KEWENANGAN KASULTANAN DALAM BIDANG PERTANAHAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sistem otonomi yang diberlakukan oleh bangsa Indonesia merupakan bentuk pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kewenangan berupa hak otonomi daerah yang bertujuan memberikan kebebasan bagi daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya agar dapat menjadi mandiri dengan semua potensi yang ada didaerah.
Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya di singkat DIY, merupakan daerah yang mempunyai keistimewaan dalam penyelengaraan urusan pemerintahan karena kedudukan hukum yang dimilki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal- usulnya masih dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono. Menurut Huda (2014), pengaturan tentang DIY disebutkan dalam Pasal 226 ayat (2), menegaskan: “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini”.
(2)
2
Salah satu keistimewaan pemerintah DIY dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan yaitu urusan tentang pertanahan, sebagian besar tanah yang dimiliki oleh DIY merupakan tanah kerajaan atau yang sering disebut dengan tanah Sultan Ground dan Pakualam Ground selanjutnya di singkat dengan (SG dan PAG) . Kemudian Wibowanto (2011) menjelaskan bahwa salah satunya
pemanfaatan dengan status “magersari”. Artinya bahwa rakyat boleh memanfaatkan tanah dengan kesadaran penuh bahwa status tanah itu adalah milik Keraton Yogyakarta. Mereka hanya berbekal “Serat Kekancingan” atau surat yang dikeluarkan Keraton tentang pengunaan tanah.
Sedangkan dalam kepengurusan tanah SG dan PAG, dari pihak Keraton
memiliki lembaga khusus “Paniti Kismo” yang memiliki kewenangan dalam
bidang pertanahan. Anggraeni (2012) menyatakan bahwa organisasi ini mempunyai struktur yang cukup rapi sampai di tingkat desa dan mempunyai otoritas penuh dalam pengelolaan serta pemanfaatan tanah Kasultanan dan Pura Paku Alaman untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat di Yogyakarta. Melalui lembaga Paniti Kismo yang dibentuk oleh Kasultanan dapat dikatakan bahwa kelembagaan Kasultanan dalam bidang pertanahan sangat besar karena lembaga negara seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) kewenangannya disampingkan oleh Paniti Kismo.
(3)
3
Namun, selama ini yang terjadi adalah tanah SG dan PAG menjadi kewenangan Keraton Yogyakarta sepenuhnya. Oleh sebab itu, kelembagaan yang dimiliki oleh Kasultanan dalam bidang pertanahan di DIY merupakan suatu keputusan yang sangat besar. Kelembagaan tersebut bertentangan dengan ketentuan penyerahan urusan pertanahan dari pemerintah pusat kepada pemerinah daerah, maka sampai saat ini berdasarkan Perpres Nomor 10 Tahun 2006, urusan pertanahan menjadi urusan pemerintah pusat.
Dalam urusan pertanahan BPN tidak memiliki kewenangan yang begitu kuat karena dari semua instansi pemerintah maupun perguruan seperti Universitas Gajdha Mada sebagian besar adalah tanah Kasultanan Yogyakarta. Sementara Wibowanto (2011) menjelaskan bahwa kebijakan masalah tanah ditangani BPN sebagai instansi vertikal dan sebagai bentuk perlindungan terhadap warga yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di tanah SG dan PAG, pemerintah daerah hanya bisa membantu memohon ke pihak Karaton. Bahkan, Undang-Undang Pokok Agreria seakan tidak kuasa menembus sistem pengelolaan mandiri terhadap tanah Keraton atau yang lebih dikenal dengan tanah SG dan PAG.
Oleh karena itu, pengaturan tentang tanah merupakan kewenangan pemerintah DIY. Hal ini bisa dilhat pada Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1950 dan BAB X Pasal 32 sampai dengan Pasal 33 setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY, kemudian DIY mendapat hak untuk mengurus beberapa hal dalam rumah tangganya, salah satu
(4)
4
diantara urusan yang menjadi kewenangan pemerintah DIY adalah pembentukan kelembagaan dalam bidang keagrariaan dan pertanahan.
