BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pengaturan tentang perumusan unsur dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara dalam dinamika hukum pidana korupsi di Indonesia adalah:
a. Dalam hukum positif di Indonesia tentang rumusan merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara sudah dikenal sejak lama, yaitu sejak Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt
PM061957 tentang Pemberantasan Korupsi. Namun dalam peraturan ini, korupsi masih diartikan sebagai bahwa suatu
perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Rumusan atau batasan perbuatan korupsi dalam peraturan
ini adalah tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau
untuk kepentingan suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung meyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian
negara. Sementara pada delik jabatan tidak dicantumkan adanya unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
namun hanya dirumusakan bahwa tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu
badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan menggunakan kesempatan atau kewenangan atau
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau meterial
baginya, tentu hal ini berbeda dengan rumusan delik korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b.
Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” adalah salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam
mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi, unsur tersebut meupakan suatu delik formil yang memiliki dua pengertian yaitu
yang bersifat potential loss berpotensi akan terjadi dan actual loss kerugian nyata terjadi.
c. Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara” adalah unsur yang bersifat alternatif. Kerugian keuangan negara meliputi segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang
sementara kerugian perekonomian negara adalah kerugian atas rusaknya suatu sistem perekonomian, hal tersebut mencermikan
ruang lingkup yang berbeda sehingga dapat didakwakan secara alternatif.
2. Telah ditemukan adanya problematika dalam praktik penerapan unsur dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi antara lain:
a. Ambiguitas tafsir terjadi pada hampir semua unsur Pasal 2 maupun
Pasal 3 UU PTPK utamanya tafsir unsur “dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”.
Universitas Sumatera Utara
b. Kekurang jelasan rumusan maupun penjelasan unsur “dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. c.
Kerancuan mengenai ruang lingkup keuangan negara. d.
Perbedaan pemahaman tentang konsep kerugian negara terlihat dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan, menjelaskan kerugian negara daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya, sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Sementara BPKP
menilai bahwa dalam kerugian keuangan kekayaan negara, suatu kerugian negara tidak hanya yang bersifat riil, tetapi juga yang
bersifat potensial yaitu yang belum terjadi seperti adanya pendapatan negara yang akan diterima hal ini serupa dengan
konsep kerugian negara dalam UU PTPK. Selain itu juga konsep kerugian negara menurut UU PTPK tidak sama persis dengan
kerugian menurut hukum perdata, artinya kerugian yang dapat dituntut ganti rugi dalam perkara korupsi hanyalah kerugian yang
benar-benar telah terjadi. Kerugian negara dalam konteks hukum pidana khususnya pada tindak pidana korupsi masih juga belum
mencerminkan asas kepastian hukum. Namun Berdasarkan asas lex posteriori derogate lege priori, maka tafsir kerugian negaradaerah
yang sah adalah berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, bukan yang tercantum dalam pasal 2 ayat
Universitas Sumatera Utara
1 dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e. Langkah-langkah maupun moteode dalam menghitung kerugian
keuangan negara pada dasarnya belum dipolakan secara seragam dan belum diatur dalam perundang-undangan secara jelas dan
terperinci. Hal ini disebabkan sangat beragamnya modus operandi kasus tindak pidana korupsi yang terjadi. Namun demikian, auditor
dapat menempuh hal-hal sebagai berikut; 1.Mengidentifikasi penyimpangan yang terjadi, 2. Mengidentifikasi transaksi, 3.
Mengidentifikasi, Mengumpulkan, Verifikasi, dan Analisis Bukti, 4. Menghitung Jumlah Kerugian Keuangan Negara.
B. SARAN