Intersepsi Pada Berbagai Kelas Umur Tegakan Karet (Hevea brasiliensis) (Studi Kasus Di Desa Huta II Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun)

INTERSEPSI PADA BERBAGAI KELAS UMUR
TEGAKAN KARET (Hevea brasiliensis)
(Studi Kasus Di Desa Huta II Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas
Kabupaten Simalungun)

Skripsi
Oleh
Riki Jaya Dinata
031202032 / Budidaya Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007

Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 1 Februari 1985 dari

Ayahanda Jamsir dan Ibunda Nasiaty. Penulis merupakan putra ke dua dari tiga
bersaudara.
Tahun 1997 penulis lulus dari SD Negeri Inpres NO 124404 Pematang
Siantar. Tahun 2000 penulis lulus dari SLTP Yayasan Perguruan Keluarga
Pematang Siantar. Tahun 2003 penulis lulus dari SLTA Yayasan Perguruan
Keluarga Pematang Siantar dan pada tahun yang sama diterima di USU melalui
jalur SPMB. Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan pada Jurusan
Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi
kampus seperti Komunitas Pembibitan (KOMBIT) dan Badan Kemakmuran
Mushola (BKM) yang ada di Jurusan Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Intersepsi Pada Berbagai
Kelas Umur Tegakan Karet (Hevea brasiliensis) (Studi Kasus Di Desa Huta
II Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun). Yang
dilaksanakan selama 2 bulan (1 April 2007 sampai dengan 30 Mei 2007).
Penelitian tersebut merupakan bahan skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Intersepsi tajuk, air lolos dan aliran batang adalah komponen hidrologi
yang penting untuk diketahui. Air hujan yang jatuh diatas permukaan vegetasi
tidak langsung mengalir ke permukaan tanah melainkan akan tertampung
sementara di tajuk, cabang dan batang vegetasi selanjutnya akan diuapkan yang
disebut intersepsi tajuk. Pada kebanyakan studi analisis neraca air, intersepsi
merupakan faktor yang penting untuk menentukan besarnya curah hujan bersih
atau jumlah curah hujan yang tersedia untuk menjadi air larian dan aliran air
tanah.
Penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui besarnya intersepsi
yang terjadi pada umur yang berbeda serta hubungan curah hujan dan umur
tegakan Hevea barasiliensis terhadap intersepsi tajuk di Huta II Tumorang,
Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis menyampaikan hormat dan
terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Bejo Slamet, S.Hut, M.Si. sebagai
ketua komisi pembimbing dan Bapak Achmad Siddik Thoha, S.Hut, M.Si sebagai
anggota pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dengan sabar sejak dari
perencanaan, pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian skripsi ini.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Universitas Sumatera Utara,

Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi sampai
selesainya skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Paimin yang telah
memberikan izin lokasi penelitian berupa tegakan Hevea brasiliensis kepada
penulis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman angkatan 2003 Jurusan
Kehutanan USU, penulis ucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya
selama penulis menempuh perkuliahan.
Terima kasih dan hormat penulis kepada ayahanda Jamsir dan ibunda
Nasiaty yang telah membesarkan penulis. Kepada kakanda Dedi Ali Syahputra,
ST., yang telah sabar dan memberikan semangat untuk terus menyelesaikan
skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih.
Kritik dan saran penulis terima dengan besar hati dan rasa syukur. Semoga
skripsi ini memberi manfaat kepada yang membacanya, dan ikut menyumbangkan
tambahan ilmu pengetahuan


Medan, Nopember 2007

Penulis

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... viii
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................. 1
Tujuan Penelitian .............................................................................. 2
Hipotesa Penelitian ............................................................................ 2
Kegunaan Penelitian .......................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
Morfologi Karet / Rambung ( Hevea brasiliensis ) ............................ 3

Sistematika Karet .............................................................................. 4
Kesesuaian Tempat Tumbuh Pohon Karet ......................................... 5
Manfaat Pohon Karet (Hevea brasiliensis)......................................... 6
Perkembangan Perkebunan Karet (Hevea brasiliensis) Di Indonesia . 7
Siklus Hidrologi ................................................................................ 8
Intersepsi ........................................................................................... 9
Faktor Yang Mempengaruhi Intersepsi .............................................. 12
Pengukuran Intersepsi ....................................................................... 15
Penelitian Intersepsi Pada Berbagai Tegakan Hutan........................... 17
BAHAN DAN METODE PENELITIAN ................................................... 21
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 21
Bahan dan Alat .................................................................................. 21
Metode Penelitian.............................................................................. 22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil.................................................................................................. 28
Curah Hujan ............................................................................. 29
Air Lolos .................................................................................. 29
Aliran Batang ........................................................................... 31
Intersepsi Tajuk ........................................................................ 33
Hubungan Air Lolos Dengan Curah Hujan................................ 35

Hubungan Aliran Batang Dengan Curah Hujan ......................... 41
Hubungan Intersepsi Tajuk Dengan Curah Hujan...................... 45
KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 50
Kesimpulan .............................................................................. 50

Universitas Sumatera Utara

Saran ........................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam daur hidrologi, hutan mempunyai pengaruh dan peranan yang
sangat penting. Keberadaan penutupan hutan terhadap siklus hidrologi sangat
penting, terutama terhadap neraca air dan iklim mikro. Selan itu hutan juga dapat

memberikan naungan, mengurangi kecepatan angin, debu dan suara serta
menurunkan suhu yang ekstrim. Hutan mampu mengintersepsikan curahan hujan,
mengurangi dan mencegah bahaya erosi serta mengurangi limpasan permukaan
(surface run of ).
Menurut Oetomo (1997, dalam Lahjie, 2004) menyebutkan bahwa saat ini
kawasan hutan yang benar bervegetasi tinggal 21.4 juta hektar, dengan demikian
dalam kurun waktu tiga dekade terakhir telah terjadi kehilangan hutan seluas 78.6
juta hektar. Selama kurun waktu tersebut hutan telah mengalami perubahan, baik
fisik maupun biologis. Perubahan ini terjadi karena hutan telah dikonversi
menjadi penggunaan lain yaitu pemukiman dan perkebunan. Konversi hutan
menjadi perkebunan adalah faktor terbesar berkurangnya luas kawasan hutan di
Indonesia.
Susila (1998, dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000)

