LOKALITAS DAN MASYARAKAT IMAJINER: POTRET KEARIFAN KEHIDUPAN SOSIAL PETANI MADURA

LOKALITAS DAN MASYARAKAT IMAJINER: POTRET KEARIFAN KEHIDUPAN SOSIAL PETANI MADURA

Oleh:

Iskandar Dzulkarnain

Kyai dan nilai-nilai kearifan lokal Madura telah mampu melawan semua isu ideologisasi dan propaganda pemerintahan dalam mendengungkan pembangunan dan industrialisasi untuk kesejahteraan kaum petani yang semakin teralienasi dan termarjinalkan. Artinya, nilai-nilai lokalitas dan kepemimpinan lokal (Kyai) ternyata mampu melawan hegemoni kapitalisme (industrialisasi) dan ideologisasi pemerintah seolah-olah

gerakan sosial petani adalah komunis. Pada akhirnya petani tidak lagi menjadi masyarakat yang imajiner, namun masyarakat yang mampu bergerak untuk melakukan perubahan kehidupan mereka (I.D).

Menurut Bennedict Anderson (2001: 6-11), bangsa bukanlah tumbuhan atau tanaman yang tumbuh secara alamiah, hanya dikarenakan ia menjadi organisasi sosial yang sangat penting dalam dunia modern dan bukan berarti ia juga ada dengan sendirinya, just there , namun sama dengan konstruks lainnya, ia terbentuk dan dibentuk secara sosial-diskursif. Karenanya, bangsa dianggap sebagai an imag- ined political community and imagined as inherently limited and sovereign . Sedangkan nasionalisme, adalah konstruksi ideologis diskursif yang dengannya bangsa itu dibayangkan. Adapun fungsinya menurut Giddens (1985: 121) untuk menegaskan kohesi teritorial dan kualitas reflektif negara-negara.

Madura 2020

Dengan demikian, imajinasi tersebut sangat beragam, karena bangsa itu sendiri terdiri dari beragam unsur sosial, baik karena etnis, kelas, pendidikan, gender, umur, seksualitas, dan lain sebagainya. Imajinasi yang beragam itu oleh karenanya ditransformasikan menjadi satu dengan pondasi ideologis dan memori historis tertentu. Karena itulah Smith (1991: 14) mendefinisikan bangsa sebagai sekumpulan penduduk bernama yang mempunyai sebuah wilayah bersejarah, historis, mitos, dan kultur publik, ekonomi, dan kewajiban bersama, serta hak-hak hukum bagi semua warganya.

Oleh karena itu, bangsa merupakan sebuah fenomena modern, sejarah, dan kebersamaan yang dibentuk dan dibayangkan, dengan cepat dan secara terus-menerus oleh banyak orang. Dengan bantuan kapitalisme dan media serta teknologi percetakan, proses ini menjadi semakin lancar. Dengan demikian, bangsa memang ada melalui sistem pemaknaan (a system of signification) (Anderson, 2001: 47). Karena reproduksi secara terus-menerus tersebutlah, nasionalisme tidak akan pernah konstan, ia selalu memperbarui diri, dan pada saat yang sama mendukung dan sekaligus didukung oleh berbagai institusi sosial yang membentang dari keluarga, sekolah, pemerintah, agama, dan tentunya juga media massa.

Sedangkan identitas nasional, Anderson (2001) menyebutnya sebagai suatu imajinasi diskursif (discursif imagining) yang menegas- kan nilai-nilai, sejarah, pandangan hidup dan cita-cita bersama yang menyatukan banyak orang di bawah satu ikatan. Oleh karena itu, identitas nasional tersebut tidak akan pernah netral. Identitas nasional akan selalu memihak ideologi kelas tertentu, berpihak pada ideologi ras dan bangsa tertentu, memihak ideologi gender tertentu, dan berpihak pada ideologi-ideologi tertentu (Alimi, 2004: 18). Meskipun demikian, penulis di sini hanya akan memfokuskan diri pada dua isu, yakni keberpihakan terhadap ideologi ekonomi kelas kapital dan globalisasi industry terkait semakin teralienasinya masyarakat agraris Madura.

Pengusaha dan Globalisasi Industri–Masyarakat Agraris yang Terbuang

Masyarakat sebagai bagian kehidupan kemanusian merupakan sebuah gejala sosial yang harus dipikirkan secara sistematis. Hal

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

ini tidak lepas dari sejarah sosiologi yang dimulai dari abad ke-17 dan abad ke-18, dimana sosiologi tidak hanya berbicara terkait per- soalan norma sosial, nilai sosial, namun juga terkait struktur kelas sosial ekonomi, pembagian kekuasaan, dan stratifikasi sosial. Lahirnya pemikiran yang sistematis mengenai masyarakat sangat dipengaruhi oleh beragam persoalan masalah yang ada di masyarakat. Sosiolog tentu tidak akan menerima dan membiarkan masalah-masalah tersebut sebagai fenomena sosial yang hanya diterima begitu saja. Oleh karenanya, lahirnya Sosiologi dimulai dengan rasa heran terhadap berbagai fenomena-fenomena sosial di masyarakat (Layendecker, 1983: 1). Dengan demikian, ilmu pengetahuan sosiologi akan meng- alami perubahan yang sangat cepat di suatu waktu tertentu. Maka itu, sejarah Sosiologi sangat berhubung dengan ruang yang disketsa- kan dalam masyarakat Eropa, yakni masyarakat zaman pertenga- han, lahirnya kapitalisme dan revolusi industri.

