Islam Membawa Rahmat untuk Segenap Ummat Manusia Sampai kepada Binatang

4.5.5 Islam Membawa Rahmat untuk Segenap Ummat Manusia Sampai kepada Binatang

Bagaimana mungkin Islam membenarkan ummatnya untuk berbuat jahat dan menyakiti golongan ghairul Islam, sedang Islam itu sendiri sudah berwasiat kepada ummatnya untuk menaruh belas-kasih kepada setiap yang bernyawa, dan melarang berlaku kasar terhadap binatang.

Islam telah mendahului mengadakan gerakan kasih kepada binatang 13 abad yang lalu, sehingga dimasukkan dalam bagian iman dan berlaku kasar kepada binatang sebagai penyebab masuk neraka.

Rasulullah s.a.w. pernah menceriterakan kepada para sahabatnya tentang Rasulullah s.a.w. pernah menceriterakan kepada para sahabatnya tentang

"Maka Allah berterimakasih kepada orang itu (karena pertolongannya) serta mengampuninya. Lantas para sahabat bertanya: Apakah ada pahalanya lantaran binatang ya Rasulullah? Jawab Nabi: Dalam tiap hati yang masih basah ada pahalanya." (Riwayat Bukhari)

Di balik lukisan cemerlang yang menyebabkan diperolehnya keampunan Allah ini, maka Rasulullah melukiskan bentuk lain pula yang menyebabkan murka dan siksaan Allah. Maka bersabdalah Nabi:

"Seorang perempuan akan masuk neraka sebab kucing yang ditahannya, tidak diberinya makan dan tidak dilepaskannya untuk mencari makan dari serangga darat." (Riwayat Bukhari)

Begitu kerasnya masalah kehormatan binatang, sampai-sampai pernah suatu ketika Rasulullah s.a.w. melihat seekor keledai yang dicap (dicos dengan besi yang membara) mukanya, kemudian Nabi memarahinya sambil ia bersabda:

"Demi Allah saya tidak memberi tanda, kecuali pada tempat yang jauh dari mukanya." (Riwayat Muslim)

Dalam hadis lain diceriterakan, bahwa suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah melewati seekor keledai yang diberi tanda di mukanya. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Apakah belum sampai kepadamu, bahwa saya melaknat orang yang memberi tanda (dengan key) pada binatang di mukanya, atau memukul binatang di mukanya?!" (Riwayat Abu Daud)

Sebelum ini sudah pernah juga kita tuturkan, bahwa Ibnu Umar pernah menyaksikan beberapa orang yang menjadikan ayam sebagai sasaran latihan memanah, kemudian ia berkata:

"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menjadikan

sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran (memanah)." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Abdullah bin Abbas juga berkata:

"Rasulullah s.a.w. melaknat mengadu binatang." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)

Sedang yang dimaksud dengan tahrisy (mengadu), yaitu binatang-binatang itu diadu sampai mati atau hampir mati.

Dan Ibnu Abbas juga berkata:

"Sesungguhnya Rasulullah s a w. melarang keras mengkebiri binatang." (Riwayat Bazzar dengan sanad sahih)

Begitu juga al-Quran mengecam perbuatan jahiliah yang membelah telinga binatang. Dinilainya perbuatan tersebut sebagai bisikan syaitan. (Lihat surah an-Nisa': 119),

Kita sudah mengetahui dalam pembicaraan tentang masalah penyembelihan, betapa tekanan Islam agar penyembelihan itu dilakukan dengan memberikan keringanan pada binatang dengan cara yang semudah-mudahnya, misalnya dengan menajamkan pisau dan dilakukan pada urat-urat nadi binatang itu. Dan dilarangnya menyembelih binatang di hadapan binatang lainnya.

