Apakah Sekolah itu Candu?
Apakah Sekolah itu Candu?
Di tengah berkecamuknya perdebatan tentang UAN, RSBI, penilaian kerja guru, dan korupsi dana BOS, sekolah tetap dipandang sebagai institusi yang paling berhak menyelenggarakan pendidikan. Dari berbagai permasalahan yang terdapat pada sekolah di negeri ini, sekolah tetap dianggap tempat sakral yang bisa memberi gelar dan izasah, bak Tuhan yang bisa memberi gelar nabi dan rasul. Hal ini, terlihat dari antusiasme masyarakat untuk tetap menyekolahkan anak-anak mereka, dari tingkat playgroup sampai pos doktoral. Dilihat dari fenomena ini, apakah benar yang dikatakan Ivan Illich, bahwa sekolah adalah candu? Dan seperti candu pada umumnya, ia membuat ketagihan serta ia adalah sebuah wabah yang harus dimusnahkan?
Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan di Indonesia tengah dirundung masalah yang tak kunjung usai, baik permasalahan system pendidikan, pendanaan, kurikulum, tenaga pengajar dan sebagainya. Dengan diberlakukannya UU sisdiknas, titik terang dalam pendidikan Indonesia belum juga muncul. Kurikulum yang berubah- ubah pun menambah kecarut-marutan pendidikan. Selain itu, permasalahan guru honorer yang digaji secara tidak manusiawi dan berbagai kasus korupsi dalam dunia pendidikan membuat pendidikan kita benar-benar terpuruk.
Kerterpurukan dunia pendidikan di Indonesia inilah yang membuat banyak aktifis dan pemikir pendidikan memberikan kritikannya. Ada dua pendapat utama dalam memandang sistem sekolah dan keterpurukan pendidikan Indonesia. Pertama, pemikir pendidikan yang berpendapat bahwa sekolah yang cenderung dipandang sebagai institusi utama pendidikan perlu dihapuskan. Pandangan ini dianut oleh beberapa pemikir pendidikan, salah satunya Ivan Illich dengan bukunya “ deschooling society” atau masyarakat tanpa sekolah. Kedua, banyak pemikir pendidikan Indonesia yang berpandangan bahwa sistem sekolah masih diperlukan dan yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem tersebut sehingga lebih humanis, efektif dan memerdekakan.
Sekolah tetap adalah candu
Pemikir dan aktifis pendidikan ala Ivan Illich dengan konsep masyarakat tanpa sekolah mengusung sebuah masyarakat yang terlepas dari bayang-bayang otoritas dan kekuasaan sekolah. Sekolah dipandang sebuah lembaga yang tak jauh berbahaya dari pabrik senjata yang hanya memproduksi siswa yang akan takluk dan tunduk pada kapitalis. Selain itu, hak istimewa sekolah yang bisa memberikan ijazah dipandang telah menyingkirkan para ahli yang memiliki kemampuan namun tidak berijazah. Dengan menghapus sistem sekolah, diharapkan masyarakat membentuk jejaring pendidikan (education web) dimana setiap orang bisa saling belajar dan mengajar tanpa membedakan umur, status dan golongan. Dengan jejaring ini, setiap orang yang memiliki minat yang sama bisa saling belajar tanpa dibatasi ruang kelas.
Sekolah juga dipandang sebagai alat kapitalis untuk bisa memenuhi kepentingannya. Di rung-ruang kelas, para siswa diajarkan bagaimana menghafal dan diajarkan keterampilan tertentu, namun keterampilan dan pengetahuan itu tidak bermakna bagi siswa. Sehingga proses pendidikan yang di sekolah hanya sebuah transfer of knowledge saja. Siswa tidak diajarkan bagaimana menjadi diri mereka sendiri, dan bagaimana menjadi manusia yang merdeka. Singkatnya sekolah membuat siswa bak robot yang mekanis. Maka, robot-robot itulah yang akan menjadi pelayan sang kapitalis. Mereka menjadi buruh-buruh di pabrik, staf di kantor dan pekerja yang biasanya hanya patuh pada majikan.
