Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi SebagianPersyaratanMemperoleh

GelarSarjanaHukum(SH)

Oleh : Nurdin

NIM : 1613048000085

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi SebagianPersyaratanMemperoleh

GelarSarjanaHukum(SH)

Oleh :

Nurdin

NIM : 1613048000085

Dosen Pembimbing

Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH NIP. 196911211994031001

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(5)

dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui Pertimbangan Hakim Pada Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dan Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XII/2015 yang menyatakan bahwa frasa bersama dan Komisi Yudisial dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU No. 49 Tahun 2009, Pasal 13A ayat (2) dan (3) UU No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU No. 51 Tahun 2009 adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 18D ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, sehingga proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Penelitian ini bersifat normatif, yaitu penelitian hukum yang meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu peristiwa hukum, yang di dalam penelitian ini hanya berhenti pada lingkup konsepsi hukum, asas hukum dan kaidah peraturan saja Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan Analisis data hasil penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu mengumpulkan semua bahan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Adapun Penelitian Studi ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan masalah hukum, sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan guna menjawab rumusan masalah Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, Adapun faktor faktornya dirumuskan dalam Pasal 24A ayat 1, Pasal 24 B ayat 1, dan Pasal 28D Ayat 1. Mahkamah Agung menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang melaksanakan proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama dan Komisi Yudisial sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk ikut dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama. Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama juga harus dilaksanakan dengan mendudukkan hakim sebagai pejabat negara pelaku kekuasaan kehakiman, tidak sebagai PNS karena putusan ini telah memberikan nilai khusus pada status hakim sebagai pejabat negara.

Keyword : Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dan Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015

Dosen Pembimbing : Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH Daftar Pustaka : 1983 sd Tahun 2016


(6)

Nyalah penulis telah melewati masa masa sulit dengan penuh perjuangan tetesan keringat, basuhan air mata, serta beribu-ribu do’a. akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)”. Shalawat dan salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda tercinta nabi Muhammad SAW, karena beliaulah yang merubah peradaban dunia yang berazaskan moral.

Rasa syukur saya persembahkan kepada Allah SWT atas nikmat yang tak terhitung jumlahnya yang telah dianugerahkan kepada penulis. Salah satunya nikmat Iman dan Islam, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari, sebagai hamba yang lemah dan penuh salah, bahwa tugas ini selesai bukan semata-mata dari buah tangan sendiri, akan tetapi tugas ini selesai karena adanya dorongan, motivasi, bimbingan, do’a dan bantuan yang senantiasa mengalir dari para hamba Allah SWT baik secara langsung atau tidak langsung, serta memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktunya dan memberikan inspirasinya, pastinya tugas ini akan lebih berat tanpa adanya mereka. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan untaian kata terima kasih kepada yang terhormat.

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA Selaku Rektor Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. H. Asep Saepuddin Jahar, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Beserta Para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

Abu Thamrin, SH, M.Hum Selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. H. Yayan Sopyan, SH, MA, MH Selaku Dosen Penguji Skripsi 1 (Satu) dan Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Selaku Dosen Penguji Skripsi 2 (Dua), Aku ucapkan terimakasih banyak atas arahan, masukan dan koreksi skripsinya yang bersifat sangat membangun menuju arah perubahan yang lebih baik.

5. Kakak Mufida Selaku Pihak Pengurus Double Degree Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu senantiasa memberikan semangat kepada saya untuk segera cepat menyelesaikan study ini

6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dosen jurusan Peradilan Agama yang telah memberikan materi perkuliahan, saya mendapatkan ilmu yang tidak ternilai ibarat berlian yaitu bernilai mahal, indah, berharaga serta bimbingan akhlak, semua mata kuliah hingga selesai sampai skripsi ini.

7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan.

8. Teman-Teman Prodi Double Degree Angkatan Ke 3 (Tiga) Tahun 2013 Aku Ucapkan Kepada Indah Khoiril Bariyah, Zulisan Sidqi, Muhammad Awaludin, Ahmad Saidi, Andi Asyraf Rahman, Muhammad Hira Hidayat, Bustomi, Badru Tamam, Erwin Hikmatiar, Rusdi Rizki Lubis, Nurfachri, Jefri AR, Ade Firmansyah, Muhammad Irpan,.Terimakasih atas semua yang telah kita lewati bersama, kalian adalah Teman Teman terbaik yang aku punya.


(8)

sayang, serta dukungan baik moril maupun materil yang tiada terhitung nilainya, serta senantiasa mendoakan dan membimbing penulis. Serta Adik Kandungku tercinta Feni Sulsiah yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis,dan untuk Adik Kandungku tersayang Fahrudin Terima kasih juga telah memberikan Do’a dan support, semoga dari Allah SWT dapat balasan yang lebih baik. Amiin

10. Narti Patner Hidupku yang selalu setia menemaniku berjuang baik dalam keadaan susah, sedih, duka, senang, gembira, bahagia, wanita terindah ini selalu ada untukku, selalu memberikan support yang luar biasa, seperti ibarat kata pepatah mutiara, Hadapi segala tantangan Hidup untuk sebuah pembelajaran, jadikan semangat yang kuat dan motivasi yang tinggi, tetap optimis. Insya Allah dimana ada kesulitan pasti ada jalan kemudahan. Asalkan Tanamkan Niat Keikhlasan dalam Hati Bahwa Allah SWT, dalam melaksanakan sholat lima waktu sebagai amal ibadah dan perbuatan yang baik untuk bekal nanti di akhirat menuju Syurga nya Allah SWT bersama dengan orang orang yang sabar dan beriman, untuk berpuasa dan bersedekah, serta senantiasa sebagai insan yang lemah ini selalu berusaha, berdo’a, berjuang, berikhtiar, serta hasilnya tawakal, dan berserah diri semuanya pasrahkan kepada Allah SWT sang maha pencipta. sang maha membolak balikan perasaan hati seorang manusia yang awalnya keras menjadi lembut. Karena Allah SWT Sang maha kuasa atas segala kehendaknya.

