Pengaruh tata kelola ekonomi dan belanja modal daerah terhadap realisasi investasi di Indonesia

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAN BELANJA
MODAL DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI
INDONESIA

SHINTA PRATIWI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul pengaruh tata kelola
ekonomi dan belanja modal daerah terhadap realisasi investasi di Indonesia adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 6 Juni 2014
Shinta Pratiwi
H14100073

ABSTRAK
SHINTA PRATIWI. Pengaruh Tata Kelola Ekonomi dan Belanja Modal
Daerah Terhadap Realisasi Investasi di Indonesia. Dibimbing oleh DEWI ULFAH
WARDANI.
Investasi merupakan suatu penggerak roda perekonomian di Indonesia.
Realisasi investasi dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu tata kelola ekonomi dan
belanja modal daerah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh tata
kelola ekonomi dan belanja modal daerah terhadap realisasi investasi di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data cross section tahun 2011 dengan metode OLS
regresi linear berganda dan unit analisis 142 kabupaten atau kota di Indonesia.
Data yang digunakan merupakan data cross section tahun 2011. Variabel
dependen yang dipakai adalah realisasi investasi di Indonesia, sedangkan untuk
variabel independen yang dipakai pada penelitian ini adalah nilai skor Tata Kelola
Ekonomi Daerah yang terdiri dari infrastruktur daerah, Program Pengembangan

Usaha Swasta, interaksi pemda dengan pelaku usaha, akses lahan, dan perizinan
usaha, serta variabel independen lain yaitu belanja modal daerah. Hasil analisis
metode menunjukan bahwa empat variabel independen memiliki hubungan yang
positif terhadap realisasi investasi di Indonesia. Sementara, Program
Pengembangan Usaha Swasta memiliki hubungan negatif terhadap realisasi
investasi di Indonesia dan akses lahan tidak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap realisasi investasi.
Kata kunci: belanja modal daerah, realisasi investasi, tata kelola ekonomi
ABSTRACT
SHINTA PRATIWI. Effect of Economic Governance and Capital Expenditure to
Investment Realization in Indonesia. Supervised by DEWI ULFAH WARDANI
Investment is a driver of economic development in Indonesi. Realized
investment may be affected by two factors, namely economic governance and
capital expenditure areas. The purpose of this study was to analyze the
relationship between the realized investment with economic governance and
capital expenditures. This study uses cross section data in 2011 with the OLS
method and analysis unit 142 counties or cities in Indonesia. The independent
variables used in this study was a score of Local Economic Governance
consisting of local infrastructure, Private Sector Development Programme, local
government interaction with business, land access, and business licensing, and

other independent variables, namely capital expenditures area. The results of the
analysis show that four independen variables has a positive relationship to
realized investment in Indonesia. Meanwhil, Private Sector Development
Programme were negatively related to realized investment in Indonesia and
access to land does not have a significant relationship to the realized investment.
Keywords: capital expenditure areas, economic governance, realized investment

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAN BELANJA
MODAL DAERAH TERHADAP REALISASI INVESTASI DI
INDONESIA

SHINTA PRATIWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pengaruh tata kelola ekonomi dan belanja modal daerah terhadap
realisasi investasi di Indonesia
Nama
NIM

: Shinta Pratiwi
: H14100073

Disetujui oleh

Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MA. Ec
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini Pengaruh tata
kelola ekonomi dan belanja modal daerah terhadap realisasi investasi di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si
selaku pembimbing selama proses penyelesaian skripsi. Kepada Ibu Dr. Ir. Sri
Mulatsih, M.Sc. Agr dan Ibu Ranti Wiliasih, SP. M.Si selaku dosen penguji
sidang terima kasih atas saran dan masukannya dalam proses perbaikan skripsi.
Terima kasih juga kepada rpihak BPS pusat, BKPM pusat, dan Komite Pemantau
Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang telah menyediakan dan melayani
penulis dalam proses pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bapak tercinta Sarmin, Mama tercinta Mintarsih, Mbak tercinta Lulus
Fitriana, S.E serta adik tercinta Tuty Indraswary atas segala doa dan kasih
sayangnya. Kepada Kak Elisabeth Karlinda S.E terima kasih atas bimbingannya

dalam mempelajari tentang tata kelola ekonomi daerah. Kepada teman satu
bimbingan skripsi Egi, Dessy, Diyane, dan Fitra yang telah banyak membantu
dalam penulisan skripsi. Kepada sahabat terbaik Icha, Titi, Sarah, Mega, Tazki,
Titis, Hesty, Yunita, Nanda dan keluarga Ilmu Ekonomi angkatan 47, keluarga
DPM FEM 2011-2012, keluarga DPM FEM 2012-2013 dan seluruh pihak yang
telah menyemangati dan mendoakan yang terbaik bagi penulis.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, 6 Juni 2014
Shinta Pratiwi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

iv


DAFTAR LAMPIRAN

iv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

5


Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

5

Investasi

5

Otonomi Daerah

6


Belanja Modal Pemerintah

6

Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)

8

Indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah

8

Penelitian Terdahulu

11

Kerangka Penelitian

14


Hipotesis Penelitian

15

METODE PENELITIAN

16

Jenis dan Sumber Data

16

Metode Analisis

16

Analisis Deskriptif

16


Analisis Regresi Berganda

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

17

Kondisi Indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) di Indonesia

17

1.

Akses Lahan

17

2.

Infrastruktur Daerah

18

3.

Perizinan Usaha

18

4.

Peraturan Daerah

19

5.

Biaya Transaksi

20

6.

Kapasitas dan Integritas Walikota/Bupati

21

7.

Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha

21

8.

Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS)

22

9.