Pada zaman pertengahan, ilmuwan sering menyebut masyara- katnya sebagai masyarakat agraris. Hal ini dikarenakan pada zaman tersebut, pertanian merupakan mata pencaharian terpenting di Eropa sampai sekitar abad ke 12, dimana 95% masyarakat Eropa Barat dan Eropa Selatan bekerja dalam sektor pertanian. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada waktu itu disatukan dalam organisasi sekitar tanah kekuasaan para penguasa tanah feodal (lord) yang memiliki kuasa terhadap kaum tani dan keluarganya, yang juga menjadi bagian dari tanah tersebut. Para petani ini terikat oleh tanah yang mereka kerjakan, dan hidup di pedesaan kecil. Untuk men- cukupi keperluannya sendiri, maka hasil bumi mereka produksi sendiri dan dimakan sendiri. Pada masa itu pola perdagangan sangat sedikit, alat-alat teknik dibuat sendiri oleh para petani tersebut (Layendecker, 1983: 3). Pada masa ini tatanan struktur sosial ekonomi menempatkan para tuan tanah sebagai bangsawan. Kekayaan dan kekuasaannya berdasarkan kepada kepemilikan tanah yang menjadi satu-satunya sarana pencarian hidup masyarakat (Layendecker, 1983:4).

Kemudian pada akhir abad ke 15, muncul sekelompok pengusaha baru di bagian barat laut Eropa. Kaum kapitalis ini merupakan pionir dan pencari untung yang mengandalkan pada energi, kreativitas dan nasib baik. Mereka berusaha menghapus ragam kebijakan yang ada masa zaman pertengahan, yang menempatkan semua proses

Madura 2020

produksi di masyarakat petani sendiri dan di bawah gilda-gilda kota. Para kaum kapitalis ini mendirikan industri-industri baru di luar kota dan dikerjakan oleh keluarganya. Dalam industri ini, para pekerja bebas bekerja tanpa aturan apa pun untuk kepentingan kaum kapitalis. Hal ini berdasarkan pada perjanjian kerja, sehingga timbullah usaha ‘menyimpang’ yang berbeda dengan pola sosial ekonomi pada zaman pertengahan. Pola kapitalisme perdagangan ini berkembang secara cepat terutama pada abad 16 dan abad 17, yang mana masyarakat lambat laun dapat melakukan perubahan nilai-nilai sosial, nilai-nilai ekonomi, nilai-nilai politik, dan bahkan perubahan dalam bidang pertanian terkait pola pengelolaan tanah (Layendecker, 1983:13-16).

Perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrialis yang mengedepankan nilai-nilai kapitalisme pada masya- rakat Eropa, terutama pada abad ke 19 dan abad ke 20, telah mela- hirkan revolusi industri di Eropa. Masyarakat yang beralih dari lahan pertanian dengan menjadi petani ke masyarakat industri dengan semakin banyaknya berdiri pabrik-pabrik sebagai rangkaian pening- katan kualitas teknologi, telah merubah tatanan sosial ekonomi masyarakat pada zaman pertengahan. Munculnya kaum-kaum kapitalis dengan industri dan sistem kapitalisme akan membentuk pola pasar bebas sebagai pertukaran produk sistem industrial yang ideal. Dimana dalam sistem tersebut hanya segelintir penguasa (pemilik modal ) yang akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar sementara sebagian besar buruh industri yang bekerja dengan waktu yang sangat lama mendapatkan upah yang sangat rendah. Sehingga dari sanalah muncul reaksi perlawanan dari kaum buruh untuk melawan sistem industri dan kapitalismenya (Ritzer, 2012 : 9). Hal inilah yang menyebabkan semakin terbuang dan terasingnya masya- rakat agraris, yang dianggap sebagai pemberontak dari buruh-buruh industrialisasi terhadap sistem kapitalisme indutrialisasi global.

Hal yang sama terjadi di Indonesia, terutama pada masa kepeme- rintahan Soeharto dengan Orde Barunya, dimana jargon-jargon ideologi pembangunanisme dengan semena-mena menyerobot lahan- lahan pertanian rakyat Indonesia. Isu ini semakin kuat dengan semakin kuatnya isu peralihan penguasaan lahan tanah (transfer of property rights ) ke sekelompok kecil kaum kapitalis. Dari data yang

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

dikeluarkan oleh Kompas (2002) sebagaimana dikutip oleh Soetarto (2017) menunjukkan bahwa jumlah penduduk 217 juta jiwa, tercatat 63% luas tanah pertanian Indonesia dikuasai oleh 16% rumah tangga, termasuk yang dikuasai secara guntai dan melebihi batas maksimum. Dimana sekitar 43% persen tunawisma dan usaha tani tak lebih dari luas rata-rata 0,1 hektar; 27% usaha tani di antara luas tanah rata- rata 0,1-0,5 hektar; 14% usaha tani di antara 0,5-1 hektar, dan hanya 16% usaha tani di atas 1 hektar.

Kebijakan pemerintahan Soeharto terhadap ‘tanah untuk pembangunan’ dimulai sejak awal pemerintahannya, ketika Direktorat Jenderal Agraria berada di bawah Departemen Dalam Negeri (yang selalu dipimpin oleh Jenderal Angkatan Darat). Oleh karenanya, program-program reforma agraria yang sudah mulai dirintis oleh Soekarno dicabut dan dibekukan oleh Soeharto. Hal ini dikarenakan, jika program reforma agraria tetap dijalankan, maka banyak para pendukung utama politik Orde Baru yang akan menjauh terutama para tuan tanah di pedesaan yang merupakan sekutu utama tentara dalam melawan Soekaro dan massa yang diorganisir PKI (Rachman, 2017: 93-94).

Kebijakan lainnya adalah pengambilalihan tanah untuk ragam proyek pembangunan bagi Pemerintahan Orde Baru, termasuk pemberian hak baru, perpanjangan atau pembaharuan hak yang sudah habis waktunya, pembatalan atau pencabutan hak dan peng- awasan terhadap pemindahan hak, baik tanah atas pemukiman dan industrialisasi maupun untuk pertanian dan perkebunan (Rachman, 2012: 65).

