Gambaran Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru Tikus Putih ( R(/ I Ius non-cgicus) Pasca Pem berian Aromaterapi Min yak A tsiri Jahe (Zingihcr o!Jicinole)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI SINUS HIDUNG DAN PARUPARU TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) PASCA PEMBERIAN
AROMATERAPI MINYAK ATSIRI JAHE (Zingiber officinale)

RISNA ANGGRAENI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran
Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pasca
Pemberian Aromaterapi Minyak Atsiri Jahe (Zingiber officinale) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015
Risna Anggraeni
NIM B04090185

ABSTRAK
RISNA ANGGRAENI. Gambaran Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pasca Pemberian Aromaterapi Minyak Atsiri Jahe
(Zingiber officinale). Dibimbing oleh EVA HARLINA dan SITI SA’DIAH.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian aromaterapi
minyak atsiri jahe (Zingiber officinale) terhadap gambaran histopatologi sinus
hidung dan paru-paru tikus putih (Rattus norvegicus). Enam ekor tikus dengan
asumsi sehat sistem pernafasannya dibagi menjadi dua kelompok, kelompok
perlakuan (P) diberi inhalasi minyak atsiri jahe selama lima minggu, sedangkan
kelompok kontrol (K) tidak diberi apa-apa. Secara umum, sinus hidung tikus
kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami sinusitis suppuratif akut dan
paru-parunya mengalami pneumonia interstisialis. Berdasarkan perubahan
histopatologi dapat disimpulkan bahwa minyak atsiri jahe tidak memperbaiki
kerusakan pada rongga sinus hidung maupun paru-paru tikus.

Kata kunci: aromaterapi, minyak atsiri jahe, paru-paru, sinus hidung, tikus

ABSTRACT
RISNA ANGGRAENI. Supervised by EVA HARLINA and SITI SA’DIAH.
Histopathological Study of Nasal Sinuses and Lungs of White Rats (Rattus
norvegicus) Treated by Aromatherapy of Ginger Essential Oil (Zingiber
officinale).
The aim of this research was to know the effect of ginger essential oil
(Zingiber officinale) administration to nasal sinuses and lungs of white rats
(Rattus norvegicus) histopathology. Six rats were assumed has healthy respiratory
tracts divided into two groups. The treatment group were treated by ginger
essential oil via inhalation for 5 weeks where the control group were not. The
histopathological study of rat nasal sinuses showed acute suppurative sinusitis and
those lungs showed interstitial pneumonia. Based on histopathological changes,
can be concluded that the ginger essential oil does not repair any damage on rat
nasal sinuses and lungs.
Key words: ginger essential oil, inhalation, lungs, nasal sinuses, rats

GAMBARAN HISTOPATOLOGI SINUS HIDUNG DAN PARUPARU TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) PASCA PEMBERIAN
AROMATERAPI MINYAK ATSIRI JAHE (Zingiber officinale)


RISNA ANGGRAENI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Yc!��JI Skripsi

:

Gambaran Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru Tikus Putih
( R(/ I Ius non-cgicus) Pasca Pemberian Aromaterapi Min yak A tsiri

Jahe (Zingihcr oJicinole)

\nma

: Risna Anggraeni

\ :\11

: 804090 l 8 5

'

Disetujui oleh

セ@



__,


Dr Drh Eva Harlina, MSi, APVet

SitSa'diah, Ssi, Apt. MSi

Pembimbing l

Pembimbing Il

Tanggal Lulus:

03 JUL 2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini adalah Gambaran
Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pasca
Pemberian Aromaterapi Minyak Atsiri Jahe (Zingiber officinale).
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda, Ibunda, kedua kakak
tersayang Aries Wiratama dan Rizki Stiabudie, dan seluruh keluarga atas segala

doa, kasih sayang, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Ungkapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr Drh Eva Harlina, MSi, APVet
dan Ibu Siti Sa’diah, SSi Apt MSi selaku dosen pembimbing yang selalu bersabar
dan meluangkan waktunya untuk membimbing dan membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan juga kepada Pusat Studi Biofarmaka yang telah mendukung penelitian
ini. Penulis berterima kasih kepada Bapak Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP, Msi,
dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dukungan dan bantuan
selama penulis menjalani studi. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada
Bapak Kasnadi dan Bapak Sholeh, staf penunjang di Bagian Patologi FKH IPB
yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. Keluarga besar
Geochelone FKH 46, Himpro HKSA, IMAKAHI, dan teman-teman BEM TPB
2009 atas segala kerja sama dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu penulis terbuka menerima saran yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Risna Anggraeni


