Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 : tinjauan ketatanegaraan Islam

(1)

1

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Desember, 2008.


(2)

1

KOMISI YUDISIAL RI PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI RI NOMOR 005/PUU-IV/2006 (TINJAUAN KETATANEGRAAN ISLAM)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:

Urwatul Wutsqah NIM: 104045201533 Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jaenal Aripin, MA Drs. Abu Thamrin, SH, M. Hum. NIP: 150 289 202 NIP: 150 274 761

KOSENTRASI SIYASAH SYARIYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1429 H/ 2008 M


(3)

1

KETATANEGARAAN ISLAM) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Siyasah Syariyyah.

Jakarta, 12 Desember 2008 Mengesahkan,

Dekan fakultas Syar’ah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN

1. Ketua : Asmawi, M. Ag.

NIP: 150 282 394 (...) 2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag.

NIP: 150 282 403 (...)

3. Pembimbing I : Dr. Jaenal Aripin, MA NIP: 150 289 202 (...)

4. Pembimbing II : Drs. Abu Thamrin, SH, M. Hum

NIP: 150 274 761 (...) 5. Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.

NIP: 150 169 102 (...)

6. Penguji II : Kamarusdiana, S. Ag, MH.


(4)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan karuniannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Serta keluarganya dan sahabatnya serta kepada kita semua seluruh umatnya, mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafa’at beliau di hari akhir nanti. Amin.

Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi untuk mencapai Gelar Sarjana Starata Satu (S1) di perguruan tinggi termaksud di Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta adalah membuat karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itu penulis membuat skripsi ini dengan judul : KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 005/PUU-IV/2006

(TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM).

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi. Namun syukur Alhamdulillah berkat Rahmat dan hidayah Nya, kesungguhan dan kerja keras disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan serta hambatan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.


(5)

ii

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Asmawi, M. Ag., dan ibu Sri Hidayati, M. Ag,. Ketua Program Study

dan Sekertaris Program Study Jinayah Siyasah Faultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Jaenal Aripin, MA. Dan Bapak Drs. Abu Tamrin, SH, M. Hum,. Selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan inspirasi, saran dan arahannya dalam membimbing penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Teristimewa ucapan terimakasih ini dihaturkan untuk kedua orang tua ku; Ayahanda M. Shaleh Jamaludin dan Ibunda Siti. Kamlah, yang tak henti-hentinya selalu memberikan dukungan moril, dan doanya.

5. Untuk Uswatun Hasanah, Khairunnisa, M. Natsir adik-adik ku dan fatimah tante ku yang selalu memberi dukungan dan doa nya.

6. Bapak Nur Habibi Ihya’ SHI., Mh., yang selalu memberikan masukan saran dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak/Ibu pimpinan Persputakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitasnya kepada penulis untuk menunjang penelitian dalam mengadakan studi perpustakaan.


(6)

iii

8. Untuk sahabat-sahabat ku Vivi Fitiani, Ida Faridha, Ela Nurhalalah, Bilqis Eljilnar, dan Fera yang selalu memberi saran dan dorongan yang baik moril maupun intelektualitas dalam menunjang skripsi.

9. Untuk Sahabat ku Rini Wulandari dan Hutwatul Fauziyah yang selalu memberi dukungan dan semangat dan juga selalu menemaniku dalam pencarian data dan selalu menghibur ku thanks banget untuk kalian berdua. 10.Untuk teman-teman seperjuangan di Siyasah Syariyyah (SS) Angkatan 2004

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Yang banyak sekali saran dan dorongan yang diberikan baik moril maupun intelektualitas dalam menunjang skripsi ini.

Semoga amal serta kebaikan mereka senantiasa mendapatkan balasan rahmat dari Allah SWT. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi pembahasan persoalan yang ada maupun dipenyajian materi. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Akhirnya harapan penulis tidak lain adalah agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan pembaca umumnya.

Ciputut, 12 Desember 2008. Penulis,


(7)

iv

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. KEKUASAAN YUDIKATIF DI INDONESIA DAN KEKUASAAN YUDIKATIF DALAM PRESPEKTIF ISLAM A. Pengertian Kekuasaan Yudikatif ... 19

B. Kekuasaan Yudikatif sebelum Amandemen Undang-undang Dasar 1945 ... 27

C. Kekuasaan Yudikatif setelah Amandemen Undang-undang Dasar 1945 ... 36

D. Kekuasaan Yudikatif menurut ketatanegaraan Islam (Sulthah Qadhaaaiyyah)... 48


(8)

v

2. Tugas dan kewenangan Sulthah Qadhaaiyyah ... 56

BAB III. HUBUNGAN ANTARA KOMISI YUDISIAL RI DENGAN

MAHKAMAH AGUNG RI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

A. Hubungan Komisi Yudisial RI Dengan Mahkamah Agunga RI.... 62 B. Hubungan Komisi Yudisial RI Dengan Mahkamah Konstitusi RI. 65

BAB V. KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG KOMISI YUDISIAL RI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI NOMOR 005/PUU-IV/2006 (TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM)

A. Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI oleh Mahkamah Konstitusi RI. ... 70 B. Kedudukan Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Makamah

Konsitusi ... 77 C. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial RI pasca putusan

Mahkamah Konstitusi RI. ... 84 D. Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI

Ditinjau dalam Ketatanegaraan Islam... 93

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 102 B. Saran ... 105


(9)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945) (1999-2002) telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudisial (kekuasaan kehakiman). Dalam sistem kekuasaan kehakiman (yudisial), disamping Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, telah muncul Mahkamah Konstitusi RI (MK) dan Komisi Yudisial RI (KY).1

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 setelah perubahan, Mahkamah Konstitusi RI adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung RI dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha Negara.

Mahkamah Konstitusi RI sesuai ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang dirinci dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

1

. Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstiusi, (Jakarta: Konpress & Citra Media, 2006), Cet. Pertama. h. 109.


(10)

2

2003 tentang Mahkamah Konstitusi RI, mempunyai wewenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan konstitutional lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum, dan memutuskan pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ Wakil Presiden 2.

Sedangkan Komisi Yudisial RI, disebut sebagai lembaga pembantu (auxiliary institution) didalam rumpun kekuasaan kehakiman. Kehadirannya, merupakan refleksi filosofis dari cita-cita hukum yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, sejalan dengan munculnya kesadaran sejarah akan masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka, independent, dan martabat.3

Sebagai lembaga Negara, Komisi Yudisial RI mendapatkan tugas dan kewenangannya dalam UUD dan dituangkan / dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 20044. Adapun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI ini dijelaskan dalam Pasal 13 tentang wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial RI yakni, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

2

. Fajlurrahman Jurdi. Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama, h, 183

3

. Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, h, 201.

4


(11)

Komisi Yudisial RI sebagai salah satu lembaga Negara yang baru terbentuk sebagai akibat dari amandemen ketiga UUD 1945, tentu saja dituntut bekerja maksimal dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran moral hakim. Dimana hakim sebagai aparatur hukum yang sudah sekian lama tidak bisa keluar dari perangkap kekuasaan yang mendominasi keputusannya selama berpuluh-puluh tahun juga diharapkan agar lebih adil dalam mengambil keputusan dan menjatuhkan palu dalam rangka menghukum hakim.

