Konstitusi dan Aktivisme Yudisial Koran
KONSTITUSI DAN AKTIVISME YUDISIAL1
Oleh: Pan Mohamad Faiz2
Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 18 Agustus, masyarakat Indonesia
baru saja memperingati “Hari Konsitusi” untuk kali pertamanya.
Peringatan Hari Konstitusi tersebut setidaknya memberikan gambaran
bahwa UUD 1945 dan cita konstitusionalisme semakin diteguhkan
sebagai sumber hukum tertinggi dan pedoman dasar dalam kehidupan
bernegara.
Walaupun UUD 1945 telah dibentuk 64 tahun yang lalu, namun fase
kehidupan dan kesadaran berkonstitusi warga negara terbentuk begitu
pesat baru dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Setidaknya ada
tiga faktor yang menyebabkan konstitusionalisme tersebut tumbuh subur
di tengah-tengah masyarakat. Pertama, wujud hasil amandemen UUD
1945 yang diubah pada 1999-2002; Kedua, munculnya puluhan lembaga
kajian konstitusi; dan Ketiga, adanya sentuhan yudisial dari pengadilan
konstitusi (baca: Mahkamah Konstitusi).
Dalam konteks terakhir, Upendra Baxi menyatakan bahwa pada negaranegara pasca-sosialis atau transisi, seperti misalnya Rusia, Polandia, dan
Hungaria, mereka telah berhasil membumikan ruh konstitusinya melalui
aktivisme yudisial (judicial activism). Aktivisme demikian terinspirasi dari
makna filosofis penafsiran konstitusi yang memandang konstitusi bukan
sekedar katalog peraturan hukum, namun lebih sebagai pernyataan
prinsip-prinsip pemerintahan konstitusional yang wajib dijalankan.
Aktivisme yudisial sendiri merupakan proses pengambilan putusan
pengadilan melalui pendekatan berbeda. Pendekatan ini menurut
Satyabrata melebihi filsafat hukum lama, karena dianggap lebih modern
dan dekat dengan kehidupan riil masyarakat. Aktivisme yudisial juga
dipahami sebagai dinamisme para hakim yang memegang kekuasaan
kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui batas-batas
konstitusi (S.P. Sathe, 2002).
Dalam pada itu, signifikasi dan peran hakim dalam menata kehidupan
masyarakat sudah sejak lama didengungkan oleh Oliver Holmes dan
Roscoe Pound. Sejalan dengan hal tersebut, Benjamin Cordozo dalam
bukunya “The Nature of Judicial Process” berpendapat bahwa ketika
1
Tulisan dimuat dalam kolom opini Jurnal Nasional pada Selasa, 25 Agustus 2009.
2
Staf Ketua Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum
Indonesia (ISHI).
1
hukum kehilangan pegangannya, maka para hakim dapat menciptakan
hukum sebagai pilihan kreatif melalui empat metode pendekatan, yaitu
filosofis, historis, kebiasaan, dan sosiologi. Pandangan demikian oleh para
begawan hukum di Indonesia dikenal sebagai aliran hukum progresif
(Satjipto Rahardjo, 2006).
Gelombang Pro-Kontra
Dewasa ini, aktivisme yudisial berkembang cepat hampir di seluruh
negara dunia, tidak terkecuali pada negara-negara yang menganut
sistem civil law. Namun demikian, diskursus mengenai aktivisme tersebut
turut pula melahirkan pro-kontra di kalangan para elit, akademisi,
praktisi, hingga hakim sekalipun. Akibatnya, hingga akhir 1990-an telah
terfragmentasi tiga arus kelompok utama, yaitu: Pertama, kelompok yang
berusaha membatasi ruang gerak yudisial (judicial restraint); Kedua,
kelompok yang memandang aktivisme yudisial sebagai sine quo non dari
pengadilan yang merdeka dan independen; dan Ketiga, kelompok moderat
yang berkehendak agar aktivisme yudisial hanya terbatas untuk kasuskasus selektif dan ekslusif, khususnya yang menyangkut perlindungan
terhadap kaum lemah atau minoritas.
Bagaikan injeksi obat dengan dosis yang tepat, aktivisme yudisial dapat
menjadi langkah yang tepat dalam mempertahankan sistem demokrasi
konstitusional. Akan tetapi sebaliknya, jika terlalu berlebihan justru
berpotensi mengakibatkan kontra-produktif. Di sinilah letak kekhawatiran
sebagian kalangan yang melihat aktivisme yudisial dapat bermetamorfosa
sewaktu-sewaktu menjadi sekedar petualangan yudisial (judicial adventurism)
ataupun ekspansi yudisial (judicial expansionism).
