
cahaya (%
(oC)
(%)
angin (m·detik-1)
hari)
Cipanas
Januari
20.8
80.5
11.0
2.2
Februari
20.1
77.6
20.8
3.7
Maret
21.5
77.0
27.5
1.7
Rataan
20.8
78.4
19.8
2.6
Cisarua
Januari
26.5
83.3
13.0
1.0
Februari
28.9
80.3
23.2
1.0
Maret
27.1
85.3
45.8
0.4
Rataan
27.5
83.0
27.3
0.8
Sumber : Adeel Abdulkarim Fadhl Altuhaish (2013)

Tinggi tanaman
Perubahan tinggi tanaman meningkat terus sampai minggu ke-8, namun
aplikasi putresin di Cipanas dan Cisarua tidak berpengaruh nyata pada tinggi
tanaman dan jumlah anakan. Pada waktu memasuki minggu ke-4, ketiga genotipe
di Cipanas mengalami pertumbuhan yang pesat dibandingkan pertumbuhan ketiga
genotipe tersebut di Cisarua (Gambar 2 dan Tabel 2). Aplikasi putresin
konsentrasi 2.5 mM cenderung menyebabkan tanaman lebih tinggi dibandingkan
konsentrasi yang lebih rendah pada kedua lokasi (Tabel 2).

9

Tinggi Tanaman (cm)

120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
3

4

5
6
Minggu Setelah Tanam

7

8

Gambar 2 Pertumbuhan tinggi tanaman gandum pada minggu ke 3 sampai
minggu ke 8 di Cipanas dan Cisarua: Sbr Cipanas
, Sbr Cisarua
, Astreb Cipanas
, Astreb Cisarua
, Nias Cipanas
dan Nias Cisarua
Tabel 2 Tinggi dan jumlah anakan gandum di Cipanas dan Cisarua pada dua
aplikasi konsentrasi putresin berbeda pada minggu ke-8
Putresin (mM)
0
1.25
2.5
0
1.25
2.5

Tinggi dan Anakan
Tinggi (cm)
Jumlah anakan
Cipanas
94
7
90
7
94
7
Cisarua
84
6
85
7
86
6

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada
taraf uji 5%.

Perbedaan genotipe di Cipanas dan Cisarua berpengaruh nyata pada tinggi
tanaman, dengan genotipe Sbr dan Nias lebih tinggi dibandingkan dengan
genotipe Astreb, tetapi tinggi tanaman Sbr dengan Nias tidak berbeda nyata.
Perbedaan antara genotipe tidak berpengaruh nyata pada jumlah anakan. Secara
umum perbedaan genotipe menyebabkan tinggi tanaman dan jumlah anakan
tanaman di Cipanas lebih besar dibandingkan dengan di Cisarua, dan genotipe
Nias memiliki habitus lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe Sbr dan Astreb
(Tabel 3).

10

Tabel 3 Tinggi dan jumlah anakan pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan Nias
Tinggi dan Anakan
Tinggi (cm)
Jumlah anakan
Cipanas
93b
6
90a
7
95b
8
Cisarua
85ab
6
a
83
7
87b
6

Genotipe
Sbr
Astreb
Nias
Sbr
Astreb
Nias

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT pada taraf uji 5%, sedangkan angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh
huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Daun Bendera
Perbedaan genotipe di Cipanas berpengaruh nyata pada tebal daun bendera
dengan genotipe Nias memiliki ketebalan daun lebih tipis. Secara umum
perbedaan genotipe di Cisarua tidak berpengaruh nyata terhadap sudut, luas dan
tebal daun bendera, tetapi sudut daun bendera di Cisarua lebih lebar dan jatuh
dibandingkan dengan sudut daun bendera di Cipanas pada waktu pengukuran
yang sama. Secara umum luas dan tebal daun bendera di Cipanas lebih besar
dibandingkan di Cisarua (Tabel 4).
Tabel 4 Sudut, tebal dan luas daun bendera pada gandum genotipe Sbr, Astreb
dan Nias di Cipanas dan Cisarua
Genotipe

Daun Bendera
Sudut

Luas (cm2)

Tebal (mm)

