Tingkat Kesukaan Dan Daya Terima Makanan Serta Hubungannya Dengan Kecukupan Energi Dan Zat Gizi Pada Santri Putri Mts Darul Muttaqien Bogor.
TINGKAT KESUKAAN DAN DAYA TERIMA MAKANAN SERTA
HUBUNGANNYA DENGAN KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI
PADA SANTRI PUTRI MTS DARUL MUTTAQIEN BOGOR
M. ZULFADLI LUBIS
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Kesukaan
dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan Kecukupan Energi dan Zat
Gizi pada Santri Putri Mts Darul Muttaqien Bogor adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
M. Zulfadli Lubis
NIM I14110075
ABSTRAK
M. ZULFADLI LUBIS. Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta
Hubungannya dengan Kecukupan Energi dan Zat Gizi pada Santri Putri Mts Darul
Muttaqien Bogor. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH
Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat kesukaan dan daya terima
makanan serta hubungannya dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada
santri putri MTs. Darul Muttaqien Bogor. Desain penelitian yang digunakan
adalah Cross sectional study dengan Purposive sampling dan melibatkan subjek
sebanyak 73 santri putri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum
subjek menyukai menu makanan yang disediakan pondok. Rata-rata daya terima
makanan subjek adalah sebesar 85%. Sebagian besar subjek memiliki kecukupan
energi dan zat gizi defisit berat kecuali Vitamin A .Uji korelasi Spearman
menunjukkan tidak ada hubungan signifikan (p>0.05) antara uang saku dengan
tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Tingkat kesukaan makanan berhubungan
positif dengan daya terima makanan (p=0.000). Daya terima makanan
berhubungan positif dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (p=0.000).
Asupan energi dan zat gizi dari dalam pondok berhubungan negatif dengan asupan
luar pondok (p=0.000).
Kata kunci: asupan energi dan zat gizi, daya terima, tingkat kesukaan, tingkat
kecukupan.
ABSTRACT
M. ZULFADLI LUBIS. Preference and Acceptance of Food and its Correlation
to the Adequacy of Energy and Nutrients on Female Students of Junior High
School Darul Muttaqien Bogor. Supervised by SITI MADANIJAH
This study aimed to analyze preference and acceptance of food and its
correlation to the adequacy of energy and nutrients on female students of Junior
High School Darul Muttaqien Bogor. The design of study was cross-sectional by
using purposive sampling and involved 73 subjects. The results showed that
majority of subjects like the food menu that provided by dorms but the acceptance
was 85%. Majority of the subjects had a sufficiency level of Vitamin A normal but
the sufficiency level of energy and nutrients severe deficit. The result of Spearman
test showed that there was no correlation between pocket money and adequacy
level of energy and nutrients (p>0.05). There was a positive correlation between
food preference and acceptance of food (p=0.000). There was positive correlation
between acceptance of food and the adequacy of energy and nutrients (p = 0.000).
The intake of energy and nutrients from the dorms was negatively correlation with
intake of outside pondok (p=0.000).
Keywords: acceptance, adequacy level, energy and nutrients intake, preference
level
TINGKAT KESUKAAN DAN DAYA TERIMA MAKANAN SERTA
HUBUNGANNYA DENGAN KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI
PADA SANTRI PUTRI MTS DARUL MUTTAQIEN BOGOR
M. ZULFADLI LUBIS
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
Dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian ini adalah Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta
Hubungannya dengan Kecukupan Zat Gizi pada Santri Putri MTs Darul
Muttaqien Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang
membantu selama proses pembuatan skripsi.
1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku pembimbing akademik dan pembimbing
skirpsi atas ilmu dan bimbingannya yang telah diberikan.
2. Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku pemandu seminar dan penguji yang telah
banyak membantu dan memberikan masukan untuk skripsi ini.
3. Bapak Sayaman Lubis dan Ibu Kholidah selaku orang tua penulis serta
Irsaluddin Lubis, S.TP, Siti Fatimah, S.PdI, dan Suhendar, ST selaku saudara
penulis yang telah memberikan semangat, motivasi, dukungan, dan dorongan
baik moril maupun materil kepada penulis selama penyusunan skripsi
4. Pimpinan Pondok Pesantren Darul Muttaqien yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di tempat tersebut.
5. Teman-teman terdekat (Al Mukhlas Fikri, S.Gz; Ahsan S; Fitriyah NM, S.Gz;
Ajeng AP; Dora A, S.Gz; Ahmad Sahl S; Panji S; Gagah RM, S.Gz; M Iqbal;
Wahyu Siti R, S.Gz; Vieta A, S.Gz; dan Nisya DP) atas nasihat dan dukungan.
6. Teman-teman Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi masyarakat angkatan 48
yang telah memberikan motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi.
7. Seluruh pihak yang terkait yang belum disebutkan namanya yang telah
memberikan kontribusinya dalam penulisan tugas akhir ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Semoga skripsi ini dapat
memberikan banyak manfaat.
Bogor, Agustus 2015
M. Zulfadli Lubis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Hipotesis
Manfaat
KERANGKA PEMIKIRAN
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Pondok Pesantren Darul Muttaqien
Karakteristik Subjek
Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor
Tingkat Kesukaan Makanan
Daya Terima Makanan
Asupan Energi dan Zat Gizi
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi
Hubungan antar Variabel
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
viii
viii
viii
1
1
2
2
3
3
3
5
5
5
5
7
8
9
9
10
11
17
18
20
22
25
26
26
26
27
30
36
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan cara pengumpulan data
2 Pengkategorian data
3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu
4 Waktu, tempat pembelian, dan tempat penyimpanan bahan makanan
5 Ketersediaan energi dan zat gizi dalam satu siklus menu
6 Tingkat ketersediaan terhadap kecukupan subjek
7 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kesukaan makanan pondok (%)
8 Sebaran subjek berdasarkan daya terima makanan pondok
9 Rata-rata daya terima makanan pondok (%)
10 Rata-rata asupan energi dan zat gizi subjek
11 Rata-rata asupan energi dan zat gizi dari dalam dan luar pondok
12 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi (%)
13 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein
14 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan mineral dan vitamin
15 Rata-rata kontribusi tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan
asal makanan (%)
6
8
10
13
15
16
17
19
19
20
21
22
23
23
24
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran tingkat kesukaan dan daya terima makanan serta
hubungannya dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi
4
DAFTAR LAMPIRAN
1 Uji hubungan antar variabel
2 Siklus menu Pondok Pesantren Darul Muttaqien
31
32
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan kata kunci pembangunan bangsa-bangsa
di dunia termasuk di Indonesia. Upaya-upaya yang saling berkesinambungan
perlu dilakukan untuk mencapai dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Diantara faktor-faktor yang memegang peran penting dan memengaruhi kualitas
sumber daya manusia yaitu kesehatan dan status gizi (Depkes 2001). Menurut
Soekirman (2000), kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan individu perlu
dilakukan untuk berinvestasi dibidang kesehatan dan gizi. Upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sedini mungkin dan berkelanjutan.
Remaja merupakan generasi penerus bangsa dan merupakan sumberdaya
manusia yang harus diperhatikan (Sediaoetama 2000). Menurut Monk (2009)
masa remaja adalah masa kehidupan yang berlangsung antara umur 12-21 tahun,
dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah
masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Kualitas
manusia dimasa mendatang memiliki hubungan erat dengan kualitas remaja masa
kini. Masa remaja juga merupakan masa pertumbuhan yang sangat cepat dan aktif
yang disebut dengan adolescence growth spurt (Almatsier 2002).
Remaja merupakan kelompok usia yang berada di masa transisi antara
masa kanak-kanak dan dewasa. Periode ini juga merupakan periode menuju
kematangan fisik dan psikologi serta pencarian identitas. Remaja putri merupakan
kelompok yang lebih rentan terkena risiko morbiditas dan mortalitas reproduksi
terutama di negara-negara berkembang karena secara tradisional remaja-remaja
putri di negara berkembang menikah pada usia dini (Singh et al. 2012).
Riskesdas (2010) menyatakan bahwa prevalensi anemia pada remaja
sebesar 25.5% dan prevalensi gizi kurang sebesar 17.4%. Status gizi remaja kurus
sebesar 8%, walaupun menurun menjadi 6.4% menurut Riskesdas (2013) akan
tetapi persentase asupan energi pada remaja di Indonesia sebesar 54.4% memiliki
Tingkat Konsumsi Energi hanya mencapai 70%. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa rata-rata tingkat konsumsi energi pada usia remaja masih
dibawah anjuran AKG.
Asupan zat gizi yang kurang menyebabkan status gizi buruk dan dapat
menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja. Dampak yang dapat timbul
diantaranya adalah pertumbuhan terhambat mudah sakit, aktivitas dan prestasi
belajar menurun. Selain itu juga remaja yang status gizi nya buruk dapat
menurunkan kebugaran dan menghambat prestasi olahraga dan produktivitasnya
(Darmiati 2008).
Pondok pesantren merupakan institusi yang harus diperhatikan karena
didalamnya terdapat para santri yang sedang dalam proses pembelajaran dan
merupakan generasi penerus bangsa yang harus terpenuhi kebutuhan gizinya. Para
santri yang sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan harus tercukupi
asupan zat gizi yang seimbang dari makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Para
santri yang termasuk usia remaja merupakan sasaran strategis dalam upaya
perbaikan gizi masyarakat (Sutardji 2007).
2
Santriwati atau biasa disebut dengan santri putri merupakan kelompok usia
remaja yang menimba ilmu, bersosialisasi, dan diharuskan tinggal di Pondok
Pesantren. Menurut Arisman (2004), remaja putri mengalami pertumbuhan lebih
dahulu daripada laki-laki. Remaja putri membutuhkan zat gizi yang cukup untuk
tumbuh optimal dan persiapan menjelang usia reproduksi. Menurut AKG (2013),
angka kecukupan energi untuk kelompok remaja perempuan usia 10-12 tahun
adalah 2000 kkal, kelompok usia 13-15 tahun adalah sebesar 2125 kkal,
sedangkan kelompok usia remaja ahir (19 tahun) adalah sebesar 2250 kkal.
Intiful et al. (2013) menyatakan bahwa siswa yang tinggal di asrama lebih
berisiko kekurangan gizi dibandingkan dengan siswa yang tidak diasrama. Hal ini
terkait dengan kondisi fasilitas asrama. Santri putri yang diharuskan untuk tinggal
di pondok pesantren membuat mereka belum bisa memenuhi kebutuhan
pangannya sendiri. Kondisi ini membuat pondok pesantren harus menyediakan
pelayanan makan sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan zat gizi para santri
putri agar mencapai dan mempertahankan status gizi yang ideal.
Pondok Pesantren Darul Muttaqien merupakan salah satu pondok yang
menyelenggarakan makanan untuk para santri yang menetap di asrama. Menurut
Kepala Madrasah Tsanawiyah Darul Muttaqien belum ada penelitian serupa.
Berdasarkan latar belakang tersebut penting dilakukan pengkajian tentang
“Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan
Kecukupan Energi dan Zat Gizi pada Santri Putri MTs Darul Muttaqien Bogor”.
Rumusan masalah
1. Bagaimana kualitas penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul
Muttaqien Bogor?