Keamanan dan Penyelesaian Konflik

23

Kondisi Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) di Indonesia

23

Kondisi Belanja Modal Daerah di Indonesia

24

Hubungan Realisasi Investasi dengan Tata Kelola Ekonomi dan Belanja Modal
Daerah di Indonesia
26
Uji Asumsi Klasik

26

Uji Statistik

27

Hasil Estimasi Model

27

Hasil Analisis Model

28

PENUTUP

31

Kesimpulan

31

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR TABEL
1. Nilai produk domestik bruto atas dasar harga berlaku menurut penggunaan

1

2. Kategori belanja sebagai presentase dari total belanja periode 2007-2011

4

3. Nilai rata-rata sub indikator tata kelola ekonomi daerah di Indonesia 2011

4

4. Variabel-variabel pembentuk akses lahan

8

5. Variabel-variabel pembentuk infrastruktur daerah

9

6. Variabel-variabel pembentuk perizinan usaha

9

7. Variabel-variabel pembentuk peraturan daerah

9

8. Variabel-variabel pembentuk biaya transaksi

10

9. Variabel-variabel pembentuk kapasitas dan integritas Bupati/Walikota

10

10. Variabel-variabel pembentuk interaksi pemda dengan pelaku usaha

11

11. Variabel-variabel pembentuk PPUS

11

12. Variabel-variabel pembentuk keamanan dan penyelesaian konflik

11

13. Penelitian terdahulu

12

14. Luas wilayah pulau-pulau di Indonesia, tahun 2010

26

15. Test Heteroskedastisitas: ARCH

26

16 . Hasil estimasi model determinasi investasi dengan regresi berganda

28

17. Tingkat partisipasi PPUS berdasarkan skala usaha (persen)

29

18. Tabel perkembangan investasiberdasarkan skala usaha tahun 2011

30

DAFTAR GAMBAR
1. Aliran masuk FDI sebagai bagian dari PDB (persen)

3

2. Realisasi investasi tanpa minyak, gas, dan sektor finansial di Indonesia

3

3. Kerangka Penelitian

15

4. Kualitas Akses Lahan di Indonesia

18

5. Kualitas Infrastruktur di Indonesia

18

6. Kualitas Perizinan Usaha di Indonesia

19

7. Kualitas Peraturan Daerah di Indonesia

20

8. Kualitas Biaya Transaksi di Indonesia

20

9. Kualitas Kapasitas dan Integritas Walikota/Bupati di Indonesia

21

10. Kualitas Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha

22

11. Kualitas Program Pengembangan Usaha Swasta di Indonesia

22

12. Kualitas keamanan dan penyelesaian konflik di Indonesia

23

13. Kondisi TKED yang tertinggi dan terendah di Indonesia (skor)

24

14. Belanja pemerintah di Indonesia tahun 2077-2011 (triliun rupiah)

25

15. Realisasi belanja modal daerah di Indonesia

25

DAFTAR LAMPIRAN
1. Kode pertanyaan pada kuisoner survei TKED

34

2. Olahan SPSS 16 kuisoner TKED

35

3. Perbandingan infrastruktur Pulau Jawa dengan Pulau Maluku

41

4. Olahan data Eviews 6

43

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Investasi merupakan salah satu penggerak utama proses pembangunan
ekonomi nasional. Kegiatan investasi mempunyai efek multiplier yang luas dalam
perekonomian. Hal ini disebabkan karena kegiatan investasi dapat menciptakan
lapangan kerja baru sehingga menurunkan angka pengangguran. Adanya lapangan
kerja dapat meningkatkan pendapatan sehingga mampu memperbaiki taraf hidup
masyarakat. Lebih lanjut, investasi mampu mendorong roda aktivitas ekonomi
sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak dan devisa negara (Riyadi 2013).
Investasi merupakan komponen penting kedua setelah konsumsi domestik
dalam menopang pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Berdasarkan publikasi berita resmi statistik 2013 dari Badan Pusat Statistik (BPS),
Pembentuk Modal Tetap Bruto (PMTB) menyumbang sebesar 33.16 % dari PDB
Indonesia pada tahun 2012. Hal ini menunjukan bahwa investasi merupakan
komponen terbesar kedua dalam pembentukan PDB di Indonesia setelah
konsumsi domestik yang pada tahun 2012 menyumbang sebesar 63.44 % dari
PDB Indonesia. Dengan demikian, upaya menciptakan investasi melalui
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) perlu dilakukan dalam rangka
peningkatan pembangunan nasional.
Tabel 1. Nilai produk domestik bruto atas dasar harga berlaku menurut
penggunaan (triliun rupiah), 2010-2012
Tahun
No
Komponen
2010
2011
2012
1 Konsumsi Rumah Tangga
3 643.4
4 053.4
4 496.4
2 Konsumsi Pemerintah
587.3
668.6
732.3
3 PMTB
2 065.0
2 372.8
2 733.2
4 a. Perubahan Inventori
18.4
70.8
178.2
b. Diskrepansi Statistik
24.7
152.5
229.9
5 Ekspor
1 584.7
1 955.8
1 999.4
6 Dikurangi Impor
1 476.6
1 851.1
2 127.5
Produk Domestik Bruto
(PDB)

6 446.9

7 422.8

8 241.9

Sumber: BPS 2013

Otonomi daerah atau desentralisasi fiskal merupakan penyerahan wewenang
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya
sendiri sesuai dengan sumber daya yang dimiliki daerahnya. Tujuan dari otonomi
daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Sejak mulai
dilaksanakan pada tahun 2001, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
dalam perspektif baru terus berlanjut hingga saat ini. Perwujudan dari kebijakan
sekaligus operasionalisasi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
adalah dengan melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2
Menurut Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) tahun 2013, APBD
tidak hanya akan berperan sebagai dokumen anggaran dan pelaksanaan, namun
sekaligus merupakan alat politik dan kebijakan publik dalam upaya mewujudkan
pelayanan publik yang optimal serta upaya dalam mendorong pembangunan
ekonomi suatu daerah. Salah satu tugas pemerintah daerah dalam membuat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah menetapkan sejumlah
dana yang digunakan untuk belanja modal daerah. Menurut Hendarmin (2012),
belanja modal daerah merupakan sejumlah dana yang digunakan untuk
membangun sarana dan prasarana daerah yang diharapkan dapat mempertinggi
intensitas kegiatan ekonomi
Selain itu, berlakunya otonomi daerah menyebabkan sejumlah urusan
kepemerintahan diserahkan kepada pemerintah daerah termasuk dibidang
ekonomi. Hal ini, menyebabkan para pelaku usaha akan lebih sering berurusan
dengan pemerintah daerah dibandingkan dengan pemerintah pusat. Oleh karena
itu, pemerintah daerah harus bisa menciptakan iklim usaha yang sehat, dan
kemudahan serta kejelasan prosedur sehingga dapat menarik para pengusaha atau
investor untuk menanamkan modal pada daerahnya (Buku Pegangan
Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah 2007). Menurut
Tambunan (2006) good governance atau tata kelola kepemerintahan termasuk
korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung
maupun tidak langsung dapat mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko
jangka panjang dari kegiatan investasi.
Melihat pentingnya peran pemerintah daerah dalam meningkatkan iklim
usaha di daerahnya, maka Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD) melakukan penelitian mengenai Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)
yang merupakan gambaran dari indikator-indikator yang dapat meningkatkan
iklim usaha yang kondusif disuatu daerah. Penelitian yang dilakukan oleh KPPOD
ini bertujuan untuk memberikan masukan kepada pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan stakeholder untuk memperbaiki pelaksanaan otonomi daerah. Selain
itu, penelitian Tata Kelola Ekonomi Daerah yang dilakukan KPPOD bertujuan
untuk memberikan informasi mengenai aspek tata kelola ekonomi dimasingmasing kabupaten dan kota sehingga dapat membantu para pelaku usaha untuk
melakukan keputusan investasi dan pengembangan usaha di suatu daerah
(KPPOD 2011).
Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana hubungan realisasi invetasi
dengan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) dan belanja modal daerah di
Indonesia tahun 2011. Penelitian didasarkan dari penelitian KPPOD tahun 2011
mengenai Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) dan realisasi belanja modal yang
digunakan masing-masing daerah untuk membangun daerahnya. Survei yang
dilakukan KPPOD tahun 2011 dilaksanakan di 245 kabupaten dan kota di 19
Provinsi. Namun, penelitian ini hanya membahas hubungan Tata kelola Ekonomi
Daerah di 142 kabupaten dan kota di 19 Provinsi.
Perumusan Masalah
Menurut data dari World Bank (2013) menunjukan bahwa nilai investasi
asing langsung yang masuk ke Indonesia hanya setara dengan 2% terhadap PDBnya selama kurun 2010-2011, sementara negara seperti Malaysia dan Cina

