Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, Dan Praktik Pedagang Bakso Terhadap Penambahan Boraks Dalam Bakso Di Kota Bengkulu

KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTIK
PEDAGANG BAKSO TERHADAP PENAMBAHAN BORAKS
DALAM BAKSO DI KOTA BENGKULU

SITI ISTIQOMAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik, Pengetahuan,
Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di
Kota Bengkulu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016
Siti Istiqomah
NIM B251130051

_________________________
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
SITI ISTIQOMAH. Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang
Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu. Dibimbing
oleh MIRNAWATI B SUDARWANTO dan ETIH SUDARNIKA.
Boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang sering digunakan
sebagai bahan pengawet khususnya pada bakso. Bakso merupakan hasil olahan
pangan asal hewan yang mudah rusak. Bahan tambahan pangan dapat
memperpanjang umur simpan dengan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk
dan menghambat pertumbuhan organisme penyebab penyakit. Penambahan boraks
biasanya dilakukan pada waktu proses pengolahan makanan. Boraks termasuk

bahan beracun apabila digunakan dalam makanan yang dapat menimbulkan risiko
bagi kesehatan manusia. Penelitian penggunaan boraks pada bakso pernah
dilakukan di Kota Bengkulu pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 10% dari 100
sampel bakso yang diuji positif mengandung boraks. Mengingat bahaya boraks
apabila dikonsumsi terus menerus dan adanya peningkatan jumlah pedagang bakso
sampai tahun 2013 di Kota Bengkulu, maka perlu dilakukan penelitian dengan
cakupan besaran sampel bakso yang lebih besar. Penelitian ini bertujuan
mendeteksi keberadaan boraks dalam bakso dan mengukur karakteristik,
pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu.
Kajian yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian lapang cross
sectional yang menggunakan dua jenis data yaitu data hasil pengujian sampel bakso
di laboratorium dan data hasil wawancara terhadap pedagang dan penggiling bakso
di Kota Bengkulu. Pengambilan sampel dilakukan pada seluruh pedagang bakso
yang berada di seluruh Kota Bengkulu sebanyak 160 sampel bakso dari pedagang
(100%) yang melakukan pembuatan bakso sendiri dan menetap. Pengambilan
sampel juga dilakukan terhadap lima tempat penggilingan bakso yang ada di Kota
Bengkulu. Deteksi keberadaan boraks pada bakso dilakukan secara dua tahap yaitu
tahap pertama pengujian keberadaan boraks pada bakso yang beredar di Kota
Bengkulu secara kualitatif, tahap kedua terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu
spektrofotometri, pemanasan dan daya simpan.

Hasil pengujian kualitatif menunjukkan 165 sampel (100%) yang diambil dari
pedagang bakso dan tempat pengilingan tidak mengandung boraks. Dari hasil
survei diperoleh hasil bahwa tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso
mayoritas berada dalam kategori baik. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi
pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Sedangkan faktor-faktor yang
memengaruhi sikap adalah akses informasi dari televisi dan pengetahuan. Tingkat
pengetahuan penggiling bakso sebagian besar dalam kategori sedang, dan sikap
seluruh penggiling bakso dalam kategori baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada praktik penambahan boraks
dalam bakso baik sampel bakso yang berasal dari pedagang maupun penggiling
bakso tetapi penyuluhan tetap harus dilakukan oleh instansi terkait mengingat baru
sebagian pedagang dan penggiling yang mendapat penyuluhan. Pengawasan
dengan cara pengambilan sampel secara menyeluruh harus dilakukan secara
menyeluruh pada pedagang bakso yang menetap dan tidak menetap, baik yang
membuat bakso sendiri maupun yang tidak membuat bakso sendiri. Data jumlah
pedagang dan penggiling bakso yang perlu diperbaharui secara rutin dan penelitian

lanjutan perlu dilakukan untuk pengambilan sampel dari pedagang bakso keliling
dan penjual bakso di pasar.
Kata kunci: bakso, boraks, pedagang, pengetahuan, sikap


SUMMARY
SITI ISTIQOMAH. Characteristics, Knowledges, Attitudes, and Practices of
Meatball Traders on Addition of Borax in Bengkulu City. Supervised by
MIRNAWATI B SUDARWANTO and ETIH SUDARNIKA.
Borax is one of food additives that are often used as a preservative, especially
in meatballs. Meatballs are processed foodstuffs of animal origin that can damage
easily. Food additives can extend the shelf life of the foods by inhibit the growing
of disease-causing organisms. The addition of borax is performed in food
processing. Borax is one of the toxic materials when used in food and harmful to
human health. The last research about using of borax in meatballs in Bengkulu City
in 2011 showed that 10% (10/100) of meatballs containing borax. The dangerous
effect of borax and increasing the number of meatball traders in 2013, it is necessary
to do the research about meatball with more meatballs samples. The study was
aimed to detect the presence of borax in meatballs and identify the characteristics,
knowledges, attitudes, and practices of meatball traders and grinders in Bengkulu
City.
The study was conducted using cross sectional study using two types of data,
they were data of meatball sample test in the laboratory and questionnaire data
about characteristics, knowledges, attitudes, and practices of meatball traders and

grinders in Bengkulu City. The samples were collected from all the settle meatballs
traders in Bengkulu City (160 traders). Sampling also carried out on five samples
from grinders place in Bengkulu City. Detection of the content of borax in meatballs
were done in two stages, the first stage was testing the content of borax in meatballs
qualitatively, the second stage consists of three types of testing namely
spectrophotometry, heating and storability.
The qualitative method showed that all of samples (100%) didn’t contain
borax. The knowledges and attitudes level of traders were at a good level. The
education level had the association with the knowledge. The factors that are
associated with attitude were sourced from television and knowledge. Most of the
knowledge of meatball grinders were in the medium category and all of their
attitudes were at good levels.
The result study showed that no additional borax in meatball traders and
grinders but they must get the socialization from related agencies to increase their
knowledge. It is important to perform the surveillance programme to all of the
meatballs traders (including settle and not settle traders) and producers of meatballs.
Data of total meatballs traders and grinders should be updated frequently and need
further research which sampling from meatballs traders on the street and in the
market.
Keywords: attitude, borax, knowledge, meatball, trader


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTIK
PEDAGANG BAKSO TERHADAP PENAMBAHAN BORAKS
DALAM BAKSO DI KOTA BENGKULU