23.4
23.3
23.5

0.014b
0.013ab
0.011a

18.2
17.5
19.2

0.012
0.011
0.014

Cipanas
Sbr
Astreb
Nias

92.9
66.0
85.8
Cisarua

Sbr
Astreb
Nias

107.3
88.1
101.1

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT pada taraf uji 5%, sedangkan angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh
huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Aplikasi putresin dengan konsentrasi 1.25 dan 2.5 mM tidak berpengaruh
nyata terhadap sudut, luas dan tebal daun bendera di Cipanas dan Cisarua. Sudut
daun bendera gandum di Cisarua lebih besar dibandingkan dengan sudut daun
bendera di Cipanas pada waktu pengukuran yang sama, sedangkan luas dan tebal
daun bendera di Cipanas secara umum cenderung lebih besar dibandingkan di
Cisarua (Tabel 5).

11

Tabel 5 Sudut, tebal dan luas daun bendera pada gandum di Cipanas dan Cisarua
dengan dua macam konsentrasi putresin
Putresin (mM)

Daun Bendera
Sudut

Luas (cm2)

Tebal (mm)

24.2
23.0
22.9

0.012
0.013
0.013

19.0
19.0
16.9

0.014
0.011
0.012

Cipanas
0
1.25
2.5

68.4
69.8
66.4
Cisarua

0
1.25
2.5

103.2
86.9
106.4

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada
taraf uji 5%.

Laju Transpirasi Relatif
Perbedaan genotipe di Cipanas dan di Cisarua tidak berpengaruh nyata
terhadap laju transpirasi relatif bagian adaksial maupun abaksial daun. Namun
secara umum laju transpirasi di Cipanas lebih cepat dibandingkan dengan laju
transpirasi di Cisarua (Tabel 6, Lampiran 3 dan 4).
Tabel 6 Laju transpirasi relatif pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan Nias di
Cipanas dan Cisarua
Genotipe
Sbr
Astreb
Nias
Sbr
Astreb
Nias

Transpirasi (mg·cm-2·detik-1)
Adaksial
Abaksial
Cipanas
0.075
0.070
0.120
0.077
0.094
0.097
Cisarua
0.076
0.052
0.077
0.049
0.083
0.051

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada
taraf uji 5%.

Secara umum aplikasi putresin ke-1 dan ke-2 di Cipanas tidak berpengaruh
nyata terhadap laju transpirasi relatif bagian adaksial maupun abaksial.
Peningkatan terjadi pada laju transpirasi bagian adaksial daun pada periode
setelah aplikasi putresin ke-1 (Tabel 7 dan Lampiran 3). Laju transpirasi relatif di
Cisarua tidak berbeda nyata pada dua periode aplikasi putresin di bagian adaksial
maupun abaksial daun (Tabel 8, Lampiran 5 dan 6).

12

Tabel 7 Laju transpirasi relatif pada gandum dengan dua konsentrasi berbeda di
Cipanas
Periode

Putresin (mM)

Transpirasi (mg·cm-2·detik-1)
Adaksial
Abaksial
0.077
0.060
0.105
0.112
0.082
0.069

Sebelum
aplikasi putresin

-

Setelah aplikasi
putresin ke-1

0
1.25
2.5

0.069
0.083
0.088

0.051
0.049
0.053

Setelah aplikasi
putresin ke-2

0
1.25
2.5

0.108
0.060
0.120

0.064
0.064
0.099

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada
taraf uji 5%.

Tabel 8 Laju transpirasi relatif pada gandum pada dua aplikasi konsentrasi
putresin yang berbeda di Cisarua
Periode

Putresin (mM)

Transpirasi (mg·cm-2·detik-1)
Adaksial
Abaksial
0.079
0.070
0.073
0.044
0.126
0.079

Sebelum
aplikasi putresin

-

Sete lah aplikasi
putresin ke-1

0
1.25
2.5

0.076
0.077
0.073

0.042
0.036
0.043

Setelah aplikasi
putresin ke-2

0
1.25
2.5

0.077
0.072
0.087

0.050
0.047
0.056

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada
taraf uji 5%.

