BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memasuki abad ke-21, Perhatian dan keprihatinan komunitas internasional terhadap masalah korupsi yang menimpa negara berkembang semakin menguat.
Dalam mengungkapkan keprihatinan internasional terhadap masalah korupsi, ada bermacam-macam sebutan atau istilah yang digunakan untuk menyebut tindak
pidana korupsi, diantaranya adalah sebagai salah satu bentuk dari “crimes a
business, economic crimes, white chollar crime, official crime”, atau salah satu bentuk
“abuse of power”. Masyarakat antar bangsa yang terhimpun kedalamThe United Nations Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat menyadari, betapa petingnya
usaha bersama untuk memecahkan masalah korupsi, serta meenemukan langkah- langkah konkret dalam upaya penanggulangannya.
1
Sementara itu, Konferensi Internasional Anti Korupsi, ke-7 Tahun 1955 di Bejing, mencatat tindak pidana korupsi sebagai bentuk kejahatan yang sulit
pembuktiannya Kompas, 26 Oktober 1955. Kesimpulan yang sama diungkapkan pula di dalam Kongres PBB ke-9 di Kairo, yang menyatakan bahwa pola
perkembangan tindak pidana korupsi semakin menyulitkan aparat penegak hukum untuk melakuan penanggulangan. Oleh karena itu kongres merekomendasikan
kepada negara-negara angota PBB, agar memberikan perhatian yang intensif guna
1
Elwi Danil, Korupsi:Konsep, Tindak Pidana, dan Pemeberantasanya, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
menemukan langah-langakah baru dalam memerangi korupsi di kalangan pejabat publik.
2
Di lain hal, apa yang dikhawatirkan Bung Hatta pada sekitar tahun 60-an itu, sampai dewasa ini telah semakin menjadi sebuah fakta yang amat sulit
dibantah. Sakala korupsi yang terjadi tel ah menjadi semakin “menggurita”.
Korupsi di Indonesia, tidak saja telah membudaya, namun juga telah melembaga. Perilaku menyimpang itu telah mengalami proses institusionalisasi, sehingga
hampir tidak ada lembaga negara yang steril dari perilaku menyimpang tesebut.
3
Dalam konsiderans UU No. 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi PTPK ditegaskan
“bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. ” Akibat tidak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan
keuangan negara atau perekonomin negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
4
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, hal tersebut sebagaimana tercantum dalam perambul ke-4 United Nation Convention Against
Corruption, 2003- Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi yang berbunyi “Convinced that corruption is no longer a local matter but transnational
phenomenon tahat affect all societies adn economies, making international
2
Ibid, hlm. 62.
3
Ibid, hlm. 65.
4
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
cooperation to prevent and control is essentia”.
5
meyakini bahwa korupsi tidak lagi masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional mempengaruhi
seluruh masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerja sama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial.
Pada tahun 2000, hasil survey political and aconomic rist consultancy PERC memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan
nilai9,07 sebelumnya 7,67 dengan skor 9,07 itu, PERC meyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level.
6
Berdasarkan survey lain yang dilakukan oleh Lembaga Transparansi Internasional tahun 2012, sebuah lembaga independen dari 146 seratus empat
puluh enam negara tercatat bahwa ada sepuluh negara terkorup di dunia, yaitu: 1.Azerbaijan, 2.Bangladesh,3.Bolivia, 4.Kamerun, 5.Indonesia, 6.Irak, 7.Kenya,
8.Nigeria, 9.Pakistan, 10.Rusia. Data tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara terkorup kelima di dunia, dan menduduki peringkat
pertama negara terkorup di tingkat Asia-Pasifik. Suatu survey yang menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sangat membahayakan kehidupan
perekonomian nasional sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime. Praktek korupsi yang semakin meningkat dengan pola
yang lebih sistematis dan canggih merupakan suatu masalah serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia. Perlu diingat, bahwa salah satu penyebab
dibubarkannya Vereenigde Oostindische Compagnie VOC pada tanggal 31 Desember 1799 meninggalkan hutang sebesar 136,7 juta gulden adalah karena
5
Alinea ke-4 Preamble The States Parties to this Convention of United Nations Convention Against Corruption, 2003 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003.
