Analisis Keragaman Genetik Pada Gandum (Triticum Aestivum L) Hasil Introduksi Menggunakan Karakterisasi Morfologi Dan Molekuler

(1)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK PADA GANDUM

(

Triticum aestivum

L.) HASIL INTRODUKSI MENGGUNAKAN

KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN MOLEKULER

SARTIKA WIDOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keragaman Genetik pada Gandum (Triticum aestivum L.) Hasil Introduksi Menggunakan Karakterisasi Morfologi dan Molekuler adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016 Sartika Widowati A253140386


(4)

RINGKASAN

SARTIKA WIDOWATI. Analisis Keragaman Genetik pada Gandum (Triticum aestivum L.) Hasil Introduksi Menggunakan Karakterisasi Morfologi dan Molekuler. Dibimbing oleh NURUL KHUMAIDA, SINTHO WAHYUNING ARDIE, dan TRIKOESOEMANINGTYAS.

Gandum (Triticum aestivum L.) adalah salah satu komoditas pangan serealia penting yang dibutuhkan dalam jumlah besar di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor gandum terbesar. Gandum merupakan tanaman subtropis yang sulit dibudidayakan di Indonesia karena suhu yang terlalu tinggi. Saat ini gandum hasil introduksi dapat dikembangkan dengan baik pada elevasi > 800 m dpl. Namun adanya persaingan dengan komoditas hortikultura di dataran tinggi menyebabkan gandum tidak dapat dibudidayakan secara luas di Indonesia. Sebagai upaya untuk mengatasi hal tersebut, pengembangan gandum difokuskan untuk dataran menengah-rendah. Suhu rata-rata pada dataran menengah-rendah tentunya lebih tinggi dibandingkan dengan dataran tinggi, sehingga diperlukan varietas gandum yang toleran terhadap suhu tinggi. Dengan demikian Indonesia dapat mengurangi impor gandum di kemudian hari.

Informasi mengenai hubungan kekerabatan diantara genotipe koleksi gandum yang diintroduksi belum banyak dilaporkan, terutama antara genotipe yang sudah lama diintroduksi dengan genotipe yang baru diintroduksi. Selain itu, deskripsi varietas yang disebutkan pada masing-masing genotipe diperuntukkan budidayanya di dataran tinggi (>800 m dpl). Program pemuliaan gandum dimulai dengan meningkatkan keragaman genetik, dapat melalui persilangan dan induksi mutasi. Sebelum melakukan persilangan, penentuan tetua sangat penting untuk dilakukan mengingat program pemuliaan membutuhkan waktu yang lama. Tujuan utama penelitian ini adalah melakukan analisis keragaman genetik di antara koleksi genotipe gandum dengan cara karakterisasi morfologi dan molekuler. Hal tersebut diwujudkan dengan mempelajari pertumbuhan tanaman gandum di dataran menengah (400-800 m dpl), mempelajari karakter morfologi, anatomi, serta keragaman dalam sekuen nukleotida gen terkait toleransi suhu tinggi.

Penelitian terdiri atas 3 percobaan. Karakterisasi morfologi dan karakter agronomi pada beberapa genotipe gandum pada percobaan pertama dilakukan di Kebun Percobaan Sukamantri IPB, Tamansari, Bogor dengan ketinggian + 540 m dpl pada bulan Desember 2013 hingga Mei 2014. Peningkatan keragaman genetik pada level in vitro melalui induksi mutasi dengan irradiasi sinar gamma dan seleksi suhu tinggi telah dilakukan pada penelitian sebelumnya, sehingga karakterisasi secara morfologi dan anatomi untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada mutan putatif gandum dilakukan pada percobaan 2. Percobaan 2 tersebut dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan 3 pada bulan Februari – Agustus 2015. Kemudian percobaan 3 yakni studi molekuler gen-gen terkait toleransi suhu tinggi pada beberapa genotipe gandum yang dilakukan pada bulan September 2015 hingga Februari 2016 di Laboratorium Plant Molecular Biology 2 AGH IPB dan Laboratory of Plant Breeding and Genetics, Tohoku University.

Percobaan pertama menggunakan tiga genotipe yang lebih awal diintroduksi (Nias, Selayar, dan Dewata) serta lima genotipe yang baru diintroduksi (Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, dan SBD) yang disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak dengan 1


(5)

faktor dan 3 ulangan. Pengamatan morfologi berdasarkan deskriptor UPOV, dan juga dilakukan pengamatan terhadap karakter agronomi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada genotipe gandum berdasarkan 18 karakter morfologi. Analisis filogenetik menunjukkan pengelompokan pada genotipe yang lebih awal diintroduksi (Nias, Selayar, dan Dewata) terpisah dengan genotipe yang baru diintroduksi (Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, dan SBD). Hal ini juga didukung dengan nilai pengamatan pada karakter agronomi dimana genotipe yang lebih awal diintroduksi cenderung memperlihatkan hasil yang rendah, sementara genotipe yang baru diintroduksi lebih tinggi sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbaikan karakter agronomi yang menunjang adaptasi di wilayah tropis. Hubungan kekerabatan menunjukkan jarak genetik yang jauh, dengan koefisien ketidakmiripan sebesar 0.25-0.53. Karakter morfologi yang dikembangkan sebagai ideotype gandum untuk membantu adaptasi gandum di daerah tropis adalah daun bendera yang tegak, glaukositas yang kuat, densitas malai yang rapat, dan bahu glume terbawah yang lebar. Semua karakter agronomi yang memberikan hasil uji nyata pada analisis ragam menunjukkan heritabilitas yang tinggi. Karakter dengan heritabilitas dan KKG tinggi adalah panjang akar, bobot kering akar, bobot kering malai, bobot kering tajuk, dan bobot biji. Genotipe Selayar dan Guri 4 Agritan direkomendasikan sebagai kandidat tetua dalam persilangan dengan mempertimbangkan karakter agronomi, morfologi, dan toleransi suhu tinggi.

Sebanyak 11 mutan putatif hasil induksi mutasi irradiasi sinar gamma dan seleksi suhu tinggi pada level in vitro serta planlet genotipe Dewata sebagai genotipe asal (kontrol) digunakan dalam percobaan 2. Percobaan dirancang menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan 1 faktor dan 3 ulangan. Eksplan-eksplan mutan putatif hasil mutasi tersebut menunjukkan adanya keragaman berdasarkan karakter morfologi, karakter anatomi, dan pertumbuhannya. Genotipe 30Gy25C-4 menunjukkan pertambahan jumlah anakan tertinggi, sementara genotipe 30Gy25C-6 memiliki tinggi planlet tertinggi. Hubungan kekerabatan menunjukkan keragaman dengan koefisien ketidakmiripan antara 0.1-0.8. Analisis kekerabatan menunjukkan kemiripan terdekat terdapat pada Dewata (kontrol) dengan genotipe 20Gy30C-2, sedangkan terjauh pada 30Gy25C-6 yang berada pada klaster yang berbeda. Genotipe 10Gy25C-1 menunjukkan nilai pengamatan paling tinggi pada beberapa karakter anatomi antara lain tebal daun, tebal epidermis daun, diameter jaringan pengangkut daun, tebal korteks akar, dan diameter stele akar. Genotipe 30Gy25C-4 memiliki potensi yang baik karena memiliki pertambahan jumlah anakan yang tinggi. Mutan-mutan putatif yang juga berpotensi untuk dikembangkan adalah yang memiliki daun tegak (10Gy25C-1, 10Gy25C-4, 10Gy30C-4, 30Gy25C-3, 30Gy25C-5, dan 30Gy25C-6), daun hijau tua (10Gy25C-4, 20Gy30C-2, 20Gy30C-5, 30Gy25C-5, dan 30Gy25C-6), serta glaukositas sedang (30Gy25C-6).

Studi molekuler gen-gen terkait suhu tinggi pada gandum di percobaan ketiga dilakukan dengan menentukan kandidat gen melalui studi pustaka, mendesain primer spesifik, isolasi DNA gandum, amplifikasi dengan PCR, elektroforesis, dan perunutan nukleotida (sequencing). Percobaan ini menggunakan dua genotipe yang lebih awal diintroduksi (Nias, Dewata), dan empat genotipe yang baru diintroduksi (Guri 3 Agritan, Guri 5 Agritan, SBR, dan Jarissa). Gen TaHSF-2 berhasil diamplifikasi dan dikarakterisasi dari keenam


(6)

genotipe gandum dengan panjang pita + 1300 pb. Hasil pensejajaran nukleotida dan prediksi asam amino menunjukkan homologi yang tinggi dengan sekuen gen TaHSF-2 dari gandum genotipe HD2967 yang sudah terdeposit pada GenBank dengan nomor aksesi GenBank KP063542.1 serta gen HsfB pada spesies lain. Keragaman dalam sekuen nukleotida ditemukan diantara keenam genotipe gandum yang digunakan. Gen TaHSF-2 tersebut ditemukan memiliki 3 domain penting, diantaranya adalah DNA Binding Domain (DBD), Oligomerization Domain (OD), dan B3 Repressor Domain (BRD). BRD menunjukkan adanya motif asam amino LFGV yang mengindikasikan peranan gen TaHSF-2 sebagai repressor. Ditemukan sebanyak 3 situs SNP putatif yang berpotensi dikembangkan menjadi marka molekuler.


(7)

SUMMARY

SARTIKA WIDOWATI. Analysis of Genetic Diversity from Introduced Wheat (Triticum aestivum L.) Genotypes by Morphological and Molecular Characterization. Supervised by NURUL KHUMAIDA, SINTHO WAHYUNING ARDIE, and TRIKOESOEMANINGTYAS.

Wheat (Triticum aestivum L.) is one of major staple cereal food crops in the world. Indonesia is one of the largest wheat importers today. Wheat known as subtropical plant, it is difficult to be cultivated in Indonesia because of high temperature. Currently, Indonesia has several introduced wheat genotypes and could be planted well at elevations > 800 m asl. However, there is competition with horticulture commodities, causing wheat could not be cultivated widely. In an effort to overcome this problem, wheat is focused to be developed at medium-low altitude. The average temperature in medium-medium-low altitude is higher than in high altitude. The wheat variety with tolerant to heat stress is needed to be cultivated in this area, so Indonesia could reduce wheat import in the future.

The information about genetic relationship between introduced genotypes of wheat collection has not been widely reported, especially among the earlier introduced genotypes and the recently introduced genotypes. In addition, the description of varieties only show data on high altitude. Plant breeding program starts from increasing genetic diversity by crossing or mutation induction. The determination of parent for crossing is very important because of the long period of plant breeding program. The main objective of this study was to analyze the genetic diversity between collection genotypes of wheat by morphological and molecular characterization. It was performed by studying agronomical characters of wheat in mid altitude, morphological characters, anatomical characters, and also the diversity in nucleotide sequences of the gene related to heat stress.

