Prosiding PKWG Seminar Series Kebijakan (1)

PUSAT KAJIAN WANITA DAN GENDER UNIVERSITAS INDONESIA 2015

PROSIDING PKWG SEMINAR SERIES:

Kebijakan Kesehatan dan Pelibatan Komunitas Dalam

Menurunkan AKI/AKB di Indonesia

Editor : Khaerul Umam Noer Desain : Tim PKWG UI Sampul : “Mamalia Betina” oleh Dewi Candraningrum

ISBN 978-602-72924-0-6

Hak cipta seluruh konten Prosiding ini ada di bawah Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia. Meskipun demikian, atas nama kepentingan pendidikan publik dan advokasi kebijakan untuk memajukan hak asasi perempuan, silahkan mengunduh di laman resmi kami dan/atau menggandakan konten Prosiding ini dengan tetap menyebutkan sumbernya. Terima kasih.

Cetakan pertama, Agustus 2015

Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia

Ruang Kajian Gender, Gedung Rektorat UI Lt. 4, Kampus UI Salemba, Jakarta. Tlp/Fax. 021.3907407 pkwg@ui.ac.id/pkwg.ui@gmail.com http://www.pkwg.ui.ac.id FB. PKWG UI / T. @pkwg_UI

KATA PENGANTAR

Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals [MDGs]) yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2000 akan berakhir pada tahun ini. Terdapat delapan poin Tujuan Pembangunan Millenium, yaitu (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim, (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu hamil, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan, dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Kedelapan tujuan tersebut masing-masing memiliki target, ada yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dari segi waktu, perhitungan perbandingan mulai tahun 1990 dan pencapaian diharapkan terjadi pada tahun 2015. Di titik inilah penting untuk dilihat, apakah Indonesia sudah mencapai tujuan MDGs, khususnya untuk poin empat dan lima, yakni pada persoalan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).

Persoalan AKI dan AKB di Indonesia menjadi sangat krusial, sebab AKI/AKB di Indonesia memiliki kecenderungan untuk meningkat di setiap tahunnya. Hingga tahun 2012, AKI/AKB di Indonesia mencapai 359 kasus per 100.000 kelahiran, meningkat tajam dari 228 kasus per 100.000 kelahiran pada 2007. Banyak faktor yang mendorong laju AKI/AKB di Indonesia antara lain: perkawinan di usia terlalu muda atau terlalu tua, terlalu sering melahirkan, keterlambatan dalam mencapai fasilitas melahirkan, keterlambatan dalam asistensi proses kelahiran, ketidaktahuan atas kelahiran yang berisiko, dan lain-lain.

Adalah penting untuk melihat sejauhmana pemerintah, baik pusat maupun daerah memahami betapa krusialnya

Prosiding PKWG Seminar Series | i Prosiding PKWG Seminar Series | i

Persoalannya adalah, bahkan dengan sejumlah program dan kebijakan, ternyata belum mampu menekan laju AKI/AKB di Indonesia. Salah satu akar masalah dari tingginya AKI/AKB di Indonesia adalah upaya untuk menekan AKI/AKB selalu bersifat parsial. Persoalan AKI/AKB hanya dilihat dari sisi pengambil kebijakan, dengan membuat program maupun membangun infrastruktur kesehatan. Untuk menekan laju AKI/AKB, sebagai salah satu prasyarat keberhasilan MDGs dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan komunitas.

Di sisi lain, untuk menurunkan AKI/AKB, sangat penting untuk melibatkan komunitas – termasuk keluarga ibu hamil. Adalah penting pula untuk melihat bagaimana implementasi kebijakan di tingkat lokal, apakah terdapat resistensi dari komunitas, bagaimana merangkul komunitas agar mau terlibat dan bekerja sama, serta bagaimana respon komunitas atas kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Termasuk dalam upaya pelibatan komunitas adalah pemahaman atas konteks kultural masyarakat. Keberadaan dukun beranak misalnya, acapkali disalahkan karena dukun bukan bidan, dan karena ketidakcakapannya dalam membantu persalinan menjadikan tingginya AKI/AKB di desa-desa. Padahal keberadaan para dukun beranak boleh jadi adalah satu-satunya orang yang bisa diminta membantu proses persalinan di desa yang tidak memiliki bidan.

ii | Prosiding PKWG Seminar Series

Penting pula untuk melihat bagaimana pelibatan suami dan keluarga ibu hamil dalam membantu menurunkan AKI/AKB di tingkat lokal. Hal inilah yang paling sering terlupakan, bahwa diujung kebijakan dan upaya komunitas dalam menurunkan AKI/AKB, terdapat ibu hamil yang menjadi sasaran dari kebijakan tersebut. Posisi suami menjadi sangat penting, sebab orang pertama yang mengetahui dan sangat berkepentingan atas keselamatan ibu hamil dan anak yang dilahirkan adalah suami, dengan demikian keberadaan suami

yang “siaga” dan tahu betul mengenai kehamilan dan persalinan adalah salah cara untuk menekan AKI/AKB.

Organisasi non pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil juga merupakan stakeholder yang perlu dirangkul dalam upaya menurunkan AKI/AKB. Keberadaan mereka menjadi penting sebab NGO dan CSO, yang bergerak langsung di tingkat akar rumput, mengetahui betul bagaimana persoalan AKI/AKB di masyarakat. Hanya saja, seringkali pengetahuan yang dimiliki NGO dan CSO kurang didengar dalam proses pengambilan kebijakan untuk menurunkan AKI/AKB.

Berbagai persoalan di atas menjadi sangat krusial ketika kita bicara mengenai pelibatan komunitas dalam menurunkan AKI/AKB di Indonesia, dan untuk menjawab hal itulah Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, bekerja sama dengan Program Studi Kajian Gender (PSKG UI) dan Pusat Riset Gender (PRG-PSKG UI) mengadakan PKWG Seminar

Series #1 dengan topik “KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PELIBATAN KOMUNITAS DALAM MENURUNKAN AKI/AKB DI INDONESIA”.