Kerapatan Stomata
Kerapatan stomata bagian adaksial daun antara genotipe di Cipanas berbeda
nyata dan genotipe Sbr memiliki kerapatan paling tinggi dibandingkan dengan
Astreb dan Nias (Lampiran 3 dan 4). Namun kerapatan stomata ketiga genotipe
tersebut tidak berbeda nyata pada bagian abaksial daun.
Kerapatan stomata bagian adaksial dan abaksial daun gandum antara
genotipe di Cisarua tidak berbeda nyata, namun secara umum bagian adaksial
genotipe Sbr memiliki kerapatan stomata paling tinggi dibandingkan dengan
Astreb dan Nias (Tabel 9, Lampiran 5 dan 6).

13

Tabel 9 Kerapatan stomata gandum pada genotipe Sbr, Astreb dan Nias di
Cipanas dan di Cisarua
Jumlah stomata·mm-2
Adaksial
Abaksial
Cipanas
153.7b
103.1
141.7a
97.0
a
137.0
103.4
Cisarua
157.0
96.8
153.9
96.6
152.3
93.4

Genotipe
Sbr
Astreb
Nias
Sbr
Astreb
Nias

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT pada taraf uji 5%, sedangkan angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh
huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Secara umum aplikasi putresin di Cipanas dan Cisarua tidak berpengaruh
nyata terhadap kerapatan stomata pada bagian adaksial dan abaksial daun
(Lampiran 3, 4, 5 dan 6) tetapi terjadi peningkatan jumlah stomata pada periode
setelah aplikasi putresin ke-1 dan ke-2 (Tabel 10 dan 11).
Tabel 10 Kerapatan stomata pada gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin
berbeda di Cipanas
Periode
Sebelum
aplikasi putresin

Putresin
(mM)
-

Jumlah stomata·mm-2
Adaksial
Abaksial
113.4
83.2
112.6
84.2
115.9
85.7

Setelah aplikasi
putresin ke-1

0
1.25
2.5

134.7
136.2
127.8

92.3
94.0
94.7

Setelah aplikasi
putresin ke-2

0
1.25
2.5

140.9
146.3
145.1

97.2
104.9
101.4

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada
taraf uji 5%.

14

a

Gambar 1

b

c
d
Ukuran porus stomata genotipe Sbr setelah aplikasi putresin ke-2
konsentrasi 2.5 mM di Cipanas bagian (a) adaksial, (b) abaksial, dan
di Cisarua bagian (c) adaksial, (d) abaksial. Perbesaran 400x

Secara umum aplikasi putresin ke-1 dan ke-2 juga tidak berpengaruh nyata
terhadap kerapatan stomata bagian adaksial maupun abaksial daun di Cisarua
(Tabel 11; Lampiran 9 dan 10).
Tabel 11 Kerapatan stomata daun gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin
berbeda di Cisarua
Periode

Putresin (mM)

Jumlah stomata·mm-2
Adaksial
Abaksial
135.4
96.3
123.2
99.9
122.4
90.6

Sebelum
aplikasi putresin

-

Setelah aplikasi
putresin ke-1

0
1.25
2.5

146.4
140.9
147.7

91.1
92.3
100.4

Setelah aplikasi
putresin ke-2

0
1.25
2.5

154.8
153.7
154.8

93.4
98.9
94.4

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada
taraf uji 5%.

15

Kandungan Klorofil
Kandungan klorofil a, b dan total tidak berbeda nyata antara genotipe baik
di Cipanas maupun di Cisarua, tetapi kandungan klorofil a, b dan total di Cipanas
lebih tinggi dibandingkan di Cisarua. Genotipe Sbr di Cisarua memiliki
kandungan klorofil a, b dan total paling besar dibandingkan Astreb dan Nias
(Tabel 12).
Tabel 12 Kandungan klorofil gandum pada genotipe Sbr, Astreb dan Nias di
Cipanas dan Cisarua
Genotipe

a

Sbr
Astreb
Nias

55.13
52.79
52.80

Sbr
Astreb
Nias

39.93
38.03
39.04

Klorofil (mg·g-1)
b
Cipanas
20.60
21.38
22.15
Cisarua
20.65
18.86
18.91

total

80.69
78.35
80.90
60.58
56.89
57.94

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada
taraf uji 5%.

