PERSANDINGAN PASAL 72 UU KSEHATAN DAN 12 HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM RAN PEMENUHAN HAK KESPRO PEREMPUAN

MATRIKS I PERSANDINGAN PASAL 72 UU KSEHATAN DAN 12 HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM RAN PEMENUHAN HAK KESPRO PEREMPUAN

12 Hak Kesehatan Reproduksi Pasal 72 (a,b,c,d)

Telaah

Perempuan

Setiap orang berhak

1. Hak Untuk menentukan

Ada perbedaan

prinsip antara UU a. Menjalani

kapan ia akan melahirkan,

Kesehatan dan kehidupan berapa lama jarak tiap anak

berapa jumlah anak &

RAN Pemenuhan reproduksi dan

Hak Kesehatan kehidupan Reproduksi dalam seksual yang

yang dilahirkan.

2. Hak untuk mendapatkan

pemenuhan hak sehat, aman,

pelayanan dengan standar

kesehatan serta bebas dari

tertinggi & perlindungan

reproduksi paksaan

perempuan. Dalam dan/atau

yang berkaitan dengan

fungsi reproduksinya.

UU Kesehatan kekerasan

Hak Untuk mendapatkan

tekanan pada norma agama,

dengan

pasangan yang

komunikasi, informasi & edukasi yang berkaitan

sedangkan pada sah.

RAN Hak b. Menentukan

dengan fungsi

Kesehatan kehidupan

reproduksinya tersebut.

Hak Untuk mendapatkan

Perempuan dan bebas dari

kebebasan & keamanan

tekanan pada

dalam melakukan kegiatan

diskriminasi, standar layanan

paksaan, tertinggi & dan/atau

seksual tanpa paksaan,

diskriminasi dan kekerasan. perlindungan yg kekerasan yang

berkaitan dengan menghormati

5. Hak Untuk mendapatkan

fungsi nilai-nilai luhur

kebebasan dari

penganiayaan & perlakukan reproduksinya. yang tidak

Pada UU Kesehatan merendahkan

buruk termasuk

perlindungan dari

pemenuhan hak martabat

perkosaan, kekerasan,

KIE mengenai manusia sesuai

Kesehatan dengan norma

penyiksaan & pelecehan

Reproduksi ada agama.

seksual.

6. Hak Untuk mendapatkan

tambahan kalimat

140 | Prosiding PKWG Seminar Series

“yang benar & sendiri kapan

c. Menentukan

kebebasan dalam berpikir

dapat dan berapa

tentang fungsi

dipertanggungjawa sering ingin

reproduksinya.

7. bkan”, Sebaliknya bereproduksi

Hak Untuk dilindungi dari

dalam 12 hak

kematian karena kehamilan.

sehat secara Kespro medis serta

perempuan, KIE tidak

8. Hak Mendapat manfaat

berhubungan bertentangan

kemajuan ilmu pengetahuan

dengan hak dengan norma

yang berkaitan dengan

mendapat manfaat agama.

fungsi reproduksinya.

9. Hak Atas kerahasiaan

kemajuan ilmu

pengetahuan yang d. Memperoleh

pribadi berkaitan dengan

berkaitan dengan informasi,

pilihan atas pelayanan &

fungsi edukasi &

reproduksinya. konseling 10. mengenai

kehidupan reproduksinya.

Hak Untuk membangun &

merencanakan keluarga.

Kesehatan Reproduksi yang

11. Hak Untuk bebas dari segala

benar dan dapat

bentuk diskriminasi dalam

dipertanggungja

kehidupan berkeluarga &

wabkan.

kehidupan reproduksinya.

12. Hak Atas kebebasan berkumpul & berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.

Hasil pengamatan terhadap Matriks I tersebut menghasilkan beberapa catatan sebagai berikut:

1. Walaupun perihal kesehatan reproduksi perempuan sudah diakomodasikan dan bahkan banyak diatur dalam Undang- Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan. Namun,

pengaturan dalam Undang-Undang Kesehatan belum sepenuhnya mengakomodasikan 12 hak kesehatan

reproduksi perempuan secara utuh.

Pinky Saptandari | 141

2. Ditemukan ada perbedaan yang sangat mendasar/prinsip antara pengaturan kesehatan repoduksi pada Undang- Undang Kesehatan dengan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan yang dimuat dalam RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan.

