Kesepakatan Lokal Kasultanan dan Masyarakat

128 Temuan peneliti terhadap kepatuhan tugas lembaga pertanahan di DIY tidak berjalan maksimal, hal ini dikarenakan nilai-nilai normatif pada kepatuhan lembaga pertanahan terhadap Kasultanan Yogyakarta banyak terjadi pelanggaran, serta tidak ada pemberlakuan sanksi yang kuat diberikan oleh Kasultanan kepada lembaga maupun masyarakat yang melanggar nilai-nilai normatif pada pengelolaan tanah SG dan PAG.

5.2.4. Kesepakatan Lokal Kasultanan dan Masyarakat

Pada aspek kesepakatan lokal yang terjadi antara Kasultanan dan masyarakat dapat dikatakan bahwa sistem artifac tidak hanya berlaku pada pemberian Serat Kekacingan, namun kesepakatan lokal bisa saja dilihat dari aspek kemanfaatan dan status penguasaan tanah Keprabon atau yang bukan tanah Keprabon yang merupakan kesepkatan dalam bentuk artifac. Jadi setiap tanah yang berdiri dia atas tanah Kasultanan dan Kadipaten yang digunakan oleh masyarakat dapat berubah status hak atas tanah yang digunakan. Berdasarkan lembaran dari Rijksblad Tahun 1918 menyebutkan bahwa keberadaan tanah SG dan PAG secara faktual defakto diakui oleh masyarakat dan birokrasi. Keberadaan tanah SG dan PAG dapat dilihat dari pola pemberian hak atas tanah Keraton melalui ijin atau surat Keraton Kekacingan tetap masih berlangsung. Sebagai contoh, pada saat dilakukan inventarisasi tanah SG dan PAG masyarakat yang menguasai dan memanfaatkan, menyatakan bahwa tanah tersebut milik Kasultanan DIY. 129 Namun pernyataan diatas sangat berbeda dengan yang apa disampaikan oleh anggotaa DPRD Komisi A DIY terkait dengan aturan Rijksblad Tahun 1918 yang digunakan oleh Kasultanan dengan menyatakan bawah: Selama aturan lama itu belum dicabut, kita belum punya hukum yang baru untuk menggantikan hukum yang dimaksud apaboleh buat, yang namanya hukum itu selalu tertinggal dan harus update dengan situasi dan kondisi keadaan yang ada saat ini, kemudian persoalan ini harus segera diatasi, semakin ini diperlambat maka semakin kompleks persoalan yang timbul wawancara dilakukan dengan Anggota DPRD DIY Komisi A, Januari 11 tahun 2016 Hal yang sama juga disampaikan oleh Kasih Peroleh Hak Kepemilikan Tanah BPN DIY yang menyatakan bahwa: Untuk kesepakatan dari BPN tidak ada, itu hanya dari Paniti Kismo dengan masyarakat melalalui Serat Kekancingan karena upaya tanah yang diberikan kepada kemasyarakat itu wewenangnya Paniti Kismo bahkan ke kita tidak dilaporkan wawancara dengan Kasih Penetapan Hak Tanah BPN DIY,6 Oktober Tahun 2015. Dari pemaparan diatas bahwa kesepakatan lokal Kasultanan dengan masyarakat dalam penggunaan tanah SG dan PAG yang berpedoman pada aturan lama seperti Rijksblad Tahun 1918, tenyata dalam pelaksanaanya terdapat perbedaan pandangan yang mengindikasikan ketidak setujuan lembaga lainya terhadap aturan lama, akan tetapi aturan lama tersebut masih diterapkan. Terkait dengan kelemahan aturan lama bisa dirasakan ketika nilai-nilai normatif tidak lagi berjalan sehingga berdampak pada banyaknya perbedaan pandangan dari lembaga pertanahan dan pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat pada penggunaan tanah SG dan PAG. 130 Temuan dari peneliti pada aspek kesepakatan lokal antara Kasultanan dan masyarakat secara normatif tidak lagi berjalan hal ini disebabkan pada regulasi pemberian hak atas SG dan PAG masih lema serta lembaga pertanahan di DIY belum memiliki pandangan yang sama terkait pengelolaan tanah. Maka hal tersebut berakibat pada perubahan luas wiayah tanah SG dan PAG, selain itu, secara normatif pada surat perjanjian antara masyarakat dan Kasultanan juga ditemukan terjadinya pelanggaran. Karena aspek aturan yang masih lemah dan sistem nilai pada penerapan normatif disetiap pengguna tanah SG dan PAG banyak yang melanggar maka kesepakatan yang telah dibuat oleh Kasultanan dengan masyarakat yang menggunakan tanah SG dan PAG bisa dikatakan bahwa kesepakatan tersebut tidak lagi kuat. 5.3. Elemen Kultural-Kognitif 5.3.1 Ciri Khas Nilai yang digunakan Kasultanan