Transformasi Organisasi Pengelola Zakat Di Indonesia (Studi Kasus Dompet Dhuafa Dan Baznas).

TRANSFORMASI ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT DI
INDONESIA
(Studi Kasus Dompet Dhuafa dan BAZNAS)

SYAIFUL BAHRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Transformasi Organisasi
Pengelola Zakat di Indonesia (Studi Dompet Dhuafa dan BAZNAS) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Syaiful Bahri
NIM I353110141

RINGKASAN
SYAIFUL BAHRI. Transformasi Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Studi
Kasus Dompet Dhuafa dan BAZNAS). Dibimbing oleh TITIK SUMARTI and
SAHARUDDIN.
Penelitian ini bertujuan mengkaji tiga hal/ isu, yaitu (1) mengetahui proses
transformasi pengelolaan zakat di Indonesia, (2) mengkaji pengorganisasian dan program
pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS dan (3) mengetahui pandangan
masyarakat mengenai Dompet Dhuafa, BAZNAS dan Organisasi Pengelola Zakat
Modern. Penelitian ini bermaksud untuk meneliti dinamika pengelolaan zakat dan
organisasinya dengan menghimpun data untuk mengambil makna dan pemahaman dari
proses transformasi nilai dan struktur, serta perkembangan pengorganisasian dan program
pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Oleh Karena itu dalam penelitian ini
digunakan pendekatan kualitatif. Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus.
Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah Historical organization case
studies, yaitu memusatkan perhatian pada organisasi tertentu sejak awal pertumbuhannya

dan Life History, yaitu menekankan perhatian pada peristiwa yang menyangkut riwayat
hidup seseorang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) snowball sampling
(2) wawancara mendalam, (3) Sosio dan Life History, (4) analisis dokumen, dan (5)
kuesioner. Penelitian ini meneliti mengenai organisasi pengelola zakat, yaitu Dompet
Dhuafa dan BAZNAS.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia melalui era
kesultanan Islam hingga reformasi menunjukkan bahwa dinamika pengelolaan zakat
berkembang yang pada awalnya dikelola Negara, kemudian dikelola lokal oleh
masyarakat hingga pada saat ini perpaduan dari keduanya, yaitu sinergi pengelolaan zakat
oleh Negara dan masyarakat. Proses transformasi pengelolaan zakat terjadi pada peralihan
orde baru menuju reformasi, yang diawali lahirnya Dompet Dhuafa, berdirinya Forum
Zakat (FOZ), disahkannya UU pengelola zakat Tahun 1999 dan lahirnya BAZNAS pada
tahun 2001. Proses transfornasi pengelolaan zakat dapat dikaji dari dua dimensi, yaitu
transformasi nilai berupa pembaharuan konsep/ fikih zakat dan transformasi struktur
berupa perubahan pelaku pengelola zakat, relasi antar pelaku dan aturannya.
Transformasi pengelolaan zakat berimplikasi pada perkembangan pengorganisasian
dan program pengelolaan zakat Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Walaupun begitu
pengelolaan zakat tradisional tetap berjalan karena telah mengakar dan melekat pada
masyarakat. Perkembangan pengorganisasian Dompet Dhuafa lebih luwes baik secara
struktur maupun strategi organisasi. Sedangkan BAZNAS yang merupakan organisasi

bentukan pemerintah perkembangan organisasinya tergantung pada perkembangan
regulasi (UU pengelola zakat). Dalam menerapkan strategi pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat melalui program pengelolaan zakat, Dompet Dhuafa lebih baik dibandingkan
BAZNAS. Pemberdayaan yang Dompet Dhuafa melalui program pengelolaan zakatnya
lebih menjangkau jejaring masyarakat lokal. Hal ini sejalan dengan pandangan
masyarakat yang lebih percaya terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa dibandingkan
dengan BAZNAS. Oleh karena itu transformasi pengelolaan zakat yang mengarah pada
pola pengorganisasian modern dan strategi pemberdayaan pada program pengelolaan
zakat harus tetap membangun jejaring kemitraan yang menjangkau masyarakat lokal,
masjid, dan pesantren sehingga pengelolaan zakat modern dan tradisional dapat bersinergi
untuk optimalisasi pengelolaan zakat di Indonesia.
Key Words : Zakat, Transformasi Organisasi Pengelola Zakat, Pengelolaan Zakat

SUMMARY
SYAIFUL BAHRI. Transformation of Zakat Institution in Indonesia (A Case
Study Dompet Dhuafa and BAZNAS). Supervised by TITIK SUMARTI and
SAHARUDDIN.
The purpose of this study is to discuss about 3 issues, namely (1) knowing the
process of the zakat management transformation in Indonesia, (2) reviewing the
organization and the programs of zakat management of DompetDhuafa and BAZNAS

and (3) to know the public’s view about Dompet Dhuafa, BAZNAS and modern zakat
management organizations. This study is intended to research the dynamics of zakat
management and its organizations by collecting data to recognize and understand the
points and the structures of transformation process, and also the development of zakat
management organization and programs of Dompet Dhuafa dan BAZNAS. Therefore,
this study uses qualitative approach. The research strategy used is case
studynamedHistorical organization case studies which emphasizes on certain
organizations since the initial growth and Life History, which emphasizes on the events
involving someone’s history. The data collectingtechnique used in this study is (1)
snowball sampling (2) in-depth interview, (3) Socio dan Life History,(4) document
analysis, and (5) questionnaire. This study researches about zakat management
organizations, i.e. DompetDhuafa and BAZNAS.
The study result shows that the zakat management development through the
Islamic sultanate era into the Reform Order show that the dynamics of zakat management
At first managed by Islamic sultanate, then on colonial era managed by local community
and now zakat managed by the synergy of government and local community. The zakat
management transformation process occurred on the transition of the New Order to the
Reform Order, which is started by the foundation of DompetDhuafa, Forum Zakat (FOZ),
the legitimation of Zakat Management Act of 1999 and the establishment of BAZNAS in
2001. The zakat management transformation process can be viewed in 2 dimensions, i.e.