Dari seluruh

komoditas utama perkebunan (karet, kopi, teh dan kelapa sawit), komoditas karet
adalah areal pertanaman yang terluas. Indraty (2005, dalam Boerhendhy dan
Agustina, 2006) menyebutkan bahwa tanaman karet memberikan kontribusi yang
sangat penting dalam pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan akhirakhir ini menjadi isu penting mengingat kondisi sebagian besar hutan alam makin


Universitas Sumatera Utara

memprihatinkan. Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen,
kayu, dan biomassa dapat digunakan untuk mendukung fungsi perbaikan
lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata
guna air bagi tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi.
Mengingat perubahan kawasan hutan juga akan merubah fungsi hutan
maka diperlukan adanya informasi tentang perubahan fungsi akibat dikonversinya
hutan menjadi pola penggunaan lain, salah satunya adalah konversi hutan menjadi
tegakan atau kebun karet. Oleh karena itu kajian fungsi hidrologis tegakan karet
terutama aspek intersepsinya menjadi sangat penting untuk diketahui apakah
tegakan karet juga mempunyai fungsi hidrologis yang baik atau tidak.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intersepsi pada berbagai umur
tegakan Hevea brasiliensis

Hipotesa Penelitian


Umur pohon berpengaruh terhadap besarnya intersepsi pada tegakan
Hevea brasiliensis

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan informasi mengenai
besar intersepsi pada Hevea brasiliensis
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam hal
pemberian ijin konversi hutan untuk kepentingan perkebunan karet

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon yang tumbuh tinggi
dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 m. Batang
tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di
beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke

arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama
lateks (Nazarrudin dan Paimin, 2006).
Sedangkan menurut Setiawan (2000) tanaman karet merupakan pohon
yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Pohon dewasa dapat mencapai
tinggi antara 15 – 30 m. Perakarannya cukup kuat serta akar tunggangnya dalam
dengan akar cabang yang kokoh. Pohonnya tumbuh lurus dan memiliki
percabangan yang tinggi diatas.

Gambar 1. Bentuk pohon, daun, buah, biji dan kulit batang dari Hevea brasiliensis
(Lorenzi, 2007)

Universitas Sumatera Utara

Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi
kuning atau merah. Biasanya tanaman karet mempunyai “jadwal“ kerontokan
daun pada setiap musim kemarau. Di musim rontok ini kebun karet menjadi indah
karena daun – daun karet berubah warna dan jatuh berguguran (Nazarrudin dan
Paimin, 2006).
Selanjutnya Nazarrudin dan Paimin (2006) menambahkan daun karet
terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun

utama 3 – 20 cm. Panjang tangkai anak daun antara 3 – 10 cm dan pada ujungnya
terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun
karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing.
Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar
tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan
besar (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Sistematika
Menurut Nazarrudin dan Paimin (2006) dalam dunia tumbuhan karet
tersusun dalam sistematika sebagai berikut.
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledone

Ordo

: Euphorbiales

Famili

: Euphorbiaceae

Genus

: Hevea

Spesies

: Hevea brasiliensis

Universitas Sumatera Utara

Kesesuaian Tempat Tumbuh Pohon Karet
Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama di Brazil yang
beriklim tropis, maka karet juga cocok ditanam di daerah – daerah tropis lainnya.
Daerah tropis yang baik ditanami karet mencakup luasan antara 15o Lintang Utara
sampai 10o Lintang Selatan. Walaupun daerah itu panas, sebaiknya tetap
menyimpan kelembapan yang cukup. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet
rata – rata 25 – 30o C. Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata – rata
kurang dari 20o C, maka tanaman karet tidak cocok di tanam di daerah tersebut.
Pada daerah yang suhunya terlalu tinggi, pertumbuhan tanaman karet tidak
optimal (Setiawan, 2000). Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada
ketinggian antara 1 – 600 m dari permukaan laut. Curah hujan yang cukup tinggi
antara 2000 – 2500 mm setahun. Akan lebih baik lagi apabila curah hujan itu
merata sepanjang tahun (Nazarrudin dan Paimin, 2006).
Sinar matahari yang cukup melimpah di negara – Negara tropis merupakan
syarat lain yang diinginkan tanaman karet. Dalam sehari tanaman karet
membutuhkan sinar matahari dengan intensitas yang cukup paling tidak selama 5
– 7 jam (Setiawan, 2000).
Tanah – tanah yang kurang subur seperti podsolik merah kuning yang
terhampar luas di Indonesia dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang
baik bisa dikembangkan menjadi perkebunan karet dengan hasil yang
memuaskan. Selain jenis podsolik merah kuning, tanah latosol dan alluvial juga
bisa dikembangkan untuk penanaman karet. Tanah yang derajat keasamannya
mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat keasaman yang paling
cocok adalah 5 – 6. Batas toleransi pH tanah bagi pohon karet adalah 4 – 8. Tanah

Universitas Sumatera Utara

yang agak masam masih lebih baik dari pada tanah yang basa. Topografi tanah
sedikit banyak juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Akan lebih baik
apabila tanah yang dijadikan tempat tumbuhnya pohon karet datar dan tidak
berbukit – bukit (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Manfaat Pohon Karet (Hevea brasiliensis)
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai
sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan
ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun
pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Kayu karet juga akan mempunyai
prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan.
Indonesia sebagai negara dengan luas areal kebun karet terbesar dan produksi
kedua terbesar di dunia (Goenadi et al., 2005).
Indraty (2005, dalam Boerhendhy dan Agustina, 2006) menyebutkan
bahwa tanaman karet juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam
pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu
penting mengingat kondisi sebagian besar hutan alam makin memprihatinkan.
Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen, kayu, dan biomassa
dapat digunakan untuk mendukung fungsi perbaikan lingkungan seperti
rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata guna air bagi
tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi. Pada daerah
kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan tanah. Daur hidup tanaman
karet yang demikian akan terus berputar dan berulang selama satu siklus tanaman
karet paling tidak selama 30 tahun. Oleh karena itu, keberadaan pertanaman karet

Universitas Sumatera Utara

sangat strategis bagi kelangsungan kehidupan, karena mampu berperan sebagai
penyimpan dan sumber energi.
Hal senada dikemukakan oleh Azwar et al. (1989, dalam Boerhendhy dan
Agustina, 2006) bahwa laju pertumbuhan biomassa rata-rata tanaman karet pada
umur 3−5 tahun mencapai 35,50 ton bahan kering/ha/ tahun. Hal ini berarti
perkebunan karet dapat mengambil alih fungsi hutan yang berperan penting dalam
pengaturan tata guna air dan mengurangi peningkatan pemanasan bumi (global
warming).

