Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia
PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH TERHADAP
TINGKAT KEMISKINAN DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
HESTY AMBAR SARY
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Tata Kelola
Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan
Manusia di Kawasan Timur Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Hesty Ambar Sary
NIM H14100007
ABSTRAK
HESTY AMBAR SARY. Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat
Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia. Dibimbing
oleh WIWIEK RINDAYATI.
Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan daerah bagian Indonesia yang
memiliki kekayaan sumberdaya alam (SDA) melimpah yang dapat dikembangkan dan
berpotensi untuk menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan. Namun, kekayaan SDA
yang melimpah ini belum didukung oleh SDM yang secara kualitas dan kuantitas baik.
Hal ini dapat tercemin dari nilai IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di KTI yang relatif
rendah. Otonomi daerah yang mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan diharapkan dapat meningkatkan IPM dan
mengurangi kemiskinan di daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan TKED, kemiskinan dan IPM di wilayah KTI serta untuk menganalisis
pengaruh TKED terhadap tingkat kemiskinan dan IPM. Data diolah dengan menggunakan
analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda dengan estimasi Ordinary Least
Square. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi TKED di KTI masih timpang. Tingkat
kemiskinan kabupaten/kota di wilayah KTI masih tinggi dan nilai IPM relatif masih
rendah. Variabel yang secara signifikan mampu meningkatkan nilai IPM di KTI adalah
perizinan usaha, peraturan daerah, Kapasitas dan integritas bupati/walikota, keamanan
dan penyelesaian konflik, PDRB per Kapita serta belanja pendidikan. Sedangkan variabel
yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan adalah infrastruktur daerah, perizinan usaha,
kapasitas dan integritas bupati/walikota, keamanan dan penyelesaian konflik, PDRB per
kapita dan belanja pendidikan.
Kata Kunci : KTI, IPM, TKED dan Tingkat Kemiskinan
ABSTRACT
HESTY AMBAR SARY. Impact of Local Economic Governance on Poverty and Human
Development Index in East Indonesia. Supervised by WIWIEK RINDAYATI.
East Indonesia is a part of Indonesian region which has a wealth of natural that
can be developed and potential to become a growth centers. However, this wealth natural
resource has not been supported by human resource both in quality and quantity. This can
be reflected from the HDI (Human Development Index) in a relatively low in East
Indonesia. Regional autonomy was implemented in Indonesia since 2001 aims to improve
the welfare of the society and is expected to increase HDI and reduce poverty. The
objective of this study is to describe Local Economic Governance (LEG), poverty and
HDI in the region and to analyze the impact of LEG on poverty and HDI in East
Indonesia. The data were processed using descriptive analysis and multiple regression
analysis to estimate Ordinary Least Square. The results showed that LEG conditions in
East Indonesia still inequity. The level of poverty districts/cities in East Indonesia is still
high and HDI is still relatively low. Variables that can significantly increase the HDI in
East Indonesia is business licensing, regulatory regions, capacity and integrity of regent /
mayor, security and conflict resolution, as well as GDP per capita and education spending.
While the variables that can reduce the level of poverty is local infrastructure, business
licensing, capacity and integrity of regent/mayor, security and conflict resolution, GDP
per capita and education spending .
Keywords: East Indonesia, HDI, LEG and Poverty
PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH TERHADAP
TINGKAT KEMISKINAN DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
HESTY AMBAR SARY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat
Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan
Timur Indonesia
Nama
: Hesty Ambar Sary
NIM
: H14100007
Disetujui oleh
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M. Si.
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks
Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia. Judul tersebut dipilih
mengingat pentingnya pembangunan di KTI yang saat ini belum terlaksana secara
menyeluruh, khususnya pembangunan manusia dan masalah kemiskinan yang
masih tinggi di KTI, apakah hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan tata
kelola ekonomi yang baik oleh pemerintah daerah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si
selaku pembimbing, serta Ibu Dr. Sri Mulatsih, M.Sc Agr dan Bapak Salahuddin
El Ayyubi, MA yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, kakak dan adik penulis atas
segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terimaskih kepada
pihak KPPOD (Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah), BPS
(Badan Pusat Statistik) dan pihak lain atas sharing datanya. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada teman-teman satu bimbingan dan seluruh temanteman baik penulis atas saran, dukungan dan semangatnya yang luar biasa.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014
Hesty Ambar Sary
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
5
Hipotesis Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
Tinjauan Teori
5
Penelitian Terdahulu
9
Kerangka Pemikiran
10
METODE
11
Jenis dan Sumber Data
11
Metode Analisis Data
12
Pengujian Asumsi
13
GAMBARAN UMUM
15
Kawasan Timur Indonesia
15
Pengeluaran pemerintah
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Kondisi Tata Kelola Ekonomi Daerah Kawasan Timur Indonesia
17
Kondisi Kemiskinan dan Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia
Tahun 2011
21
Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan di
Kawasan Timur Indonesia
22
Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia
di Kawasan Timur Indonesia
25
SIMPULAN DAN SARAN
28
Simpulan
28
Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
43
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Presentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2011 (persen)
Batas Kritis pada Pengujian Durbin-Watson
Realisasi Belanja Pemerintah Tahun 2011 (juta rupiah)
Hasil estimasi output Variabel Kemiskinan
Hasil Estimasi Output Variabel IPM
2
14
16
23
26
DAFTAR GAMBAR
1 Indeks Pembangunan Manusia Provinsi di Kawasan Timur Indonesia
dan Nasional Tahun 2009-2011
2 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah
3 Lingkaran Perangkap Kemiskinan
4 Kerangka Pemikiran
5 Realisasi Belanja Pemerintah untuk Pendidikan dan Kesehatan Tahun
2011 (juta rupiah)
6 Kabupaten/Kota dengan Nilai Sub Indeks Terkecil dan Terbesar
7 Tingkat Kemiskinan Kawasan Timur Indonesia Tahun 2011
8 Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan timur Indonesia Tahun
2011
1
6
7
11
17
19
21
22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah di Kawasan Timur
Indonesia Tahun 2011
2 Data Tingkat Kemiskinan di KTI Tahun 2011
3 Realisasi Belanja Pendidikan dan Kesehatan Pemerintah Daerah di
KTI tahun 2011 (persen)
4 Hasil Estimasi Output Variabel Kemiskinan
5 Uji Normalitas Variabel Kemiskinan
6 Uji Heteroskedastisitas dengan uji ARCH
7 Uji Multikolinieritas Variabel Kemiskinan
8 Hasil Estimasi Output Variabel IPM
9 Uji Normalitas Variabel IPM
10 Uji Heteroskedastisitas dengan Uji ARCH Variabel IPM
11 Uji Multikolinieritas Variabel IPM
31
33
36
38
39
39
40
40
41
41
42
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan daerah bagian Indonesia yang
memiliki kekayaan sumberdaya alam melimpah yang dapat dikembangkan dan
berpotensi untuk menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan. Luas daratan
kawasan ini mencapai 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91 persen dari luas wilayah
Indonesia. Potensi yang terdapat di wilayah KTI berupa kekayaan sumberdaya
kelautan, perkebunan, pertanian, kehutanan serta pertambangan dan energi.
Sebesar 70 persen dari total potensi perikanan laut nasional terdapat di wilayah
KTI. Kekayaan sumberdaya alam yang melimpah di wilayah KTI belum didukung
oleh sumberdaya manusia yang secara kualitas dan kuantitas baik, sehingga
potensi tersebut belum dikelola secara optimal. Menurut Todaro dan Smith (2006),
besar kecilnya potensi pertumbuhan ekonomi suatu Negara atau daerah sangat
dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas sumberdaya yang dimilikinya, baik itu
sumberdaya fisik maupun sumberdaya manusia. Keduanya harus berjalan
beriringan untuk menciptakan suatu kondisi ekonomi yang lebih baik.
Salah satu indikator untuk melihat kualitas sumberdaya manusia adalah
dengan menggunakan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dibangun
dari beberapa aspek kehidupan yang penting, yaitu usia yang panjang dan hidup
sehat, tingkat pendidikan yang memadai, dan standar hidup yang layak (Kuncoro
2004). IPM merupakan suatu gambaran mengenai tingkat kesejahteraan suatu
masyarakat. Semakin tinggi nilai IPM suatu daerah menunjukkan bahwa
sumberdaya manusia daerah tersebut semakin sejahtera dan berkualitas.
78.00
76.00
74.00
72.00
70.00
68.00
66.00
64.00
62.00
60.00
58.00
2009
2010
Indonesia
Papua Barat
Papua
Maluku Utara
Maluku
Sultra
Sulbar
Sulsel
Sulteng
Gorontalo
Sulut
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Kalbar
NTT
NTB
2011
Sumber : BPS 2013
Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia Provinsi di Kawasan Timur Indonesia
dan Nasional Tahun 2009-2011
2
Berdasarkan Gambar 1, secara umum IPM di KTI mengalami peningkatan
dari tahun 2009 sampai 2011 dan nilainya masih tergolong kelompok menengah
dengan rentang nilai 50-79. Namun, jika dibandingakan dengan nilai IPM
nasional, secara umum IPM provinsi-provinsi di KTI masih berada di bawah nilai
IPM nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2011, hanya
Provinsi Sulawesi Utara (76,54), Kalimantan Tengah (75,06), Kalimantan Timur
(76,22) yang memiliki nilai IPM diatas IPM nasional (72,77). Bahkan beberapa
provinsinya memiliki nilai indeks yang masih lebih rendah jika dibandingkan
dengan nilai IPM provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini
menunjukkan bahwa masih terjadinya kesenjangan antara KBI dan KTI.
Kesejahteraan masyarakat tidak hanya dilihat dari tinggi atau rendahnya
nilai IPM tetapi dapat juga dilihat dari tingkat kemiskinan. Masalah kemiskinan
merupakan masalah yang umumnya terjadi di Negara berkembang, salah satunya
adalah Indonesia. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia masih terhitung tinggi
dengan presentase 12,49 persen pada tahun 2011 (lihat Tabel 1). Bahkan tingkat
kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia juga terhitung tinggi dengan presentase
diatas tingkat kemiskinan Indonesia, khususya beberapa provinsi yang terletak di
wilayah KTI. Provinsi Papua merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan paling
tinggi diantara seluruh provinsi di Indonesia dengan nilai 31,98 persen.
Tabel 1 Presentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2011 (persen)
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Sumber : BPS 2013
Presentase
Penduduk
Miskin
19,57
11,33
9,04
8,47
8,65
14,24
17,50
16,93
5,75
7,40
3,75
10,65
15,76
16,08
14,23
6,32
4,20
Provinsi
NTB
NTT
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Presentase
Penduduk
Miskin
19,73
21,23
8,60
6,56
5,29
6,77
8,51
15,83
10,29
14,56
18,75
13,89
23,00
9,18
31,92
31,98
12,49
3
Rendahnya nilai IPM dan masih tingginya persentase penduduk miskin di
KTI menunjukkan pembangunan yang tidak merata di wilayah Indonesia. Hal ini
mencerminkan belum optimalnya pelaksanaan otonomi daerah yang sudah
dilaksanakan selama lebih dari satu dekade. Kebijakan otonomi daerah mulai
diterapkan di Indonesia pada tahun 2001 dengan memberikan wewenang kepada
pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya secara mandiri demi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Salah satu tujuan dari diterapkannya
kebijakan otonomi daerah adalah mengurangi kesenjangan yang terjadi di daerahdaerah. Namun saat ini kesenjangan antar daerah masih tejadi khususnya pada
wilayah KBI dan KTI.
