Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus memberikan izin, atau ada kata sepakat antera ayah dan ibu masing-masing pihak.Jikalau ada wali, wali ini pun harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas toeziende voogd . Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang memberikan izin ialah kakek nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula diperlukan. Untuk anak-anak yang lahir diluar perkawinan, tetapi diakui oleh orang tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat diminta campur tangan, dan kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin. 24

c. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Yang menjadi tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu : 1 berlangsung seumur hidup, 2 cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan 3 suami isteri membantu untuk mengembangkan diri. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. 25 Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. 24 Salim HS dan RM Sudikno Mertokusumo., h. 62-63 25 Ibid., h. 62 Perkawinan tidak begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Dalam kenyataannya, berdasarkan hasil pengamatan, tujuan perkawinan itu banyak juga yang tercapai secara tidak utuh. Tercapainya itu baru mnegenai pembentukan keluarga atau pembentukan rumah tangga, karena dapat diukur secara kuantitatif. Sedangkan predikat bahagia dan kekal belum bahkan tidak tercapai sama sekali. Hal ini terbukti dari banyaknya terjadi perceraian. Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau untuk selamanya. Dengan adanya perkawinan, maka suami istri dapat hidup bersama dengan ikatan bathin, yang tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan dalam membina keluarga bahagia. 26 Dengan demikian, perkawinan yang sah bagi suami istri mempunyai hubungan yang erat dan kekal, terutama dengan adanya perkawinan ikatan lahir ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. 26 Riduan Syahrani., Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Penerbit Alumni : 1992, Cet. Ke-III, h. 67

BAB IV HUKUM PERNIKAHAN WANITA HAMIL AKIBAT ZINA

A. Menurut Hukum Islam

Dalam bab sebelumnya telah di bahas bahwa pernikahan merupakan satu- satunya jalan yang paling mulia dalam menyalurkan kebutuhan biologis dan menghasilkan keturunan yang sah dalam masyarakat. Maka sewajarnyalah bila masalah pernikahan menjadi perhatian khusus dalam membina sebuah rumah tangga yang bahagia. Karena pembinaan ruman tangga berdampak bagi keselamatan dan kebahagiaan individu, masyarakat, serta kemuliaan umat itu sendiri. Dalam memilih seorang suami atau istri, Islam menganjurkan hendaknya di dasari oleh Agama atau moral, yakni calon tersebut harus berakhlak mulia dan bukan berdasarkan atas kecantikan, bangsawan bahwa kepopulerannya semata. Karena agama yang baik akan membawa keberuntungan yang gemilang di dunia maupun di akhirat, dan mendapat ketenangan lahir dan batin. Perbandingan antara Agama dengan kecantikan atau harta benda atau bangsawan sebagai dasarpenentuan seorang calon pasangan hidup adalah lebih baik terletak pada nilai Agamanya. Dalam Islam, juga dikenal dengan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam keadaan hamil kecelakaan, dengan laki-laki yang menzinai atau laki-laki yang bukan yang menzinainya. Seorang gadis bukan perawan atau janda hamil tanpa suami dalam kehidupan masyarakat biasanya dicarikan seorang calon suami yang bersedia