The study consisted of three experiments. Study of morphological characterization and agronomical characters in several wheat genotypes (first experiment) was conducted in Sukamantri Field IPB, Tamansari, Bogor (+ 540 m asl) in December 2013 – May 2014. Genetic diversity improvement through mutation induction by gamma irradiation in vitro had been done in previous studies. Therefore, the morphological and anatomical characterization is needed to be studied between the putative mutants, especially to know several changes. This second experiment was conducted at Laboratory of Tissue Culture 3 AGH IPB in February – August 2015. The third experiment was molecular study of genes related to heat stress in several wheat genotypes. It was conducted in September 2015 – February 2016 in the Laboratory of Plant Molecular Biology 2 AGH IPB and Laboratory of Plant Breeding and Genetics, Tohoku University.

The first experiment used three earlier introduced genotypes (Nias, Selayar, and Dewata), and five recently introduced genotypes (Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, and SBD), which was designed using the randomized complete block design with single factor and three replications. Morphological characters was observed based on UPOV descriptor, meanwhile agronomical characters by measurement. The results showed that there were diversities between the wheat varieties based on 18 morphological characters. Phylogenetic analysis showed a grouping of the earlier introduced genotypes separated with the recently introduced genotypes. This was also supported by agronomical characters data, showed low observation values in the earlier


(8)

introduced genotypes than the recently introduced genotypes. It could be concluded that there was an improvement for agronomical characters supporting adaptation in tropical area. The genetic relationship showed far kinship with dissimilarity coefficient between 0.25-0.53. The morphological characters developed to be ideotype of wheat to improve adaptation in tropical area were erect flag leaf, strong glauscousness, dense panicle density, and width shoulder lower glume. All of the significant agronomical characters based on the ANOVA test had high heritability. Characters with high heritability and diversity coefficient then were chosen as selection criteria, they are root length, root dry weight, panicle dry wheight, shoot dry weight, and seed weight. Selayar and Guri 4 Agritan were selected to be parent candidate with several reasons, i.e. agronomical characters, heat tolerance, and morphological characters.

A total of 11 putative mutants generated from gamma irradiation and in vitro selection to high temperature and planlets of Dewata as the background genotype were used in the second experiment. The experiment was designed using randomized complete block design with one factor and three replications. The putative mutants showed the diversity based on morphological characters, anatomical characters, and growth data. The 30Gy25C-4 genotype showed the highest value for increasing in the number of tillers, while 30Gy25C-6 genotype had the highest plantlets height. Genetic relationship showed diversity with various dissimilarity coefficient of genetic distance, it was between 0.1-0.8. The closest relationship found in control with 20Gy30C-2 genotype, while the furthest in 30Gy25C-6 which located in different cluster. The 10Gy25C-1 genotype showed the highest observation values in several anatomical characters, they were leaf thickness, thickness of leaf epidermis, diameter of transportation tissue, thicknes of root cortex, and diameter of root stele. The 30Gy25C-4 genotype was potential to be developed because of high tiller numbers. Based on morphological characters, several putative mutants had good reason to be developed with erect leaves (10Gy25C-1, 10Gy25C-4, 10Gy30C-4, 30Gy25C-3, 30Gy25C-5, and 6), dark green leaves (10Gy25C-4, 20Gy30C-2, 20Gy30C-5, 30Gy25C-5, and 30Gy25C-6), and intermediet glaucousness (30Gy25C-6).

Molecular study of genes related to heat stress in the third experiment performed by determining gene candidates based on literatures, designing specific primers, isolating wheat DNA genome, PCR, electrophoresis, and sequencing. This experiment used two earlier introduced genotypes (Nias, Dewata), and four recently introduced genotypes (Guri 3 Agritan, Guri 5 Agritan, SBR, and Jarissa). TaHSF-2 gene was successfully amplified and characterized from six genotypes of wheat with single band length + 1300 bp. The alignment of nucleotide and amino acid sequences resulted high homology with the TaHSF-2 gene from HD2967 genotype which has been deposited in GenBank with accession number KP063542.1 and HsfB gene from any species. Nucleotide sequences had diversity between the six wheat genotypes. TaHSF-2 gene has three important motifs, they are DNA Binding Domain (DBD), Oligomerization Domain (OD), dan B3 Repressor Domain (BRD). The BRD domain had amino acid LFGV, indicating TaHSF-2 plays role as a repressor. Three SNPs found in the nucleotide alignment from six wheat genotypes, it had potential to be developed into molecular markers. Key words : high temperature, mid altitude, phylogenetic, putative mutant,


(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK PADA GANDUM

(

Triticum aestivum

L.) HASIL INTRODUKSI MENGGUNAKAN

KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN MOLEKULER

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(12)

(13)

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul ―Analisis Keragaman Genetik pada Gandum (Triticum aestivum L.) Hasil Introduksi Menggunakan Karakterisasi Morfologi

dan Molekuler‖ ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyampaikan terima

kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Dr Ir Nurul Khumaida, MSi, Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP MSi, serta Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, motivasi dan nasehat demi terselesaikannya tesis ini

2. Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS selaku ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

3. Dr Willy Bayuardi Suwarno, SP MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tesis atas saran dan perbaikan dalam penulisan tesis.

4. Seluruh staf dan pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas ilmu yang diberikan

5. Beasiswa Fresh Graduate (FG) atas dukungan finansial selama kuliah di IPB pada program sinergi S1-S2 (Fast Track)

6. Prof. Nishio Takeshi, Associate Prof. Kitashiba Hiroyasu, Assistant Prof. Masaya Yamamoto, seluruh anggota Laboratory of Plant Breeding and Genetics, Tohoku University, serta penanggung jawab program COLABS dan beasiswa JASSO atas bimbingan, dukungan, dan kerjasamanya

7. Rekan-rekan PBT 2013, PBT 2014, Laboratorium Kultur Jaringan 3, Laboratorium Plant Molecular Biology 2, dan Laboratorium Pemuliaan Tanaman 1 atas kebersamaan, semangat, dan bantuan yang telah diberikan 8. Keluarga tercinta, Bapak Sarjiyatno, Ibu Sri Rejeki, ketiga adikku, serta

Selamet Waluyo atas motivasi, doa, dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyempurnaan tesis ini, semoga dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan.

Bogor, Oktober 2016 Sartika Widowati


(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat Penelitian 3

1.5 Hipotesis 3

1.6 Ruang Lingkup Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 2.1 Gandum 5

2.2 Botani Gandum 5

2.3 Stadia Tumbuh Tanaman Gandum 7

2.4 Pemuliaan dan Karakterisasi Gandum 9

2.5 Suhu Tinggi 9

3 KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN SIFAT KUANTITATIF BEBERAPA GENOTIPE GANDUM (Triticum aestivum L.) DI DATARAN MENENGAH 11 Abstrak 11 Abstract 11 3.1 Pendahuluan 12 3.2 Metode Penelitian 14

3.3 Hasil dan Pembahasan 20

3.4 Simpulan 44

4 STUDI MORFOLOGI DAN ANATOMI BEBERAPA MUTAN PUTATIF GANDUM (Triticum aestivum L.) HASIL INDUKSI MUTASI IRRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI SUHU TINGGI 46 Abstrak 46 Abstract 46 4.1 Pendahuluan 47 4.2 Metode Penelitian 48

4.3 Hasil dan Pembahasan 50

4.4 Simpulan 62 5 KARAKTERISASI MOLEKULER GEN TERKAIT TOLERANSI SUHU TINGGI PADA GANDUM (Triticum aestivum L.) 63 Abstrak 63 Abstract 63 5.1 Pendahuluan 64 5.2 Metode Penelitian 65

5.3 Hasil dan Pembahasan 67


(16)

6 PEMBAHASAN UMUM 81

7 SIMPULAN DAN SARAN 86

7.1 Simpulan 86

7.2 Saran 87

DAFTAR PUSTAKA 88

LAMPIRAN 97


(17)

DAFTAR TABEL

2.1 Zadok’s growth scale tanaman gandum 7 3.1 Informasi tahun introduksi dan asal genotipe gandum yang digunakan 14 3.2 Analisis ragam untuk rancangan kelompok lengkap teracak 19 3.3 Warna biji, intensitas antosianin pada koleoptil dan pada auricle daun

bendera gandum 22

3.4 Tipe tumbuh tanaman, frekuensi kelengkungan daun bendera, dan umur

muncul malai gandum 24

3.5 Glaukositas batang, daun bendera, leher malai, dan malai gandum 26 3.6 Keberadaan awn atau scur, panjang awn teratas, bentuk malai, dan

densitas malai gandum 28

3.7 Intensitas rambut node teratas, panjang tanaman, warna malai, dan tipe

musim gandum 30

3.8 Lebar bahu, bentuk bahu, serta panjang paruh glume terbawah gandum 32 3.9 Bentuk paruh glume dan lemma terbawah gandum 32 3.10 Rekapitulasi hasil analisis ragam, nilai tengah, dan standar deviasi

percobaan karakterisasi gandum 35

3.11 Tinggi tanaman beberapa genotipe gandum pada umur 2 hingga 12 MST 36 3.12 Jumlah daun beberapa genotipe gandum umur 4 hingga 12 MST 36 3.13 Jumlah anakan, panjang malai, jumlah spikelet per malai, dan umur

panen pada beberapa genotipe gandum 37 3.14 Panjang akar dan biomassa tanaman pada beberapa genotipe gandum 39 3.15 Jumlah biji per tanaman, bobot biji per tanaman, dan bobot 100 biji pada

beberapa genotipe gandum 40 3.16 Tingkat kehijauan daun, kerapatan stomata, dan kerapatan trikoma pada

beberapa genotipe gandum 40

3.17 Komponen ragam, heritabilitas, dan KKG pada delapan genotipe

gandum 42

4.1 Tinggi mutan putatif gandum pada umur 1-4 MSK 52 4.2 Jumlah anakan yang dihasilkan pada mutan putatif gandum umur

1-5 MSK 53

4.3 Karakter morfologi kesebelas mutan putatif gandum beserta satu

genotipe kontrol 54

4.4 Tebal daun, diameter jaringan pengangkut, dan tebal epidermis kesebelas mutan putatif gandum beserta satu genotipe kontrol 59 4.5 Tebal korteks dan diameter stele akar kesebelas mutan putatif gandum

beserta satu genotipe kontrol 60

4.6 Panjang dan lebar stomata kesebelas mutan putatif gandum beserta satu

genotipe kontrol 61

5.1 Informasi tahun introduksi dan asal genotipe gandum yang digunakan 66 5.2 Kandidat gen yang digunakan dalam percobaan 67 5.3 Konsentrasi DNA genom pada enam genotipe gandum 68 5.4 Pasangan primer spesifik gen terkait toleransi suhu tinggi pada gandum 69 5.5 Optimasi PCR gen TaHsfA2d, TaHsfC2a, dan TaHSP16.9B gandum 71 5.6 Sequence identity residu prediksi asam amino dari TaHSF-2 yang

diisolasi dari enam genotipe gandum dan HSF dari tanaman lain


(18)

