Tujuan Uang Dalam Ekonomi Islam

G. Tujuan Uang Dalam Ekonomi Islam

Uang identik dengan kekayaan, kekayaan tidak bisa dipisahkan dengan harta, setiap manusia termotivasi untuk mencari harta selain demi menjaga eksistensinya juga demi menambah kenikmatan materi dan religi, Namun semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta yang dimiliki nya harus dikeluarkan hak allah dan masyarakat diaman ia

tinggal. 88 Menurut Ibn Taimiyah uang dalam Islam adalah alat tukar dan alat

pengukur nilai. Uang dimaksudkan sebagai alat pengukur dari nilai suatu barang, melalui uang, nilai suatu barang akan diketahui dan mereka tidak menggunakannya untuk diri sendiri atau dikonsumsi. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh muridnya, Ibn Qayyim bahwa uang dan keping uang tidak dimaksudkan untuk benda itu sendiri, tetapi dimaksudkan untuk memperoleh

barang-barang (sebagai alat tukar). 89 Menurut beliau uang juga berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan

barang-barang lain dan tujuan-tujuan tertentu. Sebenarnya fungsi uang ini adalah penjabaran dari fungsi uang sebagai sarana tukar-menukar. 90

86 Ibid ., h. 15-16. 87 Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2005), h. 202.

88 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Penerjemah: Khikmawati, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2013), h., 167. 89 Ibid ., h. 191.

90 Jalaludin, ‘Konsep Uang Menurut Imam Al-Ghozali, h., 173.

Al Ghazalî juga menyadari bahwa uang tidak ditemukan dengan begitu saja, penggunaannya dalam sistem ekonomi melalui proses yang cukup panjang. Teori evolusi uang dalam pendangan al-Ghazalî dapat dikemukakan sebagai berikut: “kebutuhan yang paling penting adalah makanan, tempat tinggal, dan tempat vital lainnya, seperti pasar dan lahan pertanian sebagai sumber penghidupan. Serta materi lain, diantaranya ialah pakaian, alat rumah tangga, transportasi, peralatan berburu, pertanian, dan perang. Dari situlah kemudian timbul kebutuhan terhadap jual beli, sebab terkadang sorang petani yang tinggal di desa tidak menyediakan peralatan pertanian, disisi lain seorang pandai besi dan tukang kayu tidak memungkinkan untuk bercocok tanam. Maka mau tidak mau petani membutuhkan tukang pandai besi, dan sebaliknya pun seperti itu. Sehingga harus ada “hakim yang adil” ( hâkim mutawasith ) sebagai perantara antara dua orang antara dua orang yang bertransaksi tersebut, yang dapat membandingkan kebutuhan yang satu

dengan yang lainnya. 91

Dibutuhkan suatu benda yang tahan lama karena transaksi akan berlangsung selamanya. Dan benda yang tahan lama antara adalah bahan-

bahan logam. Maka dibutlah uang dari bahan emas, perak, dan tembaga”. 92

Landasan pemikiran al-Ghazalî mengenai konsep uang berawal dari pemahaman terhadap al-Quran dan al-Hadits. Seperti halnya pemahaman beliau terhadap surat al-Taubah ayat 34, sebagaimana berikut:

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, sesungguh-nya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang- halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang

91 Ibid. , h. 174. 92 Ibid. .

menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan-nya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan

men-dapat) siksa yang pedih 93 .” (QS. At-Taubah: 34)

Imam Ghazali menegaskan bahwa larangan menimbun uang sebagaimana disebutkan dalam surah al-Taubah 34 tidak hanya karena mereka tidak membayarkan zakat (seperti pemahaman ahli tafsir umumnya). Namun makna yaknizun juga berarti memenjarakan fungsi uang, yang mana hal ini sama saja dengan menimbun uang. Penimbunan dan pemenjaraan fungsi uang dilarang karena uang dalam Islam adalah public good yang berfungsi sebagai darah dalam perekonomian, tanpa adanya uang

perekonomian akan lesu. 94

Larangan menimbun dan memenjarakan fungsi uang juga terkait dengan konsep distribusi harta. Allah swt. telah memerintahkan kita agar supaya harta di dunia ini tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya

saja. 95 Jadi larangan disini ditunjukan kepada alat tukar ( medium of exchange )

yang berupa uang. Oleh karena itu, menimbun emas dan perak sebagai barang hukumnya adalah haram, baik yang sudah dicetak maupun belum. Dan barang siapa yang menggunakan emas dan perak sebagai barang-barang peralatan rumah tangga, maka sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan penciptaannya tersebut (emas dan perak), dan itu dilarang oleh Allah SWT. Terdapat pula dalam sabda Rasullah SAW:

93 QS. At-Taubah (9): 34 94 Misbahul Munir, Implementasi Integrasi, h. 39-40. 95 Ibid .

Artinya: “ Barangsiapa meminum dalam bejana emas dan perak, maka seolah olah ia menuangkan sebongkah api neraka ke dalam perutnya ”.