Tanah Keraton Yogyakarta terhampar luas di seluruh wilayah DIY. Berdasarkan data dari BPN DIY mencatat SG dan PAG berjumlah sebanyak 6.283 persil. Sebanyak 1.160 bidang diantaranya telah diukur secara kadasteral dengan luasan sekitar 47,4 Hektar. Rinciannya, 230 bidang di Bantul, 198 bidang di Kulon Progo, dan 732 bidang di Gunungkidul. Adapun, 1.485 bidang di Sleman belum diukur. Ini merupakan hasil pemetaan pada tahun 2005 (Harian Jogja, Jumat 6 September 2013).
Dari sembilan kritik terhadap Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY salah satu diataranya yang berkaitan dengan urusan pertanahan. Didalamya menyebutkan bahwa dalam bidang pertanahan, Kasultanan dan Kadipaten ditetapkan sebagai badan hukum. Pertanyaanya adalah apakah sebagai badan hukum privat atau publik. Lalu bagaimana dengan tanah-tanah yang selama ini telah dikelola masyarakat dan dilepaskan kepada pihak lain. Apakah kemudian harus dibatalkan. Menurut Sultan akan lebih tepat Kasultanan dan Kadipaten ditegasan sebagai subyek hak atas tanah (http://news.okezone.com). Maka dengan adanya keritikan sebelumnya, maka dengan adanya kelembagaan Kasultanan dalam urusan pertahanan tidak menutup kemungkinan adalah untuk mempertahankan status tanah SG dan PAG. Hal tersebut bisa dilihat pada Undang-Undang Keistimewaan DIY Nomor 13 Tahun 2012 dalam Pasal 32
(5)
5
menjelaskan bahwa Kasultananan dan Kadipaten memiliki kewenangan sebagai badan hukum atas tanah yang dimiliki di DIY.
Selanjutnya Huda (2014) menjeskan bahwa didalam UU Nomor 13 Tahun 2012 ditegaskan bahwa kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan pemerintahan daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tetang pemerintahan daerah dan urusan keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; b. Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; c. Kebudayaan; d. Pertanahan; dan e. Tata Ruang.
Keistimewaan dari pemerintah DIY adalah terdapat dua peraturan dalam urusan penyelenggaraan merintahan diataranya yaitu Pertama, Peraturan Daerah DIY, selanjutnya disingkat Perda, yang mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Kedua adalah tentang Perdais, yang mengatur penyelenggaraan kewenangan istimewa. Oleh sebab itu, dengan adanya kedua landasan peraturan tersebut, maka memungkinkan akan mempermuda pemerintah DIY dalam melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Melalui Undang-Undang Keistimewaan DIY saat ini sangat mendukung pemerintah DIY dalam menyelesaikan masalah pertanahan antara pemerintah pusat dan daerah. Upaya yang dilakukan oleh Pemda DIY dalam kelembagaan
(6)
6
pertanahan yang membuat secara jelas status tanah yang telah diberikan kepada masyarakat atau Hak Guna Bangunan (HGB). Maka yang menjadi ketertarikan dalam penelitian ini adalah bagaimana regulasi dalam pelimpahan kelembagaan pertanahan yang diberikan oleh Kasultanan kepada badan atau lembaga yang telah mendapat kewenangan dalam urusan pertanahan berdasarkan nilai-nilai norma yang masih dipertahankan oleh Keraton Yogyakarta selama ini.
I.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kelembagaan Kasultanan dalam mengelola bidang pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta ?