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1


Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

METODE

3

Waktu dan Tempat

3

Bahan dan Alat

3


Rancangan Percobaan

3

Dekalsifikasi Organ Sinus Hidung

4

Pembuatan Preparat Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru

4

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin

4

Evaluasi Histopatologi

4


HASIL DAN PEMBAHASAN

5

SIMPULAN

12

DAFTAR PUSTAKA

13

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1 Sinusitis akut dan bronkhopneumonia pada tikus yang diberi inhalasi
minyak atsiri jahe selama lima minggu


5

DAFTAR GAMBAR
1 Rongga sinus paranasal kelompok kontrol (K). Silia dan epitel mukosa
utuh, lamina propria bersih, tidak diinfiltrasi sel radang
2 Sinusitis suppuratif (++) pada rongga sinus paranasal tikus kontrol (K).
Mukosa dan rongga sinus dipenuhi sel radang neutrofil
3 Sinusitis suppuratif berat (+++) pada sinus paranasal tikus kontrol (K).
Mukosa edema, akumulasi neutrofil, deskuamasi epitel mukosa dan
akumulasi neutrofil di lumen sinus
4 Sinusitis suppuratif berat (+++) pada sinus paranasal tikus kelompok
perlakuan (P). Mukosa edema, deskuamasi epitel mukosa dan
akumulasi neutrofil di lumen sinus
5 Pneumonia interstisialis pada paru-paru kontrol. Dinding alveol
menebal, lumen alveol menyempit, dan ditemukan fokus-fokus yang
berisi sel-sel limfosit
6 Pneumonia interstisialis pada paru-paru perlakuan. Dinding alveol
menebal, akumulasi eksudat di bronkhioulus, dan emfisema
7 Peningkatan jumlah folikel limfoid (BALT) paru-paru kelompok
kontrol dan hiperplasi epitel bronkhus
8 Peningkatan jumlah folikel limfoid (BALT) paru-paru kelompok
perlakuan, deskuamasi epitel bronkhus yang bersatu dengan eksudat
dan sel radang limfosit di lumen

7
7

8

8

10
11
11

12

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini masyarakat cenderung untuk kembali menggunakan obat tradisional
atau obat herbal dalam memelihara kesehatan tubuh. Kecenderungan ini didasari
bahwa obat tradisional memiliki bahan yang aman digunakan dan mudah didapat.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sudah lama mengenal
dan menggunakan obat tradisional. Persentase penduduk Indonesia yang
menggunakan obat tradisional untuk pengobatan dalam kurun waktu 2009-2013,
rata-rata sekitar 24,82% (BPS 2014).
Berdasarkan berbagai hasil penelitian ilmiah, sebagian besar obat herbal
mengandung dua komponen penting, yaitu imunomodulator dan antioksidan
(Sampurno 2011). Komponen imunomodulator bermanfaat untuk menjaga
kesehatan tubuh karena dapat mempertahankan imunitas agar berfungsi dengan
baik sehingga tubuh tidak mudah sakit. Antioksidan bermanfaat mencegah atau
menghambat kerusakan sel terutama melalui pembentukan radikal bebas (Lobo et
al. 2010).
Jahe (Zingiber officinale) sudah dikenal sejak lama di Indonesia dan sejauh
ini penggunaannya lebih banyak sebagai bahan baku obat herbal. Tanaman jahe
memiliki rimpang (umbi) yang mengandung komponen bioaktif meliputi minyak
atsiri, oleoresin, dan gingerol. Oleoresin jahe memberikan rasa hangat, sedangkan
minyak atsirinya (volatile oil) memberikan rasa hangat dan aromaterapi yang
menyegarkan. Gingerol jahe merupakan senyawa aktif yang dapat menurunkan
kolesterol (Witantri et al. 2013). Secara tradisional, jahe memiliki kegunaan
menyembuhkan beberapa penyakit seperti rematik, sakit gigi, malaria, flu, batuk,
penyakit yang disebabkan infeksi, dan lain-lain. Minyak jahe bersifat analgesik,
antioksidan, antiseptik, stimulan, dan anti bakteri, serta banyak dipakai dalam
aromaterapi (Ma’mun dan Suhirman 2009).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian minyak atsiri
jahe secara perinhalasi selama 5 minggu berturut-turut pada tikus putih mampu
menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, dan LDL, serta mampu
meningkatkan kadar kolesterol HDL (Cahyaji 2012). Hingga saat ini belum
diketahui aspek keamanan dan dampak pemberian minyak atsiri jahe tersebut
terhadap sistem pernafasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian aromaterapi minyak atsiri jahe terhadap organ sistem pernafasan
melalui gambaran histopatologi sinus hidung dan paru-paru tikus putih.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pemberian minyak atsiri jahe
(Zingiber officinale) terhadap gambaran histopatologi sinus hidung dan paru-paru
tikus putih (Rattus norvegicus).