Perkembangan Perkebunan Karet Di Indonesia
Perkembangan pembudidayaan karet (Hevea brasiliensis) akhir – akhir ini
mengalami kemajuan yang sangat pesat khususnya di Propinsi Sumatera Utara,
baik di perkebunan milik negara, swasta maupun yang diusahakan oleh rakyat.
Pohon karet atau disebut juga rambung banyak diusahakan oleh masyarakat baik
dengan sistem monokultur maupun secara agroforestry.
Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh
rakyat (91%), perkebunan negara dan perkebunan swasta (9%). Pertumbuhan
karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58% per tahun, sedangkan
areal perkebunan negara dan swasta sama yaitu 0,15% per tahun. Oleh karena itu,
tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat
(Goenadi et al., 2005).
Menurut Susila (1998, dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000) saat ini
pusat perkebunan karet terletak di propinsi Sumatera Utara (905.000 ha), propinsi

Universitas Sumatera Utara

Riau (544.700 ha), propinsi Kalimantan Barat (211.400 ha) dan propinsi Sumatera
Selatan (206.000 ha).

Siklus Hidrologi
Di bumi terdapat kira – kira sejumlah 1,3 – 1,4 milyar km3 air: 97,5 %
adalah air laut, 1,75 % berbentuk es dan 0,73 % berada ditanah sebagai air sungai,
air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001 % berbentuk uap di udara. Air di
bumi ini mengulangi secara terus – menerus sirkulasi: penguapan, presipitasi dan
pengaliran keluar (out flow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan
laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh
sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke
permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke
permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi
mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuhan dimana
sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan
– dahan ke permukaan tanah. Sirkulasi yang kontiniu antara air laut dan air
daratan berlangsung terus. Sirkulasi air ini disebut siklus hidrologi (Mori, 1993).
Dalam kawasan hutan/tegakan maka siklus hidrologi akan melalui
beberapa proses.masukan berupa curah hujan akan didistribusikan melalui
beberapa cara, yaitu aliran batang (stemflow), air lolos (troughfall), dan air hujan
langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian dibagi menjadi air larian,
evapotranspirasi dan infiltrasi. Intersepsi sebagai salah satu komponen dalam
hidrologi mempunyai peranan yang penting dalam siklus hidrologi (Asdak, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa air secara terus menerus
mengalami sirkulasi yang disebut siklus hidrologi seperti yang terlihat pada
Gambar 2.

Gambar 2. Siklus Hidrologi (UNESCO, 1978)

Intersepsi
Intersepsi merupakan proses tertahannya air hujan oleh tanam – tanaman
atau permukaan lain yang kemudian diuapkan kembali (Sri Harto, 1993).
Sedangkan

menurut

Purbo

(1987)

intersepsi

merupakan

proses

tertangkapnya dan tertahannya air hujan oleh tumbuhan atau bangunan dan akan
diuapkan kembali tanpa mencapai permukaan tanah.
Dalam hal ini ada 3 fenomena yaitu, interception loss, troughfall dan
stemflow. Interception loss merupakan air hujan yang tertahan kemudian diuapkan

Universitas Sumatera Utara

kembali. Jumlah kehilangan ini sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan
kerapatan daun. Air lolos (Troughfall) merupakan bagian air yang baik menetes di
antara daun – daun maupun ranting dan dahan yang kemudian jatuh ke tanah.
Aliran batang (Stemflow) adalah bagian air hujan yang mengalir melalui ranting,
dahan selanjutnya ke batang dan jatuh ke tanah (Sri Harto, 1993).
Air hujan yang jatuh di atas permukaan vegetasi yang lebat terutama pada
permulaan hujan, tidak langsung mengalir ke permukaan tanah. Untuk sementara,
air tersebut akan ditampung oleh tajuk, batang, dan cabang vegetasi. Setelah
tempat – tempat tersebut jenuh dengan air, maka air hujan yang datang kemudian
akan menggantikan air hujan yang tertampung tersebut untuk selanjutnya menetes
ke tajuk, batang dan cabang vegetasi di bawahnya sebelumnya akhirnya sampai di
atas tumbuhan bawah, serasah dan permukaan tanah. Besarnya air yang
tertampung di permukaan tajuk, batang dan cabang vegetasi dinamakan kapasitas
simpan intersepsi (canopy storage capacity) dan besarnya ditentukan oleh bentuk,
kerapatan dan tekstur vegetasi (Asdak, 2004).
Secara lebih terperinci Sri Harto (1993) menjelaskan troughfall merupakan
bagian air hujan yang jatuh di sela – sela daun tanaman sampai ke permukaan
tanah. Bagian air ini dapat langsung merupakan air hujan atau bagian dari air
hujan yang tertahan pohon, akan tetapi telah melebihi kapasitas tampungan
(interception loss). Stemflow merupakan bagian air yang mengalir melalui ranting,
dahan dan selanjutnya ke batang pohon dan jatuh ke tanah. Bagian air ini
disatukan dengan troughfall. Skema intersepsi dapat dilihat pada Gambar 3.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Skema intersepsi pada pohon (Gerrits, 2005).

Pembahasan intersepsi tidak hanya mengenai aliran batang dan air lolos.
Singh (1992) menyatakan bahwa ada beberapa defenisi lain yang harus dimengerti
dalam mempelajari intersepsi, antara lain Interception storage adalah banyaknya
air hujan atau salju yang ditahan oleh tajuk atau oleh benda lain seperti gedung,
pada waktu tertentu. Forest floor interception loss didefenisikan sebagai
banyaknya air hujan yang diintersepsi dan dievaporasikan oleh lantai hutan
sebelum terjadinya proses infiltrasi. Total interceptios loss merupakan besarnya
tingkat evaporasi dari air hujan atau salju yang mencair yang di intersepsikan oleh
benda lain atau tajuk vegetasi.
Intersepsi tajuk adalah bagian dari presipitasi yang tidak mencapai lantai
hutan; secara kuantitatif hal tersebut menyatakan perbedaan antara presipitasi,
jumlah air lolos dan aliran batang, Yaitu I = P – T – S. Dimana I adalah intersepsi

Universitas Sumatera Utara

tajuk, P adalah presipitasi, T adalah air lolos dan S adalah aliran batang (Lee,
1990).
Jumlah troughfall bervariasi secara terbalik dengan kerapatan tegakan
hutan dan umumnya naik dengan jarak dari batang – batang pohon, dengan
mencerminkan pengaruh kerapatan terhadap intersepsi tajuk. Intensitas rata – rata
troughfall lebih kecil dibandingkan dengan intensitas curah hujan, namun ukuran
tetesannya lebih besar (Lee, 1990).
Dari pernyataan tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
besarnya intersepsi tidak ditemukan secara kuantitatif di lapangan, tetapi harus
melalui pengukuran dari air lolos, aliran batang dan presipitasi yang terjadi pada
waktu tertentu.