Waktu itu dunia belum mengenal kasih-sayang kepada binatang sejauh ini. Masih di luar khayal

Catatan kaki Bab Keempat

1. Al -A'raf: 131.

2. Riwayat Muslim.

3. Riwayat Bukhari dan Muslim.

4. Riwayat Muslim.

5. Ibnu Taimiyah berkata dalam "Al-Qawaidun Nuraniyah" sebagai berikut: "prinsip-prinsip Iman Malik dalam masalah perdagangan lebih baik dari lainnya, sebab ia mengambil dari Said bin Musaiyib, sebab ia lebih ahli dalam hal perdagangan. (hal. 118); dan hampir sama dengan Imam Malik ialah Imam Ahmad."

6. Harga yang normal berlaku pada waktu itu (pent.).

7. Bacalah "Risalah Hisbah" oleh Ibnu Taimiyah dan "ath-Thuruqui Hakimah" oleh Ibnul Qayim.

8. Bukhari menyebutkan hadis tersebut dalam ta'liqnya.

9. Riwayat Muslim, Ahmad.

10. Riwayat Muslim.

11. Riwayat Abu Nua'irn dalam Hilyah.

12. Bukhari .

13. N. Authar 5: 153.

14. Riwayat Muslim.

15. Dr. Muhammad Yusuf Musa dalam risalahnya yang berjudul "Islam wa- musyki lafunal hadhirah" (Islam dan Masalah kita dewasa ini), menukil pendapat Muhammad Abduh dan Syekh Abdul Wahab Khallat sebagai mengatakan, bahwa syarat yang diberikan oleh ahli-ahli fiqih tentang mudharabah ini tidak berlandaskan dalil dari al-Quran maupun hadis. Dan Dr. M. Yusuf pun condong kepada pendapat dua Syekh tersebut. Tetapi saya (Al-Qardhawie) berpendapat bahwa hadis yang melarang tentang "muzara'ah" itu sudah cukup merupakan pokok untuk 15. Dr. Muhammad Yusuf Musa dalam risalahnya yang berjudul "Islam wa- musyki lafunal hadhirah" (Islam dan Masalah kita dewasa ini), menukil pendapat Muhammad Abduh dan Syekh Abdul Wahab Khallat sebagai mengatakan, bahwa syarat yang diberikan oleh ahli-ahli fiqih tentang mudharabah ini tidak berlandaskan dalil dari al-Quran maupun hadis. Dan Dr. M. Yusuf pun condong kepada pendapat dua Syekh tersebut. Tetapi saya (Al-Qardhawie) berpendapat bahwa hadis yang melarang tentang "muzara'ah" itu sudah cukup merupakan pokok untuk

16. Lihat al-Mughni, juz 5 hal:34.

17. Dan kitab "Al-Islam wal manahijul Islamiyah" (Islam dan sistem sosialisme) oleh Mohammad al-Ghazali, hal: 131 cetakan kedua.

18. Lihat bab ta'min (asuransi) dalam buku "Al-Islam wamusykilatunal hadhirah" hal. 64 oleh Dr. Yusuf Musa. Dan "Al-Islam wal manahijul isytirakiyah" (Islam dan pokok-pokok ajaran sosialisme) oleh Muhammad al-Ghazali, hal. 129 dan dua artikel dalam Majalah "Nurul Islam" (Cahaya Islam) oleh Syekh Ibrahim al-Jabali no. 6 dan 7 tahun 1/1349 H. dan Fatwa Syekh Ahmad Ibrahim yang disiarkan oleh Majalah Mimbar Islam.

19. Suatu hukum yang dihapus dan diganti hukum baru. (Pent)

20. Muhalla 8: 212.

21. Muhalla 8: 224.

22. Baca Muhalla 8; al-Qawaidun Nuraniyah oleh Ibnu Taimiyah; Mulkiyatul Ardhi fil Islam, oleh Al-Maududi; Al-Muslimun (Mesir) th. I oleh Mahmud Abu Su'ud dalam judul "Istighialul Ardhi fil Islam".