Pengelolaan daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang selanjutnya
disebut dengan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) merupakan peran
pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerahnya melalui
pengembangan usaha. TKED yang baik diharapkan dapat meningkatkan iklim
investasi di suatu daerah sehingga dapat menarik banyak investor khususnya
swasta untuk menanamkan modal di daerah. Investasi swasta merupakan
penggerak perekonomian yang sangat penting. Dengan investasi swasta yang
tumbuh, lapangan pekerjaan dapat berkembang dan kemiskinan dapat dikurangi
secara berkelanjutan (KPPOD 2011). Oleh karena itu, untuk dapat menarik dan
mempertahankan investasi, dibutuhkan iklim usaha yang baik.
Menurut Sen dalam Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi
dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai tujuan akhir, pembangunan
haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan yang kita jalani
dan kebebasan yang kita nikmati. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tujuan
akhir dari pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat dimana tingkat
kemiskinan dapat menurun dan IPM meningkat. Hal ini tentu saja harus didukung
oleh peningkatan faktor ekonomi lainnya yaitu investasi swasta yang mana dapat
ditingkatkan dengan melakukan TKED yang baik. Oleh karena itu, perlu dikaji
apakah TKED yang dilakukan oleh pemerintah daerah sudah secara efektif
mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan IPM di KTI.
Perumusan Masalah
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian
diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah telah diberikan
kewenangan untuk mengelola daerahnya secara mandiri. Otonomi daerah yang
mulai diterapkan di Indonesia selama lebih dari satu dekade tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara mengatasi kesenjangan
pembangunan yang terjadi antar daerah. Pemerintah daerah memiliki hak untuk
mengembangkan potensi daerahnya kearah pembangunan yang berkelanjutan.
Saat ini, tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah belum tercapai seluruhnya.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang cepat pada kenyataannya hanya
terjadi di beberapa daerah tertentu. Kesenjangan antar daerah seperti daerah Jawa
dan luar Jawa, daerah Kabupaten dan Kota serta daerah KBI dengan KTI masih
menjadi masalah yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia saat ini.
Pertumbuhan ekonomi daerah di KTI mengalami peningkatan selama beberapa
tahun terakhir, namun nilainya masih rendah jika dibandingkan dengan KBI.
4
Selain itu, kemiskinan tinggi dan pembangunan manusia yang rendah masih
menjadi masalah yang terjadi di daerah KTI.
Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah diharapkan dapat digunakan
untuk membangun perekonomian daerahnya. Dengan wewenang tersebut,
pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya daerahnya, salah satunya dengan
melakukan TKED. TKED merupakan suatu upaya pemerintah daerah untuk
menciptakan iklim investasi yang baik. Sehingga melalui TKED ini pemerintah
daerah dapat mengembangkan dan memajukan usaha-usaha di daerah serta
menarik para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Melalui
peningkatan investasi ini, TKED selanjutnya dapat menanggulangi masalah
kemiskinan dan meningkatkan nilai IPM daerah.
Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang
dapat diajukan adalah:
1. Bagaimana kondisi TKED, IPM dan tingkat kemiskinan di KTI pada tahun
2011
2. Bagaimana pengaruh TKED dan faktor lainnya terhadap tingkat
kemiskinan dan IPM di KTI tahun 2011.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menawarkan jawaban terhadap
permasalahan yang dihadapi, yaitu :
1. Mendeskripsikan kondisi TKED, IPM dan tingkat kemiskinan di KTI
pada tahun 2011
2. Menganalisis pengaruh TKED dan faktor lainnya terhadap tingkat
kemiskinan dan IPM di KTI tahun 2011.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara
lain :
1. Sebagai bahan pembelajaran dan sarana untuk menambah pengetahuan
bagi penulis
2. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak
terkait dalam perumusan dan implementasi kebijakan dalam pembangunan
manusia dan pengentasan kemiskinan di kawasan timur Indonesia.
3. Sebagai informasi studi pustaka bagi penelitian selanjutnya, khususnya
mengenai tata kelola ekonomi daerah, otonomi daerah, pembangunan
manusia dan kemiskinan.
5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)
yang terdiri dari sembilan sub indeks terhadap tingkat kemiskinan dan indeks
pembangunan manusia di KTI. Selain itu juga membahas faktor-faktor yang
memengaruhi kemiskinan dan IPM selain dari sembilan sub indeks TKED seperti
PDRB per Kapita, belanja pendidikan dan kesehatan daerah. Penelitian ini hanya
meneliti pengaruh tersebut di 101 kabupaten/kota yang berasal dari 12 Provinsi di
KTI pada tahun 2011 yang sebelumnya telah dilakukan survei oleh KPPOD
(Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah).
Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Diduga variabel sub-indeks TKED memiliki pengaruh yang positif terhadap
IPM dan memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat kemiskinan
kabupaten/kota di KTI.
2. Diduga variabel PDRB per kapita memiliki pengaruh positif terhadap IPM dan
negatif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di KTI.
3. Diduga realisasi belanja pendidikan dan kesehatan memiliki pengaruh yang
positif terhadap IPM dan negatif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota
di KTI.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Otonomi Daerah
Bentuk pemerintahan Indonesia yang dulu bersifat sentralistis dianggap
tidak efektif. Oleh karena itu, terbentuklah UU No. 22 Tahun 1999 tentang
pemerintah daerah yang ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak
tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi, yang
mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, adil dan
sejahtera (Abdullah 2005). Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini,
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah lebih bersifat desentralistis, dalam
arti sebagian besar wewenang di bidang pemerintahan diserahkan kepada daerah.
Wewenang yang tetap dimiliki oleh pemerintah pusat adalah wewenang di bidang
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta
agama. UU No. 22 Tahun 1999 kemudian disempurnakan dengan UU No. 32
Tahun 2004 yang lebih menegaskan tugas dari pemerintah daerah.
6
Tata Kelola Ekonomi Daerah
Terdapat dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan
kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha.
Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha
memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah.
Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan
kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari
pemodalan swasta.
Keahlian manajemen
meningkatkan kinerja
Keahlian
Tingkat keahlian
mendorong perusahaan
menggunakan dan
mengembangkan
teknologi baru
Perusahaan
Perusahaan baru meningkatkan
permintaan terhadap tenaga kerja
ahli
PEMDA
Inovasi
Investasi modal fisik
meningkatkan tingkat
inovasi perusahaan
Perusahaan baru
meningkatkan
kompetisi pasar
Kompetisi
Meningkatkan kompetisi pasar
mendorong tingkat inovasi
PEMDA
Peningkatan kompetisi
mendorong insentif
positif bagi keadaan
berusaha
INVESTASI
Sumber: KPPOD 2007
Gambar 2 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah
Faktor penggerak produktivitas daerah yang terbentuk pada suatu daerah
merupakan sebuah mekanisme dinamika yang terjadi pada sektor swasta. Hal ini
terlihat pada Gambar 2. Kompetisi dan inovasi dari adanya kehadiran perusahaan
dan tenaga kerja yang berkualitas baik diharapkan dapat menciptakan tingkat
investasi tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak
produktivitas daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik.
Berdasarkan hipotesa ini, keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu
menjadi sangat penting (KPPOD 2007).
Konsep tata kelola ekonomi daerah menyoroti sejumlah kebijakan daerah
terkait dunia usaha di kabupaten/kota Indonesia. Namun kebijakan terkait dunia
usaha yang dihadapi pelaku usaha sehari-hari di daerah tidak hanya dibuat oleh
pemda. Didalam interaksinya terdapat kebijakan pusat yang berlaku di daerah,
pihak legislatif daerah, dan pihak eksekutif daerah. Interaksi diantara ketiganya
sedikit-banyak memengaruhi keadaan berusaha di suatu daerah.
7
Kemiskinan
Kemiskinan absolut merupakan sejumlah penduduk yang tidak mampu
mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian dan rumah. Menurut BPS, penduduk yang dikatakan miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pegeluaran per kapita perbulan dibawah
garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis
Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang
disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan
dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan,
daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan
lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan
minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi
kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47
jenis komoditi di pedesaan.
Tinggi rendahya tingkat kemiskinan di suatu Negara tergantung pada dua
faktor utama, yaitu tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan lebar sempitnya
kesenjangan distribusi pendapatan (Todaro dan Smith 2006). Pendapatan nasional
per kapita suatu Negara yang tinggi jika distribusi pendapatannya tidak merata,
maka tingkat kemiskinan di Negara tersebut akan tetap tinggi. Demikian pula
sebaliknya, semerata apapun distribusi pendapatan di suatu Negara, jika tingkat
pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka kemiskinan juga akan semakin
meluas.
Kekayaan alam kurang dikembangkan
Masyarakat masih terbelakang
Kekurangan modal
Produktivitas
Rendah
Pembentukan modal rendah
Tabungan rendah
Pendapatan rill rendah
Gambar 3 Lingkaran Perangkap Kemiskinan
8
Kemiskinan seringkali dipandang sebagai suatu lingkaran setan (the vicious
circle of poverty) atau dikenal sebagai perangkap kemiskinan yaitu serangkaian
kekuatan yang saling memengaruhi secara sedemikian rupa sehingga
menimbulkan keadaan dimana suatu negara akan tetap mengalami banyak
kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi (Sukirno
2010). Meier dan Balwin dalam Sukirno mengemukakan bahwa lingkaran
perangkap kemiskinan ini timbul dari hubungan saling memengaruhi antara
keadaan masyarakat yang masih terbelakang dan tradisional dengan kekayaan
alam yang belum dikembangkan. Dimana kekayaan sumberdaya alam tanpa
pengolahan yang efektif dari sumberdaya manusianya akan menimbulkan
produktivitas yang rendah dan berdampak pada pendapatan rill yang rendah.
Pendapatan rendah secara langsung memengaruhi tingkat modal rendah dan akan
menyebabkan suatu daerah kekurangan modal sehingga masyarakat tetap dalam
keadaan terbelakang.
Pembangunan Manusia
Pembangunan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari pembangunan
manusia. Pembangunan manusia dapat diukur melalui nilai Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). IPM mencoba untuk menilai semua Negara dari skala 0 (tingkat
pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat pembangunan
manusia yang tertinggi) berdasarkan 3 tujuan atau produk akhir pembangunan.
Pertama, masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia harapan hidup. Kedua,
pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang
dewasa secara terimbang dan rata-rata tahun bersekolah. Ketiga, standar
kehidupan (standard of living) yang diukur dengan pendapatan rill per kapita,
disesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity) dari mata uang
setiap Negara untuk mencerminkan biaya hidup dan untuk memenuhi asumsi
utilitas marginal yang semakin menurun dari pendapatan.
Hubungan Tata Kelola Ekonomi dengan Pembangunan Manusia
Tata kelola ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dilakukan guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui jalur investasi. Walaupun
begitu, tujuan akhirnya tetap kesejahteraan masyarakat dalam hal ini manusianya.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan manusia secara
empiris terbukti tidak bersifat otomatis. Artinya, banyak negara yang mengalami
pertumbuhan ekonomi yang cepat tanpa diikuti oleh pembangunan manusia yang
seimbang. Sebaliknya, banyak pula negara yang mengalami pertumbuhan
ekonomi pada tingkat yang sedang tetapi terbukti dapat meningkatkan kinerja
pembangunan manusia secara mengesankan. Pertumbuhan ekonomi merupakan
sarana utama bagi pembangunan manusia terutama pertumbuhan ekonomi yang
merata secara sektoral dan kondusif terhadap penciptaan lapangan kerja.
