Peranan Self-Regulated Learning dalam Pendekatan Kontruktivisme

bagi dirinya. Bagi peserta didik, pengetahuan yang ada di benaknya bersifat dinamis, berkembang dari sederhana menuju kompleks, dari ruang lingkup dirinya dan di sekitarnya menuju ruang lingkup yang lebih luas, dan dari yang bersifat konkrit menuju abstrak. Sebagai manusia yang sedang berkembang, peserta didik telah, sedang, dan akan mengalami empat tahap perkembangan intelektual, yakni sensori motor, pra- operasional, operasional konkrit, dan operasional formal”. Pernyataan di atas didukung oleh Schunk 2012 yang menguraikan bahwa pendekatan konstruktivisme telah mempengaruhi pemikiran dalam bidang pendidikan mengenai kurikulum dan pengajaran. Paham ini melandasi penitikberatan terhadap kurikulum terpadu di mana siswa mempelajari sebuah topik dari berbagai perspektif. Guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran dengan cara tradisional kepada sejumlah siswa. Guru seharusnya membangun situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi sosial.

E. Peranan Self-Regulated Learning dalam Pendekatan Kontruktivisme

Salah satu konsep dalam pendekatan konstruktivisme adalah self- regulated learning. Istilah lain dari self-regulated learning adalah self-regulated behavior, dan secara umum disebut sebagai self-regulation Ormrod, 2006:103. Siswa yang memiliki regulasi diri menggunakan strategi belajar yang efektif. Zimmerman 2012 menguraikan bahwa self-regulation mengacu pada proses yang digunakan siswa untuk memfokuskan pikiran, perasaan, dan tindakan secara sistematis, untuk mencapai suatu tujuan. Self-regulation melibatkan aspek kognitif, dan afeksi, artinya bahwa ketika siswa terlibat dalam aktivitas belajar, siswa akan menjaga efikasi diri untuk belajar, meyakini akan memperoleh hasil yang maksimal dan tetap menjaga keadaan emosi menikmati apa yang sedang dilakukan, sedangkan self-regulation melibatkan tindakan mengartikan bahwa siswa merencanakan dan mengatur perilakunya untuk mencapai suatu tujuan. Lebih lanjut, Zimmerman 2012 menyatakan bahwa self-regulation bukanlah suatu kemampuan mental atau keterampilan performance akademik, melainkan suatu proses self-directive dimana siswa mengubah kemampuan mental mereka ke dalam keterampilan akademik. Belajar dipandang sebagai aktivitas siswa yang dilakukannya sendiri dengan cara yang proaktif, dan menyadari akan kekuatan dan kekurangannya. Siswa yang memiliki regulasi diri dalam belajar mampu menetapkan tujuan, merencanakan, dan menggunakan strategi belajar yang efektif. Sebaliknya, siswa yang regulasi dirinya rendah sering gagal dalam menerapkan strategi belajar yang efektif. Ormrod 2006:104 menguraikan bahwa siswa yang memiliki self- regulated learning mampu: 1 menetapkan tujuan dan standar dalam performance siswa. Siswa yang memiliki regulasi diri mengetahui apa yang hendak dicapai. Pada umumnya, mereka melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai; 2 merencanakan tindakan untuk tugas belajar. Siswa yang memiliki regulasi diri mampu menentukan cara yang terbaik untuk menggunakan waktu dan sumber daya yang mereka miliki untuk tugas belajar. Mereka memilih strategi pembelajaran yang berbeda tergantung pada tujuan spesifik yang ingin dicapai; 3 mengontrol dan memonitor proses kognitif dan perkembangan selama belajar. Siswa yang memiliki regulasi diri terlibat selama proses pembelajaran. Siswa mencoba untuk memusatkan perhatian pada materi yang dipelajari dan berusaha membebaskan diri dari gangguan kognitif dan emosi. Untuk mengontrol dan memonitor proses kognitif, siswa menggunakan self-instruction dan self- monitoring; 4 memonitor dan mencoba untuk mengontrol motivasi dan emosi siswa. Siswa yang memiliki regulasi diri mampu menjaga emosi yang dapat menghalangi performance siswa; 5 mencari bantuan dan dukungan. Apabila menemui kesulitan, siswa yang memiliki regulasi diri mampu mencari bantuan dan dukungan dalam membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi; 6 mengevaluasi hasil dari usaha yang telah dilakukan. Siswa yang memiliki regulasi diri memiliki kemampuan untuk mengevaluasi hasil dari usaha yang telah dilakukan; 7 siswa mengalami peningkatan regulasi diri pada masa kanak-kanak, dan remaja. Peningkatan regulasi diri terjadi selama mengalami perkembangan dalam rentang kehidupan. Beberapa elemen regulasi diri yaitu menentukan tujuan, dan melakukan evaluasi diri, usaha secara sadar untuk memfokuskan perhatian, kemampuan untuk menyelesaikan tugas, merencanakan, dan memotivasi diri. Self- regulation meningkat karena adanya keterlibatan dalam aktivitas belajar, seperti membaca, mengerjakan tugas, dan menemukan formulasi. Dalam self-regulated learning, siswa perlu diarahkan untuk mengatur diri sendiri dan berperan mengevaluasi kemajuan mereka, dan bertindak melampaui standar-standar yang disyaratkan bagi mereka dengan menelusuri hal-hal yang menjadi minat mereka Slavin, 2006. Marsigit 2013:10 menguraikan bahwa siswa yang bersifat otonom, perlu diberi kesempatan untuk menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama di dalam benaknya, dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Peserta didik harus didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian, Kurikulum 2013 sejalan dengan paradigma konstruktivisme dalam ilmu pendidikan. Kurikulum 2013 selaras dengan berbagai teori kependidikan, seperti teori perkembangan kognisi dari Piaget, dan teori belajar sosial dari Vygotsky.

F. Penutup