Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

42 1 Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. 2 Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban lebih menunjukkan bahwa fokus perlindungan ini lebih kepada korban yang sekaligus berkedudukan sebagai saksi. Selain hak-hak yang diberikan oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, Undang-undang ini juga memberikan perlindungan berupa bantuan medis, bantuan rehabilitasi psiko-sosial, kompensasi dan juga restitusi, namun hak-hak ini khusus diberikan pada kejahatan HAM berat padahal bila merujuk pada UndangUndang Nomor 21 Tahun 2000, kejahatan perdagangan perempuan dikategorikan kejahatan biasa. Sehingga dalam hal ini dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 hak-hak yang dapat diberikan kepada korban perdagangan perempuan hanya hak-hak yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, sedangkan perlindungan mengenai restitusi dan rehabilitasi lebih merujuk pada ketentuan Undang- Undang Nomor 21 tahun 2007 tepatnya dalam Pasal 48- Pasal 53. .

3. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Bila dilihat dari Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, tindak pidana perdagangan perempuan dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusian, seperti yang dinyatakan Pasal 9 bahwa: Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau commit to users 43 sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan dan sterilisasi secara paksa atau bentuk- bentuk lain yang setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain, yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid. Sepuluh 10 kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang dinyatakan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia HAM, tindak pidana perdagangan perempuan masuk dalam kategori huruf c yaitu “Perbudakan” yang menurut Penjelasan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, “perbudakan“ dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak dan Pasal 9 huruf g yaitu “Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan dan sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk lain yang setara”. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana perdagangan perempuan, karena yang menjadi korban utama dari kejahatan ini adalah perempuan. Dimana tindak pidana perdagangan perempuan ini pun merupakan kejahatan transnasional yang juga merupakan kejahatan dengan serangan yang meluas dan sistematik. Kata serangan bila dirumuskan dari Penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah suatu commit to users 44 rangkaian perbuatan sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Sesuai dalam Pasal 38 kejahatan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang merupakan salah satu bentuk kejahatan perdagangan perempuan dipidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 5 lima tahun. Kemudian dalam Pasal 40 untuk kejahatan kemanusiaan yang dimaksud huruf g dipidana penjara paling lama 20 tahun dan paling singkat 10 tahun. Undang-undang ini tidak mengatur mengenai pidana denda atau kurungan. Mengenai perlindungan Korban dan Saksi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 35, yang menyatakan bahwa Pasal 34 1 Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun; 2 Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma; 3 Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35 1 Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; 2 Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM; 3 Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bentuk perlindungan yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berupa perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun selain itu juga ada commit to users 45 perlindungan dalam bentuk pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang dimaksud kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnyayang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dimana dapat berupa: a. Pengembalian harta milik; b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;atau c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain. Lebih lanjut Perlindungan korban dan saksi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diatur Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. 4. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional RAN Penghapusan Perdagangan Trafiking Perempuan dan Anak Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional RAN Penghapusan Perdagangan Trafiking Perempuan dan Anak merupakan kutipan dari Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, Supplementing to The United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime Protokol untuk mencegah dan menghukum perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak sebagai tambahan atas Konvensi PBB melawan kejahatan terorganisir transnasional, tahun 2000. Keppres No. 88 Tahun 2002 ini terdiri dari 8 Pasal dan dilengkapi dengan 1 satu lampiran Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Trafiking commit to users 46 Perempuan dan Anak. Delapan pasal tersebut berisi tentang Hakekat dan tujuan RAN-P3A pasal 2, Pelaksanaan RAN-P3A Pasal 3, Gugus Tugas RAN-P3A Pasal 4-Pasal 5, dan Pembiayaan Gugus Tugas RAN- P3A Pasal7. Khusus untuk pengaturan perlindungan korban women trafficking dalam RAN tidak diatur secara spesifik mengenai hal tersebut. Namun perlindungan korban women trafficking dapat ditemukan dalam rumusan tujuan dan sasaran RAN, yaitu mengenai adanya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban women trafficking agar dapat terjamin secara hukum. Selain itu dalam sasaran RAN juga termuat pengalokasian anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban. Kemudian adanya jaminan aksesibilitas bagi keluarga, perempuan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan, dan pelayanan sosial. Hal ini menunjukan RAN telah menganut pengertian korban dalam arti luas, dimana tidak hanya fokus kepada korban yang menderita secara langsung, tetapi juga telah memberikan perhatian kepada keluarga dan calon korban. Perlindungan korban dalam RAN ini tidak hanya sebatas pada pemberian kompensasi, rehabilitasi, restitusi tetapi lebih kepada pemulihan sosial dengan pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan, dan pelayanan sosial yang diharapkan akan lebih efektif.

B. Kelemahan dan Kelebihan Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Perempuan