2
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mengetahui potensi minyak atsiri jahe
(Zingiber officinale) terhadap sinus hidung dan paru-paru tikus putih (Rattus
norvegicus) sehingga masyarakat dapat mengaplikasikannya sebagai bahan baku
aromaterapi baik pada manusia maupun hewan.

TINJAUAN PUSTAKA
Aromaterapi dan Minyak Atsiri
Aromaterapi merupakan tindakan terapeutik menggunakan minyak essensial
yang bermanfaat untuk meningkatkan keadaan fisik dan psikologi seseorang
sehingga menjadi lebih baik (Santi 2013). Aromaterapi dilakukan dengan
menghirup uap dari tetesan minyak tumbuh-tumbuhan yang dipanaskan (Anna
2012). Menurut Daniel (2000), aroma yang dihasilkan oleh tanaman yang
memiliki potensi sebagai obat dapat diaplikasikan dengan cara menghirupnya,
kemudian efeknya akan mempengaruhi sistem saraf pusat. Setiap aroma minyak
tumbuhan memiliki khasiat masing-masing (Anna 2012) dan setiap minyak
essensial memiliki efek farmakologis yang unik, seperti antibakteri, antivirus,
diuretik, vasodilatator, penenang, dan perangsang adrenal (Santi 2013).
Minyak atsiri atau minyak esensial yang digunakan dalam aromaterapi
adalah ekstrak tanaman yang memiliki bau yang khas dan sifatnya mudah
menguap sehingga mudah dihirup (Daniel 2000). Minyak ini diperoleh dari hasil
ekstraksi batang, daun, bunga, kulit buah, kulit kayu, biji, atau tangkai tumbuhan
yang dapat menghasilkan unsur aroma tertentu (Primadiati 2002). Minyak atsiri
merupakan hasil proses metabolisme tumbuhan yang memberikan aroma pada
tumbuhan tersebut (Rusli 2010), bahan yang sangat mudah menguap sehingga
disebut volatile oil (Primadiati 2002), dan umumnya larut dalam pelarut organik
dan tidak larut dalam air (Ketaren 2006).

Minyak Atsiri Jahe
Senyawa kimia jahe terdiri atas minyak menguap (volatile oil), minyak tidak
menguap (non-volatile oil), dan pati. Kandungan minyak tidak menguap disebut
oleoresin, yakni suatu komponen yang memberikan rasa pahit dan pedas (Tim
Lentera 2004). Komponen utama dari minyak atsiri jahe adalah camphene, pcineole, α-terpineol, zingiberen, dan asam pentadekanoik. Kandungan volatile dan
non-volatile memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi atau sifat penghambatan
yang baik terhadap radikal bebas (El-Ghorab et al. 2010).
Minyak atsiri jahe memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik. Hal ini
disebabkan banyaknya jumlah senyawa antioksidan yang terkandung dalam
minyak tersebut seperti camphene, p-cineole, borneol, α-terpineol, dan zingiberen.
Komponen lain dari minyak atsiri jahe yaitu geranil isobutirat, farnesene, βmycrene, dan α-phellandrene (El-Ghorab et al. 2010).

3
Minyak atsiri jahe merupakan senyawa yang memberikan aroma yang khas
pada jahe, umumnya berwarna kuning pucat dengan konsentrasi 1-4% tergantung
pada varietasnya (El-Ghorab et al. 2010). Besarnya kandungan minyak atsiri
dipengaruhi oleh umur tanaman. Artinya, semakin tua umur jahe maka semakin
tinggi kandungan minyak atsirinya. Namun selama dan sesudah pembungaan,
persentase kandungan minyak atsiri berkurang sehingga dianjurkan tidak
melakukan pemanenan pada saat tersebut (Tim Lentera 2004).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan September-November 2013. Perlakuan
aplikasi minyak atsiri jahe pada tikus dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB (PSB-LPPM IPB) (Cahyaji
2012), sedangkan pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Bagian Patologi,
Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, FKH IPB.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu enam buah organ sinus hidung dan paru-paru
tikus putih dewasa (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley, Buffer Neutral
Formalin (BNF) 10%, asam nitrat 5%, litium, alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%,
96%, alkohol absolut), xylol, paraffin, akuades, pewarna jaringan HematoksilinEosin, dan minyak atsiri jahe 1% (b/v) yang diperoleh dari PSB-LPPM IPB.
Alat yang digunakan yaitu seperangkat alat nekropsi, tissue cassette,
automatic tissue processor, tissue embedding console, mikrotom, kaca objek, kaca
penutup, mikroskop cahaya, dan Webcam digital eyepiece camera.