the value transformation in the form of concept renewal/ fikih zakat and the structure
transformation in the form of zakat organizer changes, the relationships between the zakat
executants and the rules.
The zakat management transformation influences the developments of zakat
management organizations and programs of DompetDhuafa and BAZNAS. Nevertheless,
the traditional zakat organizations still exist because several people have clung to it. The
development of DompetDhuafa organization is more elegant and better both in the
structure and strategy, whereas the development of BAZNAS, which is a state-owned
organization, depends on the state regulations (Zakat management Act). In applying the
strategy of people empower and participation through the zakat management programs,
Dompetdhuafa is better than BAZNAS. The people empowerment of DompetDhuafa
through its zakat management programs reaches more locals. This is in step with the
public view which believes more in the credibility of DompetDhuafa rather than
BAZNAS. Therefore, the zakat management transformation which is directed to the
pattern of modern organization and empowerment strategy on the zakat management
programs must stick to the building of the partnerships which reach locals, mosques, and
Islamic boarding schools so that the modern and traditional zakat management can be in a
synergy to optimize the zakat management in Indonesia.
Key Words : Zakat, Zakat management, Transformation of Zakat menagement


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TRANSFORMASI ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT DI
INDONESIA
(STUDI KASUS DOMPET DHUAFA DAN BAZNAS)

SYAIFUL BAHRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji luar komisi pada ujian Tesis: Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MScAgr

Judul Tesis : Transformasi Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Studi Kasus
Dompet Dhuafa dan BAZNAS)
Nama
: Syaiful Bahri
NIM
: I353110141

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Titik Sumarti, MS

Ketua

Dr Ir Saharuddin, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 28 Agustus 2015

Tanggal Lulus: 15 September

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Alhamdulillahhirabbil’alamin penelitian tesis dengan judul Transformasi
Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Studi Kasus Dompet Dhuafa dan
BAZNAS) dapat diselesaikan sebagai syarat mendapat gelar akademik.
Berkat motivasi dan doa yang selalu dipanjatkan Istri (Akmalya
Chairunnisa, anak (Fatih Karim El Bahri), kedua orangtua (Nurhimam, SH dan
Darsih Suprihatin, SH) serta Iim Za’imah (Kakak) yang selalu mendorong dan
menginspirasi penulis dalam menjalani kehidupan dan selama proses belajar
di dunia akademik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Titik
Sumarti, MS dan Bapak Dr. Ir. Saharuddin, MS selaku pembimbing, serta Bapak
Dr Ir Arya H Dharmawan, M.ScAgr yang telah banyak memberi saran. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. KH Didin
Hafidhuddin selaku ketua Umum BAZNAS, Bapak Ahmad Juwaini selaku
Presiden Direktur Dompet Dhuafa, Sdr. Adi selaku Staf CORSEC Dompet
Dhuafa.
Juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan pada:
1. Ketua dan Wakil Ketua Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan,
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MscAgr dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng,
MA beserta jajarannya, atas dorongan, semangat dan layanan

akademiknya yang diberikan.
2. Dekanat Fakutas Ekologi Manusia IPB beserta jajarannya, atas
layanan akademik.
3. Keluarga utan kayu Papa, Mama, Dienel, Uca, Da’Inal, Kak Ulan, Keisha
dan Khansa
4. Teman-teman mahasiswa S2; Mas Amir, Bang Dony, Mas Syahdin,
Risman, Mbak Elok, Uni Nining, Icha, Mbak Melly, Prima, Rai, Riri,
Isma dan Mei, atas diskusi, berbagi cerita dan pengalaman serta
saling dukung selama proses belajar di Sosiologi Pedesaan.
5. Teman-teman BAZNAS dan Dompet Dhuafa Ery, Iman, Kamal, Dimas,
Tika dll
6. Teman-teman Kostan Al Fath Irfan, Aan, Ary, Osi, Ardy, Fajar, Sigit dll
7. Guru dan Teman-Teman Pasca IPB, Pak Eno, Kang Aji Winara,
Budiyoko, Jamal, Pak Siddik, Kang Opik, dll

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Syaiful Bahri


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR MATRIKS

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
5
Kegunaan Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsepsi Zakat, Infak dan Sedekah
6
Organisasi dan Transformasi
8
Pemberdayaan, Partisipasi dan Kemitraan
11
Kerangka Pikir
13
3 METODE PENELITIAN
Pendekatan dan Strategi Penelitian
14
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
14
Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
15
Teknik Pengolahan Data
15
4 PROFIL DOMPET DHUAFA DAN BAZNAS
17
5 TRANSFORMASI PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA
Sejarah Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia
21
Proses Transformasi Pengelolaan Zakat di Indonesia
25
Ringkasan: Dimensi Nilai dan Struktur pada Transformasi
Pengelolaan Zakat di Indonesia
32
6 POLA PENGORGANISASIAN DAN PROGRAM PENGELOLAAN
ZAKAT: DOMPET DHUAFA DAN BAZNAS
Pola Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat Dompet Dhuafa 36
Pola Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat BAZNAS
50
Perbandingan Pengorganisasian dan Program Pengelolaan Zakat
Dompet Dhuafa dan BAZNAS
63
7 HASIL TRANSFORMASI: PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP
ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT
Pandangan Masyarakat mengenai Dompet Dhuafa dan BAZNAS
66
Pandangan Masyarakat mengenai Pentingnya OPZ dikelola Profesional
dengan Strategi Pemberdayaan
68
8 PROSES DAN ARAH TRANSFORMASI PENGELOLAAN ZAKAT DI
INDONESIA
70
9 SIMPULAN DAN SARAN
74
DAFTAR PUSTAKA
75
RIWAYAT HIDUP
79

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Transformasi Nilai Pengelolaan Zakat: Pembaharuan Konsep
Zakat
Tahapan Pendayagunaan Zakat
Transformasi Struktur Pengelolaan Zakat
Ekspansi Organisasi: Pembukaan Kantor Cabang dan Perwakilan
Dompet Dhuafa
Inovasi Organisasi: Pengembangan Jejaring Organ Dompet Dhuafa
Unit Usaha Social Enterprise Dompet Dhuafa
Perkembangan Pola dan Strategi Pengimpunan Dompet Dhuafa
Sumber Informasi Masyarakat mengenai BAZNAS dan Dompet
Dhuafa

33
34
35
39
40
41
43
67

DAFTAR MATRIKS
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Metode Pengumpulan Data
Aspek-Aspek Era Pengelolaan Zakat di Indonesia
Fase-Fase Pendayagunaan Dana ZIS Dompet Dhuafa
Fase Charity dan Kebermanfaatan Program Pendayagunaan
Dompet Dhuafa
Fase Transformasi Program Pendayagunaan Dompet Dhuafa
Fase Advokasi Program Pendayagunaan Dompet Dhuafa
Fokus BAZNAS Pada Tahun 2003-2010
Perkembangan Pola dan Strategi Pendayagunaan BAZNAS
Perbandingan Pengorganisasian Dompet Dhuafa dan BAZNAS
Kepercayaan Masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS
Indikator Pentingnya OPZ Dikelola Profesional dan Modern
Pandangan Masyarakat terhadap Keberadaan OPZ
Perbandingan Pengorganisasian Zakat Tradisional, BAZNAS dan
Dompet Dhuafa