SITI ISTIQOMAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
karunia-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap
Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr med vet Drh Mirnawati B
Sudarwanto dan Ibu Dr Ir Etih Sudarnika, MSi selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, motivasi serta bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Terima
kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku dosen
penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan dalam
penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak

Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesmavet FKH-IPB dan Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi
sebagai Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB beserta
seluruh staf.
Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu yang telah memberikan beasiswa serta
kepada Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu dan
Kepala UPT Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah
memberikan ijin untuk melakukan pengujian di UPT Laboratorium Kesmavet
Provinsi Bengkulu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboratorium
Pangan dan Bahan Berbahaya Balai Pengawas Obat dan Makanan Bengkulu dan
Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Lampung yang telah membantu dalam
peneguhan pengujian. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk rekanrekan mahasiswa pascasarjana S2 dan S3 KMV angkatan 2012, 2013 dan 2014 baik
program khusus maupun regular yang telah bersama-sama dalam menempuh
pendidikan di kampus FKH IPB tercinta, serta rekan-rekan dari Pemerintah Daerah
Provinsi Bengkulu yang telah bersama-sama melaksanakan tugas belajar di IPB.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis
ucapkan kepada ayahanda Drs Suparmin, ibunda Umi Marwiyatun, kakak-kakakku
tersayang atas segala doa, semangat, motivasi dan kasih sayangnya serta pihakpihak lain yang turut membantu sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Maret 2016
Siti Istiqomah

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Karakteristik Boraks
Kegunaan Boraks
Bahaya Boraks

2
2
5
5
7


3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Kerangka Konsep
Disain Penelitian
Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Koleksi Sampel
Pengujian Sampel
Analisis Data

10
10
11
11
11
12
12
12
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengambilan Sampel dan Hasil Pengujian Laboratorium
Karakteristik Pedagang Bakso
Praktik Pedagang Bakso
Pengetahuan dan Sikap Pedagang Bakso
Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Pengetahuan
Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap
Pengetahuan Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap
Karakteristik Penggiling Bakso
Praktik, Pengetahuan, dan Sikap Penggiling Bakso
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Instansi Pemerintah

14
15
16
18
20
22
24
26
28
29
31

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

32
32
33

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

40

RIWAYAT HIDUP

56

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Profil toksisitas akut boraks
Wilayah dan besaran sampel bakso yang diambil dari pedagang bakso
Karakteristik personal pedagang bakso di Kota Bengkulu
Praktik pengolahan bakso oleh pedagang bakso di Kota Bengkulu
Sebaran tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso di Kota
Bengkulu terhadap penambahan boraks
6 Hubungan antara karakteristik personal terhadap tingkat pengetahuan
pedagang bakso dalam penambahan boraks
7 Hubungan antara karakteristik personal terhadap sikap pedagang bakso
dalam penambahan boraks
8 Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso
dalam penambahan boraks
9 Karakteristik personal penggiling bakso di Kota Bengkulu
10 Praktik pengolahan bakso oleh penggiling bakso di Kota Bengkulu
11 Sebaran tingkat pengetahuan dan sikap penggiling bakso di Kota
Bengkulu terhadap penambahan boraks

8
16
17
18
21
23
25
26
29
30
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Struktur molekul boraks
Skema kerangka konsep penelitian
Peta lokasi tempat pedagang bakso di Kota Bengkulu

7
11
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Kuesioner pedagang bakso di Kota Bengkulu
Kuesioner penggiling bakso di Kota Bengkulu
Surat penerimaan artikel

41
48
55

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penyediaan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) menjadi
tantangan utama dengan pertumbuhan populasi penduduk. Manajemen risiko yang
efektif untuk pencapaian hal tersebut berdasarkan informasi dan studi ilmu
pengetahuan diperlukan oleh industri pangan (pengusaha, pedagang), dan
konsumen. Perkembangan informasi melalui berbagai media meningkatkan
tuntutan dan kepercayaan masyarakat terhadap keamanan pangan. Informasi
berdasarkan penelitian ilmiah salah satu kunci menilai pangan yang beredar di suatu
wilayah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Pangan asal hewan seperti daging, susu, dan telur serta hasil olahannya pada
umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung
bahaya biologik, kimiawi dan atau fisik, yang dikenal sebagai potentially hazardous
foods (PHF) (Lukman 2008). Bakso merupakan hasil olahan daging, baik daging
sapi, ayam, ikan, maupun udang. Kebutuhan masyarakat (konsumen) terhadap
protein dapat dipenuhi dengan mengonsumsi bakso (Cahyadi 2008). Bakso
merupakan hasil olahan pangan asal hewan yang mudah rusak dan sering diberikan
bahan tambahan pangan dalam proses pembuatannya.
Bahan tambahan pangan dapat memperpanjang umur simpan dengan
mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk dan menghambat pertumbuhan
organisme penyebab penyakit. Tahun 1900-an awal boraks secara luas digunakan
sebagai pengawet makanan (Tomaska dan Brooke-Taylor 2014). Boraks
merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang sering digunakan sebagai
bahan pengawet khususnya pada bakso, kerupuk, pempek, pisang molen, pangsit,
tahu, dan bakmi. Penambahan boraks biasanya dilakukan pada waktu proses
pengolahan makanan untuk meningkatkan kekenyalan, kerenyahan, memberi rasa
gurih dan kepadatan (Saparinto dan Hidayati 2006). Boraks di pasaran memiliki
nama berbeda-beda, di Jawa Tengah disebut air bleng atau garam bleng, di daerah
Sunda disebut bubuk gendar, di Jakarta disebut pijer (Sugiyatmi 2006). Boraks
termasuk bahan beracun apabila digunakan dalam makanan yang dapat
menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. Penggunaan boraks dalam pembuatan
makanan untuk diperdagangkan secara internasional tidak diizinkan pada banyak
negara. Penggunaan secara ilegal di beberapa negara untuk memperpanjang masa
simpan masih dilakukan sehingga terus menimbulkan risiko kesehatan bagi
konsumen (Tomaska dan Brooke-Taylor 2014).
Penelitian bakso di Kota Bengkulu pada tahun 2011 menunjukkan bahwa
10% dari 100 sampel bakso yang diuji positif mengandung boraks (Suningsih
2011). Mengingat bahaya boraks apabila dikonsumsi terus menerus dan adanya
peningkatan jumlah pedagang bakso di Kota Bengkulu (Disnakkeswan Prov
Bengkulu 2014), maka perlu dilakukan penelitian dengan cakupan sampel bakso
yang lebih besar. Pengamatan yang dilakukan meliputi keberadaan boraks dalam
bakso, daya simpan bakso, dan penelusuran faktor-faktor pendorong penambahan
boraks dalam bakso.