Bahkan bangunan ekonomi agraris pemerintahan Orde Baru menurut Rachman (2017b: 191-196) disusun dalam empat bentuk: Pertama, Orde Baru tetap mempraktekkan model kolonialisme dimana semua tanah yang tidak terbukti punya rakyat maka merupakan hak milik mutlak domain Negara (domain verklaring), sehingga petani tidak memiliki hak hukum atas tanah tersebut dan pemerintah bisa dengan sangat mudah mengambilnya demi Pembangunan. Kedua, UU No. 1 tahun 1967 dan UU No. 8 tahun 1968 Pemerintahan Orde Baru mengundang investor secara besar-besaran untuk masuk ke area pertanian pedesaan masyarakat. Hal ini telah menyebabkan

Madura 2020

tersingkirkannya petani dan makin terjerambab dalam kemiskinan. Ketiga, Pemerintahan Orde Baru lebih berpihak kepada industria- lisasi produksi pertanian ketimbang kepada petani desa, sehingga kemakmuran pertanian hanya didapatkan segelintir pengusaha saja. Keempat, komposisi penggunaan tanah belum beranjak seperti pada masa kolonialisme.

Melalui ragam persoalan tersebut muncullah gerakan sosial masyarakat petani untuk melakukan protes, namun menghadapi protes tersebut Pemerintahan Orde Baru melakukan tindakan penindasan dengan cara kekerasan dan penaklukan dengan cara ‘penyematan’ ideologis komunis terhadap petani (Rachman, 2017b: 202). Kondisi ini semakin memarjinalkan petani yang semakin teralienasi dari kehidupannya dan lambat laun menjadikannya masyarakat imajiner, yakni masyarakat yang nyata keberadaannya namun tidak digubris keberadaannya. Sebuah anomali industria- lisasi pembangunan.

Potret Sosial dan Kearifan Petani Madura

Bagaimana kondisi petani di Madura, sebuah entitas etnis kebudayaan yang berada di wilayah Jawa Timur dengan karakte- ristik keunikannya dan konsep persaudaraan yang sangat kuat (taretan dhibik/saudara sendiri) serta harga dirinya yang juga sangat kuat (ango’an pote tolang etembang pote mata/lebih baik mati ketimbang malu) ketika menghadapi gempuran industrialisasi pembangunan? Pertanyaan ini sangat layak untuk dilontarkan sebagai sumbu dari diskusi yang hangat dalam tulisan ini.

Madura yang saat ini sudah memiliki Jembatan Suramadu yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, diharapkan mampu memeratakan pembangunan antara Surabaya dan Madura. Selama ini yang terjadi adalah munculnya kesenjangan yang sangat jauh antara industrialisasi di Surabaya dan di Madura. Industria- lisasi merupakan salah satu cita-cita nyata dari direalisasikannya Jembatan Suramadu, yang diharapkan mampu menyejahterakan masyarakat Madura melalui pembangunan-pembangunan yang diproyeksikannya, sehingga seiring perkembangan Jembatan Suramadu, diharapkan Madura dapat memiliki ciri “Indonesianis, Maduranis, dan Islamis”. Sayangnya, cita-cita ini seringkali tidak

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

diimbangi dengan penguatan kompetensi masyarakat Madura untuk bersaing dengan pihak luar dalam memanfaatkan proses industrialisasi di Madura. Masyarakat Madura yang mayoritas petani dan nelayan lambat laun ‘dipaksa’ untuk menjual tanah-tanah mereka dengan dalih industrialisasi, sehingga pada akhirnya mereka akan kehilangan lahan yang menjadi milik mereka sejak lama karena tanah tersebut merupakan tanah warisan dari nenek moyangnya (tanasangkolan).

Selain itu, keengganan menjadi petani bagi generasi muda dan gaya hidup konsumerisme merupakan dampak yang paling nyata dari realisasi Jembatan Suramadu saat ini. Berbelanja dan meng- habiskan banyak uang ke Surabaya merupakan potret riil masya- rakat Madura. Sebuah pergeseran kebudayaan yang sangat cepat, dari masyarakat tradisional petani dengan nilai-nilai sosial kesederhanaannya berubah menjadi masyarakat konsumeris dengan gaya hidup metropolis dan pada akhirnya akan menjadi individualis.

Hal ini yang menjadi keprihatinan banyak pemuda-pemuda Madura terutama pemuda Nahdiyyin, sehingga mereka membentuk kelompok kompolan Tera’ Bulan (terang bulan) untuk memberikan penyadaran, pendidikan, advokasi, dan lain sebagainya bagi masyarakat Madura akan pentingnya menjaga tanasangkol dan nilai- nilai kesederhanaan para petani. Berawal dari kemirisan inilah kompolan (kumpulan) ini dibentuk, ketika banyak tanah-tanah di Kabupaten Sumenep Madura yang telah dialihfungsikan dan dijual pada investor, baik lokal Madura, luar Madura, maupun Asing. Hampir semua daerah pesisir utara paling Timur Madura telah dialihfung- sikan dan berpindah kepemilikan, mulai dari Kecamatan Batu Putih, Batang-Batang, dan Dungkek. Pengalihfungsian dan penjualan tanasangkol ini berujung pada perubahan fungsi yaitu menjadi tambak udang yang dimiliki para investor. Ketika tanasakol sudah dialih- fungsikan dan dijual kepada investor, banyak masyarakat Madura tercengang dan kebingungan, karena dalam kesehariannya mereka disuguhkan tontonan alat-alat berat, mobil kontainer, dan mulai berdatangannya orang-orang yang tidak dikenal bahkan cenderung asing bagi mereka. Selain itu, banyak tambak-tambak udang yang dijaga oleh anjing dan dibiarkan berkeliaran secara bebas. Padahal bagi masyarakat Madura, anjing merupakan hewan yang paling

Madura 2020

dihindari dan menakutkan karena akan membawa najis bagi masya- rakat Madura yang mayoritas muslim.