16
31
46
47
48
49
51
60
63
68
69
70
72

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Kerangka Pikir Proses Transformasi Organisasi Pengelola Zakat
Perkembangan Organisasi Dompet Dhuafa Tahun 1994-2014
Perubahan Logo Dompet Dhuafa
Penghimpunan Dana ZIS Dompet Dhuafa Tahun 1999-2004
Penghimpunan Dana ZIS Dompet Dhuafa 2005-2013
Perkembangan Organisasi BAZNAS Tahun 2001-2014
Penggunaan Dana ZIS BAZNAS untuk Operasional Amil
Penghimpunan Dana ZIS BAZNAS Tahun 2001-2003
Penghimpunan Dana ZIS BAZNAS Tahun 2004-2013
Kepercayaan Masyarakat terhadap Dompet Dhuafa dan BAZNAS
Pandangan Masyarakat terhadap OPZ Modern

13
37
41
44
45
50
57
57
58
67
69

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan
Kemiskinan apabila dianalisa secara sosiologis dapat dilihat aspek
kultural yang disebabkan oleh sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya
seseorang atau masyarakat dan aspek struktural yang disebabkan struktur
masyarakat yang tidak seimbang, baik dalam pemilikan ataupun pengelolaan
sumberdaya, ketidakmerataan kesempatan berusaha, ketidaksamaan informasi
atau akses terhadap sumberdaya, ataupun karena adanya kebijakan pemerintah
yang tidak berpihak pada mereka (Sudjanto, Djoko, dan Hamdani 2009). Oleh
karena itu dalam mengatasi kemiskinan kultural dan struktural diperlukan
upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, etos kerja (terutama
masyarakat tidak mampu) dan mewujudkan tatanan ekonomi yang melahirkan
sistem distribusi kekayaan yang adil sehingga mendorong kepedulian orang
kaya terhadap orang miskin.
Zakat, infak dan sedekah (ZIS) merupakan instrumen dalam ajaran
agama Islam untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan karena bertujuan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta menciptakan distribusi
kekayaan yang adil antar orang kaya dan miskin. Esensi ZIS tertanam kuat
pada ajaran agama Islam untuk memerintahkan manusia berbagi
kesejahteraannya satu sama lain, seperti yang tertuang dalam kitab suci Al
Qur’an (Az Zariyat: 19, At Taubah: 103, Ar Rum: 39) bahwa zakat, infak dan
sedekah membersihkan harta dengan memberikan kepada masyarakat miskin
sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu zakat dapat
dijadikan salah satu alternatif dalam menyelesaikan kemiskinan di Indonesia.
Apalagi ZIS merupakan sumber dana yang tidak akan pernah habis sehingga
dapat menjadi modal dalam membiayai berbagai program dalam
menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Selama masyarakat yang beragama
Islam memiliki kesadaran berzakat, infak, sedekah dan selama dana tersebut
dikelola dengan baik maka dana zakat akan selalu ada sehingga dapat
bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan dana zakat yang pada awalnya hanya menggunakan
konsep charity seperti pembangunan fasilitas fisik peribadatan, pembiayaan
penyiaran dan pendidikan agama seperti masjid, sekolah, rumah sakit dan
asrama-asrama panti (Masudi, 1991 dan Miftah, 2005 dalam Malik, 2010)
berkembang menjadi program yang lebih produktif dan inovatif dengan
menggunakan strategi pemberdayaan sehingga lebih efektif dalam
menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Dari sinilah baik pengelolaan zakat
maupun organisasi pengelola zakat yang menggunakan pendekatan strategi
pemberdayaan menjadi booming dan terkenal karena mulai dirasakan
pengaruhnya oleh masyarakat dan dapat berkontribusi lebih besar dan
signifikan dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia.
Pengelolaan zakat, infak dan sedekah di Indonesia telah ada semenjak
Islam masuk di Indonesia, tetapi zakat masih dikelola secara lokal, belum
terorganisir, terbatas dan kurang teratur. Masing-masing individu
melaksanakan kewajiban zakat sesuai dengan pengetahuannya yang
dimilikinya masing-masing. Pemberi zakat (muzakki) menyerahkan zakatnya

2
kepada orang-orang tertentu, seperti para penghulu, kyai, guru ngaji, ulama
setempat tanpa melihat kelayakan mereka dalam menerima zakat (Nuskhi,
1995). Namun penggunannya bukan hanya untuk mustahik tetapi dominan
digunakan untuk penunjang hidup para pengumpul zakatnya (Steenbrink
dalam Malik 2010). Selain itu banyak masyarakat yang berkelebihan harta
yang belum menyisihkan hartanya untuk zakat, infak dan sedekah karena
kurang memiliki kesadaran, tidak memahami esensi kewajiban dan manfaat
tentang zakat, infak, dan sedekah.
Sejak reformasi dan berlakunya otonomi daerah partisipasi masyarakat
dalam berbagai sektor kehidupan, khususnya di bidang politik meningkat
tajam sehingga pemerintah sadar bahwa pendekatan yang top-down dan
sentralistik dalam pembangunan dan penanggulangan kemiskinan tidak
efektif. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan dan
pembangunan fisik memicu Friedman (1992) dalam mengkonsepsikan dua
pergerakan alternatif, yaitu pembangunan tidak hanya sekedar berfokus pada
pertumbuhan ekonomi demi kepentingan manusia dan terdapat batas-batas
yang perlu diperhatikan dalam eksploitasi sumber daya alam dalam
mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Pemikiran ulang doktrin-doktrin
tersebut yang memunculkan suatu solusi alternatif yang dikenal sebagai
pemberdayaan masyarakat yang basisnya adalah partisipasi dari tiap
masyarakat sehingga perbaikan kondisi kehidupan masyarakat dapat terpenuhi
atas keberdayaan masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan definise Ife (1995)
mengenai pemberdayaan masyarakat, yaitu strategi/ upaya pemberian atau
peningkatan kekuasaan kepada masyarakat untuk dapat berdaya, berinisiatif
dan berpartisipasi aktif.
Munculnya pemberdayaan masyarakat sebagai alternatif pembangunan
membuka peluang lembaga-lembaga non pemerintah atau yang biasa disebut
lembaga swadaya masyarakat untuk berperan serta dan mengambil bagian di
dalamnya. Organisasi pengelola zakat, semenjak reformasi ikut menerapkan
pemberdayaan masyarakat melalui program pengelolaan zakatnya. Selain itu
organisasi pengelola zakat juga menerapkan prinsip pengorganisasian
modern. Hal ini menurut Sudewo (2012) di awali semenjak lahirnya Dompet
Dhuafa pada tahun 1993, yang menjadi pioneer mengelola zakat
menggunakan prinsip organisasi modern dan strategi pemberdayaan pada
program pengelolaan zakat hingga disahkannya UU pengelola Zakat Tahun
1999 yang melahirkan BAZNAS pada tahun 2001. Setelah itu mulai lahir dan
berkembang berbagai organisasi pengelola zakat modern yang menggunakan
strategi pemberdayaan, seperti Rumah Zakat (1998), PKPU (1999), DPU DT
(1999) dan keberadaan lembaga tersebut semakin diperkuat pasca
disahkannya UU pengelola zakat tahun 1999.
Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa pengelolaan zakat
berkontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat, yaitu penelitian Minarti
dan Haryanto (2010) mengenai Pemberdayaan Masyarakat Perajin Gula
Kelapa di Kabupaten Pacitan yang menggunakan dana zakat melalui
pendekatan kelompok berfokus pada pembiayaan mikro, pelatihan dan
membangun jaringan antara masyarakat dengan pemerintah, dunia usaha,
lembaga keuangan dan organisasi masyarakat lainnya. Hasilnya adalah
lahirnya konstruk kesadaran baru bahwa mereka mampu lepas dari

