Pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap tingkat kemiskinan di Wilayah Nusa Tenggara

i

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN
DI WILAYAH NUSA TENGGARA

MOCHAMAD FITRA HARDIANSYAH

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Tata Kelola
Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Kemiskinan di Wilayah Nusa Tenggara
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Nopember 2014
Mochamad Fitra Hardiansyah
NIM H14100036

ABSTRAK
MOCHAMAD FITRA HARDIANSYAH. Pengaruh Tata Kelola Ekonomi
Daerah Terhadap Tingkat Kemiskinan di Wilayah Nusa Tenggara. Dibimbing
oleh DEWI ULFAH WARDANI
Kemiskinan menjadi indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Di
semua negara, kemiskinan menjadi permasalahan ekonomi yang harus
diselesaikan. Penelitian ini menganalisis pengaruh TKED terhadap tingkat
kemiskinan di wilayah Nusa Tenggara dengan metode Analisis Regresi Berganda
dan menganalisis perkembangan TKED dengan metode uji beda. Hasil estimasi

menunjukan 4 variabel sub-indeks TKED berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap tingkat kemiskinan. Akan tetapi 3 variabel berpengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Sementara 2 sisa variabel lainnya tidak
berpengaruh signifikan. Berdasarkan hasil uji beda, sub-indeks infrastruktur
daerah, perizinan usaha, biaya transaksi serta keamanan dan penyelesaian konflik
membaik pada tahun 2011 karena mengalami peningkatan rata-rata yang
signifikan. Akan tetapi sub-indeks kapasitas dan integritas bupati/walikota
mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2011. Sementara sisanya yakni
sub-indeks akses lahan, peraturan daerah, interaksi pemda dengan pelaku usaha
serta program pengembangan pelaku usaha swasta tidak mengalami perubahan
yang signifikan.
Kata Kunci : Analisis Regresi Berganda, Kemiskinan, TKED, Uji Beda, Uji
Ekonometrika
ABSTRACT
MOCHAMAD FITRA HARDIANSYAH. Impact of Local Economic
Governance on Poverty Rate in Region of Nusa Tenggara. Supervised by DEWI
ULFAH WARDANI
Poverty is an indicator of the rate of social welfare. In all countries, poverty
becomes economic problems to be solved. This research analyzed the effect of
Local Economic Governance on poverty rates in the region of Nusa Tenggara with

Multiple Regression Analysis method and analyze the development of local
economic governance with t-test. Resuts shows that 4 the sub-indexs variables
TKED are significant negative impact on poverty rates. However, three variables
are positive and significant impact on poverty rates. While 2 other variables had
no significant effect. Based on the t-test, the sub-index of the region's
infrastructure, business licensing, transaction costs as well as security and conflict
settlement are improved in 2011 because of an increase in the average
significantly. However, the sub-index of the capacity and integrity of regents /
mayors decrease significatly in 2011. While the rest of the sub-indexs of land
access, local regulations, local government interaction with entrepreneurs and
private businesses development program did not change significantly.
Keywords : Multiple Regression Analysis, Poverty, Local Economic Governance,
t-test, Test Econometric

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN
DI WILAYAH NUSA TENGGARA

MOCHAMAD FITRA HARDIANSYAH


DEPARTEMEN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah Pengaruh
Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan di Wilayah Nusa
Tenggara.
Terima Kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si selaku
pembimbing selama proses penyelesaian skripsi, Komite Pemantau Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD), Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah membantu dan
memberikan dta informasi dalam proses pengumpulan data penelitian. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada bapak tercinta Uju Juansyah dan Ibu tercinta
Subaikah, S.Pd. serta adik-adik tercinta yakni Rani Dewi Rubianti dan Rival Fauzi
Rahman yang senantiasa mendoakan dan memberikan kasih sayang. Kepada teman
sebimbingan skripsi yakni Egi, Shinta, Diyane, Dessy dan Kak Gress yang telah

membantu dan memberikan segala saran dalam penyusunan penulisan skripsi.
Kepada sahabat terbaik Ajron, Hariz, Riki, Adit, Mirsad, Kautsar, Rouuf, Lundu,
Sarifah, Dila, Ulfa, Dara, AR, keluarga Ilmu Ekonomi 47, Formasi 2013-2014 dan
Pondok Pesantren Al-Ihya yang selalu memberikan motivasi, nasehat dan
mendoakan yang terbaik bagi Penulis.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Nopember 2014
Mochamad Fitra Hardiansyah
NIM H14100036

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Tata Kelola Ekonomi Daerah

Trickle Down Effect
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
METODE PENELITIAN
Jenis Dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisi Uji Beda Tahun 2007 dan 2011
Analisis Regresi Berganda
Uji Ekonometrika
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan TKED di Wilayah Nusa Tenggara
Kondisi Kemiskinan di Wilayah Nusa Tenggara tahun 2011
Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat
Kemiskinan di Wilayah Nusa Tenggara
Uji Ekonometrika
Analisis Regresi Berganda
PENUTUP
Simpulan

Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

1
1
3
4
4
4
4
4
5
9
9
12
13
13
13

13
13
14
14
15
16
16
21
22
23
23
26
26
27
27
29
36

DAFTAR TABEL
1. Tingkat kemiskinan Tingkat Kemiskinan menurut provinsi tahun 2011