KUN FAYAKUN

Dengan Segenap Ketulusan dan keikhlasan dari hati yang paling dalam atas jasa dan bantuan semua pihak. Penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang berlipat ganda dan menjadikannya sebagai amal ibadah yang tidak akan pernah berhenti mengalir pahalanya hingga akhir hayat.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dan umumnya bagi para pembaca, serta Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua. Amiin

Jakarta, 21 Oktober 2016 M 20 Muharram 1438 H


(9)

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…. ……… 1

B. Identifikasi Masalah………. 8

C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah………..………….. 9

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ………... 11

E. Study Review (Tinjauan Pustaka) Terdahulu………. 12

F. Metode Penelitian…..………... ………. 15

G. Sistematika Penulisan….………... 18

BAB II EKSITENSI KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATA NEGARAAN INDONESIA A. Sejarah Lahirnya Komisi Yudisial………. 20

B. Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Organs)………. 26


(10)

Perwakilan Rakyat……….. 38 B. Menegakkan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku

Hakim………..……… 50

C. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial………. 57 BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTUSI NOMOR 43/PUU-XIII/2015

A. Duduk Perkara………... 61 B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi……… 62 C. Analisis……….. 66 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……… 79

B. Saran………. 82


(11)

1

Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri, yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, juga mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Yakni Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Menurut Philipus M. Hadjon dalam memaknai kedudukan suatu lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama: kedudukan diartikan sebagai suatu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga negara lain. Kedua, kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi utamanya.1

Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial merupakan organ negara yang wewenangnya diberikan langsung oleh UUD 1945. Pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 Komisi Yudisal

1

Philipus M. Hadjon, “Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), h. 10


(12)

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, walaupun Komisi Yudisial tidak memiliki kekuasaan kehakiman.

Pasal 24A ayat (3) berbunyi, “Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”. Selanjutnya, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk menegakkan konstitusi dalam mewujudkan negara hukum Indonesia yang demokratis. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang (a) Menguji undang-undang terhadap UUD; (b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar; (c) Memutus pembubaran partai politik; (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (e) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden


(13)

telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan pendapat bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan dimasukkannya Hakim Konstitusi dalam pengawasan Komisi Yudisal menurut Undang-Undang Komisi Yudisial mengakibatkan lumpuhnya kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi kenyataan timbulnya persengketaan kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.2 Padahal Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk memutuskan dengan putusan yang final dan mengikat dalam hal terjadinya sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

2

Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dimasukkannya hakim konstitusi dalam

Undang- Undang Komisi Yudisial yang dibahas pada tahun 2004 mencerminkan motif di kalangan Pembentuk undang-undang untuk menitipkan kepentingan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Konstitusi yang dianggap terlalu berkuasa, terutama setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan beberapa pengujian undang-undang, seperti pengujian atas ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pengujian atas Undang tentang Ketenagalistrikan yang dibatalkan seluruhnya, pengujian atas Undang eks Perpu Pemberlakuan Undang tentang Anti Terorisme, ketentuan Undang-Undang tentang Pemilu yang membatasi hak warga negara eks anggota PKI untuk ikut serta dalam Pemilu, dan lainsebagainya. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum tata Negara Indonesia Pasca Amandemen, h. 578-579


(14)

Hubungan Komisi Yudisial dengan Presiden diatur dalam UUD 1945 secara tegas menyatakan kedudukan Presiden adalah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara (executive power).3 Meskipun demikian, menurut Ismail Sunny Presiden Republik Indonesia tidak menjadi kepala eksekutif dan pemimpin yang sebenarnya dari eksekutif seperti halnya di Amerika Serikat.4 Ada dua alasan yang mendukung pendapat Ismail Sunny tersebut, yaitu: pertama, dalam melaksanakan kekuasaan itu telah ditentukan dalam undang-undang dasar. Dan kedua, dalam melaksanakan tugasnya Presiden dibantu oleh para menteri dan para menteri inilah dalam konteks politik melaksanakan tugas-tugas permerintahan.

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmailiy Ibrahim, ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut memberi wewenang yang luas dan tidak terperinci kepada Presiden namun tidak berarti presiden dapat berbuat sekehendak hatinya karena dibatasi oleh UUD 1945.5

Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial. Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang (bevoegheid) mengandung pengertian

3

Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Presiden Republik Indonesia memegang

kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar.”

4

Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif”, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 42

5

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, “Pengantar Hukum Tata Negara”, (Jakarta: Sinar Bhakti, 1983), h. 198


(15)

tugas (plichten) dan hak (rechten). Menurut Bagir Manan,6 wewenang mengandung makna kekuasaan (macht) yang ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada pejabat organ .Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menyatakan “Komisi Yudisial mempunyai wewenang” :

a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan Persetujuan

b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim.”

c. Menetapkan kode etik dan pedoman perilaku hakim bersama sama dengan mahkamah agung

d. Menjaga dan menegakan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim

Semua aparat penegak hukum berkewajiban mewujudkan cita hukum secara utuh, yakni keadilan, kemanfaatan menurut tujuan, dan kepastian hukum. Diantara para penegak hukum yang lainnya posisi Hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak, bahkan ada yang menggambarkan Hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.

6

Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum


(16)

Konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial ternyata bukan hanya kali ini dan hanya dalam masalah ini saja. Sejak akhir tahun 2005 sampai paling tidak pertengahan tahun 2006, khususnya masyarakat hukum, menyaksikan adegan konflik antara Makamah Agung dan Komisi Yudisial. Konflik yang oleh masyarakat disayangkan ini sebenarnya bermula dari langkah-langkah Komisi Yudisial ketika hendak menejermahkan dan melaksanakan amanat konstitusi atas pembentukannya yang kemudian membentur Mahkamah Agung yang struktur dan karakternya sudah begitu kuat dan berpola. Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang baru kemudian mendapat sorotan baik yang bersifat positif maupun negatif.7

Terjadinya perseteruan antara kedua lembaga tersebut adalah diajukannya permohonan atau gugatan judicial review atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh 31 Hakim Agung sebagai pribadi pribadi. Mereka pada pokoknya meminta Mahkamah Agung membatalkan sebagian isi Undang Undnag tersebut karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar Tahun 1945 yakni bagian yang menentukan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengawasi Hakim Agung. Para pemohon mendalilkan bahwa Komisi Yudisial hanya berwenang mengawasi hakim dan pengertian hakim di sana tidak mencakup Hakim Agung. Hal ini mengherankan karena baik ditinjau dari latar belakang maupun dari sikap Mahkamah Agung sendiri

7

Mohammad Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi” (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.110


(17)

sebelum lahirnya Undang Undang tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengawasi Hakim termasuk Hakim Agung.8 Hubungan kedua institusi ini tidak seperti yang diharapkan, yakni bekerja sama sebagai mitra (partnership).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 juga merupakan bentuk konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, putusan ini banyak menimbulkan perdebatan, lenyapnya kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim menimbulkan banyak opini tentang pelemahan lembaga tersebut, karena bukan hanya kali ini saja kewenangan Komisi Yudisial dikurangi dalam menjalankan tugasnya, tugas Komis Yudisial yang menyangkut pengawasan terhadap perilaku hakim menjadi terpangkas dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Namun di sisi lain, banyak juga opini yang menyatakan mendukung putusan ini karena berkaitan dengan kemandirian badan peradilan yang tercipta pada awal reformasi yang dicampuri oleh suatu lembaga baru yaitu Komisi Yudisial.