Namun pada kenyataannya, tren terhadap aktivisme yudisial tetap
menjadi corak esential dalam mengawasi dan menjalankan roda
pemerintahan. Dengan demikian, judicial activism dan judicial self-restraint
sebaiknya tidak perlu ditempatkan sebagai dogma yang saling
bertentangan, sebab keduanya merupakan komponen yang krusial dalam
fungsi kekuasaan kehakiman. Pun adanya perpaduan aliran pemikiran
hukum yang beragam, seperti aliran positivis, traditional, ataupun
progresif, patut dipertahankan karena memiliki nilai lebihnya masingmasing dalam nuansa “pertarungan” pertimbangan hukum pada saat
merancang suatu putusan pengadilan.
Praktik Judicial Review
Dalam pemerintahan yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan
nomokrasi di bawah payung konstitusi, pengadilan adalah pengawal
2
sekaligus pelindung hak-hak dasar warga negara. Berkaitan dengan hal
itu, rule of law dan judicial review menjadi fitur dasar dari suatu konstitusi
yang harus dilakoni. Adalah John Marshall yang pertama kali
mempraktikkan
aktivisme
yudisial
ketika
memperkenalkan
mekanisme judicial review pada tahun 1803 dalam kasus Marbury vs.
Madison dengan mengatakan, “Our is a Government of laws and not of
men”. Aktivisme ini kemudian terus bergulir setelah adanya pendapat
Hamilton dan Jefferson dalam the Federalist (1837).
Hingga kini, praktik judicial review yang kerap mendapat sentuhan
aktivisme yudisial marak terjadi di manca negara, seperti di Amerika,
Jerman, Australia, India, Korea, dan Afrika Selatan. Sebagai contoh,
dalam kasus Brown vs. Board of Education (1954), Mahkamah Agung
Amerika telah mengubah total haluan dua putusannya yang terdahulu
pada kasus Dred Scott (1857) dan Plessy v. Ferguson (1896) dengan
menyatakan bahwa segregasi rasial dalam dunia pendidikan menjadi
inkonstitusional. Dalam menjalankan fungsinya, Hakim tersebut
menyesuaikan alam pemikirannya dengan terjadinya perubahan sosial
kemasyarakatan yang terus berkembang, sehingga kadangkala diperlukan
penyampingan formalisme hukum dan lebih mempertimbangkan
“requirement of constitutionalism” (Banerjea, 2002).
Sementara itu, disadari atau tidak, Indonesia sendiri telah
mempraktikkan aktivisme yudisial tatkala mempertahankan prinsipprinsip dan hak dasar dalam konstitusi. Dalam lima tahun terakhir,
beberapa di antara putusan Mahkamah Konstitusi setidaknya telah
memperlihatkan kecenderungan tersebut, yakni pertama kali dimulai
dengan adanya yurisprudensi konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) dalam UU SDA (2005), lalu empat kali melakukan “tekanan
konstitusional” (constitutional pressures) terhadap kewajiban pemenuhan
20% anggaran pendidikan (2005-2008), hingga mendeklarasikan
perubahan paradigma dari keadilan prosedural menjadi keadilan
substantif yang kemudian menjadi basis adanya perintah penghitungan
dan pemungutan suara ulang Pemilu di Jawa Timur dan beberapa
wilayah lainnya (2009).
Aktivisme yang tidak akan terlupakan adalah pemuatan ketentuan teknis
dalam amar putusan sebagai prasyarat menjalankan suatu ketentuan
undang-undang agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Contoh ini
dapat ditemukan pada putusan judicial reviewmengenai diperbolehkannya
penggunaan KTP dan tata cara penghitungan kursi tahap kedua pada
Pemilu 2009 yang lalu. Patut diakui bahwa putusan teknis demikian
terkesan telah melampaui batas kewenangan yang dimiliki dalam konteks
pemisahan kekuasaan. Akan tetapi, aktivisme yudisial tersebut nyatanya
3
disambut dan diterima dengan baik tidak hanya oleh perorangan,
akademisi, ataupun aktivis hukum, namun juga oleh Pemerintah,
Parlemen, Partai Politik, KPU, Komnas HAM, dan lembaga-lembaga
lainnya.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia sejauh ini dapat dikatakan
menerima kehadiran aktivisme yudisial sebagai alternatif solusi hukum
ketika kondisi memang memperhadapkan antara perlindungan
konstitusional vis-a-vis ketiadaan ataupun ketidakberdayaan peraturan
hukum
(constitutional
lawlessness).
Dalam
sistem
demokrasi
konstitusional, judicial review dan judicial activism diyakini telah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam bidang hukum ketatanegaraan.
Akan tetapi, antusiasme yang berlebihan justru dapat menyebabkan iklim
yang tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi itu sendiri. Untuk
menjaganya, maka aktivisme yudisial perlu selalu dikawal dengan kritisasi
akademik yang konstruktif, sehingga pengadilan tidak akan kehilangan
legitimasinya. (*)
4
Oleh: Pan Mohamad Faiz2
Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 18 Agustus, masyarakat Indonesia
baru saja memperingati “Hari Konsitusi” untuk kali pertamanya.
