Penetapan Kadar Abu Pada Abon Ikan Secara Gravimetri

(1)

PENETAPAN KADAR ABU PADA ABON IKAN SECARA

GRAVIMETRI

TUGAS AKHIR

OLEH:

JESSICA SIHOMBING

NIM 102410063

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PENETAPAN KADAR ABU PADA ABON IKAN SECARA

GRAVIMETRI

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya

Pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:

JESSICA SIHOMBING NIM 102410063

Medan, April 2013 Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing,

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. NIP 197802152008122001

Disahkan Oleh:

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt NIP 195311281983031002


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul: Penetapan Kadar Abu Pada Abon Ikan Secara Gravimetri.

Tujuan penyusunan tugas akhir ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tugas Akhir ini disusun berdasarkan apa yang penulis lakukan pada Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, Ayah Saut Sihombing dan Ibu Selinah Hutapea yang sudah memberi dukungan secara moril dan materil.

Selama menyusun Tugas Akhir ini, penulis juga mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU.

2. Bapak Prof. Dr. Matheus Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt selaku dosen pembimbing akademik saya.

3. Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt, dosen pembimbing yang mengarahkan saya dalam menyusun tugas akhir ini.

4. Bapak Prof, Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU.


(4)

5. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staf di Fakultas Farmasi USU.

6. Bapak Drs I Gde Nyoman Suandi, Apt., MM, selaku Kepala BBPOM di Medan yang telah memberi izin pelaksanaan PKL.

7. Ibu Lambok Okta SR, M.Kes., Apt, selaku Koordinator Pembimbing PKL di BBPOM di Medan.

8. Saudara kandung penulis, Kakak Marina, adik-adik Triani dan Agung yang selalu memberi semangat.

9. Sahabat-sahabat Aga, Ari, Blandina, Rina, Jessi, Romian, Esra, Petrica, Balilibra, Sartika, Yohanna, kak Eka, dan Bang Heber yang senantiasa memberiku semangat, bantuan dan terus memacuku.

10.Teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan angkatan 2010, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi arti keberadaan mereka. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya penulis berharap semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2013 Penulis,

JESSICA SIHOMBING NIM 102410063


(5)

Penetapan Kadar Abu Pada Abon Ikan Secara Gravimetri

Abstract

Shredded fish is a food made from shredded dried fish, boiled, slice / in suir, in season, in cooking and also in the press. Floss is one alternative to address the abundance of fish that are less desirable if consumed directly.

Testing of ash content in shredded fish take place to assess the content and authenticity of the materials used and the nutritional value of the parameter, because the analysis of insoluble ash content is high enough acid indicate the presence of contamination or impurities in the food . Determination of ash content in shredded fish done by gravimetric method.

SNI 01-2891-1992 said that ash content is allowed a maximum of 7%. Determination of ash content on this shredded fish product gravimetrically get that ash content of 3.65% is obtained. This shows the ash content is acceptable. Based on the test results it can be concluded shredded fish product is eligible based on the determination of ash content.

Key word: Shredded fish, ash content, Gravimetric Abstrak

Abon ikan merupakan makanan kering terbuat dari daging ikan, direbus, disayat-sayat/ disuwir, dibumbui, digoreng dan dapat juga dipres. Abon merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi melimpahnya ikan yang kurang diminati jika dikonsumsi secara langsung.

Pengujian kadur abu pada abon ikan dilakukan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan dan sebagai parameter nilai gizi, karena analisis kadar abu tidak larut asam yang cukup tinggi menunjukan adanya kontaminasi atau bahan pengotor pada makanan tersebut. Penetapan kadar abu pada abon ikan dilakukan dengan metode gravimetri.

Berdasarkan SNI 01-2891-1992 mengatakan bahwa kadar abu yang diperbolehkan adalah maksimal 7%. Penetapan kadar abu pada produk abon ikan ini secara gravimetri mendapatkan bahwa kadar abu yang diperoleh 3,56%. Hal ini menunjukkan kandungan kadar abu masih dapat diterima. Berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan produk abon ikan ini memenuhi syarat berdasarkan penentuan kadar abu.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Ikan ... 4

2.2 Ikan Marlin ... 6

2.3 Abon Ikan ... 7

2.3.1 Defenisi ... 7

2.3.2 Pembuatan Abon Ikan ... 8

2.3.3 Syarat Mutu Abon ... 9

2.4 Kadar Abu ... 10


(7)

2.4.2 Jenis-Jenis Pengabuan ... 11

2.5 Gravimetri ... 15

BAB 3 METODOLOGI ... 18

3.1 Tempat Pengujian ... 18

3.2 Penetapan Kadar Abu ... 18

3.2.1. Alat dan Bahan ... 18

3.2.2. Prosedur ... 18

3.2.3. Interpretasi Hasil ... 19

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 Hasil ... 20

4.2 Pembahasan ... 20

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 22

5.1 Kesimpulan ... 22

5.2 Saran ... 22


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Tabel Mutu SNI 01-2891-1992 ... 9

Tabel 2.2 Persen Kadar Abu dalam Beberapa Bahan Makanan ... 10

Tabel 2.3 Berat Bahan untuk Pengujian Kadar Abu . ... 12

Tabel 2.4 Perbedaan Pengabuan Cara Kering dan Cara Basah ... 15


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Identitas Sampel ... 25 Lampiran 2. Data Penimbangan ... ... 26 Lampiran 3. Gambar Alat ... ... 28


(10)

Penetapan Kadar Abu Pada Abon Ikan Secara Gravimetri

Abstract

Shredded fish is a food made from shredded dried fish, boiled, slice / in suir, in season, in cooking and also in the press. Floss is one alternative to address the abundance of fish that are less desirable if consumed directly.