8

Mohammad Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi” h.111


(18)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba membahas masalah ini dalam skripsi dengan judul Kedudukan Komisi

Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung” (Analisa Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang itulah penulis mengidintifikasi masalah yang ada dalam Komisi Yudisial, dianataranya sebagai berikut :

1. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung ? 2. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi ? 3. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Presiden ?

4. Apa Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial ?

5. Apa yang menyebabkan terjadi konflik antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial dengan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 ?

6. Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam judicial review Undang Undang yang diuji oleh Mahkamah Agung terkait dengan IKAHI ?

7. Faktor Apa yang memengaruhi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam seleksi pengangkatan hakim ?


(19)

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan dari identifikasi masalah tersebut, maka penulis merasa sangat perlu untuk membatasi agar pokok permasalahan dalam kajian penelitian skripsi ini tidak meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penelitian ini penulis memfokuskan dan membatasi masalah hanya dalam ruang lingkup pembahasan skripsi ini hanya berkisar pada Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)

2. Rumusan Masalah

Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Agung dalam melakukan proses seleksi pengangkatan hakim merupakan kewenangan yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang (lembaga legislatif) melalui tiga undang-undang terkait dengan kekuasaan kehakiman. Di dalam hukum konstitusi kita pembentuk Undang-Undang boleh menentukan isi undang-undang yang dianggap penting dan baik apapun isinya, sepanjang tidak melanggar dan bertentangan dengan UUD 1945.

Kewenangan dalam proses seleksi pengangkatan Hakim Agung berdasarkan Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 Amanden Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial,


(20)

Undang Undang 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum/Peradilan Negeri, Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, dan Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan sebagai bentuk upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim dengan melakukan perbaikan pada integritas Hakim dan segenap komponen peradilan yang mendukung sistem kerja Hakim, dalam taraf tertentu diyakini akan mampu menghasilkan sebuah kultur penegakan hukum yang bersih, jujur dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, tegas dan bewibawa melalui proses seleksi pengangkatan Hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama-sama dengan Komisi Yudisial.

Proses seleksi pengangkatan Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Agung pada pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara sesungguhnya menciptakan kepastian hukum. Melihat bahwa proses seleksi pengangkatan Hakim Agung tidak diatur dalam UUD 1945 dan rekrutmen hakim yang dilakukan Komisi Yudisial bersama-sama Mahkamah Agung merupakan sebagai salah satu tujuan pembentukan sistem rekrutmen Hakim yang ideal, dimana proses seleksi pengangkatan Hakim akan lebih transparan dan memberikan ruang pada masyarakat untuk ikut serta mengikuti proses


(21)

seleksi pengangkatan Hakim, serta menimalisir terjadi kecurangan kucarangan yang mungkin terjadi pada proses seleksi pengangkatan hakim.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam judicial review Undang Undang yang diuji oleh Mahkamah Agung terkait dengan IKAHI?

2. Faktor Apa yang memengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam seleksi pengangkatan hakim?

D. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penilitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami substansi Komisi Yudisial dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015

2. Untuk mengetahui faktor faktor yang memengaruhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam seleksi pengangkatan hakim

Adapun manfaat penilitian skripsi ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis :


(22)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan Wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan konstribusi dalam menanggapi masalah hukum, khususnya tentang Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)

2. Manfaat Praktis

Adapun hasil penilitian skripsi diharapkan dapat memberi masukan dan sumbangan pemikiran yang bersifat konseptual yang berkaitan dengan Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)

E. Study Review (Tinjauan Pustaka) Terdahulu

Guna mengetahui sejauh mana masalah komisi yudisial yang pernah di bahas dalam berbagai literatur, buku, artikel.baik yang disusun oleh perseorangan, maka penulis melakukan pengamatan terhadap penelitian sebelumnya.


(23)

NO Identitas Subtansi Pembeda

1. Masripatunnisa “

Efektifitas Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Dalam Mengawasi Hakim Dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaaan Kehakiman (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) Skripsi Ini menjelaskan mengenai efektifitas fungsi pengawasan Komisi Yudisial secara umum serta pengaruhnya terhadap sistem kekuasaan kehakiman di indonesia Disini penulis membahas Komisi Yudisial dalam kekuasaan kehakiman bahwa ada pelanggaran kode etik, dan tidak mendapatkan tanggapan dari mahkamah agung.

Merumuskan kode etik bersama perilaku hakim bersama Mahkamah Agung, Menganalisis putusan yang sudah

berkekuatan hukum tetap sebagai dasar melakukan mutasi hakim, melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim, menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan pedoman perilaku Hakim.


(24)

melakukan

pemeriksaan bersama Mahkamah Agung atas dugaan

pelanggaran kode etik hakim, apabila

ada perbedaan hasil pemeriksaan dengan Mahkamah Agung. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup.

2 Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, dan Pengacara) tentang Mahkamah Agung Versus Komisi Yudisial, Kompas, Jakarta, Juni 2008

Hasil penelitian berupa buku ini membahas tentang Mahkamah Agung versus Komisi Yudisial dalam hal kewenangan

menjalankan fungsi pengawasan

secara yuridis maupun akses publik dan

informasi

Adakah kerjasama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial baik secara internal maupun eksternal, pelaksanaan fungsi pengawasan dan efektrifitasnya dalam mengawasi hakim perngaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman


(25)

Berdasarkan Telaah Pustaka dan penulusuran data yang telah penyusun lakukan, banyak sekali yang telah membahas tentang komisi yudisial, tetapi dari beberapa karya ilmiah maupun lainnya, belum ada yang mengangkat topik penelitian yang penyusun angkat. Maka peneliti merasa penting dan perlu untuk mengangkat topik “Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) ” .

F. Metode Penelitian

Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini digunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan.

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini, adalah:

1.1 Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.9

1.2 Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan

buku-buku, literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

9

Johny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Malang: Bayumedia Pubblishing, 2008), h. 294


(26)

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain :

1.3 Pendekatan perundang undangan yang didalamnya terdapat pasal pasal yang berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan pengkajian terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini khususnya berkenaan dengan Komisi Yudisial.10

1.4 Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ialah untuk mengungkapkan kenyataan, sejauh mana perundang-undangan tertentu

serasi secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal apabila menyangkut perundang-undangan sederajat mengenai bidang yang sama.11

2. Sumber Bahan Hukum

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu :

2.1Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki perundang-

undangan dengan Undang Undang Kewenangan dalam proses seleksi pengangkatan hakim agung berdasarkan Undang Undang Nomor 22 tahun

10

Johny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, h. 295

11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif”,(Jakarta: Rajawali Press, 1985),h. 85


(27)

2004 Amanden Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial, Undang Undang 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Negeri, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Adapun bahan hukum primer yang diteliti adalah berupa bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari UUD RI 1945, peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksana yang dianggap menunjang terhadap penulisan skripsi ini.