Keberadaan Komisi Yudisial RI tentu saja tidak bisa dipungkiri akan mengancam prilaku hakim yang bertindak sebagai aparatur hukum tadi, yang di dalamnya hakim diharapkan akan menjalankan mekanisme putusan yang berpihak pada publik, akan tetapi hakim akan menjatuhkan putusan berdasarkan pesanan dari kelompok-kelompok tertentu dari luar institusi peradilan seperti kepentingan politik dan pengusaha. Komisi Yudisial RI adalah pengawas eksternal terhadap perilaku hakim, yang sebelumnya memang tetap ada pengawas perilaku hakim, akan tetapi hanya di internal saja, sehingga pengawasan internal itu dirasakan tidak efektif untuk menegakkan moral dan integritas para hakim.5

Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan RI bisa mendatangkan harapan dan kecemasan. Komisi Yudisial RI mendatangkan harapan karena lembaga ini dianggap menjadi secercah cahaya bagi upaya pemberantasan mafia peradilan yang telah memporak-porandakan posisi

5


(12)

4

Indonesia sebagai Negara Hukum. Sebaliknya, Komisi Yudisial RI juga mendatangkan kecemasan karena dianggap mengganggu pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari carut marutnya sistem dan praktik hukum di Indonesia. Karena itu, Komisi Yudisial RI selalu berada dalam tarikan berbagai kepentingan yang berbeda satu sama yang lain.6

Dalam Naskah Akademis, Mahkamah Agung RI melihat Komisi Yudisial RI mempunyai wewenang untuk mengawasi semua hakim diberbagai tingkatannnya, sesuai dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial RI berfungsi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Kata “menjaga” diwujudkan dalam bentuk pengawasan. Kata “menegakkan” diwujudkan dalam bentuk pendisiplinan atau pemberian sanksi disiplin, sedangkan kata “hakim” berarti hakim diseluruh tingkatannya termasuk Hakim Agung. Sebab dalam UUD 1945, kata “hakim” yang tidak ditunjukkan kepada hakim secara keseluruhan, redaksi yang digunakan adalah “Hakim Agung“ atau “Hakim Konstitusi”.

Dalam alasan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI, Mahkamah Agung RI berpandangan bahwa Komisi Yudisial RI tidak mempunyai wewenang untuk mengawasi perilakuan dan menegakkan kehormatan Hakim Agung, karena berbagai alasan, antara lain bahwa bunyi Pasal 24B ayat (1) harus dibaca dalam satu nafas dan konteksnya

6

. Ahmad Kurdi Moekri, Negara Hukum dalam Ujian, (Jakarta: Ka-tulis-tiwa Press, 2007), Cet. Pertama, h, 53.


(13)

satu sama lain, sehingga bermakna bahwa “Komisi Yudisial RI bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial RI untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung.” Akhirnya, melalui putusan Mahkamah Kontitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi RI mengabulkan sebagian permohonan, sehingga Komisi Yudisial RI kehilangan beberapa kewenangan.7

Dalam Islam, sebagaimana kita ketahui bahwa dalam salah satu prinsip dasar dari sistem Negara Islam adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan di dalam kehidupan bernegara, ketentuan masalah ini telah diatur dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 58, yakni :

 "#$%&

'(

)

'* +,-.

/

0 %"12

345

67

8 9'(

,:

'

1<=,>6

%? @%A

0

'(

)

C= >D%'"

E<F6-D

A

G

HI

-

J

A >KL

-%&

MN

A

>

% O+

=-P

M+Q

0R ST%A

UV

Artinya : 7


(14)

6

“ Seungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat”. (Q. S. An Nisa : 58).

Sedangkan untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya lembaga peradilan (yudikatif) yang berfungsi untuk melaksanakan semua ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem Negara Islam merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, sejak awal kehadiran Negara Islam, lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Dengan adanya permasalahan antara lembaga yudikatif di atas, maka penulis memilih judul : “Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 (Tinjauan KetataNegaraan Islam)”.

Agar dapat meneliti tentang Putusan Mahkamah Konstitusi RI terhadap kewenangan Komisi Yudisial RI, dan peranan Komisi Yudisial RI terhadap lembaga yudikatif di Indonesia pasca adanya putusan Mahkama Konstitusi tersebut, dan bagaimana tinjauan yudisial (kekuasaan kehakiman) dalam ketatanegaraan Islam

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah


(15)

Melihat begitu banyaknya permasalahan yang ada dalam lembaga kehakiman di negeri ini, maka penulis ingin mengkaji dan menelaah salah satu dari masalah lembaga kehakiman tersebut dan difokuskan hanya dalam pembahasan mengenai Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 (Tinjauan Ketatanegaraan Islam).

2. Perumusan Masalah.

Melihat dari pembahasan skripsi ini maka perumusan masalahnya sbb: a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

bertentangan dengan UUD 1945.

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Berdasarkan latar belakang di atas, studi ini dilakukan untuk mengkaji lebih jauh tentang:


(16)

8

1. Bagaimana status dan kedudukan Komisi Yudisial RI sebelum dan sesudah kelahiran putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 ? 2. Apa kewenangan Komisi Yudisial RI sebelum dan sesudah putusan

Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 ?

3. Bagaimana peranan Komisi Yudisial RI setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI bila dilihat dari segi teori Ketatanegaraan Islam / peradilan Islam ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Masalah Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 (tinjauan Ketatanegaraan Islam) ini diangkat bertujuan untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui status dan kedudukan Komisi Yudisial RI sesudah dan sebelum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006.

2. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Yudisial RI sesudah dan sebelum putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006.


(17)

3. Untuk mengetahui peranan Komisi Yudisial RI setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 bila dilihat dari sisi teori ketatanegaraan Islam / peradilan Islam .

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Menambah pengetahuan penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya tentang Komisi Yudisial RI.

2. Manfaat praktis :

Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat adalah mengetahui apa saja kewenangan dari pada Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI.

3. Manfaat Akademis :

Manfaat akademis bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum pada umumnya serta kosentrasi Siyasah Syar’iyyah pada khususnya, adalah untuk penambahan referensi tentang Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI.

D. Tinjauan Pustaka

Disini buku/bahan yang diambil sebagai pedoman oleh penulis dalam skripsi ini, adalah :

Skripsi oleh Nani Kurniasih, Al-sulthah Al-qadhaiyyah Membandingkan Kewenangan Mengadili antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, di dalam skripsi ini dibahas tentang Al-sulthah Al-qadhaiyyah dalam hal pengertian,


(18)

10

sejarah dan kewenangannya. Di jelaskan pula tentang Al-sultah Al-qadhaiyyah di Indonesia yakni lembaga yudikatif sebelum di amandemen UUD 1945 dan lembaga yudikatif setelah di amandemen UUD 1945. selanjutnya didalam skripsi ini dijelaskan tentang kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dan kewenangan mengadili bagi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta relevansi Al-sulthah Al-qadhaiyyah dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.8

Skripsi oleh M. Andri M, Kekuasaan Eksekutif Dalam Prespektif Islam Dan Prespektif Barat, di dalam skripsi ini di bahas tentang pembagian kekuasaan dan kekuasaan eksekutif di Indonesia dalam pengertian dan teori, dijelaskan pula tentang konsep kekuasaan eksekutif dalam prespekrif Islam dalam hal eksistensi, pengisian jabatan dan kewenangan maupun tugasnya, dijelaskan pula tentang konsep kekuasaan eksekutif dalam prespektif barat dalam hal esisitensi, pengisian jabatan, kewenangan maupun tugasnya.9

Fajlurrahman Jurdi “ Komisi Yudisal dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim”10. Di mana Buku ini menjelaskan tentang Negara hukum Indonesia, Reformasi parlement Indonesia dan pengaruhnya, otonomi moral

8

. Skripsi oleh Nani Kurniasih, Al-sulthah Al-qadaiyyah Membandingkan Kewenangan Mengadili antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. (Jakarta: 1426H/2006M), h, i.

9

. Skripsi oleh M. Andri M, Kekuasaan Eksekutif Dalam Prespektif Islam Dan barat. (Jakarta: 1424H/2004M), h. i.

10

. Fajlurrahman, Jurdi. Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama.h. i.


(19)

hakim Mahkamah Agung dan kehadiran Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, delegitimasi atas Komisi Yudisial, menuju revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, dan Komisi Yudisial atau Mahkamah Yudisial.

Imam Al Mawardi “Hukum Tatanegara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”11. Di mana Buku ini menjelaskan tentang pengangkatan kepala Negara, tentang pengangkatan menteri, tentang pengangkatan pimpinan jihad, tentang pengangkatan qadhi (hakim), tentang jabatan madzalim, tentang perwakilan keluarga terhormat, tentang imam-imam sholat, tentang pimpinan pelaksanaan ibadah haji, tentang petugas pemungut zakat, tentang pembagian fa’i dan rampasan perang, dll.