Metode Penelitian
Rancangan Percobaan (Cahyaji 2012)
Sebanyak enam ekor tikus dengan bobot badan rata-rata 200 g/ekor dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (K) dan kelompok perlakuan (P).
Kelompok perlakuan diberi inhalasi minyak atsiri jahe selama lima minggu
berturut-turut, sedangkan kelompok kontrol tidak diberi apa-apa. Sumber minyak
atsiri jahe diletakkan tepat di samping tempat minum, sehingga saat tikus minum
dipastikan juga menghirup minyak atsiri. Aktivitas tikus direkam menggunakan
video dan dicatat berapa kali dalam sehari tikus mendatangi tempat minum
(Cahyaji 2012). Setelah selesai perlakuan, tikus dieutanasia dan diambil organ
sinus hidung dan paru-parunya untuk dibuat sediaan histopatologi.

4
Dekalsifikasi Organ Sinus Hidung
Dekalsifikasi yaitu perendaman jaringan tulang dalam larutan dekalsifikasi
yang berfungsi untuk menghilangkan garam-garam kalsium sehingga tulang
menjadi lunak dan mudah dipotong (Muntiha 2001). Jaringan tulang hidung
direndam dalam larutan asam nitrat 5% selama 48 jam, kemudian dilanjutkan
perendaman dalam larutan litium selama 48 jam. Setelah jaringan tulang menjadi
lunak, siap dipotong untuk dibuat sediaan histopatologi.
Pembuatan Preparat Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru
Sinus hidung dan paru-paru tikus difiksasi dalam larutan BNF 10% selama
48 jam. Kemudian jaringan dipotong-potong, dimasukkan ke dalam tissue cassete,
selanjutnya didehidrasi dengan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%, alkohol
absolut), dijernihkan dengan xylol, dan diinfiltrasi parafin cair suhu 56 °C selama
30 menit. Selanjutnya yaitu embedding, penanaman jaringan ke dalam cetakan
yang berisi parafin cair. Setelah mengeras, parafin disimpan dalam refrigerator
suhu 4-6 °C beberapa saat, dipotong dengan mikrotom setebal 4-5 µm, kemudian
hasil potongan dimasukkan ke dalam air hangat suhu 45 °C untuk menghilangkan
lipatan-lipatan potongan. Selanjutnya sediaan diletakkan di atas kaca objek,
kemudian dikeringkan dalam inkubator suhu 60 °C dan siap diwarnai.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin
Sebelum diwarnai, sediaan dideparafinasi menggunakan xylol I dan II
masing-masing selama 2 menit, direhidrasi dengan alkohol absolut, 96%, dan
80% masing-masing selama 2 menit, dan dicuci dengan air mengalir. Kemudian
sediaan dimasukkan ke dalam larutan pewarna Mayer’s Hematoksilin selama 8
menit, dibilas dengan air mengalir, dimasukkan ke dalam larutan litium karbonat
selama 15-30 detik dan kembali dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya, sediaan
diwarnai dengan pewarna Eosin selama 2-3 menit, dibilas dengan air mengalir,
dicelupkan ke dalam larutan alkohol 90% sebanyak 10 kali, alkohol absolut I
sebanyak 10 kali, alkohol absolut II selama 2 menit, serta xylol I dan xylol II
masing-masing selama 1 menit. Terakhir, sediaan dikeringkan, diberi perekat
permount kemudian ditutup dengan kaca penutup dan siap diamati di bawah
mikroskop jika sudah mengering.
Evaluasi Histopatologi
Sediaan histopatologi diamati dengan perbesaran 10x, 20x dan 40x, dan
hasil pengamatan disajikan secara deskriptif. Evaluasi jaringan sinus
menggunakan kriteria yaitu jaringan normal (-), peradangan ringan (+): mukosa
normal, infiltrasi neutrofil sedikit, dan sedikit deskuamasi sel epitel; peradangan
sedang (++): mukosa mulai menebal, akumulasi neutrofil cukup banyak, dan
banyak ditemukan deskuamasi epitel; peradangan berat (+++): mukosa menebal
karena edema, akumulasi neutrofil sangat banyak hingga ke lumen, dan
deskuamasi epitel hebat. Evaluasi histopatologi jaringan paru-paru menggunakan
kriteria yaitu jaringan normal (-), peradangan ringan (+): penebalan dinding alveol
dan masih terlihat ruang alveol; peradangan sedang (++): penebalan dinding
alveol, kerusakan dinding bronkhiol, dan pembesaran BALT; peradangan berat
(+++): penebalan dinding alveol, tidak terlihat ruang alveol, banyak ditemukan
emfisema, ada eksudat di bronkhiol, dan pembesaran BALT.