Testing of ash content in shredded fish take place to assess the content and authenticity of the materials used and the nutritional value of the parameter, because the analysis of insoluble ash content is high enough acid indicate the presence of contamination or impurities in the food . Determination of ash content in shredded fish done by gravimetric method.

SNI 01-2891-1992 said that ash content is allowed a maximum of 7%. Determination of ash content on this shredded fish product gravimetrically get that ash content of 3.65% is obtained. This shows the ash content is acceptable. Based on the test results it can be concluded shredded fish product is eligible based on the determination of ash content.

Key word: Shredded fish, ash content, Gravimetric Abstrak

Abon ikan merupakan makanan kering terbuat dari daging ikan, direbus, disayat-sayat/ disuwir, dibumbui, digoreng dan dapat juga dipres. Abon merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi melimpahnya ikan yang kurang diminati jika dikonsumsi secara langsung.

Pengujian kadur abu pada abon ikan dilakukan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan dan sebagai parameter nilai gizi, karena analisis kadar abu tidak larut asam yang cukup tinggi menunjukan adanya kontaminasi atau bahan pengotor pada makanan tersebut. Penetapan kadar abu pada abon ikan dilakukan dengan metode gravimetri.

Berdasarkan SNI 01-2891-1992 mengatakan bahwa kadar abu yang diperbolehkan adalah maksimal 7%. Penetapan kadar abu pada produk abon ikan ini secara gravimetri mendapatkan bahwa kadar abu yang diperoleh 3,56%. Hal ini menunjukkan kandungan kadar abu masih dapat diterima. Berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan produk abon ikan ini memenuhi syarat berdasarkan penentuan kadar abu.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Produk pada ikan pada hakekatnya adalah semua bahan makanan yang berasal dari hewan yang hidup dalam air. Sumber ikan dapat diambil dari laut, empang, rawa, kali, atau segala macam perairan yang terdapat di daratan (Rahmiatirahman, 2013).

Ikan laut pada umumnya mempunyai daging yang padat, enak rasanya dan tidak berduri diantara daging. Manakala ikan darat mempunyai daging tidak terlalu padat, lebih banyak mengandung air dan mudah hancur kalau di masak. Daging ikan merupakan sumber protein dan lemak, bagaimanapun komposisinya sangat bervariasi tergantung pada musim, umur dan faktor lainnya. Pada umumnya daging ikan mengandung lemak 0,2-20%, protein 18-20% dan abu 1-1,8%. Protein pada ikan mudah dicerna dan bermutu tinggi karena kandungan asam amonianya (Rahmiatirahman, 2013).

Seperti kita ketahui ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (membusuk). Jaringan ikan lebih cepat membusuk, oleh karena itu perlu adanya perlindungan terhadap ikan untuk menghambat pembusukan. Hanya dalam waktu sekitar 8 jam sejak ikan ditangkap dan didaratkan sudah akan timbul proses perubahan yang mengarah pada kerusakan. Pembusukan ikan dapat disebabkan karena pengaruh mikrobiologi, fisiologi. Dalam rangka pemanfaatan seekor ikan dapat dipisahkan bagian daging yang dapat di makan dan bagian yang tidak dapat


(12)

di makan. Karena itu agar ikan dan hasil perikanan lainnya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, perlu dijaga kondisinya. Pengolahan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan ikan dari proses pembusukan, sehingga mampu disimpan lama sampai tiba waktunya untuk dijadikan sebagai bahan konsumsi. Usaha dalam melaksanakan pengolahan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya: ikan yang baru ditangkap dapat dipertahankan kesegarannya dengan cara didinginkan atau dibekukan, atau dapat pula diolah menjadi produk setengah jadi seperti dalam pembuatan ikan pindang dan sebagainya (Adawyah, 2006; Rahmiatirahman, 2013).

Abon ikan merupakan bentuk awetan ikan. Produk ini dibuat karena adanya produk yang melimpah atau ikan yang kurang diminati jika dikonsumsi langsung. Pengolahan ikan menjadi abon juga dapat dilakukan untuk memberi rasa pada produk ikan yang tidak memiliki nilai jual sehingga abon ikan dalam pembuatannya sering dicampur dengan bahan berserat lain (Suhartini, 2005).

Pengabuan merupakan suatu proses pemanasan bahan dengan suhu sangat tinggi selama beberapa waktu sehingga bahan akan habis terbakar dan hanya tersisa zat anorganik berwarna putih keabu-abuan yang disebut abu. Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran bahan organik. Kadar abu dari suatu bahan dapat menunjukkan kandungan mineral yang ada dalam bahan tersebut. Pengabuan dapat menyebabkan hilangnya bahan-bahan organik dan anorganik sehingga terjadi perubahan radikal organik dan segera terbentuk elemen logam dalam bentuk oksida atau bersenyawa dengan ion-ion negatif (One, 2011).