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Intersepsi
Faktor Vegetasi
Faktor – faktor yang mempengaruhi intersepsi berdasarkan vegetasi yaitu
luas vegetasi hidup atau mati, bentuk daun dan cabang vegetasi serta dipengaruhi
oleh umur dari suatu vegetasi. Dalam perkembangannya bagian tanaman akan
mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan bagian tanaman yang
paling berpengaruh dalam intersepsi adalah perkembangan tajuk, batang dan
cabang pohon (Asdak, 2002).
Teklehaimanot dan Jarvis (1991) dalam Asdak (2002), menyatakan
bahwa pada hutan tanaman yang mempunyai berbagai jarak tanam yang berbeda
juga dapat mempengaruhi besar – kecilnya intersepsi. Pada tingkat kerapatan
vegetasi berdaun jarum yang berbeda masing – masing jarak tanamnya yaitu 2x2

Universitas Sumatera Utara

m, 4x4 m, 6x6 m, dan 8x8 m memberikan hasil intersepsi yang berbeda sebesar
33 %, 24 %, 15 %, dan 9 % dari curah hujan total.
Besarnya intersepsi hujan suatu vegetasi juga dipengaruhi oleh umur
tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, bagian – bagian
tertentu vegetasi akan mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan
bagian – bagian vegetasi yang mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya
intersepsi adalah perkembangan kerapatan/luas tajuk, batang dan cabang vegetasi.
Semakin luas atau rapat tajuk vegetasi semakin banyak air hujan yang dapat
ditahan sementara untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfir. Demikian juga
halnya dengan percabangan pohon. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
semakin tua, luas dan kerapatan tajuk kebanyakan vegetasi akan semakin besar.
Jumlah percabangan pohon juga semakin banyak. Oleh kombinasi kedua faktor
tersebut menyebabkan jumlah air hujan yang dapat ditahan sementara oleh
vegetasi tersebut menjadi semakin besar sehingga kesempatan untuk terjadinya
penguapan juga menjadi besar (Asdak, 2004).
Besarnya kapasitas cadangan tajuk tergantung pada luas permukaan daun
dan kulit kayu, kekasaran, orientasi, penyusunan, dan pembasahannya, serta pada
kekuatan angin dan gravitasi yang cenderung mengeluarkan partikel – partikel
presipitasi. Secara kuantitatif air lolos merupakan perbedaan antara presipitasi
dengan penjumlahan intersepsi tajuk dan aliran batang. Besarnya air lolos
bervariasi secara terbalik dengan kerapatan tegakan – tegakan hutan, dan
umumnya naik dengan jarak dari batang – batang pohon, dengan mencerminkan
pengaruh kerapatan terhadap intersepsi tajuk; pada tegakan – tegakan hutan padat
pola – pola air lolos dapat berasosiasi dengan pola – pola kandungan air tanah.

Universitas Sumatera Utara

Intensitas rata – rata air lolos lebih kecil dibandingkan dengan intensitas curah
hujan, namun ukuran – ukuran tetesannya lebih besar, dan dampak potensial
totalnya sebagai suatu kekuatan erosi adalah lebih besar. Distribusi air lolos yang
tidak merata pada lantai hutan disebabkan oleh variabilitas presipitasi berskala
kecil diatas tajuk dan oleh pengaruh mekanis dedaunan dan cabang – cabang
dalam mendistribusikan kembali tetesan – tetesan dan kepingan salju (Lee, 1990)
Besarnya intersepsi berubah – ubah sesuai dengan keragaman dari spesies,
umur dan kepadatan populasi dari suatu tegakan serta keadaan iklim di suatu
daerah. Dari total keseluruhan presipitasi, 10 – 20 % di intersepsikan kembali ke
atmosfir. Pohon pada hutan konifer mengintersepsikan air hujan lebih banyak dari
pada tipe tegakan yang menggugurkan daunnya (Chow, 1964).
Menurut Fleming (1975, dalam Sri Harto, 1993) luas bagian tanaman yang
dapat diperhitungkan berpengaruh terhadap kuantitas intersepsi adalah luas relatif
mahkota pohon (canopy), yang dinyatakan sebagai canopy density,yang
dinyatakan Dc = Av / A1; Dc adalah canopy density, Av adalah proyeksi mahkota
pohon, A1 adalah luas lahan yang mencakup Av.
Suatu kesimpulan umum yang baik tidak dapat diambil atas dasar
pengukuran intersepsi yang ada. Perbedaan ini beragam dengan komposisi jenis,
umur tanaman, kerapatan tegakan, musim dalam setahun dengan keragaman
dalam intensitas presipitasi (Seyhan, 1990).

Faktor Iklim
Selain faktor vegetasi, faktor yang mempengaruhi intersepsi adalah suhu
air, suhu udara (atmosfir), kelembapan, kecepatan angin, tekanan udara, sinar

Universitas Sumatera Utara

matahari yang saling berhubungan. Faktor iklim termasuk jumlah dan jarak waktu
antara hujan dengan hujan lainnya, intensitas hujan dan kecepatan angin. (Mori,
2003).
Linsley et al. (1949) menambahkan angin mempengaruhi intersepsi dalam
dua cara yang berbeda. (1) angin memperbesar tingkat evaporasi dan
penyimpanan, (2) angin mengurangi jumlah penyimpanan maksimum. Pengaruh
ini terjadi secara berlawanan, dan pengaruh angin dalam meningkatkan dan
mengurangi intersepsi total, tergantung pada kecepatan angin, lamanya angin,
lamanya hujan, dan kelembapan udara. Dalam hujan yang tenang tanpa angin,
tingkat intersepsi relatif cepat sampai daya simpan penuh, dan kemudian
berkurang pada evaporasi yang lambat dalam kondisi yang tenang. Dalam hujan
dengan angin, tingkat awal intersepsi lebih banyak berkurang karena angin
menghembus air dari daun selama waktu penyimpanan menjadi penuh dan pada
saat yang sama kapasitas intersepsi berkurang. Tetapi meski setelah banyaknya air
disimpan dipermukaan vegetasi mencapai tingkat maksimum, angin menyebabkan
tingkat intersepsi jadi tinggi dengan pengaruhnya pada evaporasi.