2. Bagaimana tingkat kesukaan dan daya terima serta hubungannya dengan
kecukupan zat gizi pada santri putri MTs Darul Muttaqien Bogor?
Tujuan
Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan dan daya
terima serta hubungannya dengan kecukupan zat gizi pada santri putri MTs Darul
Muttaqien Bogor.
Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik subjek.
2. Mendeskripsikan input, proses, dan output dari penyelenggaraan makanan.
3. Menganalisis tingkat kesukaan makanan.
4. Menganalisis daya terima makanan.
5. Menganalisis kecukupan energi dan zat gizi.
6. Menganalisis hubungan tingkat kesukaan dengan daya terima makanan.
7. Menganalisis hubungan daya terima makanan dengan tingkat kecukupan energi
dan zat gizi.
3
Hipotesis
Tingkat kesukaan dan daya terima berhubungan dengan kecukupan zat gizi
santri putri MTs Darul Muttaqien Bogor.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan makanan dan
pelayanannya di Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Diharapkan penelitian ini
dapat memberikan informasi mengenai tingkat kesukaan, daya terima serta
hubungannya dengan kecukupan zat gizi pada santri putri MTs. Darul Muttaqien
Bogor.
KERANGKA PEMIKIRAN
Perhatian terhadap penyediaan makanan bagi santri putri di pondok
pesantren dewasa ini menjadi sangat penting. Santri putri merupakan remaja yang
perlu perhatian dalam pemilihan makanan dan belum bisa menyediakan
makanannya sendiri. Penyelenggaraan makanan di pondok pesantren bertujuan
untuk menyediakan makanan yang beragam, berimbang dan bergizi, aman
dikonsumsi, memenuhi kebutuhan gizi para santri, dihidangkan dengan menarik,
pelayanan yang tepat waktu, ramah, serta fasilitas yang cukup dan nyaman.
Penyelenggaraan makanan di suatu instansi terdiri dari input, proses, dan
output. Input dari penyelenggaraan makanan meliputi penjamah makanan, sarana
fisik dan peralatan, serta dana. Proses dalam penyelenggaraan makanan meliputi
perencanaan menu, produksi, penerimaan, penyimpanan bahan makanan,
pengolahan, distribusi, dan pengawasan sanitasi, higiene makanan. Sedangkan
output penyelenggaraan makanan meliputi konsumsi dan tingkat konsumsi santri,
daya terima, jumlah dan mutu makanan (kandungan energi dan zat gizi) yang
selanjutnya akan menghasilkan asupan energi dan zat gizi dari pangan yang tepat.
Tingkat kesukaan santri putri terhadap makanan akan memengaruhi daya
terima makanan pada santri putri. Cita rasa makanan mencakup dua aspek utama,
yaitu penampilan dan rasa makanan. Kedua aspek ini sama pentingnya untuk
diperhatikan agar betul-betul dapat menghasilkan makanan yang memuaskan
(Moehyi 1992). Selain itu juga menurut Yamsehu (2008) daya terima konsumen
terhadap makanan dipengaruhi oleh umur, sosial dan budaya keluarga.
Daya terima makanan berhubungan langsung dengan konsumsi pangan
santri putri. Konsumsi pangan santri putri berasal dari penyelenggaraan makanan
pondok pesantren dan dari luar pondok pesantren. Konsumsi pangan berhubungan
dengan tingkat kecukupan gizi santri putri. Pada penelitian ini status gizi tidak
dianalisis. Gambar 1 memperlihatkan kerangka pemikiran tingkat kesukaan dan
daya terima makanan serta hubungannya dengan kecukupan zat gizi.
4
Sistem penyelenggaraan makanan
(input, proses, output)
Ketersediaan makanan
dari luar pondok
Ketersediaan makanan
dalam pondok
Karakteristik
Santri putri
- Umur
- Uang saku
- Kelas
Tingkat
kesukaan
Makanan dalam
pondok
Daya terima
makanan
Makanan luar
pondok
Konsumsi pangan
Kecukupan tingkat
energi dan zat gizi
Status gizi
Keterangan :
: variabel yang diteliti
: hubungan yang dianalisis
: variabel yang tidak diteliti
: hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran tingkat kesukaan dan daya terima makanan serta
hubungannya dengan kecukupan zat gizi
5
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan menggunakan desain Cross sectional study yang
bertempat di Pondok Pesantren Darul Muttaqien, Parung, Kabupaten Bogor pada
bulan Maret-April 2015. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara purposif
dengan mempertimbangkan pondok ini mengadakan penyelenggaraan makanan
bagi para santrinya dan juga karena kemudahan akses.
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek
Subjek penelitian adalah santri putri MTs. Darul Muttaqien. Teknik
pengambilan subjek yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu
pengambilan subjek yang dilakukan secara sengaja dengan memenuhi kriteria
inklusi sebagai berikut: (1) subjek adalah santri putri MTs. Darul Muttaqien kelas
VII dan VIII yang tinggal di asrama, (2) bersedia mengikuti penelitian dari awal
hingga akhir pengambilan data.
Populasi dalam penelitian berjumlah 283 santri putri yang terdiri dari kelas
VII dan VIII. Pemilihan kelas dilakukan secara purposive sampling dengan
mengambil masing-masing 2 kelas dari kelas VII dan VIII. Pengambilan subjek
berdasarkan sampel minimum penelitian sebanyak 30 subjek. Subjek yang dipilih
berjumlah 98 santri putri dan yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 73 santri
putri yang terdiri dari 32 santri kelas VII dan 41 kelas VIII.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data penelitian
dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Data primer yang dikumpulkan
meliputi karakteristik subjek (uang saku, usia, kelas), konsumsi pangan, kesukaan
dan daya terima terhadap menu makanan yang disediakan pondok. Data konsumsi
pangan dikumpulkan dengan cara food record selama empat hari (tiga hari
sekolah dan satu hari libur) dan dilakukan pengecekan ulang serta survei pasar
untuk makanan dari luar pondok. Data kesukaan terhadap menu makanan pondok
diperoleh menggunakan kuesioner uji hedonik dengan lima skala, yaitu sangat
tidak suka, tidak suka, biasa, suka, dan sangat suka (Gregoire dan Spears 2007).
Data daya terima makanan terhadap menu makanan pondok diperoleh
menggunakan kuesioner sisa makanan dari menu yang disediakan (100%, 95%,
75%, 50%, 25%, dan 0%) atau disebut dengan metode Comstock. Data tingkat
kesukaan dan daya terima diperoleh selama satu siklus menu (10 hari). Data
sekunder yang dikumpulkan meliputi populasi santri putri, absensi kelas VII dan
VIII, dan gambaran umum Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Jenis dan cara
pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Jenis Data
Variabel
Cara pengumpulan
Primer
Karakteristik contoh
Umur, uang saku, dan kelas
Wawancara menggunakan
kuesioner
Input penyelenggaraan
makanan
-
Wawancara dan
pengamatan langsung
Proses penyelenggaraan
makanan
Sumber daya manusia
Bahan
Sarana fisik dan peralatan
Anggaran belanja
-
Perencanaan menu
Siklus menu
Frekuensi belanja bahan
Pengolahan bahan
Waktu pengolahan, distribusi,
dan waktu makan
- Unit produksi
Wawancara dan
pengamatan langsung
Output penyelenggaraan
makanan
- Distribusi
- Ketersediaan energi dan zat
gizi
- Konsumsi
- Tingkat kesukaan
- Daya terima
Menimbang menu makan,
kuesioner Comstock dan
tingkat kesukaan
Tingkat kesukaan
Pengukuran kesukaan contoh
Wawancara menggunakan
kuesioner
Daya terima
Makanan yang dihabiskan
Metode Comstock
menggunakan kuesioner
sisa makanan dari menu
yang disediakan (100%,
95%, 75%, 50%, 25%,
dan 0%)
jumlah pangan yang
dikonsumsi
Food record selama 4 hari
Gambaran umum Pondok
pesantren, penyelenggaraan
makanan, dan absensi santri
putri
Data terkait dan wawancara
kepada pengurus Pondok
pesantren
Konsumsi pangan
Sekunder
Kondisi umum
7
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan diolah secara deskriptif dan inferensia.
Pengolahan data dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan dianalisis
menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) version 16.0 for
windows. Pengolahan data dimulai dengan coding, entry, cleaning, dan analisis.
Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data karakteristik subjek,
tingkat kesukaan, daya terima makanan yang disediakan pondok, dan tingkat
kecukupan energi dan zat gizi. Karakteristik subjek meliputi usia dan uang saku.
Usia dikelompokkan menjadi 10-12 tahun dan 13-15 tahun. Uang saku subjek
dikelompokkan menjadi Rp 300 000 per bulan.
Tingkat ketersediaan makanan yang disediakan pondok dihitung dengan cara
menimbang makanan pada saat penelitian berlangsung selama satu siklus menu
(10 hari), setelah itu dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan subjek
menggunakan AKG 2013 yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat. Data
tingkat kesukaan terhadap menu makanan pondok diberi kode 1 (sangat tidak
suka), 2 (tidak suka), 3 (biasa), 4 (suka), dan 5 (sangat suka). Data daya terima
menu makan pondok diolah dengan memberikan kode 1 (sisa 100%), 2 (sisa
95%), 3 (sisa 75%), 4 (sisa 50%), 5 (sisa 25%), dan 6 (sisa 0%). Daya terima
makanan dikelompokkan menjadi kurang (0.05).
Berikut disajikan tabel sebaran subjek berdasarkan usia dan uang saku.
Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu
Karakteristik subjek
Usia
(tahun)
10-12
13-15
Total
Rata-rata ± SD
Kelas VII
N
%
22
69
10
31
32
100
12.38 ± 0.61
Kelas VIII
n
%
0
0
41
100
41
100
13.56 ± 0.55
Uji beda
P= 0.388
Uang
saku
< 300 000
> 300 000
Total
Rata-rata ± SD
5
16
27
84
32
100
349375±134330.8
9
22
32
78
41
100
431463.4±280664.9
11
Kebutuhan zat gizi pada masa anak-anak belum dibedakan antara laki-laki
dan perempuan (IDAI 2013). Usia subjek berkisar 12-15 tahun dan merupakan
masa remaja awal yang memerlukan perhatian lebih terhadap asupan energi dan
zat gizi. Menurut IDAI (2013) pada masa remaja awal terjadi perubahan biologik
dan fisiologik tubuh yang spesifik sesuai gender sehingga kebutuhan pun menjadi
berbeda. Remaja perempuan lebih banyak membutuhkan asupan zat besi karena
mengalami siklus menstruasi.
Grammatikapoulu (2008) menyatakan bahwa uang saku memiliki
hubungan signifikan dengan asupan energi dan zat gizi. Semakin banyak uang
saku siswa maka kemampuan untuk memperoleh makanan semakin tinggi,
sedangkan menurut Mardayanti uang saku tidak selalu dibelikan untuk makanan
sehingga tidak terdapat hubungan signifikan antara uang saku dengan asupan
energi dan zat gizi.
Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor
Usaha jasa boga di Indonesia secara keseluruhan diatur dan diawasi oleh
Pemerintah
Indonesia
dengan
dikeluarkannya
Permenkes
Nomor:
1096/MENKES/PER/VI/2011. Berdasarkan luas jangkauan yang dilayani dan
kemungkinan besarnya risiko yang dilayani, penyelenggaraan makanan di Pondok
Pesantren Darul Muttaqien dikelompokkan sebagai usaha jasaboga golongan B
yaitu jasaboga yang melayani kebutuhan khusus asrama (anak sekolah).
Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien meliputi input,
proses, dan output.
Input
Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien (Ponpes
DM) berada dibawah naungan yayasan yang dipimpin langsung oleh istri dari
pimpinan Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Dalam penyelenggaraan makanan
ini belum ada ahli gizi. Jumlah pegawai dapur yaitu dua orang karyawan sebagai
juru masak yang dibantu oleh seorang santri putra dan lima santri putri yang
sedang mengabdi. Sedangkan pegawai bagian menanak nasi berjumlah lima orang
sehingga total pegawai dibagian dapur berjumlah 13 orang. Berdasarkan metode
ISN (Indicator Staffing Need) jumlah pegawai di bagian dapur masih kekurangan
sebanyak dua orang. Berikut rumus perhitungan jumlah tenaga kerja berdasarkan
metode ISN:
Waktu kerja tersedia = 365– 56 (libur Ramadhan dan Idul Fitri, liburan sekolah)
X jam kerja efektif
= 309 hari x 8 jam kerja efektif
= 2472 jam
Jumlah tenaga kerja
= Jumlah tenaga kerja saat ini x Jam kerja per hari x 365
2472 jam
= 13 orang x 8 jam x 365
2472 jam
= 15 orang
12
Peralatan dalam penyelenggaraan makanan merupakan bagian yang sangat
penting mulai dari penerimaan bahan makanan sampai tahap pendistribusian.
Peralatan yang tersedia harus diperhatikan dari segi kuantitas dan kualitas. Jumlah
yang tersedia harus memadai dan kebersihannya juga harus terjaga (Palacio dan
Theis 2009). Peralatan penyelenggaraan makanan umumnya dikelompokkan
menjadi alat-alat penyimpanan, alat-alat pengolahan, dan alat-alat penyajian
(Nurdiani 2011).
Fasilitas peralatan yang dimiliki dapur sudah cukup memadai dari segi
kualitas dan kuantitas, akan tetapi belum ada dokumentasi mengenai kelengkapan
alat. Peralatan belum tersusun rapi antara peralatan yang kotor dan bersih
sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi silang. Peralatan yang belum
memenuhi standar adalah talenan yang terbuat dari kayu karena memungkinkan
terjadinya cemaran dari bahan kayu.
Dapur tempat pengolahan bahan makanan terletak di depan kediaman
pimpinan Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Ruang produksi terpisah dengan
ruang penyimpanan peralatan serta pencucian bahan makanan dan peralatan.
Bagian ruang produksi belum ada pemisahan antara penerimaan bahan makanan,
ruang persiapan, ruang pengolahan, dan ruang pemorsian. Penerimaan bahan
makanan dilakukan di bagian teras dapur, ruang persiapan dilakukan di bagian
teras dan menyatu dengan ruang pengolahan. Pemorsian makanan dilakukan di
ruangan pengolahan dan di bagian teras. Sedangkan bagian pencucian peralatan
dilakukan di samping ruang pengolahan dengan dibatasi tembok. Ruang
pengolahan memiliki luas sekitar 7 x 5 m2, jumlah karyawan yang bekerja di
dapur berjumlah 8 orang, maka setiap pekerja mendapat luas ruangan 35/8 = 4.4
m2. Dengan demikian dapur penyelenggaraan makanan Pondok Pesantren Darul
Muttaqien sudah memenuhi persyaratan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 yang menyatakan bahwa luas
area pengolahan yang bebas dari peralatan untuk setiap orang bekerja yaitu
minimal 2 m2.
Kemenkes (2011) menyatakan bahwa ventilasi atau penghawaan di ruang
pengolahan bahan makanan harus dilengkapi cerobong asap. Lantai dan dinding
tidak terdapat sudut mati dan harus memiliki lengkungan agar mudah dibersihkan.
Ruang pengolahan Ponpes DM belum memiliki ventilasi yang cukup dan
pencahayaan masih kurang. Lantai ruang pengolahan terbuat dari semen,
terkadang lantai licin jika basah. Sumber air bersih berasal dari sumur yang
didapat dari mesin pompa. Pencucian peralatan dilakukan tidak menggunakan
wastafel akan tetapi di lantai dan proses pencucian menggunakan tangan dan
sabun colek.
Bahan makanan yang digunakan oleh dapur pondok berasal dari Pasar
Parung. Untuk mendapatkan bahan makanan yang bagus perlu dilakukan
pemilihan bahan makanan pada saat membeli di pasar karena bahan makanan
yang bagus akan menentukan kualitas masakan. Pada saat belanja bahan makanan
di Pasar Parung pimpinan dapur mengutus dua pegawai yang sudah
berpengalaman. Semua bahan makanan diperoleh dari Pasar Parung dan sudah
mempunyai langganan tempat pembelian untuk setiap bahan makanan. Upaya
untuk mengefisienkan waktu pada saat belanja bahan maka pegawai yang
bertugas untuk berbelanja hanya menyerahkan kertas catatan belanjaan. Cara
seperti ini memiliki kekurangan karena bahan makanan yang diberikan penjual
13
tidak terpantau kualitasnya karena belum ada spesifikasi bahan makanan. Waktu
pembelian bahan makanan bervariasi yaitu harian, 2-3 hari, dan bulanan (Tabel 4).
Tabel 4 Waktu, tempat pembelian, dan tempat penyimpanan bahan makanan
Waktu
Tempat Pembelian
Tempat
Penyimpanan
Pasar tradisional
Pemesanan
Harian
Sayur, tahu/tempe,
Ruang
minyak kelapa sawit,
pengolahan
bumbu,
2-3 hari
Telur, ikan, nugget, ayam,
Lemari
daging sapi, mie, bihun
pendingin
Peti kayu
Bulanan
Beras
Gudang
Waktu pembelian bahan makanan dilakukan hampir setiap hari kecuali
beras. Semua bahan makanan dibeli di Pasar Parung. pembelian beras dilakukan
di toko yang berada di Pasar Parung dan dilakukan dengan cara pemesanan.
Belanja bahan makanan setiap hari dimulai sejak pukul 02.00 sampai pukul 03.30
dini hari. Penyelenggaraan makanan yang dilakukan dapur Pondok Pesantren
Darul Muttaqien ditujukan untuk santri yang tinggal di asrama, para guru, dan
karyawan. Santri yang tinggal di asrama disediakan makanan lengkap 3 kali
dalam sehari sedangkan para guru dan karyawan hanya makan siang. Setiap
harinya dapur menyediakan makanan mencapai ± 1000 porsi untuk 3 kali makan.
Biaya produksi makanan setiap hari mencapai Rp 7 000 000 untuk lauk pauk dan
Rp 2 700 000 untuk beras, sehingga total anggaran sehari adalah Rp 9 700 000.
Anggaran makan santri untuk tiga kali makan adalah Rp 10 500.
Proses
Perencanaan menu dilakukan oleh pimpinan dapur dibantu oleh seorang
pegawai senior dapur. Perencanaan menu belum menghitung kebutuhan zat gizi
berdasarkan angka kecukupan gizi karena menu yang disediakan berlaku untuk
semua santri yang tinggal di asrama (santri MTs dan MA) para ustadz dan
karyawan. Dalam perencanaan menu tidak ada tema tertentu seperti yang
dilakukan oleh katering Pawon Endah yang selalu memiliki tema pembelajaran
yang berbeda setiap bulannya (Nurdiani 2011).
Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien
menggunakan siklus menu 10 hari. Komposisi menu yang disediakan oleh dapur
Pondok Pesantren Darul Muttaqien secara umum terdiri dari nasi, mie, bihun, lauk
(daging sapi atau hati sapi, ayam, ikan, telur), sayuran, dan kerupuk. Menu yang
disediakan mengacu pada ketersediaan bahan makanan di Pasar Parung, jadi
sewaktu-waktu menu yang disediakan dapat ditukar antara hari satu dengan hari
yang lainnya. Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh Berkah Katering dalam
penelitian Nurdiani (2011).
Proses pengolahan merupakan tahap yang rentan mengalami kehilangan
zat gizi (Hardinsyah dan Briawan 1994). Gao et al. (2009) menyebutkan bahwa
dalam metode memasak (merebus, mengukus, menggoreng, menggunakan
microwave ataupun menggunakan pressure cooking) akan mengurangi kandungan
gizi dalam bahan makanan. Proses pengolahan terdiri atas persiapan dan
pemasakan bahan makanan. Upaya meminimalisasi kehilangan zat gizi pada
14
proses pengolahan harus diperhatikan dengan benar. Persiapan bahan makanan
yang dilakukan meliputi: pembersihan, pengupasan, penyiangan, pemotongan,
pencucian, pengirisan, penumbukan, dan pemblenderan bumbu. Dalam praktiknya
di dapur, saat persiapan bahan makanan masih belum sesuai karena bahan
makanan seperti sayur di potong terlebih dahulu lalu di cuci. Selain itu, pencucian
sayur tidak dilakukan menggunakan air bersih yang mengalir akan tetapi hanya
direndam dengan air bersih.
Pengolahan bahan makanan yang sering dilakukan di dapur Pondok
Pesantren Darul Muttaqien adalah menggoreng, menumis, merebus, dan
mengukus. Membakar dan memanggang tidak dilakukan dengan alasan waktu dan
ketersediaan alat. Pengolahan nasi dan lauk dilakukan di tempat terpisah. Hal ini
dilakukan untuk mengefisiensikan waktu dan alasan keterbatasan alat. Pengolahan
lauk dilakukan menggunakan bahan bakar gas, sedangkan penanakan nasi
dilakukan menggunakan bahan bakar kayu bakar. Dalam pengolahan bahan
makanan perlu adanya standar resep untuk menjaga kekonsistenan citarasa dan
mempermudah proses pengolahan. Upaya untuk menjaga kekonsistenan citarasa
hal yang harus diperhatikan selain standar resep yaitu pengawasan suhu (besar
kecilnya api), pengawasan rasa (penambahan bumbu dan garam), dan waktu
pemasakan. Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien
belum terdapat standar resep sehingga proses pengolahan dilakukan berdasarkan
pengalaman juru masak. Pengawasan mengenai pengaturan besar kecil api, waktu
pemasakan, pemberian garam juga belum dilakukan sehingga terkadang menu
yang dihasilkan terlalu asin atau hambar, dan makanan tidak matang secara
merata. Hal ini membuat nafsu makan para santri menurun.
Sanitasi dan Higiene. Sanitasi dan higiene merupakan aspek penting dalam
penyelenggaraan makanan. Berdasarkan Permenkes (2011), sanitasi dan higiene
merupakan upaya untuk mengendalikan faktor-faktor makanan, orang,
perlengkapan, dan tempat yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Oleh
sebab itu sanitasi dan higiene merupakan aspek yang harus diperhatikan. Upaya
sanitasi dan higiene yang dilakukan dalam penyelenggaraan makanan di Pondok
Pesantren Darul Muttaqien masih banyak yang tidak sesuai. Beberapa hal yang
menunjukkan masih kurangnya upaya sanitasi dan higiene adalah:
1. Pengolahan bahana makanan dilakukan dekat dengan pembuangan air.
2. Belum adanya pemisahan antara ruang persiapan, pengolahan, dan
penyajian. Proses persiapan, pengolahan, dan penyajian dilakukan dalam
ruangan yang sama sehingga meningkatkan peluang terjadinya
kontaminasi silang.