(13)

Oleh karena itu penetapan kadar abu perlu dilakukan untuk tetap menjaga kualitas produk yang sudah dipasarkan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penetapan kadar abu dalam abon ikan adalah untuk mengetahui apakah kadar abu pada abon ikan memenuhi persyaratan kadar abu yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI).

1.3 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari penetapan kadar abu dalam abon ikan adalah agar dapat mengetahui bahwa produk makanan yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan kadar abu Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga produk tersebut layak untuk dipasarkan dan dikonsumsi.


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan

Ikan sebagai sumber bahan makanan hewani yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90%, dengan jaringan pengikat sedikit sehingga mudah dicerna. Hal paling penting adalah harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan sumber protein lain. Ikan juga dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan, pakan ternak, dan lainnya. Kandungan kimia, ukuran, dan nilai gizi yang terdapat pada ikan tergantung pada jenis, umur ke tingkat kematangan, dan kondisi tempat hidupnya (Adwyah, 2006).

Kelebihan produk perikanan dibanding dengan produk hewani lainnya sebagai berikut:

1. Kandungan protein yang cukup tinggi (20%) dalam tubuh ikan tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati pola kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia.

2. Daging ikan mudah dicerna oleh tubuh karena mengandung sedikit tenunan pengikat (tendon).

3. Daging ikan mengandung asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol sangat rendah yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.


(15)

4. Selain itu, daging ikan mengandung sejumlah mineral seperti K, Cl, P, S, Mg, Ca, Fe, Ma, Zn, F, Ar, Cu dan Y, serta vitamin A dan D dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia (Adwyah, 2006).

Selain memiliki kelebihan, ikan juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu:

1. Kandungan air yang tinggi (80%), pH tubuh ikan yang mendekati netral, dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis menyebabkan daging sangat lunak, sehingga menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusuk.

2. Kandungan asam lemak tak jenuh mengakibatkan daging ikan mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkannya berbau tengik (Adwyah, 2006).

Proses pembusukan pada ikan disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme, dan oksidasi dalam tubuh ikan itu sendiri dengan perubahan seperti timbul bau busuk, daging menjadi kaku, sorot mata pudar, serta adanya lendir pada insang maupun tubuh bagian luar (Adwyah, 2006).

Kekurangan yang terdapat pada ikan dapat menghambat usaha pemasaran hasil perikanan, tidak jarang menimbulkan kerugian besar terutama disaat produksi ikan melimpah. Oleh karena itu, diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk/ tekstur, maupun daya awet ikan (Adwyah, 2006).


(16)

2.2 Ikan Marlin

Taksonomi ikan Marlin (Xiphias gladius): Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata Class : Asteichthyes

Ordo : Perciformer

Family : Scombroidei Genus : Xiphias

Species : Xiphias gladius (Anonim, 2013)

Ikan marlin terdiri dari ± 5 species dan hidup di daerah yang bersuhu tropis di seluruh dunia, dikedalaman 400-500 meter dibawah permukaan laut dan mengadakan migrasi (Ruaya) untuk bertelur. Badannya berbentuk cerutu dan panjangnya kira-kira 14,5 ft (4,5 meter) dan beratnya 1190 pounds (540 kg) untuk marlin terbesar yang pernah ditemukan. Ikan ini termasuk ikan perenang cepat, dan termasuk ikan pemakan daging atau carnivore (Anonim, 2013).

Ikan marlin merupakan pilihan bahan baku olahan abon, karena ikan ini memiliki tekstur daging yang sangat cocok untuk diolah menjadi abon dan mengandung gizi yang tinggi termasuk DHA dan Omega 3. Bahan baku ikan marlin berasal dari Banten, Cilacap, dan Jakarta. Berat ikan Marlin yang diproduksi memiliki berat minimal 100 kg per ekornya supaya persentase kesusutannya tidak terlalu besar. Ikan marlin dengan berat diatas 100 kg hasil yang dapat diperoleh sekitar 40-50% dan berat dibawah 100 kg hasil yang diperoleh hanya sekitar 25-30% saja (Hariadi, 2013).


(17)

2.3Abon Ikan 2.3.1 Defenisi

Abon merupakan makanan yang biasanya dibuat dari daging sapi atau ayam yang diolah menjadi produk kering siap dimakan. Abon ikan adalah produk olahan hasil perikanan yang dibuat dari daging ikan, melalui kombinasi proses pengolahan yaitu proses pengukusan, penggilingan dan penggorengan dengan penambahan bahan pembantu dan bahan penyedap (Karyono dan Wachid 1982).

Pembuatan abon ikan merupakan salah satu alternatif pemanfaatan limbah hasil perikanan yang selama ini banyak terbuang sia-sia. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pembuatan abon ikan antara lain adalah proses pembuatannya mudah, rasanya enak, dan dapat dijadikan sumber penghasilan tambahan. Selain menggunakan bahan yang berasal dari limbah hasil pengolahan perikanan, abon dapat pula dibuat dengan menggunakan ikan segar sebagai bahan baku. Abon yang dihasilkan dari bahan baku ikan segar tentu mempunyai mutu lebih baik (Karyono dan Wachid 1982).