Pengukuran Intersepsi
Pengukuran besarnya intersepsi pada skala tajuk vegetasi dapat dilakukan
melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan neraca volume (volume balance
approach) dan pendekatan neraca energi (energy balance approach). Cara yang
pertama adalah cara yang paling sederhana dan tradisional yang paling umum
dilakukan yaitu dengan mengukur curah hujan, aliran batang dan air lolos. Cara
kedua adalah perhitungan besarnya intersepsi dengan memanfaatkan persamaan

Universitas Sumatera Utara

matematis dengan memasukkan parameter – parameter meteorologi dan struktur
tajuk serta tegakan yang diperoleh di lapangan (Asdak, 2004).
Model matematika dalam perhitungan intersepsi yang diperkenalkan oleh
Rutter et al. (1971), dengan menggunakan pendekatan regresi empiris dikenal
dengan Model Rutter. Model Rutter ini mengkalkulasikan keseimbangan air pada
tajuk yang menampung air dan batang yang dialiri air. Karena banyaknya
kekurangan dalam model ini, Gash (1979) mengajukan solusinya dalam
perhitungan intersepsi yaitu Analytical Model Of Rainfall Interception. Parameter
yang digunakan dalam model ini adalah curah hujan, rata – rata evaporasi pada
tajuk, daya tampung tajuk, serta fraksi penutupan tajuk (Van Dijk dan Bruijnzeel,
2001).

(a).

(b).

Gambar 4. Pengukuran intersepsi : (a) Pengukuran aliran batang (Boyle, 2001).
(b) Pengkuran air lolos (Tschaplinski, 2006).

Intersepsi di daerah dengan hutan yang masih baik jelas juga relatif besar,
mengingat kerapatan pohon dan kerapatan daunnya. Besar intersepsi ini dapat
mencapai nilai rata – rata 15%. Jelas dari uraian diatas bahwa peran hutan dalam
memperkecil limpasan permukaan sangat besar, karena dengan demikian maka
debit maksimum akan diperkecil, sedangkan di lain pihak kandungan air tanah

Universitas Sumatera Utara

akan menjadi besar sehingga aliran kecil sepanjang tahun dapat dipelihara (Sri
Harto, 1993).
Seyhan (1990) Meramalkan besarnya komponen kehilangan intersepsi
dalam persamaan neraca air adalah suatu hal yang sulit tanpa dilakukan suatu
pengukuran yang intensif. Namun beberapa pengertian umum diberikan sebagai
berikut :
1. Persentase intersepsi lebih besar untuk suatu kejadian hujan dengan jumlah
presipitasi yang kecil, yang berkisar dari 100% hingga sekitar 25% sebagai
rata – rata kebanyakan pohon.
2. Kehilangan intersepsi mungkin besar pada kawasan – kawasan dengan
evaporasi yang tinggi dan biasanya rendah pada kawasan – kawasan dimana
kehilangan tersebut dikompensasikan oleh kabut
3. Jumlah salju yang diintersepsikan pada hutan – hutan conifer beragam antara
13 hingga 27%.
Penakar – penakar presipitasi biasanya ditempatkan terbuka dan dengan
demikian tidak mengukur presipitasi yang sampai tanah dibawah suatu tajuk
vegetasi. Pengukuran intersepsi dilakukan dengan menentukan perbedaan antara
tangkapan presipitasi penakar dibawah dan didekat penutup vegetasi (Seyhan,
1990).

Penelitian Intersepsi Pada Berbagai Tegakan Hutan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwasanya pada musim pertumbuhan,
10 sampai 20% dari total jumlah hujan akan terintersepsikan. Hasil penelitian
yang lebih akhir menunjukkan bahwa besarnya air hujan yang terintersepsikan

Universitas Sumatera Utara

oleh tajuk hutan hujan tropis tidak terganggu di Kalimantan Tengah adalah
sebesar 11% (Asdak, 2004).
Menurut Kittredge (1948, dalam Asdak, 2004) menyatakan di daerah
beriklim sedang Amerika Utara pada curah hujan < 0,25 mm air terintersepsi
mencapai 100%. Sementara pada curah hujan > 1mm air hujan terintersepsi
berkurang menjadi antara 10 hingga 40%.
Hasil penelitian yang menghubungkan umur tegakan dengan perubahan
besarnya intersepsi yang terjadi menunjukkan bahwa semakin tua tegakan jumlah
intersepsi air hujan menjadi semakin besar. Dari hasil penelitiannya di Lembang,
Jawa Barat, Pudjiharta dan Sallata (1985, dalam Asdak, 2004) melaporkan bahwa
pada tegakan Pinus merkusii dengan umur yang berbeda, masing – masing
tegakan dengan umur 10, 15, dan 20 tahun jumlah intersepsi yang dihasilkan
selama 93 kejadian hari hujan adalah 16 %, 22%, dan 31%.
Teklehaimanot dan Jarvis (1991, dalam Asdak, 2004) melaporkan bahwa
pada tingkat kerapatan vegetasi berdaun jarum yang berbeda masing – masing
dengan jarak tanam 2 x 2 m, 4 x 4 m, 6 x 6 m dan 8 x 8 m memberikan hasil
intersepsi hujan sebesar 33%, 24%, 15%, dan 9% dari curah hujan total. Tampak
bahwa semakin rapat, jumlah air hujan yang diuapkan kembali ke atmosfir
menjadi semakin besar.
Beberapa hasil penelitian mengenai intersepsi air hujan oleh tajuk dari
beberapa jenis Eucalyptus relatif kecil, contohnya pada E. saligna, E. hybrid dan
E. urophylla yaitu 12,2%; 11,65% dan 17,3% dari total curah hujan (Pujiharta,
2004).