Dikatakan demikian karena yang menjadi dasar dalam penulisan skripsi ini yaitu dalam melakukan proses rekruitmen terhadap Hakim Agung hendaknya Komisi Yudisial melaksanakannya dengan prinsip transparansi, partisipatif, objektif, dan bertanggung jawab. Dengan demikian maka Komisi Yudisial dapat melakukan pengawasan terhadap para Hakim-Hakim agar tidak melakukan penyimpangan.

2.2Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.12 Adapun bahan yang diteliti adalah berupa bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari UUD RI 1945, peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksana yang dianggap menunjang terhadap penulisan skripsi ini. Bahan hukum yang terdiri

12


(28)

atas buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-jurnal hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data digital.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang diteliti, adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut :

Pertama dalam bab ini penulis membahas dasar-dasar pemikiran penulis dan gambaran umum tentang tujuan tulisan ilmiah serta berisi hal-hal yang menyangkut teknis pelaksanaan penyelesaian skripsi yang dimulai dengan mengemukakan Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Study Review (Tinjauan Pustaka) Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.


(29)

Kedua dalam bab ini penulis akan membahas eksistensi Komisi Yudisal yang berkaitan dengan Sejarah Komisi Yudisial dan Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Organs), Teori Pemisahan Kekuasaan.

Ketiga dalam bab ini penulis berusaha menguraikan tentang Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Menjaga Perilaku Hakim, Serta Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial.

Keempat dalam bab ini memuat analisis yang bertujuan untuk menjelaskan Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam judicial review Undang Undang Nomor 18 tahun 2011 terkait dengan seleksi pengangkatan Hakim Agung, Faktor Apa yang memengaruhi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015

Kelima dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.


(30)

20

A. Sejarah Lahirnya Komisi Yudisial

Undang Undang Dasar 1945 dalam perubahan ketiga yang disahkan pada tanggal 10 November 2001 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.1 Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraa kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari campur tangan kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.2

Perubahan Undang Undang Dasar 1945 yang menyangkut kelembagaan kekuasaan kehakiman sebagaimana di atas, telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang kewenangannya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan pada kesepakatan bahwa perlu ada suatu lembaga khusus untuk menjalankan fungsi fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman.3 Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara dijamin kemandiriannya dalam UUD 1945 yaitu dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim

1

Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan III, Bab I Tentang Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat (3)

2

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”

3

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang


(31)

Berdasarkan perubahan tersebut, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.5

Kekuasaan kehakiman bukanlah suatu lembaga yang dapat menuntaskan segala persoalan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek seperti pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim merupakan persoalan di dalam kekuasaan kehakiman yang apabila tidak terkelola dengan baik akan berpengaruh besar terhadap kinerja kekuasaan kehakiman secara keseluruhan.6 Persoalan menjadi semakin rumit ketika menyangkut perekrutan Hakim Agung. Hal ini dikarenakan Hakim Agung adalah jabatan yang sangat strategis sehingga selalu mengundang intervensi pemegang kekuasaan politik (DPR dan Presiden) dalam rangka menempatkan orang orangnya untuk dapat memperjuangkan kepentingan kepentingannya di kemudian hari.

4

Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Paragraf 6 menyebutkan “Komisi Yudisal bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim agung dan mempunyai

wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.”

5

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab I Ketentuan Umum. Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dalam undang-undang ini adalah dilakukan oleh sebuah Mahkama Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

6


(32)

yang baru. Dalam pembahasan Rancangan Undang- Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1968, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman. Namun dalam perjalanannya, ide tersebut tidak berhasil dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sejalan dengan hal tersebut, A. Ahsin Thohari menyimpulkan bahwa alasan alasan utama yang menyebabkan munculnya gagasan pembentukan Komisi Yudisial, antara lain:

1. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja

2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antar kekuasaan Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman.

3. Kekuasaan kehakiman dianggap tindak mempunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan persoalan teknis menghukum

4. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar- benar independen


(33)

Praktik peradilan yang akrab dengan mafia peradilan (judicial corruption) merupakan alasan lain lahirnya komisi ini. Wajah kusut pengadilan dinegeri kita merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama dan tidak boleh terulang kembali untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kepercayaan publik yang hilang (publicdistrust) terhadap lembaga pengadilan akibat tingginya praktik mafia peradilan dapat ditumbuhkan lagi dengan hadirnya lembaga pengawasan yang dapat menegakkan kehormatan dan perilaku hakim.8

Penegakan hukum di Indonesia dalam pelaksanaan mekanisme kontrolpun dirasa masih lemah. Ada faktor faktor lain sebagai konsistensi kepatuhan terhadap hukum, yaitu sikap para penyelenggara negara, penegak hukum, dan rakyat itu sendiri. Ditengah situasi semacam itu pula muncul manusia yang seolah olah kebal hukum. Padahal secara normatif, semua warga negara tanpa kecuali sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjungnya. Semangat ketaatan terhadap hukum itu tidak mungkin dapat ditumbuhkan tanpa dilandasi iman keagamaan dan kepatuhan terhadap norma norma moral yang hidup dalam masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia untuk patuh terhadap hukum.9

7

Ahsin Thohari, “Komisi Yudisal & Reformasi Peradilan”, (Jakarta: Elsam, 2004), h. 217-218

8

Busyro Muqoddas, Arah Kebijakan Komisi Yudisial dalam Mengawal Penegakan Hukum di Indonesia, (Makalah) disampaikan dalam seminar Nasional di Pusat Penelitian Agama dan Perubahan Sosial Budaya Lemlit UIN SUKA Yogyakarta, 29 Juli 2006

9

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi


(34)

kehakiman karenanya bukanlah sekedar “asesoris” demokrasi atau sekedar “kegenitan” proses pembaruan penegakan hukum. Komisi Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik dari adanya amandemen konstitusi yang ditujukan untuk membangun sistem checks and balances di dalam sistem dan struktur kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya pada sub sistem kekuasaan kehakiman.10

Kelahiran Komisi Yudisial juga didorong antara lain karena tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan-badan peradilan. Tidak efektifnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak lanjuti hasil pengawasan.11

Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman,

10

Bambang Widjoyanto, “Komisi Yudisial: Checks and Balances Dan Urgensi Kewenangan

Pengawasan”, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, 2006, h. 111

11

Mas Achmad Santosa, artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian Kompas tanggal


(35)

yang berkaitan dengan fungsi pengawasan eksternal terhadap kekuasaan kehakiman.