Aplikasi putresin periode ke-1 di Cipanas tidak berpengaruh nyata terhadap
kandungan klorofil a, b dan total. Aplikasi putresin periode ke-2 berpengaruh
nyata terhadap kandungan klorofil a, b dan total, namun konsentrasi putresin 2.5
mM tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 13).
Tabel 13 Kandungan klorofil gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin
berbeda di Cipanas

-

a
48.14
49.34
54.48

Klorofil (mg·g-1)
B
19.59
23.09
23.32

67.73
72.43
77.79

Setelah
aplikasi
putresin ke-1

0
1.25
2.5

60.62
58.01
58.00

22.42
23.21
23.61

83.04
81.22
81.61

Setelah
aplikasi
putresin ke-2

0
1.25
2.5

58.52b
43.73a
58.48b

23.14b
18.85a
22.15ab

87.46b
66.41a
86.06b

Periode

Putresin (mM)

Sebelum
aplikasi
putresin

total

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT pada taraf uji 5%, sedangkan angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh
huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

16

Aplikasi putresin di Cisarua pada periode ke-1 dan ke-2 tidak berpengaruh
nyata terhadap kandungan klorofil a, b dan total. Namun kandungan klorofil
setelah aplikasi putresin ke-2 menurun dibandingkan setelah aplikasi putresin ke1. Secara umum pemberian putresin konsentrasi 1.25 mM dapat meningkatkan
kandungan klorofil a, b dan total di Cisarua (Tabel 14).
Tabel 14 Kandungan klorofil gandum pada dua konsentrasi putresin berbeda di
Cisarua

-

a
51.96
50.39
66.75

Klorofil (mg·g-1)
b
31.61
28.99
44.54

83.57
79.38
111.29

Setelah
aplikasi
putresin ke-1

0
1.25
2.5

48.39
49.93
48.37

23.88
22.63
22.68

72.26
72.54
71.03

Setelah
aplikasi
putresin ke-2

0
1.25
2.5

39.82
41.41
35.77

18.81
21.42
18.19

58.63
62.83
53.95

Periode

Putresin (mM)

Sebelum
aplikasi
putresin

Total

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada
taraf uji 5%.

PEMBAHASAN
Pertumbuhan gandum dipengaruhi oleh faktor internal (fotoperiode, waktu
termal dan kematangan tanaman) maupun eksternal (kondisi lingkungan) baik
lingkungan biotik maupun abiotik (Azwar et al. 1989). Tanaman gandum adalah
tanaman berhari panjang yang sensitif terhadap lama penyinaran matahari yang
akan menentukan pertumbuhan tanaman untuk ke arah vegetatif atau generatif
(Bowden et al. 2007).
Faktor penghambat dalam proses pertumbuhan tanaman di antaranya adalah
cekaman. Cekaman pada tumbuhan adalah respon tumbuhan terhadap kondisi
lingkungan biotik (hama dan penyakit tanaman) maupun abiotik (kondisi tanah
dan iklim) (Lambers et al. 2008). Bentuk pengaruh cekaman iklim pada tumbuhan
di antaranya adalah cekaman suhu. Cekaman suhu pada gandum yang ditanam di
daerah tropis adalah cekaman suhu tinggi (Lillemo et al. 2005) yang akan
mempengaruhi proses fisiologis tumbuhan. Proses fisiologis tersebut meliputi
akumulasi biomassa tumbuhan, pengikatan CO2 dan pengangkutan hara yang
terkait pada keseluruhan proses pertumbuhan (Taiz dan Zeiger 2002).
Suhu rata-rata di Cipanas adalah 20.8 oC, sedangkan di Cisarua adalah 27.5
o
C. Menurut Bowden et al. (2007) kisaran suhu pertumbuhan gandum adalah 15
o
C sampai 30 oC. Dengan demikian, suhu di Cipanas dan Cisarua masih dalam
kisaran yang sesuai untuk pertumbuhan gandum di wilayah tropis. Namun
menurut Hendershot et al. (1992) suhu pertumbuhan optimum gandum adalah 18
o
C sampai 23 oC. Oleh karena itu, pertumbuhan gandum di Cipanas masih lebih