6
Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Perundang-Undangan, Kementrian Hukum dan HAM, 2013, Vol. 10, hlm. 165.
Universitas Sumatera Utara
maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabatnya. Hal serupa mungkin saja akan terjadi dengan Indonesia, mengingat posisi Indonesia sebagai
negara terkorup di dunia semakin meningkat. Menurut Suyatno, Korupsi merupakan salah satu dari penyakit birokrasi
yang mengganggu sistem pembangunan. Keberadaannya tidak bisa dipungkiri, namun sulit untuk dibuktikan atau diberantas. Korupsi bisa berkaitan dengan
norma hukum, sosial, ekonomi, psikologi, bahkan spiritual.
7
Cara masayarakat mengatasi korupsi dapat bersifat langsung hanya samapai batas yang tertentu saja.
Hukum pidana sering kali hanya sebagai tongkat yang patah. Instruksi-instruksi kepada pegawai negeri untuk melaporkan percobaan korupsi suatu cara yang
dianjurkan oleh Van Poelje juga harus dianggap sebagai tongkat yang patah.
8
Dalam pembuktian kasus-kasus korupsi, hakim tidak hanya menghukum begitu saja orang-orang yang di duga melakukan tindak pidana korupsi namun
harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan meyakinkan serta sesuai dengan kaidah peraturan perundang-undangan. Perlu diketahui pada saat menjalankan
sidang di pengadilan, jaksa penuntut umum juga selaku juru bicara negara mendapat banyak kendala dalam membuktikan dan merumuskan dugaan tindak
pidana korupsi yang dilakukan seseorang. Dalam sistem hukum pidana formil indonesia, khususnya yang terkandung dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana KUHP, jelas bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya tindak pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Sehingga Pemahaman yang jelas yang tidak
menimbulkan ambiguitas terhadap suatu aturan perundang-undangan sangat
7
Suyatno, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, CV Muliasari, Jakarta, 2015, hlm. 15.
8
G. A Van Poelje, Bestuurkunde Publik administration, sebagaimana dikutip oleh Mochtar Lubis dan James C. Scot, Bunga Rampai Korupsi, PT Rasma Agung Grafika, Jakarta,
1985, hlm. 17-18.
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan untuk menentukan kualitas kinerja penegak hukum dalam merancang sebuah surat dakwaan sehingga dapat meminimalisir seseorang yang terbukti
korupsi diputus bebas oleh hakim vrijprak. Hambatan yang menghadang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
dari prespektif yuridis adalah terdapatnya hal-hal yang bersifat grey areayang potensial dapat menimbulkan berbagai penafsiran seperti pengertian korupsi
dalam UU No. 30 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, begitu luas sehingga
menyebabkan banyak persepsi yang berkembang. Batasan mengenai kekayaan negara dalam menentukan adanya kerugian keuangan negara menjadi perdebatan
karena antara penegak hukum dan praktisi bisnis sering kali menggunakan batasan yang berbeda sehingga menimbulkan multiinterpretasi yang mengakibatkan
sulitnya undang-undang tersebut operasional. Permasalahan korupsi harus disikapi dari berbagai sisi, misalnya dari
komitmen para penegak hukum, budaya hukum masayarakat, maupun isi atau substansi dari perundang-undangan yang dijadikan sebagai alat untuk
memberantas tindak pidana korupsi. Tujuannyaadalah agar pemerintah dapat membuat kebijakan yang strategis dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Misalnya dari sisi substansi perundang-undangan. Salah satu hasil penelitian yang bejudul “Optimalisasi Peran Kejaksaan Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi” oleh Erlita Ratna S, Dr. Nurini Aprilianda, dan Dr, bambang sugiri SH, MS disimpulkan bahwa salah satu kendala penuntut umum dalam melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan kerugian negara adalah perumusan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun
Universitas Sumatera Utara
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UUPTPK yang multitafsir.