23. Risalah "Al-Hisbah fil Islam" oleh Ibnu Taimiyah, hal 21.

24. Ath -Thuruqul Hakimah 248-250.

25. Riwayat Abdu bin Humaid dan Tarmizi.

26. Riwayat Abu Daud dan Tarmizi.

27. Lihat di bab "Assama' min rubu'il adat."

28. Riwayat Bukhari dan Muslim.

29. Riwayat Ahmad.

30. Riwayat Thabarani.

31. Al-Hujurat : 10

32. Lihat Ihya' bab "Afatul lisan" syarah Nawawi dan "Ra'furraibah" oleh Syaukani.

33. Riwayat Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan al-Baihaqi.

34. Ihya ' bab "Halal wal Haram min rubuil 'adat".

35. Tafsir ar-Razi 6: 51.

36. Dari Kitabul Furuq lil Qarafi.

37. Dari Kitab Maratibil ijma' libni Hazm.

38. Imam Suyuthi memberikan tanda hadis ini dengan derajat hasan dengan suatu tambahan pada awalnya yang berbunyi: "Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, agar kebenciannya kepadamu itu hanya sesaat raja." Lihat juga Bukhari Adabul Mufrad, Mauquf.

39. Riwayat Ahmad dan Tarmizi.

40. Riwayat Bukhari. Riwayat Bukhari

Penutup

KAMI tidak bermaksud dalam menulis kitab ini kecuali mengemukakan masalah halal dan haram yang berhubungan dengan masalah pekerjaan anggota dan amaliah lahiriah. Adapun amaliah batiniah, seperti gerakan jiwa, perasaan dan kehendak, Islam pun sebenarnya tidak melewatkan begitu saja, dengan arti kata bebas berkehendak tanpa ada suatu larangan apapun.

Bahkan Islam justru lebih memperkeras persoalan haram yang bertalian dengan hati, seperti hasud, dengki, sombong, congkak, riya', nifaq, bakhil, tamak dan sebagainya. Namun persoalan ini bukanlah yang menjadi tujuan dari kitab ini, sekalipun kejahatan jiwa malah justru sebesar-besar larangan Allah yang senantiasa dilirik oleh Islam untuk diperanginya, dan Rasulullah pun memperingatkan akan bahayanya, yang sebagian daripada kejahatan hati itu disebut penyakit ummat bagi ummat-ummat sebelum kita, dan kadang-kadang dinamakan juga pencukur, bukan mencukur rambut, tetapi mencukur agama.

Setiap orang yang mau mengkaji al-Quran dan Sunnah Nabi, pasti akan mengetahui, bahwa kedua kitab ini menjadikan existensi rohani manusia yang disebut hati adalah pangkal segala kebagiaan, baik pribadi maupun masyarakat, di dunia maupun di akhirat.

Firman Allah:

"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu harus merubah jiwa mereka sendiri." (ar- Ra'ad: 11)

Dan firmanNya pula:

"Pada suatu hari di mana harta dan anak-cucu tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati menyerah." (as-Syu'ara': 88)

Dari sinilah Rasulullah s.a.w. kemudian menyebutkan dalam hadisnya yang amat masyhur, yang artinya: "Bahwa halal itu sudah jelas dan haram pun sudah jelas, di antara keduanya ada beberapa hal yang masih samar (syubhat).

Barangsiapa menjaga diri dari syubhat, maka sungguh dia telah bebas demi kepentingan agama dan harga dirinya, dan barangsiapa jatuh ke dalam syubhat, maka hampir-hampir ia jatuh ke dalam haram. Sesungguhnya tiap- tiap raja mempunyai daerah larangan, dan larangan Allah di bumi ini ialah yang haram-haram."

Kemudian diikutinya dengan menerangkan nilai hati dan hal-hal yang ditimbulkannya, seperti pendorong, kecenderungan dan kehendak, yang sebagai pangkal sikap hidup manusia, yaitu dengan sabdanya: "Ingatlah! Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila dia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah, dia itu ialah hati."

Hati adalah kepala dan pengawal anggota tubuh manusia. Maka dengan baiknya pengawal, akan menjadi baiklah seluruh rakyat, dan dengan

Sebagai standard diterimanya suatu amal adalah hati dan niat, bukan bentuk badan dan lidahnya. Seperti sabda Nabi yang mengatakan.

"Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badanmu, tetapi Ia akan melihat hati kamu."

"Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan niat, dan tiap-tiap seseorang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya." (Riwayat Bukhari)

Demikianlah kedudukan pekerjaan hati dan soal-soal kejiwaan dalam Islam. Tetapi tidak kami singgung dalam kitab ini, karena lebih tepat dimasukkan ke dalam bab "Akhlak," daripada dimasukkan ke dalam bab "Halal dan Haram."

Justru itu ulama-ulama akhlak dan tasawuf Islam sangat menaruh perhatian tentang hati. Dan hal-hal yang haram disebutnya penyakit hati. Diuraikannya penyakit-penyakitnya dan ditentukan obatnya berdasar al-Quran dan Sunnah. Yang oleh Imam Ghazali dihimpunnya dalam Ihya' Ulumiddin dengan nama Al-Muhlikaat (hal-hal yang merusak). Sebab penyakit-penyakit ini penyebab kerusakan di dunia dan kerugian nanti di akhirat.

Kalau kami menyebut masalah haram, maka tidak lain yang dimaksud adalah haram ijabiyah (positif). Sebab haram itu ada dua macam: Ada kalanya mengerjakan larangan, yang kemudian disebut ijabiyah; dan ada kalanya meninggalkan kewajiban, yang disebut salbiyah (negatif).

Yang kedua ini bukan menjadi tujuan pokok dari kitab ini, kendati di satu saat akan bertemu.

Dan kalau kami bermaksud mengarah kepada hal itu (haram salbiyah), niscaya kami beralih kepada persoalan lain yang selanjutnya pasti akan kami tuturkan semua kewajiban yang dibebankan Allah kepada setiap muslim. Jika ditinggalkan atau diabaikannya, tidak syak lagi hukumnya haram. Contohnya tentang mencari ilmu. Dalam Islam hukumnya wajib, baik bagi mu'min laki- laki ataupun mu'min perempuan; dan membiarkan dirinya dalam kegelapan kebodohan, hukumnya haram.

Ibadah-ibadah wajib, seperti sembahyang, puasa, zakat dan haji, yang merupakan pokok rukun Islam, tidak dibenarkan seorang muslim meninggalkannya tanpa alasan. Siapa meninggalkannya, berarti berbuat salah satu daripada dosa-dosa besar. Dan siapa yang mengabaikan dan menganggap enteng berarti dia melepas tali Islam dari lehernya.

Mempersiapkan kekuatan semampu mungkin guna melindungi existensi ummat dan menghalau lawan, hukumnya wajib bagi suatu ummat pada umumnya dan bagi pemerintah pada khususnya.

Mengabaikan kewajiban ini berarti suatu tindakan haram dan dosa besar ... Begitulah halnya seluruh kewajiban hidup, baik yang menyangkut pribadi

maupun yang menyangkut ummat seluruhnya. Kami tidak beranggapan, bahwa kami telah bentangkan seluruh hal yang

halal dan haram, dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tetapi

lembaran-lembaran ini untuk mengetengahkan hal-hal terpenting yang harus diketahui oleh setiap muslim, baik yang menyangkut pribadinya, keluarganya maupun masyarakatnya. Khususnya yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang, atau yang mereka masih kabur, baik tentang hukum maupun hikmahnya.

kami mencukupkan

dalam

Kami telah singkap cadar yang menutupi hikmah kebijaksanaan Islam tentang masalah halal dan haram. Sehingga setiap orang yang mau melihat dengan kedua matanya akan mengerti dengan jelas, bahwa Allah s.w.t. tidak bermaksud membebaskan manusia dalam lapangan halal dan mempersempit dalam lapangan haram. Tetapi Allah membuat suatu peraturan (syariat) yang maslahah buat mereka, dapat melindungi agama, dunia, rasio, akhlak, harga diri, harta benda dan existensi manusia seluruhnya, baik pribadi maupun masyarakat.