I.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian I.3.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kelembagaan Kasultanan yang ingin dilihat dari aspek regulatif, normatif dan kultural-kognitif dalam mengelola bidang pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta
1.3.2 Manfaat Penelitian
Kemudian manfaat dari hasil penelitian ini tidak lain adalah diharapkan mampu menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti untuk mendalami pengetahuan tentang kelembagaan pertanahan SG dan PAG di DIY, dimana
(7)
7
penelitian ini dilakukan dengan penggunanan secara kelembagaan. Oleh karena itu, peneliti juga berharap bahwa penelitian ini mampu memberikan beberapa manfaat diataranya yaitu:
a. Adapun secara akademik hasil penelitian ini mampu memberikan kontribusi bagi mahasiswa lainya, serta dapat memberikan pengembangan bagi kajian terhadap kelembagaan Kasultanan Yogyakarta dalam bidang pertanahan di DIY dan sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
b. Secara Praktis dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi oleh pemerintah DIY tentang kelembagaan Kasultanan dalam bidang pertanahan di Daerah Istemewa Yogyakarta.
(8)
8
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Kajian Pustaka
Terdapat beberapa penelitian yang terkaitan dengan peneliti lakukan. Pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Umar (2006) dengan judul
penelitian “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah Berlakunya UU Nomor 5 / 1960”. Hasil dari penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan dalam bidang pertanahan diKasultanan Yogyakarta setelah adanya reorganisasi berdasarkan asas domein verklaring. Asas ini merupakan pernyataan sepihak dari Sultan. Dengan lahirnya Negara Republik Indonesia, membawa perubahan status Kasultanan Yogyakarta, semula sebagai bagian dari pemerintah Hindia Belanda (kontrak politik 1940), sekarang menjadi bagian dari Republik Indonesia dengan status Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang –Undang Nomor 3/1950 dan Undang-Undang Nomor 19/1950. Sebagai konsekuensi dari pelimpahan wewenang tersebut, maka pemerintah DIY memiliki kewenangan dalam membuat peraturan yang menyangkut masalah kelembagaan pertanahan.
Kemudian Penelitian lainya adalah penelitian yang dilakukan oleh (Pratama, dkk, 2013) dengan judul penelitian” kajian tentang politik hukum undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah
(9)
9
Yogyakarta”. Hasil dari penelitian ini adalah pembentukan undang-undang keistimewaan yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang kemudian menggatikan Undang-Undang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Bahwa Indonesia dalam konsepsi otonomi daerahnya menganut desentralisasi asimetris artinya telah mengakui secara yuridis konstitusional daerah otonom yang bersifat khusus dan istimewa. Pengakuan terhadap Dearah Istimewa Yogyakarta tidak terlepas dari faktor filosofis, sosiologis, dan yuridis. Keistimewaan pemerintah DIY, mencakup tanah sebagai wilayah kekuasaan, tata ruang, kebudayaan, kelembagaan pemerintah DIY serta penetapan yang telah berlangsung dari masa ke masa dan sekaligus inti keistimewaan yang melekat pada keistimewaan DIY.
Selanjutnya, Wibawanti dan Harjiyatni (2008) dengan judul penelitian ini
“Pemberian hak dalam pemanfaatan tanah pesisir pantai untuk transmigrasi Ring
I di Kabupaten Kulon Progo”. Hasil penelitian ini adalah transmigrasi pada umumnya dilaksanakan dengan memindahkan penduduk dari pulau Jawa yang jarang penduduknya. Tetapi transmigrasi juga bisa dilakukan untuk memindahkan penduduk dalam satu kabupaten. Hal ini juga dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Kulon Progo, yaitu memindahkan penduduk tetapi masih dalam satu kabupaten. Permasalahan yang lain muncul adalah mengenai hak transmigran dalam memanfaatkan lahan pasir pantai. Apabila selama ini masyarakat peserta transmigrasi mempunyai tanah dengan status hak miliki, maka dengan ditinggalkannya tanah tersebut dan pindah ke tempat yang baru,
(10)
10
perlu dipertanyakan mengenai status kepemilikan terhadap tanah semula, disamping itu juga status para transmigran terhadap tanah yang baru, dilokasi transmigrasi.