Buku yang anda pegang saat ini adalah Prosiding dari kegiatan PKWG Seminar Series #1 yang diselenggarakan di Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia pada 11-12 Juni 2015. Prosiding ini dibuat dalam dua versi: versi cetak dan versi digital. Prosiding ini dibagi dalam tiga bagian utama: Bagian Pertama memuat Executive Summary dari PKWG Seminar Series, Bagian Kedua memuat seluruh makalah yang

Prosiding PKWG Seminar Series | iii Prosiding PKWG Seminar Series | iii

Khusus untuk makalah, terdapat tiga narasumber yang tidak membuat makalah khusus, yaitu Prof. Sulistyowati Irianto (UI), Dr. Budi Wahyuni (Komnas Perempuan), dan Rinaldi Ridwan (Rutgers WPF Indonesia). Meskipun demikian, saya memasukkan presentasi ketiganya, bersama dengan narasumber lain dalam Prosiding versi digital. Silahkan mengunduh Prosiding dalam laman resmi saya.

Dalam prosesnya, PKWG Seminar Series tidak akan berhasil tanpa bantuan banyak pihak. Saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Sulistyowati Irianto (Dekan Pascasarjana Multidisiplin UI) yang telah berkenan menjadi tuan rumah, M. Alie Berawi, Ph.D. (Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat UI), Mia Siscawati, Ph.D (Ketua Prodi Kajian Gender), Tim PKWG UI, panitia, para narasumber, sahabat dan undangan yang telah meluangkan waktunya. Secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada MAMPU yang telah memungkinkan terlaksananya PKWG Seminar Series. Saya mohon

kekurangan dalam penyelenggarakan PKWG Seminar Series. Semoga Prosiding ini memberikan manfaat yang seluas-luasnya. Terima kasih.

maaf atas

seluruh

Salam kesetaraan dan keadilan,

Khaerul Umam Noer Ketua Pusat Kajian Wanita dan Gender UI

iv | Prosiding PKWG Seminar Series

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi v

Catatan Pengantar: Hentikan Kematian Ibu Indonesia

Sulistyowati Irianto ix

BAGIAN 1: EXECUTIVE SUMMARY

Executive Summary PKWG Seminar Series #1

BAGIAN 2: PENGALAMAN LAPANGAN Strategi peningkatan kesehatan ibu dan anak

keluarga migran miskin melalui perspektif multidimensi

Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita dan Eniarti Djohan

Peran perempuan komunitas lokal dalam peningkatan kualitas kesehatan dan kesejahteraan keluarga di Kota Surabaya (Studi keterlibatan perempuan dalam Institusi Masyarakat Perkotaan di Kota Surabaya)

Wahyu Krisnanto

Menurunkan AKI dan AKN dengan PERMATA

Fitria Sari

Prosiding PKWG Seminar Series | v

Puskesdes dan apotik desa dalam harapan di tengah AKI nol: Desa Teling & Desa Pinasungkulan-Kec Tombariri-Kab Minahasa, Desa Arakan-Kec Tatapaan-Kab Minahasa Selatan

Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri

Suara dari ladang bawang: kesehatan perempuan, Musrembangdes, dan AKI yang (katanya) menurun. (Pengalaman Brebes)

Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah

Desa siaga, perkawinan dini, dan kerentanan AKI: Pengalaman Sukabumi

Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 107

Medikalisasi tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dan upaya penurunan Angka Kematian Ibu

Pinky Saptandari 133

Program laki-laki peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak

Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 165

Ambigu posisi suami dalam masa reproduksi perempuan dan strategi tokoh pesantren dalam upaya pelibatan laki-laki

Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 187

Membangun forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa sebagai upaya mendukung pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan

vi | Prosiding PKWG Seminar Series vi | Prosiding PKWG Seminar Series

Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari 205

Mengajukan pengetahuan lokal Toraja untuk menghadapi kematian ibu dan bayi

Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo 237

Sinergitas bidan dan dukun beranak: paradoks kearifan lokal dan kebijakan pemerintah dalam menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi

Varinia Pura Damaiyanti 259

BAGIAN 3: DISKUSI

Catatan diskusi PKWG Seminar Series #1 273

NARASUMBER 329

Prosiding PKWG Seminar Series | vii

CATATAN PENGANTAR

Hentikan Kematian Ibu Indonesia

Sulistyowati Irianto

Bila ada 359 orang meninggal bersama karena kecelakan pesawat, bisa dipastikan kehebohan akan melanda dunia. Namun bila 359 orang itu adalah perempuan yang meninggal karena proses kehamilan dan persalinan, tidak banyak orang mempersoalkannya. Di Indonesia, setiap ada 100.000 kelahiran, maka 359 di antaranya berakhir dengan kematian ibu. Penjelasan terhadap tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) sangat kompleks, harus dilakukan secara multidisiplin dan interdisiplin. Persoalan kesehatan berkelindan dengan persoalan ekonomi, kultural, agama dan politik. Penjelasan dari salah satu perspektif saja tidak akan menjelaskan secara mendasar. Kita harus memeriksanya secara seksama misalnya, siapa perempuan yang mengalami kematian yang tidak perlu itu, utamanya dari kelas sosial yang mana?, terjadi dalam konteks kultural yang seperti apa?, dan bagaimanakah hukum dan kebijakan merespon tingginya angka kematian ibu?