2
Tujuan Penelitian

1.
2.

Penelitian ini bertujuan untuk:
Mendeteksi keberadaan boraks dalam bakso.
Mengukur karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang dan
penggiling bakso terhadap penambahan boraks dalam bakso.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menjamin keamanan,
kesehatan, dan ketentraman batin masyarakat Kota Bengkulu dalam mengonsumsi
bakso yang beredar di Kota Bengkulu. Data dan informasi hasil penelitian sebagai
bahan penyuluhan bagi pedagang dan penggiling bakso mengenai bahaya yang
dapat ditimbulkan dari bakso yang mengandung boraks.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang
ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan
(Kemenkes 2012). Nama BTP atau jenis BTP, selanjutnya disebut jenis BTP,
adalah nama kimia/generik/umum/lazim yang digunakan untuk identitas bahan
tambahan pangan, dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa Inggris. Pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan
bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau
pembuatan makanan atau minuman (BPOM 2013).
Penggunaan bahan tambahan pangan bukan temuan modern, sudah sejak
5000 tahun yang lalu dilakukan dan awalnya penggunaan cuka untuk pengawetan
sayuran, pengasinan, dan pengasapan untuk membantu mengawetkan daging dan
ikan, penggunaan bahan-bahan herbal untuk meningkatkan rasa, dan mewarnai
sayuran untuk memperbaiki penampilan makanan. Bahan tambahan pangan
sekarang sangat beragam dengan tujuan untuk mengatur keasaman, meningkatkan
tekstur, meningkatkan warna dan kualitas makanan, dan sebagainya. Bahan
tambahan alami misalnya asam askorbat (vitamin C) dalam buah jeruk, lesitin
dalam telur dan kedelai, atau bisa sintetik. Beberapa bahan tambahan pangan
memiliki lebih dari satu fungsi misal kitinase digunakan sebagai pengental juga
memiliki beberapa sifat antibakteri. Penggunaan jumlah kecil dalam makanan baik
bahan tambahan pangan alami atau sintesis. Pertengahan abad kedua puluh
peningkatan penggunaan bahan tambahan pangan signifikan (Tomaska dan
Brooke-Taylor 2014).

3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
pasal 75 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui ambang
batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang digunakan sebagai
bahan tambahan pangan. Pasal 76 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dikenai sanksi
administratif, ayat (2) sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa denda; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
penarikan pangan dari peredaran oleh produsen; ganti rugi; dan/atau pencabutan
izin. Pasal 136 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan produksi pangan
untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakan bahan tambahan pangan
melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan atau bahan yang dilarang
digunakan sebagai bahan tambahan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling
banyak Rp10 000 000 000 (sepuluh miliar rupiah) (Pemerintah Republik Indonesia
2012).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan mengatur BTP yang digunakan dalam pangan
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak
diperlakukan sebagai bahan baku pangan.
b. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja
ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan,
pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau
pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu
komponen atau memengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau
tidak langsung.
c. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan
untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
Penggolongan BTP berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan terdiri atas
beberapa golongan sebagai berikut:
1. Antibuih (Antifoaming agent)
2. Antikempal (Anticaking agent)
3. Antioksidan (Antioxidant)
4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent)
5. Garam pengemulsi (Emulsifying salt)
6. Gas untuk kemasan (Packaging gas)
7. Humektan (Humectant)
8. Pelapis (Glazing agent)
9. Pemanis (Sweetener)
10. Pembawa (Carrier)
11. Pembentuk gel (Gelling agent)
12. Pembuih (Foaming agent)
13. Pengatur keasaman (Acidity regulator)
14. Pengawet (Preservative)
15. Pengembang (Raising agent)
16. Pengemulsi (Emulsifier)

4
17. Pengental (Thickener)
18. Pengeras (Firming agent)
19. Penguat rasa (Flavour enhancer)
20. Peningkat volume (Bulking agent)
21. Penstabil (Stabilizer)
22. Peretensi warna (Colour retention agent)
23. Perisa (Flavouring)
24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent)
25. Pewarna (Colour)
26. Propelan (Propellant) dan
27. Sekuestran (Sequestrant)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan menyebutkan bahan yang dilarang digunakan
sebagai BTP yaitu:
1. Asam borat (Boric acid) dan senyawanya
2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt)
3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC)
4. Dulsin (Dulcin)
5. Formalin (Formaldehyde)
6. Kalium bromat (Potassium bromate)
7. Kalium klorat (Potassium chlorate)
8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)
9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)
10. Nitrofurazon (Nitrofurazone)
11. Dulkamara (Dulcamara)
12. Kokain (Cocaine)
13. Nitrobenzen (Nitrobenzene)
14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate)
15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)
16. Biji tonka (Tonka bean)
17. Minyak kalamus (Calamus oil)
18. Minyak tansi (Tansy oil)
19. Minyak sasafras (Sasafras oil)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan menyebutkan bahan yang dilarang digunakan
sebagai BTP salah satunya yaitu asam borat (boric acid) dan senyawanya. Boraks
tidak diperbolehkan dipergunakan di dalam makanan dan dinyatakan ilegal apabila
ditemukan di dalam makanan termasuk jika dipergunakan untuk pelapis (wax)
buah-buahan dan sayur-sayuran (USFDA 2013).
Asam borat (boric acid) dan senyawanya banyak dipergunakan pada mie dan
bakso ikan di Malaysia, meskipun dilarang penggunaannya (Yiu et al. 2008). Kadar
boraks lebih tinggi pada bakso yang dibuat oleh produsen daripada bakso yang
dibuat oleh pedagang. Pedagang menggunakan boraks pada bakso dikarenakan
bakso yang dihasilkan mempunyai tekstur yang lebih kenyal, tahan lama, dan harga
terjangkau sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar
(Nurkholidah et al. 2012). Masyarakat/konsumen memilih bakso berdasarkan
kualitas bakso, lokasi penjualan, harga, rasa, dan produk yang terjamin (Purnomo
dan Rahardiyan 2008).