3. Lantai dapur terkadang licin jika terkena air. Dinding dan langit-langit
terlihat kurang bersih dan tidak mudah dibersihkan.
4. Pencucian alat dan bahan makanan masih disatukan. Tempat pencucian
dilakukan di lantai atau tidak menggunakan wastafel.
5. Penerangan dan ventilasi di ruangan pengolahan kurang memadai.
6. Tempat sampah belum menggunakan tempet sampah yang dilengkapi
injakan akantetapi hanya menggunakan plastic trashbag.
7. Pegawai dapur belum menggunakan alas kaki khusus, apron, dan
terkadang masih menggunakan perhiasan
Penjamah makanan belum pernah mengikuti pelatihan dan penyuluhan
sanitasi dan higiene. Hasil penelitian Totelesi (2011) menyatakan bahwa
15
pengetahuan dan sikap keamanan pangan berhubungan positif. Semakin tinggi
pengetahuan mengenai keamanan pangan maka sikap terhadap keamanan pangan
juga meningkat. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa praktik sanitasi dan higiene
para penjamah makanan masih kurang.
Distribusi makanan dilakukan dengan sistem desentralisasi. Makanan
dimasukkan dalam jumlah besar kedalam wadah-wadah khusus kemudian di kirim
ke tempat-tempat makan para santri menggunakan mobil. Mat’am (ruang makan)
santri putra terpisah dengan mat’am santri putri. Setelah sampai di masing-masing
mat’am kemudian disajikan oleh dua orang petugas, yaitu santri yang sedang
mengabdi. Pengambilan nasi tidak ada batasan sedangkan lauk pauk diporsikan
oleh dua orang petugas kepada masing-masing santri dengan cara mengantri.
Selain itu, para santri juga dapat memesan untuk mengurangi jatah makanan
kepada petugas. Distribusi makanan dimulai pukul 06.00 untuk makan pagi, pukul
11.00 untuk makan siang, dan pukul 19.00 untuk makan malam. Peralatan makan
yang digunakan para santri bermacam-macam karena para santri membawa piring
dan sendok masing-masing. Terkadang para santri makan bersama-sama membuat
kelompok 3-4 orang dalam wadah yang sama menggunakan nampan yang cukup
besar. Selain itu para Santri juga tidak semuanya makan di tempat yang telah
disediakan, akantetapi di kamar masing-masing.
Output
Output penyelenggaraan makanan meliputi ketersediaan, konsumsi,
tingkat konsumsi, daya terima, jumlah dan mutu makanan (kandungan energi dan
zat gizi) yang selanjutnya akan menghasilkan asupan energi dan zat gizi dari
pangan yang tepat. Ketersediaan energi dan zat gizi dari pondok belum memenuhi
kebutuhan subjek. Berikut disajikan tabel ketersediaan energi dan zat gizi dalam
satu siklus menu.
Tabel 5 Ketersediaan energi dan zat gizi dalam satu siklus menu
Hari Menu ke- E (kkal) P (g) Ca (mg)
Rabu
I
1370
38.9
83.24
Kamis
II
1447
43.9 526.04
Jumat
III
1376
43.7 115.50
Sabtu
IV
1597
45.4 3906.18
Ahad
V
1317
38.3 170.97
Senin
VI
1397
38.1 165.00
Selasa
VII
1933
65.1 613.01
Rabu
VIII
1663
37.8
57.62
Kamis
IX
2096
51.9
59.00
Jumat
X
1459
46.3 165.16
Rata-rata
1566
44.9 586.17
stdev
262
8.4 1182.54
Total
min
1317
37.8
57.62
max
2096
65.1 3906.18
Fe (mg)
5.47
6.29
10.79
7.02
9.67
9.17
10.70
6.35
7.79
4.79
7.80
2.16
4.79
10.79
Vit. A (μg RE) Vit. C (mg)
999.95
33.05
144.56
29.00
3033.98
25.85
760.98
61.32
714.96
18.42
630.75
70.35
511.75
20.20
568.65
16.44
481.05
64.68
500.55
25.21
834.72
36.45
803.71
20.71
144.56
16.44
3033.98
70.35
Tabel 5 menunjukkan bahwa ketersediaan energi dan zat gizi dalam satu
siklus menu bervariasi dan belum ada keseragaman. Ketersediaan energi terbesar
yaitu pada menu ke-IX (2096 kkal) dan terendah pada menu ke-V (1317 kkal).
Hal ini disebabkan pada menu ke-V menu yang disediakan mayoritas adalah sayur
dan pangan nabati, sedangkan menu ke-IX mayoritas menu yang disediakan
16
adalah makanan sumber karbohidrat, seperti mie goreng, kentang pada sop, dan
kentang goreng. Kentang goreng merupakan salah satu makanan sumber energi
menurut Drewnowski dan Rehm (2013). Ketersediaan protein terbesar yaitu pada
menu ke-VII (65.1 g) dan terendah yaitu pada menu ke-VIII (37.8). Hal ini
disebabkan menu ke-VII terdapat menu hewani dan nabati (ikan teri, daging,
ayam, kacang, tempe, dan tahu) yang merupakan sumber protein, sedangkan menu
ke-VIII hanya menyediakan sumber protein hewani, yaitu menu ayam kecap dan
tidak ada pangan nabati. Menurut Marsh et al. (2012), makanan sumber protein
berasal dari kacang-kacangan (tempe, tahu), telur, dan daging merah.
Ketersediaan Ca terbesar yaitu pada menu ke-IV (3906 mg) dan terendah
yaitu pada menu ke-VIII (37.8 mg). Hal ini disebabkan menu ke-IV terdapat
makanan sumber Ca yaitu tongkol, sedangkan menu ke-VIII tidak terdapat
makanan sumber Ca. Menurut Talib et al. (2014), tepung tulang ikan tuna
merupakan sumber kalsium dan penelitian di Bangladesh menyebutkan bahwa
ikan merupakan sumber vitamin A dan kalsium. Ketersediaan Fe terbesar yaitu
pada menu ke-III dan terendah pada menu ke-X akantetapi keduanya masih
dibawah kecukupan AKG. Hal ini disebabkan menu yang disediakan pondok
masih kurang bervariasi terutama untuk makanan sumber Fe yang berasal dari
pangan hewani dan sayuran hijau. Pangan hewani hanya tersedia pada menu siang
hari setiap harinya. Sumber zat besi berasal dari pangan hewani (Hurell dan Egli
2010). Berdasarkan hasil penelitian Anderson dan Fitzgerald (2010) makanan
sumber zat besi berasal dari hati.
Ketersediaan Vitamin A terbesar yaitu pada menu ke-III dan terendah pada
menu ke-II. Pada menu ke-III terdapat menu hati sapi yang merupakan sumber
Vitamin A dan pada menu ke-II terdapat sayuran hijau (sawi), telur yang
merupakan sumber Vitamin A. Menurut Fallon dan Enig (2002), sumber Vitamin
A berasal dari tumbuhan dan hewani. Sayuran hijau dan hati sapi merupakan
sumber Vitamin A, dan hati sapi dianjurkan untuk dikonsumsi beberapa kali
dalam seminggu. Ketersediaan Vitamin C terbesar yaitu pada menu ke-VI (70.35
mg) dan terendah pada menu ke-VIII (16.44 mg). Pada menu ke VI kembang kol
dan kacang panjang sebagai sumber Vitamin C, sedangkan menu ke-VIII tidak
terdapat makanan sumber Vitamin C. Oyetade et al. (2012) menyebutkan bahwa
sumber Vitamin C berasal dari buah-buahan seperti jeruk, sayuran, dan tablet
Vitamin C. Tingkat ketersediaan makanan yang disediakan pondok dihitung untuk
mengetahui persentase ketersediaan makanan yang disediakan pondok dalam
memenuhi kecukupan subjek (Tabel 6).
Tabel 6 Tingkat ketersediaan terhadap kecukupan subjek
Kandungan gizi
Energi (kkal)
Protein (g)
Kalsium (mg)
Zat besi (mg)
Vitamin A( μg RE)
Vitamin C (mg)
Ketersediaan
1566.0
44.9
586.2
7.8
834.7
36.5
Rata-rata kecukupan
VII
VIII
2090
2200
64.5
71.4
1200.0
1200.0
21.8
26.0
600.0
600.0
54.7
65.0
Tingkat ketersediaan (%)
VII
VIII
74.9
71.2
69.7
62.9
48.8
48.8
35.8
30.0
139.1
139.1
66.6
56.1
Tabel 6 menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan terhadap rata-rata
kecukupan subjek terbesar adalah Vitamin A dan terendah adalah zat besi. Rata-
17
rata ketersediaan energi dan protein belum memenuhi kecukupan subjek.
Ketersediaan energi baru dapat mencapai 74.9% (kelas VII) dan 71.2% (kelas
VIII). Ketersediaan protein juga belum memenuhi kecukupan subjek karena baru
dapat mencapai kecukupan sebesar 69.7% (kelas VII) dan 62.9% (kelas VIII).
Ketersediaan tersebut belum memenuhi kecukupan subjek karena masih kurang
dari 90%. Menurut Depkes (1996), apabila kecukupan energi dan protein 40% menyatakan biasa
pada menu sayur, artinya menu sayur menjadi menu yang kurang disukai. Sebaran
subjek berdasarkan tingkat kesukaan subjek terhadap menu makanan pondok
dalam satu siklus menu dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kesukaan menu makanan pondok (%)
Kelas
Menu
VII
Nasi
Pangan hewani
Pangan nabati
Sayur
Nasi
Pangan hewani
Pangan nabati
Sayur
VIII
Sangat
tidak
suka
0
0
0
0
0
0
0
0
Sangat
Tidak
suka
Biasa
Suka
0
0
0
0
0
0
0
0
22.0
25.0
28.1
43.8
31.7
17.1
34.1
43.9
59.0
50.0
68.8
53.1
48.8
51.2
53.7
51.2
Suka
19.0
25.0
3.1
3.1
19.5
31.7
12.2
4.9
Total
100
100
100
100
100
100
100
100
Uji beda
P= 0.428
Costell et al. (2010) menyatakan bahwa tingkat kesukaan terhadap
makanan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu karakteristik sensorik dari makanan,
sikap terhadap makanan, informasi mengenai makanan, dan keinginan untuk
mengonsumsi makanan. Tabel 7 menunjukkan bahwa secara umum persentase
subjek kelas VII yang menyukai menu makanan pondok lebih besar daripada
kelas VIII. Hal ini diduga karena subjek kelas VIII sudah lebih lama tinggal di
18
asrama pondok sehingga lebih sering merasakan siklus menu yang berulang dari
subjek kelas VII. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sinaga et al. (2012) bahwa
pengalaman akan mempengaruhi respon seseorang terhadap makanan, baik itu
pengalaman menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Subjek kelas VIII
sudah lebih sering merasakan menu dengan siklus berulang sehing
HUBUNGANNYA DENGAN KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI
PADA SANTRI PUTRI MTS DARUL MUTTAQIEN BOGOR
M. ZULFADLI LUBIS
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Kesukaan
dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan Kecukupan Energi dan Zat
Gizi pada Santri Putri Mts Darul Muttaqien Bogor adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
M. Zulfadli Lubis
NIM I14110075
ABSTRAK
M. ZULFADLI LUBIS. Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta
Hubungannya dengan Kecukupan Energi dan Zat Gizi pada Santri Putri Mts Darul
Muttaqien Bogor. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH
Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat kesukaan dan daya terima
makanan serta hubungannya dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada
santri putri MTs. Darul Muttaqien Bogor. Desain penelitian yang digunakan
adalah Cross sectional study dengan Purposive sampling dan melibatkan subjek
sebanyak 73 santri putri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum
subjek menyukai menu makanan yang disediakan pondok. Rata-rata daya terima
makanan subjek adalah sebesar 85%. Sebagian besar subjek memiliki kecukupan
energi dan zat gizi defisit berat kecuali Vitamin A .Uji korelasi Spearman
menunjukkan tidak ada hubungan signifikan (p>0.05) antara uang saku dengan
tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Tingkat kesukaan makanan berhubungan
positif dengan daya terima makanan (p=0.000). Daya terima makanan
berhubungan positif dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (p=0.000).