Pemikiran Jimly Asshidiqie, dan Para Pakar Hukum. Konstitusi dan Ketata Negaraan Indonesia Kontemporer12. Di mana dalam Buku ini di jelaskan Gagasan dan pemikiran Jimly Asshidiqie, tentang Implikasi perubahan terhadap pembangunan hukum nasional, evaluasi konsolidasi lembaga negara dan sistem aturan penyelenggaraan negara. Dan juga diterangkan tentang Konstitusi dan konstitusionalim. Negara, demokrasi, dan lembaga politik. Seputar amandemen UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam berbagai prespektif. Dan terakhir tinjauan pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H. yang berisikan tentang

11

. Imam. Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam. (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. I. h. i.

12

. Pemikiran, Jimly Asshidiqie, dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan KetataNegaraan Indonesia Kontemporer.( Jakarta: The biography Institute, 2007), Cet. Pertama. vii.


(20)

12

Perkembangan ketatanegaraan dalam pandangan Prof. Dr. Jimly Asshiqie. ‘Jalan Asshidiqie’ bagi reformasi konstitusi jilid dua.

Ahmad Kurdi Moekri “ Negara Hukum dalam Ujian”13. dimana Buku ini menjelaskan mengenai pembantukan UU dalam sorotan, syari’at Islam dalam UU dan Perda, kenapa DPD gagal galang Amandemen UUD 1945, perubahan Undang-undang KY dalam tarikan berbagai kepentingan, menggugat perjanjian pertahanan Indonesia-Singapura, batu sandungan pemberantas korupsi.

Denny Indrayana, “Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran”14. Dimana dalam Buku ini mengkaji masalah mencari konstitusi yang demokratis. Kerangka teoritis pembuatan konstitusi yang demokratis. Reformasi Konstitusi Indonesia. Perubahan pertama: membongkar konstitusi sakral. Perubahan kedua; reformasi berlanjut, politisi tak beringsut. Perubahan ketiga; perubahan penting, belum juga terjaring,. Perubahan ke empat; krisis konstitusi atau reformasi konstitusi. Evaluasi, rekomendasi dan kesimpulan dan terakhir membahas tentang kacau prosesnya, lebih demokratis hasilnya.

Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial Republik Indonesia. Dimana di dalam Buku ini dijelaskan Komisi

13

. H. Ahmad Kurdi Moekri, Negara Hukum Dalam Ujian, (Jakarta: Ka-tulis-tiwa Press, 2007), Cet. Pertama. h, iii.

14

. Denny Indrayana. Amandemen UUD 1945 Antara Mitos, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), Cet. Kedua. h, 19.


(21)

Yudisial dalam mosaic ketatanegaraan kita, Komisi Yudisial Pengawal reformasi pengadilan, peran hakim Agung dalam penemuan hukum (Rechtsvinding) dan penciptaan hukum (Rechtsschepping), hakim agung dan penemuan hukum, Komisi Yudisial yang dicita-citakan oleh masyarakat, sinkronisasi sistem perundang-undangan lembaga peradilan dalam menciptakan peradilan yang lebih baik.15

Buletin Komisi Yudisial RI, Pegelaran Budaya Memeriahkan Refleksi Akhir Tahun 2007 Komisi Yudisial, di dalamnya terdapat berita atau info mengenai Pentingnya Komisi Yudisial pada Negara hukum, Peran dan eksisitensi lembaga Negara dalam perkembangan hukum di Indonesia, Mahkamah Agung wajib jalankan rekomendasi Komisi Yudisial disini dijelaskan bahwa dalam revisi Undang-undang Komisi Yudisial, Partai Amanat Nasional (PAN), mengusulkan agara rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial wajib dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.16

E. Metode Penelitian

Metode merupakan strategi utama dalam pengumpulan data-data yang diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi.17 Pada dasarnya sesuatu

15

.Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, h. xiii.

16

. Buletin Komisi Yudisial, Pegelaran Budaya Memeriahkan Refleksi Akhir Tahun 2007 Komisi Yudisial , Tanggal 03 Desember 2007.

17


(22)

14

yang dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya “pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.18 Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali hal-hal apa saja yang melatar belakangi munculnya putusan Mahkamah Konstitusi RI terhadap kewenangan Komisi Yudisial RI didalam Lembaga kehakiman di Indonesia.

1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian skripsi ini adalah sudi kepustakaan yang berusaha mengkombinasikan pendekatan normatife dan empiris, adapun dengan pendekatan normatife diharapkan dapat menemukan data akurat yang di butuhkan tentang Komisi Yudisial RI terutama yang berkaitan dengan undang-undang yang ada hubungannya dengan Komisi Yudisial dan mahkamah Konstitusi, sedangkan empiris diharapkan dapat menggali data dan informasi sebanyak dan sedetail mungkin tentang Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006.

2. Teknik Pengumpulan Data.

Penulis dalam penelitiaan ini menggunakan teknik penulusuran dokumen, dengan mengadakan kajian, menelaah, dan menelusuri literature yang berkenaan dengan masalah yaitu berupa buku, majalah, koran, artikel, dan

18

Bambang Sunggono, Metode penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Radagrafindo Persada, 1997), Cetekan Pertama, h, 27.


(23)

lain-lain. Dengan metode ini penulis berusaha mengungkap kewenang, tugas, dan fungsi Komisi Yudisial RI setelah putusan Mahkamah Konstitusi RI.

Sedangkan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan judul penelitian, penulis menggunakan metode pengumpulan data yang bersumber sebagai berikut :

a. Data Primer

Data ini dikumpulkan secara langsung dari buku-buku, undang-undang yang berkaitan juga dengan sumber primer masalah yang ingin dibahas oleh penulis.

b. Data Skunder

Data ini dikumpulkan dari artikel-artikel, jurnal ilmiah ditambah denga komentar orang mengenai Komisi Yudisial RI dan Mahkamah Konstitusi RI yang berkaitan dengan judul penelitian.

c. Teknik Analisis Data.

Dalam menganalisa data peneliti menggunakan metode analisis komparatif. Peneliti mencoba melakukan perbandingan diantara data-data yang terkumpul dalam penelitian ini.19

d. Teknik Penulisan.

19

. Moleong J. Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2004), Cet. Pertama, h. 6.


(24)

16

Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

F. Sistematika Perumusan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi masalah kedalam beberapa bab yang pada dasarnya menjadi suatu kesatuan yang saling berkesinambungan agar lebih memperjelas dan mempertajam arah pembahasan materi yang sedang diteliti.

Adapun sistematika perumusan dari isi ringkasan bab demi bab dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Membahas latar belakang masalah diambilnya judul ini, dan penulis membatasi penulisan ini dengan pembatasan dan perumusan masalah sehingga membatasi dan merumuskan hal-hal yang akan penulis bahas dalam skripsi ini sehingga tercapailah tujuan dan manfaat penelitian dari tulisan/skripsi ini adapun penulisan ini diperoleh data melalui tinjauan pustaka dengan tekhnik penulisan menggunakan metode penelitian (jenis penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisa data) dan diakhiri dengan sistematika perumusan dari pada skripsi ini.


(25)

BAB II : Membahas tentang kekuasaan yudikatif di Indonesia dan Yudikatif dalam islam, yakni penjelasan mengenai pengertian kekuasaan yudikatif bagaimana pertentangan atau gejolak dari pada kekuasaan yudikatif itu sendiri dan disini penulis pun menjelaskan mengenai pengertian dari kekuasaan yudikatif itu sendiri, selain itu penulis pun membahas mengenai kekuasaan yudikatif sebelum amandemen UUD 1945 dan kekuasaan yudikatif setelah amandemen UUD 1945 agar pembaca bisa memahami tentang kondisi kekuasaan yudikatif dan bagaimana keadaan kekuasaan yudikatif itu sendiri sebelum amandemen UUD 1945 atau pun sesudah amandeman UUD 1945, agar dapat mengetahui sejauh mana kekuasaan lembaga yudikatif dalam hal menangani tugas dan kewenangannya apakah independent dan mandiri atau masih ada campur tangan dari pihak lain (legislatif dan eksekutif). dan disini juga dibahas mengenai Kekuasaan Yudikatif menurut ketatanegaraan Islam (Sulthah Qadhaaiyyah) mengenai sejarah terbentuknya Sulthah Qadhaaiyyah dan dibahas pula tugas dan kewenangan dari pada Sulthah Qadhaaiyyah agar kita dapat memahami kekuasaan yudikatif didalam Islam.