3
mencapai 4% terhadap PDB. Hal ini menunjukan bahwa daya saing Indonesia
dalam menarik investasi asing masih jauh tertinggal dibandingkan negara lain.

Sumber: Bank Dunia 2013

Gambar 1. Aliran masuk FDI sebagai bagian dari PDB (persen)
Selain nilai investasi asing di Indonesia yang rendah, nilai invetasi dalam
negeri di Indonesia juga rendah. Menurut data Badan Kordinasi Penanaman
Modal (BKPM) tahun 2013, nilai investasi dalam negeri Indonesia selalu lebih
rendah dibandingkan dengan nilai investasi asing yang masuk ke Indonesia. Pada
tahun 2011, nilai investasi dalam negeri di Indonesia hanya sebesar 8.4 milyar
dolar AS, sedangkan nilai investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar 19.5
milyar dolar AS (Gambar 2).

Sumber: BKPM 2013
Keterangan:
*FDI : Foreign Direct Investment
*DDI: Domestic Direct Investment

Gambar 2. Realisasi investasi tanpa minyak,
Indonesia (milyar USD)

gas, dan sektor finansial di

Rendahnya nilai investasi asing maupun investasi dalam negeri di Indonesia
menurut World Economic Forum (WEF) 2011-2012 salah satunya disebabkan
karena kualitas infrastruktur di Indonesia yang masih sangat memprihatinkan.
Kualitas infrastruktur yang buruk di Indonesia kemungkinan disebabkan karena
rendahnya jumlah dana yang digunakan untuk membangun infrastruktur di
Indonesia. Belanja modal yang sebagian besar digunakan untuk membangun
infrastruktur, selalu mengalami presentase penurunan dari total belanja daerah.

4
Sedangkan, belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja lainnya
mengalami peningkatan yang relatif konstan.
Tabel 2. Kategori belanja sebagai presentase dari total belanja periode 20072011(persen)
Jenis Belanja
2007
2008
2009
2010
2011 Rata-rata
Presentase
100
100
100
100
100
100
Belanja Pegawai
39
40
41
45
58
46
Belanja Barang Jasa
18
18
19
18
20
19
Belanja Modal
30
27
25
22
22
25
Belanja Lainnya
13
15
15
15
14
14
Sumber: DJPK RI 2011

Selain itu, tata kelola ekonomi daerah menurut Komite Pemantau
Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) memiliki peran besar dalam menentukan
tinggi rendahnya investasi di Indonesia. Berdasarkan survei KPPOD tahun 2011,
dari 245 kabupaten dan kota di 19 provinsi di Indonesia, nilai rata-rata indikator
Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) lebih banyak yang berada pada nilai
dibawah 70. Sedangkan, nilai rata-rata tata kelola ekonomi daerah hanya sebesar
62.75. Rendahnya nilai rata-rata tata kelola ekonomi daerah di Indonesia
memungkinkan menjadi salah satu penyebab dari rendahnya nilai investasi asing
maupun nilai investasi dalam negeri yang ada di Indonesia.
Tabel 3. Nilai rata-rata sub indikator tata kelola ekonomi daerah di Indonesia
tahun 2011 (skor)
No Sub Indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah
Nilai Rata-rata
1 Akses Lahan
73.77
2 Infrastruktur
69.18
3 Perizinan Usaha
62.22
4 Peraturan Daerah
81.13
5 Biaya Transaksi
81.28
6 Kapasitas dan integritas Walikota/Bupati
50.90
7 Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha
50.86
8 PPUS
38.74
9 Keamanan dan Penyelesaian Konflik
67.06
Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah
62.75
Sumber: KPPOD 2011

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kondisi tata kelola ekonomi dan belanja modal daerah di
Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh tata kelola ekonomi dan belanja modal daerah
terhadap realisasi investasi di Indonesia?

5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan kondisi tata kelola ekonomi dan belanja modal daerah
yang ada di Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi dan belanja modal daerah
terhdap realisasi investasi di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dapat memberikan gambaran yang jelas
kepada pemerintah daerah tentang bagaimana kondidi tata kelola ekonomi dan
realisasi belanja modal di daerahnya masing-masing. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penentu kebijakan di Indonesia
sebagai bahan masukan untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia melalui
perbaikan tata kelola ekonomi daerah dan peningkatan realisasi belanja modal.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan variabel-variabel yang diduga berhubungan
dengan investasi diantaranya tata kelola ekonomi daerah di Indonesia dan belanja
modal pemerintah. Tata kelola ekonomi daerah terdiri dari sembilan indikator
diantaranya akses lahan, infrastruktur daerah, perizinan usaha, peraturan daerah,
biaya transaksi, kapasitas dan integritas Bupati/Walikota, interaksi Pemda dengan
pelaku usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), serta keamanan dan
penyelesaian konflik. Tata kelola ekonomi daerah didapat dari survei yang telah
dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD),
sedangkan belanja modal daerah didapatkan dari Badan Pusat Statistik. Penelitian
ini menggunakan data cross section dengan unit analisis 142 kabupaten dan kota
dari 19 Provinsi yang ada di Indonesia pada tahun 2011.