Fenomena crash plane ini nampak menunjukkan kurang berhasilnya Indonesia dalam melakukan pembangunan sosial. Sementara, hal itu akan menentukan apakah Indonesia bisa ikut dalam pengalaman menuju kemakmuran bersama

Catatan Pengantar | ix Catatan Pengantar | ix

Di balik capaian pembangunan ekonomi Indonesia yang nampak hebat, terdapat agenda pembangunan manusia yang tertinggal. Ini terindikasi dari Human Development Index kita yaitu nomor 121 di antara 186 negara, dan tidak maksimalnya capaian Millenium Development Goals (MDG ’s), yang menjadi paramater kemajuan bangsa di mata dunia. Kita masih harus berjuang lagi dengan program berikutnya Sustainability Development Goals (SDG’s). Dalam kedua program itu prioritas juga diletakkan untuk pemajuan perempuan dan anak perempuan.

berinvestasi pada pembangunan manusia (perempuan), pemampuan warga negara, pemberdayaan hukum dan sosial, agar orang miskin (terutama di pedesaan) bisa berpartisiapsi dalam pertumbuhan.

Negara

seharusnya

x | Prosiding PKWG Seminar Series

Dalam paradigma pembangunan hukum yang “baru” dinyatakan oleh para ahli bahwa kemiskinan bukanlah persoalan ekonomi semata, tetapi persoalan ketiadaan akses keadilan terutama bagi kelompok yang tidak beruntung dalam masyarakat. Mereka adalah para perempuan, orang miskin dan kelompok minoritas. Pemberantasan kemiskinan adalah juga persoalan bagaimana memberikan akses keadilan. Dalam hal ini menurut saya, akses keadilan adalah persoalan ketiadaan akses bagi kelompok tersebut untuk mendapatkan: (1) hukum dan kebijakan yang memastikan keadilan bagi kelompok rentan dan perempuan; (2) pengetahuan hukum (melek hukum); (3) identitas hukum yang menjadi kunci akses bagi berbagai program kesejahteraan; (4) bantuan dan konsultasi hukum ketika mereka menghadapi kasus hukum yang meminggirkan mereka.

Hari ini ketika kita sudah memasuki usia kemerdekaan ke

70 tahun, kita masih berhadapan dengan ketimpangan ekonomi, kerentanan ketahanan pangan dan enerji, kerusakan lingkungan, belum memadainya akses layanan kesehatan, pendidikan, bantuan hukum dan pemberdayaan organisasi sosial. Meskipun kita adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia, tetapi kita masih (potensial) menghadapi pertikaian antar kelompok agama dan etnis, dan faksi-faksi di kalangan elite. Penyesatan terhadap rakyat atas nama demokrasi, khususnya melalui Pilkada, sangat bisa terjadi mengingat 70% penduduk Indonesia hanya tamatan Sekolah Dasar.

Salah satu pembangunan manusia yang paling kelihatan kegagalannya adalah fenomena tingginya angka kematian ibu. Hal itu berkelindan dengan berbagai persoalan lain, diantaranya adalah perkawinan anak. Oleh karena itu Program Pascasarjana Kajian Gender UI, Pusat Kajian Wanita

Catatan Pengantar | xi Catatan Pengantar | xi

dibagi dalam dua agenda: lokakarya dengan tema “Perkawinan Anak, Moralitas Seksual dan Politik Desentralisasi di Indonesia ” dan PKWG Seminar Series #1 dengan tema

“Kebijakan kesehatan dan pelibatan komunitas dalam menurunkan AKI/AK

B diIndonesia” yang prosidingnya sedang anda baca saat ini.

Banyak hal menarik dalam kegiatan Gender Studies Forum yang dilaksanakan, terutama dengan adanya kaitan yang amat jelas antara perkawinan anak dan tingginya Angka Kematian Ibu. Terdapat fenomena anak-anak perempuan berumur 15-

18 yang dikawinkan karena faktor kemiskinan, dan diperkuat oleh tafsir agama dan budaya filial piety (hormat dan patuh kepada orang tua), ketiadaan pengetahuan soal kesehatan reproduksi. Perkawinan anak potensial menyumbang kepada AKI karena kehamilan usia dini. Selanjutnya perkawinan anak berpotensi menyumbang kepada angka kematian bayi (32/1000 kelahiran); atau melahirkan bayi malnutrisi (4,5

juta/tahun) yang menyebabkan “generasi hilang” bagi bangsa di masa depan.

Selanjutnya bagaimana hukum menempatkan persoalan perempuan dan anak? Sebenarnya terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan bagi perempuan dan anak. Diantaranya adalah Konvensi Hak Anak (ratifikasi melalui Kepres no 36/1990), UU no 35/2014

xii | Prosiding PKWG Seminar Series xii | Prosiding PKWG Seminar Series

Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan oleh lahirnya putusan MK 18/6/2015 yang menolak peninjauan terhadap usia perkawinan anak perempuan 16 tahun untuk dimintakan kenaikan menjadi 18 tahun. Putusan ini tentu saja sangat berimplikasi terhadap adanya legalisasi perkawinan anak; di tengah seruan dunia: “end child marriage”. Putusan ini juga dapat dibaca sebagai terjadinya pengabaian terhadap hak-hak anak perempuan untuk menikmati hak-hak dasarnya terutama untuk bersekolah, dan berkontribusi maksimal terhadap pembangunan bangsa. Di samping itu, hakim tidak mempertimbangkan realitas bahwa Indonesia adalah negara nomor 37 di dunia dan nomor dua di ASEAN setelah Kamboja (BKKBN, 2012), dengan angka perkawinan anak yang tinggi. Satu dari lima anak perempuan telah kawin di bawah umur, atau 11,13 % anak perempuan menikah umur10-15 tahun (Susesnas 2012); dan 32,10 % menikah umur 16-18 tahun (BPS, 2013).