Ketahuilah, bahwa kelemahan undang-undang yang dibuat manusia, adalah keterbatasan dan kekurangannya. Penciptanya sendiri, baik secara pribadi, pemerintah maupun DPR, membatasi hanya dalam hal-hal yang menyangkut kemaslahatan material, dengan mengkesampingkan persoalan agama dan akhlak. Mereka hanya membatasi pada nasionalisme dan chauvinisme, tanpa mau menengok dunia luar yang begitu besar dan perikemanusiaan yang luas.

Mereka membuat undang-undang hanya untuk hari ini dengan melupakan hari esok, dan tidak mengerti apa yang terjadi pada hari-hari berikutnya.

Hal ini logis, karena mereka adalah manusia yang serba lemah, serba kekurangan dan banyak dipengaruhi oleh nafsu. Betul kata Allah:

"Sesungguhnya manusia banyak berbuat zalim dan tidak mengerti." (al-Ahzab: 72)

Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau undang-undang yang dibuatnya itu jangkauannya sempit, analisanya dangkal, banyak dipengaruhi oleh material, temporer dan subjektif.

Dan tidak mengherankan pula kalau anda ketahui, bahwa perkenan dan larangan yang dibuatnya, banyak dipengaruhi oleh hawa nafsu dan demi kepuasan selera umum, tanpa melihat bahaya besar yang mungkin terjadi.

Sebagai contoh: undang-undang Amerika Serikat yang menghalalkan arak sebagai ganti undang-undang sebelumnya yang melarang arak, betapapun besarnya kejahatan dan bahaya yang ditimbulkan oleh arak, baik terhadap pribadi, keluarga maupun tanahair. Berbeda dengan hukum Islam yang samasekali jauh dari kekurangan-kekurangan ini. Sebab hukum Islam adalah hukum Allah yang maha tahu, maha arif terhadap hambanya dan apa yang layak buat mereka. Betapa tidak! Karena Allah sendiri sudah mengatakan:

"Dialah (Tuhan) yang mengetahui orang yang berbuat jahat dan orang yang berbuat baik." (al-Baqarah: 220)

Allah sebagai pencipta, tahu apa yang dicipta. FirmanNya:

"Tidakkah Tuhan yang menjadikan itu mengetahui; sedangkan Dia adalah maha halus dan maha tahu?" (al-Mulk: 74)

Hukum Islam adalah hukum Allah yang maha bijaksana. Oleh karena itu Ia tidak mengharamkan sesuatu dengan sia-sa belaka, dan tidak menghalalkan sesuatu dengan percuma. Segala sesuatu dibuat dengan ukuran, dan segala sesuatu diundangkan dengan berimbang.

Hukum Islam adalah undang-undang Tuhan yang maha mengatur dan maim belas-kasih, Ia bermaksud untuk memberikan kemudahan kepada hambanya, tidak menghendaki kesukaran. Bagaimana mungkin Ia akan mempersukar hambanya, sedang Dia maha belas-kasih kepada hambanya melebihi kasih seorang ibu kepada anaknya.

Hukum Islam adalah undang-undang Raja yang maha kuasa, tidak membutuhkan bantuan hambanya, tidak memihak kepada suatu golongan, jenis maupun generasi, sehingga Ia menghalalkan untuk satu golongan tetapi haram untuk golongan lain. Bagaimana mungkin akan terjadi demikian, padahal Dia adalah Tuhan yang mengatur seluruh makhluk ini!

Demikianlah keyakinan seorang muslim terhadap hukum halal dan haram yang dibuat Allah s.w.t. Justeru itu hukum ini akan diterima dengan penuh kesadaran, kesenangan, dan keyakinan. Sebab setiap muslim berkeyakinan, bahwa kebahagiaan duniawi dan ukhrawi seratus persen berpangkal kepada melaksanakan hukum-hukum Allah, baik yang berbentuk perintah maupun larangan, yang halal maupun yang haram.

Oleh karena itu pula sudah seharusnya demi kebagiaan dunia dan akhirat, setiap muslim harus meletakkan dirinya pada batas-batas ketentuan Allah ini.