9
Sejak diundangkannya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UU PTPK telah terjadi perbedaan pemahaman,
penalaran dan penafsiran dari rumusan Tindak Pidana Korupsi TPK di antara kalangan justiabelen baik dari kalangan profesi seperti advokat, jaksa dan
hakim, maupun para pakar hukum pidana yang diajukan sebagai ahli dalam perkara-perkara. Bertolak dari realitas perbedaan dalam menafsirkan makna pasal
2 dan pasal 3 UU PTPK tersebut, akan merambah ke dalam ranah tafsir isi undang-undang dan tentang bagaimana menangkap maksud dan tujuannya, karena
hal itu akan menjadi bagian paling penting dalam memahami dan menerapkan suatu undang- undangsecara tepat dan adil. Perbedaan dalam penerapan suatu
aturan hukum dapat disebabkan oleh adanya perbedan dalam memahami dan menafsirkan suatu peraturan yang multi arti atau dalam terminologi bahasa
disebut sebagai kemulti-artian. Istilah kemulti-artian dalam bahasa Inggris diartikan sebagai ambiguity.
Dari sekian banyak ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dalam UU PTPK ketentuan yang mengatur tetang kerugian negara hanya
terdapat dalam pasal 2 dan pasal 3. Meski hanya dua pasal, namun pasal tersebut sering kali digunakan atau menjadi pavorit aparat penegak hukum untuk menjerat
9
Erlita Ratna, Nurini Aprilianda, Bambang Sugiri, Makalah, Optimalisasi Peran Kejaksaan Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, 2013.
Universitas Sumatera Utara
para pelaku korupsi yang secara keseluruhan diduga telah menimbulkan kerugian negara. Hal ini bisa kita lihat seperti dalam tabel:
Tabel 1 Data Perkara Korupsi berdasarkan Pasal Tuntutan Penuntut Umum
10
Pasal Tuntutan Jumlah Terdakwa
1 ayat 1 sub a UU 3 Tahun 1971 5
1 ayat 1 sub b UU 3 Tahun 1971 14
10 huruf a UU 20 Tahun 2001 1
11 UU 20 Tahun 2001 26
12 B ayat 2 UU 20 Tahun 2001 1
12 huruf a UU 20 Tahun 2001 3
12 huruf e UU 20 Tahun 2001 5
12 huruf f UU 20 Tahun 2001 3
2 ayat 1 I 5 ayat 1 huruf a I 6 ayat 1 huruf a I 22 UU 20 TAHUN 2001
1 2 Ayat 1 UU 20 TAHUN 2001
147 2 ayat 1 UU 20 Tahun 2001 dan 372 KUHP
2
3 dan 9 UU 20 Tahun 2001 2
3 UU 20 TAHUN 2001 503
5 Ayat 1 Huruf a UU 20 Tahun 2001 2
5 ayat 2 UU 20 Tahun 2001 3
8 UU 20 Tahun 2001 4
9 UU 20 Tahun 2001 10
blank 1
2 ayat 1 UU 20 Tahun 2001 dan 5 ayat 1 huruf a UU 20 Tahun 2001
1 12 huruf g UU 20 Tahun 2001
1
Grand Total 735
Sumber : Arsil 2013
10
Arsil, Bahan Presentasi FGD Studi Tentang Disparitas Putusan Dalam Perkara Korupsi-ICW. Gren Alia, 19 September 2013 sebagaimana dikutip dari Policy Paper ICW, Ibid,
hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pasal 2 ayat 1 UU PTPK disebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah
”. Sedangkan pasal 3 UU PTPK berbunyi:
“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padannya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keungan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hudup atau penjara paling singkat 1 satu tahun dan pling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit
Rp.50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 satu milyar rupiah”. Ambiguitas penafsiran terbanyak mengenai rumusan tindak pidana
perbuatan pidana dalam Pasal 2 ayat 1 UU PTPK mencakup unsur-unsur: 1.