3
kemiskinan sehingga program yang diberikan dapat peningkatan pendapatan
masyarakat dan pertumbuhan aset produktif. Kemudian penelitian yang
dilakukan Effendi dan Meylani (2010) mengenai pendayagunaan ZIS sebagai
modal kerja melalui program Ikhtiar yang berbasis komunitas dengan
mekanisme kelompok untuk kaum perempuan berpenghasilan rendah dengan
pelatihan keuangan mikro, pengelolaan ekonomi keluarga, kewirausahaan,
koperasi dan pendidikan kewarganegaraan serta pendayagunaan dana-dana
ZIS untuk modal kerja sehingga masyarakat yang mengikuti program tersebut
pendapatannya meningkat.
Oleh karena itu perkembangan organisasi pengelola zakat modern
yang menggunakan strategi pemberdayaan diperlukan sebagai alternatif solusi
dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Indonesia. Diantara
berbagai organisasi pengelola zakat yang ada, Dompet Dhuafa dan BAZNAS
merupakan representasi dari organisasi pengelola zakat modern yang
menggunakan strategi pemberdayaan pada program pengelolaan zakatnya.
Hal ini dikarenakan peran Dompet Dhuafa sebagai pioneer organisasi
pengelola zakat modern dan BAZNAS sebagai wakil resmi pemerintah dalam
mengelola zakat.
Perumusan Masalah
Apabila kembali pada esensi pengelolaan zakat, infak dan sedekah
pada ajaran Islam yang sebenarnya bahwa makna pengelolaan dana zakat,
infak dan sedekah sebenarnya sangat luas, yaitu diberikan kepada masyarakat
yang miskin sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang. Hal ini dikuatkan
oleh pendapat Qardhawi (1996) zakat, infak dan sedekah bukan sekedar
bantuan untuk sedikit meringankan penderitaan masyarakat miskin, tetapi
zakat memiliki tujuan besar untuk menanggulangi kemiskinan, dengan
pemberian modal kerja dan pelatihan. Kemiskinan harus dicegah dan
ditanggulangi dengan mengelola dana zakat, infak dan sedekah (ZIS) secara
efektif dan multiguna sehingga ZIS dapat berfungsi sebagai “ikan”, “umpan”
sekaligus “kail” bahkan ”sungai” bagi masyarakat miskin berupa program
pemberdayaan fisik, mental, pendidikan dan ketrampilan. Hal ini sejalan
dengan yang dilakukan Rasululullah ketika ada seorang sahabat yang
membutuhkan bantuan ekonomi, Rasulullah memberikan uang untuk membeli
kapak (modal kerja) agar sahabat tersebut dapat mencari nafkah dengan kapak
tersebut (Sudewo, 2012). Jahar (2009) juga menjelaskan bahwa zakat, infak
dan sedekah bertujuan tidak semata-mata melaksanakan kewajiban kebaikan
dengan memberikan sebagian harta yang dimiliki kepada orang-orang miskin
tetapi juga bertujuan untuk memperkuat kesejahteraan masyarakat dengan
menghilangkan kesenjangan yang lebar antara kelompok kaya dan miskin
sebagai cara untuk mewujudkan keadilan sosial. Masalah gap antar kelas
sosial menjadi perhatian utama Islam karena ketimpangan distribusi materi
sebagai penyebab ketidakadilan di masyarakat.
Berkaca pada kebijakan perekonomian dan penanggulangan
kemiskinan di Indonesia yang telah ditetapkan pemerintah terlihat bahwa
pengelolaan zakat, infak dan sedekah belum mendapatkan posisi yang