TINJAUAN PUSTAKA
Investasi
Investasi (investment) menurut Mankiw (2003) merupakan suatu unsur
GDP yang paling sering berubah. Ketika pengeluaran atas barang dan jasa turun
selama resesi, sebagian besar dari penurunan itu berkaitan dengan anjloknya
pengeluaran investasi. Investasi merupakan suatu kegiatan membeli barangbarang yang digunakan untuk masa depan. Investasi dibagi menjadi tiga
subkelompok, yaitu: investasi tetap bisnis, investasi tetap residensial, dan
investasi persediaan. Investasi tetap bisnis adalah pembelian pabrik dan peralatan
baru oleh perusahaan. Investasi tetap residensial adalah pembelian rumah baru
oleh rumah tangga atau tuan rumah. Investasi persediaan adalah peningkatan
dalam persediaan barang-barang perusahaan (jika persediaan menurun, investasi
persediaan negatif).

6
Investasi menurut Murwito (2013) dibagi menjadi tiga yaitu: investasi
pemerintah, masyarakat, dan swasta (dunia usaha). Investasi pemerintah dapat
dilihat dari segi investasi fisik dan investasi non fisik. Investasi fisik diantaranya
adalah pembangunan infrastruktur yang bertujuan menyediakan sarana dan
prasarana bagi peningkatan pertumbuhan perekonomian serta meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan, investasi non fisik adalah
pengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) berupa penyediaan
layanan kesehatan dan peningkatan gizi masyarakat, penyediaan kesempatan
pendidikan bagi anak usia sekolah, serta jaminan sosial lainnya. Investasi ini juga
sering dikenal dengan human investment. Investasi swasta merupakan investasi
yang dilakukan oleh pihak swasta, investasi ini diharapkan dapat memacu
pertumbuhan perekonomian di suatu daerah. Investasi swasta di daerah selama ini
lebih banyak didominasi oleh pengusaha kuat, sedangkan pengusaha lemah yang
umumnya pengusaha lokal lebih banyak terpinggirkan. Kondisi ini disebabkan
oleh banyak faktor diantaranya yaitu; regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah,
keterbatasan kapasitas pengusaha lokal, jaringan yang kuat dari pengusaha
nasional, dan sebagainya.
Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah manifestasi dari keinginan untuk mengatur dan
mengaktualisasikan seluruh potensi daerah secara maksimal yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Otonomi daerah
dipandang penting karena otonomi merupakan kebutuhan hakiki dimana daerah
memiliki keinginan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah
memberikan peluang untuk bersaing secara sehat dan terbuka bagi seluruh lapisan
masyarakat dan juga antardaerah. Otonomi daerah merupakan satu bentuk
desentralisasi kebijakan pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk
mendekatkan pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
keseluruhan. Dengan demikian, pelayanan yang diberikan cenderung akan lebih
merata dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan.
Otonomi daerah berupaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan
pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih adil dan
makmur. Pemberian, pelimpahan, dan penyerahan sebagian tugas-tugas kepada
pemerintah daerah (Chalid 2005).
Belanja Modal Pemerintah
Belanja modal pemerintah menurut BPS (2012) merupakan belanja yang
dianggarkan karena terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan
pemerintah. Belanja modal pemerintah (investasi pemerintah) adalah pengeluaran
yang digunakan untuk pembelian atau pengadaan atau pembangunan aset tetap
berwujud yang nilai manfaatnya lebih dari satu tahun. Pembentukan aset tersebut
meliputi pengadaan tanah, alat-alat berat, alat-alat angkutan, alat-alat bengkel,
alat-alat pertanian, peralatan dan perlengkapan kantor, komputer, mebeulair,
peralatan dapur, penghias ruangan, alat-alat studio, alat-alat komunikasi, alat-alat
ukur, alat-alat kedokteran, alat-alat laboraturium, konstruksi jalan, jembatan,
jaringan air, penerangan jalan, taman dan hutan kota, instalasi listrik dan telepon,

7
bangunan, buku/kepustakaan, barang seni, pengadaan hewan/ternak dan tanaman,
serta persenjataan atau keamanan.
Menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dalam laporan evaluasi
belanja modal daerah dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (2013),
pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah inventaris yang memberikan
manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah
pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau
menambah masa manfaat, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas asset. Dalam
SAP, belanja modal dapat dikategorikan ke dalam 5 (lima) kategori utama, yaitu :
1.

2.

3.

4.

5.

Belanja Modal Tanah
Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/pembelian/pembebasan, penyelesaian, balik nama dan sewa
tanah, pengosongan,pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan
sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan tanah dan
sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.
Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan
kapasitas peralatan dan mesin, serta inventaris kantor yang memberikan
manfaat lebih dari dua belas bulan, dan sampai peralatan dan mesin
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan
pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai
gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/ peningkatan
pembangunan/ pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran
untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan
yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud
dalam kondisi siap pakai.
Belanja Modal Fisik Lainnya
Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan
untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan/ pembangunan/
pembuatan/serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat
dikategorikan ke dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin,
gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan. Termasuk dalam
belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barangbarang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan
ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.