Potret pengalihfungsian dan penjualan tanah sangat terlihat di beberapa wilayah di tiga kecamatan yakni Kecamatan Batu Putih, Batang-Batang, dan Dungkek, terutama pesisir pantai utara Madura timur. Saat ini pengalihfungsian dan penjualan tanasangkol tersebut terus melebar ke berbagai desa-desa lainnya, yakni Desa Bungin- Bungin Kecamatan Dungkek, yakni wilayah makam Syekh Mahfudz, atau lebih dikenal Asta Gurang Garing, keturunan Sunan Kudus. Kemudian, wilayah di Desa Lombang Kecamatan Batang-Batang hingga Pantai Badur Kecamatan Batu Putih, yang termasuk kawasan pariwisata.

Fakta di atas semakin menunjukkan bahwa makin banyak masyarakat Madura yang mulai meninggalkan sawahnya, ladangnya, dan tegalnya. Masyarakat Madura lebih ingin bekerja di bidang lainnya, yakni menjadi migran ke Jakarta (sebagai penjaga toko) dan Kalimantan (sebagai pengemis) atau menjadi tenaga kerja (TKI) ke luar negeri. Padahal secara kebudayaan, masyarakat Madura memiliki nilai-nilai kearifan lokal mengenai tanasangkolan (tanah warisan). Bagi masyarakat Madura, tanasangkolan bukan hanya sekedar warisan benda yang akan menjadi capital belaka sebagaimana emas, mobil, rumah, dan lain sebagainya, karena bagi masyarakat Madura, tanasangkolan memiliki makna sakralitas dan penuh dengan nilai- nilai kearifan lokal kebudayaan. Tanasangkolan bagi masyarakat Madura memiliki makna sebagai ruang (space) yang saling memper- tautkan kehidupan saat ini dengan para leluhurnya. Oleh karenanya, ketika tanasangkolan dialihfungsikan bahkan dijual tanpa adanya alasan yang jelas bahkan terkesan untuk menguatkan nafsu birahi gaya hidup konsumerismenya akan mengakibatkan ‘laknat’ dari sudut nilai-nilai kearifan kebudayaan Madura. Kalau pun tanah tersebut dijual, biasanya akan dijual pada keluarga terdekatnya. Suatu saat jika mampu, tanah itu akan dibeli kembali oleh pemiliknya. Sebuah realitas masa lampau yang kini sudah terserabut akar sakralitasnya. Saat ini, tanah sudah dilucuti sakralitasnya, tanasangkolan kini sepenuh- nya dianggap benda yang bisa dipertukarmilikkan. Perubahan alam pikir dan gaya hidup masyarakat Madura sejak terealisasinya serta dioperasikannya Jembatan Suramadu merupakan potret riil

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

masyarakat Madura saat ini. Termasuk persepsi dan keyakinan mereka terhadap nilai-nilai kearifan lokal mengenai sakralitas tanasangkol juga berubah.

Di sinilah lagi-lagi kealpaan pemerintah dalam menjaga identitas dan keharmonisan masyarakat Madura, terutama melalui nilai-nilai sakralitas kearifan lokal mengenai kepemilikan tanasangkol. Karena bagi para pemuda yang tergabung dalan kompolan tera’ bulan persoalan mengenai tanasangkol ini sepertinya tidak mungkin lagi menunggu upaya penyelesaian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep. Bagi mereka, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep hanya menjadi penadah dari ragam kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerinatahan Provinsi termasuk juga para investor. Oleh karenanya menurut mereka, saat inilah waktu dimana rakyat yang harus berjuang sendiri untuk menjaga tanahnya melalui kembali ke nilai-nilai kearifaan lokal sakralitas tanasangkolan.

Para pemuda yang tergabung dalam kompolan tera’ bulan ini kemudian menguatkan nilai-nilai kearifan lokal sakralitas tanasangkol melalui jargon ideologisasi ‘ajagatana, ajaganakpoto’ (menjaga tanah, menjaga anak cucu) yang mulai digelorakannya, jika masyarakat Madura tidak mau menjadi kuli atau penonton industrialisasi dari pembangunan di daerahnya sendiri. Lebih jauh lagi, ragam fenomena seperti ini biasanya akan melahirkan konflik. Melalui pemahaman inilah maka kemudian para pemuda kompolan tera’ bulan mem- bentuk gerakan sosial melalui ‘Barisan Ajaga Tanah Ajaga Na’potoh (Batan)’.

Bahkan melalui gerakan sosial ini, maka banyak generasi muda yang didukung oleh para kyai-kyai Nahdlatul Ulama’ Sumenep Madura untuk terus melakukan segala upayanya dalam memper- tahankan lahan pertanian yang ada di Madura. Bahkan menurut Kuntowijoyo (1994: 87), kyai di Madura seringkali dinggap sebagai ‘organizing principle’ yang akan berdampak terhadap terbentuknya sentiment kolektif bagi masyarakat, sehingga akan menjadi otorisasi Kyai bagi masyarakat Madura. Penguatan ini semakin kuat dengan cerminan sosial masyarakat Madura yang terpotret dalam bhuppa’- bhabbu’–ghuru–rato (orangtua–guru/kyai–raja/pemerintah), sebuah potret ketaatan hirarkis bagi masyarakat Madura (Dzulkarnain, 2013).

Madura 2020

Di sinilah perbedaan gerakan sosial petani Madura dengan gerakan sosial petani daerah-daerah lainnya (baca: Indonesia) dalam mempertahankan area pertaniannya. Kyai dan nilai-nilai kearifan lokal telah mampu melawan semua isu ideologisasi dan propaganda pemerintahan dalam mendengungkan pembangunan dan industria- lisasi untuk kesejahteraan kaum petani yang semakin teralienasi dan termarjinalkan. Artinya nilai-nilai lokalitas dan kepemimpinan lokal (Kyai) ternyata mampu melawan hegemoni kapitalisme (industrialisasi) dan ideologisasi pemerintah seolah-olah gerakan sosial petani adalah komunis yang pada akhirnya petani tidak lagi menjadi masyarakat yang imajiner, namun masyarakat yang mampu bergerak untuk melakukan perubahan kehidupan mereka. Semoga!