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian Cahyaji (2012), tikus mendatangi sumber air
minum dan sengaja mendatangi sumber minyak atsiri sebanyak 36 kali dalam
waktu 4 jam pengamatan. Aroma minyak atsiri jahe menjadi sumber ketertarikan
tikus yang ditandai dengan mendekati dan mencium sumber minyak atsiri tersebut.
Hasil pengamatan histopatologi organ sinus dan paru-paru tikus ditemukan
kelainan berupa radang sinus akut (sinusitis suppuratif) dan radang paru-paru
kronis berupa bronkhopneumonia. Hasil evaluasi histologi organ sinus dan paruparu tikus penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Sinusitis suppuratif dan bronkhopneumonia pada tikus yang diberi
inhalasi minyak atsiri jahe selama lima minggu
Kelompok

Sinusitis akut

K1
++
K2
+++
K3
P1
P2
+++
P3
Keterangan: +: ringan; ++: sedang; +++: berat

Bronkhopneumonia
+++
++
+++
+++
++
+++

Sinus hidung tikus kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami
peradangan akut dengan tingkatan ringan hingga berat. Peradangan ringan
ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang neutrofil sedikit dan deskuamasi
epitel hingga peradangan berat yang ditandai dengan penebalan mukosa karena
edema, infiltrasi sel radang neutrofil yang sangat banyak pada mukosa hingga ke
lumen sinus, serta deskuamasi epitel hebat. Peradangan pada salah satu rongga
sinus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 2, 3, dan
4. Pada Gambar 3 tampak akumulasi neutrofil tidak hanya pada lamina propria
mukosa namun juga memenuhi lumen sinus. Selain banyaknya sel radang
neutrofil, ditemukan juga hiperemi dan penebalan mukosa akibat adanya edema.
Seperti diketahui neutrofil bersifat proteolitik (Eggers et al. 2004).
Banyaknya infiltrasi neutrofil pada jaringan menyebabkan jaringan tersebut rusak
sehingga neutrofil dapat keluar menuju lumen rongga sinus. Menurut Tate et al.
(2008), meskipun sel radang neutrofil dianggap sebagai sel efektor utama terhadap
infeksi bakteri, neutrofil juga merupakan komponen respon peradangan utama
yang disebabkan oleh infeksi virus.
Selain infiltrasi sel radang, sel epitel mukosa sinus juga mengalami
deskuamasi. Deskuamasi epitel mukosa sinus diawali dengan kerusakan silia
sehingga mempermudah antigen untuk menempel pada permukaan epitel. Epitel
penyusun rongga sinus memiliki fungsi penting dalam pertahanan saluran
pernafasan. Silia pada epitel juga berfungsi dalam membersihkan, melembabkan,
dan menghangatkan udara inspirasi. Keduanya dapat mempengaruhi kualitas
udara yang masuk ke dalam paru-paru. Menurut Liu dan Dasaraju (1996), sinusitis
merupakan suatu kondisi peradangan akut dari satu atau lebih sinus paranasal.

6
Sinusitis juga sering terjadi karena infeksi pada lokasi lain dari saluran pernafasan
karena sinus paranasal berdekatan dan berhubungan dengan saluran pernafasan
bagian atas.
Sinusitis terjadi apabila bakteri, virus, atau reaksi alergi berkembang di
dalam rongga sinus sehingga menyebabkan infeksi (Fried 2013). Menurut
Committee on Infectious Disease of Mice and Rats (1991), terdapat 14 agen
penyakit yang sering menginfeksi saluran pernafasan tikus, yaitu cilia associated
respiratory (CAR bacillus), Streptococcus pneumoniae, Corynebacterium
kutscheri, RAT coronavirus, sialodacryoadenitis virus (coronavirus), pneumonia
virus of mice, Klebsiella pneumonia, Mycoplasma collis, Pasteurella
pneumotropica, Bordetella bronchiseptica, adenovirus, dan diantaranya yang
terpenting adalah bakteri Mycoplasma pulmonis dan virus Sendai. Lingkungan
kandang yang kurang baik atau sanitasi buruk merupakan faktor utama yang
memudahkan hewan terinfeksi agen-agen penyakit tersebut. Kadar amoniak yang
tinggi dari litter dapat merusak silia saluran pernafasan atas. Rusaknya silia epitel
mukosa mengakibatkan agen penyakit mudah melekat, tumbuh dan berkembang
biak di saluan pernafasan atas. Menurut Fried (2013), sinusitis dibagi menjadi 3
klasifikasi, yaitu akut (berlangsung selama kurang dari 30 hari), sub akut
(berlangsung selama 30 sampai 90 hari), dan kronis (berlangsung selama lebih
dari 90 hari).
Hasil pengamatan histopatologi sinus hidung kelompok perlakuan yang
diberi aromaterapi minyak atsiri jahe selama lima minggu disajikan pada Tabel 1.
Pada mukosa dan lumen rongga sinus tikus P1 dan P3 tidak ditemukan tandatanda peradangan. Epitel silindris sebaris bersilia utuh dan tidak ditemukan
infiltrasi sel radang di lamina propria mukosa sinus maupun di rongga sinus.
Berbeda dengan tikus P2, secara histopatologis ditemukan sinusitis akut
suppuratif yang berat (Gambar 4). Ditemukan penebalan mukosa sinus yang
penuh dengan sel radang neutrofil, dan sel epitel mukosa mengalami deskuamasi
hebat. Sel radang neutrofil juga memenuhi rongga sinus yang bercampur dengan
eksudat. Menurut Mc Gavin dan Zachary (2007), pada kasus peradangan yang
berat, saluran pernafasan benar-benar dipenuhi oleh eksudat dan secara
mikroskopis neutrofil dapat ditemukan di permukaan mukosa dan submukosa.
Peradangan akut ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah sekitar sinus yang
disertai dengan peningkatan permeabilitas dinding endotel, sehingga
menyebabkan marginasi sel radang neutrofil dan akhirnya memenuhi mukosa
sinus. Banyaknya eksudat yang memenuhi rongga sinus menyebabkan
aromaterapi jahe tidak dapat terhirup sempurna sehingga tidak memperbaiki
kerusakan pada sinus tersebut.