Selain itu, Menurut Jimly Asshiddiqie12 maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga di luar Struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam poses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua itu dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting konferensi International Commission of Jurist menggaris bawahi bahwa; “Independence

does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasa mengubah UUD Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial. 13

12

Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu (1), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 57

13

Jimly Ashiddiqie, Bagir Manan, et. al, “Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden

Secara Langsung”, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 24


(36)

Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu di Indonesia yang dirumuskan Dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 ditentukan: “Calon hakim Agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.” Pasal 24B UUD 1945 menentukan pula bahwa:

1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum, serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 34 menentukan:

1. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Hakim Agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan Undang Undang.

2. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim diatur dalam Undang Undang.

3. Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim Agung dan Hakim pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang Undang.


(37)

pembinaan hakim dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.

Ketentuan Pasal 24B UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi Yudisial “bersifat mandiri”. Ketentuan ini kemudian dipertegas pada Pasal 2 Undang Undang Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain.

Dari ketentuan tersebut, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga yang mandiri (independence). Secara etimologis istilah “mandiri” berarti keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung kepada orang lain. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada tiga pengertian independensi, yaitu: 14

1. Structural Independence yaitu independensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain.

2. Functional Independence yaitu dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaannya.

3. Financial Independece yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi.

14

Jimly Asshiddiqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, Cet, Kesatu


(38)

fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap kekuasaan kehakiman. Meskipun secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak menjalankan fungsi kehakiman. Komisi Yudisal bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Komisi Yudisial hanya berkaitan dengan persoalan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional. Keberadaannyapun sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di dalam dunia profesi kehakiman dan lingkungan Mahkamah Agung, artinya sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun untuk lebih menjamin efektifitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka fungsinya ditarik ke luar menjadi eksternal auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan pengawasnya.

Menimbang pula bahwa Komisi Yudisial merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A, Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B, dan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 Komisi Yudisial berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Calon Hakim Agung diusulkan


(39)

Bahwa Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Demi Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang ditumpukan kepada negara.

Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority). 15 Lahirnya lembaga lembaga negara baru tersebut, dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas termasuk ke dalam salah satu dari tiga organ negara menurut trias politica.

Dalam perkembangannya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama. Lembaga Negara baru tersebut disebut dengan state auxiliary organ, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat penunjang. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan istilah yang paling umum digunakan, meskipun ada pula yang berpendapat bahwa istilah lain

15

Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu (1), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 7-8


(40)

independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut.

Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya Prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya.

Menurut Ni’matul Huda Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembaga-lembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut:.

1. Prinsip Konstitusionalisme, Konstitusionalisma adalah gagasan yang menghendaki agar Kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan demikian, pembentukan lembaga lembaga negara bantu ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hak hak dasar warga negara semakin terjamin serta demokrasi dapat terjaga.

2. Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan pada masa prareformasi telah menghambat proses demokrasi secara


(41)

pembangunan dan pengembangan demokrasi.

3. Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya. Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga lembaga negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya kewenangan antar lembaga yang ada sehingga menimbulkan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.16

C. Teori Pemisahan Kekuasaan

Teori Pemisahan Kekuasaan pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1960) yang kemudian dikembangkan oleh Baron de Montesquieu

(1689-1755) yang lebih dikenal dengan istilah trias politica. Teori ini dilandasi oleh pemikiran untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan secara absolut di tangan satu orang. Sebab hal tersebut sangat berpeluang bagi timbulnya penyalahgunaan kekuasaan (misuse power). Jika kekuasaan yudikatif diletakkan pada penguasa, maka proses peradilan berpotensi besar untuk dijadikan alat untuk mempertahankan kepentingan penguasa. Selanjutnya, jika kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif diletakkan pada penguasa maka akan lahir penguasa tirani.17

Adapun Ajaran Motesquieu yang lebih dikenal dengan sebutan Trias Politica, yang menghendaki pembagian kekuasaan negara dalam tiga bidang pokok yang

16

Ni’matul Huda, “Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi”, (Yogya

karta: UII Press, 2007), h. 202

17

Sumali, “Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu)”, (Malang: UMM Press,2003), h. 9


(42)

1. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk Undang Undang

2. Kekuasaan eksekutif, menjalankan Undang Undang Pemerintahan

3. Kekuasan yudikatif, menjalankan fungsi peradilan

Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini maka tidak ada campur tangan antara organ organ negara terhadap operasional kekuasaan masing masing. Dengan sistem yang demikian di dalam ajaran Trias Politica terhadap suasana checks and balance, di mana di dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara itu terdapat sikap saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin masing-masing lembaga negara itu melampaui batas kekuasaan yang ditentukan. Dengan demikian terdapat hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara tersebut.19

Menurut C.S.T Kansil, bahwa negara dapat pula diartikan sebagai suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia-manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama. Pemerintah ini sebagai alat untuk bertindak demi kepentingan rakyat untuk mencapai tujuan organisasi negara, antara lain kesejahteraan, pertahanan, keamanan, tata tertib, keadilan, kesehatan dan lain-lain. Untuk dapat bertindak dengan sebaik-baiknya guna mencapai tujuan tersebut, pemerintah mempunyai wewenang, wewenang mana dibagikan lagi

18

Kotan Y. Stefanus, “Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan, Dimensi Pendekatan Politik Hukum Terhadap Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945”,(Yogyakarta: Atmajaya 1998), h. 29

19


(43)

pembagian tugas negara kepada alat-alat kekuasaan itu.20

Adapun pengertian pembagian kekuasaan berbeda dari pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun fungsinya. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu pemisahan kekuasaan yang murni tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu maka pilihan Indonesia jatuh kepada istilah pembagian kekuasaan, yang berati bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerjasama.21

Sedangkan inti dari ajaran trias politica ialah adanya pemisahan kekuasan dalam negara, sehingga dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan negara tidak berada dalam kekuasaan satu tangan. Sementara kekuasaan cenderung bersalah guna (power tends to corrup).Pemegang kekuasaan ada kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan, dan dalam konteks ini diperlukan adanya pembatasan kekuasaan.22

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terkenal dengan naskah yang singkat, apabila dikaji dengan cermat, ternyata tidak menganut sistem pemisahaan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari

20

C.S.T Kansil,“Hukum Tata Negara Republik Indonesia”(Jakarta: Bina Aksara,1986) h. 88

21

Muhammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Fakultas Hukum UI 1988) h.140