Asupan energi dan zat gizi dari dalam pondok berhubungan negatif dengan asupan
luar pondok (p=0.000).
Kata kunci: asupan energi dan zat gizi, daya terima, tingkat kesukaan, tingkat
kecukupan.
ABSTRACT
M. ZULFADLI LUBIS. Preference and Acceptance of Food and its Correlation
to the Adequacy of Energy and Nutrients on Female Students of Junior High
School Darul Muttaqien Bogor. Supervised by SITI MADANIJAH
This study aimed to analyze preference and acceptance of food and its
correlation to the adequacy of energy and nutrients on female students of Junior
High School Darul Muttaqien Bogor. The design of study was cross-sectional by
using purposive sampling and involved 73 subjects. The results showed that
majority of subjects like the food menu that provided by dorms but the acceptance
was 85%. Majority of the subjects had a sufficiency level of Vitamin A normal but
the sufficiency level of energy and nutrients severe deficit. The result of Spearman
test showed that there was no correlation between pocket money and adequacy
level of energy and nutrients (p>0.05). There was a positive correlation between
food preference and acceptance of food (p=0.000). There was positive correlation
between acceptance of food and the adequacy of energy and nutrients (p = 0.000).
The intake of energy and nutrients from the dorms was negatively correlation with
intake of outside pondok (p=0.000).
Keywords: acceptance, adequacy level, energy and nutrients intake, preference
level
TINGKAT KESUKAAN DAN DAYA TERIMA MAKANAN SERTA
HUBUNGANNYA DENGAN KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI
PADA SANTRI PUTRI MTS DARUL MUTTAQIEN BOGOR
M. ZULFADLI LUBIS
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
Dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian ini adalah Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta
Hubungannya dengan Kecukupan Zat Gizi pada Santri Putri MTs Darul
Muttaqien Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang
membantu selama proses pembuatan skripsi.
1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku pembimbing akademik dan pembimbing
skirpsi atas ilmu dan bimbingannya yang telah diberikan.
2. Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku pemandu seminar dan penguji yang telah
banyak membantu dan memberikan masukan untuk skripsi ini.
3. Bapak Sayaman Lubis dan Ibu Kholidah selaku orang tua penulis serta
Irsaluddin Lubis, S.TP, Siti Fatimah, S.PdI, dan Suhendar, ST selaku saudara
penulis yang telah memberikan semangat, motivasi, dukungan, dan dorongan
baik moril maupun materil kepada penulis selama penyusunan skripsi
4. Pimpinan Pondok Pesantren Darul Muttaqien yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di tempat tersebut.
5. Teman-teman terdekat (Al Mukhlas Fikri, S.Gz; Ahsan S; Fitriyah NM, S.Gz;
Ajeng AP; Dora A, S.Gz; Ahmad Sahl S; Panji S; Gagah RM, S.Gz; M Iqbal;
Wahyu Siti R, S.Gz; Vieta A, S.Gz; dan Nisya DP) atas nasihat dan dukungan.
6. Teman-teman Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi masyarakat angkatan 48
yang telah memberikan motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi.
7. Seluruh pihak yang terkait yang belum disebutkan namanya yang telah
memberikan kontribusinya dalam penulisan tugas akhir ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Semoga skripsi ini dapat
memberikan banyak manfaat.
Bogor, Agustus 2015
M. Zulfadli Lubis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Hipotesis
Manfaat
KERANGKA PEMIKIRAN
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Pondok Pesantren Darul Muttaqien
Karakteristik Subjek
Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor
Tingkat Kesukaan Makanan
Daya Terima Makanan
Asupan Energi dan Zat Gizi
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi
Hubungan antar Variabel
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
viii
viii
viii
1
1
2
2
3
3
3
5
5
5
5
7
8
9
9
10
11
17
18
20
22
25
26
26
26
27
30
36
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan cara pengumpulan data
2 Pengkategorian data
3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu
4 Waktu, tempat pembelian, dan tempat penyimpanan bahan makanan
5 Ketersediaan energi dan zat gizi dalam satu siklus menu
6 Tingkat ketersediaan terhadap kecukupan subjek
7 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kesukaan makanan pondok (%)
8 Sebaran subjek berdasarkan daya terima makanan pondok
9 Rata-rata daya terima makanan pondok (%)
10 Rata-rata asupan energi dan zat gizi subjek
11 Rata-rata asupan energi dan zat gizi dari dalam dan luar pondok
12 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi (%)
13 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein
14 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan mineral dan vitamin
15 Rata-rata kontribusi tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan
asal makanan (%)
6
8
10
13
15
16
17
19
19
20
21
22
23
23
24
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran tingkat kesukaan dan daya terima makanan serta
hubungannya dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi
4
DAFTAR LAMPIRAN
1 Uji hubungan antar variabel
2 Siklus menu Pondok Pesantren Darul Muttaqien
31
32
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan kata kunci pembangunan bangsa-bangsa
di dunia termasuk di Indonesia. Upaya-upaya yang saling berkesinambungan
perlu dilakukan untuk mencapai dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Diantara faktor-faktor yang memegang peran penting dan memengaruhi kualitas
sumber daya manusia yaitu kesehatan dan status gizi (Depkes 2001). Menurut
Soekirman (2000), kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan individu perlu
dilakukan untuk berinvestasi dibidang kesehatan dan gizi. Upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sedini mungkin dan berkelanjutan.
Remaja merupakan generasi penerus bangsa dan merupakan sumberdaya
manusia yang harus diperhatikan (Sediaoetama 2000). Menurut Monk (2009)
masa remaja adalah masa kehidupan yang berlangsung antara umur 12-21 tahun,
dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah
masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Kualitas
manusia dimasa mendatang memiliki hubungan erat dengan kualitas remaja masa
kini. Masa remaja juga merupakan masa pertumbuhan yang sangat cepat dan aktif
yang disebut dengan adolescence growth spurt (Almatsier 2002).
Remaja merupakan kelompok usia yang berada di masa transisi antara
masa kanak-kanak dan dewasa. Periode ini juga merupakan periode menuju
kematangan fisik dan psikologi serta pencarian identitas. Remaja putri merupakan
kelompok yang lebih rentan terkena risiko morbiditas dan mortalitas reproduksi
terutama di negara-negara berkembang karena secara tradisional remaja-remaja
putri di negara berkembang menikah pada usia dini (Singh et al. 2012).
Riskesdas (2010) menyatakan bahwa prevalensi anemia pada remaja
sebesar 25.5% dan prevalensi gizi kurang sebesar 17.4%. Status gizi remaja kurus
sebesar 8%, walaupun menurun menjadi 6.4% menurut Riskesdas (2013) akan
tetapi persentase asupan energi pada remaja di Indonesia sebesar 54.4% memiliki
Tingkat Konsumsi Energi hanya mencapai 70%. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa rata-rata tingkat konsumsi energi pada usia remaja masih
dibawah anjuran AKG.
Asupan zat gizi yang kurang menyebabkan status gizi buruk dan dapat
menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja. Dampak yang dapat timbul
diantaranya adalah pertumbuhan terhambat mudah sakit, aktivitas dan prestasi
belajar menurun. Selain itu juga remaja yang status gizi nya buruk dapat
menurunkan kebugaran dan menghambat prestasi olahraga dan produktivitasnya
(Darmiati 2008).
Pondok pesantren merupakan institusi yang harus diperhatikan karena
didalamnya terdapat para santri yang sedang dalam proses pembelajaran dan
merupakan generasi penerus bangsa yang harus terpenuhi kebutuhan gizinya. Para
santri yang sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan harus tercukupi
asupan zat gizi yang seimbang dari makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Para
santri yang termasuk usia remaja merupakan sasaran strategis dalam upaya
perbaikan gizi masyarakat (Sutardji 2007).
2
Santriwati atau biasa disebut dengan santri putri merupakan kelompok usia
remaja yang menimba ilmu, bersosialisasi, dan diharuskan tinggal di Pondok
Pesantren. Menurut Arisman (2004), remaja putri mengalami pertumbuhan lebih
dahulu daripada laki-laki. Remaja putri membutuhkan zat gizi yang cukup untuk
tumbuh optimal dan persiapan menjelang usia reproduksi. Menurut AKG (2013),
angka kecukupan energi untuk kelompok remaja perempuan usia 10-12 tahun
adalah 2000 kkal, kelompok usia 13-15 tahun adalah sebesar 2125 kkal,
sedangkan kelompok usia remaja ahir (19 tahun) adalah sebesar 2250 kkal.
Intiful et al. (2013) menyatakan bahwa siswa yang tinggal di asrama lebih
berisiko kekurangan gizi dibandingkan dengan siswa yang tidak diasrama. Hal ini
terkait dengan kondisi fasilitas asrama. Santri putri yang diharuskan untuk tinggal
di pondok pesantren membuat mereka belum bisa memenuhi kebutuhan
pangannya sendiri. Kondisi ini membuat pondok pesantren harus menyediakan
pelayanan makan sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan zat gizi para santri
putri agar mencapai dan mempertahankan status gizi yang ideal.
Pondok Pesantren Darul Muttaqien merupakan salah satu pondok yang
menyelenggarakan makanan untuk para santri yang menetap di asrama. Menurut
Kepala Madrasah Tsanawiyah Darul Muttaqien belum ada penelitian serupa.
Berdasarkan latar belakang tersebut penting dilakukan pengkajian tentang
“Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan
Kecukupan Energi dan Zat Gizi pada Santri Putri MTs Darul Muttaqien Bogor”.
Rumusan masalah
1. Bagaimana kualitas penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul
Muttaqien Bogor?
2. Bagaimana tingkat kesukaan dan daya terima serta hubungannya dengan
kecukupan zat gizi pada santri putri MTs Darul Muttaqien Bogor?