Membangun kesadaran untuk menghentikan lajunya angka kematian ibu yang tinggi, sekaligus juga perkawinan anak, demi masa depan Indonesia yang lebih baik, membutuhkan kesegeraan dan kerja besar dari semua kalangan. Para

Catatan Pengantar | xiii Catatan Pengantar | xiii

Jakarta, 17 Agustus 2015

Sulistyowati Irianto

xiv | Prosiding PKWG Seminar Series

EXECUTIVE SUMMARY PKWG SEMINAR SERIES #1

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia menempati urutan tertinggi di Asia Tenggara yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu target dari Tujuan Pembangunan Millenium atau yang lebih populer dikenal dengan istilah Millenium Development Goals (MDGs). Terdapat delapan tujuan MDGs, dua diantaranya terkait dengan peningkatan kesehatan ibu dan penurunan angka kematian anak. Dalam bidang kesehatan ibu, tujuan lebih dititikberatkan kepada kematian ibu akibat persalinan, dalam hal ini target MDGs untuk angka kematian ibu adalah 120 per 100.000 per kelahiran hidup.

Indonesia belum mampu mencapai target MDGs dalam hal kesehatan ibu. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2012, tercatat kenaikan AKI yang cukup signifikan. Secara nasional, jumlah kematian ibu terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2011 tercatat 5.118 jiwa, tahun 2012 berjumlah 4.985 jiwa, dan tahun 2013 mencapai 5.019 jiwa. Angka tersebut masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015. Artinya, terdapat kenaikan AKI dari 228 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup.

Di Indonesia Pelaksanaan Pembangunan Keluarga seperti yang diusung dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) No. 06/2013 dilakukan sebagai upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu dan anak, meningkatkan gizi

Executive Summary | 1 Executive Summary | 1

keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan sosial, serta mampu bersaing dengan bangsa lain, dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata.

Data Kementerian Kesehatan tahun 2010 menyebutkan tiga faktor utama penyebab AKI: pendarahan, tekanan darah tinggi (eklamsia), dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan. Persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu yang adalah eklamsia (24%), kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Persentase tertinggi ketiga penyebab kematian ibu melahirkan adalah infeksi 11%. Ketiga penyebab tersebut sesungguhnya bisa dicegah jika diketahui sejak dini dengan gejala bengkak, pertambahan berat badan ibu yang berlebihan, hipertensi, dan bercak pendarahan pada trisemester terakhir.

Persoalan AKI terletak pada kualitas hidup perempuan yang rendah. Dalam hal ini adalah rata-rata pendidikan yang rendah, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, penderita anemia pada penduduk usia 15-24 tahun masih tinggi

2 | Prosiding PKWG Seminar Series 2 | Prosiding PKWG Seminar Series

Tingginya AKI di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain: komplikasi yang terjadi pada saat persalinan dan setelah persalinan, kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja, nilai-nilai kultural pernikahan anak yang menyebabkan perempuan mengandung dalam usia yang masih belia, minimnya pengetahuan ibu hamil tentang sistem dan kesehatan reproduksi dan proses kehamilan, masih kuatnya pantangan maupun pengetahuan lokal mengenai kehamilan yang berdampak pada ibu hamil, aturan kultural

yang “membolehkan” ibu hamil tua maupun ibu yang baru melahirkan untuk mengerjakan tugas domestik maupun

ekonomi, keterbatasan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, masih kuatnya posisi dukun beranak, serta minimnya pelibatan laki-laki dalam proses kehamilan dan kelahiran. Sementara itu, tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) disebabkan oleh asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), premature, pneumonia, dan kelainan congenital. Tingginya AKB jelas tidak dapat dilepaskan dari kondisi ibu hamil.

Remaja perempuan sangat rawan terhadap persoalah Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Remaja perempuan seringkali menjadi target dari kekerasan berbasis gender ketika berpacaran, dalam hal ini adalah ajakan untuk melakukan seks pra nikah yang seringkali tidak dapat ditolak oleh perempuan. Kondisi ini menggiring remaja menjadi kelompok yang rawan mengalami KTD bahkan rentan

Executive Summary | 3 Executive Summary | 3

Faktor kultural terkait dengan perkawinan anak yang mendorong usia kehamilan pertama yang sangat muda masih menjadi faktor determinan yang menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu. Kawin muda seringkali diawali dengn kehamilan di waktu pacaran, yang menyebabkan banyak orangtua akhirnya dengan segera menikahkan anaknya. Dalam banyak kasus, perkawinan anak dilaksanakan dengan menggunakan pemalsuan, terutama dengan menambah usia anak sehingga dapat dinikahkan. Bahkan dalam banyak kasus, perkawinan anak dilakukan di bawah tangan sehingga mereka tidak memiliki surat nikah yang menutup akses terhadap kesehatan maupun hak sipil lainnya. Di sisi lain, perkawinan anak menjadi faktor pendorong tingginya angka putus sekolah bagi perempuan, sebab anak perempuan yang menikah umumnya akan keluar dari sekolah. Dengan demikian, terjadi persoalan ganda bagi anak perempuan, bahwa perkawinan anak berimplikasi banyak hal, utamanya mendorong terciptanya pemiskinan bagi perempuan.

Peran suami dalam ikut serta mengelola aktivitas rumah tangga dan membantu ibu hamil masih amat minim. Suami tidak banyak berperan dalam proses kehamilan, melahirkan, maupun pascamelahirkan. Peran suami hanya sebatas mengantar isteri ke tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan. Suami tidak mengetahui hal-hal terkait dengan kehamilan, suami tidak banyak terlibat dalam aktivitas domestik. Tidak dianggapnya perempuan sebagai partner yang setara dalam

4 | Prosiding PKWG Seminar Series 4 | Prosiding PKWG Seminar Series

stress dan cemas karena terancam “kelelakiannya” seringkali melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perempuan

sebagai pihak yang subordinat menjadi rentan menjadi objek pelampiasan perasaan stress dan cemas dari laki-laki, sehingga terjadilah kekerasan terhadap perempuan.