2. Variabel-Variabel Pembentuk Akses Lahan
3. Variabel-Variabel Pembentuk Infrastruktur Daerah
4. Variabel-Variabel Pembentuk Perizinan Usaha
5. Variabel-Variabel Pembentuk Peraturan Daerah
6. Variabel-Variabel Pembentuk Biaya Transaksi
7. Variabel-Variabel Pembentuk Kapasitas Dan Integritas Bupati/Walikota
8. Variabel-Variabel Pembentuk Interaksi Dan Pengembangan Pelaku Usaha
9. Variabel-Variabel Pembentuk Program Pengembangan Usaha Swasta
10. Variabel-Variabel Pembentuk Keamanan Dan Penyeleseaian Konflik
11. Uji Beda Sub Indeks Akses Lahan Tahun 2007 dan 2011
12. Uji Beda Sub Indeks Infrastruktur Daerah Tahun 2007 dan 2011
13. Uji Beda Sub Indeks Perizinan Usaha Tahun 2007 dan 2011
14. Uji Beda Sub Indeks Peraturan Daerah Tahun 2007 dan 2011
15. Uji Beda Sub Indeks Biaya Transaksi Tahun 2007 dan 2011
16. Uji Beda Sub Indeks Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota
Tahun 2007 dan 2011
17. Uji Beda Sub Indeks Interaksi dan Pelaku Usaha Tahun 2007 dan 2011
18. Uji Beda Sub Indeks Program Pengembangan Usaha Swasta
Tahun 2007 dan 2011
19. Uji Beda Sub Indeks Keamanan dan Penyeleseaian Konflik

Tahun 2007 dan 2011
20. Nilai Estimasi

1
6
6
7
7
7
8
8
8
8
17
17
18
18
19
20
20

21
21
24

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pemikiran
2. Kondisi Kemiskinan di NTB dan NTT

12
22

DAFTAR LAMPIRAN
1. Skor Sub-indeks TKED tahun 2011
2. Skor Sub-indeks TKED tahun 2007
3. Data Kemiskinan Kabupaten /Kota di Wilayah Nusa Tenggara
4. Uji Kenormalan
5. Uji White (Heteroskedastisitas)
6. Autokorelasi
7. Multikolinearitas
8. Uji Beda DI Wilayah Nusa Tenggara tahun 2007 dan 2011
9. Uji Beda Provinsi NTB tahun 2007 dan 2011
10. Uji Beda Provinsi NTT tahun 2007 dan 2011
11. Peta Wilayah Nusa Tenggara

29
30
31
32
32
32
33
33
34
34
35

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang
menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Kemiskinan adalah
situasi serba kekurangan dari penduduk yang disebabkan oleh terbatasnya modal
yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas,
rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi penduduk miskin, dan
terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan.
Rendahnya
pendapatan penduduk miskin mengakibatkan rendahnya pendidikan dan kesehatan
sehingga mempengaruhi produktivitas mereka yang sudah rendah dan
meningkatkan beban ketergantungan bagi masyarakat. Penduduk yang masih
berada di bawah garis kemiskinan mencakup mereka yang berpendapatan sangat
rendah, tidak berpendapatan tetap, atau tidak berpendapatan sama sekali.
Tabel 1 Persentasi Kemiskinan Menurut Provinsi Tahun 2011 (persen)
Tingkat
Tingkat
Provinsi
Provinsi
Kemiskinan
Kemiskinan
DKI Jakarta
3.75 Sulawesi Barat
13.89
Bali
4.2 Jawa Timur
14.23
Kalimantan Selatan
5.29 Sumatra Selatan
14.24
Bangka Belitung
5.75 Sulawesi Tenggara
14.56
Banten
6.32 Jawa Tengah
15.76
Kalimantan Tengah
6.56 Sulawesi Tengah
15.83
Kalimantan Timur
6.77 DI Yogyakarta
16.08
Kepulauan Riau
7.4 Lampung
16.93
Riau
8.47 Bengkulu
17.5
Sulawesi Utara
8.51 Gorontalo
18.75
Kalimantan Barat
8.6 Aceh
19.57
Jambi
8.65 NTB
19.73
Sumatra Barat
9.04 NTT
21.23
Maluku Utara
9.18 Maluku
23
Sulawesi Selatan
10.29 Papua Barat
31.92
Jawa Barat
10.65 Papua
31.98
Sumatra |Utara
11.33 Rata-rata
12.49
Sumber : BPS 2011

Tingkat kemiskinan di wilayah Nusa Tenggara mencapai lebih dari ratarata kemiskinan Indonesia sebesar 12,49 % dimana tingkat kemiskinan di NTB
sebesar 19,73% berada di urutan termiskin ke 5 sedangkan NTT sebesar 21,23 %
berada di urutan termiskin ke 4 di Indonesia. Padahal Wilayah Nusa Tenggara
memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Tanah yang subur, daerah
yang kaya akan mineral dan tambang, laut yang kaya akan mutiara, wilayah
sabana yang luas untuk perternakan, memiliki pantai yang sangat indah dan
kondisi sosial masyarakat yang harmonis. Dengan kekayaan sumber daya alam
yang sangat berlimpah, sudah seharusnya daerah tersebut menjadi daerah yang