Sementara, Herbarina dan Sina (2013) dengan judul penelitian “Ekesistensi tanah Ground di wilayah kerajaan Gunung Tabur dalam sudut pandang hukum
adat”. Hasil dari penelitian ini adalah tanah yang terdapat di Kerajaan Gunung Tabur merupakan tanah kerajaan yang sampai sekarang eksestensinya tetap dipertahankan sehubungan dengan diakuinya hukum adat pada UUPA. Sampai sekarang tanah kerajaan Gunung Tabur tetap diakui oleh pemerintah setempat, akan tetapi masih sering muncul tentangan atau perselisihan hukum mengenai tanah kerajaan tersebut, selain diatur oleh hukum adat, tanah juga diatur oleh hukum nasional, halinilah yang sering menimbulkan kerancuan bagi kerajaan Gunung Tabur tentang eksestensi tanah kerajaan tersebut.
Kemudian, Sukisno (2014) dengan judul penelitian menyimpulkan bahwa
“Pengelolaan Tanah Kasultanan (Sultan Grond) Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta”. Hasil penelitian ini adalah Pertama, penetapan Kasultanan sebagai Badan Hukum yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah sebagaimana diatur di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 mengakibatkan adanya perubahan pada pengelolaan tanah Kasultanan, hal ini disebabkan karena adanya perubahan status dari lembaga Kasultanan yang pada mulanya merupakan suatu lembaga pemerintahan yang lebih bersifat sebagai
(11)
11
Badan Hukum publik berubah menjadi Badan Hukum yang lebih mengarah bersifat privat. Kedua, Dengan ditetapkannya Kasultanan sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah ada beberapa konsekuensi yang harus dihadapi oleh lembaga Kasultanan diantaranya; a). Harus menyusun struktur kelembagaan yang khusus mengurusi tanah Kasultanan secara lebih sempurna mengingat tugas pengelolaan yang akan diemban kedepan cukup besar, yaitu banyaknya permintaan pemanfaatan tanah Kasultanan oleh pihak ketiga baik untuk kepentingan sosial, kepentingan umum pemerintah, dan kepentingan komersial b). Menyiapkan biaya-biaya yang harus ditanggung terkait dengan pengelolaan tanah diantaranya untuk membayar honor petugas yang melaksanakan pengelolaan tanah Kasultanan. c). Kemungkinan adanya beban-beban kewajiban yang harus ditanggung terkait dengan adanya lalu lintas hukum berkenaan dengan pemanfaatan tanah Kasultanan.
Kewenangan yang dilakukan oleh Kasultanan Yogyakarta setidaknya mampu menyesaikan masalah tanah pada saat ini, sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah mengurus rumah tangganya. Dengan kata lain, peraturan yang dibuat oleh pemerintah DIY dari zaman Hindia Belanda atas wewenang dalam ursusan pertanahan belum bisa memberikan kejelasan yang kuat tentang status tanah yang ada DIY, sebab masalah pembangunan di DIY masih terjadi konflik pertanahan. Tinjauan literatur tersebut dapat dirangkum dalam tabel berikut.
(12)
12
Tabel 2.1 Kajian Pustaka
Nama Judul/ Tahun Kesimpulan/Temuan
Umar Eksistensi Tanah
Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah Berlakunya UU Nomor. 5 /1960/2006.
Tanah– tanah Keraton Yogyakarta setelah berlakunya UU No. 5 tahun 1960 tidak banyak mengalami perubahan, sebab diktum ke – IVUUPA belum ada peraturan pemerintah sebagai pelaksanaannya, meskipun sebagian tanah swapraja sudah dikuasai oleh pemerintah daerah. Tanah–tanah swapraja yang ada di DIY, sampai sekarang masih dikenal dengan istilah
Sultanan ground atau Siti Kagungandalem.