Setiap orang; 2.
Secara melawan hukum; 3.
Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 4.
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
11
Namun dimasukkannya unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
” dalam delik tindak pidana korupsi khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK dalam praktik seringkali menimbulkan persoalan yang
dapatmempengaruhi proses penanganan perkara korupsi. Mulai dari multi tafsir definisi keuangan negara dan kerugian negara, luasnya cakupan keuangan negara
dan perekonomian negara, kewenangan penghitungan kerugian negara, lambatnya
11
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
proses penghitungan kerugian negara yang dinilai menghambat penanganan perkara korupsi, dan hingga belum maksimalnya eksekusi uang pengganti dalam
perkara korupsi, bahkan berujung pada lolosnya pelaku dari jeratan undang- undang.
Kecuali suap dan gratifikasi, tindakan korupsi telah menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat signifikan. Hasil kajian lembaga penelitian
dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis P2EB Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM berjudul, Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasarkan Putusan MA 2001-
2012” di Yogyakarta, pada 4 maret 2013 lalu, menyebutkan akibat korupsi sebanyak Rp 168,19 triliun keuangan negara hiang. Penghitungan ini didasarkan
pada analisis terhadap 1365 perkara korupsi dan sudah mendapatkan putusan tetap dari Mahkamah Agung dalam kurun waktu 2001 sampai 2012.
12
Dari rumusan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU PTPK jelaslah bahwa rumusan yang terkandung untuk menjerat seorang pelaku korupsi memiliki
cakupan yang sangat luas dan penting untuk diteliti. Pencantuman kata “dapat”
menjadikan delik korupsi menjadi delik formil, sehingga hal tersebut menuai kontravesi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, r
umusan unsur “dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara” telah di yudicial review oleh
Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945. Berikut adalah kutipan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya :
“Menimbang bahwa dengan asas kepastian hukum rechtszekerheid dalam melindungi seseorang, hubungan kata “dapat” dengan “merugikan
keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: 1 nyata-nyata merugikan negara atau 2 kemungkinan dapat menimbulkan
kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud
12
Akibat Korupsi, Uang Negara Menguap Rp. 168 Triliun, Tempo.co, Senin 4 Maret 2013, sebagaimana dikutip oleh Indonesia Corruption Watch, Penerapan Unsur Merugikan
Keuangan Negaradalam Delik Tindak Pidana Korupsi, 2014, hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Diantara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang “belum nyata
terjadi”, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret disekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa
suatu akibat
yaitu kerugian
negara yang
terjadi. Untuk
mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar peristiwa yag terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau
tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan
seseorang dengan kerugian”. “Menimbang bahwa dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa
kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, kemudian mengkualifikasikanya sebagai delik
formil, sehingga adanya kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus terjadi, Mahkamah berpendapat bahwa hal
demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum
terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli dibidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa
kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan
Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karena persoalan ka
ta “dapat” dalam Pasal 2 ayat 1 UU PTPK, lebih merupakan persoalan
pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma”;
“Menimbang dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negera”,
tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, sepanjang
ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas conditionally
constitutional”; “Menimbang bahwa oleh karena kata “dapat” sebagaimana uraian
pertimbangan yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan
tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hak itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan
”.
13
Tetapi, Erman Rajaguguk yang juga diajukan sebagai ahli dalam yudicial
review tersebut tidak sependapat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hal itu
13
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006 mengenai pengujian terhadap Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi atas nama pemohon Ir. Daud Djatmiko.