Referensi Alimi, Moh Yasir. (2004). Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari

Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama , LKiS: Yogyakarta Anderson, Bennedict. (2001). Imagined Communities: Komunitas-

Komunitas Terbayang, terj. Omi Intan Naomi, Insist Press & Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Dzulkarnain, Iskandar. (2013). Dekonstruksi Sosial Budaya Alaq Dalaq Masyarakat Madura , Pararaton: Yogyakarta

Giddens, Anthony. (1985). The Nation - State and Violence: Volume Two

of A Contemporary Critique of Historical Materialism , Polity Press: Cambridge

Kuntowijoyo. (1994). Radikalisasi Petani, Bentang: Yogyakarta Laeyendecker. L. (1983). Tata, Perubahan, Dan Ketimpangan: Suatu

Pengantar Sejarah Sosiologi , terj. Samekto, Gramedia: Jakarta Rachman, Noer Fauzi. (2012). Land Reform Dari Masa Ke Masa, Tanah

Air Beta: Yogyakarta _______., (2017a), Land Reform & Gerakan Agraria Indonesia, Insist

Press: Yogyakarta _______., (2017b), Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria

Indonesia , edisi 2, Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar: Yogyakarta Ritzer, George. (2012). Teori Sosiologi: Dari Klasik Sampai Perkembangan

Terakhir Postmodern , terj. Saut Pasaribu dkk, Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

Smith, Anthony. (1991). National Identity, Penguin: London Soetarto, Endriatmo. (2017). “Reforma Agraria vs Oligarkhi Bossisme

dan Politik Kartel: Apa dan Siapa Mengatasi Apa dan Siapa” , Makalah Talkshow Pra Konferensi Tenurial ‘Mewujudkan Keadilan Reforma Agraria dari Wacana Menuju Aksi’ di Sajogjo Institut Bogor 18 Oktober 2017.

Madura 2020 LUSMIN: MEDIA INFORMASI MASYARAKAT MADURA

Oleh:

Syamsul Arifin

Tradisi Lusmin Madura berfungsi sebagai media tradisional yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat Madura. Lusmin Madura memberikan ruang kepada masyarakat Madura untuk menyampaikan segala yang mereka ketahui dan mempunyai kesempatan untuk menerima setiap informasi yang dirasa memiliki nilai manfaat yang besar terutama

berkaitan dengan pertanian, politik desa, budaya lokal dan kegiatan yasinan. Proses komunikasi masyarakat Madura melalui Lusmin memiliki tujuan-tujuan secara spesifik seperti untuk saling memberikan informasi, memupuk rasa kebersamaan serta menjaga keberlangsungan hidup masyarakat Madura. Model komunikasi Lusmin Madura menandakan satu proses yang panjang dilakukan masyarakat sehingga dapat membentuk model sendiri yang unik dan berkarakter sesuai dengan kebiasaan dan tradisi masyarakatnya (S.A).

*** Informasi dapat dipahami sebagai pemberitahuan ataupun kabar berita yang memiliki arti baik disampaikan secara langsung atau tidak. Idealnya sebuah informasi dapat memberikan manfaat, hal ini sesuai dengan fungsi informasi supaya dapat meningkatkan pengetahuan serta meningkatkan kemampuan pengguna atau pendengarnya.

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

Selain itu, informasi juga difungsikan untuk dapat mengurangi ketidakpastian dalam proses kehidupan sehari-hari. Pemahaman ini selaras dengan nilai informasi yang diproduksi baik oleh individu atau kelompok tertentu bahwa sejatinya informasi harus relevan, bersifat akurat, harus konsisten serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga informasi tersebut dapat digunakan.

Dalam mentransmisikan suatu informasi, seseorang atau kelompok masyarakat tertentu membutuhkan media sebagai saluran sehingga informasi-informasi yang bersifat penting tersebut dapat berjalan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Bagi masyarakat modern, transmisi informasi dapat dilakukan dengan menggunakan saluran teknologi yang canggih, namun bagi masyarakat tradisional ataupun masyarakat yang memegang adat budaya dengan kuat bisanya menggunakan saluran media tradisional.

Membicarakan media tradisional tidak bisa lepas dari seni dan budaya tradisonal masyarakat pedesaan, karena umumnya, media tradisional diaktualisasikan dalam bentuk seni dan budaya yang dikembangkan melalui tradisi dan cerita-cerita rakyat. Media rakyat biasanya tampil dalam bentuk nyanyian tradisional rakyat, tarian tradisional rakyat, cerita tradional rakyat yang kembangkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan seni dan budaya tradisonalnya. Aktualisasi media tradisional melalui seni budayanya dapat terlihat seperti wayang golek, ludruk, ketoprak, yang dalam aktivitasnya semua kesenian tersebut berperan sebagai media tradisional yang mengajarkan banyak hal tentang kehidupan suatu masyarakat. Adanya media tradisional atau juga biasa dengan media rakyat berfungsi sebagai saluran untuk mengemukakan informasi yang dapat digunakan oleh rakyat untuk memecahkan masalah-masalah tertentu.

Tidak berbeda dengan daerah di Indonesia pada umumnya, Madura juga memiliki beragam media tradisional yang dapat dinikmati sampai hari ini. Media tradisonal Madura seperti Tembang Macapat yang berfungsi sebagai media untuk menyapaikan pujian kepada Allah dan rasulnya, musik Sronen sebagai musik tradisonal pengiring kegiatan kebudayaan, dan musik Sandur dilakukan

Madura 2020

dengan tujuan untuk memohon hujan, untuk menghormati makam leluhur, serta untuk membuang bahaya penyakit atau musibah.