Hubungan antara pertumbuhan pembangunan manusia dan ekonomi
berlangsung melalui dua macam jalur. Jalur pertama melalui kebijaksanaan dan
pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah
pengeluaran pemerintah untuk subsektor sosial yang merupakan prioritas seperti
pendidikan dan kesehatan. Jalur kedua adalah melalui kegiatan pengeluaran
9
pengeluaran rumah tangga. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah
pengeluaran rumah tangga dimana penduduk miskin hanya memiliki pengeluaran
yang kecil (Soebono, 2005).
Penelitian Terdahulu
Tombolotutu (2013) menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah dan
keuangan daerah terhadap kinerja perekonomian daerah kabupaten/kota di
Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini menggunakan OLS untuk menganalisis
modelnya dan hasil analisis menunjukkan bahwa untuk meningkatkan
perekonomian daerah (peningkatan PDRB per kapita, pengurangan pengangguran,
pengurangan penduduk miskin) dapat dilakukan dengan tata kelola yang baik,
yaitu : dengan kondisi lampu jalan yang lebih baik di sekitar tempat usaha, lama
perbaikan listrik yang lebih cepat, lama perbaikan PDAM yang lebih cepat,
program pengembangan usaha swasta (pelatihan pengajuan kredit yang dilakukan
oleh program pengembangan usaha swasta, dan tingkat manfaat bagi dunia usaha).
Rusdarti dan Sebayang (2013) menganalisis faktor-faktor yang
memengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah dengan menggunakan Ordinary Least
Square (OLS). Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa PDRB berpengaruh
negatif terhadap persentase jumlah penduduk miskin, sedangkan pengangguran
tidak berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin di masing-masing
kabupaten/kota Jawa Tengah. Variabel belanja publik bernilai positif dan
signifikan secara statistik. Hal ini disebabkan masih dominannya belanja
operasional pemerintahan dengan orientasi belanja pegawai yang semakin tinggi
menyebabkan rendahnya prioritas pada pelayanan publik, sehingga belanja publik
tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Belanja publik yang
digunakan dalam penelitia ini termasuk belanja untuk pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur.
Sittha (2012) menganalisis hubungan tata kelola pemerintah dengan
penanggulangan kemiskinan di Thailand dengan menggunakan analisis korelasi
Pearson. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara keduanya yang artinya semakin baik tata kelola yang dilakukan pemerintah,
maka dapat mengurangi kemiskinan. Selain itu, hasil analisis dengan korelasi
Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Artinya
pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menanggulangi masalah
kemiskinan, tetapi perlu peran pemerintah dalam melakukan tata kelola ekonomi
di daerah. Tata kelola yang baik akan memacu pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi kemiskinan ketika pertumbuhan bersifat pro-poor.
Zulfiqar et al (2012) menganalisis tata kelola ekonomi dan IPM dengan
wilayah studi di Pakistan tahun 1976-2009 dengan menggunakan analisis OLS
pada data time series. Penelitian ini menemukan bahwa kondisi tata kelola
ekonomi yang baik di Pakistan akan memengaruhi kondisi IPM secara positif.
Penelitian ini menggunakan 4 indikator untuk menilai tata kelola ekonomi yaitu
GNE (Gross National Expenditure), Remitansi, inflasi dan total cadangan. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa 4 variabel tersebut berpengaruh secara signifikan
10
terhadap IPM. GNP dan total cadangan berpengaruh positif, sedangkan variabel
inflasi dan remitansi berpengaruh negatif terhadap IPM.
Ginting et al (2008) meneliti tentang pembangunan manusia di Indonesia
dan faktor-faktor yang memengruhinya dengan menggunakan metode GLS
(Generelize Least Square). Data yang digunakan merupakan data time series pada
tahun 1996, 1999, 2002, 2004, 2005 dan 2006 dan data cross section pada 26
provinsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga
untuk makanan berpengaruh negatif, sedangkan pengeluaran rumah tangga untuk
bukan makanan berpengaruh positif. Hal ini sesuai dengan Hukum Engle yang
meyatakan bahwa semakin sejahtera suatu rumah tangga/masyarakat maka
semakin kecil proporsi pengeluaran konsumsi untuk makanan. Sementara itu,
rasio penduduk miskin berpengaruh negatif, dan pengeluaran pemerintah untuk
pendidikan berpengaruh postif terhadap pembangunan manusia. Variabel
pengeluaran pemerintah untuk pendidikan merupakan variabel yang pengaruhnya
terbesar terhadap pembangunan manusia.
Kerangka Pemikiran
Indonesia terbagi menjadi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan
Timur Indonesia (KTI). KTI merupakan wilayah yang kaya akan sumberdaya
alam dan berpotensi untuk menjadi pusat pertumbuhan. Saat ini, potensi
sumberdaya yang ada di daerah telah dikelola oleh masing-masing daerah.
Kebijakan otonomi daerah yang sudah diterapkan sejak tahun 2001 mengatur
tentang pemindahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Tujuan dari otonomi adalah kesejahteraan masyarakat yang dapat dilihat dari
beberapa indikator yaitu tingkat kemiskinan dan IPM. Indikator ini akan menjadi
variabel dependen yang dianalisis dengan regresi linier berganda dan dilihat
apakah indikator tersebut dipengaruhi oleh sembilan sub-indeks TKED dan
variabel lainnya yaitu PDRB per kapita, belaja pendidikan dan belanja kesehatan.
Selain itu, TKED, tingkat kemiskinan dan pembangunan manusia akan dianalisis
secara deskriptif untuk mengetahui kondisinya di KTI pada tahun 2011.
11
Kawasan Timur Indonesia
Otonomi Daerah
UU No. 32 Tahun 2004
Pengelolaan oleh pemerintah
daerah melalui Tata Kelola
Ekonomi Daerah (TKED)
Analisis
Deskriptif
Sembilan subsektor TKED :
1. Akses Lahan
2. Infrastruktur Daerah
3. Perizinan Usaha
4. Peraturan di Daerah
5. Biaya Transaksi
6. Kapasitas dan Integritas
Bupati/Walikota
7. Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha
8. Program Pembangunan Usaha
Swasta
9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik
Tingkat Kemiskinan
Meningkatkan
investasi
daerah
Faktor lainnya :
PDRB/Kapita
Belanja Pendidikan
Belanja Kesehatan
Indeks Pembangunan Manusia
Analisis Regresi Linier Berganda
Implementasi
Kebijakan
Gambar 4 Kerangka Pemikiran
METODE
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
tersebut merupakan data cross section tahun 2011 indikator Tata Kelola Ekonomi
Daerah (TKED) yang diperoleh dari Komite Pemantauan Penyelenggaraan
Otonomi Daerah (KPPOD), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per
Kapita, tingkat kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diperoleh dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat serta realisasi Anggaran Pendapatan Belanja
12
Daerah (APBD) untuk Pendidikan dan kesehatan yang diperoleh dari Direktorat
Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK).
Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif
Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan
data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna.
Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan
pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian
hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya
mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis deskriptif
dalam penelitian ini digunakan untuk mengintrepertasikan data kuantitatif secara
sederhana. Analisis deskriptif ini mengkaji secara eksploratif mengenai gambaran
tata kelola ekonomi daerah, tingkat kemiskinan dan indeks pembangunan manusia
dengan bantuan tabel dan grafik.
Analisis Regresi Berganda
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan tujuan untuk
menganalisis keterkaitan hubungan yang signifikan antara delapan indikator tata
kelola ekonomi daerah dengan tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan
Manusia kabupaten dan kota di Kawasan Timur Indonesia. Estimasi koefisien
regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Salah satu
regresi dalam OLS adalah regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda
menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang
merupakan penyebab dan variabel Y (variabel tak bebas) yang merupakan akibat.
Analisis linear berganda berfokus pada ketergantungan satu variabel tak bebas
terhadap satu atau lebih variabel penjelas (variabel bebas).
Model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola
ekonomi daerah terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Kawasan Timur
Indonesia adalah sebagai berikut:
KMSi = α0i + α1lnALi + α2lnIDi + α3lnPUi + α4lnPDi + α5lnBTi + α6lnKIi + α7lnIPi +
α8lnPPi + α9lnKPi + α10 lnPDRBi + α11BPi + α12BKi + ei
Sedangkan model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata
kelola ekonomi daerah terhadap IPM adalah sebagai berikut:
lnIPM = β0i + β1lnALi + β2lnIDi + β3lnPUi + β4lnPDi + β5lnBTi + β6lnKIi +
β7lnIPi + β8lnPPi + β9lnKPi +β10 lnPDRBi+ β11BPi + β12BKi + ei
Keterangan :
KMSi : Presentase penduduk miskin kabupaten/kota di KTI (persen)
IPMi : Nilai Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di KTI
13
ALi
IDi
PUi
PDi
BTi
KIi
: Nilai sub indeks akses lahan kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks infrastruktur daerah kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks perizinan usaha kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks peraturan daerah kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks biaya transaksi kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks kapasitas dan integritas bupati/walikota kabupaten/kota
di wilayah KTI
IPi
: Nilai sub indeks interaksi pemda dengan pelaku usaha kabupaten/kota di
wilayah KTI
PPi
: Nilai sub indeks program pembangunan usaha swasta kabupaten/kota di
wilayah KTI
KPi
: Nilai sub indeks keamanan dan penyelesaian koflik kabupaten/kota di
wilayah KTI
PDRBi : Produk domestik regional bruto per kapita kabupaten/kota di KTI
(rupiah)
BPi
: Persentase realisasi belanja pendidikan terhadap belanja total
kabupaten/kota di KTI (persen)
BKi : Persentase realisasi belanja kesehatan terhadap belanja total
kabupaten/kota di KTI (persen)
Model tersebut selanjutnya akan dianalisis menggunakan kriteria-kriteria uji
statistik dan uji asumsi ekonometrik agar memenuhi persyaratan metode analisis
OLS dan terbebas dari masalah-masalah multikolinieritas, autokorelasi, dan
heteroskedastisitas.
Pengujian Asumsi
Uji Multikolinearitas
Masalah multikolinieritas ialah situasi di mana terjadinya korelasi antara
satu atau lebih variabel independen dengan variabel independen lainnya. Bila
terjadi multikonlinieritas sempurna dalam model, maka dapat mengakibatkan
koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standar error koefisien
regresi menjadi tidak terhingga. Jika berdasarkan hasil uji t-statistik ternyata
variabel-variabel independen yang digunakan semuanya signifikan secara parsial
dengan R2 yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa model dalam penelitian ini
tidak terdapat masalah multikolinearitas atau bebas dari multikolinieritas. Selain
dengan cara sederhana seperti telah diterangkan sebelumnya, cara lain untuk
mendekteksi adanya multikolinieritas adalah dengan melihat apakah nilai
koefisien korelasi antar variabel independennya lebih besar dari 0,80, maka dapat
dikatakan terjadi masalah multikolinieritas pada taraf yang serius. Hasil matriks
korelasi parsial antar regresor (Coefficient Correlation Matrix). Jika model
mengandung masalah multikolinieritas ada 2 pilihan yang dapat kita lakukan yaitu
membiarkan model tetap mengandung multikolinieritas atau akan memperbaiki
model. Jika pilihan pertama, maka dapat dikatakan bahwa model yang
mengandung masalah multikolinieritas tetap menghasilkan estimator yang BLUE
14
karena masalah estimator yang BLUE tidak memerlukan asumsi tidak adanya
korelasi antar variabel independen. Multikolinieritas hanya menyebabkan
kesulitan dalam memperoleh estimator dengan standard eror yang kecil. Masalah
multikolinieritas juga timbul karena hanya memiliki jumlah observasi yang sedikit.
Adapun cara kedua yaitu melakukan perbaikan model dengan cara :
1. Menghilangkan variabel independen
2. Transformasi variabel
3. Penambahan data
Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi ada atau
tidaknya serial korelasi dari error term yang terdapat dalam suatu model regresi.