5.7 Karakter SNP yang diidentifikasi pada gen TaHSF-2 pada enam

genotipe gandum 80

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka besar penelitian pengembangan gandum adaptif dataran

menengah 4

3.1 Kategori tipe tumbuh tanaman gandum 15

3.2 Kategori bentuk malai gandum 15

3.3 Kategori keberadaan awn dan scur gandum 16 3.4 Kategori panjang ujung awn atau scur gandum 16 3.5 Kategori lebar bahu glume terbawah gandum 16 3.6 Kategori bentuk bahu glume terbawah gandum 17 3.7 Kategori panjang paruh glume terbawah gandum 17 3.8 Kategori bentuk paruh glume terbawah gandum 17 3.9 Grafik suhu udara, suhu media, dan kelembaban udara rata-rata selama

percobaan pada bulan Januari-Mei 2014 20

3.10 Kondisi umum percobaan beberapa genotipe gandum 21 3.11 Grafik pertumbuhan tanaman beberapa genotipe gandum umur 2

hingga 14 MST 21

3.12 Warna biji pada delapan genotipe gandum 23

3.13 Koleoptil pada delapan genotipe gandum 23

3.14 Auricle daun bendera pada delapan genotipe gandum 24 3.15 Keragaan tanaman kedelapan genotipe gandum 25 3.16 Glaukositas batang pada delapan genotipe gandum 26 3.17 Glaukositas daun bendera pada delapan genotipe gandum 27 3.18 Glaukositas leher malai pada delapan genotipe gandum 27 3.19 Keragaan malai pada delapan genotipe gandum 29

3.20 Keragaan batang gandum genotipe Nias 30

3.21 Warna malai saat masak pada delapan genotipe gandum 31 3.22 Glume terbawah pada delapan genotipe gandum 33 3.23 Bentuk paruh lemma terbawah pada delapan genotipe gandum 33 3.24 Dendrogram hasil analisis filogenetik delapan genotipe gandum

berdasarkan karakter morfologi menggunakan metode Ward‘s dengan

koefisien Gower 34

3.25 Anatomi daun pada delapan genotipe gandum 41

4.1 Penampang melintang daun gandum 49

4.2 Penampang melintang akar gandum 49

4.3 Stomata gandum 50

4.4 Penyebab kematian planlet gandum 51

4.5 Fungi yang sering menyerang pertumbuhan planlet gandum 51 4.6 Analisis filogenetik kesebelas mutan putatif gandum beserta satu

genotipe kontrol menggunakan metode Ward‘s dengan koefisien

Gower 56

4.7 Keragaan berbagai nomor mutan putatif gandum 57

4.8 Abnormalitas pada planlet gandum 58


(19)

5.1 Hasil elektroforesis DNA genom pada enam genotipe gandum 68 5.2 Elektroforesis hasil amplifikasi enam genotipe gandum menggunakan

random primer 69

5.3 Hasil amplifikasi gen dengan protokol PCR standard pada gandum 70 5.4 Hasil optimasi pertama proses PCR pada gandum 70 5.5 Hasil elektroforesis gen TaHSF-2 keenam genotipe gandum 72 5.6 Dendrogram hasil analisis filogenetik sekuen nukleotida gen TaHSF-2

dari enam genotipe gandum 73

5.7 Hasil pensejajaran prediksi asam amino dari hasil amplifikasi PCR gen

TaHSF-2 menggunakan primer spesifik 75

5.8 Posisi HSE dalam runutan nukleotida gen referensi gandum genotipe

HD2967 75

5.9 Struktur dasar gen HSF 76

5.10 Struktur gen HsfB 77

5.11 Pensejajaran basa nukleotida pada enam genotipe gandum 79 5.12 Dendrogram hasil analisis filogenetik enam genotipe gandum

berdasarkan sekuen nukleotida gen TaHSF-2 menggunakan metode

UPGMA 79

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi genotipe beberapa genotipe nasional gandum 97


(20)

(21)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan salah satu tanaman serealia yang dikonsumsi sebagian besar negara-negara di dunia. Gandum dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan industri pembuatan makanan sehingga dibutuhkan dalam jumlah besar, baik oleh negara penghasil maupun pengimpor. Tepung gandum memiliki kandungan 9.3-10.3 g protein, 73.7-77.2 g karbohidrat, dan serat sebanyak 3 g dalam setiap 100 g (Barikmo et al. 2004), serta keunggulannya dalam kandungan gluten yang sangat tinggi dibanding tepung dari tanaman pangan lainnya. Tingginya volume impor gandum di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara importir gandum terbesar kedua di dunia setelah Mesir (SPI 2012). Volume impor yang dilakukan Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir pada tahun 2010 sampai dengan 2014 berturut-turut mencapai 5.58, 6.19, 6.73, 6.92, dan 7.06 juta ton (BPS 2015), dengan rata-rata nilai nominal sebesar US$ 4 milyar per tahun (Kemendag 2014). Gandum dikonsumsi masyarakat di Indonesia dalam jumlah yang besar, menempati urutan kedua setelah beras, yaitu 18 kg per kapita (USDA 2013). Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang selalu mengalami peningkatan dengan laju pertambahan sebesar 1.49 juta orang per tahun (BPS 2013), dapat meningkatkan kebutuhan pangan khususnya terigu. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menekan nilai impor gandum, salah satunya adalah dengan cara membudidayakan gandum di Indonesia.

Gandum merupakan tanaman serealia yang tumbuh di daerah subtropis, namun tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dengan ketinggian >800 m dpl (Handoko 2007) karena suhu udara lingkungan yang lebih sesuai yaitu <24oC (Basu et al. 2014). Selain itu, curah hujan yang dibutuhkan adalah sekitar 139 mm per tahun (Sun et al. 2006). Akan tetapi, budidaya gandum pada dataran tinggi dinilai kurang ekonomis karena bersaing dengan komoditas hortikultura. Pengembangan gandum di daerah tropis perlu diarahkan pada daerah dataran menengah (400-800 m dpl) sampai rendah (0-400 m dpl) dengan mempertimbangkan suhu lingkungan. Untuk itu diperlukan varietas gandum yang adaptif dataran menengah di wilayah tropis.

Saat ini penanaman gandum di Indonesia belum terlalu banyak dilakukan dan masih terbatas pada lingkungan optimum di dataran tinggi. Selain itu, penanaman gandum hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun oleh petani yakni pada bulan-bulan kering di lahan budidaya kentang. Selain dapat memutus siklus OPT pada kentang, gandum ditanam dengan tujuan memberikan penghasilan yang lebih pada petani ketika musim kemarau, karena gandum tidak membutuhkan banyak pengairan dan pemupukan. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa penanaman gandum pospektif untuk dilakukan terutama apabila dapat ditanam di dataran menengah dengan hasil yang sebanding dengan penanaman di dataran tinggi.

Genotipe-genotipe gandum hasil pemuliaan telah banyak dikembangkan, baik dari hasil introduksi, mutasi, maupun persilangan. Studi terkait toleransi tanaman gandum terhadap suhu tinggi telah dilaporkan pada penanaman di daerah tropika basah dengan perbedaan elevasi (Nur et al. 2013), seleksi galur gandum hasil persilangan di dua agroekosistem (Mardiana 2015), serta induksi mutasi


(22)

2

secara in vitro pada embrio gandum untuk toleransi terhadap suhu tinggi (Setiawan et al. 2015). Perbaikan sifat-sifat genetik tanaman pada koleksi plasma nutfah dapat dilakukan melalui program pemuliaan tanaman. Salah satu tahapan dalam pemuliaan tanaman adalah mengidentifikasi sifat-sifat penting melalui karakterisasi (Syukur et al. 2012). Melalui karakterisasi dapat diketahui hubungan kekerabatan dan jarak genetik, serta mengetahui karakter pertumbuhan dan hasil pada genotipe koleksi.

Studi molekuler mampu mendukung pemuliaan pada gandum, terutama dengan mengetahui profil suatu gen terkait toleransi suhu tinggi pada genotipe-genotipe koleksi. Studi mengenai molekuler gandum terkait suhu tinggi yang telah dikembangkan di Indonesia masih sedikit, salah satunya adalah pengembangan marka SSR pada segregan (Yamin 2014), (Apsiana 2015), sedangkan di luar Indonesia penelitian gandum secara molekuler telah berkembang pesat. Garg et al. (2014) melaporkan mengenai perancangan marka SNAP pada sejumlah aksesi gandum di India. Selain itu studi QTL juga dipelajari pada gandum sensitif suhu tinggi di Meksiko (Mason et al. 2010), serta SSR pada gandum di Mesir (Abouzled et al. 2013), dan masih banyak lagi. Beberapa gen terkait toleransi suhu tinggi pada tanaman yang dapat diteliti adalah gen HSF dan HSP. Zhang et al. (2013) melaporkan bahwa gen Heat Shock Factor-3 pada gandum yang ditransformasikan pada tanaman Arabidopsis, menunjukkan peningkatan toleransi terhadap suhu tinggi secara nyata. Xue et al. (2013) juga melaporkan studi ekspresi famili HSF pada gandum. Penelitian tanaman gandum secara molekuler diharapkan terus berkembang ke depannya, terutama untuk wilayah tropis Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan kekerabatan antar genotipe gandum introduksi yang didasarkan pada karakter morfologi?

2. Bagaimana keragaan karakter agronomi genotipe gandum hasil introduksi yang ditanam di dataran menengah?

3. Karakter apa saja yang dapat digunakan sebagai karakter seleksi untuk memperbaiki adaptasi gandum di daerah tropis?

4. Adakah keragaman secara morfologi dan anatomi yang terdapat pada planlet mutan putatif gandum dari hasil irradiasi sinar gamma?

5. Bagaimana karakter gen-gen yang mengendalikan toleransi suhu tinggi pada gandum?

6. Bagaimana susunan nukleotida dan hubungan kekerabatan genotipe gandum introduksi Indonesia pada gen terkait toleransi suhu tinggi?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mempelajari karakter morfologi dan mendapatkan informasi hubungan kekerabatan pada beberapa genotipe gandum hasil introduksi berdasarkan hasil karakterisasi morfologi

2. Mengetahui pertumbuhan dan keragaan karakter agronomi beberapa genotipe gandum di dataran menengah (400-800 m dpl)


(23)

3 3. Mengetahui keragaman pada populasi mutan putatif gandum hasil induksi mutasi irradiasi sinar gamma dan seleksi suhu tinggi melalui karakterisasi morfologi dan anatomi

4. Mengisolasi dan mengkarakterisasi gen-gen terkait toleransi suhu tinggi dari beberapa genotipe gandum

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari serangkaian program pemuliaan tanaman gandum yang diharapkan mampu menghasilkan varietas gandum adaptif dataran menengah di daerah tropis Indonesia ke depannya. Penelitian ini merupakan langkah awal yang dapat memberikan informasi karakter agronomi gandum di dataran menengah serta informasi hubungan kekerabatan antara genotipe gandum yang lebih awal diintroduksi dengan genotipe yang baru diintroduksi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai penentuan tetua yang akan digunakan dalam persilangan. Karakterisasi dilakukan pada sejumlah karakter morfologi dan karakter agronomi. Selain itu, induksi mutasi juga telah dilakukan pada genotipe gandum yang sensitif suhu tinggi, dan diharapkan dapat meningkatkan keragaman genetik. Karakterisasi pada mutan putatif dilakukan secara morfologi dan juga anatomi. Studi molekuler juga dilakukan pada gen-gen terkait toleransi suhu tinggi tanaman gandum, sehingga dapat diketahui motif-motif penting pada gen tersebut. Jangka panjangnya diharapkan dapat dirancang marka molekuler untuk mempermudah seleksi terhadap keragaman yang ada, termasuk pada hasil persilangan maupun mutasi. Proses pemuliaan tanaman gandum dapat dikerjakan dengan lebih efisien dengan penggunaan marka molekuler dan penentuan tetua yang tepat. Dengan demikian penelitian ini akan memberikan sumbangsih terhadap penelitian-penelitian gandum tropika di Indonesia, dan akan bermanfaat bagi keberlanjutan prospek penanaman gandum di Indonesia, khususnya di dataran menengah, sehingga Indonesia dapat menekan impor gandum di kemudian hari.