Tingginya AKI juga terkait dengan jumlah fasilitas kesehatan yang masih sangat sedikit dan akses terhadap fasilitas kesehatan. Dirjen Gizi Kesehatan ibu dan Anak (KIA) mencatat bahwa permasalahan ibu hamil saat mencapai fasilitas kesehatan saat persalinan disebabkan 22,8% karena tidak mau pergi sendiri ke faskes, 10,5% disebabkan jarak tempuh fasilitas kesehatan yang jauh . Pemberian gizi seimbang untuk ibu dan bayinya masih kurang, ditambah lagi pengetahuan ibu atas bahaya persalinan juga masih minim. Infrastruktur dipastikan sebagai penyebab utama sulitnya ibu mencari pelayanan kesehatan. Dari hasil Riskesdas 2010 mencatat, bahwa 84% ibu meninggal di Rumah dan Rumah Sakit Rujukan pada jam-jam pertama.

Persoalan krusial lain terkait dengan faktor kultural adalah masih kuatnya kepercayaan terhadap dukun beranak maupun jamu tradisional. Berdasarkan data Riskesdas 2013, Penolong saat persalinan dengan kualifikasi tertinggi dilakukan oleh bidan (68,6%), kemudian oleh dokter (18,5%), lalu non tenaga kesehatan (11,8%). Namun sebanyak 0,8% kelahiran dilakukan tanpa ada penolong, dan hanya 0,3% kelahiran saja yang ditolong oleh perawat. Hal ini ditunjang pula dengan kondisi sosial ekonomi sebagian masyarakat yang masih berada digaris kemiskinan. Selain itu, tidak meratanya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia turut menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan ibu.

Untuk menurunkan AKI dan AKB di Indonesia mutlak dibutuhkan sinergi antara pemerintah - melalui berbagai

Executive Summary | 5 Executive Summary | 5

Dari sisi kebijakan kesehatan, peninjauan ulang atas UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mutlak diperlukan. Walaupun perihal kesehatan reproduksi perempuan sudah diakomodasikan dan bahkan banyak diatur UU tersebut, namun pengaturan dalam UU tersebut belum sepenuhnya mengakomodasikan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan secara utuh sebab ditemukan adanya perbedaan yang sangat mendasar antara pengaturan kesehatan repoduksi dengan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan yang dimuat dalam RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan. Selain persoalan UU yang belum mengakomodasi hak kesehatan reproduksi perempuan, kebijakan kesehatan juga harus didorong untuk mengakomodir kebutuhan dasar perempuan di bidang kesehatan. Dalam hal ini perlu dilakukan intervensi terhadap pembentukan peraturan dan kebijakan pemerintah daerah dalam kerangka memperkuat upaya mewujudkan peningkatan kesehatan dan akses terhadap kesehatan yang akan bermuara pada menurunan AKI dan AKB.

Perlu ada kemauan (political will) penyelenggara pemerintahan, terutama pemerintah daerah dan DPRD untuk membuat kebijakan (bisa dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati dan program/kegiatan SKPD) yang sadar gender. Menjadi sangat penting untuk mempertajam pemahaman atas kompleksitas masalah terkait gender kepada semua instansi Pemerintah Daerah. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program serta kebijakan pemerintah hendaknya berjalan secara transparan, akuntabel dan partisipatif sehingga fungsi dan peran masyarakat berjalan secara efektif.

Desa memainkan peran signifikan dalam membantu upaya penurunan AKI dan AKB. Semangat UU No.6/2014 adalah menempatkan kepala desa bukan sebagai kepanjangan

6 | Prosiding PKWG Seminar Series 6 | Prosiding PKWG Seminar Series

melayani warga masyarakat. Untuk menjaga akuntabilitas maka dibentuklah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai forum komunikasi dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya terutama terkait dengan pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Peningkatan peran BPD sebagai forum komunikasi dan mediasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga, yang memiliki dua keuntungan, yaitu: Pertama, BPD sebagai tempat komunikasi dan informasi dalam perumusan kebijakan di tingkat desa sehingga melalui BPD lah desa dapat membuat berbagai program yang bertujuan untuk menurunkan AKI dan AKB. Kedua, BPD sebagai wadah untuk pengembangan kapasitas kelembagaan berbasis komunitas untuk mewujudkan ketahanan keluarga di desa..

Pentingnya upaya membangun kesadaran kritis perempuan di desa terkait hak-hak kesehatan reproduksi, hak seksual, dan hak-hak berpolitik. Selain itu, penting pula membentuk dan memperkuat basis kelompok perempuan di berbagai wilayah untuk mendorong peningkatan fungsi dan peran perempuan serta terpenuhinya hak-hak perempuan. Dalam konteks UU desa, penguatan posisi perempuan dalam BPD mutlak diperlukan, terutama karena UU mempersyaratkan adanya partisipasi perempuan dalam BPD. Dalam hal ini, keterlibatan perempuan dalam BPD maupun dalam agenda Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) menjadi sangat krusial untuk membawa aspirasi dan kebutuhan perempuan dalam perencanaan pembangunan desa. Selama ini posisi perempuan

hanya sebagai “penggembira” sehingga suara perempuan tidak pernah didengarkan.

dalam

Musrenbangdes

Executive Summary | 7

Kemitraan menjadi kata kunci penting dalam menurunkan AKI dan AKB. Kemitraan ini dapat berupa upaya kerja sama antara komunitas, lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun organisasi masyarakat sipil untuk mencapai tujuan bersama. Beberapa kerja sama kemitraan antarpihak ini cukup berhasil di berbagai wilayah. Di Pasuruan misalnya, muncul gerakan PERMATA (Penyelamatan maternal dan neonatal) sebagai satu kekuatan dari sinergi antara lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas. PERMATA di Kabupaten Pasuruan berusaha menjawab tantangang implementasi kebijakan pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB. PERMATA memahami bahwa tidak perlu menggalang kekuatan lain dengan mencari orang-orang baru untuk terjun dalam isu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Dengan memaksimalkan basis organisasi agama seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah serta organisasi kesehatan

massa NU dan Muhammadiyahmemiliki pembagian hingga desa bahkan dusun. Selain beranggotakan NU dan Muhammadiyah, ada pula organisasi interfaith seperti Persatuan Wanita Katholik, Persatuan Wanita Kristen dan Wanita Hindu Dharma Indonesia Kab. Pasuruan. PERMATA juga melibatkan institusi lain yang fokus pada isu KIA seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI), TP PKK, BKKBN, PKBI hingga media massa sebagai pusat informasi publik seperti Radio Warna dan Suara Pasuruan.

lain.