Peringatan Hari Konstitusi tersebut setidaknya memberikan gambaran
bahwa UUD 1945 dan cita konstitusionalisme semakin diteguhkan
sebagai sumber hukum tertinggi dan pedoman dasar dalam kehidupan
bernegara.
Walaupun UUD 1945 telah dibentuk 64 tahun yang lalu, namun fase
kehidupan dan kesadaran berkonstitusi warga negara terbentuk begitu
pesat baru dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Setidaknya ada
tiga faktor yang menyebabkan konstitusionalisme tersebut tumbuh subur
di tengah-tengah masyarakat. Pertama, wujud hasil amandemen UUD
1945 yang diubah pada 1999-2002; Kedua, munculnya puluhan lembaga
kajian konstitusi; dan Ketiga, adanya sentuhan yudisial dari pengadilan
konstitusi (baca: Mahkamah Konstitusi).
Dalam konteks terakhir, Upendra Baxi menyatakan bahwa pada negaranegara pasca-sosialis atau transisi, seperti misalnya Rusia, Polandia, dan
Hungaria, mereka telah berhasil membumikan ruh konstitusinya melalui
aktivisme yudisial (judicial activism). Aktivisme demikian terinspirasi dari
makna filosofis penafsiran konstitusi yang memandang konstitusi bukan
sekedar katalog peraturan hukum, namun lebih sebagai pernyataan
prinsip-prinsip pemerintahan konstitusional yang wajib dijalankan.
Aktivisme yudisial sendiri merupakan proses pengambilan putusan
pengadilan melalui pendekatan berbeda. Pendekatan ini menurut
Satyabrata melebihi filsafat hukum lama, karena dianggap lebih modern
dan dekat dengan kehidupan riil masyarakat. Aktivisme yudisial juga
dipahami sebagai dinamisme para hakim yang memegang kekuasaan
kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui batas-batas
konstitusi (S.P. Sathe, 2002).
Dalam pada itu, signifikasi dan peran hakim dalam menata kehidupan
masyarakat sudah sejak lama didengungkan oleh Oliver Holmes dan
Roscoe Pound. Sejalan dengan hal tersebut, Benjamin Cordozo dalam
bukunya “The Nature of Judicial Process” berpendapat bahwa ketika
1
Tulisan dimuat dalam kolom opini Jurnal Nasional pada Selasa, 25 Agustus 2009.
2
Staf Ketua Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum
Indonesia (ISHI).
1
hukum kehilangan pegangannya, maka para hakim dapat menciptakan
hukum sebagai pilihan kreatif melalui empat metode pendekatan, yaitu
filosofis, historis, kebiasaan, dan sosiologi. Pandangan demikian oleh para
begawan hukum di Indonesia dikenal sebagai aliran hukum progresif
(Satjipto Rahardjo, 2006).
Gelombang Pro-Kontra
Dewasa ini, aktivisme yudisial berkembang cepat hampir di seluruh
negara dunia, tidak terkecuali pada negara-negara yang menganut
sistem civil law. Namun demikian, diskursus mengenai aktivisme tersebut
turut pula melahirkan pro-kontra di kalangan para elit, akademisi,
praktisi, hingga hakim sekalipun. Akibatnya, hingga akhir 1990-an telah
terfragmentasi tiga arus kelompok utama, yaitu: Pertama, kelompok yang
berusaha membatasi ruang gerak yudisial (judicial restraint); Kedua,
kelompok yang memandang aktivisme yudisial sebagai sine quo non dari
pengadilan yang merdeka dan independen; dan Ketiga, kelompok moderat
yang berkehendak agar aktivisme yudisial hanya terbatas untuk kasuskasus selektif dan ekslusif, khususnya yang menyangkut perlindungan
terhadap kaum lemah atau minoritas.
Bagaikan injeksi obat dengan dosis yang tepat, aktivisme yudisial dapat
menjadi langkah yang tepat dalam mempertahankan sistem demokrasi
konstitusional. Akan tetapi sebaliknya, jika terlalu berlebihan justru
berpotensi mengakibatkan kontra-produktif. Di sinilah letak kekhawatiran
sebagian kalangan yang melihat aktivisme yudisial dapat bermetamorfosa
sewaktu-sewaktu menjadi sekedar petualangan yudisial (judicial adventurism)
ataupun ekspansi yudisial (judicial expansionism).