Seluruh rangkaian aktivitas masyarakat Madura di atas biasanya dilakukan secara bersama-bersama dengan berkumpul dalam suatu tempat tertentu. Melihat aktivitas tersebut, terlihat bahwa secara umum bahwa masyarakat Madura memiliki kegemaran berkumpul bersama dengan tetangga dan sanak saudara. Hal ini dapat dibuktikan dengan ungkapan-ungkapan Madura seperti taretan dhibi’, apolkompol sataretanan, settong dara serta beberapa ungkapan lainnya yang menyiratkan tentang kebersamaan orang Madura.

Seperti pada beberapa seni dan kebudayaan di atas, bahwa Madura memiliki media tradisional yang unik serta menarik untuk di eksplor secara mendalam. Budaya Lusmin Madura merupakan salah satu media tradisional yang biasa dijadikan sebagai perantara oleh masyarakat Madura untuk menyampaikan berbagai hal berkaitan dengan proses kehidupan sosial masyarakat Madura.

Mengenal Lusmin

Lusmin berarti warung kopi sedangkan alusmin minum kopi di warung kopi. Di kota-kota besar, kopi menjadi gaya hidup (lifestyle) oleh penikmatnya dengan penyajian, proses pembuatan, berikut jenis- jenis kopinya yang memiliki beragam gaya. Pada kota-kota besar tersebut, kopi sering menjadi sarana untuk bersantai ria, bertukar fikiran, menjamu tamu atau hanya sekedar memenuhi kepuasan diri. Tidak berbeda jauh dengan masyarakat Madura yang biasanya alusmin atau ngopi di warung kopi.

Pada masyarakat Madura, lusmin menjadi salah satu akvitas yang banyak dilakukan dengan maksud dan tujuan spesifik mulai dari bersilautrahmi, untuk membagi beberapa informasi ataupun untuk mendengarkan informasi-informasi penting dari anggota lusmin lainnya. Lusmin juga menjadi gaya hidup dan kebutuhan masyarakat Madura karena dari lusmin terlahir banyak solusi-solusi dari persoalan sehari-hari masyarakat Madura.

Kegiatan lusmin biasanya dilakukan tiga kali dalam sehari, pagi sekitar jam lima atau setelah melaksanakan sholat subuh, siang setelah sholat dhuhur, dan malam setelah sholat isya’. Intensitas lusmin dilakukan atau berjalan secara alami dengan tanpa dijadwal secara

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

ketat oleh para penikmat warung kopi, walaupun begitu biasanya masyarakat Madura secara bersama-sama berkumpul pada jam yang sama tanpa mengadakan perjanjian terlebih dahulu.

Lusmin atau alusmin biasanya diikuti atau dilakukan laki-laki yang umumnya dari kalangan orang tua atau laki-laki yang sudah menikah. Walaupun kegiatan ini tidak diklasifikasikan berdasarkan umur, lusmin jarang sekali dilakukan oleh remaja, karena biasanya kalangan remaja melakukan kegiatan lusmin di warung-warung modern seperti cafe. Bedanya antara cafe dengan lusminan bahwa cafe didesain lebih modern yang letaknya di sekitar pusat pemerintah kecamatan atau pemerintah kabupaten, sedangkan lusmin lebih tradisional yang letaknya di pedesaan.

Di sela-sela kesibukannya sebagai petani, masyarakat Madura selalu menyempatkan waktu untuk dapat berkumpul melalui me- dia lusmin. Jika dilihat dari kebiasaannya, lusmin dilakukan setalah waktu sholat fardu sehingga kegiatan ini tidak mengganggu kegiatan wajib ibadah ataupun kesibukan dalam bidang pertanian. Bahkan sebaliknya, lusmin dijadikan sarana untuk beristirahat sejenak sekitar satu setengah jam sebelum kemudian melanjutkan aktivitas yang lainnya.

Pada kehidupan sekarang, fungsi lusmin bukan hanya sekedar dijadikan tempat melakukan ngopi-ngopi ringan tetapi juga dijadikan sarana untuk menyempaikan gagasan, bertukar fikiran, informasi- informasi seputar perkembangan kehidupan sekitarnya. Selain itu lusmin atau alusminan dijadikan sarana untuk menyebarkan pesan- pesan bermanfaat.

Lusmin Sebagai Media Informasi Media tradisional atau media rakyat dapat jelaskan sebagai bentuk-

bentuk verbal, gerakan-gerakan, visual, yang menjadi kebiasaan masyarakat, diterima oleh mereka dan di pertunjukkan atau atau dipraktikkan dalam kehidupannya. Menurut Walujo (2011:2), bahwa media tradisional selain berfungsi memberikan hiburan media tradisional juga dapat memberikan informasi bagi penontonnya.

Media tradisional sering disebut sebagai sebentuk dari folklore. Fungsi folklore dijelaskan oleh William R. Bascom (dalam Nurudin, 2004:115) adalah 1) sebagai media tradisional 2) sebagai sistem

Madura 2020

proyeksi, 3) sebagai pengesahan/penguat adat, 4) sebagai alat pen- didikan, dan 5) Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektifnya.

Masyarakat, media tradisional serta informasi, merupakan satu kesatuan yang saling mendukung, saling mengisi dan saling berbagi peran untuk kemudian berfungsi sebagaimana seharusnya. Pada umumnya, masyarakat dapat dibentuk dari kebiasaan dan tradisi dalam kehidupannya sementara informasi berperan sebagai penengah untuk memberikan pemahaman yang sama tentang segala sesuatu yang diperlukan.

Tidak hanya sampai di situ, suatu masyarakat akan eksis karena para anggotanya telah banyak belajar dari lingkungan sekitarnya. Masyarakat juga menghasilkan, memilih dan menjadikan saluran informasi untuk diri dan anggota anggota kelompoknya yang kemudian ditransmisikan melalui cara-cara sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di sekitar kehidupannya.