Gejala serial korelasi dalam konteks time series terjadi bila error term pada suatu
periode tertentu berpengaruh kepada error term periode waktu berikutnya, atau
dengan kata lain jika error term dari periode waktu berlainan saling berkorelasi.
Ada dua metode yang biasanya digunakan untuk menguji serial korelasi ini yaitu
dengan menggunakan uji Durbin-Watson atau dengan uji Breusch Godfrey LM
Test. Beberapa uji stasistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson
(DW) atau uji dengan Run Test. Uji DW hanya digunakan untuk autokorelasi
tingkat satu (first order autocorrelation), dan mensyaratkan adanya intercept
(konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lag di antara variabel
independen.
Pengujian Durbin Watson dilakukan dengan melakukan pengujian DurbinWatson. Hipotesis dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut:
H0 : tidak ada korelasi orde pertama
H1 : ada autokorelasi
Tabel 2 Batas Kritis pada Pengujian Durbin-Watson
Nilai DW berdasarkan estimasi model
Kesimpulan
regresi
4 – dL< DW-stat< 4
H0 ditolak, terdapat serial korelasi
negatif
4 – dU< DW-stat< 4 – dL
Tidak ada kesimpulan
DU < DW-stat< 4 – dU
H0 diterima, tidak ada serial korelasi
DL< DW-stat< dU
Tidak ada kesimpulan
0 < DW-stat< dL
H0 ditolak, terdapat serial korelasi
positif
Sumber : Damonar Gujarati, Dasar-dasar Ekonometrik
Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi OLS dalam bentuk
varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi OLS yang tidak bernilai
konstan. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi
dari penaksir OLS tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varian
minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka
akan berakibat sebagai berikut:
15
1. Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang
minimum atau estimator tidak efisien.
2. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya
akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien.
3. Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan
menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians.
Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji
ARCH (Auto Regression Conditional Heteroskedasticity), yang dilakukan
pertama kali pada uji ini adalah mendapatkan residual (ut) dari regresi OLS, lalu
regresikan nilai absolut dari ut (|ut|) terhadap variabel bebas yang diperkirakan
mempunyai hubungan yang erat. Uji ini menggunakan nilai probabilitas dari |ut|,
jika hasil regresi siginifikan berarti terdapat masalah heteroskedastisitas.
Hipotesis :
H0 : ρ = 0
H1 : ρ ≠ 0
Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas
adalah sebagai berikut :
1. Probability |ut| α, maka terima H0
Keterangan:
|ut| : Residual (galat)
Jika H0 ditolak maka terjadi heteroskedastisitas dalam model, sebaliknya
jika H0 diterima maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Solusi dari
masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga
model yang baru akan memiliki galat dengan varians yang konstan.
GAMBARAN UMUM
Kawasan Timur Indonesia
Menurut Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2002 mengatakan bahwa
KTI meliputi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Maluku,
Maluku Utara, dan Papua. Kawasan Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau
dan kepulauan dengan luas wilayah daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91
persen dari seluruh wilayah Indonesia. Provinsi Papua mempunyai luas wilayah
daratan paling besar (421.981 km2) atau 32 persen dari luas KTI, sementara
Provinsi Gorontalo memiliki luas daratan paling kecil (12.215 km2) atau 0.9
persen dari luas wilayah KTI. Wilayah Negara Indonesia mempunyai daerah yang
berbatasan dengan 11 negara lain yang sebagian besar terletak di KTI.
Pengelolaan daerah perbatasan tersebut masih rendah, seperti yang terjadi di
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sangihe Talaud, Halmahera, Kei-Aru, Nusa
Tenggara Timur, dan PapuaJumlah penduduk KTI relatif sedikit dengan distribusi
yang tidak merata. Berdasarkan data BPS pada tahun 2010 penduduk KTI
berjumlah 42.008.836 jiwa. Sumber daya alam di KTI baik di daratan maupun di
16
lautan mempunyai potensi yang sangat besar, namun pengelolaannya belum
optimal. Diperkirakan 81,2 persen dari total cadangan bahan tambang Indonesia
terdapat di KTI. Demikian juga dengan sumberdaya alam yang terbarukan seperti
kehutanan, perikanan, dan obyek wisata laut.
Pengeluaran pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan sejumlah dana yang dikeluarkan
pemerintah guna membantu pembangunan suatu daerah. Pengeluaran pemerintah
ini merupakan komponen penyusun pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran
pemerintah menurut fungsi terbagi menjadi sembilan, diantaranya adalah
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, ekonomi, ketertiban dan keamanan,
lingkungan hidup, pariwisata dan budaya, pelayanan umum, pendidikan,
perlindungan sosial, serta perumahan dan fasilitas umum.
Pengeluaran
pemerintah di semua provinsi di KTI yang tertinggi adalah untuk pelayanan
umum. Total belanja pemerintah yang tertinggi adalah di Papua yaitu dengan
nilai 6.290.376 juta rupiah.
Maluku
Utara
Papua
Barat
Total Belanja
Perlindungan
Sosial
Pendidikan
Pariwisata dan
Budaya
Kesehatan
Perumahan
dan Fasilitas
Umum
Lingkungan
Hidup
Ekonomi
Ketertiban
dan
Ketentraman
Pelayanan
Umum
Provinsi
Tabel 3 Realisasi Belanja Pemerintah Tahun 2011 (juta rupiah)
362.283
12.971
118.184
4.436
112.240
65.664
16.856
20.550
11.191
724.375
2.669.236
63.288
303.384
35.314
288.919
73.579
20.294
127.203
48.743
3.629.960
Sulbar
348.131
7.087
122.258
2.801
174.189
27.500
-
40.967
8.434
731.368
Papua
4.013.726
77.203
476.931
17.498
884.602
475.364
32.179
270.683
42.191
6.290.376
Maluku
382.744
16.313
166.492
5.662
240.968
113.984
17.071
142.333
24.354
1.109.921
NTT
520.159
25.347
208.919
7.373
198.322
142.069
17.482
82.903
29.308
1.231.883
NTB
712.282
19.266
203.498
9.194
416.404
200.265
20.127
36.464
33.101
1.650.601
Sulteng
707.686
9.993
208.437
10.532
180.207
176.835
20.270
91.626
20.496
1.426.082
Sulut
629.625
14.042
200.902
8.450
186.421
90.580
19.351
108.131
28.364
1.285.865
Kalsel
1.064.825
16.135
293.747
16.350
276.941
361.747
25.801
370.324
39.864
2.465.734
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan 2011
Jika dilihat berdasarkan provinsi, lima provinsi yang terletak di KTI belanja
pemerintah untuk keperluan kesehatannya relatif lebih tinggi dari belanja
pemerintah untuk pendidikan. Bahkan, Provinsi Papua rentang nilai antara belanja
pendidikan dan kesehatan cukup jauh. Sementara itu, lima provinsi lainnya seperti
Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan.
Provinsi Kalimantan Selatan adalah daerah yang nilai belanja pemerintah untuk
pendidikannya hampir sama dengan kesehatan (lihat Gambar 5).
17
500,000
450,000
400,000
350,000
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
-
Kesehatan
Pendidikan
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 2011
Gambar 5 Realisasi Belanja Pemerintah untuk Pendidikan dan Kesehatan Tahun
2011 (juta rupiah)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Tata Kelola Ekonomi Daerah Kawasan Timur Indonesia
Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) kabupaten/kota yang terletak di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki keragaman nilai. Masing - masing
kabupaten/kota menempati peringkat tersendiri yang diurutkan berdasarkan tinggi
rendahnya indeks TKED yang diperoleh dari pehitungan sembilan sub-indeks.
Sub indeks tersebut mencangkup akses lahan, infrastruktur daerah, perizinan
usaha, peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas
bupati/walikota, interaksi pemda dan pelaku usaha, program pembangunan usaha
swasta, serta keamanan dan penyelesaian konflik. Nilai sub indeks diperoleh dari
angka normalisasi hasil survei yang dilakukan oleh Komite Pemantauan
Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada September 2010 - Januari 2011.
Kabupaten Seruyan yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah memliki
nilai tertinggi dalam sub indeks akses lahan dengan nilai indeks 92,3. Artinya
bahwa Kabupaten Seruyan memiliki kemudahan dalam memperoleh lahan usaha.
Kemudahan mengakses lahan dapat dilihat dari pendekatan lamanya mengurus
sertifikat tanah. Rata-rata waktu pengurusan tanah di Kabupaten Seruyan adalah
2,5 minggu. Sedangkan, daerah yang memiliki nilai sub indeks akses lahan
terendah adalah Kabupaten Kepulauan Yapen yang terletak di Provinsi Papua
dengan nilai 42,4. Kepulauan Yapen cenderung lebih lama dalam mengurus
sertifikat tanah yaitu membutuhkan waktu 8 minggu. Selain itu kemudahan dalam
memperoleh lahan di Kabupaten Seruyan sebesar 84 persen. Disisi lain Kabupaten
Kepulauan Yapen kemudahan mendapatkan lahannya hanya 25,5 persen.
18
Pendekatan lainnya untuk menilai kemudahan mengakses lahan adalah adanya
Pendekatan lainnya untuk menilai kemudahan mengakses lahan adalah adanya
penggusuran lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebesar 100 persen
tidak pernah terjadi penggusuran lahan di Kabupaten Seruyan. Sedangkan di
Kepulauan Yapen 25 persen mungkin terjadinya penggusuran lahan.
Sub indeks infrastruktur daerah memiliki bobot yang paling tinggi dalam
membangun nilai indeks TKED yaitu sebesar 37,9 persen. Daerah yang memiliki
nilai infrastruktur daerah yang paling tinggi adalah Kabupaten Pulang Pisau
(Provinsi Kalimantan Tengah) dengan nilai 87,7. Angka ini menunjukkan bahwa
Kabupaten Pulang Pisau memiliki kualitas infrastruktur yang baik dilihat dari
aspek kondisi jalan, lampu penerangan jalan, air PDAM, listrik PLN dan telepon.
Berbeda dengan Kabupaten Seram Bagian Timur (Maluku) yang merupakan
daerah yang nilai infrastruktur daeranya terendah yaitu 30,5. Jika dilihat dari
kondisi jalan, kondisi jalan di Kabupaten Pulang Pisau 100 persen baik sedangkan
di Kabupaten Seram Bagian Timur kondisi jalannya hanya 26 persen baik.
Infrastruktur lampu jalan Kabupaten Pulang Pisau 71,42 persen dalam keadaan
baik dan hanya 2 persen kondisi lampu jalan di Kabupaten Seram Bagian Timur
dalam kondisi baik. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur di
Kabupaten Seram Bagian Timur masih buruk, termasuk infrastruktur lainnya
seperti PDAM, listrik dan telepon.
Penilaian sub indeks infrastruktur daerah juga dibangun dengan pendekatan
lamanya perbaikan infrastruktur. Kabupten Pulang Pisau memerlukan waktu
sekitar 22 hari untuk perbaikan jalan dan 11 hari lamanya untuk perbaikan lampu
jalan. Kabupaten Pulang Pisau dalam hal ini memerlukan waktu yang relatif
sedikit untuk perbaikan infrastruktur jalan dan lampu jalan dibandingkan dengan
Kabupaten Seram Bagian Timur. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki
jalan di Kabupaten Seram Bagian Timur adalah 325 hari dan lama perbaikan
lampu jalan adalah 184 hari.