Universitas Sumatera Utara

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ispana (2004) pada tegakan
Pinus merkusi umur 6 tahun di Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, Propinsi
Sumatera Utara didapat besar aliran batang, air lolos dan intersepsi berturut – turut
yaitu 1,29%; 37,42%; 61,27% dari total curah hujan. Sedangkan besarnya
intersepsi pada hutan alam menurut Sembiring dan Mas’ud (1996) adalah 91,93%
dan pada tegakan Pinus merkusi berumur 35 tahun yaitu sebesar 91,93%.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara besarnya
intersepsi berbanding lurus dengan intensitas curah hujan. Semakin rendah
intensitas hujan maka intersepsi pada tajuk akan semakin rendah juga. Menurut
Sembiring dan Mas’ud (1996), untuk daerah dengan curah hujan yang rendah,
kehilangan air ini akibat intersepsi dapat menyebabkan semakin berkurangnya air
hujan yang mencapai tanah. Sebaliknya untuk daerah dengan curah hujan yang
tinggi dapat mencegah terjadinya banjir pada daerah tersebut.
Kegunaan intersepsi dalam bidang hidrologi tergantung pada karakteristik
iklim, fisik dan vegetasi. Pada kebanyakan studi analisis neraca air, intersepsi
dianggap penting untuk menentukan besarnya curah hujan bersih (net
precipitation) atau jumlah curah hujan yang tersedia untuk menjadi air infiltrasi,
air larian, aliran air bawah permukaan atau aliran tanah (Asdak, 2004).
Aliran batang dan air lolos mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mendistribusikan nutrisi melalui curah hujan. Air hujan yang jatuh membawa
unsur yang diperlukan bagi tanaman. Bagian air hujan yang mengalir melalui
batang ataupun air lolos membawa unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman
dengan jumlah dan konsentrasi yang berbeda yang akan dikembalikan kepada

Universitas Sumatera Utara

tanah. Dengan demikian terjadi siklus unsur hara yang dikembalikan ke tanah
melalui guguran yang terjadi pada tanaman (Pujiharta, 2004).

Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di
perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, kabupaten Simalungun Propinsi
Sumatera Utara. Penelitian dilakukan selama 2 bulan dimulai dari bulan April-Mei
2007.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan Hevea
brasiliensis yang terbagi dalam tiga kelas umur: 25 tahun, 15 tahun, dan 10 tahun
dengan jarak tanam 3 m x 3,30 m setiap blok kelas umur
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1.

Penakar air lolos (troughfall) yang terbuat dari 4 buah pipa paralon/talang
dengan panjang setiap talang / pipa paralon 4 m dan dihubungkan ke jerigen,
dengan luas penampang alat 11304 cm2 dipasang di bawah tajuk dengan
tinggi permukaan alat adalah 120 cm dari permukaan tanah atau disesuaikan
dengan tinggi bebas cabang tanaman.

2.

Penampung aliran batang (stemflow) dipasang pada batang tanaman, dimana
ujung selang bagian atas terletak 120 cm dari permukaan tanah atau
disesuaikan dengan tinggi bebas cabang tanaman. Selang dililitkan pada
batang yang dihubungkan dengan jerigen yang diatur sedemkian rupa
sehingga aliran batang dapat tertampung

Universitas Sumatera Utara

3.

Gelas ukur dengan volume 100 ml dan 1000 ml, digunakan untuk mengukur
besarnya curah hujan, air lolos dan aliran batang.

4.

Kompas untuk menentukan arah.

5.

Clinometer untuk mengukur tinggi pohon.

6.

Pita ukur untuk mengukur diameter pohon.

Untuk alat penakar curah hujan yang dipakai adalah dari tipe
observatorium dengan luas penampang permukaan adalah 100 cm2. Alat dipasang
setinggi 120 cm dari permukaan tanah yang terletak di sekitar lokasi penelitian.

Metode Penelitian
1. Penentuan Petak
Penentuan petak penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling pada
masing – masing kelas umur. Pada petak penelitian keadaan fisik dari masing
– masing tegakan, pada setiap petak kelas umur relatif sama dalam hal :
a.

Umur tegakan.

b.

Jarak tanam.

c.

Ketinggian di atas permukaan laut (altitude).

Ukuran petak 15 x 15 m pada setiap kelas umur. Pada setiap petak penelitian
dipasang alat penakar air lolos di pasang sebanyak 1 buah yang terdiri dari 4
buah talang / pipa paralon yang menyebar keempat arah yang dihubungkan ke
jerigen. Alat pengukur aliran batang sebanyak 4 buah.

Universitas Sumatera Utara

2. Pengamatan dan Pengukuran
a. Curah hujan diukur dengan alat penakar curah hujan dari tipe
observatorium dengan luas permukaan atas alat adalah 100 cm2 yang
ditempatkan di pinggir tegakan pada areal yang terbuka. Pencatatan curah
hujan dilakukan setiap hari hujan pada jam 07.30 WIB dan dihitung
sebagai hari hujan sebelumnya.

Gambar 5. Contoh alat pengukur curah hujan biasa

b. Aliran batang (stemflow) ditampung dengan menggunakan selang yang
mengelilingi batang yang diatur sedemikian rupa dengan salah satu ujung
selang diletakkan lebih rendah untuk memudahkan air mengalir, kemudian
disambung ke jerigen. Pencatatan dilakukan setiap hari hujan pada pukul
07.30 WIB dan dihitung sebagai hari hujan sebelumnya.

Gambar 6. Teknik Pemasangan Alat Penampung Aliran Batang Pada Tegakan
Hevea brasiliensis

Universitas Sumatera Utara

c. Air lolos (troughfall) diukur dengan menggunakan alat penakar air lolos
yang terdiri dari talang / pipa paralon yang menyebar keempat arah dan
bagian ujung dari keempat talang / pipa paralon tersebut diletakkan lebih
rendah untuk memudahkan air mengalir, kemudian disambung ke jerigen.
Pencatatan dilakukan setiap hari hujan pada pukul 07.30 WIB dan dihitung
sebagai hari hujan sebelumnya.