2

sangat makmur. Masih banyaknya kekayaan alam yang belum digali dan
dimanfaatkan secara maksimal membuat masyarakat di wilayah Nusa Tenggara
berpendapatan rendah.
Mencermati tingkat dan jumlah kemiskinan yang tinggi di wilayah Nusa
Tenggara, maka efektivitas program pengentasan kemiskinan tidak dapat lepas
dari peranan aktif pemerintah daerah, baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Diperlukan partisipasi aktif dari Pemerintah Daerah dan
Masyarakat untuk mempertajam program dan target penerima sasaran melalui
inisiatif dan kearifan lokal.
Strategi pembangunan ekonomi suatu Negara akan terpusat pada upaya
pembentukan modal, serta bagaimana menanamkannya secara seimbang,
menyebar, terarah, dan memusatkan, sehingga dapat menimbulkan efek
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi tolak ukur utama bagi
keberhasilan pembangunan. Harapannya masyarakat dapat merasakan atau
menikmati pertumbuhan ekonomi melalui proses merambat ke bawah (trickle
down effect). Peran serta pemerintah dalam pembuatan kebijakan menjadi alat
untuk memberantas kemiskinan. Di era otonomi daerah, pemerintah daerah
memiliki keleluasaan dalam perumusan permasalahan dan kebijakan
pembangunan perekonomian. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektifitas pelaksanaan
pembangunan perekonomian, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam mengentaskan kemiskinan dan
memperbaiki kualitas hidup manusia yang diukur indeks pembangunan manusia
(IPM) mutlak diperlukan intervensi negara dan program khusus yang menyentuh
langsung masyarakat (Boediono 2012).
Dalam mengukur tata kelola pemerintah di bidang ekonomi, sejak tahun
2001 sampai tahun 2011 KPPOD (Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi
Daerah) bekerjasama dengan The Asia Foundation meneliti dan memberikan
gambaran terkait Tata Kelola Ekonomi Daerah. Hal ini dapat digunakan sebagai
basis bagi pemerintahan daerah untuk melaksanakan reformasi tata kelola
pemerintahan. Pemerintahan kabupaten/kota diharapkan dapat mengidentifikasi
dan memprioritaskan faktor-faktor yang dianggap penting oleh pelaku usaha, dan
selanjutnya merumuskan kebijakan serta upaya-upaya reformasi yang dapat
dilaksanakan untuk memperbaiki iklim usaha di daerah.
Upaya-upaya perbaikan tersebut dilakukan bersama-sama stakeholders
yang ada di daerah melalui dialog yang konstruktif antara pelaku usaha dan
pemerintah dalam mengatasi kendala usaha di daerah. Diharapkan juga dapat
mendorong kompetisi antar daerah yang sehat dalam menciptakan iklim usaha
yang kondusif, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan daya saing ekonomi
nasional. Pemerintah provinsi dan pusat diharapkan dapat memfasilitasi proses
belajar bersama, sehingga kabupaten/kota yang satu dapat belajar dari yang lebih
maju. Selain itu, hasil studi ini juga dapat digunakan oleh pemerintah pusat dan
provinsi sebagai bagian dari pemantauan dan evaluasi pemerintah daerah. Lebih
jauh lagi, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan insentif dan
disinsentif fiskal maupun non-fiskal kepada pemerintah kabupaten/kota. Prioritas
fasilitasi dan bantuan teknis dari segi lokasi maupun aspek tata kelola ekonomi
daerah juga dapat direncanakan berdasarkan hasil studi ini (KPPOD 2011).
Mengingat pentingnya tata kelola ekonomi daerah, maka penelitian ini
ingin mengkaji sejauh mana pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)
terhadap tingkat kemiskinan berdasarkan atas penelitian yang dilakukan KPPOD
tahun 2007 dan 2011. Pada penelitian ini mencakup 29 kabupaten/kota di wilayah
Nusa Tenggara yang dijadikan sebagai objek penelitian ini.

3

Perumusan Masalah
Untuk Percepatan Penanggulangan Kemiskinan telah dikeluarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010. Disadari bahwa
kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang mendesak dan memerlukan
langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu dan
menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga
negara secara layak melalui pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan
untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat. Strategi percepatan
penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan : (1) mengurangi beban
pengeluaran masyarakat miskin, (2) meningkatkan kemampuan dan pendapatan
masyarakat miskin, (3) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha
Mikro dan Kecil, (4) mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan.
Otonomi daerah yang terjadi di tengah persaingan global yang ketat,
memerlukan peran Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memperbaiki TKED
dengan mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
Wilayah pemerintahan daerah kabupaten relatif lebih luas daripada wilayah
pemerintahan daerah kota. Oleh karenanya, di wilayah kabupaten banyak terdapat
desa tertinggal, untuk menjangkau pemerataan pembangunan di seluruh wilayah
dibutuhkan anggaran yang lebih besar. Dana yang tersedia tidak cukup untuk
membenahi program pemerataan ekonomi di daerah tertinggal.
Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan berdasarkan kabupaten/kota di
wilayah Nusa Tenggara sangat tinggi melebihi rata-rata kemiskinan di Indonesia
sebesar 12,49 % pada tahun 2011. Dua puluh empat dari 29 kabupaten di wilayah
Nusa Tenggara memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata kemiskinan
Indonesia. Bahkan diantaranya memiliki kemiskinan mencapai 39.27 % yakni
Kabupaten Lombok Utara, NTB.
Menurut KPPOD, nilai indeks TKED terkecil di wilayah Nusa Tenggara
adalah Kabupaten Lombok Tengah Hal ini mengindikasikan buruknya kualitas
pelayanan publik, rendahnya infrastruktur daerah ,rendahnya tingkat pertumbuhan
ekonomi dan kinerja pemerintah dan sebagainya. Selain itu perkembangan TKED
di wilayah Nusa Tenggara tahun 2007 dan 2011, sebagian kabupaten/kota
mengalami penurunan dan peningkatan.
Keberhasilan potensi ekonomi daerah akan bergantung pada bagaimana
daerah menyusun dan mengelola wilayahnya, termasuk strategi tata kelola
ekonomi daerah demi meningkatkan investasi dan minat investor. Sesuai dengan
kerangka desentralisasi fiskal, politik, dan administrasi, strategi penanggulangan
kemiskinan salah satunya adalah perencanaan tata kelola ekonomi daerah yang
akurat dan tepat sasaran sebagai program pembangunan pemerintah. Tingginya
tingkat kemiskinan di wilayah Nusa Tenggara mungkin disebabkan oleh
rendahnya kualitas Tata Kelola Ekonomi Daerah di wilayah Nusa Tenggara.
Ketika kualitas berubah di tahun 2007 dan tahun 2011 mungkin disebabkan oleh
kinerja pemerintahannya dalam mengevaluasi setiap kebijakan dalam mengelola
ekonomi daerahnya.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan maka permasalahan pokok yang
akan diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana perkembangan Tata Kelola Ekonomi Daerah wilayah Nusa
Tenggara di tahun 2007 dan 2011 ?
2. Bagaimana pengaruh tata kelola ekonomi daerah kota dan kabupaten
terhadap tingkat kemiskinan di wilayah Nusa Tenggara tahun 2011 ?