1.5 Hipotesis

1. Terdapat keragaman pada karakter morfologi dan terdapat sifat yang mendukung pertumbuhan gandum di daerah tropis yang diamati pada beberapa genotipe gandum Indonesia hasil introduksi

2. Terdapat keragaman karakter agronomi pada genotipe gandum yang ditanam di dataran menengah, dan kemudian dapat dipilih menjadi karakter seleksi yang digunakan untuk menentukan tetua dalam persilangan

3. Terdapat keragaman secara morfologi, anatomi, dan pertumbuhan mutan-mutan putatif gandum hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi suhu tinggi 4. Terdapat motif-motif penting gen penyandi toleransi suhu tinggi dan juga

terdapat keragaman sekuen nukleotida pada beberapa genotipe gandum Indonesia hasil introduksi

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu karakterisasi morfologi dan karakter agronomi gandum di lapangan (dataran menengah), studi morfologi dan


(24)

4

anatomi pada mutan putatif hasil irradiasi sinar gamma dan seleksi suhu tinggi, serta karakterisasi secara molekuler pada gen terkait toleransi suhu tinggi. Percobaan pertama dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui informasi hubungan kekerabatan diantara genotipe-genotipe gandum hasil introduksi berdasarkan karakter morfologi, dan mengetahui pertumbuhannya di dataran menengah, serta mengembangkan ideotype gandum sebagai kriteria seleksi berdasarkan karakter morfologi yang diduga terkait dengan toleransi suhu tinggi pada gandum. Kemudian induksi mutasi juga telah dilakukan oleh Setiawan (2014) pada genotipe Dewata (sensitif suhu tinggi) secara in vitro menggunakan irradiasi sinar gamma yang kemudian diseleksi pada berbagai suhu. Diharapkan terjadi peningkatan keragaman genetik hasil mutasi yang dapat diketahui melalui karakterisasi morfologi dan anatomi. Karakterisasi populasi mutan putatif tersebut dilakukan pada percobaan kedua. Percobaan ketiga yakni mengisolasi dan mengkarakterisasi gen-gen terkait toleransi suhu tinggi pada beberapa genotipe gandum hasil introduksi, dimana dalam jangka panjangnya diharapkan dapat dirancang marka molekuler yang dapat membedakan genotipe toleran dan peka suhu tinggi pada keragaman yang telah ada, termasuk pada hasil persilangan yang akan dilakukan dan juga pada populasi hasil mutasi. Pada akhirnya dapat dirakit varietas gandum toleran suhu tinggi dan berdaya hasil tinggi. Kerangka besar penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka besar penelitian pengembangan gandum adaptif dataran menengah; kotak dengan garis tebal merupakan percobaan yang dilakukan; kotak dengan garis putus-putus merupakan percobaan yang tidak dilakukan


(25)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gandum

Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan tanaman serealia semusim yang termasuk ke dalam famili Poaceae dan genus Triticum. Tanaman ini sudah ada sejak zaman Paleolitik dan mulai dibudidayakan sekitar 11 000 tahun yang lalu di daerah Timur Tengah. Salah satu keunggulan gandum adalah memiliki gluten yang tinggi, yakni protein yang terkandung bersama pati yang bersifat elastis dan mendukung pembuatan roti dan kue menjadi lebih mengembang. Saat ini sudah ada sekitar 30 000 genotipe gandum yang dikembangkan di dunia, baik

gandum roti maupun gandum durum (M‘mboyi et al. 2010). Gandum roti merupakan tanaman alloheksaploid (6x) yang tersusun atas 21 kromosom (2n=42). Gandum jenis ini merupakan hasil persilangan alami dari Triticum urartu (genom A) dengan sejenis rumput liar bergenom B. Hasil persilangan interspesifik tersebut kemudian mengalami persilangan dengan spesies Aegylops tauschii yang memiliki genom D, sehingga terbentuk Triticum aestivum dengan tiga genom yakni A, B, dan D (Peng et al. 2011). Tanaman ini berasal dari Timur Tengah yang kemudian didomestikasi oleh masyarakat. Gandum secara umum menyebar di negara-negara dengan garis lintang antara 30 oN – 60 oN serta 27 oS – 40 oS. Selain sebagai bahan pangan, di Australia jerami gandum dimanfaatkan sebagai pakan ternak (OGTR 2008). Saat ini produksi gandum dunia mencapai 720 juta ton dan konsumsi gandum dunia mencapai 710 juta ton per tahun (USDA 2014).

2.2 Botani Gandum

Secara botani, gandum termasuk dalam kelas Monokotil, ordo Graminales, famili Poaceae, dan genus Triticum. Menurut Perry dan Belford (2000) tanaman gandum merupakan tanaman semusim yang hidup di iklim temperate. Karakteristik tanaman gandum menurut Perry dan Belford (2000) adalah sebagai berikut:

1. Butiran Biji (Grain)

Grain atau butiran biji gandum memiliki ukuran yangkecil yaitu antara 3-8 mm dan bersifat kering (ortodoks). Bagian ini bernilai ekonomi dan merupakan bagian yang dapat dimakan. Satu biji matang, terdiri atas embrio, endosperm, dan kulit biji. Kulit buah yang tipis menyatu dengan mantel benih. Komposisi dari gabah yaitu kulit 14%, endosperm 83%, dan embrio 3%.

2. Daun

Terdapat sekitar 3 daun yang mengelilingi apeks pucuk dalam embrio ketika berkecambah. Setelah berkecambah, beberapa daun akan muncul pada sisi samping apeks. Daun bernomor ganjil akan muncul pada batang utama dan satu lagi muncul di bagian atas, daun yang bernomor genap akan berada di sisi seberang pada batang. Daun terakhir sebelum muncul malai adalah daun bendera.

Daun gandum memanjang dan sempit dengan dua bagian yang berbeda yaitu basal sheath (selubung) yang mengelilingi batang dan memberi kekuatan serta helai daun sebagai jaringan utama fotosintesis. Sheath dan blade berada dalam batang terpisah. Bagian yang paling tua dari daun adalah ujung blade dan


(26)

6

pada bagian atas sheath. Jika kedua struktur tersebut bergabung akan terbentuk ligula dan auricle.

3. Anakan

Anakan adalah cabang bawah batang yang membentuk tunas di samping daun dalam batang utama. Secara struktural, anakan identik pada batang utama dan berpotensi mengeluarkan malai. Anakan merupakan daun yang termodifikasi, mirip dengan koleoptil yang dekat dengan batang utama saat muncul. Anakan yang muncul dari batang utama disebut anakan primer, dan anakan yang muncul dari sebuah anakan disebut anakan sekunder.

4. Akar

Terdapat dua jenis sistem perakaran, yakni akar seminal yang berasal dari dalam biji, serta mahkota atau akar nodal yang berkembang dari ruas-ruas, tergantung sumbu asal. Jaringan meristem pada akar hanya sekitar 2-10 mm dari ujung setiap akar, sehingga sulit menerobos media tanam sampai jauh. Akar yang telah berdiferensiasi dari daun pada bagian atas memungkinkan mengontrol pertumbuhan akar dalam kondisi lingkungan yang kurang sesuai seperti ketersediaan air dan hara.

5. Batang

Node adalah tempat yang menyatukan batang dan struktur lainnya seperti daun, akar, dan spikelet. Hal tersebut merupakan saluran vaskular yang membawa nutrisi ke dalam dan keluar dari organ-organ. Jaringan antara dua node yang berdekatan disebut dengan ruas (internode). Tanaman gandum dewasa akan mengalami pemanjangan batang, ruas mulai tumbuh membentuk batang bersendi sampai tanaman masak. Saat tumbuh, node memerlukan suplai dari jaringan untuk membentuk daun dan untuk mengisi cadangan makanan dalam rangka pengisian malai. Karbohidrat diperlukan sebanyak 25-40% dari bobot kering batang pada saat malai muncul.

6. Malai

Rangkaian bunga dalam satu malai gandum merupakan dua baris spikelet, tersusun berhadapan dari pusat rachis. Seperti pada batang, rachis terdiri atas node yang dipisahkan oleh internode pendek, dan spikelet menempel pada rachilla pada rachis di setiap node. Spikelet pucuk tunggal yang terletak di sudut kanan dari sisa spikelet berada pada setiap malai.

Selain itu, terdapat dua brak yang steril atau disebut dengan glume di bawah masing-masing spikelet. Terdapat 10 bunga individu yang disebut floret, meskipun floret teratas kurang berkembang, umumnya terdiri atas 2 sampai 4 floret yang membentuk butir biji. Malai gandum bisa berisi 30-50 biji. Setiap bunga akan menghasilkan 1 biji yang tumbuh di tepi brak yang disebut lemma, dan tertutup oleh brak lain yang disebut palea. Ditemukan awn (bulu) dari ujung lemma pada beberapa genotipe.

7. Floret

Setiap floret atau individu bunga tertutup dalam lemma dan palea. Dalam stuktur tertutup ini terdapat carpel yang terdiri atas ovarium dengan stigma yang berbulu, dan terdapat tiga benang sari yang membawa kantung polen atau anter. Keduanya merupakan alat reproduksi pada gandum. Ovarium terdiri atas ovul tunggal dan ketika dibuahi akan membentuk biji.


(27)

7 2.3 Stadia Tumbuh Tanaman Gandum

Salah satu metode yang digunakan dalam pembagian stadia tumbuh tanaman gandum adalah metode Zadok’s growth scale. Metode ini merupakan kuantifikasi tahap tumbuh tanaman pangan menggunakan angka desimal dalam standardisasinya. Zadok’s growth scale mempunyai skala 0-99 pertumbuhan yang digunakan dalam penelitian di dunia internasional. Tabel 2.1 menyajikan Zadok’s growth scale pada gandum.