17

baik dibandingkan dengan di Cisarua. Kelembapan relatif di Cipanas (78.4%)
lebih rendah dari Cisarua (83%). Pada kondisi dataran tinggi Indonesia, gandum
ditanam dengan rata-rata kelembapan di atas 80% pada musim hujan dan di
bawah 80% ketika musim kemarau (Satari et al. 1976). Tingkat kelembapan di
kedua lokasi masih dalam batas normal syarat tumbuh dan kembang gandum.
Genotipe Nias di Cipanas memiliki kerapatan stomata 137 stomata·mm-2
dengan laju transpirasi sebesar 0.094 mg·cm-2·detik-1, sedangkan genotipe Nias di
Cisarua memiliki kerapatan stomata 152.3 stomata·mm-2 dengan laju transpirasi
sebesar 0.083 mg·cm-2·detik-1. Pada genotipe Astreb di Cipanas memiliki
kerapatan sebesar 141.7 stomata·mm-2dengan laju transpirasi sebesar 0.12
mg·cm-2·detik-1, sedangkan di Cisarua, genotipe Astreb memiliki kerapatan lebih
tinggi 153.9 stomata·mm-2dengan laju transpirasi 0.077mg·cm-2·detik-1. Data
tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara kerapatan stomata dan laju
transpirasi tidak sama pada genotipe berbeda. Aplikasi putresin pada penelitian ini
bertujuan untuk membantu tanaman gandum sebagai regulator pertumbuhan
tanaman untuk beradaptasi pada lingkungan tropis, yaitu dengan mempercepat
pertumbuhan (El-Tohamy et al. 2008) namun, aplikasi putresin di Cipanas dan
Cisarua tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap kerapatan stomata. Menurut
Bowden et al (2007) jumlah stomata mempengaruhi laju transpirasi pada daun
gandum yang berfungsi sebagai jalan penguapan air dan pemasukan gas CO2 saat
fotosintesis. Pada kondisi cekaman panas, suhu udara di sekitar tanaman tidak
optimal untuk pertumbuhan keseluruhan gandum, suhu udara di lingkungan yang
tinggi menyebabkan tanaman akan menguapkan air yang banyak sebagai respon
terhadap kenaikan suhu lingkungan. Suhu udara yang tinggi akan mengakibatkan
laju transpirasi terus meningkat dan apabila terlalu banyak menguapkan air,
stomata daun akan menutup untuk menjaga agar daun tidak layu dan kehilangan
lebih banyak air. Cara tersebut akan menghambat proses fotosintesis dan
transpirasi tanaman.
Pada penelitian ini, aplikasi putresin tidak mempengaruhi laju transpirasi
pada gandum. Namun, laju transpirasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara
lain kelembapan relatif, suhu dan kecepatan angin. Dibandingkan dengan Cisarua,
Cipanas memiliki suhu lebih rendah namun memiliki kecepatan angin lebih
tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan laju transpirasi di Cipanas relatif lebih
tinggi dari Cisarua. Faktor yang mempengaruhi transpirasi di antaranya adalah
kecepatan angin. Menurut Taiz dan Zeiger (2002) kecepatan angin yang
mempengaruhi laju transpirasi berhubungan dengan lapisan pembatas kedap udara
(boundary layer) yang terdapat pada lapisan paling atas permukaan daun. Lapisan
tersebut menjaga agar laju transpirasi pada tanaman tetap rendah. Lapisan
pembatas sangat tipis dan sangat mudah terbawa oleh angin sehingga pada
kecepatan angin yang tinggi lapisan tersebut akan terkikis dan dapat menaikan
laju transpirasi. Ketebalan dari boundary layer akan menambah panjang jalur
difusi uap air. Molekul uap air yang akan keluar dari daun harus berdifusi melalui
lapisan epidermis (sel penjaga) yang tebal serta harus melewati lapisan pembatas
untuk mencapai lingkungan luar. Laju transpirasi berkurang karena difusi uap air
terhalang oleh lapisan pembatas.
Ketiga genotipe yang ditanam di kedua lokasi mempunyai respon transpirasi
yang sama terhadap suhu lingkungan. Menurut Bowden et al. (2007) transpirasi
memiliki keterkaitan dengan fotosintesis, yaitu pada waktu berlangsung