4

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan tata kelola ekonomi
daerah wilayah Nusa Tenggara di tahun 2007 dan 2011
2. Menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah kabupaten/kota
terhadap tingkat kemiskinan di wilayah Nusa Tenggara tahun 2011
Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menetapkan kebijakan seputar pengembangan Tata
Kelola Ekonomi Daerah yang dalam usaha mengurangi kemiskinan dan
sebagai bahan evaluasi dalam menetapkan kebijakan di masa yang akan
datang.
2. Bagi para akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
referensi dan informasi bagi penelitian-penelitian lainnya.
3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
informasi dan pengetahuan umum mengenai kondisi perkembangan
Kemiskinan dan Tata Kelola Ekonomi Daerah wilayah Nusa Tenggara

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini difokuskan menganalisis pengaruh tata kelola
ekonomi daerah terhadap tingkat kemiskinan pada tahun 2011 di Wilayah Nusa
Tenggara dengan metode regresi linear berganda dan menganalisis perkembangan
tata kelola ekonomi daerah pada tahun 2007 dan 2011 dengan metode uji beda.
Variabel TKED yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sembilan aspek
sebagai berikut : akses lahan, infrastruktur, perizinan usaha, kualitas peraturan di
daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda
dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta serta keamanan dan
penyelesaian konflik.

TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan
untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang
rendah berkaitan pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit (kemiskinan),
perumahan yang kurang layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk,
tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya
sumber daya manusia dan banyaknya pengangguran. Tingkat standar hidup dalam
suatu negara bisa diukur dari beberapa indikator antara lain Gross National
Product (GNP) per capita, pertumbuhan relatif nasional dan pendapatan per

5

kapita, distribusi pendapatan nasional, tingkat kemiskinan, dan tingkat
kesejahteraan masyarakat. Langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam
usahanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan yaitu
menambah kapital atau mengadakan investasi baru dalam sektor tertentu. Peranan
pemerintah dan sektor swasta memberikan andil yang cukup besar dalam rangka
penanaman modal atau investasi demi bertambahnya lapangan kerja di berbagai
sektor ekonomi.
Menurut Todaro (1997) menyatakan bahwa variasi kemiskinan di negara
berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan geografis,
jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah
oleh Negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan
kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan
negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada
kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian
kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri.
Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu :
a. Kemiskinan absolut
Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan
kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar
minimum memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian
kemiskinan dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat
pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni
makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya.
Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan apabila seseorang tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup minimum, memelihara fisik, sehingga tidak dapat bekerja penuh dan
efisien. Kemiskinan jenis ini ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang.
Nutrisi akan mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan terutama untuk dapat
bekerja.
b. Kemiskinan relatif
Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang
sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih
rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar
ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah
maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin,
sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi
pendapatan.
Williamson dalam Adianti (2005) mengatakan bahwa penduduk tanpa
sumberdaya ekonomi untuk hidup dengan standar kehidupan yang layak disebut
sebagai orang miskin. Aluko dalam Adianti (2005) menyatakan bahwa
kemiskinan sebagai kekurangan dari konsumsi kebutuhan-kebutuhan dasar.
Dengan kata lain adalah kekurangan dalam konsumsi makanan, pakaian, atau
tempat tinggal. Kemiskinan juga didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk
mendapatkan standar kehidupan minimum.
Tata Kelola Ekonomi Daerah
Indikator yang menggambarkan Tata Kelola Ekonomi Daerah
dikelompokkan dalam sembilan aspek diantaranya : akses lahan, infrastruktur,

6

perizinan usaha, kualitas peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan
integritas bupati/walikota, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program
pengembangan usaha swasta serta keamanan dan penyelesaian konflik.
Studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) bertujuan untuk memberikn
gambaran mengenai kualitas tata kelola ekonomi daerah yang diharapkan dapat
menciptakan iklim kompetisi antar kabupaten/kota yang sehat. Bagi pemerintah
provinsi hasil TKED dapat digunakan sebagai salah satu alat pemantauan kinerja
kabupaten/kota dan dapat digunakan untuk menentukan prioritas dari sisi aspek
TKED maupun lokasi, fasilitasi dan dukungan bagi kabupaten/kota dalam
memperbaiki kinerjanya. Bagi pelaku usaha, hasil studi TKED diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai kualitas tata kelola ekonomi di masing-masing
kabupaten/kota yang dapat membantu mereka melakukan keputusan investasi,
pengembangan usaha dang mengurangi kemiskinan.
KPPOD bekerjasama dengan The Asia Foundation berupaya mendorong
perbaikan tata kelola ekonomi daerah guna meningkatkan iklim investasi
Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan sejumlah kajian
terkait dengan iklim investasi daerah di Indonesia. Upaya ini mulai dilakukan
sejak tahun 2001 melalui studi Daya Tarik Investasi Daerah, yang pada tahun
2007 disempurnakan menjadi studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED). Pada
tahun 2007, studi TKED dilaksanakan di 243 kabupaten/kota di Indonesia.
Metodologi yang sama digunakan untuk studi TKED pada 23 kabupaten/kota di
Aceh pada tahun 2008 dan 2010 (termasuk dua kabupaten di Pulau Nias,
Sumatera Utara).
Tata Kelola Ekonomi ekonomi dinilai atas indikator yang telah ditentukan
Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah. Berikut Indikator TKED yang
telah ditetapkan leh KPPOD :
1. Akses Lahan
Tabel 2 Variabel-variabel pembentuk akses lahan
Variabel Pembentuk Akses Lahan
(1) Waktu yang diperlukan untuk mengurus sertifi kat tanah;
(2) Kemudahan untuk mendapatkan tanah;
(3) Frekuensi penggusuran tanah;
(4) Frekuensi kasus konflik kerjasama atas penggunaan tanah; dan
(5) Penilaian keseluruhan atas dampak lahan terhadapkelangsungan usaha.