Pemahaman ini apabila dihubungkan dengan fenomena lusmin ternyata sejalan, bahwa lusmin berfungsi sebagai folklore atau media tradisional yang masih dipraktikkan dalam kehidupan yang mod- ern ini. Dalam praktik lusmin Madura, terdapat kebiasaan yang unik dimana proses penyebaran berbagai pesan terjadi melalui banyak arah atau komunikasi dari banyak arah. Komunikasi banyak arah dapat dipahami sebagai saluran komunikasi yang kompleks yang menggambar tentang keadaan dimana setiap anggota mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan berbagai informasi.

Lusmin Madura menyajikan beragam informasi yang dibawa oleh anggota lusmin, mulai dari gaya hidup, kebiasaan, kesehatan, kebersihan, peribadatan, dan lain sebagainya. Akurasi informasi yang disampaikan selalu mendapatkan legitimasi atau pengakuan yang sah. Hal ini berkorelasi dengan penyampai atau komunikator yang biasanya dilakukan oleh orang tua sesuai dengan kebiasaan lusmin yang didominasi oleh kalangan orang tua atau orang yang sudah menikah.

Dari sekian banyak informasi yang ditransmisikan melalui media tradisional lusmin, terdapat beberapa informasi yang mendominasi atau sebih sering diperbicangkan daripada informasi penting lainnya.

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

Informasi yang dimaksudkan adalah berupa informasi keseharian yang tidak jauh-jauh dari aktivitas masyarakatnya seperti pertanian, politik desa, budaya lokal dan acara yasinan sebagaimana tergambar dalam struktur dibawah ini:

Gambar 1. Informasi dalam Lusmin Tradisi lusmin Madura menjadi media rakyat yang difungsikan

untuk berbagai, memahami, menghargai pendapat orang banyak. Lusmin Madura dijadikan sebagai sarana untuk bertukar pikiran mengenai kehidupan sehari-hari seperti tentang pertanian, politik tingkat desa, budaya lokal ataupun kegiatan yasinan yang biasa di lakukan masyarakat Madura.

Empat hal di atas menjadi sangat penting untuk dibahas meng- ingat mayoritas masyarakat Madura berpenghasilan utama dari bertani, mereka adalah warga desa yang pastinya ingin mendengar tentang isu-isu politik desa yang hangat untuk diikuti, mereka sangat dekat dengan budaya lokal yang menemai perjalanan kehidupannya serta mereka menjadikan yasinan sebagai aktualisasi dari keperca- yaan agama yang dianutnya. Karena empat hal di ataslah, keempat topik di atas selalu menjadi topik utama setiap aktivitas alusmin di Madura.

Informasi Pertanian Pertanian merupakan salah satu mata pencaharian orang

Madura dimana sebagian besar masyarakat Madura menggantung- kan hidupnya dari hasil pertanian. Beberapa pertanian yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Madura adalah bercocok tanam padi, jagung, tembakau, dan beberapa tanaman lainnya yang menjadi penghasilan utama.

Madura 2020

Kegiatan bertani dikerjakan secara bersama-sama oleh kaum pria dan wanita Madura. Pekerjaan berat seperti mencangkul dan membajak sawah biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan kegiatan menanam, menyiangi dan memanen yang umumnya agak ringan biasanya dilakukan oleh pihak perempuan (Koesno dalam Rifai 2007:79).

Informasi seputar pertanian, mulai dari perkembangan tumbu- han hasil pertanian, lamanya membajak sawah, pupuk yang diguna- kan sampai dengan harga pupuknya biasanya ditanyakan dan diterangkan oleh yang lainnya. Tidak hanya sampai di situ, biasanya masyarakat Madura juga seringkali melakukan sharing informasi mengenai cara memberantas hama yang menggangu hasil pertanian. Informasi seperti ini berfungsi untuk merekatkan hubungan masyarakat Madura yang sama rasa, sama jiwa, saling berbagai kebaikan.

Informasi Politik Desa

Di Madura, politik desa atau pemilihan kepala desa lebih menarik daripada pemilihan Legilatif, Bupati, Gubermur bahkan pemilihan presiden sekalipun. Bargaining politik lebih terasa karena politik desa dirasakan langsung oleh masyarakat sehingga tidak jarang politik desa lebih mendapatkan perhatian dari masyarakat lokal Madura. Pemilihan kepala desa yang dilakukan secara serempak beberapa waktu lalu menghadirkan isu money politics yang tidak sedikit bahkan sampai mencapai milyaran rupiah.

Angka ini menjadi sangat fantastis mengingat wilayah kerja kepala desa dan tunjangan gaji yang dikatakan relatif sedikit. Terlepas dari beberapa informasi tersebut, keadaan ini juga mengundang beberapa sosok untuk mengambil bagian dalam suksesi politik para calon sehingga upaya-upaya pemenangan jagoannya dilakukan di berbagai tempat termasuk di dalam lusminan.

Menariknya, bahwa proses sosialisasi politik lusmin tidak dilakukan untuk saling menjelekkan antara yang satu dengan yang lain, justru sebaliknya, sosialisasi dilakukan dengan terbuka yaitu untuk menyampaikan aspek-aspek penting berkaitan dengan calon pilihannya. Proses ini menandakan satu peningkatan kedewasaan

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

berpolitik masyarakat Madura yang melakukan pilihan secara demokratis.

Informasi Budaya Lokal Madura memiliki beragam budaya lokal yang dilestarikan

sampai sekarang. Beberapa diantara yang dianggap fenomenal dan sudah go international adalah kerapan sapi. Selain kerapan sapi ada juga sapi sonok yang memiliki nilai filosofi yang tinggi yang meng- ajarkan tentang kebaikan, keserasian, tujuan hidup, serta harapan- harapan yang tersirat di dalamnya.