Kekuatan basis

Contoh lain kelembagaan di tingkat komunitas adalah Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) di Surabaya yang diinisiasikan BKKBN dan bertujuan untuk menahan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Kader IMP adalah seorang pekerja sosial di tingkat komunitas dan bersifat sukarela dan menjadi pelaksana dan pengelola program KB di lapangan. Kader IMP berperan menggantikan tugas Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), di mana kader IMP menjadi mitra PLKB di tingkat komunitas. Dalam konteks penyelenggaraan KB/KS, kader IMP (PPKBK dan Sub PPKBK) bertugas dan bertanggungjawab

8 | Prosiding PKWG Seminar Series 8 | Prosiding PKWG Seminar Series

termasuk pula pemeriksaan dini resiko kehamilan. Kader IMP membuktikan bahwa keterlibatan komunitas menjadi sangat penting, sebab komunitas menjadi tulang punggung bagi terlaksananya target penurunan AKI dan AKB.

kesehatan

reproduksi

Pelibatan laki-laki adalah hal lain yang juga krusial untuk dilakukan. Persoalan keadilan gender, terutama menghentikan siklus kekerasan berbasis gender tidak cukup hanya dilakukan terhadap kelompok perempuan sebagai pihak korban saja, namun juga tenyata penting untuk menjangkau kelompok laki- laki. Untuk memutus siklus kekerasan tersebut, laki-laki dan perempuan harus secara bersama-sama terlibat dalam gerakan perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Khususnya untuk melibatkan laki-laki dalam gerakan kesetaraan dan keadilan gender. Terkait dengan hal ini, penting untuk melihat kemunculan Aliansi Laki-laki Baru maupun kampanye Laki-laki Peduli yang mendorong bagaimana pelibatan laki-laki dalam mencapai kesetaraan dan keadilan. Dalam konteks AKI dan AKB, keterlibatan para suami menjadi sangat penting, terutama untuk melibatkan suami sebagai partner dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, program Keluarga Berencana (KB), dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan utamanya adalah untuk merekonstruksi nilai-nilai kelelakian dan perilaku negatif yang berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan, melibatkan remaja laki-laki dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, melibatkan laki-laki dalam pengasuhan sebagai cara efektif dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, serta melibatkan laki-laki dalam

Executive Summary | 9 Executive Summary | 9

Hal terakhir adalah pemahaman atas konteks-konteks kultural yang ada di masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sehingga tidak aneh jika setiap wilayah di Indonesia memiliki kebudayaannya sendiri, khususnya dalam persoalan AKI dan AKB. Dalam hal ini, persoalan kultural dapat menjadi pisau bermata ganda. Di satu sisi, banyak nilai-nilai kultural yang akomodatif terhadap kebutuhan ibu hamil hingga pascapersalinan. Sesungguhnya ada konteks-konteks kultural yang melarang ibu hamil maupun ibu yang baru melahirkan untuk mengerjakan tugas domestik maupun aktivitas ekonomi. Di Manado misalnya, seorang istri yang akan melahirkan, maka sang suami akan cuti melaut selama tujuh hari, bahkan dapat diperpanjang, dan sepanjang waktu itulah sang suami akan mengerjakan berbagai tugas domestik untuk menjamin keselamatan istri yang akan melahirkan. Dibutuhkan penelitian yang lebih luas yang difokuskan untuk menggali nilai-nilai kultural yang mengakomodasi kebutuhan ibu hamil maupun kesehatan reproduksi secara umum.

Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, ada pula konteks kultural yang dapat membahayakan kesehatan ibu hamil hingga tahap persalinan. Jamu misalnya, jika diracik dengan baik dapat membantu meningkatkan kesehatan ibu hamil maupun membantu proses persalinan dan pascapersalinan. Namun banyak ibu hamil yang mengkonsumsi jamu yang tidak diracik dengan baik, atau pengetahuannya mengenai jamu hanya berdasarkan tuturan masyarakat, yang justru meningkatkan potensi risiko kehamilan.

Dukun beranak juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan dengan seksama. Keberadaan dukun erat

10 | Prosiding PKWG Seminar Series 10 | Prosiding PKWG Seminar Series

Untuk mencapai target penurunan AKI dan AKB, maka pendekatan multidisiplin dan multistakeholder harus menjadi fokus perhatian. Kebijakan kesehatan sercara parsial tidak lagi mencukupi, sebab tanpa pelibatan komunitas dan pemahaman atas konteks kultural masyarakat maka target penurunan AKI dan AKB tidak akan tercapai, terlebih Indonesia akan segera menyongsong Sustainable Development Goals (SDGs). Harapannya dengan melibatkan komunitas dan memahami bagaimana konteks kultural bekerja, Indonesia dapat menurunkan AKI dan AKB secara signifikan.

Executive Summary | 11

Strategi Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak

Keluarga Migran Miskin melalui Perspektif

Multidimensi

Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa,

Fitranita dan Eniarti Djohan 1

Abstrak

Isu kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan isu penting untuk diangkat kepermukaan karena untuk kasus Indonesia, angka kematian ibu (AKI) masih tinggi. Persoalan KIA ini semakin berat dihadapi oleh keluarga migran miskin di perkotaan karena mereka menghadapi keterbatasan akses pada beragam hal, yang pada gilirannya dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup. Salah satu permasalahan AKI ditengerai terkait dengan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan yang belum secara menyeluruh dan adil dapat dinikmati oleh berbagai pihak, meskipun berbagai program pemerintah sudah banyak diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan tersebut, antara lain Askeskin, Jamkesmas, Jamkesda, dan Jampersal maupun program jaminan kesehatan atau yang biasa disebut SJSN. Hasil penelitian P2K-LIPI yang dilakukan di Kota Bandung dan Makassar terhadap penduduk migran miskin (2009-2011, 2014) menunjukkan bahwa masih banyak penduduk migran miskin di perkotaan terkendala dalam mengakses layanan kesehatan yang pada akhirnya akan berdampak pada status kesehatan ibu dan anak yang relative rendah. Berdasarkan hasil kajian tersebut, tulisan ini mengangkat persoalan KIA dengan memfokuskan pada kelompok marjinal perkotaan, yaitu keluarga migran miskin.