BAB III: Membahas tentang hubungan antara Komisi Yudisial RI dengan Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI. Dimana di sini penulis membahas tentang hubungan kelembagaan Negara yakni


(26)

18

mengenai hubungan Komisi Yudisial RI dengan Mahkamah Agung RI dimana kedua lembaga ini memiliki sedikit hubungan dalam hal mengusulkan pengangkatan dan pengawasan hakim Agung, sedangkan mengenai hubungan Komisi Yudisial RI dengan Mahkamah Konstitusi RI hanya dalam segi pengawasan hakim dan mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada piminan Mahkamah Agung RI dan/atau Mahkamah Konstitusi RI (Pasal 21 UU No 22, 2004).

BAB IV: Membahas tentang Kedudukan, Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 (tinjauan ke tatanegaraan Islam), yakni tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI oleh Mahkamah Konstitusi RI tentang apa aja yang melatar belakangi adanya pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 sehingga keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006, kedudukan Komisi Yudisial Pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut, dilanjutkan dengan tugas dan kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006, dan diakhiri dengan pembahasan tentang Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI tinjauan Ke Tatanegaraan Islam.


(27)

Lampiran Komisi Yudisial RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/IV-PUU/2006.


(28)

20

BAB II

KEKUASAAN YUDIKATIF DI INDONESIA DAN KEKUASAAN YUDIKATIF DALAM PRESPEKTIF ISLAM

A. Pengertiann Kekuasaan Yudikatif

Menurut Harun Al-Rasyid, kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif) ialah “kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”. Jaminan tentunya tidak hanya diberikan kepada hakim, tetapi juga kepada seluruh kekuasaan kehakiman, teutama lembaga-lembaga peradilan, dengan tujuan agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. 20

Di Indonesia, sebelum adanya perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri dari badan-badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung RI. Lembaga Mahkamah Agung RI tersebut, sesuai dengan prinsip independent of judiciary diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain

20

. Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, h, 137.


(29)

diatur dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, juga tercantum dalam penjelasan Pasal 24 UUD 1945.21

Melihat uraian tersebut, sebenarnya kekuasaan kehakiman, sejak awal kemerdekaan juga diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik atau kekuasaan Negara lainnya seperti MPR/DPR (legislatif), dan Presiden (eksekutif), Namun UUD 1945 sebelum perubahan tidak menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of power), terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif, akan tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan, dalam istilah jimly division of power. Sehingga, tidak jarang timbul intervensi terutama yang dilakukan oleh kekuasaan legislatif dan eksekutif terhadap yudikatif atau kekuasaan kehakiman.22

Adapun independensi kekuasaaan kehakiman diformalkan dan prinsip dasarnya dipindahkan dari tempatnya semula di bagian Penjelasan dalam Batang Tubuh UUD 1945. kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung RI dan sebuah Mahkamah Konstiusi RI. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI dan dipilih oleh dan dari Hakim-Hakim Agung, sedangkan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi RI dipilih dan dari Hakim-Hakim Konstitusi.23

21

. Ibid., h, 138. 22

. Ibid., 23

. Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos Dan Pembongkaran, (Jakarta: Mizan, 2007), Cet. Kedua, h. 278.


(30)

22

Sebuah lembaga baru, yaitu Mahkamah Konstitusi dibentuk, setingkat dengan Mahkamah Agung RI. Mahkamah Konstitusi RI memiliki kewenangan untuk ‘mengadili untuk tingkat pertama dan terakhir’ dan .... putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara .... memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.24

Disamping itu, Mahkamah Konstitusi RI wajib memberikan pertimbangan hukumnya dalam sebuah proses impeachment. Mahkamah Konstitusi RI mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang pencalonannya diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung RI, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.25

Satu lembaga baru lainnya, yaitu Komisi Yudisal RI, memiliki wewenang untuk ‘mengusulkan pengangkatan Hakim Agung’ serta ‘menjaga dan menegakkan, kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim’. Untuk menjalankan peran yang sedemikian penting, para anggota Komisi tersebut adalah orang-orang yang ‘memiliki integritas dan keperibadian yang tidak tercela’. Anggota Komisi ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.26

24

. Ibid., h. 279. 25

. Ibid., 26


(31)

Berawal pada Tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan? hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimaksukkan dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman.

Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan professional dapat tercapai.27

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada sidang Tahunan MPR Tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga UUD 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya Komisi Yudisial RI yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehomatan hakim.28

Kemunculan Komisi Yudisial RI adalah akibat langsung dari amanat reformasi 1998 untuk menegakan supermasi hukum dan agar para hakim tidak

27

. Komisi Yudisial Republik Indonesia. Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, h. 3.

28


(32)

24

melakukan pelanggaran atas hukum. Sekaligus agar hakim tidak menjadi aparat penguasa. Dan ini semua adalah berangkat dari kekecewaan masa lalu, yaitu dimana kekuasaan kehakiman dikooptasi oleh kekuasaan, sehingga kebebasan hakim dalam memutus perkara terbelenggu oleh kekuasaan tersebut. Keinginan kuat untuk keluar dari belenggu kekuasaan inilah yang menyebabkan adanya keinginan kuat untuk membuat Komisi Yudisial RI.29

Keberadaan Komisi Yudisial RI dalam institusi kekuasaan kehakiman merupakan implementasi secara langsung atas tuntutan masyarakat terhadap reformasi peradilan dan sekaligus menjalankan amanah reformasi. Dengan adanya Komisi Yudisial RI diharapkan hakim dapat mandiri, bebas dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan manapun.30

Menurut Jimly Asshidiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial RI dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bersifat imparsial

29

. Ibid., h, 4.

30

. Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial Dari Delegitimas Hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PuKAP, 2007), Cet. Pertama, h. 137.


(33)

(independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu diperlukan institusi pengawasan yang independent terhadap para hakim itu sendiri.31

Untuk itu, perubahan UUD 1945 merumuskan kewenangan Komisi Yudisial RI sebagaimana tercantum dalam Pasal 24B dengan rumusan sebagai berikut.

1. Komisi Yudisial RI bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. 3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan

persetujuan DPR.

4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (4) UUD 1945 di atas, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI. Menurut ketentuan Pasal I angka I ditegaskan bahwa Komisi Yudisial RI

31

. Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), Cet. Pertama, h. 211.


(34)

26

adalah lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Lebih lanjut, dalam Pasal 2 ditegaskan, bahwa Komisi Yudisial RI merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.32

Harus diakui secara jujur bahwa mosaik lembaga peradilan, terutama kekuasaan kehakiman, menjadi lebih baik setelah perubahan UUD 1945 yang menegaskan fungsi-fungsi konstitutonal dengan proliferasi kelembagaan dalam bidang ini. Langkah Komisi Yudisial RI pun sudah mendorong kearah kemajuan, sebab dengan gebrakannya menyorot dan memeriksa hakim-hakim yang dilaporkan dan diduga nakal mulai dari hakim peradilan negeri sampai ke Hakim Agung ternyata meningkatkan gairah masyarakat untuk menyoroti dan melaporkan hakim-hakim nakal, meski tak semua laporan itu benar adanya. Banyak hakim yang kemudian lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya. Dalam melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung pun, terlepas dari kritik dan kontrovensi atas produknya, Komisi Yudisial RI sudah memberi sumbangan yang cukup baik terutama untuk memilih yang terbaik dari jelek-jelek serta dalam membuat kontrak moral agar kalau sudah menjadi Hakim Agung seseorang dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh integritas. Ini sudah tentu jauh berbeda dengan zaman sebelumnya dimana Hakim Agung diangkat berdasar kontrak

32


(35)

politik dan ditengarai kuat hanya brdasarkan kedekatan dengan pipinan Mahkamah Agung.33

Tapi langkah-angkah Komisi Yudisial RI yang cukup memberi harapan ternyata telah menjadi bumerang yang sama sekali tidak diharapkan baik oleh Komisi Yudisial sendiri maupun oleh masyarakat. Mahkamah Agung yang merasa kewibawaannya diobrak-abrik merasa tersinggung, terutama ketika Komisi Yudisial RI mengundang ketua Mahkamah Agung RI untuk dimintai keterangan dan ketika Komisi Yudisial RI mengundang beberapa Hakim Agung untuk diperksa berkenaan dengan masuknya beberapa laporan dari masyarakat.kalangan hakim banyak yang mengatakan bahwa Komisi Yudisial RI bukan menjaga martabat hakim melainkan justru menjatuhan martaba hakim, bahkan mengintervensi kemandirian hakim. 30 orang Hakim Agung kemudian menggugat judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI terhadap UUD. Jadi kinerja Komisi Yudisial RI.34 Dan di karenakan persoalan inilah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang telah memangkas habis kewenangan Komisi Yudisial RI dan membuat kewenangan Komisi Yudisial RI menjadi terbatas.