Tabel 2.1 Zadok’s growth scale tanaman gandum

Angka desimal Stadia tumbuh

0 Germination

1 Seedling growth

2 Tillering

3 Stem elongation

4 Booting

5 Ear Emergence

6 Flowering

7 Milk development

8 Dough development

9 Ripening

Sumber : Perry dan Belford (2000)

Biasanya metode Zadok’s growth scale tersebut digunakan untuk aplikasi pemupukan, pestisida, dan untuk mengetahui kebutuhan hara pada tanaman. Secara umum, stadia tumbuh gandum berdasar metode ini mempunyai 10 skala dimana setiap skalanya dibagi menjadi 9 tahap lagi. Penggunaan nama skala desimal misalnya seperti Z13 yang artinya gandum berada dalam stadia seedling growth dengan dengan 3 daun.

1. Seedling Growth Z10 sampai Z19

Stadia tumbuh ini ditandai dengan munculnya daun pertama, kedua, dan seterusnya. Daun pertama adalah daun yang pertama kali muncul, lalu menetap di pangkal batang, kemudian daun kedua muncul dengan posisi yang lebih tinggi, begitu pula dengan daun ketiga. Penamaan skala desimal Zadok tersebut bisa dilihat dari panjang daun yang muncul dari batang utama, misalnya Z13.4 mempunyai arti bahwa gandum berada dalam stadia seedling growth dengan 3 daun dan daun keempat panjangnya 0.4 dari panjang daun ketiga.

2. Tillering Z20 sampai Z29

Hal yang menandakan munculnya stadia ini adalah batang utama gandum memiliki 3-4 daun. Stadia ini juga ditunjukkan dengan munculnya anakan dari selubung batang, namun hal tersebut tergantung hara yang didapatkan tanaman.Tanaman gandum yang memiliki 3 daun, daun keempat 0.4 dari daun ketiga, dan memiliki 1 anakan maka disebut Z13.4/21.

3. Stem Elongation Z30 sampai Z39

Stem elongation atau pemanjangan batang terjadi karena adanya pertumbuhan internode pada batang. Ketika pemanjangan dimulai, internode


(28)

8

bagian tengah mahkota tumbuh sepanjang 1-2 cm dan node di atasnya membesar serta mengeras membentuk lipatan pertama pada batang. Stadia ini sangat mudah dideteksi dengan cara membelah batang dengan pisau dan mengidentifikasi node penghalang pada rongga batang. Pertumbuhan tanaman gandum sangat cepat dan membutuhkan banyak hara pada stadia pemanjangan batang tersebut.

4. Booting Z40 sampai Z49

Stadia booting mendeskripsikan adanya daun bendera pada ujung atas tanaman. Daun bendera berkembang pada tanaman serealia dan berada di pangkal malai. Daun bendera merupakan daun yang berperan penting dalam memproduksi fotosintat untuk perkembangan biji pada malai. Selubung pada batang tempat daun bendera melekat akan menggembung. Hal tersebut menunjukkan adanya malai yang akan keluar dari tajuk.

5. Ear Emergence Z50 sampai Z59

Stadia Z50 sampai Z59 mendeskripsikan munculnya malai dari selubung batang tanaman. Misalnya stadia Z55, menggambarkan bahwa setengah dari panjang malai telah keluar. Stadia Z59 mempunyai arti bahwa seluruh malai sudah keluar dengan sempurna.

6. Antesis (flowering) Z60 sampai Z69

Antesis merupakan keadaan dimana floret membuka. Floret membuka pada pagi hari dan mempunyai periode yang sangat singkat. Gandum merupakan tanaman menyerbuk sendiri sehingga polen biasanya berasal dari bunga yang sama. Bunga yang telah mekar ditandai dengan polen yang keluar menggantung pada malai. Biasanya muncul pertama kali dari tengah malai, kemudian menyebar ke atas dan ke bawah.

7. Milk and Dough Development Z70 sampai Z89

Stadia Z70-Z89 menggambarkan tentang pengembangan biji gandum. Milk yang berarti susu dan dough yang berarti adonan mempunyai arti bahwa pada awalnya pengisian biji berbentuk cair dan kemudian mengeras menyerupai bentuk adonan. Pertumbuhan biji selama 7 hingga 14 hari setelah fertilisasi merupakan pertumbuhan utama pada dinding ovarium dan pembentukan sel-sel endosperm yang akan terisi dengan pati. Stadia awal (Z71) adalah kernel matang berair, kemudian pati mulai disimpan dalam kernel, semakin memadat, dan tahap akhirnya berbentuk seperti cairan susu. Pengembangan adonan Z80-Z89 ditandai dengan tidak terdapatnya zat cair dalam biji. Mulanya isi dalam biji tersebut bersifat lembut lalu semakin mengeras.

8. Ripening Z90-Z99

Biji disebut masak fisiologis jika tidak terdapat endapan pada biji dan seluruh adonannya sudah mengeras. Gandum mengalami kehilangan warna klorofil dan berubah menjadi kuning kecokelatan pada tahap ini. Kadar air gandum di alam masih cukup tinggi, tergantung cuaca. Setelah beberapa minggu kemudian maka gandum siap dipanen.


(29)

9 2.4 Pemuliaan dan Karakterisasi Gandum

Pemuliaan dan modifikasi genetik gandum di dunia sebagian besar meliputi induksi mutasi, induksi mandul jantan dalam rangka pembentukan genotipe hibrida, seleksi menggunakan metode single seed descent, transfer kromosom dari jenis gandum liar, serta transformasi gen menggunakan Agrobacterium. Tujuan dari pembentukan genotipe baru yang dihasilkan pun berbeda, antara lain meliputi daya hasil yang tinggi, ketahanan terhadap suhu tinggi, kekeringan, ketidaksuburan lahan, gulma, serta hama dan penyakit (OGTR 2008).

Penelitian tanaman gandum di Indonesia lebih difokuskan pada adaptasi terhadap lingkungan tropis yang kurang sesuai untuk pertumbuhannya, antara lain ketahanan terhadap suhu tinggi (Nur 2013) dan elevasi (Handoko 2007), ketersediaan nitrogen (Pratomo 2001), dan naungan (Pratiwi 2006). Penelitian gandum yang lain terutama di bidang bioteknologi juga telah dilakukan meliputi induksi kalus gandum (Sisharmini et al. 2010), kombinasi variasi somaklonal dan mutagenesis untuk gandum (Lestari 2012), serta embriogenesis somatik gandum (Pudjihartati & Herawati 2012), dan sebagainya. Persilangan pada gandum juga telah dilaporkan pada genotipe Oasis X HP1744, Dewata X Alibey (Natawijaya 2012), dan Selayar X Rabe (Mardiana 2015).

Beberapa penelitian menyebutkan tentang karakterisasi gandum, baik secara morfologi, karakter kuantitatif, maupun molekuler. Penelitian Anker et al. (2001) mengenai karakterisasi morfologi dan molekuler terhadap gandum yang resisten terhadap penyakit karat daun, kemudian penelitian Amir et al. (2014) mengenai karakterisasi fenotipik dan genotipik landrace gandum di Pakistan, dan masih banyak lagi. Studi mengenai genotipe-genotipe yang telah diuji pada berbagai elevasi di Indonesia sudah banyak dilakukan. Rahmah (2011) melaporkan gandum genotipe G-21, H-21, G-18, Basribey, dan Menemen mempunyai hasil produksi yang nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe Selayar sebagai kontrol di dataran rendah. Natawijaya (2012) menambahkan genotipe Oasis dan Alibey mempunyai jumlah biji per malai yang cukup tinggi di dataran rendah. Selain itu, penelitian Puspita (2013) menyatakan genotipe HP1744 juga mempunyai skor analisis urutan keempat berdasarkan bobot biji setelah Alibey, H-21, dan G-18 di elevasi rendah, sehingga berpotensi dikembangkan lebih lanjut. Penelitian lain oleh Putri et al. (2013), genotipe introduksi Jarissa mempunyai keunggulan dalam panjang malai dan jumlah spikelet, sedangkan oleh Batan (2013) dikembangkan genotipe lokal hasil iradiasi sinar gamma yakni Ganesha-1 yang mempunyai potensi hasil sebesar 6.4 ton/ha. Hingga saat ini, Indonesia telah melepas beberapa varietas gandum, antara lain Nias, Selayar, Dewata, Guri 1, Guri 2, Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, dan Guri 6 Unand.

2.5 Suhu Tinggi

Suhu yang tinggi merupakan salah satu faktor penghambat pertumbuhan tanaman, terutama gandum sebagai tanaman subtropis. Suhu merupakan faktor pembatas dalam segala bentuk proses biologis, dapat bersifat mengoptimalkan maupun merugikan. Suhu membatasi secara geografis tanaman untuk tumbuh dan menyebar. Studi menyatakan bahwa tanaman yang toleran suhu tinggi mempunyai


(30)

10

hasil (buah) yang ukurannya lebih kecil, dan umur berbunga yang cepat. Selain itu, patogen lebih cepat berkembang biak pada suhu yang tinggi (Grierson 2002).

Suhu erat kaitannya dengan aktifitas enzim. Semakin tinggi suhu, enzim akan bekerja lebih cepat. Namun karena enzim merupakan protein, maka enzim dapat terdenaturasi apabila suhu terlampau tinggi. Selain itu tingginya suhu dapat menurunkan tekanan osmotik sehingga aktifitas penyerapan air pada tanaman terganggu. Kemudian, suhu yang tinggi juga dapat meningkatkan transpirasi pada tanaman. Jika tidak diimbangi dengan kecukupan air maka tanaman akan mengalami dehidrasi (Taiz & Zeiger 2002).

Smith et al. (2002) menambahkan, metabolisme dan respirasi tumbuhan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Akibatnya penggunaan CO2 untuk pertumbuhan meningkat. Tanaman lebih banyak menggunakan energi untuk pertumbuhannya. Selain itu, pada awal fase perkecambahan, tumbuhan memerlukan suhu yang optimum. Bila suhu terlalu tinggi maka akan direspon sebagai keadaan yang kurang menguntungkan. Menurut Sharkey & Schrader (2006), suhu tinggi juga dapat menurunkan viabilitas polen sehingga tanaman mengalami kesulitan untuk melakukan reproduksi dengan normal. Selain itu pada proses fotosintesis, suhu tinggi akan menurunkan kemampuan transpor elektron dalam fotosistem II, merusak aparatus fotosintesis, dan enzim rubisco akan mengalami deaktivasi.