Kabupaten Gunung Mas 100 persen perusahaannya sudah memiliki Tanda
Daftar Perusahaan (TDP) dan
TINGKAT KEMISKINAN DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
HESTY AMBAR SARY
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Tata Kelola
Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan
Manusia di Kawasan Timur Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Hesty Ambar Sary
NIM H14100007
ABSTRAK
HESTY AMBAR SARY. Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat
Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia. Dibimbing
oleh WIWIEK RINDAYATI.
Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan daerah bagian Indonesia yang
memiliki kekayaan sumberdaya alam (SDA) melimpah yang dapat dikembangkan dan
berpotensi untuk menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan. Namun, kekayaan SDA
yang melimpah ini belum didukung oleh SDM yang secara kualitas dan kuantitas baik.
Hal ini dapat tercemin dari nilai IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di KTI yang relatif
rendah. Otonomi daerah yang mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan diharapkan dapat meningkatkan IPM dan
mengurangi kemiskinan di daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan TKED, kemiskinan dan IPM di wilayah KTI serta untuk menganalisis
pengaruh TKED terhadap tingkat kemiskinan dan IPM. Data diolah dengan menggunakan
analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda dengan estimasi Ordinary Least
Square. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi TKED di KTI masih timpang. Tingkat
kemiskinan kabupaten/kota di wilayah KTI masih tinggi dan nilai IPM relatif masih
rendah. Variabel yang secara signifikan mampu meningkatkan nilai IPM di KTI adalah
perizinan usaha, peraturan daerah, Kapasitas dan integritas bupati/walikota, keamanan
dan penyelesaian konflik, PDRB per Kapita serta belanja pendidikan. Sedangkan variabel
yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan adalah infrastruktur daerah, perizinan usaha,
kapasitas dan integritas bupati/walikota, keamanan dan penyelesaian konflik, PDRB per
kapita dan belanja pendidikan.
Kata Kunci : KTI, IPM, TKED dan Tingkat Kemiskinan
ABSTRACT
HESTY AMBAR SARY. Impact of Local Economic Governance on Poverty and Human
Development Index in East Indonesia. Supervised by WIWIEK RINDAYATI.
East Indonesia is a part of Indonesian region which has a wealth of natural that
can be developed and potential to become a growth centers. However, this wealth natural
resource has not been supported by human resource both in quality and quantity. This can
be reflected from the HDI (Human Development Index) in a relatively low in East
Indonesia. Regional autonomy was implemented in Indonesia since 2001 aims to improve
the welfare of the society and is expected to increase HDI and reduce poverty. The
objective of this study is to describe Local Economic Governance (LEG), poverty and
HDI in the region and to analyze the impact of LEG on poverty and HDI in East
Indonesia. The data were processed using descriptive analysis and multiple regression
analysis to estimate Ordinary Least Square. The results showed that LEG conditions in
East Indonesia still inequity. The level of poverty districts/cities in East Indonesia is still
high and HDI is still relatively low. Variables that can significantly increase the HDI in
East Indonesia is business licensing, regulatory regions, capacity and integrity of regent /
mayor, security and conflict resolution, as well as GDP per capita and education spending.
While the variables that can reduce the level of poverty is local infrastructure, business
licensing, capacity and integrity of regent/mayor, security and conflict resolution, GDP
per capita and education spending .
Keywords: East Indonesia, HDI, LEG and Poverty
PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH TERHADAP
TINGKAT KEMISKINAN DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
HESTY AMBAR SARY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat
Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan
Timur Indonesia
Nama
: Hesty Ambar Sary
NIM
: H14100007
Disetujui oleh
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M. Si.
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks
Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia. Judul tersebut dipilih
mengingat pentingnya pembangunan di KTI yang saat ini belum terlaksana secara
menyeluruh, khususnya pembangunan manusia dan masalah kemiskinan yang
masih tinggi di KTI, apakah hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan tata
kelola ekonomi yang baik oleh pemerintah daerah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si
selaku pembimbing, serta Ibu Dr. Sri Mulatsih, M.Sc Agr dan Bapak Salahuddin
El Ayyubi, MA yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, kakak dan adik penulis atas
segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terimaskih kepada
pihak KPPOD (Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah), BPS
(Badan Pusat Statistik) dan pihak lain atas sharing datanya. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada teman-teman satu bimbingan dan seluruh temanteman baik penulis atas saran, dukungan dan semangatnya yang luar biasa.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014
Hesty Ambar Sary
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
5
Hipotesis Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
Tinjauan Teori
5
Penelitian Terdahulu
9
Kerangka Pemikiran
10
METODE
11
Jenis dan Sumber Data
11
Metode Analisis Data
12
Pengujian Asumsi
13
GAMBARAN UMUM
15
Kawasan Timur Indonesia
15
Pengeluaran pemerintah
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Kondisi Tata Kelola Ekonomi Daerah Kawasan Timur Indonesia
17
Kondisi Kemiskinan dan Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia
Tahun 2011
21
Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan di
Kawasan Timur Indonesia
22
Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia
di Kawasan Timur Indonesia
25
SIMPULAN DAN SARAN
28
Simpulan
28
Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
43
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Presentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2011 (persen)
Batas Kritis pada Pengujian Durbin-Watson
Realisasi Belanja Pemerintah Tahun 2011 (juta rupiah)
Hasil estimasi output Variabel Kemiskinan
Hasil Estimasi Output Variabel IPM
2
14
16
23
26
DAFTAR GAMBAR
1 Indeks Pembangunan Manusia Provinsi di Kawasan Timur Indonesia
dan Nasional Tahun 2009-2011
2 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah
3 Lingkaran Perangkap Kemiskinan
4 Kerangka Pemikiran
5 Realisasi Belanja Pemerintah untuk Pendidikan dan Kesehatan Tahun
2011 (juta rupiah)
6 Kabupaten/Kota dengan Nilai Sub Indeks Terkecil dan Terbesar
7 Tingkat Kemiskinan Kawasan Timur Indonesia Tahun 2011
8 Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan timur Indonesia Tahun
2011
1
6
7
11
17
19
21
22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah di Kawasan Timur
Indonesia Tahun 2011
2 Data Tingkat Kemiskinan di KTI Tahun 2011
3 Realisasi Belanja Pendidikan dan Kesehatan Pemerintah Daerah di
KTI tahun 2011 (persen)
4 Hasil Estimasi Output Variabel Kemiskinan
5 Uji Normalitas Variabel Kemiskinan
6 Uji Heteroskedastisitas dengan uji ARCH
7 Uji Multikolinieritas Variabel Kemiskinan
8 Hasil Estimasi Output Variabel IPM
9 Uji Normalitas Variabel IPM
10 Uji Heteroskedastisitas dengan Uji ARCH Variabel IPM
11 Uji Multikolinieritas Variabel IPM
31
33
36
38
39
39
40
40
41
41
42
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan daerah bagian Indonesia yang
memiliki kekayaan sumberdaya alam melimpah yang dapat dikembangkan dan
berpotensi untuk menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan. Luas daratan
kawasan ini mencapai 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91 persen dari luas wilayah
Indonesia. Potensi yang terdapat di wilayah KTI berupa kekayaan sumberdaya
kelautan, perkebunan, pertanian, kehutanan serta pertambangan dan energi.
Sebesar 70 persen dari total potensi perikanan laut nasional terdapat di wilayah
KTI. Kekayaan sumberdaya alam yang melimpah di wilayah KTI belum didukung
oleh sumberdaya manusia yang secara kualitas dan kuantitas baik, sehingga
potensi tersebut belum dikelola secara optimal. Menurut Todaro dan Smith (2006),
besar kecilnya potensi pertumbuhan ekonomi suatu Negara atau daerah sangat
dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas sumberdaya yang dimilikinya, baik itu
sumberdaya fisik maupun sumberdaya manusia. Keduanya harus berjalan
beriringan untuk menciptakan suatu kondisi ekonomi yang lebih baik.
Salah satu indikator untuk melihat kualitas sumberdaya manusia adalah
dengan menggunakan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dibangun
dari beberapa aspek kehidupan yang penting, yaitu usia yang panjang dan hidup
sehat, tingkat pendidikan yang memadai, dan standar hidup yang layak (Kuncoro
2004). IPM merupakan suatu gambaran mengenai tingkat kesejahteraan suatu
masyarakat. Semakin tinggi nilai IPM suatu daerah menunjukkan bahwa
sumberdaya manusia daerah tersebut semakin sejahtera dan berkualitas.
78.00
76.00
74.00
72.00
70.00
68.00
66.00
64.00
62.00
60.00
58.00
2009
2010
Indonesia
Papua Barat
Papua
Maluku Utara
Maluku
Sultra
Sulbar
Sulsel
Sulteng
Gorontalo
Sulut
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Kalbar
NTT
NTB
2011
Sumber : BPS 2013
Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia Provinsi di Kawasan Timur Indonesia
dan Nasional Tahun 2009-2011
2
Berdasarkan Gambar 1, secara umum IPM di KTI mengalami peningkatan
dari tahun 2009 sampai 2011 dan nilainya masih tergolong kelompok menengah
dengan rentang nilai 50-79. Namun, jika dibandingakan dengan nilai IPM
nasional, secara umum IPM provinsi-provinsi di KTI masih berada di bawah nilai
IPM nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2011, hanya
Provinsi Sulawesi Utara (76,54), Kalimantan Tengah (75,06), Kalimantan Timur
(76,22) yang memiliki nilai IPM diatas IPM nasional (72,77). Bahkan beberapa
provinsinya memiliki nilai indeks yang masih lebih rendah jika dibandingkan
dengan nilai IPM provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini
menunjukkan bahwa masih terjadinya kesenjangan antara KBI dan KTI.
Kesejahteraan masyarakat tidak hanya dilihat dari tinggi atau rendahnya
nilai IPM tetapi dapat juga dilihat dari tingkat kemiskinan. Masalah kemiskinan
merupakan masalah yang umumnya terjadi di Negara berkembang, salah satunya
adalah Indonesia. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia masih terhitung tinggi
dengan presentase 12,49 persen pada tahun 2011 (lihat Tabel 1). Bahkan tingkat
kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia juga terhitung tinggi dengan presentase
diatas tingkat kemiskinan Indonesia, khususya beberapa provinsi yang terletak di
wilayah KTI. Provinsi Papua merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan paling
tinggi diantara seluruh provinsi di Indonesia dengan nilai 31,98 persen.
Tabel 1 Presentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2011 (persen)
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Sumber : BPS 2013
Presentase
Penduduk
Miskin
19,57
11,33
9,04
8,47
8,65
14,24
17,50
16,93
5,75
7,40
3,75
10,65
15,76
16,08
14,23
6,32
4,20
Provinsi
NTB
NTT
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia
Presentase
Penduduk
Miskin
19,73
21,23
8,60
6,56
5,29
6,77
8,51
15,83
10,29
14,56
18,75
13,89
23,00
9,18
31,92
31,98
12,49
3
Rendahnya nilai IPM dan masih tingginya persentase penduduk miskin di
KTI menunjukkan pembangunan yang tidak merata di wilayah Indonesia. Hal ini
mencerminkan belum optimalnya pelaksanaan otonomi daerah yang sudah
dilaksanakan selama lebih dari satu dekade. Kebijakan otonomi daerah mulai
diterapkan di Indonesia pada tahun 2001 dengan memberikan wewenang kepada
pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya secara mandiri demi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Salah satu tujuan dari diterapkannya
kebijakan otonomi daerah adalah mengurangi kesenjangan yang terjadi di daerahdaerah. Namun saat ini kesenjangan antar daerah masih tejadi khususnya pada
wilayah KBI dan KTI.