18

transpirasi maka uap air bertukar dengan CO2 yang masuk melalui stomata. Laju
transpirasi lebih lambat di area dengan suhu yang rendah dan kelembapan udara
relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan data iklim di Cisarua (Tabel 1), walaupun
suhu lebih tinggi, namun kelembapan relatif tinggi pada saat siang hari. Hal ini
berbeda dengan Cipanas, walaupun suhu tertinggi di Cipanas hanya 20.8 oC
namun, kelembapan udara rendah dan kecepatan angin tinggi dibandingkan di
Cisarua. Hal tersebut menyebabkan laju transpirasi dan pertukaran CO2 untuk
fotosintesis pada tanaman lebih tinggi sehingga secara umum tinggi tanaman dan
jumlah anakan di Cipanas lebih besar dibandingkan di Cisarua.
Klorofil merupakan zat hijau daun yang terkandung dalam kloroplas daun
yang menyerap berbagai panjang gelombang matahari. Klorofil berfungsi sebagai
pigmen warna penangkap cahaya untuk proses fotosintesis yang menyerap
panjang gelombang lebih kecil dari 480 nm dan di antara 550 nm sampai 700 nm
(Heldt dan Heldt 2005). Pengaruh nyata pada aplikasi putresin hanya terlihat pada
periode setelah aplikasi putresin ke-2 di Cipanas, namun konsentrasi putresin 2.5
mM tidak berbeda nyata dengan kontrol. Di Cisarua aplikasi putresin konsentrasi
1.25 mM pada periode ke-1 dan ke-2 dapat meningkatkan nilai kandungan klorofil
(Tabel 14), tetapi pemberian konsentrasi putresin 2.5 mM cenderung menurunkan
kandungan klorofil kembali. Pemberian konsentrasi putresin 1.25 mM di Cisarua
relatif dapat meningkatkan kandungan klorofil dibandingkan tanpa perlakuan
putresin. Menurut Diaz-Almeyda et al. (2011); dan Mathur et al. (2011) suhu
yang tinggi pada gandum dapat merusak membran fotosintetik sehingga
menyebabkan penurunan kandungan klorofil.
Derajat sudut daun bendera pada tanaman sereal merupakan suatu cara
pengukuran untuk mengetahui tingkat efisiensi tanaman dalam menggunakan
energi radiasi matahari. Tegakan daun bendera dalam membentuk sudut
dipengaruhi oleh genotipe gandum dan gen penyandinya. Sudut daun bendera di
Cipanas, tidak dipengaruhi oleh aplikasi putresin. Sudut daun bendera di Cipanas
yang terukur kurang dari 100° yang menandakan tanaman gandum masih dalam
masa pertumbuhan. Pada saat pengukuran, sudut daun bendera masih dalam fase
akhir pengisian bulir yang kemudian akan menuju fase akhir pertumbuhan.
Berbeda dengan di Cipanas, pada waktu pengukuran yang sama di Cisarua, sudut
daun bendera lebih dari 100o yang menandakan gandum telah mencapai masa
akhir pertumbuhan. Menurut Borojevic dan Dencic (1986) bentuk sudut daun
bendera menandakan fase pertumbuhan gandum. Jika bentuk sudut horizontal
terhadap batang maka memasuki fase pengisian bulir gandum, ketika daun telah
menjuntai menandakan pertumbuhan telah mencapai akhir. Sudut daun bendera
pada gandum juga menandakan kematangan fisik tanaman sebelum akhirnya akan
mengalami senesens (De Christaldo et al. 1992).
Secara umum luas daun bendera di Cipanas lebih luas dibandingkan di
Cisarua. Hasil ini selaras dengan kandungan klorofil yang lebih tinggi di Cipanas.
Luas daun bendera sangat penting dalam proses pertumbuhan gandum terutama
dalam hal kapasitas fotosintesis yang dapat dilakukan. Daun bendera yang tetap
utuh terjaga selama pertumbuhan sangat penting untuk produksi karbohidrat
selama pengisian bulir. Luas daun bendera dipengaruhi oleh laju pertumbuhan
anakan dan laju perluasan daun. Luas daun bendera menentukan penggunaan air
pada tumbuhan. Selama masa vegetatif, tanaman membutuhkan banyak air untuk
persiapan pembungaan dan pengisian bulir. Rasio pertumbuhan yang seimbang

19

dari luas daun sangat dibutuhkan untuk menentukan kombinasi optimal dalam
kapasitas fotosintesis dan produksi karbohidrat, namun juga tetap dapat menjaga
ketersediaan air di tanah untuk pertumbuhan (B