5
Bakso daging adalah produk olahan daging yang dibuat dari daging hewan
ternak yang dicampur pati dan bumbu-bumbu dengan atau tanpa penambahan
bahan pangan lainnya, dan atau bahan tambahan pangan yang diizinkan, yang
berbentuk bulat atau bentuk lainnya dan dimatangkan. Daging meliputi daging sapi,
kerbau, kambing, domba, babi, hewan ternak lainnya, dan atau hewan unggas.
Daging ternak termasuk urat dan jantung. Klasifikasi bakso terdiri dari bakso
daging merupakan bakso dengan kandungan daging minimal 45% dan bakso daging
kombinasi merupakan bakso dengan kandungan daging minimal 20% (BSN 2014).
Penelitian mengenai penambahan boraks pada bakso di Kota Bengkulu tahun
2011 memperoleh hasil 10% dari 100 sampel bakso yang diteliti. Sampel bakso
yang diambil berasal dari pedagang bakso pada warung menetap dan tidak ada
pemisahan pedagang bakso melakukan pembuatan sendiri atau berasal dari
penggiling. Hasil penelitian dari tujuh kecamatan yang ada di Kota Bengkulu
ditemukan enam kecamatan terdapat sampel bakso positif mengandung boraks
(Suningsih 2011). Peningkatan jumlah pedagang bakso berdasarkan pelaksanaan
inventarisasi dan pendataan unit usaha pangan asal hewan di Provinsi Bengkulu
tahun 2013 yang dilakukan oleh UPT Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu
terdapat 158 unit usaha bakso (pedagang bakso) dengan rincian lokasi pasar 15 unit
usaha, di mall enam unit usaha, di luar pasar, dan di luar mall 137 unit usaha. Belum
ada data secara detail dari masing-masing unit usaha melakukan pembuatan bakso
sendiri atau berasal dari penggiling, pedagang menetap dan tidak menetap, serta
terdapat beberapa unit usaha bakso dengan cabang yang sama (Disnakkeswan Prov
Bengkulu 2014).

Karakteristik Boraks
Boraks dengan rumus kimia Na2B4O7.10H2O mempunyai nama lain yaitu
disodium tetraborat decahydrate, boraks decahydrate, atau boraks 10 dengan nomor
registrasi Chemical Abstracts Registry (CAS) 1303-96-4 mempunyai ciri-ciri tidak
berbau, keadaan fisik padat, berbentuk butiran kristal tidak berwarna/putih atau
serbuk, bersifat alkali, tidak menyebabkan korosi pada logam besi, berat molekul
381.43 g/mol, pelarut gliserol (USEPA 2008a). Boraks memiliki berat jenis 1.73
larut dalam air dingin (47.1 g/l pada suhu 20 °C), sangat larut dalam air panas dan
tidak larut dalam asam dan etanol, pemanasan di atas 320 °C akan menghilangkan
kandungan air (EFSA 2013).

Kegunaan Boraks
Boraks biasanya digunakan dalam industri gelas, pelicin porselen, alat
pembersih, dan antiseptik. Kegunaan boraks yang sebenarnya adalah sebagai zat
antiseptik, obat pencuci mata (barie acid 30%), salep (boorzalf) untuk
menyembuhkan penyakit kulit, salep untuk mengobati penyakit bibir (borax
glicerin), dan pembasmi semut (barie acid borax) (Saparinto dan Hidayati 2006).
Penggunaan boraks dalam obat antifertilitas yaitu Pippalyadiyoga sebanyak 19.8%
(Shaila et al. 2005).

6
Boraks merupakan bahan aktif dalam produk pestisida yang digunakan
sebagai insektisida, akarisida, algasida, herbisida, fungisida, dan pengawet kayu.
Boraks dipakai pada kegiatan manusia untuk produk laundry, pembakaran batu
bara, pembangkit listrik, manufaktur kimia, peleburan tembaga, roket (Harper et al.
2012). Boraks dapat dipergunakan dalam proses penambangan emas untuk
menghilangkan merkuri (Steckling et al. 2014).
Boraks efektif sebagai fungisida dalam pemberantasan Fusarium sulphureum
pada kentang (Li et al. 2012). Boric acid dan boraks merupakan faktor yang bagus
sebagai fire retardant untuk melindungi serat serbuk gergaji dari kebakaran
(Nagieb et al. 2011). Boraks dapat memperpanjang umur simpan kertas karena
antibakteri dan efektif mengontrol pertumbuhan mikroorganisme pada kertas,
sehingga kondusif untuk pengawetan dan memperpanjang umur kertas.
Penggunaan karbon dioksida (CO2SCF) dikombinasikan dengan larutan boraks
alkohol menjadikan kertas lebih kuat dan biaya ekonomis (Yanjuan et al. 2013).
Boraks dapat sebagai antidota bersifat antagonis terhadap keracunan
aluminium. Boraks pada dosis 3.25 dan 13 mg/kg berat badan dapat melindungi
tikus yang diinduksi aluminium AlCl3 5 mg/kg berat badan. Partikel boraks
memblok kenaikan mikronukleat hepatosit dan signifikan dengan efek genotoksik
karena pengaruh AlCl3 (Turkez et al. 2012a). Boraks dapat menghambat
pertumbuhan aflatoksin B1 (AFB1). Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan
sister chromatid exchange (SCE) dan micronucleus (MN) pada aplikasi boraks (1,
2, dan 5 ppm) yang ditambah dengan AFB1 3.12 ppm. Boraks dapat memberikan
30 sampai 50% perlindungan terhadap AFB1 (Turkez et al. 2012b).
Pemberian boraks pada kelinci secara oral dengan dosis 10, 30, dan 50 mg/kg
berat badan setiap 96 jam selama tujuh bulan tidak menunjukkan perubahan
parameter gambaran darah. Dosis tersebut tidak berefek terhadap gambaran darah.
Boraks berefek pada hepatic steatosis dan lemak visceral dengan menurunkan stres
oksidatif dan mempengaruhi profil lipid, meskipun dosis 50 mg/kg tidak
menunjukkan efek (Basoglu et al. 2010). Seperti halnya dengan penelitian Pawa
dan Ali (2006) pemberian boraks sebagai pretreatment dengan dosis 4 mg/kg yang
diberikan secara oral selama tiga hari pada tikus yang mengalami fulminant hepatic
failure (FHF) dapat menormalkan hati dan mengimbangi efek kerusakan yang
dihasilkan oleh FHF dengan mengatur parameter oksidatif stres yang ditunjukkan
dengan peningkatan glutathione (GSH) dan penurunan lipid peroksidase.
Struktur molekul boraks seperti terlihat pada Gambar 1 (USEPA 2008a).
Boraks dapat digunakan sebagai kontrol parasit pada tembakau (Kannan et al.
2015). Bernard et al. (2010) menyebutkan boraks digunakan untuk kontrol Fomes
annosus dan kontrol ganggang di kolam renang, kontrol kutu/pinjal di karpet,
penggunaan boraks untuk hal ini bersifat kontroversi karena beberapa tingkat
aplikasi yang tinggi dapat menyebabkan keterpaparan pada anak-anak dan hewan
peliharaan.
Boraks juga disebut sodium borat, sodium tetraborat, atau disodium tetraborat
merupakan senyawa boron, mineral, dan garam dari boric acid. Boron merupakan
mineral yang digunakan untuk industri glass, keramik, otomotif dan cat. Boraks
biasanya ditemukan senyawa boron. Boron berefek pada sistem enzim,
mempengaruhi metabolisme lipid, energi, mineralisasi, Ca, P, Mg, vitamin D,
menurunkan kolesterol, dan trigliserida. Penambahan boron dapat berefek pada
pertumbuhan tulang, beberapa efek berbeda ditunjukkan pada unggas dan hewan