2. Infrastruktur Daerah
Tabel 3 Variabel-variabel pembentuk infrastruktur daerah
Variabel Pembentuk Akses Lahan
(1) Tingkat kualitas infrastruktur daerah;
(2) Lama perbaikan infrastruktur daerah bila mengalami kerusakan;
(3) Tingkat pemakaian genset;
(4) Lamanya (frekuensi) pemadaman listrik; dan
(5) Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan.

7

3. Perizinan Usaha
Tabel 4 Variabel-variabel pembentuk perizinan usaha
Variabel Perizinan Usaha
(1) Persentase perusahaan yang mempunyai Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
(2) Persepsi kemudahan memperoleh TDP dan rata-rata waktu perolehan TDP;
(3) Tingkat biaya dan persepsi terhadap biaya TDP yang memberatkan usaha;
(4) Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas kolusi, efisien dan bebas
pungutan liar (pungli);
(5) Persentase keberadaan mekanisme pengaduan; dan
(6) Persentase tingkat hambatan izin usaha terhadap usaha.
4. Peraturan di Daerah
Tabel 5 Variabel-variabel pembentuk peraturan di daerah
Aspek Yuridis
1. Relevansi acuan yuridis
2. Penggunaan acuan yuridis yang terbaru (up-to-date)
3. Kelengkapan yuridis
Aspek Subtansi
4. Keterkaitan tujuan dan isi
5. Kejelasan obyek
6. Kejelasan subyek
7. Kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut atau pemda
8. Kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur, atau struktur dan standar tarif
9. Kesesuaian filosofi dan prinsip pungutan
Aspek Prinsip
10. Keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip perdagangan domestik
yang bebas (free internal trade)
11. Persaingan sehat
12. Dampak ekonomi negatif
13. Hambatan akses masyarakat dan kepentingan umum (misalnya, lingkungan
hidup)
14. Pelanggaran kewenangan pemerintahan
5. Biaya Transaksi
Tabel 6 Variabel-variabel pembentuk biaya transaksi
Variabel Pembentuk Biaya Transaksi
(1) Pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha;
(2) Profesionalisme birokrat daerah;
(3) Tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri;
(4) Ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya;
(5) Karakter kepemimpinan kepala daerah; dan
(6) Hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha.

8

6. Kapasitas dan Integritas Bupati/walikota
Tabel 7 Variabel-variabel pembentuk Kapasitas dan Integrasi Bupati/walikota
Variabel Pembentuk Kapasiats dn Integritas Bupati/walikota
(1) Tingkat hambatan retribusi daerah terhadap kinerja
perusahaan;
(2) Tingkat pembayaran donasi terhadap pemda;
(3) Tingkat hambatan donasi/sumbangan kepada pemda terhadap kinerja
perusahaan;
(4) Pembiayaan biaya informal pelaku usaha terhadap kepolisian; dan
(5) Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan.
7. Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha
Tabel 8 Variabel-variabel pembentuk Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha
Variabel Pembentuk Kapasiats dan Integritas Bupati/walikota
(1) Keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha;
(2) Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh pemda;
(3) Tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha daerah;
(4) Tingkat kebijakan pemda yang berorientasi untuk mendorong iklim
investasi;
(5) Tingkat kebijakan non-diskriminatif pemda;
(6) Tingkat pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran dunia usaha;
(7) Tingkat kepastian hukum pemda terkait dunia usaha; dan
(8) Tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha.
8. Program Pengembangan Usaha Swasta
Tabel 9. Variabel-Variabel Pembentuk Program Pengembangan Usaha Swasta
Variabel Pembentuk Program Pengembangan dengan Pelaku Usaha
(1) Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS;
(2) Tingkat partisipasi dalam PPUS;
(3) Tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha; dan
(4) Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan.
9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik
Tabel 10. Variabel-Variabel Pembentuk Keamanan Dan Penyelesaian
Konflik
Variabel Pembentuk Keamanan dan Penyelesaian Konflik
(1) Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha;
(2) Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi;
(3) Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi; dan
(4) Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian konfl ik
terhadap kinerja perusahaan.

9

Trickle Down Effect
Trickle down effect merupakan sistem Pertumbuhan ekonomi hasil dari
pembangunan yang akan dinikmati oleh si miskin melalui proses merambat ke
bawah (trickle down effect) atau melalui tindakan pemerintah mendistribusikan
hasil pembangunan. Ketimpangan atau ketidakmerataan adalah prasyarat atau
kondisi yang harus terjadi guna memungkinkan terciptanya pertumbuhan, yaitu
melalui proses akumulasi modal oleh lapisan kaya. Kenaikan kapasitas atau
kemampuan ekonomi masyarakat kaya akan menggulirkan (trickle down)
peningkatan kesejahteraan pula pada kalangan menengah ke bawah. Kebijakan
trickle down effect menempatkan masyarakat kaya sebagai ujung tanduk
pembangunan perekonomian.