Tujuan
Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan dan daya
terima serta hubungannya dengan kecukupan zat gizi pada santri putri MTs Darul
Muttaqien Bogor.
Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik subjek.
2. Mendeskripsikan input, proses, dan output dari penyelenggaraan makanan.
3. Menganalisis tingkat kesukaan makanan.
4. Menganalisis daya terima makanan.
5. Menganalisis kecukupan energi dan zat gizi.
6. Menganalisis hubungan tingkat kesukaan dengan daya terima makanan.
7. Menganalisis hubungan daya terima makanan dengan tingkat kecukupan energi
dan zat gizi.
3
Hipotesis
Tingkat kesukaan dan daya terima berhubungan dengan kecukupan zat gizi
santri putri MTs Darul Muttaqien Bogor.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan makanan dan
pelayanannya di Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Diharapkan penelitian ini
dapat memberikan informasi mengenai tingkat kesukaan, daya terima serta
hubungannya dengan kecukupan zat gizi pada santri putri MTs. Darul Muttaqien
Bogor.
KERANGKA PEMIKIRAN
Perhatian terhadap penyediaan makanan bagi santri putri di pondok
pesantren dewasa ini menjadi sangat penting. Santri putri merupakan remaja yang
perlu perhatian dalam pemilihan makanan dan belum bisa menyediakan
makanannya sendiri. Penyelenggaraan makanan di pondok pesantren bertujuan
untuk menyediakan makanan yang beragam, berimbang dan bergizi, aman
dikonsumsi, memenuhi kebutuhan gizi para santri, dihidangkan dengan menarik,
pelayanan yang tepat waktu, ramah, serta fasilitas yang cukup dan nyaman.
Penyelenggaraan makanan di suatu instansi terdiri dari input, proses, dan
output. Input dari penyelenggaraan makanan meliputi penjamah makanan, sarana
fisik dan peralatan, serta dana. Proses dalam penyelenggaraan makanan meliputi
perencanaan menu, produksi, penerimaan, penyimpanan bahan makanan,
pengolahan, distribusi, dan pengawasan sanitasi, higiene makanan. Sedangkan
output penyelenggaraan makanan meliputi konsumsi dan tingkat konsumsi santri,
daya terima, jumlah dan mutu makanan (kandungan energi dan zat gizi) yang
selanjutnya akan menghasilkan asupan energi dan zat gizi dari pangan yang tepat.
Tingkat kesukaan santri putri terhadap makanan akan memengaruhi daya
terima makanan pada santri putri. Cita rasa makanan mencakup dua aspek utama,
yaitu penampilan dan rasa makanan. Kedua aspek ini sama pentingnya untuk
diperhatikan agar betul-betul dapat menghasilkan makanan yang memuaskan
(Moehyi 1992). Selain itu juga menurut Yamsehu (2008) daya terima konsumen
terhadap makanan dipengaruhi oleh umur, sosial dan budaya keluarga.
Daya terima makanan berhubungan langsung dengan konsumsi pangan
santri putri. Konsumsi pangan santri putri berasal dari penyelenggaraan makanan
pondok pesantren dan dari luar pondok pesantren. Konsumsi pangan berhubungan
dengan tingkat kecukupan gizi santri putri. Pada penelitian ini status gizi tidak
dianalisis. Gambar 1 memperlihatkan kerangka pemikiran tingkat kesukaan dan
daya terima makanan serta hubungannya dengan kecukupan zat gizi.
4
Sistem penyelenggaraan makanan
(input, proses, output)
Ketersediaan makanan
dari luar pondok
Ketersediaan makanan
dalam pondok
Karakteristik
Santri putri
- Umur
- Uang saku
- Kelas
Tingkat
kesukaan
Makanan dalam
pondok
Daya terima
makanan
Makanan luar
pondok
Konsumsi pangan
Kecukupan tingkat
energi dan zat gizi
Status gizi
Keterangan :
: variabel yang diteliti
: hubungan yang dianalisis
: variabel yang tidak diteliti
: hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran tingkat kesukaan dan daya terima makanan serta
hubungannya dengan kecukupan zat gizi
5
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan menggunakan desain Cross sectional study yang
bertempat di Pondok Pesantren Darul Muttaqien, Parung, Kabupaten Bogor pada
bulan Maret-April 2015. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara purposif
dengan mempertimbangkan pondok ini mengadakan penyelenggaraan makanan
bagi para santrinya dan juga karena kemudahan akses.
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek
Subjek penelitian adalah santri putri MTs. Darul Muttaqien. Teknik
pengambilan subjek yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu
pengambilan subjek yang dilakukan secara sengaja dengan memenuhi kriteria
inklusi sebagai berikut: (1) subjek adalah santri putri MTs. Darul Muttaqien kelas
VII dan VIII yang tinggal di asrama, (2) bersedia mengikuti penelitian dari awal
hingga akhir pengambilan data.
Populasi dalam penelitian berjumlah 283 santri putri yang terdiri dari kelas
VII dan VIII. Pemilihan kelas dilakukan secara purposive sampling dengan
mengambil masing-masing 2 kelas dari kelas VII dan VIII. Pengambilan subjek
berdasarkan sampel minimum penelitian sebanyak 30 subjek. Subjek yang dipilih
berjumlah 98 santri putri dan yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 73 santri
putri yang terdiri dari 32 santri kelas VII dan 41 kelas VIII.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data penelitian
dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Data primer yang dikumpulkan
meliputi karakteristik subjek (uang saku, usia, kelas), konsumsi pangan, kesukaan
dan daya terima terhadap menu makanan yang disediakan pondok. Data konsumsi
pangan dikumpulkan dengan cara food record selama empat hari (tiga hari
sekolah dan satu hari libur) dan dilakukan pengecekan ulang serta survei pasar
untuk makanan dari luar pondok. Data kesukaan terhadap menu makanan pondok
diperoleh menggunakan kuesioner uji hedonik dengan lima skala, yaitu sangat
tidak suka, tidak suka, biasa, suka, dan sangat suka (Gregoire dan Spears 2007).
Data daya terima makanan terhadap menu makanan pondok diperoleh
menggunakan kuesioner sisa makanan dari menu yang disediakan (100%, 95%,
75%, 50%, 25%, dan 0%) atau disebut dengan metode Comstock. Data tingkat
kesukaan dan daya terima diperoleh selama satu siklus menu (10 hari). Data
sekunder yang dikumpulkan meliputi populasi santri putri, absensi kelas VII dan
VIII, dan gambaran umum Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Jenis dan cara
pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Jenis Data
Variabel
Cara pengumpulan
Primer
Karakteristik contoh
Umur, uang saku, dan kelas
Wawancara menggunakan
kuesioner
Input penyelenggaraan
makanan
-
Wawancara dan
pengamatan langsung
Proses penyelenggaraan
makanan
Sumber daya manusia
Bahan
Sarana fisik dan peralatan
Anggaran belanja
-
Perencanaan menu
Siklus menu
Frekuensi belanja bahan
Pengolahan bahan
Waktu pengolahan, distribusi,
dan waktu makan
- Unit produksi
Wawancara dan
pengamatan langsung
Output penyelenggaraan
makanan
- Distribusi
- Ketersediaan energi dan zat
gizi
- Konsumsi
- Tingkat kesukaan
- Daya terima
Menimbang menu makan,
kuesioner Comstock dan
tingkat kesukaan
Tingkat kesukaan
Pengukuran kesukaan contoh
Wawancara menggunakan
kuesioner
Daya terima
Makanan yang dihabiskan
Metode Comstock
menggunakan kuesioner
sisa makanan dari menu
yang disediakan (100%,
95%, 75%, 50%, 25%,
dan 0%)
jumlah pangan yang
dikonsumsi
Food record selama 4 hari
Gambaran umum Pondok
pesantren, penyelenggaraan
makanan, dan absensi santri
putri
Data terkait dan wawancara
kepada pengurus Pondok
pesantren
Konsumsi pangan
Sekunder
Kondisi umum
7
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan diolah secara deskriptif dan inferensia.
Pengolahan data dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan dianalisis
menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) version 16.0 for
windows. Pengolahan data dimulai dengan coding, entry, cleaning, dan analisis.
Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data karakteristik subjek,
tingkat kesukaan, daya terima makanan yang disediakan pondok, dan tingkat
kecukupan energi dan zat gizi. Karakteristik subjek meliputi usia dan uang saku.
Usia dikelompokkan menjadi 10-12 tahun dan 13-15 tahun. Uang saku subjek
dikelompokkan menjadi Rp 300 000 per bulan.
Tingkat ketersediaan makanan yang disediakan pondok dihitung dengan cara
menimbang makanan pada saat penelitian berlangsung selama satu siklus menu
(10 hari), setelah itu dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan subjek
menggunakan AKG 2013 yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat. Data
tingkat kesukaan terhadap menu makanan pondok diberi kode 1 (sangat tidak
suka), 2 (tidak suka), 3 (biasa), 4 (suka), dan 5 (sangat suka). Data daya terima
menu makan pondok diolah dengan memberikan kode 1 (sisa 100%), 2 (sisa
95%), 3 (sisa 75%), 4 (sisa 50%), 5 (sisa 25%), dan 6 (sisa 0%). Daya terima
makanan dikelompokkan menjadi kurang (0.05).
Berikut disajikan tabel sebaran subjek berdasarkan usia dan uang saku.
Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu
Karakteristik subjek
Usia
(tahun)
10-12
13-15
Total
Rata-rata ± SD
Kelas VII
N
%
22
69
10
31
32
100
12.38 ± 0.61
Kelas VIII
n
%
0
0
41
100
41
100
13.56 ± 0.55
Uji beda
P= 0.388
Uang
saku
< 300 000
> 300 000
Total
Rata-rata ± SD
5
16
27
84
32
100
349375±134330.8
9
22
32
78
41
100
431463.4±280664.9
11
Kebutuhan zat gizi pada masa anak-anak belum dibedakan antara laki-laki
dan perempuan (IDAI 2013). Usia subjek berkisar 12-15 tahun dan merupakan
masa remaja awal yang memerlukan perhatian lebih terhadap asupan energi dan
zat gizi. Menurut IDAI (2013) pada masa remaja awal terjadi perubahan biologik
dan fisiologik tubuh yang spesifik sesuai gender sehingga kebutuhan pun menjadi
berbeda. Remaja perempuan lebih banyak membutuhkan asupan zat besi karena
mengalami siklus menstruasi.
Grammatikapoulu (2008) menyatakan bahwa uang saku memiliki
hubungan signifikan dengan asupan energi dan zat gizi. Semakin banyak uang
saku siswa maka kemampuan untuk memperoleh makanan semakin tinggi,
sedangkan menurut Mardayanti uang saku tidak selalu dibelikan untuk makanan
sehingga tidak terdapat hubungan signifikan antara uang saku dengan asupan
energi dan zat gizi.
Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor
Usaha jasa boga di Indonesia secara keseluruhan diatur dan diawasi oleh
Pemerintah
Indonesia
dengan
dikeluarkannya
Permenkes
Nomor:
1096/MENKES/PER/VI/2011. Berdasarkan luas jangkauan yang dilayani dan
kemungkinan besarnya risiko yang dilayani, penyelenggaraan makanan di Pondok
Pesantren Darul Muttaqien dikelompokkan sebagai usaha jasaboga golongan B
yaitu jasaboga yang melayani kebutuhan khusus asrama (anak sekolah).
Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien meliputi input,
proses, dan output.
Input
Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien (Ponpes
DM) berada dibawah naungan yayasan yang dipimpin langsung oleh istri dari
pimpinan Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Dalam penyelenggaraan makanan
ini belum ada ahli gizi. Jumlah pegawai dapur yaitu dua orang karyawan sebagai
juru masak yang dibantu oleh seorang santri putra dan lima santri putri yang
sedang mengabdi. Sedangkan pegawai bagian menanak nasi berjumlah lima orang
sehingga total pegawai dibagian dapur berjumlah 13 orang. Berdasarkan metode
ISN (Indicator Staffing Need) jumlah pegawai di bagian dapur masih kekurangan
sebanyak dua orang. Berikut rumus perhitungan jumlah tenaga kerja berdasarkan
metode ISN:
Waktu kerja tersedia = 365– 56 (libur Ramadhan dan Idul Fitri, liburan sekolah)
X jam kerja efektif
= 309 hari x 8 jam kerja efektif
= 2472 jam
Jumlah tenaga kerja
= Jumlah tenaga kerja saat ini x Jam kerja per hari x 365
2472 jam
= 13 orang x 8 jam x 365
2472 jam
= 15 orang
12
Peralatan dalam penyelenggaraan makanan merupakan bagian yang sangat
penting mulai dari penerimaan bahan makanan sampai tahap pendistribusian.
Peralatan yang tersedia harus diperhatikan dari segi kuantitas dan kualitas. Jumlah
yang tersedia harus memadai dan kebersihannya juga harus terjaga (Palacio dan
Theis 2009). Peralatan penyelenggaraan makanan umumnya dikelompokkan
menjadi alat-alat penyimpanan, alat-alat pengolahan, dan alat-alat penyajian
(Nurdiani 2011).
Fasilitas peralatan yang dimiliki dapur sudah cukup memadai dari segi
kualitas dan kuantitas, akan tetapi belum ada dokumentasi mengenai kelengkapan
alat. Peralatan belum tersusun rapi antara peralatan yang kotor dan bersih
sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi silang. Peralatan yang belum
memenuhi standar adalah talenan yang terbuat dari kayu karena memungkinkan
terjadinya cemaran dari bahan kayu.
Dapur tempat pengolahan bahan makanan terletak di depan kediaman
pimpinan Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Ruang produksi terpisah dengan
ruang penyimpanan peralatan serta pencucian bahan makanan dan peralatan.
Bagian ruang produksi belum ada pemisahan antara penerimaan bahan makanan,
ruang persiapan, ruang pengolahan, dan ruang pemorsian. Penerimaan bahan
makanan dilakukan di bagian teras dapur, ruang persiapan dilakukan di bagian
teras dan menyatu dengan ruang pengolahan. Pemorsian makanan dilakukan di
ruangan pengolahan dan di bagian teras. Sedangkan bagian pencucian peralatan
dilakukan di samping ruang pengolahan dengan dibatasi tembok. Ruang
pengolahan memiliki luas sekitar 7 x 5 m2, jumlah karyawan yang bekerja di
dapur berjumlah 8 orang, maka setiap pekerja mendapat luas ruangan 35/8 = 4.4
m2. Dengan demikian dapur penyelenggaraan makanan Pondok Pesantren Darul
Muttaqien sudah memenuhi persyaratan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 yang menyatakan bahwa luas
area pengolahan yang bebas dari peralatan untuk setiap orang bekerja yaitu
minimal 2 m2.
Kemenkes (2011) menyatakan bahwa ventilasi atau penghawaan di ruang
pengolahan bahan makanan harus dilengkapi cerobong asap. Lantai dan dinding
tidak terdapat sudut mati dan harus memiliki lengkungan agar mudah dibersihkan.
Ruang pengolahan Ponpes DM belum memiliki ventilasi yang cukup dan
pencahayaan masih kurang. Lantai ruang pengolahan terbuat dari semen,
terkadang lantai licin jika basah. Sumber air bersih berasal dari sumur yang
didapat dari mesin pompa. Pencucian peralatan dilakukan tidak menggunakan
wastafel akan tetapi di lantai dan proses pencucian menggunakan tangan dan
sabun colek.
Bahan makanan yang digunakan oleh dapur pondok berasal dari Pasar
Parung. Untuk mendapatkan bahan makanan yang bagus perlu dilakukan
pemilihan bahan makanan pada saat membeli di pasar karena bahan makanan
yang bagus akan menentukan kualitas masakan. Pada saat belanja bahan makanan
di Pasar Parung pimpinan dapur mengutus dua pegawai yang sudah
berpengalaman. Semua bahan makanan diperoleh dari Pasar Parung dan sudah
mempunyai langganan tempat pembelian untuk setiap bahan makanan. Upaya
untuk mengefisienkan waktu pada saat belanja bahan maka pegawai yang
bertugas untuk berbelanja hanya menyerahkan kertas catatan belanjaan. Cara
seperti ini memiliki kekurangan karena bahan makanan yang diberikan penjual
13
tidak terpantau kualitasnya karena belum ada spesifikasi bahan makanan. Waktu
pembelian bahan makanan bervariasi yaitu harian, 2-3 hari, dan bulanan (Tabel 4).
Tabel 4 Waktu, tempat pembelian, dan tempat penyimpanan bahan makanan
Waktu
Tempat Pembelian
Tempat
Penyimpanan
Pasar tradisional
Pemesanan
Harian
Sayur, tahu/tempe,
Ruang
minyak kelapa sawit,
pengolahan
bumbu,
2-3 hari
Telur, ikan, nugget, ayam,
Lemari
daging sapi, mie, bihun
pendingin
Peti kayu
Bulanan
Beras
Gudang
Waktu pembelian bahan makanan dilakukan hampir setiap hari kecuali
beras. Semua bahan makanan dibeli di Pasar Parung. pembelian beras dilakukan
di toko yang berada di Pasar Parung dan dilakukan dengan cara pemesanan.
Belanja bahan makanan setiap hari dimulai sejak pukul 02.00 sampai pukul 03.30
dini hari. Penyelenggaraan makanan yang dilakukan dapur Pondok Pesantren
Darul Muttaqien ditujukan untuk santri yang tinggal di asrama, para guru, dan
karyawan. Santri yang tinggal di asrama disediakan makanan lengkap 3 kali
dalam sehari sedangkan para guru dan karyawan hanya makan siang. Setiap
harinya dapur menyediakan makanan mencapai ± 1000 porsi untuk 3 kali makan.
Biaya produksi makanan setiap hari mencapai Rp 7 000 000 untuk lauk pauk dan
Rp 2 700 000 untuk beras, sehingga total anggaran sehari adalah Rp 9 700 000.
Anggaran makan santri untuk tiga kali makan adalah Rp 10 500.
Proses
Perencanaan menu dilakukan oleh pimpinan dapur dibantu oleh seorang
pegawai senior dapur. Perencanaan menu belum menghitung kebutuhan zat gizi
berdasarkan angka kecukupan gizi karena menu yang disediakan berlaku untuk
semua santri yang tinggal di asrama (santri MTs dan MA) para ustadz dan
karyawan. Dalam perencanaan menu tidak ada tema tertentu seperti yang
dilakukan oleh katering Pawon Endah yang selalu memiliki tema pembelajaran
yang berbeda setiap bulannya (Nurdiani 2011).
Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien
menggunakan siklus menu 10 hari. Komposisi menu yang disediakan oleh dapur
Pondok Pesantren Darul Muttaqien secara umum terdiri dari nasi, mie, bihun, lauk
(daging sapi atau hati sapi, ayam, ikan, telur), sayuran, dan kerupuk. Menu yang
disediakan mengacu pada ketersediaan bahan makanan di Pasar Parung, jadi
sewaktu-waktu menu yang disediakan dapat ditukar antara hari satu dengan hari
yang lainnya. Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh Berkah Katering dalam
penelitian Nurdiani (2011).
Proses pengolahan merupakan tahap yang rentan mengalami kehilangan
zat gizi (Hardinsyah dan Briawan 1994). Gao et al. (2009) menyebutkan bahwa
dalam metode memasak (merebus, mengukus, menggoreng, menggunakan
microwave ataupun menggunakan pressure cooking) akan mengurangi kandungan
gizi dalam bahan makanan. Proses pengolahan terdiri atas persiapan dan
pemasakan bahan makanan. Upaya meminimalisasi kehilangan zat gizi pada
14
proses pengolahan harus diperhatikan dengan benar. Persiapan bahan makanan
yang dilakukan meliputi: pembersihan, pengupasan, penyiangan, pemotongan,
pencucian, pengirisan, penumbukan, dan pemblenderan bumbu. Dalam praktiknya
di dapur, saat persiapan bahan makanan masih belum sesuai karena bahan
makanan seperti sayur di potong terlebih dahulu lalu di cuci. Selain itu, pencucian
sayur tidak dilakukan menggunakan air bersih yang mengalir akan tetapi hanya
direndam dengan air bersih.
Pengolahan bahan makanan yang sering dilakukan di dapur Pondok
Pesantren Darul Muttaqien adalah menggoreng, menumis, merebus, dan
mengukus. Membakar dan memanggang tidak dilakukan dengan alasan waktu dan
ketersediaan alat. Pengolahan nasi dan lauk dilakukan di tempat terpisah. Hal ini
dilakukan untuk mengefisiensikan waktu dan alasan keterbatasan alat. Pengolahan
lauk dilakukan menggunakan bahan bakar gas, sedangkan penanakan nasi
dilakukan menggunakan bahan bakar kayu bakar. Dalam pengolahan bahan
makanan perlu adanya standar resep untuk menjaga kekonsistenan citarasa dan
mempermudah proses pengolahan. Upaya untuk menjaga kekonsistenan citarasa
hal yang harus diperhatikan selain standar resep yaitu pengawasan suhu (besar
kecilnya api), pengawasan rasa (penambahan bumbu dan garam), dan waktu
pemasakan. Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien
belum terdapat standar resep sehingga proses pengolahan dilakukan berdasarkan
pengalaman juru masak. Pengawasan mengenai pengaturan besar kecil api, waktu
pemasakan, pemberian garam juga belum dilakukan sehingga terkadang menu
yang dihasilkan terlalu asin atau hambar, dan makanan tidak matang secara
merata. Hal ini membuat nafsu makan para santri menurun.
Sanitasi dan Higiene. Sanitasi dan higiene merupakan aspek penting dalam
penyelenggaraan makanan. Berdasarkan Permenkes (2011), sanitasi dan higiene
merupakan upaya untuk mengendalikan faktor-faktor makanan, orang,
perlengkapan, dan tempat yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Oleh
sebab itu sanitasi dan higiene merupakan aspek yang harus diperhatikan. Upaya
sanitasi dan higiene yang dilakukan dalam penyelenggaraan makanan di Pondok
Pesantren Darul Muttaqien masih banyak yang tidak sesuai. Beberapa hal yang
menunjukkan masih kurangnya upaya sanitasi dan higiene adalah:
1. Pengolahan bahana makanan dilakukan dekat dengan pembuangan air.
2. Belum adanya pemisahan antara ruang persiapan, pengolahan, dan
penyajian. Proses persiapan, pengolahan, dan penyajian dilakukan dalam
ruangan yang sama sehingga meningkatkan peluang terjadinya
kontaminasi silang.