4
memadai dalam skenario pembangunan nasional (IZDR, 2012). Hal ini
dikarenakan zakat masih dianggap sebelah mata sebagai bagian dari solusi
dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Di Indonesia yang
merupakan negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia memiliki
potensi zakat, infak dan sedekah yang besar. Beberapa studi telah mencoba
mengkalkulasikan potensi zakat secara nasional, yaitu Monzer Kahf (1989)
bahwa potensi zakat nasional pada kisaran 1-2 persen dari total PDB,
kemudian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005)
menyatakan bahwa potensi zakat nasional mencapai angka 19,3 Triliyun
Rupiah sedangkan IMZ pada 2007 merilis prediksi potensi zakat nasional
pada kisaran 27,2 Triliyun (IZDR, 2012).
Studi terbaru yang dilakukan oleh BAZNAS dan Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM IPB) menunjukkan angka yang
lebih besar, yaitu pada tahun 2011 potensi zakat nasional mencapai 3,4 persen
dari PDB atau tidak kurang dari Rp 217 Triliyun, yang terdiri dari potensi
zakat rumah tangga sebesar Rp 82,7 Triliyun, Zakat Industri (perusahaan
swasta dan BUMN) sebesar Rp 117, 29 Triliyun dan Zakat Tabungan sebesar
Rp 17 Triliyun (IZDR 2012). Walaupun pencapaian penghimpunan zakat baru
mencapai 1,7 Triliyun rupiah, belum mencapai 2 persen dari potensi zakat
nasional, kinerja zakat sudah berimplikasi positif terhadap pengentasan
kemiskinan (IZDR, 2012). Secara umum persentase rumah tangga miskin
(penerima zakat) mengalami penurunan sebesar 21,11 persen dan
pendayagunaan zakat oleh OPZ mampu mempercepat pengentasan
kemiskinan 1,9 Tahun dari 7 tahun menjadi 5,1 tahun (IZDR, 2012).
Namun permasalahannya adalah selama ini pengelolaan zakat di
Indonesia dilakukan secara tradisional dengan sistem tatakelola yang lemah,
tidak efektif dan tidak efisien sehingga kurang memberikan dampak yang
berarti dan tujuan zakat tidak tercapai dengan optimal (Malik 2010). Sudewo
(2012) juga menjelaskan bahwa pengelolaan dana ZIS yang tradisional
dianggap kurang efektif dan optimal dalam pengelolaan dana zakat, yaitu
disebabkan oleh:
1. Kepemimpinan yang feodal, tradisional dan berpusat pada ketokohan
2. Pengelolaan zakat yang dianggap sepele, tanpa perencanaan, manajemen
dan pengawasan
3. Struktur organisasi yang tumpang tindih
4. Sumber daya pengelola zakat (amil) yang kurang memiliki kapasitas,
kemampuan dan pengetahuan
5. Lemahnya kreativitas dalam penghimpunan dan pengelolaan dana zakat,
infak dan sedekah
Oleh karena itu diperlukan pengelolaan dana ZIS yang dapat
mendukung tercapainya tujuan zakat dengan optimal, diwujudkan melalui
keberadaan organisasi pengelola zakat yang mampu mengelola dana ZIS
dengan lebih efektif, efisien dan tetap memperhatikan aspek partisipasi
masyarakat pada program pengelolaan zakat. Dalam mewujudkan hal tersebut
diperlukan trasnfromasi pengelolaan zakat yang mengarah pada pengelolaan
dana zis dengan pengorganisasian yang modern dan menggunakan strategi
pemberdayaan pada program pengelolaan zakatnya. Kuntowijoyo (1987)
menjelaskan transformasi sebagai perpindahan atau pergeseran suatu hal

5
ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang terkandung
didalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami
perubahan. Kerangka transformasi adalah struktur dan kultur (nilai).
Sejalan dengan penelitian Sutisna (2010) mengenai Transformasi
organisasi pengelola zakat dan pengelolaanya di Putukerjo di awali dari
kolaborasi tiga stake holder, yaitu Ulama, pemimpin pemerintah desa dan
Golongan Masyarakat Kaya yang bersinergi dan melakukan dialog dengan
masyarakat lewat rembug desa untuk mentransformasi organisasi pengelola
zakat dengan pengelolaan yang terstruktur, profesional, holistik melibatkan
semua pihak serta kreatif dan produktif dalam pendayagunaan dana zakat
melalui BAZIS Putukerjo. Dalam pengumpulan dana zakat, infak dan sedekah
dilakukan secara profesional, masif dan terstruktur melalui penanggung jawab
hingga tingkat RT dan menerapkan sanksi sosial bagi warga yang tidak
membayar zakat sehingga dana yang terkumpul cukup besar. untuk
menjalankan berbagai program. Pendayagunaan zakat, infak dan sedekah
dilakukan profesional, produktif dan kreatif, yaitu dalam bentuk bantuan
bahan pokok (uang maupun makanan), alat ibadah, beasiswa, pembelian
modal produktif (mesin jahit, ternak dll) untuk menciptakan lapangan kerja,
dan modal kerja skala mikro untuk bantuan usaha.
Keberadaan organisasi pengelola zakat modern saat ini tidak lepas dari
adanya transformasi pengelolaan zakat di Indonesia yang terjadi pada tahun
1990-an. Lahirnya Dompet Dhuafa sebagai pioneer organisasi pengelola zakat
modern, dibentuknya Forum Zakat (FOZ), disahkannya UU pengelola zakat
tahun 1999 hingga lahirnya BAZNAS sebagai organisasi pengelola zakat
yang resmi dibentuk pemerintah merupakan rentetan peristiwa yang secara
simultan menjadi proses transformasi pengelolaan zakat. Proses transformasi
pengelolaan zakat menciptakan iklim pengelolaan zakat yang berbeda pada
era reformasi dibandingkan era-era pengelolaan zakat sebelumnya.
Pengelolaan zakat menjadi booming dengan lahirnya berbagai organisasi
pengelola zakat baik di tingkat nasional maupun daerah. Transformasi
pengelolaan zakat selain kaji prosesnya juga di analisis berdasarkan dimensi
struktur dan nilai seperti yang diuraikan Kuntowijoyo. Oleh karena itu
berdasarkan uraian diatas penelitian ini mengkaji Sejauh mana transformasi
pengelolaan zakat dikaji dari dimensi nilai dan struktur mengarah pada
pengorganisasian dan program pengelolaan zakat infak sedekah yang lebih
baik? Oleh karena itu berdasarkan rumusan masalah pada penelitian ini dirinci
melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana proses transformasi pengelolaan zakat di Indonesia?
2. Bagaimana pola pengorganisasi dan program pengelolaan zakat Dompet
Dhuafa dan BAZNAS pasca transformasi?
3. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa,
BAZNAS dan organisasi pengelola zakat yang dikelola secara modern?
Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian yang akan dilakukan, meliputi:
1. Mengkaji proses transformasi pengelolaan zakat di Indonesia