Universitas Sumatera Utara
dapat ditemukan dalam risalah persidangan perkara Nomor 003PUU-IV2006 yang mengatakan bahwa Pasal 2 ayat 1, Penjelasan Pasal 2 ayat 1, Pasal 3, dan
Penjelasan Pasal 3 undang-undang a quo, kata- kata “dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara ”, bertentangan tidak saja dengan Pasal 28D ayat
1 UUD 1945 tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum tetapi juga
bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Kata “dapat” diasumsikan adalah perbuatan yang belum tentu terjadi. Definisi “kerugian negara” yang menciptakan kepastian hukum, adalah
sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat 22, “Kerugian
negaradaerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai”.
14
Jadi Perbuatan yang bisa dihukum adalah perbuatan yang pasti sudah terjadi.
Selanjutnya, Tumpak H. Panggabean berpendapat sama dengan Erman Rajagukguk, dalam presentasi mengenai “Memahami Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001” menyatakan bahwa
“kerugian negara tidak dipersyaratkan sudah timbul karena pada hakekatnya kerugian tersebut adalah akibat dari perbuatan memperkaya secara melawan
hukum tersebut, cukup menurut akal orang pada umumnya bahwa dari suatu
14
Risalah persidangan Perkara Nomor 003PUU-IV2006.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara tanpa menyebut jumlah kerugian negara tersebut. ”Hal ini menurut dia “menjadi rancu apabila dihubungkan dengan
“unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi” karena darimana diperoleh pertambahan kekayaan tersebut kalau belum terjadi kerugian
negara. Bila demikian, artinya pendapat Tumpak H. Panggabean sejalan dengan
definisi kerugian negara kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badang Pemeriksa Keuangan yang mengisyaratkan bahwa yang
dimaksud sebagai kerugian negara adalah kerugian yang bersifat nyata actual loss.
15
Terlepas dari adanya kerancuan dualisme tafsiran frasa “dapat” yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi. Tetapi permasalahan yang lain adalah bahwa Mahkamah Konstitusi pun sama sekali belum menyentuh bahasan
mengenai pemisahan frasa “kerugian keuangan negara” dengan “kerugian perekonomian negara”. Sehingga ada kesulitan tersendiri dalam mendefinisikan
maksud dari kedua frasa tersebut. Perkembangan dalam penerapan pengertian merugikan keuangan negara
tersebut tidak terlepas dan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengertian keuangan negara. Beberapa kasus yang telah diputuskan dalam tingkat pertama
16
,
15
Ibid.
16
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menyatakan para direksi Bank Mandiri tidak terbukti adanya kerugian negara berdasarkan Pasal 1 butir 22 UU No. 1 Tahun 2004, tentang
Perbendaharaan Negara; b Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan DaanDimara
Universitas Sumatera Utara
mempunyai penerapan peraturan yang berbeda-beda mengenai definisi keuangan negara, pengertian keuangan negara memang tersebar dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang ada selain ketentuan dalam UU TPK antara lain terdapat dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara,
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 49 Prp. Tahun 1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan secara implisit terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Pengahapusan Piutang Negara
Daerah. Permasalahan mendasar adalah keuangan negara dikaitkan dengan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi, yaitu bagaimana pengertian
keuangan negara dikaitkan dengan unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi, apakah BUMN Persero yang pengurusannya didasarkan dalam UU PT
dapat dikatagorikan dalam ketentuan keuangan negara dalam UU PTPK, dan apakah jika terjadi kerugian terhadap BUMN Persero, UU yang manakah yang
akan dipergunakan untuk menilaiterjadinya kerugian keuangan tersebut?