1 Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 13

Mengingat kompleksitas dari permasalahan yang ada, tim P2K LIPI menganggap perlunya kebijakan integratif dalam penanganan dan kerjasama lintas sektoral. Oleh karena itu, tulisan ini juga memaparkan model kebijakan komprehensif terkait dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak.

Kata kunci: kesehatan ibu dan anak, model kebijakan komprehensif, migran, kemiskinan, perkotaan

Pendahuluan

Tema kesehatan ibu dan anak pada keluarga miskin di perkotaan merupakan isu penting untuk terus diangkat, karena angka kematian ibu (AKI) yang merupakan salah satu indikator kesehatan ibu dan anak masih tetap tinggi meskipun sudah banyak intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Masih tingginya AKI di Indonesia, di satu sisi menunjukkan status kesehatan ibu dan anak yang kurang baik dan di sisi lain menunjukkan

modal manusia yang rendah untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas. Dengan kondisi tersebut tentunya tidak mudah memenuhi target MDGs terkait dengan tujuan ke 5 tentang penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Berbagai program pemerintah pada dasarnya sudah banyak diimplementasikan, antara lain melalui pemberlakuan Askeskin, Jamkesmas, Jamkesda, dan Jampersal. Bahkan payung hukum untuk pelaksanaannya sudah ada, yakni UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang di dalamnya termasuk jaminan kesehatan. Namun demikian, program-program tersebut nampaknya belum sepenuhnya menjangkau seluruh segmen penduduk miskin di perkotaan.

Hasil penelitian P2K-LIPI (2009-2011) di Kota Bandung dan Makassar menunjukkan bahwa pemanfaatan layanan kesehatan di tingkat Puskesmas dan jaringan nya oleh

14 | Prosiding PKWG Seminar Series 14 | Prosiding PKWG Seminar Series

untuk menyebutkan kelompok penduduk tersebut adalah ‘the unreached’). Ditengarai salah satu faktor penghambat adalah

persoalan aksesibilitas

pelayanan kesehatan. Kemampuan finansial menjadi faktor dominan yang mempengaruhi persoalan aksesibilitas penduduk migran miskin

pada

tersebut. Kelompok migran miskin belum mendapatkan manfaat dari program-program tersebut. Adanya persoalan administrasi kependudukan menyebabkan mereka luput menjadi target sasaran program jaminan kesehatan yang ditujukan untuk orang miskin. Padahal, sebagian besar dari migran miskin di perkotaan tersebut harus membiayai pengobatan dari sumber penghasilan mereka sendiri (out-of pocket) yang juga terbatas. Beberapa kasus menunjukkan adanya penghentian pengobatan karena ketidakmampuan dalam membiayai pengobatan mereka. Kemungkinan hal ini juga membawa implikasi pada kondisi kesehatan ibu dan anak dari keluarga migran miskin di perkotaan.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan model kebijakan komprehensif terkait dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Dengan kompleksnya persoalan yang muncul maka perlu ada kebijakan integratif dalam penanganannya dan kerjasama lintas sektoral. Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian tim kompetitif kesehatan P2K LIPI, yang melakukan penelitian pada kurun waktu 2009- 2011, 2014 di dua wilayah perkotaan, yaitu Kota Makassar (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kota Bandung (Provinsi Jawa Barat). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kuantitatif dan kualitatif. Sebelum masuk kepemaparan model kebijakan, beberapa isu yang dianggap menonjol akan dikemukakan terlebih dulu untuk memberikan gambaran mengapa kondisi kesehatan ibu dan anak belum menunjukkan gambaran yang menggembirakan.

Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 15

Rendahnya pemanfaatan layanan kesehatan dasar (puskesmas & jejaringnya)

Relatif rendahnya kondisi kesehatan ibu dan anak dari keluarga miskin terekam dari hasil penelitian P2K LIPI di Kota Bandung dan Makassar tersebut yang diindikasikan dengan rendahnya cakupan pemeriksaan kehamilan di tingkat puskesmas. Kasus kota Bandung memperlihatkan bahwa pada tahun 2010 cakupan pemeriksaan kehamilan di puskesmas hanya mencapai angka 79.55 % dari target 100 %, merosot dari tahun 2009 yang mencapai angka 92.47 %; demikian pula dengan rendahnya nilai prosentase kumulatif persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Linakes) di tingkat dasar. Berdasarkan laporan bulanan puskesmas tahun 2010, Linakes baru mencapai 38.18 % dari target 100 % (PPK LIPI, 2009). Fenomena yang sama juga ditemukan pada kasus di Makassar dimana pemanfaatan atas layanan kesehatan dasar masih relative rendah di kalangan migran miskin. Hasil kajian di Makassar misalnya menunjukkan bahwa pemanfaatan puskesmas oleh migran baru sekitar 40 %. Kasus kota Bandung dan Makassar juga memperlihatkan masih tingginya penolong persalinan dengan dukun (Dinkes Kota Bandung 2011).