Gambar 7. Teknik Pemasangan Alat Penakar Air Lolos Pada Tegakan Hevea
brasiliensis
3. Pengolahan Data
a. Perhitungan intersepsi. Dari hasil pengukuran curah hujan, aliran batang
dan air lolos dihitung besarnya intersepsi berdasarkan metode Pendekatan
Keseimbangan Volume (Volume Balance Approach) yaitu:
I = P – (T + S)
Keterangan :
I

= Intersepsi tajuk (mm)

P

= Curah hujan kotor (mm)

T

= Air lolos (mm)

S

= Aliran batang (mm)

Universitas Sumatera Utara

b. Perhitungan stemflow. Hasil awal stemflow diperoleh dalam satuan mili
liter (ml) didapat dari persamaan :
S = X / ( λ R2 )

Keterangan :
S

= Stemflow (mm)

X

= Air yang tertampung dalam jerigen (cm3)

R

= Jari – jari proyeksi tajuk pohon (cm2)

Teknik pengukuran proyeksi tajuk:
1. Diukur jari – jari setiap sisi tajuk sebanyak 8 sesuai dengan arah mata
angin dalam satuan m
2. Dipetakan dalam millimeter blok dengan skala 1 : 100
3. Dihitung besarnya luas proyeksi tajuk pada setiap pohon

Gambar 8. Teknik Menghitung Besarnya Luas Proyeksi Tajuk Tegakan Hevea
brasiliensis
c. Perhitungan troughfall. Hasil awal troughfall diperoleh dalam satuan mili
liter (ml) didapat dari persamaan :
T=X/D
Keterangan :
T

= Troughfall (mm)

X

= Air yang tertampung dalam jerigen (cm3)

Universitas Sumatera Utara

D

= Luas permukaan alat penakar curah hujan (cm2)

d. Untuk menduga hubungan besarnya intersepsi, aliran batang dan air lolos
dengan curah hujan dilakukan dengan regresi linier sederhana.
e. Seluruh perhitungan aliran batang, air lolos dan intersepsi serta bentuk
hubungan curah hujan dengan air lolos, aliran batang serta intersepsi
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak (software) microsoft
excel dan SPSS versi 13.0
f. Untuk membandingkan besarnya intersepsi dari ketiga kelas umur secara
statistik dengan uji t (Paired Sample Test) menggunakan software SPSS
versi 13.0
g. Untuk mendapatkan Koefisien Determinasi (R2) terbesar dari hubungan
curah hujan dengan air lolos, aliran batang dan intersepsi dilakukan
dengan perbandingan 9 persamaan berikut :
1. Y = a+bx
2. Y = a+log bx
3. Y = a+ln bx
4. log Y = a + log bx
5. log Y = a + ln bx
6. ln Y = a + log bx
7. log Y = a + bx
8. ln Y = a + bx
9. ln Y = a + ln bx

Universitas Sumatera Utara

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di areal perkebunan rakyat Desa Huta II
Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun, Propinsi
Sumatera Utara. Daerah penelitian berada 120 km dari kota Medan dan 56 km
dari Pematang siantar.

Topografi
Tempat penelitian terletak pada ketinggian 369 m dari permukaan laut (
dpl ) dengan topografi datar. Secara geografis lokasi penelitian terletak 020 36’ –
030 18’ LU dan 980 32’ – 990 35’ BT (BPS Kabupaten Simalungun, 2006).

Iklim
Curah hujan rata-rata tahunan yaitu 480 mm. Suhu udara rata-rata tahunan
25.03 0C. Suhu udara rata-rata tahunan minimum 20.02 0C sedangkan suhu udara
rata-rata tahunan maksimum 30.08

0

C (Badan Meteorologi Stasiun Pusat

Penelitian Marihat, 2006 dalam BPS Kabupaten Simalungun, 2006).
Kelembaban udara rata-rata tahunan 83.32 %. Kecepatan angin berkisar
0.06 m/dtk (Badan Meteorologi Stasiun Pusat Penelitian Marihat, 2002 dalam
BPS Kabupaten Simalungun, 2006).

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran dilapangan didapat bahwa intersepsi terbesar terdapat
pada tegakan Hevea brasiliensis umur 25 tahun dan yang terkecil terdapat pada
umur 10 tahun. Hasil pengukuran intersepsi, aliran batang dan air lolos disajikan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Curah Hujan, Aliran Batang, Air Lolos dan Intersepsi Tajuk
Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun, 15 Tahun dan 25
Tahun
Jumlah
Umur

Hari

Curah

Hujan

Hujan

Air Lolos

Aliran Batang

Intersepsi

mm

%

mm

%

mm

%

(mm)
10
Tahun
15
Tahun
25
Tahun

53

1053,30

637,93

60,56

83,61

7,94

331,76

31,50

53

1053,30

564,74

53,62

59,82

5,68

428,74

40,70

53

1053,30

461,24

43,79

46,27

4,39

545,79

51,82

70
60.56
60
50

53.62

51.82

43.79

40.7
10 T ahun

40
31.5
30

15 T ahun
25 T ahun

20
7.94

10

5.68 4.39

0
Air Lolos (%)

Aliran Batang (%)

Intersepsi (%)

Gambar 9. Persentase Curah Hujan, Air Lolos, Aliran Batang dan Intersepsi Pada
Tegakan Hevea Brasiliensis Umur 10,15 dan 25 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Curah Hujan
Selama jangka waktu penelitian, mulai bulan April sampai Mei 2007
terjadi 53 kali hujan dengan jumlah curah hujan seluruhnya 1053,30 mm dan
curah hujan rata-rata pada tiap kejadian hujan selama bulan April sampai Mei
2007 adalah 19,873 mm. Hari hujan dan curah hujan tertinggi terdapat pada bulan
Mei yaitu sebanyak 28 hari hujan dengan jumlah curah hujan sebesar 551,20 mm.
Banyaknya hari hujan dan curah hujan terkecil terdapat pada bulan April yaitu
sebanyak 25 hari hujan dengan jumlah curah hujan sebesar 502,10 mm. Fluktuasi
curah hujan ini dapat dilihat pada Gambar 10.