Abon ikan yang baik mempunyai rasa yang khas, tidak berbau amis atau anyir. Dengan rasa khas inilah, abon ikan mudah diterima oleh konsumen. Dibandingkan dengan ikan segar, abon ikan mempunyai kandungan protein lebih tinggi dan dapat disimpan lebih lama tanpa mengalami perubahan kualitas (Afrianto, 1989).

Jenis ikan yang dibuat sebagai bahan baku abon belum selektif, bahkan hampir semua jenis ikan dapat dijadikan abon. Namun demikian, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, sebaiknya dipilih jenis ikan yang benar-benar


(18)

masih segar, memiliki kandungan lemak rendah dan berdaging tebal serta tidak mengandung banyak duri (Wibowo dan Peranginangin 2004).

Ikan yang biasa dibuat abon adalah ikan air laut antara lain ikan Tuna, Tenggiri, Cakalang, Layaran atau Marlin. Di antara jenis-jenis ikan tersebut, ikan Marlin merupakan bahan baku terbaik untuk diolah menjadi abon ikan karena rasanya yang lebih enak dengan kandungan protein yang cukup tinggi serta mengandung DHA dan omega 3 yang bermanfaat bagi kesehatan (Sari, 2009).

2.3.2. Proses pembuatan abon ikan

Beberapa proses yang dilakukan dalam pembuatan abon ikan, yaitu: a.Penyiangan

Ikan disiangi yaitu pada bagian isi perut dan kepala, bila perlu dipotong-potong untuk memudahkan pengukusan kemudian dicuci sampai bersih. b.Pengukusan

memisahkan dari tulang dan duri, kemudian ditumbuk/ dimemarkan hingga menjadi suwiran-suwiran/ serpihan daging ikan.

c.Pemberian Bumbu

Bumbu-bumbu yang dihaluskan, kemudian dicampurkan dengan yang telah disuwir-suwir hingga merata.

d.Penggorengan

minyak, bisa juga menggunakan santan kelapa yang kental. Aduk-aduk sampai kering dan berwarna kuning kecokelatan.


(19)

e.Pengepresan

Abon yang sudah matang dimasukkan ke alat pengepres abon sampai minyaknya tuntas, kemudian diambil dengan menggunakan garpu (Rahmiatirahman, 2012).

2.3.3. Syarat Mutu Abon

Menurut Standart Nasional Indonesia abon memiliki syarat mutu, dimana syarat mutu tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini:

Tabel 2.1: Tabel Mutu Abon berdasarkan Standart Nasional Indonesia

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Keadaan Bentuk Bau Rasa Warna Air Abu

Abu tidak larut asam Lemak

Protein Serat Kasar

Gula jumlah sebagai sakarosa Pengawet

Cemaran logam 10.1 Timbal ( Pb ) 10.2 Tembaga ( Cu ) 10.3 Seng ( Zn ) 10.4 Timah ( Sn ) 10.5 Raksa ( Hg ) Cemaran Arsen ( As ) Cemaran Mikroba

12.1 Angka Lempeng Total 12.2 MPN Coliform

12.3 Salmonella

12.4 Staphylococcus aureus - - - - % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b - mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/ g koloni/ g koloni/ 25 g koloni/g Normal Normal Normal Normal Maks 7 Maks 7 Maks 0,1 Maks 30 Min 15 Maks 1,0 Maks 30

Sesuai SNI 01-0222-95 Maks 2,0 Maks 20 Maks 40,0 Maks 40,0 Maks 0,05 Maks 1,0 Maks 5 x 10 4 Maks 10 Negatif 0 Sumber : Standart Nasional Indonesia SNI 01-2891-1992.


(20)

2.4 Kadar Abu

2.4.1 Pengertian Kadar Abu

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Beberapa contoh kadar abu dalam beberapa bahan dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2: Persen kadar abu dalam beberapa bahan makanan.

NO MACAM BAHAN % ABU

1 Milk 0,5 - 1,0

2 Milk kering tidak berlemak 1,5

3 Buah-buahan segar 0,2 - 0,8

4 Buah-buahan yang dikeringkan 3,5

5 Biji kacang-kacangan 1,5 - 2,5

6 Daging segar 1

7 Daging yang dikeringkan 12

8 Daging ikan segar 1 – 2

9 Gula, Madu 0,5

10 Sayur-sayuran 1

Kadar abu ada hubungannya dengan kandungan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Kandungan garam organik misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat, sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, khlorida, sulfat, nitrat (Sudarmadji, 1989).

Tujuan penentuan kadar abu total adalah:

a. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan. Misalnya pada proses penggilingan gandum diharapkan dapat dipisahkan antara bagian endosperm dengan kulit/ katul dan lembaganya. Apabila masih banyak katul atau lembaganya terikut dalam endosperm maka tepung gandum yang


(21)

dihasilkan akan mempunyai kadar abu yang relatif tinggi. Hal ini karena pada bagian katul kandungan mineralnya dapat mencapai 20 kali lebih banyak daripada dalam endosperm.

b. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan

Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan buah yang akan digunakan untuk membuat Jelly atau marmelade. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruti vinegar (asli) atau sintetis.

c. Penentuan abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain (Sudarmadji, 1989).

2.4.2 Jenis-Jenis Pengabuan

a. Abu Secara Langsung (Cara Kering)

Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600 oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1989).