8
Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)
Tata Kelola Pemerintahan atau Good Governance adalah kinerja suatu
lembaga pemerintahan, perusahaan atau organisasi kemasyarakatan yang
mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik dalam suatu
negeri. Pada dasarnya, konsep Good Governance memberikan rekomendasi pada
sistem pemerintah yang demokratis yang menekankan kesetaraan antara lembagalembaga negara baik ditingkat pusat maupun daerah, sektor swasta, dan
masyarakat. Good Governance atau tata kelola pemerintahan yang baik
berdasarkan pada pandangan ini suatu kesepakatan yang menyangkut pengaturan
negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses, dan
lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingan, menggunakan hak hukumnya, memenuhi kewajiban dan
menjembatani perbedaan diantara mereka (Nawawi 2012).
Tata kelola pemerintah dalam bidang ekonomi sering disebut sebagai Tata
kelola ekonomi. Tata kelola ekonomi (economic governance) merupakan salah
satu faktor penting yang dipercaya dapat menciptakan iklim usaha yang sehat dan
meningkatkan daya saing daerah. Tata kelola ekonomi daerah merupakan suatu
wewenang pemerintah daerah untuk menyederhanakan perizinan, menghapuskan
peraturan dan pungutan yang mengganggu atau memberatkan dunia usaha,
mendorong pengembangan usaha kecil, dan menyediakan infrastruktur yang baik
untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Indikator-indikator yang dapat
menggambarkan tata kelola ekonomi daerah di Indonesia diantaranya adalah akses
lahan, infrastruktur, perizinan usaha, peraturan di daerah, biaya transaksi, kapsitas
dan integrasi bupati atau walikota, interaksi Pemda dan pelaku usaha, program
pengembangan usaha swasta, dan keamanan dan penyelesaian konflik (KPPOD
2011).
Indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah
Berdasarkan berbagai pertimbangan dan teori bagaimana tata kelola
ekonomi daerah mempengaruhi kinerja perekonomian, terutama dunia usaha
swasta, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) memiilih
sembilan indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja TKED, yaitu:
1. Akses Lahan akan sangat mempengaruhi dunia usaha karena perusahaan
tidak akan melakukan investasi baru jika tidak memiliki akses pada lahan.
Sementara itu, kegiatan usaha yang sedang berjalan juga akan terpengaruh jika
tidak ada kepastian akan status lahan yang digunakan mereka.
Tabel 4. Variabel-variabel pembentuk akses lahan
Variabel Pembentuk Akses Lahan
(1) Waktu yang diperlukan untuk mengurus sertifikat tanah;
(2) Kemudahan untuk mendapatkan tanah;
(3) Frekuensi penggusuran tanah;
(4) Frekuensi kasus konflik kerjasama atas penggunaan tanah;dan
(5) Penilaian keseluruhan atas dampak lahan terhadap kelangsungan usaha.
Sumber: KPPOD 2011

9
2. Infrastruktur Daerah – jalan kabupaten/kota yang baik, penyediaan listrik,
lampu penerangan jalan, air bersih dan telekomunikasi– merupakan prasyarat
agar kegiatan usaha dapat berjalan secara efektif dan efisien. Sebaliknya,
kualitas pengelolaan infrastruktur yang buruk dapat menambah biaya yang
besar bagi pelaku usaha untuk berinvestasi dan berkembang.
Tabel 5. Variabel-variabel pembentuk infrastruktur daerah
Variabel Pembentuk Infrastruktur Daerah
(1) Tingkat kualitas infrastruktur daerah;
(2) Lama perbaikan infrastruktur daerah bila mengalami kerusakan;
(3) Tingkat pemakaian genset;
(4) Lamanya (frekuensi) pemadaman listrik; dan
(5) Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan.
Sumber: KPPOD 2011

3. Perizinan Usaha yang sederhana dan murah dapat mendorong perkembangan
pelaku usaha baru. Sebaliknya prosedur pengurusan perizinan usaha yang sulit,
lama, dan mahal akan mengakibatkan keengganan pelaku usaha untuk
mengurus perizinan dan menghambat pertumbuhan kegiatan usaha baru.
Tabel 6. Variabel-variabel pembentuk perizinan usaha
Variabel Pembentuk Perizinan Usaha
(1) Persentase perusahaan yang mempunyai Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
(2) Persepsi kemudahan memperoleh TDP dan rata-rata waktu perolehan TDP;
(3) Tingkat biaya dan persepsi terhadap biaya TDP yang memberatkan usaha;
(4) Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas kolusi, efisien dan
bebas pungutan liar (pungli);
(5) Persentase keberadaan mekanisme pengaduan; dan
(6) Persentase tingkat hambatan izin usaha terhadap usaha.
Sumber: KPPOD 2011

4. Peraturan di Daerah merupakan gambaran kerangka kebijakan pemerintah
daerah dalam mengembangkan perekonomian daerahnya. Peraturan yang
rumit dan membingungkan dapat menjadi kendala bagi pelaku usaha di daerah,
karena hal tersebut dapat mengakibatkan ketidakpastian dan mempersempit
perdagangan dan akses pasar.
Tabel 7. Variabel-variabel pembentuk peraturan daerah
Aspek Yuridis (15%)
1. Relevansi acuan yuridis
2. Penggunaan acuan yuridis yang terbaru (up-to-date)
3. Kelengkapan yuridis
Aspek Subtaansi (35%)
4. Keterkaitan tujuan
5. Kejelasan obyek
6. Kejelasan subyek
7. Kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut atau pemda

10
8. Kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur, atau struktur dan standar tarif
9. Kesesuaian filosofi dan prinsip pungutan
Aspek Prinsip (50%)
10. Keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip perdagangan yang bebas
(free internal trade)
11. Persaingan sehat
12. Dampak ekonomi negatif
13. Hambatan akses masyarakat dan kepentingan umum (misalnya lingkungan
hidup)
14. Pelanggaran kewenangan pemerintahan
Sumber: KPPOD 2011

5. Biaya Transaksi yang tinggi – pajak, retribusi, dan biaya transaksi lainnya,
baik yang legal maupun ilegal – dapat menjadi penghambat bagi kegiatan
usaha di daerah jika hanya diberlakukan untuk meningkatkan pendapatan
daerah tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi perkembangan usaha.
Sebaliknya, pungutan-pungutan tersebut tidak menjadi penghambat apabila
diberlakukan dengan alasan yang jelas, diterapkan secara benar, dan hasilnya
ditujukan untuk memperbaiki pelayanan publik.
Tabel 8. Variabel-variabel pembentuk biaya transaksi
Variabel Pembentuk Biaya Transaksi
(1) Tingkat hambatan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan;
(2) Tingkat pembayaran donasi terhadap pemda;
(3) Tingkat hambatan donasi kepada pemda terhadap kinerja perusahaan
(4) Pembiayaan biaya informal pelaku usaha terhadap kepolisian; dan
(5) Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan.
Sumber: KPPOD 2011

6. Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota sangat penting untuk memastikan
bahwa pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah efektif. Kepala daerah yang
jujur dan berkapasitas akan meningkatkan kepercayaan diri investor dan besar
kemungkinan akan menjalankan kebijakan yang ramah terhadap investasi.
Tabel 9. Variabel-variabel pembentuk kapasitas dan integritas Bupati/walikota
Variabel Pembentuk Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota
(1) Pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha;
(2) Profesionalisme birokrat daerah;
(3) Tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri;
(4) Ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya;
(5) Karakter kepemimpinan kepala daerah; dan
(6) Hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha.
Sumber: KPPOD 2011

7. Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha sangat penting untuk memastikan
bahwa kebijakan dan investasi yang dilakukan pemda sejalan dengan
kebutuhan pelaku usaha. Sebaliknya, interaksi yang tidak efektif antara pemda

11
dengan pelaku usaha dapat mengakibatkan penerapan kebijakan yang
menghambat pertumbuhan kegiatan usaha.
Tabel 10. Variabel-variabel pembentuk interaksi pemda dengan pelaku usaha
Variabel Pembentuk Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha
(1) Keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha;
(2) Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh pemda;
(3) Tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha daerah;
(4) Tingkat kebijakan pemda yang berorientasi mendorong iklim investasi;
(5) Tingkat kebijakan non-diskriminatif pemda;
(6) Tingkat pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran dunia usaha;
(7) Tingkat kepastian hukum pemda terkait dunia usaha; dan
(8) Tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha.
Sumber: KPPOD 2011

8. Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) yang dilakukan oleh pemda
dapat menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan kemampuan manajemen
dan keterampilan tenaga kerja, serta dapat menghubungkan pelaku usaha
dengan pasar di luar daerah.
Tabel 11. Variabel-variabel pembentuk PPUS
Variabel Pembentuk Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS)
(1) Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS;
(2) Tingkat partisipasi dalam PPUS;
(3) Tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha; dan
(4) Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan.
Sumber: KPPOD 2011

9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik merupakan hal yang sangat penting
dalam iklim investasi. Sulit bagi pelaku usaha untuk bertahan jika sering
terjadi gangguan keamanan. Demikian juga mekanisme penyelesaian konflik
atau perselisihan bisnis yang baik dapat meningkatkan kepercayaan investor
dalam memulai dan melaksanakan usahanya.
Tabel 12. Variabel-variabel pembentuk keamanan dan penyelesaian konflik
Variabel Pembentuk Keamanan dan Penyelesaian Konflik
(1) Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha;
(2) Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi;
(3) Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi; dan
(4) Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian konflik terhadap kinerja
perusahaan.
Sumber: KPPOD 2011

Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang terkait dengan investasi, belanja modal daerah,
dan tata kelola ekonomi daerah diantaranya adalah:

12
Tabel 13. Penelitian terdahulu
Nama Peneliti
1) Adhita
Prawatyo
(1994) dalam
Duamiry
(1996)
2) Ardani Januar
(2009)

3) Rahmasari
Istiandari
(2009)

4) Dr. Neil Mc
Culloch

Judul Penelitian

Variabel

Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Investasi
Swasta di
Indonesia
Keterkaitan
Antara Iklim
Investasi
Berdasarkan
Persepsi Pelaku
Usaha dan
Realisasi
Investasi:
Kasus Provinsi
Jawa Barat

Investasi (Y),
Pengeluaran
Pemerintah (X1),
Kebijakan
Pemerintah (X2).

Tata Kelola
Ekonomi
Daerah
(TKED) dan
Kesejahteraan
Masyarakat

1. PDRB perkapita
(Y), TKED
(X1), PAD
(X2), dan IPM
(X3).
2. Presentasi
penduduk
miskin (Y),
TKED (X1),
PAD (X2), dan
IPM (X3).

Tata Kelola
Pemerintah dan

Realisasi investasi
(Y), sembilan
indikator TKED
(X)

1. PDB dengan
minyak dan gas

Hasil penelitian
Pengeluaran
pemerintah
berpengaruh
signifikan terhadap
investasi swasta di
Indonesia.
Akses lahan,
infrastruktur daerah,
keamanan dan
penyelesaian konflik
dan perizinan usaha
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
realisasi investasi.
Interaksi pemda
dengan pelaku usaha,
biaya transaksi, dan
PPUS berpengaruh
negatif signifikan
terhadap realisasi
investasi. Kapasitas
dan integritas
pimpinan daerah serta
peraturan daerah
berpengaruh positif
terhadap realisasi
investasi di Jawa
Barat.
1. Semua variabel
independen
berhubungan
positif dan
signifikan
terhadap
pertumbuhan
PDRB per kapita.
2. Indeks TKED
berhubungan
positif dengan
presentase
kemiskinan,
sedangkan PAD
dan IPM
berhubungan
negatif.
1. Semua variabel
infrastruktur

13
(2010)

Pertumbuhan
Ekonomi
Nasional di
Indonesia.

(Y),
Infrastruktur
(X2), Integritas
Pemda (X3).
2. PDB tanpa
minyak dan gas
(Y),
Infrastruktur
(X2), Integritas
Pemda (X3).

berhubungan
signifikan,
sedangkan
variabel kapasitas
dan integritas
Pemda tidak ada
yang
berhubungan.
2. Semua variabel
infrastruktur
berhubungan tidak
signifikan dan
variabel kapasitas
dan integritas
Pemda juga tidak
ada yang
berhubungan.

5) Elisabeth
Karlinda
(2012)

Keterkaitan
TKED dengan
PDRB per
kapita dan
Pertumbuhan
Ekonomi di
Jawa Tengah

1. PDRB per
kapita (Y),
Belanja modal
(X1), Belanja
pendidikan
(X2), lama
kepengurusan
tanah (X3),
Pemecahan
masalah oleh
Pemda (X4)
2. Pertumbuhan
Ekonomi (Y),
IPM (X1),
Belanja
Pendidikan
(X2), Belanja
Kesehatan
(X3),
Kepemilikan
TDP (X4), dan
Kualitas jalan
(X5)

1. Hasil penelitian
ini adalah hanya
variabel lama
kepengurusan
tanah saja yang
berhubungan
negatif dengan
PDRB per kapita.
2. Hasil penelitian
ini adalah semua
variabel
independen
berhubungan
positif dengan
variabel
dependennya,
tetapi IPM dan
Belanja
Pendidikan
berpengaruh tidak
signifikan.

14
6) Santi (2012)

Dampak Tata
Kelola
Pemerintah
Daerah
terhadap
Realisasi
Investasi di
Jawa Timur.