7

Gambar 1 Rongga sinus paranasal kelompok kontrol (K). Silia dan epitel
mukosa utuh, lamina propria bersih, tidak diinfiltrasi sel radang.
Pewarnaan HE, bar: 50 µm

Gambar 2 Sinusitis suppuratif (++) pada rongga sinus paranasal tikus kontrol
(K). Mukosa dan rongga sinus dipenuhi sel radang neutrofil (panah).
Pewarnaan HE, bar: 50 µm

8

Gambar 3 Sinusitis suppuratif berat (+++) pada sinus paranasal tikus kontrol
(K). Mukosa edema, akumulasi neutrofil, deskuamasi epitel mukosa
(panah merah) dan akumulasi neutrofil di lumen sinus (panah hitam).
Pewarnaan HE, bar: 50 µm

Gambar 4 Sinusitis suppuratif berat (+++) pada sinus paranasal tikus kelompok
perlakuan (P). Mukosa edema, deskuamasi epitel mukosa (panah
merah) dan akumulasi neutrofil di lumen sinus (panah hitam).
Pewarnaan HE, bar: 50 µm

9
Paru-paru sebagai organ yang berhubungan dengan dunia luar sangat mudah
terpapar agen infeksius atau non-infeksius melalui rute aerogenous. Permukaan
respirasi paru-paru selalu berkontak terus-menerus dengan udara di sekitarnya
sehingga mudah terancam serangan mikroorganisme, debu, dan partikel-partikel
yang terhirup. Selain itu, paru-paru juga merupakan organ dengan pembuluh
darah kapiler terbanyak sehingga mudah terserang agen infeksius atau noninfeksius yang menyebar secara hematogenous (Aughey dan Frye 2001). Agen
infeksius atau non-infeksius yang telah sampai ke alveol tidak dapat disingkirkan
oleh pergerakan silia, namun sebagai gantinya disingkirkan oleh sel makrofag
alveolar, yang secara aktif memfagosit benda benda halus dan mikroorganisme
yang masuk dari rongga hidung maupun melalui jalur hematogen. Menurut
Geneser (1994), dinding alveoli terdiri atas selapis jaringan ikat yang pada kedua
sisinya menghadap ke ruang alveolus berisi udara dan dibatasi oleh epitel.
Jaringan ikat ini berisi fibroblas, makrofag, sel mast, limfosit, dan sel plasma.
Hasil pengamatan histopatologi organ paru-paru tikus kelompok kontrol dan
perlakuan semua mengalami pneumonia interstisialis. Pneumonia interstisialis
merupakan peradangan yang terjadi pada bagian interstisial alveol yang meliputi
jaringan interstisial dan parenkim alveolar. Penebalan jaringan interstisial paruparu tersebut terjadi karena proliferasi sel pneumosit tipe II, makrofag, dan
infiltrasi sel limfosit (Widodo et al. 2007). Infiltrasi sel radang limfosit pada
intertisial paru-paru disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya infeksi kronis
oleh agen infeksius, neoplasia, dan kondisi stress (Cheville 1999). Peradangan
paru-paru dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, fungi, benda asing, dan
bahan toksik. Virus penyebab pneumonia pada tikus diantaranya coronavirus dan
famili paramyxoviridae, termasuk parainfluenza 1 (Booth 2007). Transmisi virus
melalui aerosol dan kontak paparan pada saluran pernafasan. Infeksi intranasal
mengakibatkan rhinitis ringan dan pneumonia interstisialis (Baker 1998). Selain
penebalan interstisium, terdapat fokus-fokus limfosit dan eksudat di lumen
bronkhiolus (Gambar 5 dan Gambar 6). Hampir seluruh lumen alveoli paru-paru
tikus kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami penyempitan. Selain
penyempitan, ditemukan juga emfisema pada paru-paru tikus. Emfisema adalah
perluasan rongga udara yang disertai dengan kerusakan dinding alveolar (Mc
Gavin dan Zachary 2007). Pneumonia dapat memicu terjadinya emfisema dan
atelektasis (Lutfiyya et al. 2006).
Bronchus Assosiated Lymphoid Tissue (BALT) adalah jaringan limfoid
yang merupakan salah satu sistem pertahanan lokal organ respirasi yang terdapat
di bronkhus. Menurut Moreno et al. (2006), antigen yang masuk ke dalam paruparu akan berkontak dengan sel limfoid yang akan menginduksi dan mengaktivasi
BALT. Berdasarkan hasil pengamatan, BALT pada kelompok kontrol maupun
perlakuan sangat aktif, yang terlihat dari luasnya jaringan limfoid tersebut.
Aktifnya BALT tersebut kemungkinan disebabkan oleh stimuli antigen yang
menyebabkan peradangan kronis. BALT terdiri atas sel-sel limfoid yang
bertanggung jawab terhadap respon imun yang diperantarai sel (Mc Gavin dan
Zachary 2007). Apabila terjadi stimulasi yang bersifat kronis, maka jumlah sel
limfoid BALT akan meningkat. Meningkatnya kepadatan sel limfoid pada BALT
juga akan meningkatkan sistem pertahanan tubuh. Pada beberapa bronkhus
kelompok kontrol dan perlakuan selain ditemukan BALT yang sangat aktif,
ditemukan juga kerusakan pada epitelnya yang mengindikasikan terjadinya