Sekolah dengan segala hak istimewa tersebut membuat institusi ini hanya menjadi racun dan candu di tengah-tengah masyarakat. Sekolah seakan menjadi agen kapitalis yang menyediakan buruh terampil yang murah dan mengurung akses pendidikan sehingga tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Sekolah adalah panacea (obat), walau terkadang pahit
Di lain sisi, banyak pemikir pendidikan Indonesia merasa bahwa konsep masyarakat tanpa sekolah tidak lah cocok diterapkan di Indonesia, karena konsep itu sangat utopis dan bisa menimbulkan permasalahan baru baik proses menuju ke situ maupun ketika konsep tersebut sudah berjalan. Konsep sekolah dalam masyarakat Indonesia sudah sangat mengakar dan tidak bisa dipisahkan. Para pendiri bangsa dan para pemikir penting di Indonesia yang memberikan sumbangsihnya bagi bangsa ini adalah insan yang dididik dengan sistem pendidikan sekolah. Sebagai mana buruknya sekolah masih tetap memiliki nilai positif Di lain sisi, banyak pemikir pendidikan Indonesia merasa bahwa konsep masyarakat tanpa sekolah tidak lah cocok diterapkan di Indonesia, karena konsep itu sangat utopis dan bisa menimbulkan permasalahan baru baik proses menuju ke situ maupun ketika konsep tersebut sudah berjalan. Konsep sekolah dalam masyarakat Indonesia sudah sangat mengakar dan tidak bisa dipisahkan. Para pendiri bangsa dan para pemikir penting di Indonesia yang memberikan sumbangsihnya bagi bangsa ini adalah insan yang dididik dengan sistem pendidikan sekolah. Sebagai mana buruknya sekolah masih tetap memiliki nilai positif
Perbaikan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki pendidikan Indonesia harus di banyak lini, baik filosofi dasar pendidikan, system pendidikan nasional, kurikulum sekolah, anggaran dana maupun pelaksana pendidikan. Dengan pendanaan yang cukup, kurikulum yang sesuai, pengajaran yang humanis, staf administrasi yang handal, guru yang professional maka akan membentuk institusi yang benar- benar bisa mencerdaskan. Dengan perbaikan dalam segala level, maka diharapkan sekolah menjadi tempat yang sesuai untuk mencetak generasi muda yang bisa memajukan bangsa.
Kedua konsep ini, baik masyarakat tanpa sekolah atau revitalisasi sekolah sama-sama memiliki nilai negatif dan positif. Tak bisa dipungkiri bahwa revitalisasi sekolah akan lebih konstruktif ketimbang menghilangkan sistem sekolah yang sudah mengakar dan menghasilkan dampak positif. Dengan revitalisasi diharapkan kerja yang sudah separuh jalan bisa dilanjutkan tanpa memulai kerja dari awal lagi. Yang perlu dilakukan adalah mempertahankan yang sudah baik dan memperbaiki bagian yang perlu diperbaharui. Di lain sisi, jika diaplikasikan memang pendidikan tanpa sekolah bisa menghilangkan permasalahan, yakni menghilangkan sistem sekolah yang bermasalah, namun proses untuk menuju sterilisasi masyarakat dari sekolah akan menuai Kedua konsep ini, baik masyarakat tanpa sekolah atau revitalisasi sekolah sama-sama memiliki nilai negatif dan positif. Tak bisa dipungkiri bahwa revitalisasi sekolah akan lebih konstruktif ketimbang menghilangkan sistem sekolah yang sudah mengakar dan menghasilkan dampak positif. Dengan revitalisasi diharapkan kerja yang sudah separuh jalan bisa dilanjutkan tanpa memulai kerja dari awal lagi. Yang perlu dilakukan adalah mempertahankan yang sudah baik dan memperbaiki bagian yang perlu diperbaharui. Di lain sisi, jika diaplikasikan memang pendidikan tanpa sekolah bisa menghilangkan permasalahan, yakni menghilangkan sistem sekolah yang bermasalah, namun proses untuk menuju sterilisasi masyarakat dari sekolah akan menuai
Dialog dan menghargai kehadiran “The Other”
Hemat saya, narasi besar yang diusung kedua paham pendidikan tersebut adalah sebuah pemikiran yang mereduksi masyarakat dan menggeneralisir solusi. Sistem sekolah mengkalim walaupun tak secara langsung menjadikan dirinya institusi terpenting dalam proses pendidikan dan bentuk sistem pendidikan yang bisa diimplementasikan di semua wilayah. Padahal, setiap masyarakat memiliki adat dan keunikannya masing-masing. Sebagai contoh, suku anak dalam di bukit Dua belas Jambi dan beberapa suku Dayak di Kalimantan, ketika mereka di- sekolah-kan akan terjadi benturan budaya dan sekolah akan mencerabut mereka dari adat, lingkungan
dan masyarakatnya. Di sini lah sekolah harus sadar diri dan mengakui kehadiran sang Liyan bahwa dirinya bukanlah sebuah solusi final dan universal yang bisa diperuntukkan untuk semua masyarakat. Di lain pihak, ketika pendidikan tanpa sekolah menyematkan diri sebagai solusi final- universal, ia tak beda dengan sistem otoriter yang sewenang- wenang.
Yang diperlukan untuk menemukan solusi bagi problematika yang komplek dalam pendidikan Indonesia adalah dialog dan sikap yang terbuka dan tidak merasa benar sendiri dalam berpendapat dan bertindak. Sistem pendidikan tanpa sekolah dan pendidikan formal sekolah perlu saling Yang diperlukan untuk menemukan solusi bagi problematika yang komplek dalam pendidikan Indonesia adalah dialog dan sikap yang terbuka dan tidak merasa benar sendiri dalam berpendapat dan bertindak. Sistem pendidikan tanpa sekolah dan pendidikan formal sekolah perlu saling