3. Lantai dapur terkadang licin jika terkena air. Dinding dan langit-langit
terlihat kurang bersih dan tidak mudah dibersihkan.
4. Pencucian alat dan bahan makanan masih disatukan. Tempat pencucian
dilakukan di lantai atau tidak menggunakan wastafel.
5. Penerangan dan ventilasi di ruangan pengolahan kurang memadai.
6. Tempat sampah belum menggunakan tempet sampah yang dilengkapi
injakan akantetapi hanya menggunakan plastic trashbag.
7. Pegawai dapur belum menggunakan alas kaki khusus, apron, dan
terkadang masih menggunakan perhiasan
Penjamah makanan belum pernah mengikuti pelatihan dan penyuluhan
sanitasi dan higiene. Hasil penelitian Totelesi (2011) menyatakan bahwa
15
pengetahuan dan sikap keamanan pangan berhubungan positif. Semakin tinggi
pengetahuan mengenai keamanan pangan maka sikap terhadap keamanan pangan
juga meningkat. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa praktik sanitasi dan higiene
para penjamah makanan masih kurang.
Distribusi makanan dilakukan dengan sistem desentralisasi. Makanan
dimasukkan dalam jumlah besar kedalam wadah-wadah khusus kemudian di kirim
ke tempat-tempat makan para santri menggunakan mobil. Mat’am (ruang makan)
santri putra terpisah dengan mat’am santri putri. Setelah sampai di masing-masing
mat’am kemudian disajikan oleh dua orang petugas, yaitu santri yang sedang
mengabdi. Pengambilan nasi tidak ada batasan sedangkan lauk pauk diporsikan
oleh dua orang petugas kepada masing-masing santri dengan cara mengantri.
Selain itu, para santri juga dapat memesan untuk mengurangi jatah makanan
kepada petugas. Distribusi makanan dimulai pukul 06.00 untuk makan pagi, pukul
11.00 untuk makan siang, dan pukul 19.00 untuk makan malam. Peralatan makan
yang digunakan para santri bermacam-macam karena para santri membawa piring
dan sendok masing-masing. Terkadang para santri makan bersama-sama membuat
kelompok 3-4 orang dalam wadah yang sama menggunakan nampan yang cukup
besar. Selain itu para Santri juga tidak semuanya makan di tempat yang telah
disediakan, akantetapi di kamar masing-masing.
Output
Output penyelenggaraan makanan meliputi ketersediaan, konsumsi,
tingkat konsumsi, daya terima, jumlah dan mutu makanan (kandungan energi dan
zat gizi) yang selanjutnya akan menghasilkan asupan energi dan zat gizi dari
pangan yang tepat. Ketersediaan energi dan zat gizi dari pondok belum memenuhi
kebutuhan subjek. Berikut disajikan tabel ketersediaan energi dan zat gizi dalam
satu siklus menu.
Tabel 5 Ketersediaan energi dan zat gizi dalam satu siklus menu
Hari Menu ke- E (kkal) P (g) Ca (mg)
Rabu
I
1370
38.9
83.24
Kamis
II
1447
43.9 526.04
Jumat
III
1376
43.7 115.50
Sabtu
IV
1597
45.4 3906.18
Ahad
V
1317
38.3 170.97
Senin
VI
1397
38.1 165.00
Selasa
VII
1933
65.1 613.01
Rabu
VIII
1663
37.8
57.62
Kamis
IX
2096
51.9
59.00
Jumat
X
1459
46.3 165.16
Rata-rata
1566
44.9 586.17
stdev
262
8.4 1182.54
Total
min
1317
37.8
57.62
max
2096
65.1 3906.18
Fe (mg)
5.47
6.29
10.79
7.02
9.67
9.17
10.70
6.35
7.79
4.79
7.80
2.16
4.79
10.79
Vit. A (μg RE) Vit. C (mg)
999.95
33.05
144.56
29.00
3033.98
25.85
760.98
61.32
714.96
18.42
630.75
70.35
511.75
20.20
568.65
16.44
481.05
64.68
500.55
25.21
834.72
36.45
803.71
20.71
144.56
16.44
3033.98
70.35
Tabel 5 menunjukkan bahwa ketersediaan energi dan zat gizi dalam satu
siklus menu bervariasi dan belum ada keseragaman. Ketersediaan energi terbesar
yaitu pada menu ke-IX (2096 kkal) dan terendah pada menu ke-V (1317 kkal).
Hal ini disebabkan pada menu ke-V menu yang disediakan mayoritas adalah sayur
dan pangan nabati, sedangkan menu ke-IX mayoritas menu yang disediakan
16
adalah makanan sumber karbohidrat, seperti mie goreng, kentang pada sop, dan
kentang goreng. Kentang goreng merupakan salah satu makanan sumber energi
menurut Drewnowski dan Rehm (2013). Ketersediaan protein terbesar yaitu pada
menu ke-VII (65.1 g) dan terendah yaitu pada menu ke-VIII (37.8). Hal ini
disebabkan menu ke-VII terdapat menu hewani dan nabati (ikan teri, daging,
ayam, kacang, tempe, dan tahu) yang merupakan sumber protein, sedangkan menu
ke-VIII hanya menyediakan sumber protein hewani, yaitu menu ayam kecap dan
tidak ada pangan nabati. Menurut Marsh et al. (2012), makanan sumber protein
berasal dari kacang-kacangan (tempe, tahu), telur, dan daging merah.
Ketersediaan Ca terbesar yaitu pada menu ke-IV (3906 mg) dan terendah
yaitu pada menu ke-VIII (37.8 mg). Hal ini disebabkan menu ke-IV terdapat
makanan sumber Ca yaitu tongkol, sedangkan menu ke-VIII tidak terdapat
makanan sumber Ca. Menurut Talib et al. (2014), tepung tulang ikan tuna
merupakan sumber kalsium dan penelitian di Bangladesh menyebutkan bahwa
ikan merupakan sumber vitamin A dan kalsium. Ketersediaan Fe terbesar yaitu
pada menu ke-III dan terendah pada menu ke-X akantetapi keduanya masih
dibawah kecukupan AKG. Hal ini disebabkan menu yang disediakan pondok
masih kurang bervariasi terutama untuk makanan sumber Fe yang berasal dari
pangan hewani dan sayuran hijau. Pangan hewani hanya tersedia pada menu siang
hari setiap harinya. Sumber zat besi berasal dari pangan hewani (Hurell dan Egli
2010). Berdasarkan hasil penelitian Anderson dan Fitzgerald (2010) makanan
sumber zat besi berasal dari hati.
Ketersediaan Vitamin A terbesar yaitu pada menu ke-III dan terendah pada
menu ke-II. Pada menu ke-III terdapat menu hati sapi yang merupakan sumber
Vitamin A dan pada menu ke-II terdapat sayuran hijau (sawi), telur yang
merupakan sumber Vitamin A. Menurut Fallon dan Enig (2002), sumber Vitamin
A berasal dari tumbuhan dan hewani. Sayuran hijau dan hati sapi merupakan
sumber Vitamin A, dan hati sapi dianjurkan untuk dikonsumsi beberapa kali
dalam seminggu. Ketersediaan Vitamin C terbesar yaitu pada menu ke-VI (70.35
mg) dan terendah pada menu ke-VIII (16.44 mg). Pada menu ke VI kembang kol
dan kacang panjang sebagai sumber Vitamin C, sedangkan menu ke-VIII tidak
terdapat makanan sumber Vitamin C. Oyetade et al. (2012) menyebutkan bahwa
sumber Vitamin C berasal dari buah-buahan seperti jeruk, sayuran, dan tablet
Vitamin C. Tingkat ketersediaan makanan yang disediakan pondok dihitung untuk
mengetahui persentase ketersediaan makanan yang disediakan pondok dalam
memenuhi kecukupan subjek (Tabel 6).
Tabel 6 Tingkat ketersediaan terhadap kecukupan subjek
Kandungan gizi
Energi (kkal)
Protein (g)
Kalsium (mg)
Zat besi (mg)
Vitamin A( μg RE)
Vitamin C (mg)
Ketersediaan
1566.0
44.9
586.2
7.8
834.7
36.5
Rata-rata kecukupan
VII
VIII
2090
2200
64.5
71.4
1200.0
1200.0
21.8
26.0
600.0
600.0
54.7
65.0
Tingkat ketersediaan (%)
VII
VIII
74.9
71.2
69.7
62.9
48.8
48.8
35.8
30.0
139.1
139.1
66.6
56.1
Tabel 6 menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan terhadap rata-rata
kecukupan subjek terbesar adalah Vitamin A dan terendah adalah zat besi. Rata-
17
rata ketersediaan energi dan protein belum memenuhi kecukupan subjek.
Ketersediaan energi baru dapat mencapai 74.9% (kelas VII) dan 71.2% (kelas
VIII). Ketersediaan protein juga belum memenuhi kecukupan subjek karena baru
dapat mencapai kecukupan sebesar 69.7% (kelas VII) dan 62.9% (kelas VIII).
Ketersediaan tersebut belum memenuhi kecukupan subjek karena masih kurang
dari 90%. Menurut Depkes (1996), apabila kecukupan energi dan protein 40% menyatakan biasa
pada menu sayur, artinya menu sayur menjadi menu yang kurang disukai. Sebaran
subjek berdasarkan tingkat kesukaan subjek terhadap menu makanan pondok
dalam satu siklus menu dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kesukaan menu makanan pondok (%)
Kelas
Menu
VII
Nasi
Pangan hewani
Pangan nabati
Sayur
Nasi
Pangan hewani
Pangan nabati
Sayur
VIII
Sangat
tidak
suka
0
0
0
0
0
0
0
0
Sangat
Tidak
suka
Biasa
Suka
0
0
0
0
0
0
0
0
22.0
25.0
28.1
43.8
31.7
17.1
34.1
43.9
59.0
50.0
68.8
53.1
48.8
51.2
53.7
51.2
Suka
19.0
25.0
3.1
3.1
19.5
31.7
12.2
4.9
Total
100
100
100
100
100
100
100
100
Uji beda
P= 0.428
Costell et al. (2010) menyatakan bahwa tingkat kesukaan terhadap
makanan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu karakteristik sensorik dari makanan,
sikap terhadap makanan, informasi mengenai makanan, dan keinginan untuk
mengonsumsi makanan. Tabel 7 menunjukkan bahwa secara umum persentase
subjek kelas VII yang menyukai menu makanan pondok lebih besar daripada
kelas VIII. Hal ini diduga karena subjek kelas VIII sudah lebih lama tinggal di
18
asrama pondok sehingga lebih sering merasakan siklus menu yang berulang dari
subjek kelas VII. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sinaga et al. (2012) bahwa
pengalaman akan mempengaruhi respon seseorang terhadap makanan, baik itu
pengalaman menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Subjek kelas VIII
sudah lebih sering merasakan menu dengan siklus berulang sehing