Beberapa faktor yang kemungkinan membuat rendah dan menurunnya angka cakupan pemeriksaan ibu hamil di puskesmas tahun 2010 tersebut, antara lain seperti yang ditemukan dari hasil FGD dengan para ibu-ibu di Makassar, ketika ditanyakan pengalaman mereka sewaktu hamil, ternyata tidak semua ibu rajin memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan (dokter maupun perawat/bidan). Ada beberapa ibu (tidak banyak) yang bahkan tidak pernah memeriksakan kehamilannya.Alasan yang dikemukakan terkait dengan keputusannya tidak memeriksakan kehamilannya, sangat ‘sepele’ yaitu malas. Alasan lain lagi “malu” karena merasa sudah tua namun masih mengandung

lagi. Kasus yang sama juga ditemukan di Bandung. Meskipun

16 | Prosiding PKWG Seminar Series 16 | Prosiding PKWG Seminar Series

kandungannya dengan petugas kesehatan.Padahal menurut beberapa kader posyandu setiap saat sudah diinformasikan tentang waktu pemeriksaan kehamilan di Posyandu . Faktor lain penyebab terjadinya hal tersebut terkait dengan sistem pendeteksian dan pencatatan di puskesmas yang kurang terkoordinasi. Pihak Puskesmas cenderung hanya mencatat pasien-pasien yang datang ke puskesmasnya saja, sementara ada kemungkinan klien/user memanfaatkan puskesmas di luar wilayah sehingga tidak terdeteksi.

Adanya jaminan kesehatan ternyata tidak secara langsung meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat miskin. Data menunjukkan masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) di Puskesmas terjadi di Kota Bandung. Berdasarkan data Laporan Tahunan Kegiatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kota Bandung tahun 2010 diketahui bahwa rata-rata kunjungan masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan tahun 2010 masih jauh dari target (utilisasi rate) yang harus dicapai tiap bulannya yaitu 15 persen. Hasil analisa Dinas Kesehatan Kota Bandung terhadap kurangnya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya manusia dan sarana yang ada di Puskesmas terutama dari segi pencatatan dan pelaporan. Selain itu, kegiatan Puskesmas masih terfokus pada pelayanan dalam gedung serta kekurangmampuan petugas kesehatan untuk mengakses langsung masyarakat miskin misalnya dengan melakukan kegiatan perawatan individu, keluarga, dan masyarakat lainnya yang harus dilaksanakan di luar gedung.

Beban biaya kesehatan pada pemerintah

Pembebasan biaya kesehatan bagi seluruh penduduk di suatu wilayah bukanlah suatu kebijakan yang efektif karena akan membebani negara terutama bagi negara-negara

Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 17 Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 17

Program pelayanan kesehatan yang serba gratis akan membuat masyarakat kurang peduli terhadap aspek promotif dan preventif karena asumsinya kalau sakit semua biaya pengobatan akan ditanggung pemerintah.Terkait dengan pembiayaan kesehatan, sebaiknya pembiayaan kesehatan tidak sepenuhnya dibebankan pada pemerintah. Sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Naional (SJSN) No 40 tahun 2004, penduduk dapat berkontribusi dalam pembiayaan kesehatan tergantung pada kemampuan masing- masing. Pengikutsertaan penduduk dalam pembiayaan kesehatan dapat membantu pemerintah untuk mengalihkan biaya yang selama ini digunakan untuk pembiayaan kesehatan pada kegiatan pembangunan di bidang lainnya. Selain dari diri pribadi dan pemerintah, pembiayaan kesehatan juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga atau paguyuban-paguyuban yang telah ada di masyarakat. Hasil studi di Kota Makassar menunjukkan bahwa migran yang berasal dari berbagai daerah mempunyai kelompok-kelompok atau perkumpulan- perkumpulan menurut daerah asalnya. Biasanya, setiap perkumpulan tersebut menarik iuran dari anggotanya. Salah satu kegunaan dari iuran tersebut adalah memberikan bantuan biaya pengobatan pada anggotanya apabila menderita sakit. Selain itu, kelembagaan sosial masyarakat lainnya

18 | Prosiding PKWG Seminar Series 18 | Prosiding PKWG Seminar Series

suatu ‘sosial marketing’ untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya jaminan pemeliharaan kesehatan bagi diri dan keluarganya.

Belum tercakupnya migran miskin dalam kepesertaan

program jaminan kesehatan

Sebagian rumah tangga miskin tidak dapat terdata ke dalam BPJS Kota Bandung, karena tidak memiliki identitas kependudukan Kota Bandung. hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat sedikitnya 200 anggota rumah tangga migran miskin dan hampir miskin di Kota Bandung dan 400 rumah tangga di Kota Makassar yang tidak tercakup dalam jaminan kesehatan yang diberikan oleh kedua kota tersebut. Fenomena ini antara lain juga disebabkan masih banyak warga yang tergolong berada ‘ditengah- tengah’ yaitu untuk dikatakan mampu mereka tidak termasuk tapi untuk dikatakan miskin juga tidak tepat, tapi mereka sangat butuh bantuan keringanan dalam pembiayaan kesehatan. Namun mereka luput dalam pendataan kemiskinan karena apabila berdasarkan indikator kemiskinan yang 14 indikator, mereka luput dalam pendataan karena factor kepemilikan kendaraan bermotor. Padahal kepemilikan kendaraan bermotor tersebutpun ‘sangat dipaksakan untuk kebutuhan berusaha. Ada juga kasus warga yang tidak terdata sebagai warga miskin karena berdasarkan rumah/tempat tinggal termasuk layak huni, padahal warga tersebut hanya penunggu rumah saja. Sehingga dalam pendataan perlu melibatkan warga setempat/local yang memahami kondisi wilayah.

Selain itu, permasalahan yang dapat membuat warga masyarakat tidak antusias dengan skema BPJS ini adalah belum semua orang paham dengan skema BPJS Kesehatan.

Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 19

Sosialisasi tentang BPJS Kesehatan pada dasarnya sudah dilaksanakan namun kendalanya adalah tidak semua sosialisasi bisa dilaksanakan karena tidak terjadwal.

Kerangka Analisa Kebijakan