Pratama, Saraswati, dan Suparno
Kajian tentang politik hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang keistimewaan daerah Yogyakarta/2013
Pengakuan Dearah Istimewa Yogyakarta tidak terlepas dari faktor filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Wibawanti dan Harjiyatni
Pemberian hak dalam pemanfaatan tanah pesisir pantai untuk transmigrasi Ring I di Kabupaten Kulon Progo/2008.
Transmigrasi di lokasi Transmigrasi Ring I di kabupaten Kulon Progo tidak diberikan suatu hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam UU Ketransmigrasian.
Herbarina dan sina
Ekesistensi tanah Sultan Ground di wilayah kerajaan Gunung Tabur dalam sudut pandang hukum adat/2013
Para sultan kerajaan Gunung Tabur, masih mengganggap tanah peninggalan kerajaan sebagai tanah mereka, tetap dipertahankan sebagai tanah Sultan Ground yang khusus digunakan untuk menyokong ekonomi keluarga sehari-hari dan mempertahankan kekerabatan. Sukisno Pengelolaan Tanah
Kasultanan (Sultan Grond) Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang
Kasultanan sebagai Badan Hukum yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah mengakibatkan adanya perubahan status lembaga Kasultanan menjadi Badan Hukum yang setara dengan Badan Hukum privat. Konsekuensi dari perubahan tersebut mengakibatkan
(13)
13 Keistimewaan
DIY/2014
adanya perubahan pengelolaan tanah Kasultanan dan timbulnya beban kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh lembaga Kasultanan dalam rangka pengelolaan tanah Kasultanan.
Hasil penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa persoalan pertanahan di DIY dari zaman Hidia Belanda sampai dengan lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentangkewenangan keistimewaan pemerintah DIY dalam mengurus masalah pertahanyang ada di Yogyakarta masih belum membuktikan keberhasilan dari sebuah daerah otonomi yang telah diberikan hak keistimewaan. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan padamodel kelembagaanKasultanan dalam mengelola bidang pertanahan dengan menggunakan pedekatan secara kelembagaan. pendekatan kelembagaan dapat dilihat dari aspek regulatif, normatif dan kultural-kognitif. Dari lembaga pertanahan yang selama ini mengelola tanah SG dan PAG di DIY seperti Kanwil BPN DIY, Paniti Kismo Keraton Yogykarta, DPRD Komisi A DIY dan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY. Oleh karena itu, adanya pendekatan kelembagaan yang dilakukan oleh peneliti maka dapat dikatakan bahwa secara kajian pustaka penelitian ini berbeda dengan penelitian lainya.
(14)
14
2.2 Kajian Teori
2.2.1. Kelembagaan
Menurut Scott (2008:28) institusi dibangun dari elemen-elemen regulatif, normatif, dan budaya-kognitif yang semuanya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan dan sumber daya, yang memberikan stabilitas dalam kehidupan sosial. Hal ini menyebabkan kewenangan yang dimiliki oleh Sultan dalam bidang pertahanan di DIY tidak bisa dilepaskan dari elemen-elemen tersebut. Pontensi sumber daya dalam bentuk pertanahan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah DIY sebagai institusi yang merangkul aspirasi masyarakat dalam bidang pertanahan harus mampu menjaga stabilitas kehidupan dan tatanan sosial masyarakat.
Selanjutnya, Scott (2008:52) menjelaskan dengan lebih rinci mengenai tiga pilar tersebut adalah regulatif, normatif dan kognitif budaya yaitu:
1) Regulatif adalah suatu peraturan yang ada dalam suatu lembaga, peraturan tersebut terdiri dari kekuatan, kebijakan-kebijakan, dan sanksi yang telah dibuat oleh lembaga itu. Artinya dengan regulatif
tersebut, maka memungkinkan lembaga tersebut dalam aksinya dapat memberikan lisensi, kekuasaan khusus, dan manfaat bagi lembaga itu sendiri.