Curah hujan (mm)

60
50
40
30
20
10
0
1

4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61

Kejadian Hujan

Gambar 10. Fluktuasi Curah Hujan

Air Lolos
Hasil pengukuran air lolos dilapangan selama penelitian pada tegakan
Hevea brasiliensis umur 10 tahun diperoleh jumlah air lolos 637,93 mm atau
sebesar 60,56 % dari total curah hujan. Jumlah air lolos bulanan tertinggi terdapat
pada bulan Mei sebesar 345,57 mm atau sebesar 62,69 % dari jumlah curah hujan

Universitas Sumatera Utara

bulanan. Jumlah air lolos terkecil terdapat pada bulan April yaitu sebesar 292,35
mm atau sekitar 58,22 % dari jumlah curah hujan bulanan.
Pada tegakan Hevea brasiliensis umur 15 tahun didapat jumlah air lolos
564,74 mm atau sekitar 53,62 % dari total curah hujan. Jumlah air lolos bulanan
tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 299,90 mm atau sekitar 54,40 % dari
jumlah curah hujan bulanan. Jumlah air lolos terkecil terdapat pada bulan April
yaitu sebanyak 264,38 mm atau sekitar 52,65 % dari jumlah curah hujan bulanan.
Sedangkan pada tegakan Hevea brasiliensis yang berumur 25 tahun
didapat jumlah air lolos 461,24 mm atau sekitar 43,79 % dari total curah hujan.
Jumlah air lolos bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 248,40 mm
atau sekitar 45,06 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah air lolos terkecil
terdapat pada bulan April yaitu sebesar 230,89 mm atau sekitar 45,98 % dari
jumlah curah hujan bulanan. Hasil pengukuran air lolos umur 10 tahun, 15 tahun
dan 25 tahun dapat dilihat pada Lampiran 4. Sedangkan untuk fluktuasi air lolos
yang terjadi selama bulan pengamatan disajikan pada Gambar 11, 12 dan 13.

60.00

Curah Hujan (mm)
Air Lolos (mm)

50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1

3

5

7

9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53

Gambar 11. Fluktuasi Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Curah Hujan (mm)

60.00

Air Lolos (mm)
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1

3

5

7

9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53

Gambar 12. Fluktuasi Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 15 Tahun

60.00

Curah Hujan (mm)
Air Lolos (mm)

50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1

3

5

7

9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53

Gambar 13. Fluktuasi Air Lolos Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 25 Tahun

Aliran Batang
Hasil pengukuran aliran batang dilapangan selama penelitian pada tegakan
Hevea brasiliensis umur 10 tahun diperoleh jumlah aliran batang 83,61 mm atau
sekitar 7,94 % dari total curah hujan. Jumlah aliran batang bulanan tertinggi
terdapat pada bulan Mei sebesar 53,22 mm atau sekitar 9,65 % dari jumlah curah
hujan bulanan. Jumlah aliran batang terkecil terdapat pada bulan April yaitu
sebesar 48,75 mm atau sekitar 9,7 % dari jumlah curah hujan bulanan.

Universitas Sumatera Utara

Pada tegakan Hevea brasiliensis umur 15 tahun didapat jumlah aliran
batang 59,82 mm atau sekitar 5,68 % dari total curah hujan. Jumlah aliran batang
bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 32,92 mm atau sekitar 5,97 %
dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah aliran batang terkecil terdapat pada
bulan Mei yaitu sebanyak 131,71 mm atau sekitar 23,89 % dari jumlah curah
hujan bulanan.
Sedangkan pada tegakan Hevea brasiliensis yang berumur 25 tahun
didapat jumlah aliran batang 46,27 mm atau sekitar 4,39 % dari total curah hujan.
Jumlah aliran batang bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 93,23 mm
atau sekitar 18,29 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah aliran batang
terkecil terdapat pada bulan April yaitu sebesar 91,85 mm atau sekitar 16,91 %
dari jumlah curah hujan bulanan. Hasil pengukuran aliran batang umur 10 tahun,
15 tahun dan 25 tahun dapat dilihat pada Lampiran 5. Sedangkan untuk fluktuasi
aliran batang yang terjadi selama bulan pengamatan disajikan pada Gambar 14, 15
dan 16.

50.00

Curah Hujan (mm)

45.00

Aliran Batang (mm)

40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
1

3

5

7

9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53

Gambar 14. Fluktuasi Aliran Batang Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10
Tahun

Universitas Sumatera Utara

50.00

Curah Hujan (mm)

45.00

Aliran Batang (mm)

40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
1

3

5

7

9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53

Gambar 15. Fluktuasi Aliran Batang Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 15
Tahun

Curah Hujan (mm)

40.00

Aliran Batang (mm)

35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
1

3

5

7

9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53

Gambar 16. Fluktuasi Aliran Batang Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 25
Tahun

Intersepsi Tajuk
Hasil pengukuran intersepsi tajuk dilapangan selama penelitian pada
tegakan Hevea brasiliensis umur 10 tahun diperoleh jumlah intersepsi tajuk
sebesar 331,76 mm atau sekitar 31,50 % dari total curah hujan. Jumlah intersepsi
tajuk bulanan tertinggi terdapat pada bulan April sebesar 160,99 mm atau sekitar
32,06 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah intersepsi tajuk terkecil terdapat

Universitas Sumatera Utara

pada bulan Mei yaitu sebesar 152,39 mm atau sekitar 27,64 % dari jumlah curah
hujan bulanan.
Pada tegakan Hevea brasiliensis umur 15 tahun didapat jumlah intersepsi
tajuk 428,73 mm atau sekitar 40,70 % dari total curah hujan. Jumlah intersepsi
tajuk bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 218,36 mm atau sekitar
39,61 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah intersepsi terkecil terdapat pada
bulan April yaitu sebanyak 210,81 mm atau sekitar 41,99 % dari jumlah curah
hujan bulanan.
Sedangkan pada tegakan Hevea brasiliensis yang berumur 25 tahun
didapat jumlah intersepsi tajuk 545,79 mm atau sekitar 51,81 % dari total curah
hujan. Jumlah intersepsi bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei sebesar 284,12
mm atau sekitar 51,54 % dari jumlah curah hujan bulanan. Jumlah intersepsi tajuk
terkecil terdapat pada bulan April yaitu sebesar 261,66 mm atau sekitar 52,11 %
dari jumlah curah hujan bulanan. Hasil pengukuran intersepsi tajuk umur 10
tahun, 15 tahun dan 25 tahun dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3. Sedangkan
untuk fluktuasi intersepsi yang terjadi selama bulan pengamatan disajikan pada
Gambar 17, 18 dan 19.
60.00

Curah Hujan (mm)
Intersepsi (mm)

50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1

3

5

7

9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53

Gambar 17. Fluktuasi Intersepsi Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 10 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Curah Hujan (mm)

60.00

Intersepsi (mm)
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1

3

5

7

9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53

Gambar 18. Fluktuasi Intersepsi Pada Tegakan Hevea brasiliensis Umur 15 Tahun

60.00

Curah Hujan (mm)
Intersepsi (mm)

50.00
40.00
30.00
20.00