10
bronkhitis. Deskuamasi epitel bronkhus ditemukan di dalam lumen yang
bercampur dengan eksudat dan sel radang limfosit. Pada kelompok kontrol
ditemukan perubahan histopatologi berupa hiperplasia epitel bronkhus yang
merupakan salah satu ciri respon peradangan (Gambar 7). Pada kelompok
perlakuan, ditemukan perubahan histopatologi berupa deskuamasi epitel bronkhus
dan akumulasi sel radang pada bagian lumennya (Gambar 8). Menurut Chauhan
(2002), bronkhitis ditandai dengan adanya eksudat disertai infiltrasi sel radang
dalam lumen bronkhus, hiperplasia dan/atau nekrosis epitel bronkhial, dan
akumulasi sel mononuklear pada mukosa bronkhial dan area peribronkhial.
Berdasarkan perubahan histopatologi dapat disebutkan bahwa paru-paru tikus
mengalami bronkhopneumonia. Menurut Chauhan (2002), bronkhopneumonia
adalah peradangan paru-paru yang melibatkan bronkhus atau bronkhiolus bersama
dengan alveol.

Gambar 5 Pneumonia interstisialis pada paru-paru kontrol (K). Dinding alveol
menebal, lumen alveol menyempit, dan ditemukan fokus-fokus yang
berisi sel-sel limfosit (panah). Pewarnaan HE, bar: 50 µm

11

Gambar 6 Pneumonia interstisialis pada paru-paru perlakuan (P). Dinding alveol
menebal (panah kuning), akumulasi eksudat di bronkhioulus (panah
hitam), dan emfisema (panah merah). Pewarnaan HE, bar: 50 µm

Gambar 7 Peningkatan jumlah folikel limfoid (BALT) paru-paru kelompok
kontrol (K) dan hiperplasi epitel bronkhus (panah). Pewarnaan HE,
bar: 50 µm

12

Gambar 8 Peningkatan jumlah folikel limfoid (BALT) paru-paru kelompok
perlakuan (P), deskuamasi epitel bronkhus yang bersatu dengan
eksudat dan sel radang limfosit di lumen (panah). Pewarnaan HE, bar:
50 µm

SIMPULAN
Simpulan
Sinus hidung tikus kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami
sinusitis suppuratif akut dan paru-paru tikus semua kelompok mengalami
bronkhopneumonia dengan BALT yang sangat aktif. Pemberian minyak atsiri jahe
tidak memperbaiki peradangan pada sinus hidung dan paru-paru, disebabkan sinus
hingga ke rongga hidung dipenuhi oleh eksudat sehingga menghambat inspirasi
minyak atsiri jahe. BALT yang sangat aktif mengindikasikan paru-paru
terstimulasi oleh suatu antigen/bahan toksik yang memicu peradangan kronis.

Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan hewan coba yang
benar-benar sehat sistem pernafasannya.
2. Perlu dilakukan percobaan dengan menggunakan minyak atsiri jahe dengan
konsentrasi yang lebih tinggi.
3. Perlu dilakukan percobaan menggunakan chamber yang tertutup sehingga tikus
dan aromaterapi benar-benar berkontak dengan satuan waktu tertentu.