(HR. Bukhari dan Muslim) 96

Syari'ah Islam di dalam masalah muamalah termasuk penggunaan uang tidak kurang dalam memberikan prinsip-prinsip dan etika yang seharusnya bisa dijadikan acuan dan referensi, serta merupakan kerangka bekerja dalam ekonomi Islam. Al- qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber acuan Ekonomi Islam telah mengatur bahwa:

a. Kekayaan (uang) merupakan nikmat dan amanah dari Allah dan tidak dapat dimiliki secara mutlak;

b. Di dalam harta (uang) seseorang terdapat bagian bagi agama dan sosial.

Artinya: “D an orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa- apa (yang tidak mau meminta)”. (QS. Al-Ma’arij

24-25) 97

c. Dilarang memperoleh dan menggunakan harta sesama secara batil selain dari prinsip-prinsip di atas, Islam juga mengatur tata cara memberdayakan uang sebagai harta yang merupakan amanah dari Allah SWT. Berikut adalah beberapa padangan Islam tentang cara memberdayakan harta yang termasuk di dalamnya uang :

96 Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Shahih Bukhari Muslim,Abu Firly Bassam Taqiy, Al- Lu’lul Wal Marjanan Fiimaa Ittafaqa ‘Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari wa Muslim, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2013), h. 586.

97 QS. Al- Ma’arij (70): 24-25

1) 98 Menentukan Prioritas Pemanfaatan Harta (uang) Al-Ghazali dalam hal pemenuhan kebutuhan termasuk di dalamnya

penggunaan uang membaginya dalam tiga skala prioritas, yaitu tingkatan darûrât (kebutuhan primer), tingkatan hajjât (kebutuhan sekunder), dan tingkatan tahsînât /tazniyât (kebutuhan tersier). Dalam penggunaan uang ketiga tingkatan ini haruslah didahulukan sesuai dengan skala prioritas. Jangan sampai tingkatan yang kedua dan ketiga mendahului tingkatan yang pertama yang sangat mendasar dan harus

terpenuhi. 99

2) Menghindari Tabdzîr dan Isrâf dalam menggunakan harta yang disni adalah uang Islam melarang seorang muslim membelanjakan uangnya dan menikmati kehidupan duniawi ini secara boros. Larangan ini cukup

beralasan. 100 Tabdzîr dapat menyebabkan cash menyusut secara cepat

3) Hidup Sederhana (Moderat)

4) Pengeluaran harta (uang) untuk Agama dan Sosial ( ad-diniyah dan al- ijtimâ‟iyah

5) 101 Pemanfaatan Harta Untuk Masa Depan Islam menginginkan agar tujuan perputaran uang tidak hanya untuk

memperkaya diri sendiri, tetapi lebih kepada terwujudnya perekonomian umat. Karena kekayaan berfungsi sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga untuk memperoleh uang selalu dibatasi dengan nilai moral dan manfaat nya, bukan menggunakan uang untuk dihambur-hamburkan atau digunakan untuk hal yang tidak bermanfaat, melainkan untuk kesejahteraan yang merata.

98 Ibid ., h. 36. 99 Ibid, h 36.

100 Ibid , h 38. 101 Ibid , h. 41.

Islam memiliki uang tidak hanya melihat dari aspek ekonomi, jumlah atau banyak nya uang saja tetapi bagaimana uang tersebut bisa memiliki potensi kemanusiaannya, misalnya melalui zakat, infaq, dan dilarangnya praktek riba (bunga).

Manusia termotivasi untuk mencari harta selain demi menjaga eksistensinya juga demi menambah kenikmatan materi dan religi, Namun semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta yang dimiliki nya harus dikeluarkan hak allah dan masyarakat diaman ia

tinggal. 102 Setelah ia memenuhi tiga syarat tersebut, dia dapat menikmati harta tersebut sesuka hatinya tanpa ada pemborosan.

Sesungguhnya dalam masalah sosial Islam memiliki tujuan untuk menghindari semua bahaya dan mudarat yang muncul dai tindak pemusatan kekayaan di tangan sebagian kecil orang-orang kaya yang memutar dan membatasinya di antara kalangan mereka saja, uang harus diputar sesuai dengan kebutuhan, sehingga kekayaan orang kaya tidak bertambah, dan harta tidak menjadi penganiaya mereka dimana mereka selalu beredar mengeilinginya.

Islam sangat menekankan keseimbangan dan keadilan terutama di bidang ekonomi, berbeda fengan sistem ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis, dalam tradisi Islam, keadilan yang di ma ksud adalah “keadilan ilahi”. Yakni keadilan yang tidak terpisah dari moralitas, didasarkan pada nilai-nilai

102 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Penerjemah: Khikmawati, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2013), h., 167.

absolut yang diwahyukan Tuhan dan penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan suatu kewajiban. 103

103 Muhammad, Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) h. 49.