7
laboratorium. Boron dapat digunakan untuk masalah obesitas, fatty liver, dan
diabetes atau untuk pengobatan masalah kesehatan tulang baik pada hewan
domestik dan manusia. Meskipun penelitian tentang efek penggunaan boraks
(boron) ini sudah dilakukan selama sepuluh tahun terakhir informasi yang
dihasilkan tetap belum mencukupi (Kabu dan Akosan 2013; Kabu et al. 2015c).

Gambar 1 Struktur molekul boraks (USEPA 2008a)

Bahaya Boraks
Boraks bersifat toksik bagi sel, berisiko terhadap kesehatan manusia yang
mengonsumsi makanan mengandung boraks (See et al. 2010). Pengaruh boraks
terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh.
Kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang
paling terpengaruh dibandingkan dengan organ lain. Dosis fatal boraks antara 0.1
sampai 0.5 g/kg berat badan. Keracunan kronis akibat boraks karena absorpsi dalam
waktu lama. Akibat yang ditimbulkan antara lain anoreksia, berat badan turun,
muntah, diare, ruam kulit, kebotakan (alopecia), anemia, dan konvulsi. Penggunaan
boraks apabila dikonsumsi secara terus menerus dapat mengganggu peristaltik usus,
kelainan pada susunan saraf, depresi, dan kekacauan mental. Dosis tertentu
mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati,
dan kulit karena boraks cepat diabsorpsi oleh saluran pernafasan dan pencernaan,
kulit yang luka, atau membran mukosa (Saparinto dan Hidayati 2006).
Paparan jangka pendek (akut) boraks dapat mempengaruhi sistem saraf.
Keterpaparan berlebihan dapat menyebabkan kejang, ketidaksadaran, dan kematian.
Paparan jangka panjang (kronis) boraks dapat menyebabkan kerusakan otak, ginjal,
dan hati (Pohanish 2012). Pemberian boraks secara oral dengan lethal dose (LD50)
4550 mg/kg pada tikus jantan dan 4980 mg/kg pada tikus betina dapat
mengakibatkan keracunan akut. Tabel 1 menunjukkan profil toksisitas akut untuk
boraks (USEPA 2008b).
Hasil penelitian pada tikus menunjukkan boraks tidak menyebabkan
perubahan histologi pada ginjal, usus besar, hati, dan lambung pada dosis rendah,
tetapi jika dosis meningkat terdeteksi adanya inflamasi sel tanpa disertai gejala
klinis. Dosis tinggi gejala klinis yang teramati edema, inflamasi sel dan

8
neovaskularisasi, dua dari enam tikus mati dalam waktu lima jam. Boraks dosis
sangat tinggi dapat mengakibatkan kematian mendadak dan terjadi juga pada waktu
yang lama dan dosis lebih tinggi dapat mengakibatkan radang usus (Kabu et al.
2015a).
Tabel 1 Profil toksisitas akut boraks (USEPA 2008b)
Toksisitas akut
Toksisitas akut oral/tikus
Toksisitas akut oral/anjing
Toksisitas akut dermal/kelinci
Iritasi akut mata/kelinci
Iritasi akut kulit/kelinci

Level toksisitas
LD50 Jantan = 4550 mg/kg
LD50 Betina = 4980 mg/kg
LD50 > 974 mg/kg
LD50 > 2000 mg/kg
Korosif
Tidak iritasi