HSF (Heat Shock Factor) merupakan gen-gen yang bekerja pada level transkripsi yang mempengaruhi aktivasi gen-gen fungsional utama pengendali sifat toleransi cekaman pada makhluk hidup, terutama cekaman suhu tinggi. Gen-gen fungsional utama tersebut adalah golongan molecular chaperon yang berfungsi melindungi protein-protein dalam sel dari denaturasi akibat suhu tinggi, yaitu HSP (Heat Shock Protein). Dalam keadaan normal HSF berbentuk monomer berikatan dengan HSP, kemudian ketika aktif akan berubah menjadi bentuk trimer dan secara kompleks menentukan respon yang akan dilakukan terhadap adanya cekaman melalui gen HSP. Artinya, HSF berperan dalam memediasi ekspresi dari gen utama untuk merespon cekaman suhu tinggi. Adanya HSE (Heat Shock Element) yang berikatan dengan HSF pada bagian promotor HSP akan menentukan apakah gen tersebut akan diekspresikan atau dihambat. Ditemukan asosiasi antara HSF-1 dengan HSP90 pada tanaman Arabidopsis yang secara kompleks menentukan respon tanaman terhadap cekaman(Panchuk et al. 2012).


(31)

11

3 KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN KARAKTER

AGRONOMI BEBERAPA GENOTIPE GANDUM

(

Triticum aestivum

L.) DI DATARAN MENENGAH

Abstrak

Suhu tinggi merupakan salah satu faktor cekaman abiotik yang dihadapi tanaman gandum yang ditanam di Indonesia. Dataran tinggi yang merupakan lingkungan tumbuh optimum gandum di Indonesia memiliki kendala adanya persaingan dengan komoditas hortikultura. Dalam rangka pengembangan varietas gandum di Indonesia, pemuliaan tanaman gandum difokuskan untuk dapat menghasilkan genotipe adaptif dataran menengah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakter morfologi gandum kaitannya dengan suhu tinggi, mengetahui hubungan kekerabatan secara morfologi di antara genotipe introduksi gandum di Indonesia, serta mengetahui pertumbuhan gandum di dataran menengah, sebagai langkah awal dalam menentukan tetua dalam persilangan. Percobaan disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan dan faktor tunggal. Genotipe yang digunakan adalah tiga genotipe yang lebih awal diintroduksi (Nias, Selayar, dan Dewata), serta lima genotipe yang baru diintroduksi (Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, dan SBD). Genotipe gandum menunjukkan adanya keragaman berdasarkan delapan belas karakter morfologi yang diamati. Analisis filogenetik membentuk dua klaster utama yang mengelompokkan genotipe yang lebih awal diintroduksi terhadap genotipe yang baru diintroduksi, serta memperlihatkan hubungan kekerabatan yang jauh. Karakter kuantitatif pada genotipe yang baru diintroduksi memiliki nilai pengamatan lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe yang lebih awal diintroduksi, mengindikasikan adanya perbaikan karakter agronomi yang menunjang adaptasi gandum pada genotipe yang baru diintroduksi di Indonesia. Heritabilitas dan koefisien keragaman genetik yang tinggi terdapat pada karakter panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering malai, dan bobot biji. Genotipe Nias dan SBD dapat disilangkan untuk meningkatkan keragaman genetik, Guri 3 Agritan dan Guri 4 Agritan untuk karakter hasil, sedangkan untuk tujuan mengkombinasikan taraf toleransi suhu tinggi, karakter morfologi yang menunjang perbaikan adaptasi, serta karakter agronomi dapat dipilih Selayar dan Guri 4 Agritan.

Kata kunci : filogenetik, genotipe introduksi, kekerabatan, keragaman, suhu tinggi Abstract

High temperature is one of major abiotic stress factor for cultivation wheat in Indonesia. High altitude as optimum environment for wheat cultivation has competition with horticulture commodities. In order to develop wheat variety in Indonesia, plant breeding program focuses to create adaptive variety for mid-altitude. The main purposes of this research are to study morphological characters of wheat related to heat tolerance, study genetic relationship by morphological characterization between several introduced wheat genotypes in Indonesia, and


(32)

12

know wheat growth performance in mid-altitude. The experiment was arranged on a randomized complete block design with three replications and one factor. We used three earlier introduced genotypes (Nias, Selayar, and Dewata), and five recently introduced genotypes (Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand, and SBD). The wheat genotypes showed diversities in eighteen morphological characters. Phylogenetic analysis formed two major clusters grouping the earlier introduced genotypes and the recently introduced genotypes, and their genetic relationship had far distances. The recently introduced genotypes have higher quantitative characters than the earlier introduced genotypes, indicating that improvement for agronomical characters to be more adapted especially the new introduced wheat genotypes in Indonesia. High heritability and genetic diversity cofficient found in root length, root dry weight, crown dry weight, spike dry weight, and grain weight. Nias and SBD had good reasons to be choosen as parent for increasing genetic diversity, Guri 3 Agritan and Guri 4 Agritan for high yielding character, meanwhile Selayar and Guri 4 Agritan for combining heat tolerance, agronomical character, and morphological character. Key words : diversity, genetic relationship, high temperature, introduced genotype,

phylogenetic

3.1 Pendahuluan

Dataran rendah dan menengah pada umumnya memiliki rata-rata suhu lingkungan yang cenderung tinggi dibandingkan dengan dataran tinggi. Menurut Basu et al. (2014), suhu optimum yang mendukung pertumbuhan gandum adalah <24oC, dimana kondisi tersebut di Indonesia dapat diperoleh di dataran tinggi. Beberapa genotipe gandum tropika telah dikembangkan di Indonesia dan dapat berproduksi dengan baik di wilayah tropis dengan ketinggian >800 m dpl. Namun akibat persaingan dengan tanaman hortikultura di dataran tinggi yang lebih prospektif, maka pengembangan gandum diarahkan pada penanaman di dataran menengah hingga rendah. Penelitian Natawijaya (2012) pada gandum yang dibudidayakan pada dataran rendah di Indonesia memiliki produktivitas yang sangat rendah karena banyak floret yang hampa yang disebabkan oleh tingginya suhu lingkungan. Dataran menengah memiliki potensi untuk digunakan sebagai area pengembangan gandum karena memiliki suhu lingkungan rata-rata yang berkisar antara 21oC – 25oC (Sunarjono 2008). Oleh karena itu, diperlukan tanaman gandum yang adaptif dataran menengah (400-800 m dpl).

Beberapa varietas nasional gandum telah banyak dikembangkan dan saat ini seluruhnya merupakan hasil dari introduksi, varietas tersebut antara lain Nias, Selayar, dan Dewata yang berpotensi mampu menghasilkan produksi gandum sekitar 2.96 ton/ha yang dilepas pada tahun 1993 dan 2003, diikuti dengan dilepasnya varietas unggul baru (VUB) pada tahun 2014 yaitu Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, dan Guri 6 Unand yang berpotensi menghasilkan gandum rata-rata 3.8 ton/ha dengan potensi maksimal 8.6 ton/ha (Kementan 2015). Varietas gandum yang adaptif dataran menengah daerah tropis dapat dirakit dengan melakukan persilangan pada genotipe koleksi yang kemudian diseleksi sesuai dengan arah program pemuliaan. Persilangan yang dilakukan dalam pemuliaan tanaman terutama bertujuan untuk menciptakan keragaman yang tinggi


(33)

13 pada populasi F1 sebelum dilakukan seleksi. Oleh sebab itu persilangan perlu dilakukan pada genotipe koleksi gandum yang memiliki hubungan kekerabatan jauh. Informasi tersebut belum diketahui pada genotipe koleksi gandum Indonesia hasil introduksi, sehingga perlu dilakukan upaya untuk mempelajari keragaman diantara genotipe-genotipe gandum tersebut.

Karakterisasi merupakan bagian dari kegiatan pemuliaan tanaman yang menyumbangkan peran penting. Salah satu cara untuk mengetahui hubungan kekerabatan dan jarak genetik masing-masing genotipe koleksi adalah dengan melakukan karakterisasi morfologi. Dengan demikian pemilihan tetua dalam persilangan yang akan dilakukan dapat ditentukan dengan mudah terutama dengan tujuan meningkatkan keragaman genetik. Beberapa studi mengenai analisis keragaman genetik tanaman gandum menggunakan karakterisasi secara morfologi telah dilaporkan pada koleksi gandum durum (T. durum) (Aghaee et al. 2010), generasi F1 hasil persilangan gandum roti (T. aestivum L.) dengan T. tritordeum (Lima-Brito et al. 2006), dan koleksi gandum roti di Bulgaria (Desheva 2014). Studi mengenai morfo-fisiologi gandum-gandum Indonesia hasil introduksi juga telah dipelajari dengan beberapa parameter pengamatan seperti sudut daun bendera, luas daun bendera, tingkat kehijauan daun, dan heat unit yang dibutuhkan hingga panen (Altuhaish 2014). Deskripsi varietas gandum hasil introduksi yang dilakukuan di Indonesia belum dilaporkan mengenai informasi karakter agronomi di dataran menengah, sehingga penting untuk dilakukan studi mengenai hal tersebut. Penanaman gandum di dataran menengah telah dilaporkan oleh Altuhaish (2014) dan Mardiana (2015).

Persilangan pada gandum telah dilaporkan oleh Lukita (2016) pada genotipe Rabe (hasil introduksi tahun 1993) dengan Selayar (hasil introduksi tahun 2003) dimana keduanya diintroduksi pada tahun yang berbeda sangat jauh. Berdasarkan tahun lepas, biasanya morfologi tanaman setiap genotipe memiliki ideotype yang berbeda, hal ini dapat ditemukan pada tanaman kedelai hitam Indonesia, dimana uji daya hasil kedelai baru memiliki jumlah cabang, jumlah buku, dan jumlah polong yang lebih banyak dibandingkan dengan genotipe lama (Rusiva 2012). Penentuan ideotype tanaman dilakukan oleh pemulia yang disesuaikan dengan kebutuhan petani maupun konsumen, seringkali dilakukan dengan mengurangi bagian tanaman yang dinilai kurang ekonomis. Tanaman padi juga demikian, dimana varietas lama (tahun 1970-an) cenderung memiliki ideotype yang tinggi, malai diperoleh tergantung dari jumlah anakan (anakan banyak tetapi kurang produktif), serta malainya panjang, sedangkan padi tipe baru cenderung memiliki jumlah anakan yang sedikit dengan malai semuanya produktif sehingga lebat dan berdaya hasil tinggi, daun tebal dan berwarna hijau tua, perakaran dalam, serta batangnya pendek (Kementan 2015). Untuk mengetahui ideotype gandum yang diintroduksi pada tahun yang berbeda dapat dipelajari salah satunya dengan melakukan karakterisasi, baik secara morfologi maupun agronomi. Dengan mempelajari karakter morfologi gandum, formulasi ideotype yang tepat dalam menunjang pertumbuhannya di wilayah tropis diharapkan dapat dilakukan.