Sehubungan dengan masalah ini, akan kami bawakan dua contoh tentang kehidupan kaum muslimin pada perioda pertama, bagaimana mereka itu demi menjaga batas-batas hukum Allah tentang halal dan haram dan

(1) Sebagaimana yang telah kami isyaratkan ketika membicarakan masalah haramnya arak, di mana orang-orang Arab waktu itu sudah sangat kecanduan bukan saja meminumnya, bahkan sampai pada slokinya dan pertemuan-pertemuannya. Tetapi Allah tahu semua itu, Oleh karenanya dibuatlah undang-undang bertahap tentang haramnya arak, sehingga turunlah ayat yang jelas-jelas mengharamkan untuk selama-lamanya. Bahkan dinyatakan sebagai barang najis yang berasal dari perbuatan syaitan. (al-Maidah: 90).

Justru itu pula Rasulullah s.a.w. mengharamkan minumnya, menjualnya dan menghadiahkannya kepada orang lain Islam. Pada waktu itu kaum muslimin keluar dengan membawa simpanan dan guci-guci arak, kemudian dituangnya di jalan-jalan Madinah, sebagai menyatakan ketidak-sukaan mereka kepada arak.

Dan yang sangat mengherankan lagi, yaitu: ketika ayat ini sampai kepada suatu golongan, di saat mana mereka itu sedang memegang sloki arak yang sebagiannya telah diminum, tinggal sebagian lagi yang belum. Waktu itu arak yang berada di mulutnya ditumpahkan sebagai menyambut seruan Allah. apakah kamu tidak mau berhenti? (Al-Maidah 91) sambil mereka mengatakan: "Sungguh kami telah berhenti ya Tuhan kami!"

Kalau kita mau mengadakan perbandingan sukses gemilang yang dicapai untuk memberantas arak dalam masyarakat Islam, dengan kegagalan total yang dialami oleh Amerika Serikat, ketika hendak memberantas arak dengan undang-undang dan armada, maka niscaya kita akan mengetahui, bahwa pada hakikatnya tidak ada hukum yang cocok bagi manusia melainkan hukum Allah yang selalu berorientasi pada dhamir dan iman, sebelum menempuh dengan jalan kekuatan dan kekuasaan.

(2) Sikap orang-orang perempuan muslimah dahulu terhadap larangan Allah, seperti tabarruj, dan kewajiban yang harus mereka lakukan, seperti menutup aurat. Padahal orang-orang perempuan jahiliah kalau keluar rumah dadanya terbuka, tidak sehelai benang pun yang menutupinya, leher dan ekor kudanya nampak, termasuk juga kriulnya. Kemudian tahu-tahu Allah mengharamkan bertabarruj dan memerintahkan mereka supaya berbeda dengan perempuan-perempuan jahiliah, dan harus menutup aurat dan bersopan-santun dalam seluruh gerak dan tingkah lakunya, diantaranya ialah dengan melabuhkan kudung-kudung pada tengkuknya dan belahan dadanya. Maka waktu itu mereka langsung menutup tengkuk, leher dan telinga.

Ada suatu kisah yang sengaja dibawakan oleh Aisyah kepada kita bagaimana cara hukum Allah yang bertalian dengan masalah merombak sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kaum wanita yang suka bergaya dan berhias, sebagai yang berlaku pada orang-orang perempuan Muhajirin dan Ansar dalam masyarakat Islam pertama. Maka kata Aisyah: "Semoga Allah memberi rahmat kepada perempuan muhajirin pertama, yang ketika ayat Allah: "... dan hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kudung- Ada suatu kisah yang sengaja dibawakan oleh Aisyah kepada kita bagaimana cara hukum Allah yang bertalian dengan masalah merombak sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kaum wanita yang suka bergaya dan berhias, sebagai yang berlaku pada orang-orang perempuan Muhajirin dan Ansar dalam masyarakat Islam pertama. Maka kata Aisyah: "Semoga Allah memberi rahmat kepada perempuan muhajirin pertama, yang ketika ayat Allah: "... dan hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kudung-

Pernah juga terjadi ada sementara orang perempuan duduk-duduk sambil membicarakan keistimewaan perempuan-perempuan Quraisy. Kemudian Aisyah berkata: "Memang benar perempuan Quraisy mempunyai kelebihan, tetapi demi Allah belum pernah saya lihat keistimewaan yang dimiliki perempuan-perempuan Ansar; mereka sangat membenarkan kitabullah.