Pengabuan secara langsung dilakukan dengan cara sampel yang akan diabukan ditimbang sejumlah tertentu tergantung jenisnya. Beberapa contoh bahan dan jumlah berat yang diperlukan dapat dilihat ada tabel berat bahan untuk pengabuan:


(22)

Tabel 2.3: Berat bahan untuk pengujian kadar abu.

No Macam Bahan Berat Bahan (g)

1 Ikan dan hasil olahanya, Biji-bijian dan makanan ternak

2

2 Padi-padian, milk dan keju 3 – 5

3 Gula, daging, dan sayuran 5 – 10

4 Jelly, sirup, jam dan buah kering 10 5 Juice, buah segar, buah kalengan 25

6 Anggur 50

Bahan yang mengandung kadar air tinggi sebelum pengabuan harus dikeringkan lebih dahulu. Bahan yang mempunyai kandungan zat yang mudah menguap dan berlemak banyak proses pengabuan dilakukan dengan suhu mula-mula rendah sampai asam hilang, baru kemudian dinaikan suhunya sesuai dengan yang dikehendaki. Sedangkan untuk bahan yang membentuk buih waktu dipanaskan harus dikeringkan dahulu dalam oven dan ditambahkan zat anti buih misalnya olive atau parafin (Sudarmadji, 1989).

Bahan yang akan diabukan ditempatkan dalam wadah khusus yang disebut krus yang dapat terbuat dari porselin, silika, quartz, nikel, atau platina dengan berbagai kapasitas (25–100 ml). Bahan yang bersifat asam misalnya buah-buahan disarankan menggunakan krus porselin yang bagian dalamnya dilapisi silika, sebab bila tidak dilapisi akan terjadi pengikisan oleh zat asam tersebut. Wadah yang terbuat dari nikel tidak dianjurkan karena dapat bereaksi dengan bahan membentuk nikel-karbonil bila produk banyak mengandung karbon. Pemilihan wadah ini disesuaikan dengan bahan yang akan diabukan (Sudarmadji, 1989).

Temperatur pengabuan harus diperhatikan sungguh-sungguh karena banyak elemen abu yang dapat menguap pada suhu yang tinggi misalnya unsur K,


(23)

Na, S, Ca, Cl. P. Selain itu suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu misalnya K2CO3; CaCO3; MgCO3 (Sudarmadji, 1989).

Pengabuan dilakukan dengan muffle yang dapat diatur suhunya, tetapi bila tidak tersedia dapat menggunakan pemanas bunsen. Bila menggunakan bunsen sulit diketahui ataupun dikendalikan suhunya untuk ini dapat digunakan pengamatan secara visual yaitu kelihatan membara merah berarti suhu lebih kurang 550 oC (bila menggunakan krus porselin). Kadangkala pada proses pengabuan terlihat bahan hasil pengabuan berwarna putih keabu-abuan. (Warna abu ini tidak selalu abu-abu atau putih tetapi ada juga yang berwarna kehijauan dan kemerah-merahan) (Sudarmadji, 1989).

Lama pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pengabuan yang umumnya berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu pengabuan 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin, untuk itu maka krus yang berisi abu yang diambil dari dalam muffle harus lebih dahulu dimasukan kedalam oven bersuhu kedalam 105 oC agar supaya suhunya turun, baru kemudian dimasukkan kedalam eksikator sampai dingin. Eksikator yang digunakan harus dilengkapi dengan zat penyerap uap air misalnya silika gel atau kapur aktif atau kalsium khlorida, sodium hidroksida. Permukaan gelas diolesi dengan vaselin agar eksikator dapat mudah digeser tutupnya (Sudarmadji, 1989). Keuntungan dari metode pengabuan kering adalah sebagai berikut:

1. Aman.


(24)

3. Beberapa sampel dapat dianalisis secara bersamaan. 4. Tidak memerlukan tenaga kerja yang intensif.

5. Abu yang dihasilkan dapat dianalisis untuk penentuan kadar mineral (One, 2011)

Kelemahan menggunakan metode pengabuan kering diantaranya adalah: 1. Memerlukan waktu lama.

2. Biaya listrik yang lebih tinggi untuk memanaskan tanur.

3. Kehilangan mineral yang dapat menguap pada suhu tinggi (One, 2011).

b. Abu Secara Tidak Langsung (Cara Basah)

Pengabuan basah terutama digunakan untuk digesti sampel dalam usaha penentuan trace elemen dan elemen dan logam-logam beracun. Berbagai cara yang ditempuh untuk memperbaiki cara kering yang biasanya memerlukan waktu yang lama serta adanya kehilangan karena pemakaian suhu tingi yaitu antara lain dengan pengabuan cara basah ini. Pengabuan cara basah ini prinsipnya adalah memberikan reagen kmia tertentu ke dalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Bahan kimia yang sering digunakan untuk pengabuan basah ini dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Campuran asam sulfat dan potasium sulfat dapat dipergunakan untuk mempercepat dekomposisi sampel. Potasium sulfat akan menaikkan titik didih asam sulfat sehingga suhu pengabuan dapat dipertingi dan pengabuan dapat lebih cepat.

2. Campuran asam sulfat, asam nitrat banyak digunakan untuk mempercepat proses pengabuan. Kedua asam ini merupakan oksidator yang kuat. Dengan


(25)

penambahan oksidator ini akan menurunkan suhu digesti bahan yaitu pada suhu 350 oC, dengan demikian komponen yang dapat menguap atau terdekomposisi pada suhu tinggi dapat dipertahankan dalam abu yang berarti penentuan kadar abu lebih baik.