Pengelolaan daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang selanjutnya
disebut dengan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) merupakan peran
pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerahnya melalui
pengembangan usaha. TKED yang baik diharapkan dapat meningkatkan iklim
investasi di suatu daerah sehingga dapat menarik banyak investor khususnya
swasta untuk menanamkan modal di daerah. Investasi swasta merupakan
penggerak perekonomian yang sangat penting. Dengan investasi swasta yang
tumbuh, lapangan pekerjaan dapat berkembang dan kemiskinan dapat dikurangi
secara berkelanjutan (KPPOD 2011). Oleh karena itu, untuk dapat menarik dan
mempertahankan investasi, dibutuhkan iklim usaha yang baik.
Menurut Sen dalam Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi
dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai tujuan akhir, pembangunan
haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan yang kita jalani
dan kebebasan yang kita nikmati. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tujuan
akhir dari pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat dimana tingkat
kemiskinan dapat menurun dan IPM meningkat. Hal ini tentu saja harus didukung
oleh peningkatan faktor ekonomi lainnya yaitu investasi swasta yang mana dapat
ditingkatkan dengan melakukan TKED yang baik. Oleh karena itu, perlu dikaji
apakah TKED yang dilakukan oleh pemerintah daerah sudah secara efektif
mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan IPM di KTI.
Perumusan Masalah
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian
diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah telah diberikan
kewenangan untuk mengelola daerahnya secara mandiri. Otonomi daerah yang
mulai diterapkan di Indonesia selama lebih dari satu dekade tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara mengatasi kesenjangan
pembangunan yang terjadi antar daerah. Pemerintah daerah memiliki hak untuk
mengembangkan potensi daerahnya kearah pembangunan yang berkelanjutan.
Saat ini, tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah belum tercapai seluruhnya.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang cepat pada kenyataannya hanya
terjadi di beberapa daerah tertentu. Kesenjangan antar daerah seperti daerah Jawa
dan luar Jawa, daerah Kabupaten dan Kota serta daerah KBI dengan KTI masih
menjadi masalah yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia saat ini.
Pertumbuhan ekonomi daerah di KTI mengalami peningkatan selama beberapa
tahun terakhir, namun nilainya masih rendah jika dibandingkan dengan KBI.
4
Selain itu, kemiskinan tinggi dan pembangunan manusia yang rendah masih
menjadi masalah yang terjadi di daerah KTI.
Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah diharapkan dapat digunakan
untuk membangun perekonomian daerahnya. Dengan wewenang tersebut,
pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya daerahnya, salah satunya dengan
melakukan TKED. TKED merupakan suatu upaya pemerintah daerah untuk
menciptakan iklim investasi yang baik. Sehingga melalui TKED ini pemerintah
daerah dapat mengembangkan dan memajukan usaha-usaha di daerah serta
menarik para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Melalui
peningkatan investasi ini, TKED selanjutnya dapat menanggulangi masalah
kemiskinan dan meningkatkan nilai IPM daerah.
Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang
dapat diajukan adalah:
1. Bagaimana kondisi TKED, IPM dan tingkat kemiskinan di KTI pada tahun
2011
2. Bagaimana pengaruh TKED dan faktor lainnya terhadap tingkat
kemiskinan dan IPM di KTI tahun 2011.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menawarkan jawaban terhadap
permasalahan yang dihadapi, yaitu :
1. Mendeskripsikan kondisi TKED, IPM dan tingkat kemiskinan di KTI
pada tahun 2011
2. Menganalisis pengaruh TKED dan faktor lainnya terhadap tingkat
kemiskinan dan IPM di KTI tahun 2011.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara
lain :
1. Sebagai bahan pembelajaran dan sarana untuk menambah pengetahuan
bagi penulis
2. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak
terkait dalam perumusan dan implementasi kebijakan dalam pembangunan
manusia dan pengentasan kemiskinan di kawasan timur Indonesia.
3. Sebagai informasi studi pustaka bagi penelitian selanjutnya, khususnya
mengenai tata kelola ekonomi daerah, otonomi daerah, pembangunan
manusia dan kemiskinan.
5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)
yang terdiri dari sembilan sub indeks terhadap tingkat kemiskinan dan indeks
pembangunan manusia di KTI. Selain itu juga membahas faktor-faktor yang
memengaruhi kemiskinan dan IPM selain dari sembilan sub indeks TKED seperti
PDRB per Kapita, belanja pendidikan dan kesehatan daerah. Penelitian ini hanya
meneliti pengaruh tersebut di 101 kabupaten/kota yang berasal dari 12 Provinsi di
KTI pada tahun 2011 yang sebelumnya telah dilakukan survei oleh KPPOD
(Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah).
Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Diduga variabel sub-indeks TKED memiliki pengaruh yang positif terhadap
IPM dan memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat kemiskinan
kabupaten/kota di KTI.
2. Diduga variabel PDRB per kapita memiliki pengaruh positif terhadap IPM dan
negatif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di KTI.
3. Diduga realisasi belanja pendidikan dan kesehatan memiliki pengaruh yang
positif terhadap IPM dan negatif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota
di KTI.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Otonomi Daerah
Bentuk pemerintahan Indonesia yang dulu bersifat sentralistis dianggap
tidak efektif. Oleh karena itu, terbentuklah UU No. 22 Tahun 1999 tentang
pemerintah daerah yang ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak
tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi, yang
mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, adil dan
sejahtera (Abdullah 2005). Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini,
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah lebih bersifat desentralistis, dalam
arti sebagian besar wewenang di bidang pemerintahan diserahkan kepada daerah.
Wewenang yang tetap dimiliki oleh pemerintah pusat adalah wewenang di bidang
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta
agama. UU No. 22 Tahun 1999 kemudian disempurnakan dengan UU No. 32
Tahun 2004 yang lebih menegaskan tugas dari pemerintah daerah.
6
Tata Kelola Ekonomi Daerah
Terdapat dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan
kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha.
Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha
memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah.
Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan
kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari
pemodalan swasta.
Keahlian manajemen
meningkatkan kinerja
Keahlian
Tingkat keahlian
mendorong perusahaan
menggunakan dan
mengembangkan
teknologi baru
Perusahaan
Perusahaan baru meningkatkan
permintaan terhadap tenaga kerja
ahli
PEMDA
Inovasi
Investasi modal fisik
meningkatkan tingkat
inovasi perusahaan
Perusahaan baru
meningkatkan
kompetisi pasar
Kompetisi
Meningkatkan kompetisi pasar
mendorong tingkat inovasi
PEMDA
Peningkatan kompetisi
mendorong insentif
positif bagi keadaan
berusaha
INVESTASI
Sumber: KPPOD 2007
Gambar 2 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah
Faktor penggerak produktivitas daerah yang terbentuk pada suatu daerah
merupakan sebuah mekanisme dinamika yang terjadi pada sektor swasta. Hal ini
terlihat pada Gambar 2. Kompetisi dan inovasi dari adanya kehadiran perusahaan
dan tenaga kerja yang berkualitas baik diharapkan dapat menciptakan tingkat
investasi tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak
produktivitas daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik.
Berdasarkan hipotesa ini, keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu
menjadi sangat penting (KPPOD 2007).
Konsep tata kelola ekonomi daerah menyoroti sejumlah kebijakan daerah
terkait dunia usaha di kabupaten/kota Indonesia. Namun kebijakan terkait dunia
usaha yang dihadapi pelaku usaha sehari-hari di daerah tidak hanya dibuat oleh
pemda. Didalam interaksinya terdapat kebijakan pusat yang berlaku di daerah,
pihak legislatif daerah, dan pihak eksekutif daerah. Interaksi diantara ketiganya
sedikit-banyak memengaruhi keadaan berusaha di suatu daerah.
7
Kemiskinan
Kemiskinan absolut merupakan sejumlah penduduk yang tidak mampu
mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian dan rumah. Menurut BPS, penduduk yang dikatakan miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pegeluaran per kapita perbulan dibawah
garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis
Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang
disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan
dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan,
daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan
lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan
minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi
kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47
jenis komoditi di pedesaan.
Tinggi rendahya tingkat kemiskinan di suatu Negara tergantung pada dua
faktor utama, yaitu tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan lebar sempitnya
kesenjangan distribusi pendapatan (Todaro dan Smith 2006). Pendapatan nasional
per kapita suatu Negara yang tinggi jika distribusi pendapatannya tidak merata,
maka tingkat kemiskinan di Negara tersebut akan tetap tinggi. Demikian pula
sebaliknya, semerata apapun distribusi pendapatan di suatu Negara, jika tingkat
pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka kemiskinan juga akan semakin
meluas.
Kekayaan alam kurang dikembangkan
Masyarakat masih terbelakang
Kekurangan modal
Produktivitas
Rendah
Pembentukan modal rendah
Tabungan rendah
Pendapatan rill rendah
Gambar 3 Lingkaran Perangkap Kemiskinan
8
Kemiskinan seringkali dipandang sebagai suatu lingkaran setan (the vicious
circle of poverty) atau dikenal sebagai perangkap kemiskinan yaitu serangkaian
kekuatan yang saling memengaruhi secara sedemikian rupa sehingga
menimbulkan keadaan dimana suatu negara akan tetap mengalami banyak
kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi (Sukirno
2010). Meier dan Balwin dalam Sukirno mengemukakan bahwa lingkaran
perangkap kemiskinan ini timbul dari hubungan saling memengaruhi antara
keadaan masyarakat yang masih terbelakang dan tradisional dengan kekayaan
alam yang belum dikembangkan. Dimana kekayaan sumberdaya alam tanpa
pengolahan yang efektif dari sumberdaya manusianya akan menimbulkan
produktivitas yang rendah dan berdampak pada pendapatan rill yang rendah.
Pendapatan rendah secara langsung memengaruhi tingkat modal rendah dan akan
menyebabkan suatu daerah kekurangan modal sehingga masyarakat tetap dalam
keadaan terbelakang.
Pembangunan Manusia
Pembangunan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari pembangunan
manusia. Pembangunan manusia dapat diukur melalui nilai Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). IPM mencoba untuk menilai semua Negara dari skala 0 (tingkat
pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat pembangunan
manusia yang tertinggi) berdasarkan 3 tujuan atau produk akhir pembangunan.
Pertama, masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia harapan hidup. Kedua,
pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang
dewasa secara terimbang dan rata-rata tahun bersekolah. Ketiga, standar
kehidupan (standard of living) yang diukur dengan pendapatan rill per kapita,
disesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity) dari mata uang
setiap Negara untuk mencerminkan biaya hidup dan untuk memenuhi asumsi
utilitas marginal yang semakin menurun dari pendapatan.
Hubungan Tata Kelola Ekonomi dengan Pembangunan Manusia
Tata kelola ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dilakukan guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui jalur investasi. Walaupun
begitu, tujuan akhirnya tetap kesejahteraan masyarakat dalam hal ini manusianya.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan manusia secara
empiris terbukti tidak bersifat otomatis. Artinya, banyak negara yang mengalami
pertumbuhan ekonomi yang cepat tanpa diikuti oleh pembangunan manusia yang
seimbang. Sebaliknya, banyak pula negara yang mengalami pertumbuhan
ekonomi pada tingkat yang sedang tetapi terbukti dapat meningkatkan kinerja
pembangunan manusia secara mengesankan. Pertumbuhan ekonomi merupakan
sarana utama bagi pembangunan manusia terutama pertumbuhan ekonomi yang
merata secara sektoral dan kondusif terhadap penciptaan lapangan kerja.
Hubungan antara pertumbuhan pembangunan manusia dan ekonomi
berlangsung melalui dua macam jalur. Jalur pertama melalui kebijaksanaan dan
pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah
pengeluaran pemerintah untuk subsektor sosial yang merupakan prioritas seperti
pendidikan dan kesehatan. Jalur kedua adalah melalui kegiatan pengeluaran
9
pengeluaran rumah tangga. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah
pengeluaran rumah tangga dimana penduduk miskin hanya memiliki pengeluaran
yang kecil (Soebono, 2005).