13

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Persentase Penduduk yang Mempunyai
Keluhan Kesehatan dan Penggunaan Obat menurut Provinsi dan Jenis
Kelamin 2009-2013. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
[Committee on Infectious Disease of Mice and Rats]. 1991. Infectious Disease of
Mice and Rats. Washington DC (NY): National Academy Pr.
Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology: with Clinical
Correlates. London (GB): Manson Publishing. hlm 247.
Baker DG. 1998. Natural pathogens of laboratory mice, rats, and rabbits and their
effects on research. Clin Microbiol Rev. 11(2):231.
Booth CJ. 2007. Pneumonia [internet]. [diunduh 2014 Agustus 13]. Tersedia pada:
http://www.afrma.org/med_pneum.htm.
Cahyaji AA. 2012. Pengaruh aromaterapi minyak atsiri jahe terhadap kadar
trigliserida dan kolesterol darah tikus yang diberi pakan tinggi lemak
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Chauhan RS. 2002. Illustrated Veterinary Pathology (General & Systemic
Pathology). India (IN): International Book Distributing Company.
Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Iowa (US): Iowa State
University Pr. (2):101-154.
Eggers CT, Murray IA, Delmar VA, Day AG, Craik CS. 2004. The periplasmic
serine protease inhibitor ecotin protects bacteria against neutrophil elastase.
Biochem J. 379: 107-118.
Fried MP. 2013. Sinusitis: nose and paranasal disorders [internet]. [diunduh 2014
Mei 15]. Tersedia pada: http://www.merckmanuals.com/professional/
ear_nose_and_throat_disorders/nose_and_paranasal_sinus_disorders/sinusit
is.html.
Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi. Gunawijaya FA, penerjemah. Jakarta (ID):
Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Textbook of Histology.
Lobo V, Patil A, Phatak A, Chandra N. 2010. Free radicals, antioxidants and
functional foods: Impact on human health. Pharmacogn Rev. 4(8): 118-126.
Liu C, Dasaraju PV. 1996. Medical Microbiology. 4th Ed. Galveston (TX): The
University of Texas Medical Branch.
Lutfiyya MN, Henley E, Chang LF. 2006. Diagnosis and treatment of community
acquired pneumonia. Am Fam Physician. 73(3):442-450.
Ma’mun, Suhirman S. 2009. Karakteristik minyak atsiri potensial [internet].
[diunduh 2013 Okt 31]. Tersedia pada: http://www.litbang.deptan.go.id/
berita/one/776/.
Mc Gavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basic of Veterinary Disease.
Missouri (US): Mosby Elsevier.
Moreno JR, Hartson L, Navvaro C, Selman M, Troy DR. 2006. Inducible
bronchus associated lymphoid tissue in patients with pulmonary
complications of rheumatoid arthritis. J Clin Invest. 116:3183-3194.
Muntiha M. 2001. Teknik pembuatan preparat histopatologi dari jaringan hewan
dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (H&E). Temu Teknis Fungsional
Non Peneliti; 2001; Bogor, Indonesia.

14
Sampurno. 2011. Obat herbal dalam prespektif medik dan bisnis [internet].
[diunduh 2013 Okt 31]. Tersedia pada: http://mot.farmasi.ugm.ac.id/artikel53-obat-herbal---dalam-prespektif-medik-dan-bisnis.html.
Tate MD, Brooks AG, Reading PC. 2008. The role of neutrophils in the upper and
lower respiratory tract during influenza virus infection of mice. Respir Res.
9(1):57.
Widodo E et al. 2007. Effect of clove cigarette exposure on white rat : special
emphasis on the histopathology of respiratory tract. Med J Indones. 16(4):
212-218).
Witantri H, Suprijatna E, Sarengat W. 2013. Pengaruh penambahan tepung jahe
merah (Zingiber officinale var Rubrum) dalam ransum terhadap kualitas
telur ayam kampung periode layer. Animal Agriculture Journal. 2(1):377384.

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1991 di Makassar, sebagai anak
ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Sunaryo dan Ibu Rosnayati. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 3 Cibinong pada tahun 2003,
pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2006 di SMPN 1 Cibinong,
dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2009 di SMAN 1 Cirebon.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi (SNMPTN).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Anatomi
Veteriner I pada tahun ajaran 2011/2012 dan asisten praktikum Anatomi
Topografi pada tahun ajaran 2012/2013. Penulis pernah mengikuti lomba Program
Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian pada tahun ajaran 2011/2012 dan
2012/2013. Penulis juga aktif sebagai pengurus dan staf di berbagai organisasi,
seperti BEM TPB, Imakahi, dan Himpro HKSA.