3. Penggunaan asam perkhlorat dan asam nitrat dapat digunakan untuk bahan yang sangat sulit mengalami oksidasi. Dengan perkhlorat yang merupakan oksidator yang sangat baik memungkinkan pengabuan dapat dipercepat. Kelemahan perkhlorat ini adalah bersifat explosive atau mudah meledak sehingga cukup berbahaya, untuk ini harus sangat hati-hati dalam penggunaannya. Pengabuan dengan bahan perkhlorat dan asam nitrat ini dapat berlangsung sangat cepat yaitu dalam 10 menit sudah dapat diselesaikan (Sudarmadji, 1989).

Menurut Sudarmadji (1989), ada perbedaan pengabuan cara kering dan cara basah. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.

Tabel 2.4: Perbedaan Pengabuan cara kering dan cara basah (Sudarmadji, 1989).

NO

Perbedaan pengabuan cara kering dan cara basah.

Cara Kering Cara Basah

1 Penentuan total abu untuk makanan dan hasil pertanian

Penentuan total abu untuk trace element

2 Memerlukan waktu yang relatif lama Memerlukan waktu yang relatif cepat

3 Suhu relatif lebih tinggi Suhu relatif lebih rendah

4 Jumlah sampel yang banyak Jumlah sampel yang disesuaikan dengan reagensi yang digunakan


(26)

2.5Gravimetri

Gravimetri merupakan cara pemeriksaan jumlah zat yang paling tua dan paling sederhana dibandingkan dengan cara pemeriksaan kimia lainnya. Kesederhanaan itu jelas kelihatan karena dalam gravimetri jumlah zat ditentukan dengan menimbang langsung massa zat yang dipisahkan dari zat-zat lain. Pada dasarnya pemisahan zat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Mula-mula cuplikan zat dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, lalu ditambahkan zat pengendap. Endapan yang terbentuk disaring, dicuci, dikeringkan dan dipijarkan dan setelah dingin ditimbang. Kemudian jumlah zat yang ditentukan dihitung dari faktor stoikiometrinya. Hasilnya disajikan sebagai persentase bobot zat dalam cuplikan semula (Rivai, 1995).

Meskipun gravimetri merupakan cara pemeriksaan kimia terhitung yang paling tua dan paling jelas urutan kerjanya, namun pemakaiannya terbatas karena pengerjaannya memakan waktu lama. Selain itu, berbagai persyaratan harus dipenuhi agar penentuan terhitung dapat dilakukan dengan memuaskan. Persyaratan itu antara lain:

1. Zat yang akan ditentukan harus dapat diendapkan secara terhitung (sekurangnya 99,9% kesempurnaan pengendapannya). Ini berarti bahwa endapan yang terbentuk harus cukup sukar larut. Umumnya, endapan yang dipakai dalam gravimetri mempunyai kelarutan atau hasil kali kelarutan yang sangat rendah, sehingga kehilangan yang disebabkan oleh kelarutannya dapat diabaikan. Selain itu, zat pengendapan karena jumlah zat pengendap yang dibutuhkan untuk pengendapan tidak diketahui dengan pasti. Penambahan zat


(27)

pengendap yang berlebihan ini juga akan mengurangi kehilangan endapan. Misalnya, jika pengendapan ion kalsium sebagai kalsium oksalat dipertimbangkan, maka kelebihan ion oksalat akan menggeser kesetimbangan reaksi pengendapan kearah pembentukan endapan kalsium oksalat seperti berikut :

Ca 2+ + C2O42-↔ CaC2O4 ↓

2. Endapan yang terbentuk harus cukup murni dan dapat diperoleh dalam bentuk yang cocok untuk pengolahan selanjutnya. Endapan yang berbentuk hablur kasar lebih cocok untuk pengolahan selanjutnya dalam gravimetric daripada endapan yang terbentuk hablur halus atau endapan yang tak terbentuk. Sedangkan pengolahan selanjutnya itu akan menghasilkan senyawa yang akan ditimbang yang mengandung (Rivai, 1995).

Sebagian besar alat untuk gravimetri adalah alat-alat gelas. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama analisis maka harus digunakan alat-alat gelas Pyrex daripada yang lain (Rohman, 2007).

Pekerjaan analisis secara gravimetri dapat dibagi dalam beberapa langkah sebagai berikut: 1. Pengendapan; 2. Penyaring; 3. Pencucian endapan; 4. Pengeringan, pemanasan/ pemijaran dan penimbangan endapan hingga konstan (Rohman, 2007).

Gravimetri dapat digunakan untuk menentukan hampir semua kation dan anion anorganik serta zat-zat netral seperti air, belerang dioksida, karbon dioksida, dan iodium. Selain itu, berbagai jenis zat organik dapat diterapkan dengan teknik gravimetri (Rohman, 2007).


(28)

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Tempat Pengujian

Pengujian penetapan kadar abu dalam abon ikan dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan yang berada di Jalan Willem Iskandar Pasar V Barat I No. 2 Medan.