17
Permasalahan yang paling mendasar dengan adanya putusan Mahkamah Kostitusi tersebut adalah bagaimana hakim menghukum seseorang yang hendak
melakukan koruspsi namun semua delik pidana korupsi belum terpenuhi. Perbuatannya belum menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara namun seseorang tersebut sudah dapat dihukum. Permasalahan yang lain adalah antara keuangan negara dan perekonomian negara adalah dua unsur yang
tidakterbukti mengakibatkan kerugian negara yang riil berdasarkan UU TPK pada kasus Pengadaan Tinta Pemilu di Komisi Pemilihan Umum KPU dan c Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, Suratno tidak terbukti mengakibatkan kerugian negara yang riil berdasarkan UU TPK pada kasus Korupsi pengadaan barang dan jasa di Radio Republik Indonesia RRI, sebagaimana
dikutip olehJamin Ginting, Pengertian Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelila Harapan, Vol. VI, No.2. November
2006, hlm. 29.
17
Ibid, hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
berbeda, dimana dalam UU PTPK menggunakan kata penghubung “atau” dalam unsur “dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Artinya adalah
tindakan seseorang yang berpotensi merugikan perekonomian negara sajapun sudah dapat dijerat dengan pasal 2 dan pasal 3 UU PTPK. Sehingga pada akhirnya
semua kejahatan korupsi akan dijerat dengan kedua pasal yang memiliki cakupan yang luas tersebut. Namun pertanyaannya adalah mengapa masih banyak pelaku-
pelaku korupsi yang lolos dari jeratan hukum dan diputus bebas oleh hakim? Pada penelitian ini akan dibahas bagaimana sesungguhnya penerap
an unsur “dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara” dalam tindak pidana
korupsi. Kunto wibisono mengatakan bahwa terjadinya kerancuan visi dan misi
hukum kita yang diikuti dengan perbedaan bahkan pertentangan dalam strategi penyelesaian suatu masalah justru menimbulkan hal-hal yang kontra produktif.
Hukum bukan lagi dijadikan sarana untuk menegakkan kebenaran dan keadilan melainkan hukum sudah dijadikan komoditi untuk dipertukarkan sebagai alat
pembayaran untuk membeli hal-hal yang jusrtu untuk menentang keadilan dan kebenaran.
18
Jelaslah bahwa substansi perundang-undangan sangat diperhatikan sebagai sarana penegakan hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi.
Sehingga diperlukan perumusan yang jelas tentang unsur tindak pidana korupsi untuk dapat dengan mudah membuktikan suatu perbuatan yang dapat dihukum
dan mencerminkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Melihat permasalahan tentang luasnya cakupan keuangan negara dan
perekonomian negara maka serta merta akan memberikan dampak terhadap
18
Zakiah, Jurnal hukum Euality, Pembangunan Hukum dalam Pemberantasan Korupsi dan Penegakan Hak Asasi Manusia, 2007, hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
pembangunan dan kemajuan ekonomi masyarakat Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap fakta dalam praktek peradilan perkara tindak
pidana korupsi yang menunjukkan upaya pemberantasan TPK selama ini telah menghadapi kendala serius, yaitu adanya ketidaksamaan ambiguitas perundang-
undangan serta pandangan para penegak hukum dalam menerapkan UU PTPK khususnya unsur
“dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 UU PTPK. Akibatnya banyak
terdakwa yang bebas dari jeratan hukum. Sehingga diperlukan penelitian bagaimana sebenarnya ruang lingkup keuangan negara dan perekonomian negara
serta bagaimana penerapan u nsur “dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dalam tindak pidana korupsi. Alasan subyektif penulis meneliti masalah ini adalah sebagaimana yang
telah penulis uraikan. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena secara teoritis literatur yang mengkaji masalah penerapan unsur kerugian negara dalam tindak
pidana korupsi masih sangat jarang ditemukan. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan literatur dan menambah
pengetahuan tentang penerapan unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi. Selain itu, penulis mengangkat penelitian ini adalah dengan tujuan
membantu memberikan pemecahan masalah dan memberikan sumbangan pemikiran bagi para penegak hukum maupun masyarakat luas sehingga dapat
mendukung terciptanya keadilan, kepstian dan kemanfaatan hukum.
B. Perumusan Masalah