Sehingga waktu ayat: "... hendaklah perempuan-perempuan melabuhkan tudung dada-dada mereka ..." itu turun, laki-laki Ansar pada mengangkat kakinya pulang ke rumah untuk membacakan ayat itu kepada isteri-isterinya, anak perernpuannya, saudara perempuannya dan seluruh kerabatnya, sehingga tidak seorang perempuan pun yang tidak menyobek pakaiannya yang bergambar untuk diikatkan dan menyelubungi kepalanya, sebagai membenarkan dan mempercayai kebenaran ayat Allah di atas. Kemudian mereka berada di belakang Rasulullah dengan membalut kepalanya yang seolah-olah di atas kepalanya itu dikerumuni burung gagak." 41

Demikianlah kedisiplinan perempuan-perempuan mu'minah terhadap hukum Allah. Dengan secepat kilat mereka mau melaksanakan perintah Allah itu dan menjauhi larangannya tanpa ragu-ragu sedikitpun, tidak menunggu-nunggu sehari atau dua hari atau lebih dari itu, sambil menunggu kesempatan kalau sudah mampu membeli atau menjahitkan pakaian barunya yang serasi untuk menutup kepala dan membesarkan kudungnya itu supaya bisa melabuh sampai ke dada. Bahkan apapun pakaian yang didapat dan warna apapun yang ada, selalu cocok dan serasi. Kalau tidak ada, terpaksa mereka sobek pakaiannya untuk dililitkan pada kepalanya tanpa menghiraukan mode, kendati nampak kepalanya itu seperti dikerumuni gagak, seperti yang dikatakan oleh Aisyah di atas.

Kami membenarkan, bahwa sekedar mengerti halal dan haram, belum cukup. Sebab induk halal dan haram itu sendiri sebenarnya cukup jelas; tidak seorang muslim pun yang tidak tahu. Justru itu dengan mudah dapat diketahui oleh kebanyakan orang-orang Islam yang tenggelam dalam haram dan terang-terangan terjun ke jahanam.

Oleh karena itu perlu ada taqwallah. Sebab taqwallah lah satu-satunya yang dapat mengendalikan itu semua. Atau dengan kata lain yang mutaakhir perlu adanya jiwa hidup yang dapat mendisiplinkan seorang muslim pada batas- batas halal dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan haram. Jiwa semacam ini tidak akan tumbuh dengan subur, kecuali ditanam dalam ladang iman kepada Allah dan hari akhir. Kalau seorang muslim dapat memenuhi pengertiannya tentang batas-batas agama dan hukum Allah, dan mempunyai jiwa hidup yang dapat melindungi batas-batas hukum ini sehingga tidak terlanggar dan tersentuh, berarti dia telah memenuhi seluruh macam kebaikan. Benarlah apa yang dikatakan Nabi s.a.w.:

"Apabila Allah menghendaki kebaikan seseorang, maka Ia akan adalah penasehat dari dirinya sendiri." 42

Akhirnya kami tutup tulisan ini dengan suatu doa yang sudah terkenal dari orang-orang tua kita dahulu:

"Ya Tuhankul Cukupkanlah aku dengan mengikuti yang Engkau halalkan, jauh dari yang Engkau haramkan; cukup dengan mentaatiMu, jauh dari bermaksiat kepadaMu; dan cukup dengan anugerahMu bukan dari orang lain."

"Segala puji kepunyaan Allah yang telah menunjukkan kami, sungguh kami tidak akan mendapat petunjuk andaikata Allah tidak menunjukkan."