3.2Penetapan Kadar Abu dalam Abon Ikan dengan Metode Gravimetri 3.2.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah krus porselin, spatula, timbangan analitik (Analitic Balance Digital Precisa XB 220 A), tanur listrik (Nabertherm B 180). Bahan yang digunakan adalah Abon Ikan(BBPOM).

3.2.2 Prosedur

Prosedur gravimetri yang digunakan adalah prosedur yang diterapkan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

Ditimbang seksama 2-3 gram sampel “abon ikan” kedalam cawan porselen yang telah diketahui bobotnya (dibuat duplo). Lalu abukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550o C sampai pengabuan sempurna (sekali-kali pintu tanur dibuka sedikit, agar oksigen bisa masuk) selama 20 jam. Setelah zat putih sempurna buka tanur listrik selama 30 menit sampai suhu turun. Ambil cawan porselen dan dinginkan dalam eksikator selama 30 menit, lalu ditimbang sampai bobot tetap.


(29)

3.2.3 Interpretasi hasil

Kadar Abu = ( W1 - W2 ) / W x 100% Dimana :

W = Bobot contoh sebelum diabukan, dalam gram

W1 = Bobot contoh + cawan sesudah diabukan dalam gram W2 = Bobot cawan kosong dalam gram


(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 4.1: Tabel Data

Percobaan

Bobot Wadah 1 kosong

Bobot Contoh Bobot wadah I + zat sesudah pemanasan Wadah II +

Contoh

Wadah III + Sisa

1. 30,6768 32,6752 1,9984 30,7486* → 0,0718**

2. 30,6963 32,6904 1,9941 30,7664* → 0,0701**

Pada percobaan penetapan kadar abu dalam abon ikan secara gravimetri, diketahui abon ikan yang diuji mengandung kadar abu yang memenuhi syarat sesuai SNI 01-2892-1992 yaitu 3,56%. Contoh perhitungan hasil pengujian dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 28.

4.2 Pembahasan

Percobaan penetapan kadar abu dalam abon ikan secara gravimetri, diketahui abon ikan mengandung kadar abu 3,56%. Sesuai dengan SNI 01-2892-1992, kadar abu yang diperbolehkan pada abon ikan maksimal 7%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa abon ikan yang diuji melalui proses pembuatan yang baik sehingga dapat dikonsumsi sebagai bahan pangan.


(31)

Menurut Sudarmadji, adapun tujuan dari penentuan kadar abu adalah untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan dan juga berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain.


(32)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil percobaan penetapan kadar abu dalam abon ikan secara gravimetri, diketahui abon ikan yang diuji mengandung kadar abu yang memenuhi syarat sesuai SNI 01-2892-1992 yaitu 3,56% (<7%).

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya, untuk percobaan pada abon ikan dilakukan juga uji kadar abu larut asam, pengawet, pewarna, cemaran logam, cemaran mikroba dan lainnya. Pengujian-pengujian tersebut sangat dibutuhkan untuk mengetahui kelayakan suatu produk yang dipasarkan bisa dikonsumsi oleh masyarakat.


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah. (2006). Pengolahan dan Pengawetan Ikan . Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 1-2, 5.

Afrianto, L. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 110.

Anonim. (2013). Marlin (Fish). Available from:

http://www.britannica.com/search?query=marlin, Tgl: 23 April 2013 Badan Standarisasi Indonesia. (1989). Standart Mutu Abon. SNI 01-2891-1992.

Jakarta: Badan Standard Nasional.

Direktorat Standarisasi Produk Pangan Deputi Bidang Pengawas Keamanan Pangan dan Berbahaya BPOM RI. (2006). Abon. KP 09.2.4.3. Jakarta: Dewan Standard Nasional.

Hariadi. (2013). Abon Ikan Marlin Rejeki. Available from:

Karyono. (1982). Petunjuk Praktek Penanganan dan Pengolahan Ikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

One. (2011). Analisa Kadar abu. Available from:

Rahmiatirahman. (2013). Laporan Hasil Praktikum Ikan dan Hasil Perairan

Lainnya serta Hasil Olahan. Available from:

Tgl: 10

April 2013.

Rivai. (1995). Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI Press. Hal. 295 – 296.

Rohman, dan Gandjar, IG. (2007). Kimia Farmasi Analis.. Yogyakarta: Hal. 92, 97, 112. Sari D. (2009). Abon ikan marlin kaya DHA dan Omega 3. Available from:

Sudarmadji, B. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty. Hal. 150-155


(34)

Suhartini, Hidayat. (2003). Olahan Ikan Segar. Surabaya: Trubus agrisarana. Hal. 8-9.

Wibowo S. (1991). Budidaya Bawang, Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay. Jakarta: Penebar Swadaya.


(35)

Lampiran 1. Identitas Sampel

Nama contoh : Abon Ikan Sarinah No. Kode contoh : 75

Wadah/kemasan : Bungkus Plastik/ 150 gram Pabrik : PT. Abad Baru Food-Jakarta

Komposisi : Ikan Marlin, Gula, Bawang merah, Bawang putih, ketumbar, Santan kelapa, lengkuas, Garam, rempah-rempah.