6
2. Mengkaji pola pengorganisasi dan program pengelolaan zakat Dompet
Dhuafa dan BAZNAS pasca transformasi
3. Mengkaji pandangan masyarakat terhadap kredibilitas Dompet Dhuafa,
BAZNAS dan organisasi pengelola zakat yang dikelola secara modern
Kegunaan Penelitian
Secara umum, hasil kajian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi yang penting terhadap praktik pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh organisasi pengelola zakat agar pengelolaan organisasi dan praktik
pengelolaan zakatnya dapat menjadi lebih profesional sehingga tujuan
pengelolaan zakat, yaitu pengentasan kemiskinan dengan instrumen zakat,
infak dan sedekah dapat tercapai. Kemudian untuk pemberi zakat (muzaki)
dapat lebih meningkatkan kontribusinya terhadap organisasi zakat, infak dan
sedekah. Kegunaan eksternal penelitian ini agar akademisi dan berbagai
organisasi organisasi yang mengelola zakat, infak dan sedekah agar bisa
memberikan kontribusi yang lebih besar lagi kepada masyarakat melalui
pengelolaan dana zakat, infak dan sedekah. Selain itu penelitian ini juga
diharapkan berguna sebagai sarana edukasi bagi masyarakat luas agar
bertambah kesadaran dalam menunaikan zakat, infak dan sedekah. Bagi
peneliti, diharapkan kajian ini bermanfaat untuk menambah literatur dan
keilmuan di sosiologi organisasi pada kajian mengenai praktik pengelolaan
zakat, infak dan sedekah dalam strategi pemberdayaan.
Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas penelitian,
adalah mengkaji proses transformasi pengelolaan zakat dari perspektif
sosiologi organisasi dari pengelolaan tradisional ke modern. Transformasi
pengelolaan zakat sendiri dikaji dari transformasi nilai dan struktur. Peneliti
juga membandingkan pengorganisasian dan program pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh Dompet Dhuafa dan BAZNAS.
2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsepsi Zakat, Infak dan Sedekah
Islam sebagai agama yang mengatur kehidupan manusia secara
menyeluruh baik hubungan dengan Allah maupun hubungan antar manusia.
Dalam konteks hubungan antar manusia, Islam mengatur kesejahteraan
umatnya, dengan adanya aturan dalam distribusi kesejahteraan yang adil antar
satu sama lain melalui zakat, infak dan sedekah sehingga manusia bisa hidup
pada taraf hidup yang layak. Esensi zakat, infak dan sedekah tertanam kuat
pada ajaran agama Islam untuk memerintahkan manusia berbagi
kesejahteraannya satu sama lain, seperti yang tertuang dalam kitab suci Al
Qur’an (Az Zariyat: 19, At Taubah: 103, Ar Rum: 39) bahwa zakat

7
membersihkan harta dengan memberikan kepada masyarakat yang miskin
sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang. Zakat yang merupakan Rukun
Islam ketiga mengisyaratkan bahwa zakat menjadi pilar penting dalam
konsepsi Islam sehingga zakat disebut sebagai rukun masyarakat.
Menurut istilah, dalam kitab al-Hâwî, al-Mawardi dalam Yasin
(2011) mendefinisikan zakat dengan nama pengambilan tertentu dari harta
yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan untuk diberikan kepada
golongan tertentu. Hafidhudin (1998) mendefinisikan zakat sebagai bagian
dari harta yang telah memenuhi syarat tertentu, yang diwajibkan oleh Allah
untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan
tertentu pula. Adapun kata infak berasal dari kata Anfaqaa dan sedekah,
sebagian ahli fikih berpendapat bahwa infak adalah segala macam bentuk
pengeluaran (pembelanjaan) untuk suatu kepentingan, baik untuk kepentingan
pribadi, keluarga, maupun yang lainnya (Hafidhudin, 1998). Sementara kata
sedekah adalah segala bentuk pembelanjaan (infak) di jalan Allah. Sedekah,
selain bisa dalam bentuk harta, dapat juga berupa sumbangan tenaga atau
pemikiran, dan bahkan sekadar senyuman.
Seperti yang diuraikan Yasin (2011) bahwa perbedaan zakat dengan
infak dan sedekah terletak pada praktik, hukum, syarat, dan golongan yang
berhak menerima. Pada praktiknya zakat memiliki batasan-batasan, seperti
hukumnya wajib ditunaikan oleh setiap orang yang telah memenuhi syaratsyarat wajib zakat (harta sudah mencapai nisab (nisab merupakan batasan
jumlah tertentu dari kepemilikan harta kita sehingga wajib menunaikan zakat)
dan besarannya telah ditentukan, yaitu 2,5 % dari harta atau penghasilan yang
dimiliki serta perbedaan yang terakhir adalah pada golongan penerimanya
(Yasin, 2011). Zakat mensyaratkan bahwa terdapat delapan golongan yang
berhak menerima zakat, yaitu fakir miskin, amil zakat, mualaf, riqab, garim
(orang yang berhutang), fi sabilillah (yang berjuang di jalan Allah) dan ibnu
sabil (orang yang dalam perjalanan) sedangkan infak dan sedekah tidak
mensyaratkan siapa yang berhak menerimanya.
Pada praktiknya zakat merupakan ibadah sosial yang telah diatur
sedemikian rupa, dari hukum, syarat pemberi dan penerima zakat serta harta
apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Secara umum zakat dibedakan
menjadi empat macam (Yasin 2011), yaitu:
1. Zakat fitrah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim setahun sekali
pada bulan Ramadhan (Puasa), sebesar 3,5 liter beras.
2. Zakat Maal (Harta), sebesar 2,5 persen dari jumlah harta yang dimiliki
apabila telah mencapai nisab (syarat minimal jumlah harta yang dimiliki
untuk berzakat), yang meliputi binatang ternak, harta perniagaan, harta
perusahaan, hasil pertanian, hasil laut, barang tambang, emas, perak dan
properti produktif
3. Zakat profesi, merupakan jenis zakat yang baru berkembang pada masa
kekinian sebagai analogi jumlah harta yang diterima seseorang dalam
setiap bulan/ tahun secara rutin, besarnya sama 2,5 % apabila telah
mencapai nisab
4. Zakat harta yang lain, seperti saham dan rezeki yang tak terduga (undian/
hadiah).