Namun pada kenyataannya, tren terhadap aktivisme yudisial tetap
menjadi corak esential dalam mengawasi dan menjalankan roda
pemerintahan. Dengan demikian, judicial activism dan judicial self-restraint
sebaiknya tidak perlu ditempatkan sebagai dogma yang saling
bertentangan, sebab keduanya merupakan komponen yang krusial dalam
fungsi kekuasaan kehakiman. Pun adanya perpaduan aliran pemikiran
hukum yang beragam, seperti aliran positivis, traditional, ataupun
progresif, patut dipertahankan karena memiliki nilai lebihnya masingmasing dalam nuansa “pertarungan” pertimbangan hukum pada saat
merancang suatu putusan pengadilan.
Praktik Judicial Review
Dalam pemerintahan yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan
nomokrasi di bawah payung konstitusi, pengadilan adalah pengawal
2
sekaligus pelindung hak-hak dasar warga negara. Berkaitan dengan hal
itu, rule of law dan judicial review menjadi fitur dasar dari suatu konstitusi
yang harus dilakoni. Adalah John Marshall yang pertama kali
mempraktikkan
aktivisme
yudisial
ketika
memperkenalkan
mekanisme judicial review pada tahun 1803 dalam kasus Marbury vs.
Madison dengan mengatakan, “Our is a Government of laws and not of
men”. Aktivisme ini kemudian terus bergulir setelah adanya pendapat
Hamilton dan Jefferson dalam the Federalist (1837).
Hingga kini, praktik judicial review yang kerap mendapat sentuhan
aktivisme yudisial marak terjadi di manca negara, seperti di Amerika,
Jerman, Australia, India, Korea, dan Afrika Selatan. Sebagai contoh,
dalam kasus Brown vs. Board of Education (1954), Mahkamah Agung
Amerika telah mengubah total haluan dua putusannya yang terdahulu
pada kasus Dred Scott (1857) dan Plessy v. Ferguson (1896) dengan
menyatakan bahwa segregasi rasial dalam dunia pendidikan menjadi
inkonstitusional. Dalam menjalankan fungsinya, Hakim tersebut
menyesuaikan alam pemikirannya dengan terjadinya perubahan sosial
kemasyarakatan yang terus berkembang, sehingga kadangkala diperlukan
penyampingan formalisme hukum dan lebih mempertimbangkan
“requirement of constitutionalism” (Banerjea, 2002).
Sementara itu, disadari atau tidak, Indonesia sendiri telah
mempraktikkan aktivisme yudisial tatkala mempertahankan prinsipprinsip dan hak dasar dalam konstitusi. Dalam lima tahun terakhir,
beberapa di antara putusan Mahkamah Konstitusi setidaknya telah
memperlihatkan kecenderungan tersebut, yakni pertama kali dimulai
dengan adanya yurisprudensi konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) dalam UU SDA (2005), lalu empat kali melakukan “tekanan
konstitusional” (constitutional pressures) terhadap kewajiban pemenuhan
20% anggaran pendidikan (2005-2008), hingga mendeklarasikan
perubahan paradigma dari keadilan prosedural menjadi keadilan
substantif yang kemudian menjadi basis adanya perintah penghitungan
dan pemungutan suara ulang Pemilu di Jawa Timur dan beberapa
wilayah lainnya (2009).
Aktivisme yang tidak akan terlupakan adalah pemuatan ketentuan teknis
dalam amar putusan sebagai prasyarat menjalankan suatu ketentuan
undang-undang agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Contoh ini
dapat ditemukan pada putusan judicial reviewmengenai diperbolehkannya
penggunaan KTP dan tata cara penghitungan kursi tahap kedua pada
Pemilu 2009 yang lalu. Patut diakui bahwa putusan teknis demikian
terkesan telah melampaui batas kewenangan yang dimiliki dalam konteks
pemisahan kekuasaan. Akan tetapi, aktivisme yudisial tersebut nyatanya
3
disambut dan diterima dengan baik tidak hanya oleh perorangan,
akademisi, ataupun aktivis hukum, namun juga oleh Pemerintah,
Parlemen, Partai Politik, KPU, Komnas HAM, dan lembaga-lembaga
lainnya.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia sejauh ini dapat dikatakan
menerima kehadiran aktivisme yudisial sebagai alternatif solusi hukum
ketika kondisi memang memperhadapkan antara perlindungan
konstitusional vis-a-vis ketiadaan ataupun ketidakberdayaan peraturan
hukum
(constitutional
lawlessness).
Dalam
sistem
demokrasi
konstitusional, judicial review dan judicial activism diyakini telah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam bidang hukum ketatanegaraan.
Akan tetapi, antusiasme yang berlebihan justru dapat menyebabkan iklim
yang tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi itu sendiri. Untuk
menjaganya, maka aktivisme yudisial perlu selalu dikawal dengan kritisasi
akademik yang konstruktif, sehingga pengadilan tidak akan kehilangan
legitimasinya. (*)
4