Waktu daluarsa : 31 Desember 2013


(36)

Lampiran 2. Data Penimbangan

Penetapan Kadar Abu dalam Abon ikan dengan Metode Gravimetri

Penimbangan I

Data penimbangan sebelum dikeringkan: Bobot wadah kosong : 30,6768 gram Bobot wadah + cuplikan : 32,6752 gram Bobot cuplikan : 1,9984 gram

Data penimbangan setelah dikeringkan:

Bobot wadah + cuplikan : 30,7486 gram Bobot cuplikan setelah dikeringkan : 0,0718 gram Rumus Perhitungan:W1−W2

W1 x 100%

dimana : W = Bobot contoh sebelum diabukan, dalam gram

W1 = Bobot contoh + cawan sesudah diabukan dalam gram W2 = Bobot cawan kosong dalam gram

Kadar abu = 0,0718

1,9984 x 100% = 3,59%

Penimbangan II


(37)

Bobot wadah + cuplikan : 32,6904 gram Bobot cuplikan : 1,9941 gram Data penimbangan setelah dikeringkan:

Bobot wadah + cuplikan : 30,7664 gram Bobot cuplikan setelah dikeringkan : 0,0701 gram Rumus Perhitungan:W1−W2

W1 x 100%

dimana: W = Bobot contoh sebelum diabukan, dalam gram

W1 = Bobot contoh + cawan sesudah diabukan dalam gram W2 = Bobot cawan kosong dalam gram

Kadar abu = 0,0701

1,9941 x 100% = 3,52%

Kadar air rata-rata =������+�������

2

= 3,59% +3,52%

2


(38)

Lampiran 3. Gambar Alat

Gambar 1. Desikator Gambar 4. Spatula

Gambar 2. Krus Porselen Gambar 5. Tanur Listrik


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah. (2006). Pengolahan dan Pengawetan Ikan . Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 1-2, 5.

Afrianto, L. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 110.

Anonim. (2013). Marlin (Fish). Available from: http://www.britannica.com/search?query=marlin, Tgl: 23 April 2013 Badan Standarisasi Indonesia. (1989). Standart Mutu Abon. SNI 01-2891-1992.

Jakarta: Badan Standard Nasional.

Direktorat Standarisasi Produk Pangan Deputi Bidang Pengawas Keamanan Pangan dan Berbahaya BPOM RI. (2006). Abon. KP 09.2.4.3. Jakarta: Dewan Standard Nasional.

Hariadi. (2013). Abon Ikan Marlin Rejeki. Available from:

Karyono. (1982). Petunjuk Praktek Penanganan dan Pengolahan Ikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

One. (2011). Analisa Kadar abu. Available from:

Rahmiatirahman. (2013). Laporan Hasil Praktikum Ikan dan Hasil Perairan

Lainnya serta Hasil Olahan. Available from:

Tgl: 10

April 2013.

Rivai. (1995). Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI Press. Hal. 295 – 296.

Rohman, dan Gandjar, IG. (2007). Kimia Farmasi Analis.. Yogyakarta: Hal. 92, 97, 112. Sari D. (2009). Abon ikan marlin kaya DHA dan Omega 3. Available from:

Sudarmadji, B. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty. Hal. 150-155


(2)

Suhartini, Hidayat. (2003). Olahan Ikan Segar. Surabaya: Trubus agrisarana. Hal. 8-9.

Wibowo S. (1991). Budidaya Bawang, Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay. Jakarta: Penebar Swadaya.


(3)

Lampiran 1. Identitas Sampel

Nama contoh : Abon Ikan Sarinah No. Kode contoh : 75

Wadah/kemasan : Bungkus Plastik/ 150 gram Pabrik : PT. Abad Baru Food-Jakarta

Komposisi : Ikan Marlin, Gula, Bawang merah, Bawang putih, ketumbar, Santan kelapa, lengkuas, Garam, rempah-rempah.

Waktu daluarsa : 31 Desember 2013


(4)

Lampiran 2. Data Penimbangan

Penetapan Kadar Abu dalam Abon ikan dengan Metode Gravimetri

Penimbangan I

Data penimbangan sebelum dikeringkan: Bobot wadah kosong : 30,6768 gram Bobot wadah + cuplikan : 32,6752 gram Bobot cuplikan : 1,9984 gram

Data penimbangan setelah dikeringkan:

Bobot wadah + cuplikan : 30,7486 gram Bobot cuplikan setelah dikeringkan : 0,0718 gram Rumus Perhitungan: W1−W2

W1 x 100%

dimana : W = Bobot contoh sebelum diabukan, dalam gram

W1 = Bobot contoh + cawan sesudah diabukan dalam gram W2 = Bobot cawan kosong dalam gram

Kadar abu = 0,0718

1,9984 x 100% = 3,59%


(5)

Bobot wadah + cuplikan : 32,6904 gram Bobot cuplikan : 1,9941 gram Data penimbangan setelah dikeringkan:

Bobot wadah + cuplikan : 30,7664 gram Bobot cuplikan setelah dikeringkan : 0,0701 gram Rumus Perhitungan: W1−W2

W1 x 100%

dimana: W = Bobot contoh sebelum diabukan, dalam gram

W1 = Bobot contoh + cawan sesudah diabukan dalam gram W2 = Bobot cawan kosong dalam gram

Kadar abu = 0,0701

1,9941 x 100% = 3,52%

Kadar air rata-rata =������+�������

2

= 3,59% +3,52%

2


(6)

Lampiran 3. Gambar Alat

Gambar 1. Desikator Gambar 4. Spatula