8
Zakat sebagai praktek distribusi kekayaan mempertemukan tiga
kelompok orang yang terlibat, yaitu Amil sebagai pengelola zakat, muzakki
yang berkewajiban membayar zakat dan mustahik sebagai penerima zakat
(Malik, 2010). Oleh karena itulah Dalam Rukun Islam, zakat merupakan
rukun masyarakat karena melibatkan banyak pihak, yaitu dari muzaki, oleh
amil dan untuk mustahik (Hafidhuddin dan Juwaini, 2006). Dalam
memfasilitasi bertemunya ketiga kelompok tersebut diperlukan suatu wadah
yang biasa disebut sebagai Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Organisasi
pengelola zakat memiliki tugas dalam mendistribusikan sebagian harta
muzakki karena memiliki harta yang lebih kepada mustahik karena kondisi
ekonomi yang kekurangan yang dimaknai sebagai suatu bentuk kepedulian
sosial orang kaya terhadap orang miskin (Malik, 2010). Keberadaan amil dan
organisasi pengelola zakat sebagai perantara dalam pengelolaan zakat antara
muzakki dengan mustahik adalah agar pengelolaan zakat, infak dan sedekah
adalah agar dana dikelola secara dana terkumpul masif, obyektif, profesional,
sehingga pemberdayaan dapat berjalan optimal untuk masyarakat yang berhak
mendapatkannya.
Organisasi dan Transformasi
Organisasi didefinisikan Etzioni (1996) merupakan unit sosial (atau
pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk kembali dengan penuh
pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Peradaban
modern hakikatnya sangat bergantung pada organisasi dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal ini terbukti dari kehidupan manusia yang tidak dapat
lepas dari organisasi semenjak ia lahir sampai meninggal. Sementara menurut
Liliweri (2014) mendefinisikan organisasi sebagai entiti sosial yang
mempunyai tujuan tertentu, sistem aktivitasnya terstruktur dan terkoordinasi.
Hakikat organisasi diakui masyarakat dalam melaksanakan seperangkat tugas
dan fungsi melalui kinerja individu dan kelompok yang saling berkaitan baik
secara internal maupun eksternal.
Menurut Etzioni (1996) organisasi modern jauh lebih efektif dan efisien
dalam mencapai tujuannya. Namun organisasi modern memiliki beberepa
permasalahan, yaitu:
1. bertambah luasnya ruang lingkup dan meningkatnya rasionalitas
organisasi mengakibatkan banyak orang bekerja untuk organisasi
seringkali kecewa dan terkesampingkan dari organisasi.
2. Keberadaan organisasi tidak lagi bertujuan mencapai tujuan masyarakat
tetapi justru organisasi mengatur keberadaan masyarakat yang
diisitilahkan etzioni “organisasi menjadi tuan masyarakat”.
3. Dalam mencapai tujuannya organisasi dapat mengalami pergeseran dari
tujuan semula. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu dirasakan
terdapat kebutuhan atau tujuan lain yang lebih cocok, tujuan yang telah
ditetapkan tidak tercapai, tercapai dan ketidaksadaran pemimpin terhadap
penyimpangan organisasi yang terjadi sehingga tujuan organisasi tidak
tercapai.

9
4. Pada organisasi modern permasalahan yang dapat mucul juga adalah
pengukuran efektifitas dan efisiensi yang berlebihan, sehingga organisasi
akan mengalami distorsi dalam mencapai tujuannya.
5. Pada organisasi modern dibutuhkan tenaga profesional yang dapat
mendukung berjalannya organisasi dalam mencapai tujuan tetapi tenaga
profesional dapat membahayakan keutuhan organisasi apabila terlalu
menekankan pada kegiatan utama dalam mencapai tujuan dan
mengabaikan fungsi sekunder, seperti psikologis anggota organisasi dan
kedekatan komunikasi diantara anggota organisasi.
Hal ini merupakan efek samping keberadaan organisasi modern. Oleh karena
itu permasalahan organisasi adalah bagaimana caranya membentuk
pengelompokkan manusia yang serasional mungkin dengan efek samping
seminimal mungkin sehingga mencapai kepuasan maksimum.
Kondisi saat ini dimana kebutuhan manusia bergantung pada organisasi
modern, memungkinkan Negara sebagai organisasi yang memiliki wewenang
yang besar ikut mengatur berbagai organisasi masyarakat. Setiap masyarakat
memiliki kebijakan yang berbeda dalam mengendalikan perekonomian dan
organisasi baik bidang ekonomi maupun lainnya. Interaksi berbagai organisasi
di dalam masyarakat pun pada hakikatnya tidak pernah diatur secara eksklusif
dengan satu pola, karena kebutuhan masyarakat selalu beraneka ragam. Oleh
karena itu Negara seharusnya dapat menahan diri untuk tidak mencampuri
urusan urusan organisasi masyarakat. Dalam kaitannya dengan organisasi
Etzioni berpendapat bahwa organisasi harus melekat pada komunitas, yaitu
adanya kedekatan orang-orang dalam suatu kelompok atau organisasi.
Masyarakat secara mandiri mengelola organisasinya demi memnuhi
kebutuhan hidupnya.
Kajian organisasi dalam dunia akademik menjadi menarik untuk
dikaji/dipelajari karena organisasi menjadi kebutuhan manusia/ masyarakat
dan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam perspektif
keilmuan sosiologi, organisasi banyak dikaji karena sosiologi merupakan ilmu
yang mempelajari interaksi antar manusia, sehingga secara otomatis
organisasi menjadi salah satu bahasan utama dalam kajian sosiologi karena di
dalam organisasi interaksi manusia sangat dinamis. Studi/ kajian organisasi
melalui perspektif sosiologi disebut sebagai sosiologi organisasi. Pada studi
sosiologi organisasi dipelajari interaksi dan tindakan sosial manusia dalam
organisasi maupun diluar organisasi. Oleh karena itu pada studi sosiologi
organisasi dapat digunakan untuk menjelaskan tujuan, maksud, sikap,
pengorganisasian, harapan, kewajiban, identitas dan perasaan individu dalam
organisasi (Geser 1990 dalam Liliweri 2014). Dengan studi sosiologi
organisasi kita dapat pula melihat ragam variasi hubungan lingkungan yang
berpengaruh terhadap perubahan organisasi, seperti perubahan kebudayaan,
nilai, dan norma individu atau masyarakat.
Setiap organisasi memiliki unsur-unsur yang menyusunnya, Liliweri
(2014) lebih rinci menjelaskan yang menjadi konsep inti menyusun
organisasi, yaitu:
1. Aktor/ Partisipan merupakan sentral dari organisasi. Oleh karena
manusia sebagai aktor utama dari organisasi maka organisasi menjadi
dinamis (terus mengalami perubahan).