33

. Komisi Yudisial RI, Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertam, h. 4.

34


(36)

28

B. Kekuasaan Yudikatif Sebelum Amandemen UUD 1945

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali kepada UUD 1945. Kepada jiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi kenyataannya selama ini jiwa dari ketentuan-ketentuan UUD 1945 itu belum dilaksanakan secara murni. Sebagai contoh dapat diajukan, bahwa Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 dalam penjelasannya secara tegas telah menyatakan, bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari praktek dan pelaksanaannya telah menyimpang dari UUD, antara lain Pasal 19 dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk dalam “beberapa hal dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”.35

Dikatakan antara lain oleh Pasal 19 dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal pengadilan.” Sedangkan dikatakan dalam Penjelasan mengenai Pasal 19 tersebut bahwa: “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh dari kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang.” Sebaliknya, UUD 1945 sendiri dalam

35

. C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga. h. 186.


(37)

Penjelasannya: “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.”36

Adalah jelas, bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 menggambarkan adanya suatu pertentangan konstitutional yang “flagrant”, sedangkan pertentangan dengan UUD 1945. betapapun ia disertai dengan syarat-syarat tertentu, tidak dapat dibenarkan oleh hukum “interference” atau turun tangan dari pihak eksekutif dimungkinkan, sedangkan hal demikian dilarang oleh UUD 1945, yang menghendaki adanya Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh Pemerintah.37

Dalam rangka pemurnian pelaksanaan UUD 1945 sesuai dengan ketentuan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPR/1966 juncto Nomor XXXIX/MPRS/1968 maka Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong telah mengadakan peninjauan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah

36

. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

37


(38)

30

Pengganti Undang-Undang Pasal 2 Lampiran III Nomor urut 3 yang menghendaki adanya undang-undang untuk menggantikannya.38

Dengan dicabutnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut terjadilah suatu kekosongan, yang akan menghambat jalannya peradilan pada umumnya. Oleh karena itu perlulah dengan segera dibentuk undang-undang tentang ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru sebagai penggantinya. Undang-undang yang baru ini selain bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut harus pula menjaga kemurnian pelaksanaan UUD 1945. Untuk itu perlulah dalam undang-undang tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, diusahakan tercantumnya dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai hubungan peradilan dan pencari keadilan, yang sejiwa dengan UUD 1945 supaya pelaksanaannya nanti sesuai dengan Pancasila.39

Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dengan ketentuan bahwa undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan

38

. Ibid,. h. 188. 39

.Ibid., h. 188.


(39)

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.40

Dengan melihat mengenai bab dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman masih ada kekuasaan-kekuasaan lain yang ditentukan dalam UUD 1945. Dari situ pula dapat disimpukan bahwa kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam UUD 1945 tertata dalam suatu tatanan yang sesuai dengan pandangan jiwa yang menguasai UUD 1945. Dalam konteks ini, UUD 1945 menempatkan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan susunan. Apa yang merupakan susunan ketatanegaraan itu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan peraturan, susunan, dan kedudukan lembaga-lembaga Negara serta tugas dan kewenangnya. Dalam UUD 1945, susunan ketatanegaraan dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang enam lembaga Negara yang terdiri dari sebuah lembaga Negara tertinggi Negara yakni MPR dan lima buah lembaga tinggi Negara yakni Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).41

Dengan melihat konstruksi kekuasaan seperti yang terdapat dalam UUD 1945 ini menarik kesimpulan bahwa tatanan kekuasaan dalam Negara RI adalah sebagai berikut:

40

. Ibid., h. 189. 41

. Jimly Asshidiqie, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2005), Cet. Pertama. h. 23.


(40)

32

1. Kekuasaan Primer yang dinamakan kedaulatan. Jika dilihat dari ilmu hukum positif, kedaulatan itu merupakan sumber dari segala macam hak atau kekuasaan yang ada dalam tatanan hukum. Sri Soemantri mengartikan kedaulatan itu sebagai kekuasaan tertinggi. Karena dalam Negara RI, yang berdaulat rakyat, maka kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan rakyat (Pasal 1 ayat (2)) UUD 1945.

2. Kekuasaan Subsidair, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan yang lahir dari kedaulatan tersebut. Kekuasaan subsidair ini adalah kekuasaan yang integral artinya ia meliputi semua jenis kekuasaan yang akan mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum dasar yang termuat dalam cita hukum (Rechtsidee) dan cita hukum itu tercantum dalam bagian pembukaan UUD 1945. Dalam praktek kehidupan bangsa dan negara, kekuasaan subsidair ini merupakan kekuasaan yang diserahkan atau dilimpahkan oleh kedaulatan rakyat kepada suatu badan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

3. Kekuasaan melakukan kedaulatan oleh Hukum Dasar atau UUD 1945 dirinci lagi kedalam cabang-cabang kekuasaan untuk melakukan kedaulatan dengan tetap memperhatikan jalan dan cara-cara yang di tempuh untuk mewujudkan secara nyata ketentuan hukum dasar sebagai isu atau kandungan dalam Rechtsidee Negara Republik Indonesia.42

Ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman (yudikatif) jelas berbeda dengan ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan-kekuasaan Negara lainnya seperti kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan eksaminatif (BPK) dan kekuasaan konsultatif (DPA). Untuk cabang-cabang kekuasaan negara diluar cabang Kekuasaan Kehakiman, UUD 1945 baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya tidak secara eksplisit menentukan kekuasaan-kekuasaan tersebut merupakan suatu kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan-kekuasaan negara lainnya. Lain halnya dengan kekuasaan-kekuasaan kehakiman yang secara

42

. Moch. Koesno, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesi, (Jakarta: ELSAM, 1997), Cet. Pertama, h, 202.


(41)

eksplisit disebutkan dalam dua pasal UUD 1945 yaitu Pasal 24 dan Pasal 25 sebagai kekuasaan yang merdeka.43

Dimana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia didasarkan atas ketentuan Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 sebagai berikut:

Pasal 24:

1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung RI dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang

2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.

Pasal 25:

Syarat-syarat untuk menjadi hakim dan untuk di berhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

Penjelasan Pasal 24 dan 25 tersebut berbunyi “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan kehakiman yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah berhubungan dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”44

Perintah UUD 1945 agar kekuasaan kehakiman itu lebih lanjut diatur dengan undang-undang telah dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru dengan

43

. Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), Cet., Pertama, h. 109.