Penelitian Terdahulu
Tombolotutu (2013) menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah dan
keuangan daerah terhadap kinerja perekonomian daerah kabupaten/kota di
Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini menggunakan OLS untuk menganalisis
modelnya dan hasil analisis menunjukkan bahwa untuk meningkatkan
perekonomian daerah (peningkatan PDRB per kapita, pengurangan pengangguran,
pengurangan penduduk miskin) dapat dilakukan dengan tata kelola yang baik,
yaitu : dengan kondisi lampu jalan yang lebih baik di sekitar tempat usaha, lama
perbaikan listrik yang lebih cepat, lama perbaikan PDAM yang lebih cepat,
program pengembangan usaha swasta (pelatihan pengajuan kredit yang dilakukan
oleh program pengembangan usaha swasta, dan tingkat manfaat bagi dunia usaha).
Rusdarti dan Sebayang (2013) menganalisis faktor-faktor yang
memengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah dengan menggunakan Ordinary Least
Square (OLS). Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa PDRB berpengaruh
negatif terhadap persentase jumlah penduduk miskin, sedangkan pengangguran
tidak berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin di masing-masing
kabupaten/kota Jawa Tengah. Variabel belanja publik bernilai positif dan
signifikan secara statistik. Hal ini disebabkan masih dominannya belanja
operasional pemerintahan dengan orientasi belanja pegawai yang semakin tinggi
menyebabkan rendahnya prioritas pada pelayanan publik, sehingga belanja publik
tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Belanja publik yang
digunakan dalam penelitia ini termasuk belanja untuk pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur.
Sittha (2012) menganalisis hubungan tata kelola pemerintah dengan
penanggulangan kemiskinan di Thailand dengan menggunakan analisis korelasi
Pearson. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara keduanya yang artinya semakin baik tata kelola yang dilakukan pemerintah,
maka dapat mengurangi kemiskinan. Selain itu, hasil analisis dengan korelasi
Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Artinya
pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menanggulangi masalah
kemiskinan, tetapi perlu peran pemerintah dalam melakukan tata kelola ekonomi
di daerah. Tata kelola yang baik akan memacu pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi kemiskinan ketika pertumbuhan bersifat pro-poor.
Zulfiqar et al (2012) menganalisis tata kelola ekonomi dan IPM dengan
wilayah studi di Pakistan tahun 1976-2009 dengan menggunakan analisis OLS
pada data time series. Penelitian ini menemukan bahwa kondisi tata kelola
ekonomi yang baik di Pakistan akan memengaruhi kondisi IPM secara positif.
Penelitian ini menggunakan 4 indikator untuk menilai tata kelola ekonomi yaitu
GNE (Gross National Expenditure), Remitansi, inflasi dan total cadangan. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa 4 variabel tersebut berpengaruh secara signifikan
10
terhadap IPM. GNP dan total cadangan berpengaruh positif, sedangkan variabel
inflasi dan remitansi berpengaruh negatif terhadap IPM.
Ginting et al (2008) meneliti tentang pembangunan manusia di Indonesia
dan faktor-faktor yang memengruhinya dengan menggunakan metode GLS
(Generelize Least Square). Data yang digunakan merupakan data time series pada
tahun 1996, 1999, 2002, 2004, 2005 dan 2006 dan data cross section pada 26
provinsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga
untuk makanan berpengaruh negatif, sedangkan pengeluaran rumah tangga untuk
bukan makanan berpengaruh positif. Hal ini sesuai dengan Hukum Engle yang
meyatakan bahwa semakin sejahtera suatu rumah tangga/masyarakat maka
semakin kecil proporsi pengeluaran konsumsi untuk makanan. Sementara itu,
rasio penduduk miskin berpengaruh negatif, dan pengeluaran pemerintah untuk
pendidikan berpengaruh postif terhadap pembangunan manusia. Variabel
pengeluaran pemerintah untuk pendidikan merupakan variabel yang pengaruhnya
terbesar terhadap pembangunan manusia.
Kerangka Pemikiran
Indonesia terbagi menjadi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan
Timur Indonesia (KTI). KTI merupakan wilayah yang kaya akan sumberdaya
alam dan berpotensi untuk menjadi pusat pertumbuhan. Saat ini, potensi
sumberdaya yang ada di daerah telah dikelola oleh masing-masing daerah.
Kebijakan otonomi daerah yang sudah diterapkan sejak tahun 2001 mengatur
tentang pemindahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Tujuan dari otonomi adalah kesejahteraan masyarakat yang dapat dilihat dari
beberapa indikator yaitu tingkat kemiskinan dan IPM. Indikator ini akan menjadi
variabel dependen yang dianalisis dengan regresi linier berganda dan dilihat
apakah indikator tersebut dipengaruhi oleh sembilan sub-indeks TKED dan
variabel lainnya yaitu PDRB per kapita, belaja pendidikan dan belanja kesehatan.
Selain itu, TKED, tingkat kemiskinan dan pembangunan manusia akan dianalisis
secara deskriptif untuk mengetahui kondisinya di KTI pada tahun 2011.
11
Kawasan Timur Indonesia
Otonomi Daerah
UU No. 32 Tahun 2004
Pengelolaan oleh pemerintah
daerah melalui Tata Kelola
Ekonomi Daerah (TKED)
Analisis
Deskriptif
Sembilan subsektor TKED :
1. Akses Lahan
2. Infrastruktur Daerah
3. Perizinan Usaha
4. Peraturan di Daerah
5. Biaya Transaksi
6. Kapasitas dan Integritas
Bupati/Walikota
7. Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha
8. Program Pembangunan Usaha
Swasta
9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik
Tingkat Kemiskinan
Meningkatkan
investasi
daerah
Faktor lainnya :
PDRB/Kapita
Belanja Pendidikan
Belanja Kesehatan
Indeks Pembangunan Manusia
Analisis Regresi Linier Berganda
Implementasi
Kebijakan
Gambar 4 Kerangka Pemikiran
METODE
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
tersebut merupakan data cross section tahun 2011 indikator Tata Kelola Ekonomi
Daerah (TKED) yang diperoleh dari Komite Pemantauan Penyelenggaraan
Otonomi Daerah (KPPOD), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per
Kapita, tingkat kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diperoleh dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat serta realisasi Anggaran Pendapatan Belanja
12
Daerah (APBD) untuk Pendidikan dan kesehatan yang diperoleh dari Direktorat
Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK).
Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif
Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan
data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna.
Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan
pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian
hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya
mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis deskriptif
dalam penelitian ini digunakan untuk mengintrepertasikan data kuantitatif secara
sederhana. Analisis deskriptif ini mengkaji secara eksploratif mengenai gambaran
tata kelola ekonomi daerah, tingkat kemiskinan dan indeks pembangunan manusia
dengan bantuan tabel dan grafik.
Analisis Regresi Berganda
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan tujuan untuk
menganalisis keterkaitan hubungan yang signifikan antara delapan indikator tata
kelola ekonomi daerah dengan tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan
Manusia kabupaten dan kota di Kawasan Timur Indonesia. Estimasi koefisien
regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Salah satu
regresi dalam OLS adalah regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda
menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang
merupakan penyebab dan variabel Y (variabel tak bebas) yang merupakan akibat.
Analisis linear berganda berfokus pada ketergantungan satu variabel tak bebas
terhadap satu atau lebih variabel penjelas (variabel bebas).
Model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola
ekonomi daerah terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Kawasan Timur
Indonesia adalah sebagai berikut:
KMSi = α0i + α1lnALi + α2lnIDi + α3lnPUi + α4lnPDi + α5lnBTi + α6lnKIi + α7lnIPi +
α8lnPPi + α9lnKPi + α10 lnPDRBi + α11BPi + α12BKi + ei
Sedangkan model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata
kelola ekonomi daerah terhadap IPM adalah sebagai berikut:
lnIPM = β0i + β1lnALi + β2lnIDi + β3lnPUi + β4lnPDi + β5lnBTi + β6lnKIi +
β7lnIPi + β8lnPPi + β9lnKPi +β10 lnPDRBi+ β11BPi + β12BKi + ei
Keterangan :
KMSi : Presentase penduduk miskin kabupaten/kota di KTI (persen)
IPMi : Nilai Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di KTI
13
ALi
IDi
PUi
PDi
BTi
KIi
: Nilai sub indeks akses lahan kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks infrastruktur daerah kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks perizinan usaha kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks peraturan daerah kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks biaya transaksi kabupaten/kota di wilayah KTI
: Nilai sub indeks kapasitas dan integritas bupati/walikota kabupaten/kota
di wilayah KTI
IPi
: Nilai sub indeks interaksi pemda dengan pelaku usaha kabupaten/kota di
wilayah KTI
PPi
: Nilai sub indeks program pembangunan usaha swasta kabupaten/kota di
wilayah KTI
KPi
: Nilai sub indeks keamanan dan penyelesaian koflik kabupaten/kota di
wilayah KTI
PDRBi : Produk domestik regional bruto per kapita kabupaten/kota di KTI
(rupiah)
BPi
: Persentase realisasi belanja pendidikan terhadap belanja total
kabupaten/kota di KTI (persen)
BKi : Persentase realisasi belanja kesehatan terhadap belanja total
kabupaten/kota di KTI (persen)
Model tersebut selanjutnya akan dianalisis menggunakan kriteria-kriteria uji
statistik dan uji asumsi ekonometrik agar memenuhi persyaratan metode analisis
OLS dan terbebas dari masalah-masalah multikolinieritas, autokorelasi, dan
heteroskedastisitas.
Pengujian Asumsi
Uji Multikolinearitas
Masalah multikolinieritas ialah situasi di mana terjadinya korelasi antara
satu atau lebih variabel independen dengan variabel independen lainnya. Bila
terjadi multikonlinieritas sempurna dalam model, maka dapat mengakibatkan
koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir dan nilai standar error koefisien
regresi menjadi tidak terhingga. Jika berdasarkan hasil uji t-statistik ternyata
variabel-variabel independen yang digunakan semuanya signifikan secara parsial
dengan R2 yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa model dalam penelitian ini
tidak terdapat masalah multikolinearitas atau bebas dari multikolinieritas. Selain
dengan cara sederhana seperti telah diterangkan sebelumnya, cara lain untuk
mendekteksi adanya multikolinieritas adalah dengan melihat apakah nilai
koefisien korelasi antar variabel independennya lebih besar dari 0,80, maka dapat
dikatakan terjadi masalah multikolinieritas pada taraf yang serius. Hasil matriks
korelasi parsial antar regresor (Coefficient Correlation Matrix). Jika model
mengandung masalah multikolinieritas ada 2 pilihan yang dapat kita lakukan yaitu
membiarkan model tetap mengandung multikolinieritas atau akan memperbaiki
model. Jika pilihan pertama, maka dapat dikatakan bahwa model yang
mengandung masalah multikolinieritas tetap menghasilkan estimator yang BLUE
14
karena masalah estimator yang BLUE tidak memerlukan asumsi tidak adanya
korelasi antar variabel independen. Multikolinieritas hanya menyebabkan
kesulitan dalam memperoleh estimator dengan standard eror yang kecil. Masalah
multikolinieritas juga timbul karena hanya memiliki jumlah observasi yang sedikit.
Adapun cara kedua yaitu melakukan perbaikan model dengan cara :
1. Menghilangkan variabel independen
2. Transformasi variabel
3. Penambahan data
Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi ada atau
tidaknya serial korelasi dari error term yang terdapat dalam suatu model regresi.