10
2. Tujuan merupakan arah yang akan dicapai oleh organisasi, biasanya
dirumuskan dalam visi misi.
3. Struktur organisasi, yang meliputi (a) struktur sosial (aktor/pelaku,
posisi sosial melalui relasi dalam organisasi berupa hubungan antar
bagian-bagian organisasi dan menjelaskan posisi (status dan kedudukan/
hierarki) dalam organisasi dan serta struktur normatif berupa nilai,
norma, peranan) dan (b) struktur fisik (bentuk fisik dari organisasi
seperti kantor yang terletak pada letak geografis tertentu)
4. Teknologi, yaitu organisasi dianggap seperti teknologi yang berfungsi
mentransformasikan input kedalam proses sehingga keluar produk hasil
dari organisasi untuk memenuhi kebutuhan lingkungan.
5. Strategi Organisasi adalah metode dan teknik yang serba cepat dan tepat
untuk memperkuat proses kerja organisasi, beberapa jenis strategi, yaitu
a. strategi organisasional (skema kerja pemasaran produk organisasi
untuk berkompetisi dengan produk yang sama),
b. Strategi penguatan (cara untuk merancang struktur yan tepat dalam
membangun jaringan/ memperkuat pengaruh antara organisasi
dengan lingkungan sehingga dapat memenuhi kebutuhan
lingkungan), dan
c. Strategi proses yang terdiri dari external appraisal untuk
menganalisa peluang dan ancaman dari lingkungan terhadap
organisasi dan internal appraisal strategi untuk merumuskan
langkah-langkah berdasarkan SWOT
Konsep inti tersebut merupakan elemen organisasi yang menyusun organisasi.
Perubahan organisasi dipengaruhi dan mempengaruhi kedelapan elemen
tersebut.
Perubahan sosial dalam kaitannya dengan organisasi dan ikatan antara
unsur-unsur masyarakat didefinisikan oleh para ahli sebagai transformasi
dalam struktur sosial/ organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam
perilaku pada waktu tertentu yang mengacu pada variasi hubungan antar
individu, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Macionis,
Ritzer dan farley dalam Lauer 2003). Capra dalam Pujileksono (2009)
menjelaskan bahwa transformasi melibatkan perubahan jaring-jaring
hubungan sosial dan ekologis. Apabila struktur jaring-jaring tersebut diubah,
maka akan terdapat didalamnya sebuah transformasi lembaga sosial, nilainilai dan pemikiran-pemikiran.
Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada
lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soemardjan dan Soeleman, 1974).
Perubahan-perubahan sosial dapat terjadi baik direncanakan maupun tidak.
Perubahan yang direncanakan adalah perubahan-perubahan yang diperkirakan
atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak
mengadakan perubahan di dalam masyarakat (Abdulsyani, 1992). Perubahan
yang tidak direncanakan biasanya berupa perubahan yang tidak dikehendaki
dan terjadi di luar jangkauan masyarakat, karena terjadi di luar perkiraan dan
jangkauan, tidak dikehendaki dan sangat sulit ditebak kapan akan terjadi
(Abdulsyani, 1992).

11
Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kemitraan
Pemberdayaan menurut (Sumodiningrat dalam Erman, 2003)
merupakan upaya meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam memenuhi tuntutan hidup sehari-hari di masa mendatang.
Pemberdayaan bertujuan agar kelompok rentan lemah memiliki akses
terhadap sumber-sumber produktif sehingga dapat memperbaiki
kesejahteraannya, seperti perbaikan ekonomi, perbaikan kesejahteraan sosial
(pendidikan dan kesehatan), dan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan
(Mardikanto, 2010). Sedangkan menurut Suharto (2005) berdasarkan
tujuannya pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras, yaitu:
1. aras mikro (pemberdayaan yang dilakukan secara individu melalui
bimbingan, berupa konseling, stress management, intervensi krisis),
2. aras meso (pemberdayaan dilakukan dalam kelompok sebagai media
intervensi, berupa pendidikan dan dinamika kelompok untuk
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, ketranpilan dan sikap-sikap
sehingga memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya), dan
3. aras makro (berupa perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye
aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat dan manajemen
konflik).
Selanjutnya Suharto (2005) juga berpendapat bahwa pendekatan
pemberdayaan dalam proses pencapaian tujuan pemberdayaan dapat dicapai
dengan:
1. menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
secara optimal,
2. memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat
dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya sehingga
pemberdayaan harus mampu menumbuh kembangkan segenap
kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat
3. melindungi masyarakat agar tidak tertindas kelompok kuat berupa
penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak
menguntungkan rakyat kecil
4. memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu
menjalankan peran dan tugas-tugas kehidupannya
5. memelihara kondisi kondusif agar keseimbangan distribusi kekuasaan
antara berbagai kelompok dalam masyarakat sehingga setiap orang punya
kesempatan yang sama dalam berusaha.
Indikator keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah adanya
partisipasi dari masyarakat dalam setiap program yang dijalankan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Nasdian (2006) bahwa pemberdayaan merupakan
jalan atau sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu
saja dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itulah
pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam
rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses inilah
yang pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat
pada rakyat (Hikmat, 2004). Muhadjir dalam Fauzi (2009) merinci tingkat
partisipasi masyarakat dalam empat jenis, yaitu (1) keterlibatan orang dalam

12
proses pembuatan keputusan, (2) keterlibatan orang dalam pelaksanaan
program dan pengambilan keputusan, (3) keterlibatan orang di dalam
menikmati hasil dari kegiatan dan (4) keterlibatan di dalam evaluasi suatu
hasil dari program yang sudah terlaksana.
Nasdian (2006) juga memaparkan bahwasannya partisipasi dalam
pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal
dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan
secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. Oleh karena itulah
partisipasi dalam perencanaan menjadi dasar bagi munculnya partisipasi
dalam pelaksanaan. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa partisipasi
adalah proses ketika warga komunitas, baik sebagai individu maupun
kelompok sosial, organisasi atau lembaga, mengambil peran dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang
langsung mempengaruhi kehidupan mereka (Sjaifudian dalam Aprinova
2006). Oleh karena itulah tepat jika dikatakan bahwa implementasi program
pemberdayaan berhasil jika keberdayaan masyarakat terwujud dengan
partisipasi mereka dalam setiap tahap kegiatan pemberdayaan tersebut.
Dalam mencapai tujuan pemberdayaan yang optimal diperlukan
gerakan yang sistematis, terstruktur, dan terorganisir. Oleh karena itulah
pemberdayaan tidak dapat dilakukan oleh seorang diri atau hanya sekelompok
orang. Dalam melakukan pemberdayaan dibutuhkan suatu organisasi yang
profesional karena tujuan besar pemberdayaan membutuhkan perencanaan,
pengorganisasian dan pelaksanaan yang tersusun dengan baik dan terencana
dengan sumberdaya yang handal. Sejalan dengan pendapat Etzioni (1996)
bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang terorganisir, kita lahir dalam
organisasi, dididik dan dibesarkan dalam organisasi, kita meluangkan waktu
untuk bekerja, bersenang-senang, dan berdo’a bahkan meninggal serta
dikuburkan atas kerja organisasi. Dalam konteks ini keberadaan organisasi
penting dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.
Strategi pemberdayaan dan partisipasi diaplikasikan melalui
kemitraan/ kolaborasi antara organisasi dengan masyarakat. Kolaborasi
merupakan salah satu bentuk interaksi sosial. Menurut Abdulsyani (1992),
Kolaborasi adalah suatu bentuk proses sosial, dimana didalamnya terdapat
aktivitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan
saling membantu dan saling memahami. Sedangkan menurut Roucek dan
Warren dalam Abdulsyani (1992) mengatakan bahwa kolaborasi berarti
bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama. Pendekatan kolaborasi
atau kemitraan disebut seb