22


(44)

pada pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menggariskan kerjasama antara Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam tugas perundang-undangan.23 Walapun dalam selanjutnya dalam perubahan pertama UUD 1945, ketentuan pasal tersebut berubah menjadi ”Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Dalam perkembangannya, tugas negara yang semakin banyak dan kompleks mengakibatkan penerapan teori pemisahan kekuasan (separation of power) sulit dipatuhi secara tajam. Pada zaman modern terjadi saling mengkombinasi antara konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan konsep check and balances. Konsep seperti ini umumnya disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of powers). Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipisah (secara tegas) tetapi hanya dibagi-bagi, sehingga memungkinkan timbulnya overlapping kekuasaan.24

Tidak diragukan lagi bahwa teori trias politica sangat perlu diaplikasikan dalam suatu sistem pemerintahan yang baik. Sejarah ketatanegaraan menunjukkan penerapan teori ini (dengan berbagai variasi) dapat mengantarkan umat manusia ke arah kehidupan yang lebih demokratis sehingga dapat menopang sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan

23

Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, h.8

24


(45)

Posisi Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan. Pada saat perumusan pasal mengenai Komisi Yudisial dalam perubahan Undang Undang Dasar 1945, muncul berbagai perdebatan konsepsi tentang posisi Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Diantaranya beberapa catatan yang berkembang dalam perdebatan yaitu sebagai berikut :

a. Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan yang independen (merdeka) untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jadi independensi penyelenggaraan peradilan hanya dibatasi oleh hukum dan keadilan itu sendiri.

b. Pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka itu adalah : Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kedua lembaga inilah sebagai representasi kekuasaan yudikatif dalam kerangka konsep trias politica. Adapun lembaga-lembaga lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan Undang Undang antara lain Polisi sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, notaris, advokat dan lain-lain (pasal 24 ayat (3)) UUD 1945).

c. Independesi kekuasaan kehakiman tidak dapat diganggu atau dipengaruhi oleh kekuasaan lembaga negara lainnya dan dari pengaruh manapun (eksekutif dan atau Legislatif). Independensi ini hanya dibatasi oleh hukum dan keadilan sendiri. Penghormatan masyarakat terhadap lembaga yudikatif dan kewibawaanya sangat

25


(46)

d. Dengan dasar pandangan yang demikianlah pada draft perubahan UUD tahun 2000 yaitu padal draft Pasal 25A (Lihat TAP IX/MPR/2000) menghapus kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat dan perilaku hakim.

e. Pada perkembangan selanjutnya Komisi Yudisial diposisikan berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Posisi seperti ini dimaksudkan agar kekuasaan kehakiman itu tidak diganggu atau diintervensi oleh kekuasaan negara yang lain sehingga prinsip-prinsip kebebasan peradilan (independency and impartiality) dari lembaga peradilan. Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, akan tetapi sebagai supporting sistem dalam menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka agar kewibawaan dan kehormatan lembaga peradilan tetap terjaga dan tidak kebablasan karena kebebasan dan kemerdekaannya. Pengawasan oleh Komisi Yudisial adalah bentuk pengawasan eksternal hakim yang mengimbangi pengawasan yang hanya dilakukan oleh Dewan Kehormatan Hakim yang bersifat internal. Karena itulah anggota komisi Yudisial disyaratkan harus mempunyai pengalaman dan pengetahuan di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela (pasal 28B ayat (2) UUD 1945).

f. Dalam kerangka konsep seperti ini, Komisi Yudisial dan pelaku kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) harus dapat berjalan bersama untuk membangun kekuasaan kehakiman yang berwibawa. Komisi


(47)

lingkungan kekuasaan kehakiman ini tidak dapat saling menjatuhkan atau meminta intervensi kekuasaan lain sehingga dapat merusak independensi lembaga peradilan.


(48)

38

A. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Kewajiban semua aparat penegak hukum untuk mewujudkan cita hukum secara utuh, yakni terciptanya keadilan, kemanfaatan menurut tujuan dan kepastian hukum. Dari keseluruhan aparat penegak hukum, hakim (termasuk Hakim Agung) memiliki kedudukan yang istimewa.

Hakim merupakan tokoh sentral dalam proses pengadilan. Untuk itu, seorang hakim diharapkan mampu memberikan putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat berdasarkan hukum. Agar dapat mewujudkannya, seorang hakim harus memiliki kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai; memiliki integritas, moral dan karakter yang baik; mencerminkan keterwakilan dari masyarakat (baik secara ideologis, etinis, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya), memiliki nalar yang baik; memiliki visi yang luas; memiliki kemampuan berbicara dan menulis; mampu mengakkan negara hukum dan bertindak independen dan imparsial dan memilki kemampuan administratif yang independen.1

Untuk dapat memperoleh Hakim (Hakim Agung) yang memiliki kriteria kriteria di atas, diperlukan suatu sistem yang baik yaitu melalui suatu sistem rekruitmen, seleksi dan pembinaan yang baik. Sistem rekruitmen yang baik harus mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, right man in right place,

1

Mahkamah Agung RI, 2003, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial., h28


(49)

proses seleksi tersebut berlangsung.

Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat berperan penting dalam terciptanya rekruitmen Hakim Agung yang kredibel.

Sistem rekruitmen Hakim Agung memberi pengaruh langsung terhadap kualitas dan tingkah laku Hakim Agung. Apabila sistem rekruitmen hakim agung tidak didasarkan pada norma-norma profesionalitas maupun integritas yang bersangkutan, maka pada akhirnya akan mengakibatkan penyimpangan dalam proses peradilan. Hal ini akan bermuara pada lahirnya putusan hakim yang tidak memenuhi kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Kondisi seperti ini tentu akan berakibat ketidak percayaan masyarakat kepada institusi peradilan.

Rekruitmen Hakim Agung harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Misalnya, ketika seseorang yang ingin menjadi Hakim Agung harus mengeluarkan biaya yang besar, maka besar kemungkinan selama memangku jabatannya, Hakim Agung tersebut berupaya mengembalikan dana yang telah dikeluarkan sekaligus untuk mencari kekayaan dan memakmurkan diri. Selain itu, sistem rekruitmen Hakim Agung yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui proses fit and proper test harus bersih dari kepentingan politik yang mempengaruhinya.3

2

Mahkamah Agung RI, 2003, h.29

3


(50)

Pengangkatan Hakim Panel, bahwa independensi kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara salah satunya dapat dilihat dari pola rekruitmen Hakim Agung yang tidak bersifat politis.

Sebelum perubahan Undang Undang Dasar 1945, mekanisme usulan, pencalonan dan seleksi Hakim Agung semata-mata berada di tangan Presiden selaku kepala negara. Melihat kenyataan demikian, Jimly Asshiddiqie4 berpendapat bahwa pencalonan keanggotaan Hakim Agung jangan diserahkan secara eksklusif kepada satu lembaga karena dapat mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman.