Sejauh ini, karakter yang digunakan untuk menyeleksi gandum toleran suhu tinggi adalah dengan melihat bobot biji, luas daun bendera, jumlah anakan produktif, dan rasio floret hampa (Natawijaya 2012). Karakter morfologi belum dilaporkan digunakan sebagai karakter seleksi di Indonesia. Produktivitas yang


(34)

14

tinggi dan sifat toleransi terhadap cekaman tertentu biasanya didukung oleh tipe arsitektur tanaman yang dapat diamati melalui karakter morfologinya. Beberapa karakter yang dapat dipertimbangkan dalam seleksi antara lain juntaian daun, warna daun, panjang akar, ketebalan lapisan lilin, lebar glume, umur berbunga, dan umur panen sebagai respon cekaman suhu tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar genotipe gandum hasil introduksi, mengetahui pertumbuhan gandum di dataran menengah, serta mempelajari karakter morfologi yang diduga dapat mendukung pertumbuhan gandum di wilayah tropis.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan Mei 2014 di rumah plastik Kebun Percobaan Sukamantri, Tamansari, IPB Bogor (540 m dpl). Penelitian disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan tiga ulangan dan faktor tunggal, yaitu genotipe gandum. Genotipe gandum yang digunakan terdiri atas tiga genotipe yang lebih awal diintroduksi (Nias, Selayar, dan Dewata), serta lima genotipe yang baru diintroduksi (Guri 3 Agritan, Guri 4 Agritan, Guri 5 Agritan, Guri 6 Unand,dan SBD) yang berasal dari negara yang berbeda (Tabel 3.1) (Lampiran 1). Setiap satu satuan percobaan per genotipe terdiri atas lima polybag berukuran 20 cm x 35 cm berisi media tanam dengan bobot + 5 kg berupa campuran tanah dengan pupuk kandang 3:1 (v/v).

Tabel 3.1 Informasi tahun introduksi dan asal genotipe gandum yang digunakan

Tahun

Introduksi Genotipe Nama galur/silsilah Asal

1993 Nias Nias Thailand

2003

Selayar HAHN/2*WEAVER CMBW 89

Y 01231-OTOPM-16Y-010M-1Y -010M

CIMMYT, Meksiko

Dewata DWR 162 India

2014

Guri 3 Agritan Munal CIMMYT, Meksiko

Guri 4 Agritan Ymh/Tob/Mcd/3/Lira/4/Finsi/5/ Babax/Ks93u76//Babax

CIMMYT, Meksiko

Guri 5Agritan H-20 Slovakia

Guri 6 Unand S-03 Slovakia

SBD Sbd*D/I/09/142 CIMMYT, Meksiko

Benih ditanam sebanyak tiga biji per polybag, lalu dijarangkan pada umur 2 minggu setelah tanam (MST). Penyiraman dilakukan dengan volume yang sama yaitu 100 mL per polybagdengan selang waktu penyiraman tergantung kebutuhan (tanah terlihat kering permukaan). Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea, SP-36, dan KCl dengan dosis masing-masing 1, 2, 1 g per polybag. Aplikasi pemupukan dilakukan dua kali, yakni 1/3 bagian pada saat tanam, dan 2/3 bagian pada saat umur 40 hari setelah tanam (HST). Pengendalian gulma dilakukan secara manual, pengendalian hama menggunakan pestisida berbahan aktif abamectin 18% dengan dosis 1 mL L-1 air.

Pengamatan karakter morfologi dilakukan berdasarkan deskriptor UPOV (2013) terhadap 23 karakter. Karakter-karakter tersebut meliputi:


(35)

15 1. Warna biji, diamati secara visual kelompok pada saat fase Z00

2. Intensitas antosianin pada koleoptil, diamati secara visual kelompok pada fase Z09-Z11

3. Tipe tumbuh tanaman, diamati secara visual kelompok pada fase Z25-Z29 (Gambar 3.1)

Gambar 3.1 Kategori tipe tumbuh tanaman gandum (Sumber: UPOV 2013)

4. Frekuensi kelengkungan daun bendera, diamati secara visual kelompok pada fase Z47-Z51

5. Intensitas antosianin pada auricle daun bendera, diamati secara visual kelompok pada fase Z49-Z51

6. Umur muncul malai, diamati secara pengukuran kelompok pada fase Z50-Z52

7. Glaukositas batang daun bendera, diamati secara visual kelompok pada fase Z60-Z65

8. Glaukositas permukaan daun bendera, diamati secara visual kelompok pada fase Z60-Z65

9. Intensitas rambut node teratas, diamati secara visual kelompok pada fase Z60-Z65

10. Glaukositas malai, diamati secara visual kelompok pada fase Z60-Z69 11. Glaukositas leher malai, diamati secara visual kelompok pada fase Z60-Z69 12. Panjang tanaman, diamati secara pengukuran kelompok pada fase Z75-Z92 13. Bentuk malai, diamati secara visual kelompok pada fase Z92 (Gambar 3.2)

Gambar 3.2 Kategori bentuk malai gandum (A) meruncing (B) fusiform, (C) paralel, (D) clavate lemah, dan (E) clavate kuat

(Sumber: UPOV 2013)

14. Densitas malai, secara visual kelompok diamati pada fase Z80-Z92 A B C D E


(36)

16

15. Keberadaan awn atau scur, diamati secara visual kelompok pada fase Z80-Z92 (Gambar 3.3)

Gambar 3.3 Kategori keberadaan awn dan scur gandum (A) tidak ada keduanya, (B) ada scur, dan (C) ada awn

(Sumber: UPOV 2013)

16. Panjang ujung awn atau scur, diamati secara visual kelompok pada fase Z80-Z92 (Gambar 3.4)

Gambar 3.4 Kategori panjang ujung awn atau scur gandum (A) sangat pendek, (B) pendek, (C) sedang, (D) panjang, dan (E) sangat panjang

(Sumber: UPOV 2013)

17. Warna malai, diamati secara visual kelompok pada fase Z80-Z92

18. Lebar bahu glume terbawah, diamati secara visual kelompok pada fase Z80-Z92 (Gambar 3.5)

Gambar 3.5 Kategori lebar bahu glume terbawah gandum (A) sangat sempit, (B) sempit, (C) sedang, (D) lebar, dan (E) sangat lebar

(Sumber: UPOV 2013)

A B C D E

A B C D E


(37)

17 19. Bentuk bahu glume terbawah, diamati secara visual kelompok pada fase

Z80-Z92 (Gambar 3.6)

Gambar 3.6 Kategori bentuk bahu glume terbawah gandum (A) sangat landai, (B) landai, (C) datar, (D) tinggi, dan (E) sangat tinggi

(Sumber: UPOV 2013)

20. Panjang paruh glume terbawah, diamati secara visual kelompok pada fase Z80-Z92 (Gambar 3.7)

Gambar 3.7 Kategori panjang paruh glume terbawah gandum (A) sangat pendek, (B) pendek, (C) sedang, (D) panjang, dan (E) sangat panjang

(Sumber: UPOV 2013)

21. Bentuk paruh glume terbawah, diamati secara visual kelompok pada fase Z80-Z92 (Gambar 3.8)

Gambar 3.8 Kategori bentuk paruh glume terbawah gandum (A) lurus, (B) menikung lemah, (C) menikung sedang, (D) menikung kuat, dan (E) geniculate

(Sumber: UPOV 2013)

22. Bentuk paruh lemma terbawah, diamati secara visual kelompok pada fase Z80-Z92

23. Tipe musim

A B C D E

A B C D E


(38)

18

Karakter kuantitatif yang diamati dibagi menjadi empat, yakni pengamatan karakter agronomi di fase vegetatif, fase generatif, pengamatan fisiologi, dan pengamatan data lingkungan.

1. Karakter Agronomi Fase Vegetatif

a. Tinggi tanaman : diamati setiap dua minggu, dihitung dari leher akar (tepat di atas permukaan tanah) sampai ujung daun tertinggi.

b. Jumlah daun : diamati setiap dua minggu, mulai daun terbawah sampai daun teratas yang sudah membuka sempurna.

2. Karakter Agronomi Fase Generatif

a. Jumlah anakan produktif: diamati pada saat panen, yakni keseluruhan jumlah anakan yang menghasilkan malai dalam satu rumpun.

b. Panjang akar : diukur pada saat panen, dihitung dari leher akar sampai ujung akar terpanjang.

c. Bobot kering akar, bobot kering malai, dan bobot kering tajuk : diukur pada saat panen dengan cara dioven 105oC selama 24 jam kemudian ditimbang.

d. Jumlah spikelet per malai : dihitung ketika seluruh bagian malai sudah keluar dari selubungnya secara sempurna

e. Panjang malai : diukur dari batas leher malai dengan spikelet pertama sampai ujung malai pada spikelet teratas

f. Jumlah biji per tanaman : jumlah biji tiap tanaman, dihitung ketika panen g. Bobot biji per tanaman : diukur ketika panen menggunakan timbangan h. Bobot 100 biji : ditimbang sebanyak jumlah biji yang didapatkan pada

setiap genotipe, kemudian dikonversi dengan rumus sebagai berikut: Bobot 100 biji =

i. Umur panen : dihitung sebagai umur panen apabila 50% populasi dalam satu satuan percobaan sudah siap panen.

3. Pengamatan Fisiologi

a. Kerapatan stomata : diamati pada daun bendera dengan cara mengoleskan kuteks transparan pada permukaan bawah daun dan ditempel pada solatip, diamati di bawah mikroskop.

b. Kerapatan trikoma : diamati pada daun bendera dengan cara mengoleskan kuteks transparan pada permukaan bawah daun dan ditempel pada solatip, diamati di bawah mikroskop.

Nilai pengamatan kerapatan stomata dan trikoma dihitung berdasarkan konversi jumlah terhadap luas bidang pandang dengan rumus menurut Evi (2012)

c. Tingkat kehijauan daun : diukur pada daun bendera dengan menggunakan SPAD, dilakukan di tiga titik daun yakni pangkal, tengah, dan ujung. 4. Pengamatan Data Lingkungan

Pengamatan data lingkungan dilakukan setiap dua hari per minggu selama penelitian dengan mengukur sebanyak tiga kali per hari yakni waktu pagi (08.00), siang (12.00), dan sore (17.00). Pengamatan data lingkungan yang dilakukan meliputi:

a. Suhu udara (oC) : diukur dengan menggunakan termometer ruang kemudian dirata-rata dengan rumus sebagai berikut, (Handoko 1993)


(1)

94

Putri NE, Chaniago I, Suliansyah I. 2013. Seleksi beberapa genotipe gandum berdasarkan komponen hasil di daerah curah hujan tinggi. J Agroteknologi. 4(1): 1-6.

Radstrom P, Lofstrom C, Lovenklev M, Knutsson R, Wolffs P. 2003. Strategies for Overcoming PCR Inhibition, PCR Primer: A Laboratory Manual. New York (US) : Cold Spring Harbor Laboratory Press.

Rahmah. 2011. Keragaman genetik dan adaptabilitas gandum (Triticum aestivum L.) introduksi di lingkungan tropis. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rous KH. 1995. Optimization and troubleshooting in PCR Primer. New York (US) : CSH Press.

Rusiva R. 2012. Uji daya hasil galur-galur harapan kedelai hitam (Glycine max (l.) Merr.) pada lahan kering di kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Saiki RK. 1989. The Design and Optimization of The PCR, In PCR Technology. New York (US): Stockton Press.