3. Beberapa perbedaan prinsip yang ditemukan dalam dua produk kebijakan yang mengatur kesehatan reproduksi yaitu UU Kesehatan dan RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi:

a. Pada Undang-Undang Kesehatan pengaturan kesehatan reproduksi penekanan pada norma agama. Sedangkan pada 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan penekanan pada standar layanan tertinggi &

perlindungan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya;

b. Pada Undang-Undang Kesehatan diatur tentang hak

memperoleh komunikasi informasi dan edukasi (KIE) mengenai Kesehatan Reproduksi yang “benar &

dapat dipertanggungjawabkan”. Sedangkan dalam 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan, KIE tersebut berhubungan dengan hak untuk mendapat manfaat

kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya;

c. Pengaturan tentang kesehatan reproduksi perempuan dalam

belum memasukkan tiga prinsip dasar dalam pemenuhan

Undang-Undang Kesehatan

Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan. Pengaturan kebijakan kesehatan reproduksi belum secara tegas dan jelas memasukkan aturan yang menjamin pemenuhan (to fullfil) hak reproduksi bagi setiap perempuan tanpa melihat umur, asal, etnis, agama, kemampuan fisik dan mental, status warga, status HIV, dan status sosial- ekonomi; menjamin penghargaan (to respect) atas hak

142 | Prosiding PKWG Seminar Series 142 | Prosiding PKWG Seminar Series

d. Pengaturan kesehatan reproduksi pada Undang-Undang Kesehatan terfokus pada upaya melakukan kontrol dan pembatasan terhadap tubuh perempuan. Bentuk kontrol dan pembatasan antara lain dapat dilihat dari pencantuman kata- kata “pasangan yang sah”, serta “ijin dari suami”, serta perumusan kalimat “sesuai dengan norma agama” dan rumusan kalimat yang “benar dan dapat dipertanggungjawabkan”.

e. Pada bagian Penjelasan UU Kesehatan, dicantumkan: asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat. Terdapat kesan yang kuat bahwa penggunaan asas norma agama tersebut merupakan asas yang melakukan kontrol dan pembatasan atas nama agama, dan tidak ditujukan untuk mencapai standar layanan tertinggi dan perlindungan yg berkaitan dengan fungsi reproduksinya sebagaimana tertuang dalam 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan;

Terdapat perkecualian-perkecualian serta ketidak

jelasan peraturan yang dapat dimaknai secara beragam. Sebagaimana dapat dilihat pada:

1. Pasal 72 (a) UU Kesehatan disebutkan bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. Dikatakan

setiap orang berhak, namun ada perkecualian berupa

pembatasan yaitu harus dengan “pasangan yang sah”. Rumusan tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang hak perempuan lajang atau yang tak bersuami untuk menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual

Pinky Saptandari | 143 Pinky Saptandari | 143

“pasangan yang sah”. Apakah hak kesehatan reproduksi dan hak kesehatan seksual tidak akan dipenuhi bila yang

bersangkutan tidak memiliki status suami sah?;

2. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan pengertian: menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah? Aturan tersebut

mengasumsikan

masalahan kesehatan reproduksi adalah permasalahan bagi perempuan yang memiliki suami, bukan permasalahan bagi perempuan

bahwa

lajang atau yang tidak berstatus memiliki suami. Bila asumsi tersebut yang dibangun dan dikonstruksikan dalam sebuah aturan, maka akan terjadi diskriminasi di mana hak mendapat layanan menjadi tidak terbuka bagi siapa saja tanpa kecuali. Karena hanya mereka yang memiliki pasangan sah saja yang mempunyai akses untuk menerima layanan kesehatan reproduksi.

Terdapat kecenderungan pendekatan normatif pada

Undang-Undang Kesehatan khusus ditujukan pada pengaturan kesehatan reproduksi:

1. Rambu-rambu norma agama ditemukan pada hampir semua pengaturan kesehatan reproduksi. Menarik untuk

ditelaah mengapa rumusan kalimat “tidak bertentangan dengan norma agama” tidak dijumpai pada Pasal-Pasal lain, misalnya pada Pasal 152 yang mengatur “Penyakit Menular”. Asas norma agama lebih banyak diterapkan pada

pengaturan kebijakan kesehatan reproduksi dan tidak pada Pasal-pasal yang lain.

2. Dirasakan kurang relevan dan akan menyulitkan bila

urusan tubuh dan kesehatan yang tertuang pada suatu kebijakan kesehatan selalu dihubung-hubungkan dan

diberi rambu-rambu norma agama. Patut diduga akan

144 | Prosiding PKWG Seminar Series 144 | Prosiding PKWG Seminar Series

apabila selalu dibungkus dengan terminologi “sesuai dengan norma agama”. Terlebih-lebih bila karena tekanan

pada norma agama tersebut cenderung mengabaikan pada asas-asas lain yang tidak kalah pentingnya dan lebih komprehensif seperti asas perikemanusiaan, asas perlindungan, ataupun asas gender dan non-diskriminasi.