1. PMDN (Y),
PMA (X1),
belanja modal
pemerintah
(X2),
pertumbuhan
ekonomi (X3),
kepemilikan
TDP(X4) dan
promosi produk
kepada investor
(X5)
2. PMA(Y),
PMDN (X1),
belanja modal
pemerintah
(X2),
pertumbuhan
ekonomi (X3),
variabel kualitas
infrastruktur
jalan (X4),
hambatan
donasi (X5),
pemahaman
kepala daerah
(X6), dan
frekuensi demo
(X7).

1.

Semua variabel
independen
berpengaruh
positif dan
signifikan
terhadap variabel
dependennya.

2.

Hanya variabel
variabel kualitas
infrastruktur
jalan, variabel
hambatan donasi,
variabel
pemahaman
kepala daerah
dan variabel
PMDN saja
berpengaruh
positif dan
signifikan.

Kerangka Penelitian
Investasi merupakan suatu modal untuk pembangunan nasional. Faktorfaktor yang mempengaruhi investasi diantaranya belanja modal pemerintah yang
sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dan tata kelola
ekonomi daerah yang merupakan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
daerah untuk meningkatkan iklim investasi di suatu daerah. Tata kelola ekonomi
daerah terdiri dari sembilan indikator diantaranya akses lahan, perizinan usaha,
interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha swasta,
kapasitas dan integrasi walikota/bupati, biaya transaksi, infrastruktur daerah,
peraturan daerah, dan keamanan dan penyelesaian konflik. Metode yang
digunakan untuk mengetahui hubungan antara realisasi investasi di Indonesia
dengan belanja modal pemerintah daerah dan tata kelola ekonomi daerah adalah
analisis regresi berganda.

15

Belanja Modal Pemerintah
Tata Kelola Ekonomi Daerah
Indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah
1. Akses Lahan
2. Perizinan Usaha
3. Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha
4. Program Pengembangan Usaha Swasta
5. Kapasitas dan Integrasi Kapala Daerah
6. Biaya Transaksi
7. Infrastruktur Daerah
8. Peraturan di Daerah
9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik

Investasi
PMA

PMDN

Pengaruh tata kelola ekonomi dan belanja
modal daerah terhadap realisasi investasi.

Gambar 3. Kerangka Penelitian
Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah:
1. Realisasi investasi di Indonesia berhubungan positif dengan
infrastruktur daerah. Artinya, ketika infrastruktur daerah baik maka
akan meningkatkan iklim investasi.
2. Realisasi investasi di Indonesia berhubungan positif dengan Program
Pengembangan Usaha Swasta (PPUS). Artinya, ketika program
pengembangan usaha swasta yang dilakukan pemda sesuai sasaran,
maka akan dapat meningkatkan iklim investasi.
3. Realisasi investasi di Indonesia berhubungan positif dengan interaksi
pemda dengan pelaku usaha. Artinya, semakin baik hubungan
anatara pemda dan pelaku usaha, maka akan dapat meningkatkan
iklim investasi.
4. Realisasi investasi di Indonesia berhubungan positif dengan akses
lahan. Artinya, semakin banyak lahan yang dapat digunkan untuk
membuat usaha dan semakin mudah mengurus sertifikat lahan, maka
akan dapat meningkatkan iklim investasi.
5. Realisasi investasi di Indonesia berhubungan positif dengan
perizinan usaha. Artinya, semakin banyak perusahaan yang
mendaftarkan izin atas usahanya, maka akan dapat meningkatkan
investasi.

16
6. Realisasi investasi di Indonesia berhubungan positif dengan belanja
modal pemerintah. Artinya, semakin tinggi belanja modal yang
digunakan untuk membangun infrastruktur, maka akan dapat
meningkatkan investasi.

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari
142 kabupaten dan kota di 19 Provinsi Indonesia. Data sekunder tersebut
merupakan data cross section dari hasil survei Tata Kelola Ekonomi Daerah
(TKED) kabupaten dan kota di Provinsi Indonesia yang disurvei oleh Komite
Pemantau Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2011. Data lain
yang digunakan didapat dari Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM),
dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data sekunder lain yang masih terkait dalam
penelitian ini diperoleh dari artikel, jurnal, skripsi, dan tesis dari perpustakaan IPB,
internet, dan lembaga lainnya.
1. Realisasi investasi di Indonesia (Rp Juta) yang didapat dari Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2011.
2. Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) seperti infrastruktur, program
pengembangan usaha swasta, interaksi pemda dengan pelaku usaha,
akses lahan, dan perizinan usaha (skor) yang didapat dari Komite
Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2011.
3. Belanja modal daerah (Rp juta) yang didapat dari publikasi statistik
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011.
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Metode deskriptif merupakan metode yang berhubungan dengan
pengumpulan data dan penyajian data sehingga dapat memberikan informasi yang
berguna. Analisis deskriptif belum sampai pada penarikan kesimpulan, namun
hanya berbentuk ringkasan data agar informasi yang terkandung dalam data
mudah dipahami. Analsis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk
menginterpretasikan data-data kuantitaf secara lebih ringkas dan sederhana.
Analisis deskriptif ini mengkaji secara eksploratif mengenai gambaran tata kelola
ekonomi daerah dengan investasi di Indonesia dalam bantuan tabel dan grafik.
Analisis Regresi Berganda
Model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola
ekonomi daerah terhadap realisasi investasi kabupaten dan kota di Indonesia
adalah sebagai berikut:
LN Inv = α0i + α1 LN IDi+ α2 LN PPUSi+ α3 LN IPPi+ α4 LN ALi+ α5 LN PUi+
α6 LN BMi+ ei
Keterangan:
Inv
: Realisasi penanaman modal di Indonesia tahun 2011 (juta rupiah)