Kategori toksisitas
III
III
III
I
IV

LD50/LC50 merupakan ukuran umum dari toksisitas akut yaitu lethal dose
(LD50) atau lethal concentration (LC50) yang menyebabkan kematian (dihasilkan
dari satu atau terbatas paparan) pada 50 persen hewan perlakuan. LD50 umumnya
dinyatakan sebagai dosis dalam miligram (mg) kimia per kilogram (kg) dari berat
badan. LC50 sering dinyatakan sebagai mg kimia per volume (liter/l) media (udara
atau air). Zat kimia dianggap sangat beracun bila LD50/LC50 kecil dan praktis tidak
beracun ketika nilai besar. LD50/LC50 tidak mencerminkan efek dari paparan jangka
panjang (kanker, kelahiran cacat atau toksisitas reproduksi) mungkin terjadi pada
tingkat bawah yang menyebabkan kematian (Harper et al. 2012).
Penurunan jumlah sperma dan atrofi testis pada tikus jantan serta penurunan
ovulasi pada tikus betina yang diberi perlakuan dengan boraks 1170 ppm (58.5
mg/kg/hari) selama 14 minggu (USDA 2006). Boraks bersifat toksik terhadap
reproduksi berdasarkan hasil penelitian pada tikus dengan no observed adverse
effect levels (NOAELs) sebesar 17.5 mg(B)/kg berat badan berpengaruh terhadap
kesuburan tikus jantan dan 9.6 mg(B)/kg berat badan dan terganggunya
perkembangan (Bolt et al. 2012).
Paparan boron (boric acid dan boraks) dari debu, makanan, dan air
berkorelasi dengan urin orang yang mengonsumsinya. Konsentrasi boron pada urin
berkorelasi dengan total konsentrasi paparan boron pada makanan, air, dan udara.
Konsentrasi boron pada urin berkorelasi dengan boron pada darah dan semen. Total
paparan boron rata-rata sebesar 41.2 mg per hari pada laki-laki yang bekerja di
industri boron (Xing et al. 2008). Pekerja pada industri boron (boric acid dan
boraks) yang terpapar terus menerus dikhawatirkan berpengaruh pada siklus
spermatogenesis. Perbandingan boron pada sperma pekerja yang tidak bekerja di
industri boron dengan pekerja yang bekerja di industri boron menunjukkan bahwa
rata-rata 42 mg boron per hari (standar deviasi 58 mg boron per hari). Perbandingan
kandungan boron pada sperma lebih rendah pada laki-laki yang bekerja di industri
boron dibandingkan dengan laki-laki yang tidak bekerja di industri boron. Boron
dalam darah pekerja rata-rata 499.2 ppb, paling tinggi 96.1, dan paling rendah 47.9
ppb. Tidak ada korelasi antara darah atau urin dan parameter boron dalam semen
(Robbins et al. 2010). Pekerja yang terpapar boron level tinggi 125 mg(B)/hari di
Provinsi Liaoning China tidak menunjukkan efek yang signifikan pada karakteristik
semen. China produksi boron terbanyak yaitu boric acid (> 10 000 ton) dan boraks
(> 200 000 ton) tahun 1998 (Scialli et al. 2010).

9
Bandirma Turki adalah area produksi dan ekspor boric acid dan boraks
(boron). Pekerja banyak terpapar oleh produk ini. Penelitian menunjukkan
konsentrasi boron dalam darah 223.89±69.49 atau 152.82 sampai 454.02 ng/g
(Basaran et al. 2012). Hasil investigasi efek reproduksi dengan paparan boron
(boric acid dan boraks) pada pekerja di Bandirma Turki dengan pemeriksaan darah,
semen, dan urin pada tempat kerja akibat paparan boron dari udara, makanan, dan
sumber air. Efek reproduksi (konsentrasi, motilitas, morfologi sperma, dan follicle
stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), dan total testosteron tidak
teramati. Paparan boron 3.32 sampai 35.62 mg per hari. Paparan ini lebih rendah
dari penelitian pada hewan yang menyebabkan penurunan jumlah sperma dan atrofi
testis, sehingga tidak ada efek pada reproduksi manusia yang terkena paparan boron
(Duydu et al. 2011). Menurut Duydu et al. (2012) tidak ada kerusakan DNA pada
sperma akibat pengaruh paparan boraks melalui pengujian COMET assay.
Kerusakan testis karena polutan bahan kimia seperti pemakaian pestisida
untuk produk pertanian yang mengandung organofosfat sering dilaporkan,
sedangkan kasus boron (boric acid, boraks) yang berpengaruh terhadap
spermatogenesis jarang dilaporkan. Oleh karena itu biosentinel spesies sangat
cocok untuk memonitor polusi di perairan atau ekosistem. Kesehatan lingkungan
yang terganggu atau stres berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi dari makhluk
hidup yang ada di dalamnya. Biosentinel spesies invertebrata laut (Octopus mimus),
ikan zebra Danio rerio dan amfibi atau binatang akuatik lainnya dapat
dipergunakan sebagai bioindikator untuk mengetahui adanya polutan bahan kimia
(Bustos-Obregon dan Hartley 2008).
Pemberian boraks dengan dosis 30 g/hari pada sapi perah selama periode
periparturient tidak memberikan efek terhadap metabolisme lipid, total kolesterol,
high density lipoprotein (HDL), non esterified fatty acids (NEFA), atau tingkat βhydroxybutyric acid (BHBA) setelah partus. Boraks meningkatkan tingkat blood
urea nitrogen (BUN) pada minggu pertama laktasi, tetapi level tersebut sama
dengan periode transisi sebelum dan sesudah partus (Kabu dan Civelek 2012).
Pemberian boraks pada sapi perah dalam periode periparturient secara oral
sebanyak 30 g per hari dapat menyebabkan efek terhadap beberapa parameter
gambaran darah seperti sel darah putih (monosit dan neutrofil), hematokrit,
hemoglobin, platelet, mean cospuscular hemoglobin. Peningkatan sel darah putih
terjadi pada periode calving, monosit juga meningkat pada periode tersebut,
neutrofil meningkat pada satu minggu sebelum partus dan mengalami penurunan
pada satu minggu setelah partus. Hematokrit, hemoglobin, platelet, mean
cospuscular hemoglobin signifikan pada periode periparturient (Kabu et al. 2014).
Pemberian boraks secara oral dengan dosis 0.2 mg/kg/hari selama empat
minggu pada sapi Australian simmental yang sedang laktasi menunjukkan
peningkatan konsentrasi boraks dalam serum pada minggu 1, 2, 3, dan 4 tetapi tidak
menunjukkan efek negatif pada periode awal laktasi. Meskipun demikian perlu
dilakukan penelitian dengan waktu yang lebih lama untuk mengetahui efek boraks
pada periode awal laktasi (Kabu dan Uyarlar 2015b).
Toksisitas food additive boraks menduduki urutan kedua (IC50 570 mg/l)
setelah sodium nitrite (410 mg/l) dan masih di atas aluminium potassium sulfate
atau potash alum (830 mg/l). Boraks dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri
Escherichia coli setelah diinkubasi selama tiga hari yang ditunjukkan dengan
adanya perubahan pada morfologi sel bakteri dengan atomic force microscopy