Samosir AP. 2011. Adaptabilitas genotipe gandum introduksi di Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sanchez-Hernandez C, Gaytan-Oyarzun JC. 2006. Two mini-preparation protocols to DNA extraction from plants with high polysaccharide and secondary metabolites. African Journal of Biotechnology. 5 (20): 1864-1867.

Saraswati IGAE, Pharmawati M, Junitha IK. 2012. Karakter morfologi tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) yang dipengaruhi sodium azida pada fase generatif generasi M1. Jurnal Biologi. 16(1) : 23-26.

Sawit MH. 2003. Kebijakan gandum/terigu: harus mampu menumbuh-kembangkan industri pangan dalam negeri. Analisis Kebijakan Pertanian. 1 (2): 57-66.

Scharf KD, Berberich T, Ebersberger I, Nover L. 2012. The plant heat stress transcription factor (Hsf) family: structure, function and evolution. Biochimica et Biophysica Acta. 1819: 104–119.

Schoffl F, Prandl R, Reindl A. 1998. Regulation of the Heat-Shock Response. Plant Physiology. 117: 1135-1141.

Sears RG, Deckard EL. 1981. Tissue culture variability in wheat: callus induction and plant regeneration. Crop Sci. 22(3): 546-550.

Setiawan RB. 2014. Induksi mutasi tanaman gandum (Triticum aestivum L.) melalui iradiasi sinar gamma secara in vitro untuk toleransi terhadap suhu tinggi. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Setiawan RB, Khumaida N, Dinarti D. 2015. Induksi mutasi kalus embriogenik gandum (Triticum aestivum L.) melalui iradiasi sinar gamma untuk toleransi suhu tinggi. J Agron Indonesia. 43(1): 36-44.

Sharker TD, Schrader SM. 2006. High temperature stress. Di dalam: Rao KVM, Raghavendra AS, Reddy KJ, editor. Physiology and Molecular Biology Of Stress Tolerance In Plants. Dordrecht (US): Springer.

Shu QY, Forster BP, Nakahawa H. 2012. Plant Mutation Breeding and Biotechnology. Wallingford (UK): CAB International dan FAO.


(2)

95 Sisharmini A, Apriana A, Sustiprijatno. 2010. Induksi kalus dan regenerasi beberapa genotipe gandum (Triticum aestivum L.) secara In Vitro. Jurnal AgroBiogen. 6(2): 57-64.

Smith BN, Harris LC, McCarlie VW, Stradling DL, Thygerson T, Walker J, Criddle RS, Hansen LD. 2002. Time, plant growth, respiration, and temperature. Di dalam: Pessarakli M, editor. Handbook of Plant and Crop Physiology. New York (US): Marcel Dekker, Inc.

Soedjono S. 2003. Aplikasi mutasi induksi dan variasi somaklonal dalam pemuliaan tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. 22(2): 70-78.

[SPI] Serikat Petani Indonesia. 2012. Tahun Inkonsistensi Kebijakan dan Kesejahteraan Petani yang Diabaikan. Catatan Akhir Tahun 2012: Pembangunan Pertanian, Perdesaan, dan Agraria. Jakarta (ID): DPP Serikat Petani Indonesia.

Sun HY, Liu CM, Zhang XY, Shen YJ, Zhang YQ. 2006. Effects of irrigation on water balance, yield and WUE of winter wheat in North China Plain. Agricultural Water Management. 85: 211-218.

Sunarjono H. 2013. Berkebun 26 Jenis Tanaman Buah. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology, 3rd ed. Sunderland (EN): Sinauer Associates.

Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: molecular evolutionary distance genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol Biol Evol. 28: 2731-2739.

Tarora K, Tamaki M, Shudo A, Urasaki N, Matsumura H, Adaniya S. 2010. Cloning of a heat stress transcription factor, CphsfB1, that is constitutively expressed in radicles and is heat-inducible in the leaves of Carica papaya. Plant Cell Tiss Organ Cult. 102: 69-77.

Thomason WE, Hughes KR, Griffey CA, Parrish DJ, Barbeau WE. 2009. Understanding pre-harvest sprouting of wheat. Virginia Tech. 424(60): 1-4. Tiwari RS, Picchioni GA, Steiner RL, Jones DC, Hughs SE, Zhang J. 2013.

Genetic variation in salt tolerance at the seedling stage in an interspecific backcross inbred line population of cultivated tetraploid cotton. Euphytica. 194: 1-11.

[UPOV] International Union for The Protection of New Varieties of Plants (Draft). 2013. Wheat. Geneva (CH): UPOV.

[USDA] United State Department of Agricultural. 2013. Indonesia grain and feed annual report 2013. GAIN Report: Global Agricultural Information Network Jakarta 4 November 2013.

Wahyu Y, Samosir AP, Budiarti SG. 2013. Adaptabilitas genotipe gandum introduksi di dataran rendah. Bul. Agrohorti. 1(1): 1-6.

Wang WX, Vinocur B, Altman A. 2003. Plant responses to drought, salinity and extreme temperatures: towards genetic engineering for stress tolerance. Planta. 218: 1–14.


(3)

96

Wang W, Vinocur B, Shoseyov O, Altman A. 2004. Role of plant heat-shock proteins and molecular chaperones in abiotic stress response. Trends Plant Sci. 9:244-252.

Wardani S. 2014. Identifikasi segregan transgresif gandum (Triticum aestivum L.) toleran suhu tinggi dan berdaya hasil tinggi di lingkungan tropika. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wu C. 1995. Heat stress transcription factors. Annu. Rev Cell Biol. 11: 441–469. Wulansari A, Purwito A, Husni A, Sudarmonowati E. 2015. Kemampuan

regenerasi kalus embriogenik asal nuselus jeruk siam serta variasi fenotipe tunas regeneran. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(1): 97-104.

Xing-Feng L, Bin D, Hong-Gang W. 2010. Awn anatomy of common wheat (Triticum aestivum L.) and its relatives. Caryologia. 63(4): 391-397. Xu K, Xu X, Fukao T, Canlas P, Rodriguez RM, Heuer S, Ismail AM, Serres JB,

Ronald PC, Mackill DJ. 2006. Sub1A is an ethylene-response-factor-like gene that confers submergence tolerance to rice. Nature. 442 : 705-709. Xue G, Sadat S, Drenth J, Mclntyre CL. 2013. The heat shock factor family from

Triticum aestivum in response to heat and other major abiotic stresses and their role in regulation of heat shock protein genes. Journal of Experimental Botany. (2013): 1-19.

Yahiaoui N, Srichumpa P, Dudler R, Keller B. 2004. Genome analysis at different ploidy levels allows cloning of the powdery mildew resistance gene Pm3b from hexaploid wheat. The Plant Journal. 37 : 528-538.

Yamin M. 2014. Pendugaan komponen ragam karakter agronomi gandum (Triticum aestivum l.) dan identifikasi marka simple sequence repeat (ssr) terpaut suhu tinggi menggunakan bulk segregant analysis (bsa). [tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Yanagisawa T, Kiribuchi-Otobe C, Hirano H, Suzuki Y, Fujita M. 2003. Detection of single nucleotide polymorphism (SNP) controlling the waxy character in wheat by using a derived cleaved amplified polymorphic sequence (dCAPS) marker. Theor Appl Genet. 107: 84-88.

Yunita R. 2009. Pemanfaatan variasi somaklonal dan seleksi in vitro dalam perakitan tanaman toleran cekaman abiotik. Jurnal Litbang Pertanian. 28(4): 142-148.

Zeiger E, Farquhar GD, Cowan IR. 1987. Stomatal Function. Palo Alto (US) : Stanford University Press.

Zeven AC. 1992. Variation observed among bread wheat plants found in durum fields on Rhodes in 1987. Genetic Resources and Crop Evolution. 39: 3-7. Zhang S, Xu Z, Li P, Yang L, Wei Y, Chen M, Li L, Zhang G, Ma Y. 2013.

Overexpression of TaHSF3 in Transgenic Arabidopsis Enhances Tolerance to Extreme Temperatures. Plant Mol Biol Rep 31: 688-697. Zhu B, Ye C, Lü H, Chen X, Chai G, Chen J. 2006. Identification and

characterization of a novel heat shock transcription factor gene, GmHsfA1, in soybeans (Glycine max). J Plant Res. 119: 247–256.


(4)

97

LAMPIRAN

Lampiran 1 Deskripsi Varietas Dewata, Selayar, dan Nias

Dewata Selayar Nias

Galur Asal DWR 162

(Introduksi dari India)

HAHN/2*WEAVER CMBW 89 Y 01231- OTOPM-16Y-010M-1Y-010M

Introduksi dari Thailand

Tahun lepas 2003 2003 1993

Waktu berbunga 59 HST 58 HST 53 HST

Waktu panen 129 HST 125 HST 114 HST

Tipe batang Kompak Kompak Kompak

Warna daun Hijau Hijau Hijau

Warna tangkai daun Hijau tua Hijau tua Hijau tua

Panjang malai 11 cm 10 cm 11 cm

Jumlah malai 390/m2 375/m2 364/m2

Jumlah biji/malai 47 butir 42 butir 36 butir

Warna biji Kuning

kecoklatan

Kuning kecoklatan

Kuning kecoklatan

Hasil 2.96 ton/ha 2.95 ton/ha 2.46 ton/ha

Bobot 1000 biji 46 g 46 g 40 g

Kandungan protein 13.94 % 11.7 % 13.97 %

Kandungan maltosa 3.19 % 1.9 % 3.12 %

Kandungan gluten 12.9 % 9.3 % 12.7 %


(5)

98


(6)

99

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 13 November 1991 dari Bapak Sarjiyatno dan Ibu Sri Rejeki. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas di Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Tahun 2010 penulis menyelesaikan sekolah dari SMAN 1 Kudus dan diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB melalui jalur undangan (USMI). Penulis mengikuti program fast track S1-S2 dan resmi masuk S2 pada tahun 2014. Program studi S2 yang diambil adalah Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman dengan beasiswa Fresh Graduate.

Selama kuliah, penulis aktif mengikuti organisasi diantaranya Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura (HIMAGRON) tahun 2011-2013 dan Keluarga Kudus Bogor Menara Kota (KKB MK) tahun 2010-2014. Penulis juga pernah mengajar di bimbingan belajar Statistic Center (SC) tahun 2012. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah, yaitu: Fisika Dasar untuk TPB IPB (2012-2013), Teknik Laboratorium dalam Bioteknologi Tanaman (2016), dan Fisiologi Cekaman Tanaman (2016). Prestasi yang pernah diraih yaitu Juara I Lomba Essay Let’s Fight Against Drugs tingkat mahasiswa TPB pada tahun 2011, serta berpartisipasi dalam program Cooperative Laboratory Study (COLABS) selama 1 semester di Tohoku University, Sendai, Jepang, dengan beasiswa JASSO (2015-2016).