Penelitian Terdahulu
Istiandari (2009) menganalisis tentang Tata Kelola Ekonomi Daerah dan
Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia. PDRB Perkapita dan Tingkat Kemiskinan
dijadikan variabel untuk mewakili tingkat kesejahteraan daerah, sementara Indeks
TKED dijadikan variabel penjelas disamping beberapa variabel lainnya yaitu
PAD dan IPM. Model menggunakan dummy daerah kabupaten-kota, Untuk
melihat apakah ada perbedaan pengaruh Indeks TKED antara daerah Kabupaten
dan Kota. Hasil estimasi untuk menjelaskan hubungan antara PDRB Perkapita
dengan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah. memperlihatkan bahwa selain tata
kelola ekonomi (TKED), variabel IPM dan PAD yang berasal dari kekayaan alam
daerah memiliki hubungan yang signifikan terhadap laju pertumbuhan PDRB per
kapita. Dampak yang berasal dari kedua variabel endowment tersebut bersifat
positif yang mengindikasikan bahwa daerah yang memiliki kualitas sumber daya
manusia yang tinggi dan jumlah kekayaan alam yang melimpah merupakan
daerah dengan laju pertumbuhan pendapatan per kapita yang tinggi, demikian
pula sebaliknya. Sementara dampak positif yang berasal dari variabel dummy
yang berinteraksi dengan TKED mengindikasikan bahwa di wilayah kota, tata
kelola ekonomi daerah lebih cepat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan PDRB.
Tingkat kesejahteraan masyarakat juga dapat dilihat dari tingkat kemiskinan suatu
daerah. Berbeda dengan PDRB Perkapita, tingkat kesejahteraan memiliki
hubungan yang bersifat negatif dengan kemiskinan.
Chairul et al. (2013) menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi
terhadap kemiskinan secara langsung, selanjutnya menganalisis pengaruh
investasi dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi, serta bagaimana
pengaruh estimasi pertumbuhan ekonomi hasil analisis variabel investasi dan
tenaga kerja terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan data sekunder berupa data time series, 1980-2010, yaitu data
investasi asing langsung (FDI), investasi pemerintah, tenaga kerja, PDB, dan
kemiskinan. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square
(OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pertumbuhan ekonomi
(PDB) terhadap tingkat kemiskinan secara langsung sangat kecil namun
hubungannya negatif dan signifikan. FDI, investasi pemerintah dan tenaga kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya

10

pengaruh estimasi pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan juga tidak
begitu besar namun hubungannya negatif dan signifikan. Untuk itu pemerintah
hendaknya tidak hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja
akan tetapi lebih daripada itu pertumbuhan ekonomi harus berkualitas dan
berkeadilan yaitu pertumbuhan yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Evy et al menganalisis Pengaruh Investasi, dan Belanja Pemerintah
terhadap tingkat Kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Model yang
digunakan dalam analisis adalah model ekonometrik, sedangkan metode yang
digunakan adalah metode Odinary Least Square (OLS) dan analisis jalur (Path
Analysis) yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen baik secara langsung maupun tidak
langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran anggaran
berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Sementara sisanya tidak
berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Kutai
Kartanegara.
Karlinda (2012) menganalisis Keterkaitan antara Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten/Kota dengan Tata Kelola Ekonomi Daerah di Provinsi Jawa Tengah.
Data yang digunakan adalah data sekunder tahun 2007 berupa data TKED
kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 yang diperoleh dari
Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD), data Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) diperoleh dari Kementerian Keuangan, serta
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, pertumbuhan ekonomi dan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diperoleh dari Badan Pusat Statistik Jawa
Tengah. Data sekunder lain yang masih terkait dalam penelitian ini diperoleh dari
artikel, jurnal, skripsi dan tesis dari perpustakaan IPB, internet dan lembaga
lainnya. Berdasarkan analisis regresi OLS, variabel yang berpengaruh signifikan
terhadap PDRB per kapita adalah IPM, belanja modal dan belanja pendidikan
pemerintah, lama kepengurusan sertifikat tanah. IPM, belanja modal, belanja
pendidikan berpengaruh positif terhadap PDRB per kapita. Variabel lama
pengurusan sertifikat tanah berpengaruh negatif terhadap PDRB per kapita. Hasil
regresi OLS juga menunjukkan bahwa variabel belanja kesehatan, variabel
persentase perusahaan yang memiliki TDP dan kualitas infratruktur jalan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel IPM dan belanja
pendidikan memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan.
Nurhayati (2007) menganalisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Kemiskinan di Jawa Barat. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu data kemiskinan, pendapatan, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja, lahan
dan investasi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
dari 25 kota/kabupaten di Jawa Barat untuk tahun 2004. Penelitian ini
menggunakan model ekonometrika persamaan simultan 2SLS karena variabelvariabel yang terdapat dalam persamaan tersebut saling terkait satu sama lain.
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kemiskinan,
pendapatan, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja, lahan dan investasi. Data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data dari 25 kota/kabupaten
di Jawa Barat untuk tahun 2004. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika
persamaan simultan 2SLS karena variabel-variabel yang terdapat dalam persamaan
tersebut saling terkait satu sama lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-