44


(42)

34

dikeluarkannya beberapa undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan sistem peradilan di Indonesia, sebagai berikut:

Pertama, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) yang memuat ketentuan bahwa:

a. Berdasarkan Penjelasan Umumnya, UU tersebut dimaksudkan sebagai induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan sebagai pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing akan diatur dalam undang-undang tersendiri.

b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman mengakhiri berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah mereduksi prinsip kebebasan/kemerdekaan kekuasaan kehakiman seperti diamanatkan oleh Penjelasan UUD 1945. Melalui Pasal 1 dan penjelasannya dipertegas dan diperjelas prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai berikut: “ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Penjelasannya berbunyi “ Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan


(43)

Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-undang.”

c. Melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah ditegaskan sistem peradilan yang akan melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia disamping Mahkamah Agung yakni badan-badan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing badan peradilan tersebut mempunyai dua tingkatan, yakni peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding, dan semua berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kasasi. 45

Kedua, untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan undang-undang pokok telah dikeluarkan beberapa undang-undang pelaksanaannya, yaitu:

1. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 No. 76 tentang Hukum Acara Pidana); 2. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

(Lembaran Negara RI Tahun 1985 No. 73 tentang Mahkamah Agung, Tambahan Lembaran Negara RI N0. 3316);

45


(44)

36

3. Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara RI Tahun 1986 No. 2 tentang Peradilan Umum, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3327);

4. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran RI Tahun 1986 No. 77 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3344);

5. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (lembaran Negara RI Tahun 1989 No. 49 tentang Peradilan Agama)

6. Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Ketiga, setelah dilaksanakan selama 29 tahun, sebagai usaha memperkuat kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi dibidang hukum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang intinya berisi kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan, baik yang menyangkut teknis yudisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung dan paling lambat sudah harus dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.46

46


(45)

C. Kekuasaan Yudikatif Setelah Amandemen UUD 1945.

Semenjak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat dielakkan. Sebagai salah satu agenda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 menjadi begitu mendesak sebab perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula perubahan yang terjadi dalam supra struktur politik perlu direspon dengan perubahan Konstitusi sebagai hukum dasar Negara yang akan menjadi pijakan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara.47

Dimana, Amandeman UUD 1945 sebagai amanat reformasi pada akhinya dapat dituntaskan dalam perubahan keempat dengan nama resmi UUD 1945. Perubahan empat kali itu dapat diperinci sebagai berikut.48

Perubahan pertama yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober tahun 1999, berhasil diamandemen sebanyak 9 pasal. Perubahan kedua yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 telah amandemen sebanyak 25 pasal. Perubahan ketiga, yang ditetapkan pada tanggal 9 November tahun 2001 berhasil diamandemen sebanyak 23 Pasal. Perubahan keempat, yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 ini telah berhasil diamandemen sebanyak 13 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Jadi, jumlah total pasal hasil perubahan pertama sampai keempat itu adalah 75 pasal, namun demikian, jumlah nomor

47

. Jimly Asshidiqie, Aspek-Aspek Perkembangan, h, 25. 48

. Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. Pertama, h. 209.


(46)

38

pasalnya tetap sama yaitu 37 (tidak termasuk Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan).49

Perubahan UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali sejak tahun 1999, merupakan bagian dari proses reformasi yang membawa dampak penting dalam kehidupan sosial, politik dan terutama dalam kehidupan hukum. Perubahan yang terjadi yang tampak lebih kasat mata akibat perubahan UUD 1945 tersebut menyangkut konfigurasi kelembagaan Negara atau organisasi kekuasaan penyelenggara Negara. Perubahan yang didasari oleh pengalaman masa lalu, ingin meletakkan konstitutionalisme, sebagai prinsip dan doktrin bernegara, yang dijaga melalui doktrin checks and balances dan pemisahan kekuasaan (separation of power). Atas dasar hal itu, maka konfigurasi organisasi kekuasaan telah berubah secara mendasar, dari sesuatu yang bersifat vertikal hirarkis, dimana kedaulatan rakyat dipegang oleh sebuah badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelma seluruh rakyat Indonesia, dengan kewenangan untuk menetapkan UUD, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara dan mengangkat Kepala Negara (Presiden) / Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Perubahan UUD 1945, merubah posisi MPR sebagai lembaga Negara, yang memegang kekuasaan tertinggi Negara, menjadi sederajat dan setara dengan lembaga Negara pemegang kekuasaan lainnya dalam kedudukan yang bersifat horizontal, tetapi

49


(47)

secara fungsional melakukan check and balances terhadap lembaga Negara lainnya.50

Dimana Perlunya perubahan UUD 1945 semata-mata karena kelemahan yang dimiliki oleh UUD 1945. Kelemahan-kelemahan tersebut menjadi penyebab tidak demokratisnya Negara Indonesia selama menggunakan UUD 1945. Mahfud menyebutkan kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya adalah:

1. UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya mekanisme checksand balances yang memadai.

2. UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan UU maupun dengan Peraturan Pemerintah.

3. UUD 1945 memuat beberapa pasal yamg ambigu atau multi tafsir sehingga bias ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden.

4. UUD 1945 mengutamakan semangat penyelenggaraan Negara dari pada sistemnya.

Gagasan perubahan UUD 1945 kembali mucul dalam perdebatan pemikiran ketatanegaraan dan menemukan momentumnya di era reformasi.51

50

. Pemikiran Jimly Asshiddiqie, dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan Ketata Negaraan Indonesia Kontemporer, (Jakarta: The Biografi Institute, 2007), Cet. Pertama, h. 277.

51


(48)

40

Adapun mengenai kekuasaan Kehakiman telah mengalami perubahan yang pesat setelah perubahan ketiga UUD 1945 (9 November tahun 2001) antara lain telah melakukan perubahan terhadap Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dari semula hanya berdiri dari dua pasal (Pasal 24 dan 25) menjadi lima pasal, yaitu Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Perubahan tersebut telah memasukkan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang semula tercantum dalam Penjelasan dan yang semula tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung ke dalam Pasal 24, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut.

1 Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

3 Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Perubahan tersebut menunjukkan bahwa jaminan konstitutional atas prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman semakin kuat demikian pula eksistensi badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung telah mendapat jaminan konstitutional (semula hanya dimuat dalam undang-undang). Perubahan Pasal 24 juga tidak lagi menempatkan Mahkamah Agung sebagai


(49)

Singel top authority dalam kekuasaan kehakiman karena kehadiran Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan Konstitutional yang diatur dalam Pasal 24C. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) penjabarannya di lakukan oleh Pasal 41 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu bahwa yang dimaksud dengan badan-badan lain yang funsinya berkaitan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan badan-badan lain yang diatur dalam undang-undang. 52

Begitupun dengan politik hukum dibidang peradilaan dan kekuasaan kehakiman juga mengalami perubahan menjadi proliferatif (berkembang biak). Kalau dulu kekuasaan kehakiman hanya diletakkan dan berpuncak pada Mahkamah Agung (MA), sekarang puncak kekuasaan kehakiman ada dua yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (MK). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Mahkama Agung memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara konvensional, sedangkan Mahkamah Konstitusi memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara ketatanegaraan yakni pengujian undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pandapat DPR bahwa Presiden/Wapres melanggar larangan tertentu yang disebut didalam UUD, memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wapres, memutus perkara pembubaran partai politik, dan

52


(50)

42

memutus sengketa tentang hasil pemilu. Selain itu, dalam politik hukum kekuasaan kehakiman sekarang ini di Indonesia mempunyai Komisi Yudisial yakni sebuah lembaga Negara yang bersifat penunjang dengan wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.53

Mahkamah Konstitusi berdiri endiri seta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction. Mahkamah Kontitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggidari kekuasaan kehakiman. Namun, ia hanya berkedudukan di ibu kota Negara tidak seperti halnya Mahkmah Agung yang memiliki benerapa badan peradilan dibawahnya sampai pada tingkatpertama kabupaten/kota.54

Sebagai buah dari reformasi, yakni telah adanya amandemen terhadap UUD 1945, maka selain Mahkamah Agungsebagai puncak pelaksana keuasaan kehakiman dilingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional sama-sama sebagai pelaksana keuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan structural dengan Mahkamah Agung. Kedua lembaga tersebut memiliki fungsi yang sama sebagai

53

. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, h. 55.

54


(51)

pelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi di bedakan dalam yurisdiksi dan kompetensinya.55

Perubahan ketiga UUD 1945 selain menyangkut tentang Mahkamah Konstitusi, juga memuat tntang Komisi Yudisial. Ia disebut seebagai lembaga pembantu (auxiliary institution) di dalam rumpun kekuasaan kehakiman. Kehadirannya, merupakan refleksi filosofis dari cita-cita hukum yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, sejalan dengan munculnya kesadaran sejarah akan masa depan kekuasaan kehakiman yan merdeka, independent, dan bermartabat.