Pada era reformasi terjadi perombakan besar besaran terhadap tataran kekuasaan pemerintahan. Hal ini disebabkan perubahan Undang Undang Dasar 1945 sebanyak empat kali yang mengakibatkan perubahan tatanan pemerintahan berserta lembaga lembaga negara tak terkecuali kekuasaan kehakiman khususnya menyangkut tata cara rekruitmen atau pencalonan Hakim Agung.

Konstruksi hukum pasca perubahan Undang Undang Dasar 1945 menentukan bahwa mekanisme pengusulan calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat merupakan wewenang yang dimiliki dan dilakukan oleh Komisi Yudisial.

4

Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu (1), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 84


(51)

“Calon

Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai

hakim agung oleh Presiden.”

Landasan pokok selanjutnya, diatur pada Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Ayat (1) berbunyi: “ Hakim Agung diangkat oleh Presiden

dari calon nama yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Selanjutnya ayat (2) berbunyi: “Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Kemudian ayat (3) berbunyi: “Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama

calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.”

Sebagai landasan hukum pelaksanaan pencalonan Hakim Agung diatur pada BAB III Pasal 13 sampai dengan Pasal 20 Undang Undang Komisi Yudisial. Undang undang ini mengatur tata cara pelaksanaan pencalonan Hakim Agung yang digariskan dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Bertitik tolak dari ketentuan perundang-undangan yang dikemukakan di atas, proses pengangkatan Hakim Agung melibatkan lembaga Komisi Yudisal, DPR, dan Presiden. Sehubungan dengan itu, penulis mencoba membahas lebih lanjut sejauh mana porsi dan batas wewenang masing-masing lembaga tersebut dalam proses pengangkatan Hakim Agung.


(52)

kewenangannya melakukan pencalonan Hakim Agung yang diperintahkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Perintah dan kewenangan mengusulkan pngangkatan hakim agung ditegaskan kembali oleh Pasal 3 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial yang berbunyi: “Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, pengusulan calon Hakim Agung sepenuhnya diberikan kepada Komisi Yudisial. Tugas yang harus dilaksankan Komisi Yudisial dalam rangka pengusulan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, diatur dalam Pasal 14, 15 , 16, 17, 18, 19, dan 20 Undang-Undang Komisi Yudisal.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 Undang- Undang Komisi Yudisial, dalam rangka pencalonan Hakim Agung maka Komisi Yudisial terlebih dahulu melakukan pendaftaran calon Hakim Agung. Menurut Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Komisi Yudisial bahwa dalam hal terjadi peristiwa berakhir masa jabatan seorang atau beberapa Hakim Agung, maka Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, hal itu harus disampaikan Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a jo. Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan befungsinya kewenangan Komisi Yudisial melakukan pendaftaran calon Hakim


(53)

tersebut harus dilakuakan paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan tersebut. Hal ini berarti bahwa selama belum ada pemberihtaun dari Mahkamah Agung tentang lowongan jabatan Hakim Agung yang timbul sebagai akibat dari adanya masa jabatan Hakim Agung yang akan berakhir, Komisi Yudisial tidak dapat mengajukan pengangkatan caon Hakim Agung.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial, digariskan tindak lanjut yang harus dilakukan Komisi Yudisial setelah mendapat pemberitahuan dari Mahkamah Agung tentang adanya lowongan Hakim Agung, yaitu (a) paling lambat dalam jangka waktu lima belas hari sejak menerima pemberitahun dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial mengeluarkan pengumuman pendaftaran calon Hakim Agung dan (b) pengumuman tersebut dilakukan selama lima belas hari berturut-turut.

Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial disebutkan bahwa yang dimaksud dengan berturut-turut dalam ketentuan ini adalah pengumuman yang dilakukan secara terus-menerus di tempat pengumuman Komisi Yudisial dan dapat pula diumumkan dalam media massa paling sedikit dua kali. Selanjutnya, Pasal 15 ayat (2) mengatur siapa atau pihak mana saja yang dapat atau berhak mengajukan calon hakim agung, antara lain: a. Mahkamah Agung, b. Pemerintah, c. Masyarakat.

Berkenaan dengan hal tersebut, sepanjang mengenai Mahkamah Agung tidak ada masalah. Akan tetapi, mengenai Pemerintah terkandung pengertian yang kabur (vague)


(54)

Berpedoman pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang melaksanakan kekuasaan pemerintah adalah Presiden. Dalam melaksanakan pemerintahan menurut ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Bertitik tolak pada ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Presiden maupun menteri berwenang mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial. Dalam hal menteri yang dianggap memiliki kewenangan untuk itu adalah menteri yang berkaitan dengan dengan masalah penegakan hukum yaitu Menteri Hukum dan HAM.

Berkenaan dengan pengertian masyarakat, dapat juga menimbulkan persoalan. Hal ini disebabkan rumusan Pasal 15 ayat (2) hanya menyebutkan kata “masyarakat” tanpa disertai penjelasan yang lengkap tentang apakah yang dimaksud dengan masyarakat itu. Apakah pengertian masyarakat adalah masyarakat dalam arti individu atau perseorangan. Atau, apakah harus berbentuk kelompok Namun apabila mengacu kepada maksud dari rumusan pasal tersebut, kata “masyarakat” mencakup pengertian anggota masyarakat secara individual maupun sebagai kelompok. Dengan demikian, orang perorangan dapat mencalonkan dirinya sendiri kepada Komisi Yudisial.

Jangka waktu pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial oleh Mahkamah Agung, pemerintah maupun masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 15 ayat (3) Undang Undang Komisi Yudisial dilakukan dalam jangka waktu lima belas hari sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung dikeluarkan


(1)

dicermati pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang menghapus peran Komisi Yudisial dalam seleksi hakim.

A. Pertama yaitu kegagalan Mahkamah Konstitusi untuk memaknai Konstitusi dengan lebih luas. Mahkamah Konstitusi melalui keputusannya menyatakan bahwa adanya kewenangan Komisi Yudisial untuk bersama Mahkamah Agung melakukan seleksi hakim di tiga lingkup peradilan (umum, agama, dan tata usaha) bertentangan dengan makna “wewenang lain”Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi merasa bahwa kewenangan pemilihan hakim oleh Komisi Yudisial hanya limitatif (terbatas) untuk hakim agung saja. Padahal seharusnya tidak begitu. Penjagaan martabat dan keluhuran hakim itu tentu tidak bisa tidak harus dimulai dari proses seleksi awal penerimaan hakim itu sendiri. Begitu juga penegakan kehormatan serta perilaku hakim tentunya harus ditegaskan sejak awal sehingga menjadi cara pandang bagi orang yang nantinya menjadi hakim. Dan lagi ini diperkuat dengan kenyataan bahwa kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan seleksi itu dilakukan bersama dengan Mahkamah Agung, bukan wewenang tunggal sehingga tidak seharusnya dimaknai bertentangan dengan Konstitusi.