11

faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan pada taraf nyata 10 persen adalah
tenaga kerja dan investasi, sedangkan variabel lahan dan variabel dummy
kota/kabupaten berpengaruh nyata satu persen.
Mega (2014) menganalisis pengaruh TKED terhadap tingkat
pengangguran kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Data yang digunakan
adalah data sekunder berupa sembilan sub indeks TKED, belanja modal dan
investasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa kabupaten/kota di Jawa
Timur memiliki skor TKED sepuluh besar skala nasional. Untuk membandingkan
perkembangan TKED 2007 dan 2011, peneliti menggunakan metode uji beda.
Hasil estimasi uji beda adalah tiga sub indeks meningkat, satu menurun dan enam
tidak berubah dari tahun 2007 ke tahun 2011. Selain itu metode yang selanjutnya
digunakan adalah metode regresi berganda menghasilkan sub indeks program
pengembangan usaha swasta tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran,
sedangkan belanja modal, investasi dan delapan sub indeks TKED berpengaruh
terhadap tingkat pengangguran.
Hesti (2014) menganalisis Pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap
Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur
Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan TKED,
kemiskinan dan IPM di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta untuk
menganalisis pengaruh TKED terhadap tingkat kemiskinan dan IPM. Data diolah
dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda
dengan estimasi Ordinary Least Square. Hasil analisis menunjukkan bahwa
kondisi TKED di KTI masih timpang. Tingkat kemiskinan kabupaten/kota di
wilayah KTI masih tinggi dan nilai IPM relatif masih rendah. Variabel yang
secara signifikan mampu meningkatkan nilai IPM di KTI adalah perizinan usaha,
peraturan daerah, Kapasitas dan integritas bupati/walikota, keamanan dan
penyelesaian konflik, PDRB per Kapita serta belanja pendidikan. Sedangkan
variabel yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan adalah infrastruktur daerah,
perizinan usaha, kapasitas dan integritas bupati/walikota, keamanan dan
penyelesaian konflik, PDRB per kapita dan belanja pendidikan.
Shinta (2014) menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap
tingkat investasi di Indonesia pada tahun 2011. Data yang digunakan adalah data
sekunder berupa data Investasi sebagai variabel dependen serta infrastruktur
daerah, program pengembangan usaha swasta, interaksi pemda dan pelaku usaha,
akses lahan, perizinan usaha dan belanja modal sebagai variabel independen.
Metode yang digunakan adalah regresi linear berganda dengan estimasi Ordinary
Least Square. Hasil analisis menunjukan bahwa hanya program pengembangan
usaha swasta yang memiliki hubungan negatif terhadap realisasi investasi
Indonesia, sedangkan akses lahan tidak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap realisasi investasi. Sementara, variabel lain memiliki hubungan yang
positif terhadap realisasi investasi di Indonesia.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini menganalisis
pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap tingkat kemiskinan di Wilayah
Nusa Tenggara tahun 2011 dengan metode analisis linear berganda serta
menganalisis perkembangan tata kelola ekonomi daerah tahun 2007 dan 2011
dengan metode uji beda. Data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri
dari TKED tahun 2007 dan 2011 serta tingkat kemiskinan tahun 2011.

12

Kerangka Penelitian

Pembangunan Ekonomi

Peningkatan Investasi

Kesejahteraan
Manusia

Tata-Kelola Ekonomi Daerah :
1. Akses Lahan
2. Infrastruktur Daerah
3. Perizinan Usaha
4. Kualitas Peraturan Di Daerah
5. Biaya Transaksi
6. Kapasitas Dan Integritas Bupati/Walikota
7. Interaksi Pemda Dengan Pelaku Usaha
8. Program Pengembangan Usaha Swasta Dan
9. Keamanan Dan Penyelesaian Konflik

Kemiskinan

Implementasi Kebijakan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Pembangunan ekonomi diantaranya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia dan investasi. Tingkat investasi diwakili oleh kualitas atau
performa tata kelola ekonomi daerah. Sedangkan salah satu tolak ukur tingkat
kesejahteraan manusia diwakili oleh tingkat kemiskinan. Semakin kecil tingkat
kemiskinan maka semakin besar tingkat kesejahteraan manusia. Tingkat
kemiskinan akan bergantung pada bagaimana usaha pemerintah daerah menyusun
dan mengelola wilayahnya, termasuk strategi Tata Kelola Ekonomi Daerah
(TKED) yang dibuat sebagai implemetasi kebijakan pemerintah daerah. Tata
kelola ekonomi daerah dikelompokkan menjadi 9 aspek, yaitu akses lahan,
infrastruktur, perizinan usaha, kualitas peraturan di daerah, biaya transaksi,
kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda dengan pelaku usaha,
program pengembangan usaha swasta serta keamanan dan penyelesaian konflik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara Tata Kelola Ekonomi
Daerah dengan kemiskinan di Kabupaten dan Kota.

13

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan penelitan terdahulu dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut : Sembilan sub-indeks tata kelola ekonomi daerah yaitu akses
lahan, infrastruktur, perizinan usaha, peraturan di daerah, biaya transaksi,
kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda dengan pelaku usaha,
program pengembangan usaha swasta serta keamanan dan penyelesaian konflik
berhubungan negatif dengan tingkat kemiskinan

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahun 2007
dan 2011 di Wiayah Nusa Tenggara. Data TKED yang digunakan dalam
penelitian diperoleh dari KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah) sementara persentasi kemiskinan diperoleh dari BPS (Badan Pusat
Statistik).
Data yang digunakan dalam pembentukan variabel dependen dan
independen untuk menganalisis pengaruh TKED terhadap kemiskinan adalah :
1. Kemiskinan
2. akses lahan,
3. infrastruktur,
4. perizinan usaha,
5. kualitas peraturan di daerah,
6. biaya transaksi,
7. kapasitas dan integritas bupati/walikota,
8. interaksi pemda dengan pelaku usaha,
9. program pengembangan usaha swasta dan serta
10. keamanan dan penyelesaian konflik
Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel
2010,Eviews 6dan SPSS 15.
Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode
analisis deskriptif dan metode analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif
merupakan suatu metode analisis data yang bersifat eksploratif, berupaya
mengungkapkan struktur dan pola data. Tujuannya ialah untuk mendeskripsikan
suatu kondisi dengan memaparkannya ke dalam bentuk tabel maupun gambar
untuk memudahkan dalam menafsirkan hasil penelitian. Analisis ini digunakan
untuk memberikan gambaran secara umum mengenai perkembangan kemiskinan
dan TKED di Wilayah Nusa Tenggara Timur.