17
ID
: Variabel infrastruktur (skor1-100)
PPUS : Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta (skor 1-100)
IP
: Variabel interaksi pemda dengan pelaku usaha (skor 1-100)
AL
: Variabel akses lahan (skor 1-100)
PU
: Variabel perizinan usaha (skor 1-100)
BM
: Belanja modal pemerintah tahun 2011 (juta rupiah)
α 0i
: Intersep
α1... α6 : Koefisien
εi
: Error standar
Variabel yang digunakan dianalisis menggunakan uji statistik dan uji
ekonometrika agar model tersebut memenuhi persyaratan OLS dan terbebas dari
masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) di Indonesia
Tata kelola ekonomi merupakan indikator-indikator yang dapat
meningkatkan iklim investasi di Indonesia melalui kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah. Tata kelola ekonomi terdiri dari sembilan indikator yang dapat
menggambarkan kondisi suatu daerah, indikator-indikator tata kelola ekonomi
diantaranya Akses Lahan, Perizinan Usaha, Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha,
Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Kapasitas dan Integrasi Kepala
Daerah, Biaya Transaksi, Infrastruktur Daerah, Keamanan dan Penyelesaian
Konflik, dan Peraturan Daerah. Penelitian ini ingin menganalisis secara deskriptif
tata kelola ekonomi di pulau-pulau yang ada di Indonesia dengan jumlah
kabupaten dan kota sebanyak 142 dari 19 provinsi.
1. Akses Lahan
Lahan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi setiap pelaku usaha,
baik itu untuk mendirikan pabrik, penyimpanan produk atau sekedar mendirikan
kantor atau toko untuk menjual produk. Karena itu, kebijakan yang berpihak
terhadap kemudahan mendapatkan lahan akan mendukung peluang investasi baru.
Akses lahan memiliki nilai rata-rata skor yang tidak terlalu berbeda jauh antar
pulau. Nilai rata-rata skor akses lahan di Indonesia berada pada kisaran 70-80.
Akses lahan terbaik yang ada di Indonesia berada pada Pulau Sulawesi dengan
nilai sebesar 82.37 dan akses lahan terburuk dimiliki oleh Pulau Jawa dengan nilai
akses lahan sebesar 67.92 (Gambar 4).
Akses lahan terbaik berada di Pulau Sulawesi disebabkan karena daerahdaerah yang berada di pulau ini realtif tidak terlalu lama dalam hal kepengurusan
lahan,yaitu rata-rata waktu yang dibutuhkan dalam kepengurusan lahan hanya
selama enam minggu. Selain itu, dilihat dari jarangnya konflik lahan dan jarang
terhambatnya pelaku usaha akibat akses lahan juga sangat baik. Hal ini dapat
dilihat dari persepsi pelaku usaha yang rata-rata mengaku bahwa 93% jarang
terjadi konflik lahan dan 99% tidak merasa terhambat kinerja perusahaannya
akibat keadaan akses lahan di pulau ini. Namun, untuk kemudahan mendapat

18
lahan di Pulau Sulawesi, para pelaku usaha yang menyatakan mudah rata-rata
hanya 69% (Lampiran 2).
100.00
SKOR

70.58

69.79

Sumatera

Jawa

74.27

77.34

82.37

70.08

67.92

Maluku

Papua

50.00
0.00
Nusa
Kalimantan Sulawesi
Tenggara

Sumber: KPPOD 2011 (diolah)

Gambar 4. Kualitas Akses Lahan di Indonesia
2. Infrastruktur Daerah
Infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu keputusan bisnis para
pelaku usaha. Ketersediaan infrastruktur yang baik dapat meningkatkan iklim
usaha di suatu daerah. Kualitas infrastruktur di Indonesia yang terbaik adalah
Pulau Jawa dengan nilai sebesar 79.53 dan kualitas infrastruktur terburuk berada
pada Pulau Maluku dengan nilai sebesar 50.40.
100.00
SKOR

71.22

79.53

64.56

68.28

67.19

50.40

70.26

50.00
0.00
Sumatera

Jawa

Nusa
Kalimantan Sulawesi
Tenggara

Maluku

Papua

Sumber: KPPOD 2011 (diolah)

Gambar 5. Kualitas Infrastruktur di Indonesia
Kualitas infrastruktur di Pulau Jawa merupakan yang terbaik diantara pulaupulau lain di Indonesia. Rata-rata persepsi pelaku usaha di Pulau Jawa sebesar
77.03% menyatakan baik terhadap lima kondisi infrastruktur seperti jalan, lampu
penerangan jalan, air, lisrik, dan telepon. Selain itu, frekuensi pemadaman listrik
di pulau ini relatif jarang yaitu rata-rata hanya satu hari dalam seminggu, sehingga
para pelaku usaha di Pulau Jawa rata-rata menyatakan bahwa sekitar 82.30%
kinerja perusahaan mereka tidak terhambat oleh kondisi infrastruktur di pulau ini.
Namun, rata-rata perbaikan untuk infrastruktur yang rusak di pulau ini relatif
cukup lama yaitu sampai mencapai 17 hari (Lampiran 2).
3. Perizinan Usaha
Perizinan Usaha yang lama dan rumit dapat menghambat aktivitas bisnis
dan membuat para pelaku usaha menghindari formalisasi usahanya. Perizinan
usaha merupakan salah satu faktor penting yang dapat menarik para pelaku usaha
untuk membuat usaha di suatu daerah. Kualitas perizinan usaha di Indonesia

19
cenderung kurang baik, nilai rata-rata perizinan usaha di pulau-pulau yang ada di
Indonesia berada dibawah 64. Perizinan Usaha yang terbaik berada pada Pulau
Kalimantan dengan nilai 62.99, sedangkan untuk Perizinan Usaha terburuk berada
pada Pulau Nusa Tenggara dengan nilai 60.48.
100.00

60.74

62.63

Sumatera

Jawa

60.48

62.99

61.25

61.25

62.85

Sulawesi

Maluku

Papua

SKOR 50.00
0.00
Nusa
Kalimantan
Tenggara

Sumber: KPPOD 2011 (diolah)

Gambar 6. Kualitas Perizinan Usaha di Indonesia
Pulau Kalimantan merupakan pulau dengan nilai perizinan usaha terbaik
diantara enam pulau lain di Indonesia. Pulau Kalimantan menunjukan bahwa
dilihat dari kemudahan dalam mengurus surat izin usaha salah satunya yaitu
Tanda Daftar Perusahaan (TDP) serta pengurusan izin usaha yang bebas Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Pulau Kalimantan dinilai baik oleh sebagian
besar pelaku usaha yang ada di pulau tersebut. Rata-rata sebesar 89.28% dan
79.98% pelaku usaha menyatakan bahwa kepengurusan TDP dan perizinan usaha
yang bebas KKN di pulau ini baik. Namun, jika dilihat dari perusahaan yang
memiliki TDP di Pulau Kalimantan masih sangat rendah, yaitu hanya sebesar
3.35%. Hal ini diduga disebabkan karena waktu yang dibutuhkan untuk mengurus
TDP sangat lama yaitu rata-rata mencapai 13