10
(AFM) (Yu et al. 2013). Pertumbuhan dan proliferasi sel dapat dihambat dengan
menggunakan boraks (Park et al. 2005). Boraks dapat menghambat proliferasi sel
imun (limfosit) dan menyebabkan kerusakan genetik. Konsentrasi 0.15 mg/ml
merupakan konsentrasi minimal boraks bersifat toksik terhadap sel imun. Semakin
tinggi konsentrasi boraks semakin tinggi efek sitotoksik pada sel imun. Boraks pada
konsentrasi 0.15, 0.2, 0.3 mg/ml memengaruhi sel dan kromosom manusia (jumlah
dan struktur abnormal) (Pongsavee 2009a). Boraks dapat mengakibatkan
abnormalitas kromosom manusia dan menyebabkan cacat genetik (Pongsavee
2009b).
Penelitian Gulsoy et al. (2015) juga menunjukkan genotoksik karena boraks
pada ikan zebra Danio rerio yang terpapar akut pada 24, 48, 72, dan 96 jam ditandai
dengan kerusakan DNA tertinggi pada 96 jam. Kerusakan DNA tertinggi pada dosis
64 mg/l, lalu diikuti 16 mg/l, 4 mg/l, dan 1 mg/l. Paparan 24 jam menyebabkan
paling sedikit kerusakan DNA, dan semakin lama kerusakan DNA semakin banyak.
Berbeda dengan penelitian Hojati dan Dehghanian (2014) yang menunjukkan
bahwa boraks tidak bersifat mutagenik dengan Salmonella Typhimurium reverse
mutation (Ames) test. Turkez (2008) menyebutkan bahwa boraks dapat
mempertahankan antioksidan dan tidak bersifat genotoksik, ditunjukkan dengan
boraks dapat menurunkan genotoksisitas TiO2 dalam darah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa boraks tidak seluruhnya menghambat sister chromatid
exchange (SCE) dan micronuklei (MN) akibat titanium dioxide (TiO2) yang biasa
dipergunakan untuk industri obat dan kosmetik.
Peningkatan dosis boraks pada darah manusia dapat menyebabkan stres
oksidatif dengan menurunnya aktifitas enzim antioksidan, total glutathione
(TGSH), total antioxidant capacity (TAC) dan meningkatnya malondialdehyde
(MDA) meskipun pada dosis tertentu dapat mempertahankan kapasitas antioksidan
(Turkez et al. 2007). Boraks meningkatkan konsentrasi glutathione (GSH) dalam
darah dan tingkat vitamin C dalam plasma. Pemberian nutrisi yang mengandung
boraks dengan dosis 100 mg/kg pada tikus selama 28 hari dapat menurunkan lipid
peroxidation (LPO) dan meningkatkan mekanisme pertahanan antioksidan dan
status vitamin. Tidak ada perbedaan keseimbangan oksidan/antioksidan dengan
parameter biokimia, kecuali serum vitamin A pada serum dan konsentrasi
glutathione (GSH) pada hati (Ince et al. 2010). Pemberian suplemen yang
mengandung boraks pada ayam broiler menunjukkan tidak mempengaruhi
pertumbuhan berat badan tetapi memengaruhi parameter biokimia pada hati, otot,
dan saluran pencernaan, menimbulkan gangguan metabolisme, dan keseimbangan
elektrolit (Eren et al. 2012).

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan dari April sampai Desember 2015.
Pengambilan sampel dilakukan di Kota Bengkulu dan pengujian sampel
dilaksanakan di UPT Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet)
Provinsi Bengkulu dan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bengkulu.

11
Metode Penelitian
Kerangka Konsep
Kerangka konseptual penelitian karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik
pedagang bakso terhadap penambahan boraks dalam bakso di Kota Bengkulu dapat
dilihat seperti pada Gambar 2.
A. Karakteristik personal:
- Umur
- Tingkat pendidikan
- Skala usaha
- Omset
- Lama usaha
- Keterlibatan organisasi
- Akses informasi

Pengetahuan

Praktik

Sikap
Uji Kualitatif
Hasil uji positif

Hasil uji negatif
STOP

Daya simpan pada suhu
ruang dan suhu refrigerator
Total plate count (TPC)

Pemanasan

Spektrofotometri

Spektrofotometri

Organoleptik
Total plate count (TPC)

Gambar 2 Skema kerangka konsep penelitian
Disain Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data hasil pengujian sampel
bakso di laboratorium dan data hasil wawancara terhadap pedagang dan penggiling
bakso di Kota Bengkulu. Responden yang akan diwawancarai adalah pedagang dan
penggiling bakso di Kota Bengkulu. Wawancara dilakukan secara langsung dengan
menggunakan kuesioner terstruktur. Pertanyaannya meliputi karakteristik,
pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang dan penggiling bakso dalam
menggunakan boraks dalam bakso. Pengukuran pengetahuan menggunakan
pertanyaan dengan tiga pilihan jawaban yaitu ya, tidak, dan tidak tahu. Pengukuran
sikap menggunakan pernyataan (terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan
negatif) dengan tiga pilihan jawaban yaitu setuju, ragu-ragu, dan tidak setuju.
Pengukuran praktik menggunakan pertanyaan dengan pilihan jawaban yang sudah
disediakan. Wawancara mendalam (indepth interview) juga dilakukan dengan
instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bengkulu; Dinas Pertanian,