14

Analisis Uji Beda Tahun 2007 dan 2011
Uji beda atau t-test digunakan untuk menentukan apakah dua populasi
yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda berdasarkan selang
kepercayaan. Uji beda t-test dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan
antara dua nilai rata-rata dengan standar error dari perbedaan rata-rata dua sampel
atau dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
rata-rata populasi tahun 2007
rata-rata populasi tahun 2011
S = standar deviasi
Uji beda harus memenuhi tiga asumsi yaitu, data terdistribusi normal, data
dipilih secara acak dan data yang digunakan berupa data numerik (skala dan
interval). Jika asumsi-asumsi tersebut tidak terpenuhi maka harus
mentransformasi metode dari parametrik menjadi non-parametrik. Uji beda pada
penelitian ini digunakan untuk meliat perbedaaan rata-rata antara Tata Kelola
Ekonomi Daerah di wilayah Nusa Tenggara.
Analisis Regresi Berganda
Gujarati (2006) mendefinisikan analisis regresi sebagai kajian terhadap
hubungan satu variabel yang disebut sebagai variabel yang diterangkan (the
explained variabel) dengan satu atau dua variabel yang menerangkan (the
explanatory). Jika variabel dependen lebih dari satu, maka analisis regresi disebut
regresi linear berganda. Model analisis berganda atau metode kuantitatif yang
digunakan untuk menghubungkan peubah respon Y yang dikaji dengan beberapa
peubah bebas X. Pemilihan peubah bebas berdasarkan teori ekonomi, intuisi,
pengalaman masa lalu, maupun studi terdahulu (Juanda 2009). Pada penelitian ini
bertujuan untuk mencari hubungan antara Tata Kelola Ekonomi Daerah sebagai
peubah bebas X dengan Tingkat kemiskinan sebagai peubah respon Y.
KMi = α0i + α1LnALi + α2LnIDi + α3LnPUi + α4LnPDi + α5LnBTi + α6LnKIPi +
α7LnIPPi + α8KPKi + α9PPUSi + εi
Keterangan :
KMi
= Tingkat Kemiskinan (%)
AL
= Variabel Akses Lahan (Skor 1-100)
ID
= Variabel Infrastruktur Daerah (Skor 1-100)
PU
= Perizinan Usaha (Skor 1-100)
PD
= Peraturan Daerah (Skor 1-100)
BT
= Biaya Transaksi (Skor 1-100)
KIP
= Kapasitas dan Integritas bupati/walikota (Skor 1-100)
IPP
= Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha (Skor 1-100)
KPK
= Keamanan dan Penyelesaian Konflik (Skor 1-100)
PPUS
= Program Pengembangan Usaha Swasta (Skor 1-100)
εi
= Error term pada model

15

Uji Ekonometrika
Model estimasi yang ideal dan optimal harus menghasilkan estimator yang
memenuhi kriteria Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) yaitu :
a. Estimator linear artinya estimator merupakan sebuah fungsi linear atas sebuah
variabel dependen yang stokastik.
b. Estimator tidak bias artinya nilai ekspektasi sesuai dengan nilai yang
sebenarnya.
c. Estimator harus mempunyai varians yang minimum. Estimator yang tidak bias
dan memiliki varians minimum disebut estimator yang efisien.
Uji ekonometrika yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk
mendeteksi adanya pelanggaran asumsi klasik adalah sebagai berikut :
1. Uji Normalitas
Uji asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term
terdistribui secara normal atau tidak. Jika asumsi normalitas tidak dipenuhi maka
prosedur pengujian dengan uji t-statistic menjadi tidak sah. Pengujian asumsi
normalitas dapat dilakukan dengan uji Jarque-Bera atau dengan melihat plot dari
sisaan. Hipotesis dalam pengujian normalitas adalah:
H0
: Residual terdistribusi normal
H1
: Residual tidak terdistribusi normal
Dasar penolakan H0 dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas
Jarque-Bera dengan taraf nyata α sebesar 0.05. Jika nilai probabilitas JarqueBera lebih besar dari taraf nyata α maka dapat dikatakan tidak cukup bukti untuk
menolak H0 yang artinya residual terdistribusi normal.
2. Heteroskedastisitas
= E( 2) = 2untuk pengamatan
Jika ragam sisaan tidak sama atau Var(
tip ke- dari peubah-peubah bebas dalam model regresi maka dapat dikatakan ada
masalah heteroskedastisitas pada model. Masalah heteroskedastisitas sering terjadi
dalam data cross section (Juanda 2009). Jika terjadi heteroskedastisitas maka
akibatnya adalah :
a. Dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias, dan
masih konsisten tapi standar errornya bias ke bawah
b. Penduga OLS tidak efisien lagi
Cara mendeteksi terjadinya heteroskedastisitas pada model adalah dengan
uji white. Uji white tidak harus mengasumsikan bahwa komponen sisaan
menyebar normal. Hipotesis dalam pengujian heteroskedastisitas adalah :
H0
: tidak ada heteroskedastisitas
H1
: ada heteroskedastisitas
Jika p-valueobs* < α, maka tolak H0, Jika p-valueobs* ≥ α, maka terima H0.
3. Multikolinearitas
Multikolinearitas berarti adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti
antara beberapa atau semua variabel independen dalam model regresi. Adanya
multikolinearitas dalam model persamaan regresi yang digunakan akan
mengakibatkan ketidaktepatan dalam estimasi sehingga mengarah pada
kesimpulan yang menerima hipotesis nol, hal ini menyebabkan koefisien regresi
menjadi tidak signifikan dan standar deviasi sangat sensitif terhadap perubahan
(Gujarati 2003). Jika koefisien korelasi antara masing-masing variabel bebas lebih
besar dari 0.8 berarti terjadi multikolinearitas dalam regresi.

16

4. Autokorelasi
Autokorelasi berarti adanya korelasi antara anggota observasi satu dengan
observasi yang lain yang berlainan waktu. Dalam kaitannya dengan asumsi
metode OLS, autokorelasi merupakan korelasi antara satu variabel gangguan
dengan variabel gangguan yang lain. Sedangkan salah satu asumsi penting metode
OLS berkaitan dengan variabel gangguan adalah tidak adanya hubungan antara
variabel gangguan satu dengan variabel gangguan yang lain. Tidak adanya serial
korelasi antara variabel gangguan ini sebelumnya dinyatakan. Pengujian
autokorelasi bisa menggunakan Uji Breusch-Godfrey. Hipotesis dalam pengujian
autokorelasi adalah :
H0
: Tidak ada autokorelasi
H1
: ada autokorelasi
Jika p-value obs*