Gejala serial korelasi dalam konteks time series terjadi bila error term pada suatu
periode tertentu berpengaruh kepada error term periode waktu berikutnya, atau
dengan kata lain jika error term dari periode waktu berlainan saling berkorelasi.
Ada dua metode yang biasanya digunakan untuk menguji serial korelasi ini yaitu
dengan menggunakan uji Durbin-Watson atau dengan uji Breusch Godfrey LM
Test. Beberapa uji stasistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson
(DW) atau uji dengan Run Test. Uji DW hanya digunakan untuk autokorelasi
tingkat satu (first order autocorrelation), dan mensyaratkan adanya intercept
(konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lag di antara variabel
independen.
Pengujian Durbin Watson dilakukan dengan melakukan pengujian DurbinWatson. Hipotesis dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut:
H0 : tidak ada korelasi orde pertama
H1 : ada autokorelasi
Tabel 2 Batas Kritis pada Pengujian Durbin-Watson
Nilai DW berdasarkan estimasi model
Kesimpulan
regresi
4 – dL< DW-stat< 4
H0 ditolak, terdapat serial korelasi
negatif
4 – dU< DW-stat< 4 – dL
Tidak ada kesimpulan
DU < DW-stat< 4 – dU
H0 diterima, tidak ada serial korelasi
DL< DW-stat< dU
Tidak ada kesimpulan
0 < DW-stat< dL
H0 ditolak, terdapat serial korelasi
positif
Sumber : Damonar Gujarati, Dasar-dasar Ekonometrik
Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi OLS dalam bentuk
varians gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi OLS yang tidak bernilai
konstan. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi
dari penaksir OLS tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varian
minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi heteroskedastisitas maka
akan berakibat sebagai berikut:
15
1. Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang
minimum atau estimator tidak efisien.
2. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya
akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien.
3. Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan
menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians.
Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji
ARCH (Auto Regression Conditional Heteroskedasticity), yang dilakukan
pertama kali pada uji ini adalah mendapatkan residual (ut) dari regresi OLS, lalu
regresikan nilai absolut dari ut (|ut|) terhadap variabel bebas yang diperkirakan
mempunyai hubungan yang erat. Uji ini menggunakan nilai probabilitas dari |ut|,
jika hasil regresi siginifikan berarti terdapat masalah heteroskedastisitas.
Hipotesis :
H0 : ρ = 0
H1 : ρ ≠ 0
Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas
adalah sebagai berikut :
1. Probability |ut| α, maka terima H0
Keterangan:
|ut| : Residual (galat)
Jika H0 ditolak maka terjadi heteroskedastisitas dalam model, sebaliknya
jika H0 diterima maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Solusi dari
masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga
model yang baru akan memiliki galat dengan varians yang konstan.
GAMBARAN UMUM
Kawasan Timur Indonesia
Menurut Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2002 mengatakan bahwa
KTI meliputi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Maluku,
Maluku Utara, dan Papua. Kawasan Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau
dan kepulauan dengan luas wilayah daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91
persen dari seluruh wilayah Indonesia. Provinsi Papua mempunyai luas wilayah
daratan paling besar (421.981 km2) atau 32 persen dari luas KTI, sementara
Provinsi Gorontalo memiliki luas daratan paling kecil (12.215 km2) atau 0.9
persen dari luas wilayah KTI. Wilayah Negara Indonesia mempunyai daerah yang
berbatasan dengan 11 negara lain yang sebagian besar terletak di KTI.
Pengelolaan daerah perbatasan tersebut masih rendah, seperti yang terjadi di
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sangihe Talaud, Halmahera, Kei-Aru, Nusa
Tenggara Timur, dan PapuaJumlah penduduk KTI relatif sedikit dengan distribusi
yang tidak merata. Berdasarkan data BPS pada tahun 2010 penduduk KTI
berjumlah 42.008.836 jiwa. Sumber daya alam di KTI baik di daratan maupun di
16
lautan mempunyai potensi yang sangat besar, namun pengelolaannya belum
optimal. Diperkirakan 81,2 persen dari total cadangan bahan tambang Indonesia
terdapat di KTI. Demikian juga dengan sumberdaya alam yang terbarukan seperti
kehutanan, perikanan, dan obyek wisata laut.
Pengeluaran pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan sejumlah dana yang dikeluarkan
pemerintah guna membantu pembangunan suatu daerah. Pengeluaran pemerintah
ini merupakan komponen penyusun pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran
pemerintah menurut fungsi terbagi menjadi sembilan, diantaranya adalah
pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, ekonomi, ketertiban dan keamanan,
lingkungan hidup, pariwisata dan budaya, pelayanan umum, pendidikan,
perlindungan sosial, serta perumahan dan fasilitas umum.
Pengeluaran
pemerintah di semua provinsi di KTI yang tertinggi adalah untuk pelayanan
umum. Total belanja pemerintah yang tertinggi adalah di Papua yaitu dengan
nilai 6.290.376 juta rupiah.
Maluku
Utara
Papua
Barat
Total Belanja
Perlindungan
Sosial
Pendidikan
Pariwisata dan
Budaya
Kesehatan
Perumahan
dan Fasilitas
Umum
Lingkungan
Hidup
Ekonomi
Ketertiban
dan
Ketentraman
Pelayanan
Umum
Provinsi
Tabel 3 Realisasi Belanja Pemerintah Tahun 2011 (juta rupiah)
362.283
12.971
118.184
4.436
112.240
65.664
16.856
20.550
11.191
724.375
2.669.236
63.288
303.384
35.314
288.919
73.579
20.294
127.203
48.743
3.629.960
Sulbar
348.131
7.087
122.258
2.801
174.189
27.500
-
40.967
8.434
731.368
Papua
4.013.726
77.203
476.931
17.498
884.602
475.364
32.179
270.683
42.191
6.290.376
Maluku
382.744
16.313
166.492
5.662
240.968
113.984
17.071
142.333
24.354
1.109.921
NTT
520.159
25.347
208.919
7.373
198.322
142.069
17.482
82.903
29.308
1.231.883
NTB
712.282
19.266
203.498
9.194
416.404
200.265
20.127
36.464
33.101
1.650.601
Sulteng
707.686
9.993
208.437
10.532
180.207
176.835
20.270
91.626
20.496
1.426.082
Sulut
629.625
14.042
200.902
8.450
186.421
90.580
19.351
108.131
28.364
1.285.865
Kalsel
1.064.825
16.135
293.747
16.350
276.941
361.747
25.801
370.324
39.864
2.465.734
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan 2011
Jika dilihat berdasarkan provinsi, lima provinsi yang terletak di KTI belanja
pemerintah untuk keperluan kesehatannya relatif lebih tinggi dari belanja
pemerintah untuk pendidikan. Bahkan, Provinsi Papua rentang nilai antara belanja
pendidikan dan kesehatan cukup jauh. Sementara itu, lima provinsi lainnya seperti
Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan.
Provinsi Kalimantan Selatan adalah daerah yang nilai belanja pemerintah untuk
pendidikannya hampir sama dengan kesehatan (lihat Gambar 5).
17
500,000
450,000
400,000
350,000
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
-
Kesehatan
Pendidikan
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 2011
Gambar 5 Realisasi Belanja Pemerintah untuk Pendidikan dan Kesehatan Tahun
2011 (juta rupiah)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Tata Kelola Ekonomi Daerah Kawasan Timur Indonesia
Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) kabupaten/kota yang terletak di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki keragaman nilai. Masing - masing
kabupaten/kota menempati peringkat tersendiri yang diurutkan berdasarkan tinggi
rendahnya indeks TKED yang diperoleh dari pehitungan sembilan sub-indeks.
Sub indeks tersebut mencangkup akses lahan, infrastruktur daerah, perizinan
usaha, peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas
bupati/walikota, interaksi pemda dan pelaku usaha, program pembangunan usaha
swasta, serta keamanan dan penyelesaian konflik. Nilai sub indeks diperoleh dari
angka normalisasi hasil survei yang dilakukan oleh Komite Pemantauan
Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada September 2010 - Januari 2011.
Kabupaten Seruyan yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah memliki
nilai tertinggi dalam sub indeks akses lahan dengan nilai indeks 92,3. Artinya
bahwa Kabupaten Seruyan memiliki kemudahan dalam memperoleh lahan usaha.
Kemudahan mengakses lahan dapat dilihat dari pendekatan lamanya mengurus
sertifikat tanah. Rata-rata waktu pengurusan tanah di Kabupaten Seruyan adalah
2,5 minggu. Sedangkan, daerah yang memiliki nilai sub indeks akses lahan
terendah adalah Kabupaten Kepulauan Yapen yang terletak di Provinsi Papua
dengan nilai 42,4. Kepulauan Yapen cenderung lebih lama dalam mengurus
sertifikat tanah yaitu membutuhkan waktu 8 minggu. Selain itu kemudahan dalam
memperoleh lahan di Kabupaten Seruyan sebesar 84 persen. Disisi lain Kabupaten
Kepulauan Yapen kemudahan mendapatkan lahannya hanya 25,5 persen.
18
Pendekatan lainnya untuk menilai kemudahan mengakses lahan adalah adanya
Pendekatan lainnya untuk menilai kemudahan mengakses lahan adalah adanya
penggusuran lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebesar 100 persen
tidak pernah terjadi penggusuran lahan di Kabupaten Seruyan. Sedangkan di
Kepulauan Yapen 25 persen mungkin terjadinya penggusuran lahan.
Sub indeks infrastruktur daerah memiliki bobot yang paling tinggi dalam
membangun nilai indeks TKED yaitu sebesar 37,9 persen. Daerah yang memiliki
nilai infrastruktur daerah yang paling tinggi adalah Kabupaten Pulang Pisau
(Provinsi Kalimantan Tengah) dengan nilai 87,7. Angka ini menunjukkan bahwa
Kabupaten Pulang Pisau memiliki kualitas infrastruktur yang baik dilihat dari
aspek kondisi jalan, lampu penerangan jalan, air PDAM, listrik PLN dan telepon.
Berbeda dengan Kabupaten Seram Bagian Timur (Maluku) yang merupakan
daerah yang nilai infrastruktur daeranya terendah yaitu 30,5. Jika dilihat dari
kondisi jalan, kondisi jalan di Kabupaten Pulang Pisau 100 persen baik sedangkan
di Kabupaten Seram Bagian Timur kondisi jalannya hanya 26 persen baik.
Infrastruktur lampu jalan Kabupaten Pulang Pisau 71,42 persen dalam keadaan
baik dan hanya 2 persen kondisi lampu jalan di Kabupaten Seram Bagian Timur
dalam kondisi baik. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur di
Kabupaten Seram Bagian Timur masih buruk, termasuk infrastruktur lainnya
seperti PDAM, listrik dan telepon.
Penilaian sub indeks infrastruktur daerah juga dibangun dengan pendekatan
lamanya perbaikan infrastruktur. Kabupten Pulang Pisau memerlukan waktu
sekitar 22 hari untuk perbaikan jalan dan 11 hari lamanya untuk perbaikan lampu
jalan. Kabupaten Pulang Pisau dalam hal ini memerlukan waktu yang relatif
sedikit untuk perbaikan infrastruktur jalan dan lampu jalan dibandingkan dengan
Kabupaten Seram Bagian Timur. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki
jalan di Kabupaten Seram Bagian Timur adalah 325 hari dan lama perbaikan
lampu jalan adalah 184 hari.
Kabupaten Gunung Mas 100 persen perusahaannya sudah memiliki Tanda
Daftar Perusahaan (TDP) dan