Adapun, latar belakang terbentuknya Komisi Yudisial dalam strutur kekuasaan kehakiman di Indonesia paling tidak terdapat lima hal yaitu: (a) Komisi Yudisial di bentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internal saja; (b) komisi Yudisial Menjadi perantara (mediator) atau penghubungantara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaa apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah.56

Latar belakang lainnya; (c) dengan adanya Komisi Yudisal, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin

55

. Ibid., h. 196. 56

. Ibid., h. 202


(52)

44

tinggi dalam beberapa hal, baik yang menyangkut rekrutmen maupum monitoring Hakim Agung maupun pengelola keuangan kekuasaan kehakiman; (d) terjadinya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisal); dan (e) dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap prekrutan terhadap hakim Agung dapat di minimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak memiliki kepentingan politik. 57

Adapun mengenai kinerja Komisi Yudisial itu sendiri seperti yang dilaporkan oleh ketua Komisi Yudisial ke pada Presiden pada tanggal 12 Juni 2007 yakni, Komisi melaporkan kepada Presiden mengenai pelaksanaan kewenangan tugas Komisi Ketua dan anggota Komisi Yudisial, hari Senin (11/6) pagi diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Kantor Kepresidenan. Pada pertemuan yang berlangsung selama 1 jam tersebut, mereka menyampaikan laporan kinerja Komisi Yudisial selama setahun, serta menyampaikan rencana revisi Undang-Undang Komisi Yudisial. Ikut mendampingi Presiden saat menerima Komisi Yudisial antara lain Mensesneg Hatta Rajasa, Menhuk HAM

57


(53)

Andi Mattalata, Seskab Sudi Silalahi, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Pol. Sutanto dan Jubir Presiden, Andi A. Mallarangeng.58

Menurut Busyro Muqqodas, Ketua Komisi Yudisial, Presiden SBY memberikan perhatian penuh terhadap reformasi di bidang hukum yang dianggap sangat penting. "Presiden berharap agar lembaga terkait di bidang law enforcement bisa bekerja lebih sinergis dan komunikatif, " katanya Yudisial untuk menyeleksi Hakim Agung. "Sekarang telah selesai menyeleksi dua tahap, dan menghasilkan 18 calon Hakim Agung yang akan disampaikan ke DPR. Juga kami sampaikan mengenai kewenangan dan fungsi pengawasan terhadap hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, antara lain merespon laporan dan pengaduan dari masyarakat serta melakukan proses pemeriksaan berkas pengaduan. Laporan yang diterima dari bulan Agustus tahun 2005 hingga saat ini berjumlah 1175," kata Busyro Muqqodas.59

Dilain hal kinerja Komisi Yudisial adalah di Palang karaya Komisi Yudisial (KY) segera menggandeng keuskupan di seluruh Indonesia guna mengawasi kinerja lembaga peradilan beserta sekitar 6.578 orang hakim. Kerja sama serupa juga digagas bersama lembaga keagamaan lainnya, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), juga sejumlah perguruan tinggi. Keuskupan yang telah digandeng KY adalah Keuskupan Kupang dan Maumere. “Saat ini beberapa

58

. http://www presidensby.info/index.php/fokus/2007/06/11/1919.html, jam 21. 30, tgl 02 12 2008.

59 . Ibid.


(54)

46

keuskupan telah kita gandeng sebagai semacam ‘perwakilan bayangan’ dari Komisi Yudisial di daerah. Rencananya semua keuskupan akan kita gandeng bersama-sama mengawasi lembaga peradilan di Indonesia,” kata Anggota Komisi Yudisial Zaenal Arifin, di Palangka Raya, Kamis(31/8). 60

1.200 Laporan Komisi Yudisial menilai kinerja mereka tak bisa mencakup semua pekerjaan pengawasan hakim di Tanah Air. Karenanya, lembaga keagamaan dan kampus digandeng sebagai mitra untuk mendapatkan laporan masyarakat soalcarut-marutlembaga peradilan. “KY berharap upaya itu sekaligus sebagai upaya memasyakatkan peran dan keberadaan lembaga ini yang selama ini masih banyak belum diketahui msyarakat umum,” imbuhnya.61

Selain berupaya menggandeng lembaga lain dalam mengawasi para hakim, KY saat ini juga tengah melakukan penyelidikan tentang kinerja lembaga peradilan di Indonesia secara umum. Termasuk pula mendata berapa banyak hakimyangdinilaijelekkinerjanya. “Kita tidak bisa ngomong tanpa dasar berapa banyak hakim yang bagus atau berapa persen yang jelek dan melanggar kode etik, karena lembaga kita dibentuk berdasarkan UUD45,” jelasnya.

Di sisi lain, Arifin mengakui, dari 1.200-an laporan masyarakat, 800-an di antaranya tidak bisa ditindaklanjuti karena data dan argumentasinya kurang kuat. Sementara itu, 400 laporan sudah ditindaklanjuti dan 20 laporan sudah

60. www.sinarharapan.co.id/berita/0708/31/nas03.html - 23k, ,jam 21.35 tgl.02 12 2008.

61 . Ibid.


(55)

direkomendasi untuk ditindak hakimnya. Rekomendasi itu berupa pemberhentian bagi delapan orang hakim dan 12 hakim berupa sanksi teguran.62

Di kesempatan berbeda, anggota Komisi Yudisial, Soekotjo Soeparto, menanggapi positif pembentukan posko pengaduan mafia peradilan yang didirikan kalangan LSM dalam Koalisi Pemantau Peradilan. Posko itu menurut Soekotjo, sangat membantu kerja Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan eksternal terhadap para hakim. 63

Sebelumnya, KPP yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang hukum membuka posko pengaduan terhadap praktik mafia peradilan. Hal itu dilakukan karena praktik mafia peradilan tersebut hingga kini tak kunjung reda, sekaligus menjawab klaim Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan yang menilai praktik mafia peradilan tersebut tidak ada. Tindakan tegas yang dilakukan MA pun terkesan hanya menyentuh staf atau pegawai pengadilan, tidak pernah menjerat hakim.64

Sebagai akibat perubahan pengaturan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945, maka telah dikeluarkan beberapa undang-undang yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

62 . Ibid. 63

. Ibid.

64

. www.sinarharapan.co.id/berita/0708/31/nas03.html - 23k, ,jam 21.35 tgl.02 12 2008.


(56)

48

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 98, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4316) untuk melaksanakan perintah Pasal 24C ayat (6) UUD 1945;

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 8, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4358) untuk menggantikan Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

4. Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 9, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4359) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945;

5. Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 34, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4379) untuk melaksanakan ketentuan pasal 24A ayat (5) UUD 1945;

6. Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha negara (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4380) untuk melaksanakan ketentuan pasal 24A ayat (5) UUD 1945;


(57)

7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 89, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4415) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24B ayat (4) UUD 1945.65

D. Lembaga Yudikatif Dalam Islam ( Al-Sulthah Al-Qadhaaiyyah ). a. Sejarah Terbentuknya Al-Sulthah Al-Qadhaaiyyah.

Kata sulthatun ( ) sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah ( ﻝ ) yang berarti kekuasaan, kerajaan, pemerintahan.66 Menurut Lois Ma’luf dalam kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam berart al-malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah.67 Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan, penyelesaian perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut

65

. Abdul Mukthie Fadjar. Hukum Konstitusi .., h. 118. 66

. Ahmad Warsono Munawir, Kamus Al-Munawir: kamus Arab Indonesia Terlengkap. (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 650.

67

. Lois Ma’luf, Kamus Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirat: Dar al-Mashariq, 1997), h. 1095.


(58)

50

perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal dengan kekuasaan yudikatif.68

Haji Zaenal Abidin Ahmad memberikan pengertian sulthah Al-qadhaaiyyah yaitu kekuasaan pengadilan yang memelihara dan melindungi peraturan-peraturan dan undang-undang (judicial power).69

Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu prinsip dasar dari sistem Negara Islam adalah Negara Hukum. Sebagai negara hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan didalam kehidupan bernegara, dan untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya lembaga peradilan (yudikatif) yang berfungsi melaksanakan semua ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem Negara Islam merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, sejak awal kehadiran Negara Islam lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi sebagaimana mestinya.70

Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu Sultah Tanfiziyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang), Sultah Tasyri’iyyah (kekuasaan pembuat undang-undang), Sulthah Qadhaaiyyah (kekuasaan kehakiman) itu belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berada pada satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada

68

. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, h. 16567.