B. Kedua, yaitu kelalaian Mahkamah Konstitusi untuk membedakan larangan dengan norma Mahkamah Konstitusi berdasar keputusannya mengungkapkan bahwa pembahasan mengenai norma kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi atas hakim tingkat pertama dan banding dahulu sudah pernah


(2)

diperdebatkan dalam pembahasan perubahan Undang Undang Dasar 1945 di era awal reformasi dahulu dan ditolak. Menurut Mahkamah Konstitusi, dengan tidak disepakatinya suatu usulan norma itu berarti juga larangan terhadap hal itu. Padahal itu tidaklah beralasan. Sesuatu dikatakan bertentangan dengan konstitusi jika secara tegas melanggar norma Undang Undang Dasar ataupun prinsip umum yang termuat di Konstitusi. Justru pembahasan yang pernah dilakukan oleh para perumus amandemen Undang Undnag Dasar 1945 mengenai kewenangan Komisi Yudisial melakukan seleksi hakim hingga tingkat pertama menunjukkan gagasan mengenai peran lebih Komisi Yudisial. Maka dari itu, tentu sangat disayangkan saat perumus undang-undang peradilan membuat policy adanya kewenangan seleksi hakim tingkat pertama pada Komisi Yudisial yang sebenarnya tetaplah dilakukan bersama Mahkamah Agung dipermasalahkan.

C. Ketiga, yaitu kegagapan Mahkamah Konstitusi untuk melihat hubungan ideal antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi berdasar keputusannya seakan mengangguk setuju begitu saja pada argumen pihak IKAHI yang menyatakan bahwa dengan adanya Komisi Yudisial yang turut melakukan seleksi hakim bersama Mahkamah Agung akan mengganggu independensi dan kemandirian peradilan. Mahkamah Konstitusi menyetujui bahwa kemandirian hakim bisa terjamin jika seleksi hakim bebas “intervensi” dari lembaga lain.


(3)

B. Saran

1. Perlunya penyusunan Undang Undang Komisi Yudisial menyebutkan secara rinci tugas pengawasan yang dapat dilakukan Komisi Yudisial, sehingga putusannya lebih jelas daya berlakunya semakin kuat. Dan mengatur tegas pembedaan antara ranah perilaku, ranah teknis yudisial dan ranah administrasi. Selain itu, diperlukan pula tanggung jawab negara melalui fungsi legislasi yang dalam hal ini harus diperankan DPR dan Pemerintah.

2. Komisi Yudisial memegang peranan penting dalam menyeleksi hakim agung, maka yang harus diperhatikan adalah calon hakim yang dipilih adalah hakim yang benar benar bisa bertanggung jawab kepada provesinya sebagai hakim agung. 3. Komisi Yudisial perlu melakukan penguatan internal dalam membangun sistem

pengawasan dan penguatan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teknis terkait dengan pelaksanaan fungsi pengawasan.

4. Penulis mengharapkan adanya kajian lanjut dan lebih mendalam mengenai Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim khususnya masalah pengangkatan, pemberhentian dan penjatuhan sanksi yang dilakukan oleh komisi Yudisial khususnya peradilan pada hukum Islam yang benar benar Valid dan Credible.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arfawie, Kurde, Nukhtoh, Telaah Kritis Teori Negara Hukum Konstitusi dan Demokrasi dalam Rangka Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan UUD 1945, Pustaka Pelajar, Arto, 2005

A. Mukti, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Redefenisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangan Indonesia Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kesatu (1), Konstitusi Press, Jakarta, 2005

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cetakan Kesatu (1), Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,” Cetakan Kedua (2), Sinar Grafika, Jakarta 2012

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Cetakan Kesatu (1), PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007

Asshiddiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Cetakan Kesatu (1), PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2009

Chaidir, Ellydar. Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2007

C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta 1986 Dahlan Thaib, DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

1994. Jakarta, 1986.

Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Rafika Aditama, Bandung, 2009. Huda, Ni’Matul, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta,

2005.

Hadjon, Philipus, M, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Cetakan Pertama, Bina Ilmu, Surabaya, 1992.

Harahap, Yahya M, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1984.

Kusnardi, Muhammad dan Hermaily Ibrahim. Pengatar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, Jakarta Pusat, 1983.


(5)

Kusnardi Muhammad dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988.

Kansil, C.S.T dan Kansil S.T.Christine“Hukum Tata Negara Republik Indonesia” Cetakan Pertama Edisi Revisi 2, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008

Latif, Abdul. Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi), Total Media, Yogyakarta, 2009.

Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007. Mahfud MD, Moh Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007.

Mahfud MD, Moh Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Rineke Cipta, Jakarta, 2001.

Prodjohamidjojo, Martiman, S.H., Kekuasaan Kehakiman dan Wewenang untuk Mengadili, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Salman, A, Magalatung “Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945” Gramata Publishing, Bekasi, 2016.

Satjipto Rahardjo, Komisi Yudisial untuk Hakim dan Pengadilan Progersif, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, Komisi Yudisial RI, Jakarta, 2006.

Sirajuddin, dan Zulkarnain, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Soemantri M., Sri. Prosedur dan dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit PT. Alumni, Bandung.

Soekanto, Sorejono. Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1998.

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

Sumali. Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang Undang (Perpu), UMM Press, Malang, 2003.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Suyuthi, Wildan “Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama”

dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Mahkamah Agung RI, Jakarta 2006.

Thalib, Abdul Rasyid. Wewenang Mahkama Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya, Bandung, 2006. Thohari, A. Ahsin, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004.


(6)

Wahjono, Padmo. Beberapa Masalah Ketatanegaraan di Indonesia, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1984.

Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus Media,Bandung, 2007.

Zaini, Abdulah. Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisal, Jakarta, 2003.

Naskah Akademik RUU tentang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah Agung menjadi Naskah Akademik yang digunakan DPR dalam menyusun UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006, diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Rabu, 23 Agustus 2006

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Konstitusi Republik Indonesia Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam proses pengangkatan Hakim Agung

Artikel

Santosa, Mas Achmad. artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian Kompas, 02 Maret 2005.

Widjoyanto, Bambang. Komisi Yudisial: Checks and Balances Dan Urgensi Kewenangan Pengawasan, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, 2006

Makalah dan Jurnal

Thohari, A. Ahsin. Mengembalikan Khittah Komisi Yudisial Sebagai Pengawas Eksternal Hakim, dalam Jurnal Hukum Panta Rei, Vol 1, No. 3, Februari 2009