12
Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan (Distannakbunhut) Kota Bengkulu; dan
Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bengkulu.
Pengambilan sampel dilakukan pada seluruh (100%) pedagang bakso yang
melakukan pembuatan bakso sendiri dan penggiling bakso yang berada di Kota
Bengkulu.
Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa
yang ingin diukur. Dalam penelitian yang menggunakan kuesioner untuk
pengumpulan data penelitian, maka kuesioner yang disusun harus mengukur apa
yang ingin diukur. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu
alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur
dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang
diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Reliabilitas
menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menghitung indeks reliabilitas
yaitu teknik pengukuran ulang, teknik belah dua, dan teknik paralel (Ancok 1995).
Uji validitas dan reliabilitas telah dilakukan terlebih dahulu sebelum
kuesioner digunakan di lapangan. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap
30 responden. Adapun teknik yang digunakan untuk menghitung indeks reliabilitas
dalam penelitian ini menggunakan teknik belah dua (Ancok 1995).
Koleksi Sampel
Berdasarkan data pelaksanaan inventarisasi dan pendataan unit usaha pangan
asal hewan di Provinsi Bengkulu tahun 2013 yang dilakukan oleh UPT
Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu terdapat 158 unit usaha bakso
(pedagang bakso) dengan rincian lokasi pasar 15 unit usaha, di mall enam unit usaha,
di luar pasar, dan di luar mall 137 unit usaha. Belum ada data secara detail dari
masing-masing unit usaha melakukan pembuatan bakso sendiri atau berasal dari
penggiling, pedagang menetap dan tidak menetap, serta terdapat beberapa unit
usaha bakso dengan cabang yang sama (Disnakkeswan Prov Bengkulu 2014).
Pengambilan sampel bakso pada penelitian ini dilakukan pada seluruh
pedagang bakso yang berada di seluruh Kota Bengkulu sebanyak 160 pedagang
bakso (100%) yang melakukan pembuatan bakso sendiri dan menetap.
Pengambilan sampel juga dilakukan terhadap lima tempat penggiling bakso yang
ada di Kota Bengkulu.
Pengambilan sampel bakso sebanyak 200 g untuk setiap pedagang dan
penggiling bakso. Variasi ukuran bakso tidak dilihat dalam pengambilan sampel
bakso dan hanya bakso daging sapi yang diambil untuk dilakukan pengujian.
Pengujian Sampel
Pengujian sampel di laboratorium dilakukan terhadap sampel bakso dari
pedagang dan tempat penggilingan bakso di Kota Bengkulu. Pengujian sampel
dilakukan secara dua tahap yaitu: tahap pertama adalah pengujian boraks secara
kualitatif, apabila hasil tahap pertama positif maka dilanjutkan dengan pengujian
tahap kedua yang terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu spektrofotometri, pemanasan,
dan daya simpan. Jika hasil uji tahap pertama negatif, maka tidak dilanjutkan ke
tahap pengujian kedua.

13
Metode pengujian tahap pertama yang dipergunakan berdasarkan metode
standar AOAC nomor 970.33 dengan tipe tes secara kualitatif (AOAC 2007) untuk
mengetahui keberadaan boraks. Pengujian secara kualitatif terdiri dari dua tahap
pengujian yaitu uji pendahuluan dan uji konfirmasi. Uji pendahuluan dilakukan
dengan cara sampel dipanaskan dengan air secukupnya untuk menjadikan larutan
sebelum proses pengasaman. Sampel diasamkan dengan HCl 37% (7 ml asam untuk
setiap 100 ml sampel). Kertas turmeric dicelupkan ke dalam larutan asam tersebut
dan angkat segera. Jika terdapat boraks, maka kertas turmeric akan berubah menjadi
warna merah. Bakso positif hasil uji pendahuluan dilanjutkan dengan uji konfirmasi.
Uji konfirmasi dilakukan dengan cara 25 gram sampel positif uji pendahuluan
dibuat dalam keadaan basa dengan ditambahkan kalsium hidroksida atau Ca(OH)2
dan diuapkan sampai kering menggunakan penangas kukus. Setelah itu sampel
tersebut dibakar (dengan suhu rendah) sampai bahan organik terbakar seluruhnya.
Lalu didinginkan, kemudian dilarutkan dengan 15 ml air, dan ditambahkan HCl
tetes demi tetes sampai larutan menjadi asam pada pH 5. Setelah itu kertas turmeric
dicelupkan ke dalam larutan asam tersebut dan dikeringkan menggunakan penangas
kukus. Keberadaan boraks ditunjukkan oleh perubahan warna menjadi warna merah.
Metode pengujian tahap kedua terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu
spektrofotometri, pemanasan, dan daya simpan. Tujuan uji spektrofotometri adalah
untuk mengetahui kadar boraks dalam bakso. Apabila terdapat bakso yang positif
mengandung boraks di Kota Bengkulu, maka perlu dilakukan pengujian
spektrofotometri untuk mengetahui kadar boraks yang ada dalam bakso yang dijual
di Kota Bengkulu. Tujuan uji pemanasan adalah untuk mengetahui kadar boraks
setelah dilakukan pemanasan. Pada saat konsumen membeli bakso, pedagang bakso
akan mencelupkan bakso dalam air mendidih terlebih dahulu, dan bakso tersebut
yang disajikan dan siap dikonsumsi oleh konsumen. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengujian pemanasan pada bakso positif boraks untuk mengetahui ada atau tidak
penurunan kadar boraks dalam bakso setelah dipanaskan. Sedangkan untuk uji daya
simpan tujuannya untuk mengetahui daya simpan bakso yang mengandung boraks
yang bisa dijadikan parameter bagi pedagang bakso untuk mengantisipasi
kemungkinan adanya bakso yang mengandung boraks berdasarkan daya simpan
bakso boraks pada suhu ruang dan refrigerator.
Metode spektrofotometri mengacu pada Pusat Pengujian Obat dan Makanan
Nasional (PPOMN) nomor 07/MM/00 tentang penetapan kadar asam borat dan
senyawanya dalam makanan (BPOM 2000). Spektrofotometri dilakukan dengan
cara pembuatan larutan uji, pembuatan larutan baku, dan ditetapkan kadar
boraksnya dengan spektrofotometer. Larutan uji dibuat dengan cara sampel bakso
ditimbang 0.5 sampai 1 g (0.5 g) dan dimasukkan ke dalam krus porselen. Sampel
tersebut ditambah 4 ml larutan natrium karbonat 1% dan dicampur sampai homogen.
Lalu campuran itu diuapkan di atas penangas air, kemudian dikeringkan di dalam
oven 100 °C, setelah itu dipanaskan dengan api bunsen sampai tidak mengeluarkan
asap, dan dipijarkan dalam tanur 500 °C selama 3 jam. Sampel tersebut kemudian
didinginkan, ditambah 1 sampai 2 ml HCl (1:4), lalu dipanaskan di atas penangas
air, dan dipindahkan ke dalam labu ukur 50 ml, setelah itu didinginkan lalu
ditambah air sampai tanda (A). Pembuatan larutan baku dilakukan dengan cara
dipipet 1, 2, 3, 4, 5, dan 10 ml larutan 100 µg/ml baku pembanding asam borat, lalu
dimasukkan ke dalam enam krus porselen (sebaiknya krus platina) yang berbeda,
kemudian ditambah 4 ml larutan natrium karbonat 1% b/v, dan dicampur sampai

14
homogen. Perlakukan sama pada larutan uji (B1, B2, B3, B4, B5, dan B6). Cara
penetapan kadar boraks yaitu masing-masing larutan A, B1, B2, B3, B4, B5, dan
B6 dipipet sebanyak 0.5 ml ke dalam labu propilen yang berbeda, ditambah 3 ml
laru