69

. Ibid., h. 16567. 70


(59)

masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan negara tersebut masing-masing melembaga dan mandiri.71

Perkembangan As-Sulthah Al-Qadhaaiyyah Dalam Sejarah Islam.

Perkembang kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat dan politik Islam. oleh karena itu sebagaimana dijelaskan Muhammad Salam Madkur (Guru Besar Hukum Islam, Universitas Cairo) para ahli, membagi sejarah peradilan Islam kedalam beberapa masa dengan ciri-ciri atau tanda-tandanya masing-masing.72

Masa Rasulullah SAW. Kedudukan Rasulullah SAW, di samping sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, juga menangani langsung urusan yang berkaitan dengan kekuasaan yudikatif; artinya, kekuasaan peradilan belum dipisahkan dari kekuasaan Nabi SAW sebagai pelaksana perundang-undangan. Segala urusan yang menjadi kewenangan as-sulthah al-qadahaiyyah semuanya tertumpu ditangan penguasa. Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penanganan kekuasaan ini dibantu oleh beberapa orang sahabat yang di kirim ke beberapa daerah untuk bertindak sebagai penguasa dan sekaligus sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang peradilan. Di samping itu, ada diantara sahabat yang diperbantukan oleh Rasulullah SAW untuk menangani tugas-tugas peradilan ini,

71

. Salim Ali Al-Bahansi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), Cet. Pertama, h. 53.

72

. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi, h, 16568.


(1)

memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24 UU No. 22, 2004). Terhadap pasal ini Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi.” Ini berarti Komisi Yudisial RI tidak mempunyai kewenangan untuk mengawasi para Hakim Konstitusi.

3. Dengan dikeluarkannaya Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 16 Agustus 2006 No. 005/PUU-IV/2006, kewenangan untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, dan tidak lagi dimiliki oleh Komisi Yudisial RI. Dengan kata lain Komisi Yudisial RI tidak lagi mempunyai kewenangan sanksi terhadap hakim; pengusulan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasa khususnya terhadap Hakim Konstitusi. Semuanya dikembalikan ke lembaga masing-masing untuk mengawasi perilaku hakim, yang selama ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jika kita bandingkan dengan As-sulthah Al-qadhaaiyyah yang mana lembaga ini memiliki dalam hal kewenangan untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai persoalan hukum dan perselisihan yang diajukan dan yang menjadi kewenangannya dan kewenangan nya ini berlaku untuk segala pihak yang telah dinyataka bersalah. jadi jika dilihat dalam konteks ketatanegaraan Islam Komisi Yudisial tetep sebagai lembaga As-sulthah Al-qadhaaiyyah walaupun tugas dan wewenang yang dimiliki ke dua lembaga ini berbeda, jika As-sulthah Al-qadhaaiyyah mempunyai kewenangan yang sangat luas di negaranya lain halnya dengan Komisi Yudisial RI yang


(2)

106

kewenangannya telah di pangkas habis oleh Mahkamah Konstitusi RI dan terbatas.

B. Saran.

1. Usaha untuk melakukan reformasi ditubuh peradilan sesungguhnya merupakan perjuangan yang tiada mengenal kata berhenti. Reformasi merupakan sebuah ideologi untuk membangun seluruh komponen bangsa ke arah yang lebih baik, oleh karena itu independensi kekuasaan kehakiman tergantung kepada faktor-faktor internal lembaga peradilan dan political sphare di sekelilingnya. Politisasi lembaga peradilan mutlak harus diakhiri. Dukungan publik menciptakan kemandirian lembaga peradilan merupakan qondision sine qua non. Pemerintah tidak hanya dituntut untuk merespon tuntutan publik secara cepat tepat dan independen. Akan tetapi kondisi internal dan eksternalnya sendiri harus pula diperhitungkan, faktor-faktor itu merupakan variabel yang mempengaruhi kinerja dan hasil yang akan dicapai oleh pemerintah guna memenuhi ekspetaksi publik.

2. Dengan adanya kejadian seperti ini diharap kan untuk ke depannya Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Presiden RI dapat dengan teliti lagi dalam membuat atau mensahkan suatu undang-undang agar tidak terjadi kesalahan multi tafsir seperti yang dialami oleh Komisi Yudisial RI ini dalam menjalankan tugas dan kewenangan dalam undang-undang tersebut, yang sekarang kewenangannya telah dipangkas habis oleh Mahkamah Konstitusi RI dikarenakan di dalam Undang-undang Komisi Yudisal RI itu bersifat multi tafsir dan rancu isinya yang mana hal tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945.


(3)

107 Cet. Pertama.

Al-Mawardi, Imam, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Jakarta, Darul Falah, 2000, Cet. Pertama. Al-Bahansi, Salim Ali, Wawasan Sistem Politik Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,

1996, Cet. Pertama.

Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama.

Asshidiqie, Jimly, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Jakarta, UI Press, 2005, Cet. Pertama.

Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama,

Fadjar, Abdul Mukthie, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, Cet. Pertama

Fadjar, Abdul Muktie, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstiusi, Jakarta, Konpress & Citra Media, 2006, Cet. Pertama.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2005, Cet. Pertama

Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos, Bandung, mizan Media Utama, 2007, Cet. Kedua.

Jurdi, Fajlurrahman, Komisi Yudisial Dari Delegitimas Hingga Revitalisasi Moral Hakim, Jakarta, PuKAP, 2007, Cet. Pertama

Kansil, C.S.T. Kansil, Christine S.T., Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, Cet. Ketiga.

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai Komisi yudisial dan reformasi Peradilan, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007, Cet. Pertama.


(4)

108

. Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007, Cet. Pertama.

Koesno, Moch., Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesi, Jakarta: ELSAM, 1997,Cet. Pertama.

Lexy, Moleong J., Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. 2004, Cet. Pertama.

Munawir, Ahmad Warsono, Kamus Al-Munawir: kamus Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya, Pustaka Progresif, 1997.

Moekri, Ahmad Kurdi, Negara Hukum dalam Ujian, Jakarta, Ka-tulis-tiwa Press, 2007, Cet. Pertama.

Ma’luf, Lois, Kamus Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirat: Dar al-Mashariq, 1997.

Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2007, Cet. Pertama.

Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998, Bagian Pengantar, Cet. Ketiga.

O.C Kaligis & Associates, Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial Dimahkamah Konstitusi, Jakarta,O.C Kaligis & Associates, 2006, Cet. Pertama.

Pemikiran Jimly Asshiddiqie, dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan Ketata Negaraan Indonesia Kontemporer, Jakarta: The Biografi Institute, 2007, Cet. Pertama.

Susanto, Agung, Hukum Acara Perkara Konstitusi Prosedur Berperkara Pada Mahkamah Konstuitsi. Bandung: Mandar Maju, 2006, Cet. Pertama,

Syahuri, Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, Cet. Pertama.


(5)

Skripsi oleh Nani Kurniasih, Al-sulthah Al-qadaiyyah Membandingkan Kewenangan Mengadili antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta, 1426H/2006M.

Skrisi oleh M. Andri M, Kekuasaan Eksekutif Dalam Prespektif Islam Dan barat. Jakarta, 1424H/2004M.

Undang-Undang Dasar Repulik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

BULETIN DAN HARIAN KABAR

Buletin Komisi Yudisial, Pegelaran Budaya Memeriahkan Refleksi Akhir Tahun 2007 Komisi Yudisial , Tanggal 03 Desember 2007

Harian Kompas 26 Agustus, 2006. Harian Kompas 29 Agustus, 2006. INTERNET

io.ppi-jepang.org/article.php?id=247 - 45k. ja 1m5.15. tgl 24 0608.

http://www presidensby.info/index.php/fokus/2007/06/11/1919.html, jam 21. 30, tgl 02 12 2008.


(6)