Selain Kerapan Sape dan Sape Sonok, Madura memiliki Pajengan Sape. Pajengan Sape dilakukan di rumah-rumah warga secara ber- gantian dimana bagi masyarakat yang merasa memiliki sapi bagus diundang untuk berpartisipasi memajang sapinya. Sebagai lagu pengiring kepada kebudayaan sapi tersebut biasanya dimainkan musik saronen yang asli pulau Madura.

Proses informasi kebudayaan lokal di lusmin biasanya terdiri atas beberapa bagian misalnya tentang bentuk sapi yang bagus, harga sapi, pelaksanaan lomba sapi, bahkan tidak jarang terjadi tawar menawar harga untuk seekor sapi bagus. Harga sapi Madura yang masuk kategori bagus terbilang sangat tinggi bahkan sampai ada yang mencapai harga 50 juta untuk satu ekor sapi. Harga ini sangat bisa saja muncul mengingat harga sapi yang bisa dibeli atau dijual dipasaran berkisar dari tujuh sampai sembilan jutaan. Demikian juga segala informasi pemilik sapi bagus, harga penawaran dan lain sebagainya bisa didapat dari warung kopi atau di lusmin.

Informasi kegiatan yasinan Masyarakat Madura mayoritas beragama Islam sehingga tidak

heran apabila Madura disebut sebagai ‘Serambi Madinah’. Julukan ini didukung dengan banyaknya lembaga-lembaga Islam seperti pondok pesantren di Madura yang ada di seluruh kabupaten. Masyarakat Madura bisa dikatakan sebagai penganut agama Islam yang taat. Hal ini dibuktikan dengan adanya akvitas-aktivtas keislaman yang biasa dilakukan oleh masyarakat Madura.

Ketaatan masyarakat Madura juga dibuktikan dengan dibangun- nya musholla pada setiap rumah masyarakat Madura sebagai tempat

Madura 2020

untuk melaksanakan ibadah. Secara harfiah mereka memang sangat patuh menjalankan syariat agama seperti melakukan sholat lima waktu, berpuasa, berzakat (pemberian wajib) dan bersedekah (pemberian suka rela), serta berjihad atau berkiprah di jalan agama, (Rifai 2007:45).

Identitas Islam masyarakat Madura bisa disaksikan dari kegiatan- kegiatan keislaman seperti, acara sholawatan, yasinan, muslimatan, pengajian, tahlilan, tadarus Al Quran dan lain sebagainya. Pada umumnya, kegiatan tersebut dilaksanakan sesuai urutannya dan berpindah-pindah dari rumah satu kepada rumah yang lainnya sesuai kesepakatan anggotanya. Proses informasi kegiatan yasinan dilakukan misalnya seputar tempat pelaksaan yasinan atau sekedar untuk mengingatkan atas kegiatan tersebut dilaksanakan di rumah salah satu anggota yasinan.

Model Komunikasi Lusmin Madura

Model dikatakan sebagai representasi secara simbolik dari suatu sistem, proses, gagasan dalam bentuk grafis, verbal, atau matematikal. Sementara model komunikasi adalah gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Vera, 2014:113). Model tidak menjelaskan secara rinci tentang suatu objek tetapi model komunikasi berfungsi untuk memberikan gambaran-gambaran terhadap unsur yang terlibat dalam proses komunikasi lusmin Madura.

Tradisi lusmin Madura terbentuk dari kebiasaan yang fungsi komunikasinya ditujukan untuk saling memahami dan bertukar informasi seputar kehidupan. Menurut (Judi C. Pearson dan paul

E. Nelson dalam Mulyana, 2014:5), fungsi komunikasi lusmin adalah

1) untuk kelangsungan hidup diri sendiri yang meliputi keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran diri sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi, 2) untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat.

Pemahaman model dan fungsi komunikasi di atas memberikan gambaran tentang bagaimana sebuah informasi dalam lusmin Madura memiliki peran untuk mengembangkan kehidupannya. Selain itu juga komunikasi yang terbangun untuk memupuk rasa kebersamaan

Membumikan Madura Menuju Globalisasi

dan keberlangsungan hidup orang Madura yang secara spesifik lebih tertumpu kepada isu-isu lokal. Arus informasi lusmin dapat dijelaskan pada gambar model lusmin Madura sebagaimana berikut ini:

Gambar 2. Model Lusmin Masyarakat Madura merupakan etnis yang patuh kepada empat

figur utama yang dikenal dengan istilah bhuppa’ bhabu’ ghuru rato (bapak, ibu, guru, pemimpin formal). Ungkapan ini sangat familiar di telinga masyarakat Madura sebagai pegangan dalam proses kehidupan sosial. Sehingga atas kepercayaan tersebut, empat figur ini menjadi sumber utama yang menyampaikan pesan-pesan kepada anak keturunannya.

Sumber pada model di atas, merupakan masyarakat yang aktif dalam kegiatan lusmin Madura sehingga segala sesuatu yang mereka ketahui dari para pengetuanya (tetua, pen) kemudian disampaikan dalam kelompok-kelompok mereka melalui pesan-pesan yang ber- manfaat. Tidak hanya sampai di situ, setiap orang yang hadir dalam lusmin memiliki hak yang sama untuk mentransmisikan informasi, menyanggah atau menerimanya. Dengan demikian, lusmin Madura dapat dikatakan sebagai media tradisional yang efektif untuk menyam- paikan informasi-informasi seputar kehidupan sosial masyarakat Madura.

Madura 2020

Referensi Mulyana, Deddy. (2014). Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar). Remaja

Rosdakarya, Bandung Nurudin. (2004). Sistem Komunikasi Indonesia. Raj aGrafinda Persada.

Jakarta Rifai, Mien Ahmad. (2007). Manusia Madura: Pilar Media Yogyakarta Vera, Nawiroh. (2014). Komunikasi Massa. Ghalia Indonesia. Bogor Walujo, Kanti. (2011). Wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional

dalam Deseminasi Informasi . Kemkominfo, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik. Jakarta.

Membumikan Madura Menuju Globalisasi