2) Normatif adalah suatu konsep norma-norma yang digunakan dalam suatu lembaga, dimana norma tersebut merupakan pedoman dasar bagi kebijakan-kebijakan lembaga. Norma dapat membangkitkan
(15)
15
suatu perasaan kuat untuk para anggota dari lembaga tersebut. Konsepsi normatif dalam suatu lembaga menekankan dalam mempengaruhi stabilitas sosial dan norma-norma yang baik bagi masyarakat.
3) Kognitif budaya yaitu pemikiran tentang suatu budaya yang ada dalam lembaga. Kognitif budaya diantaranya berisi tentang paham, keyakinan, pengikat, dan bersifat isomorf. Kognitif dalam makana budaya dalam teori ini akan sangat penting, karena kognitif budaya dalam teori ini lebih bisa berubah-ubah dibandingkan dengan dua pilar lain yaitu regulatif dan normatif.
Dapat dijabarkan bahwa institusi mempunyai nilai-nilai dalam suatu tatanan kelembagaan yang sulit dilepaskan dengan kehidupan sosial masyarakat. Lembaga yang dibentuk oleh Negara dalam bidang pertanahan seperti BPN dapat menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan pedoman kelembagaan yang sudah diatur. Segala urusan administrasi dan pendukemtasian dari semua jenis pertanahan yang ada di DIY selama ini dijalankan oleh BPN. Namun yang terjadi, BPN DIY meminta persetujuan terlebih dahulu dari Kasultan.
Kelembagaan berasal dari kata lembaga, yang berarti aturan dalam organisasi atau kelompok masyarakat untuk membantu anggotanya agar dapat berinteraksi satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Ruttan dan Hayami: 1984). Kepentingan masyarakat untuk di dahulukan adalah
(16)
16
kewajiban bagi setiap lembaga pemerintah. Kewenangan dari Paniti Kismo dalam bidang pertanahan merupakan kewenangan besar Sultan untuk mempermuda masyarakat DIY menempati tanah SG dan PAG. Jika dengan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) justru membuat akan ancaman bagi pemerintah DIY, maka tidak menutup kemungkinan kelembagaan dari Kasultanan Yogyakarta akan menjadi berkurang karena status Sultan Ground dan Pakualaman Ground beralih statusnya menjadi milik negara sepenuhnya.
Selanjutnya, Scott (2008: 36) menjelaskan bahwa New Institutional Theory
adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi.
Kelembagaan berisi sekelompok orang yang bekerjasama dengan pembagian tugas tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Tujuan peserta kelompok dapat berbeda, tapi dalam organisasi menjadi suatu kesatuan (Bobi, 2002:1). Jadi kelembagaan atau terutama kelembagaan formal seperti Dinas Pertanahan di DIY dan DPRD lebih ditekankan pada adanya aturan main didalamnya (the rules) yang menjadi panduan bagi pelaksanaan kerja-kerja lembaga tersebut dan kegiatan kolektif (collective action) dalam mewujudkan kepentingan masyarakat secara umum yang mengacu pada Perdais yang telah ditetapkan.
Tiga jenis dasar dari lembaga yaitu: Lembaga Sistem Otoriter, terdapat dua tingkatan kedudukan, atasan dan bawahan. Atasan bertugas untuk membina dan
(17)
17
menguasai yang lain, suka maupun tidak suka, biasanya ditentukan oleh keturunan, kekayaan, umur, pendidikan, kedudukan atau kemampuan, hal ini menyebabkan atasan memutuskan segala sesuatu sendiri; Lembaga Sistem Demokrasi, semua anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dan seimbang, pemimpin berfungsi sebagai yang satu dari yang sama; Lembaga
Sistem “Biarkan Saja” (claissez faire) semua anggota sama tingkat kedudukan dan fungsi sehingga menyebabkan pemimpin tidak memiliki arti dan tidak mempunyai fungsi (Wiryanto F, 1986: 101).
Dari pejelasan diatas tentang sistem dasar kelembagaan, maka kelembagaan sistem otoriter, kelembagaan sistem demokrasi, maupun kelembagaan sistem claissez faire pada dasarnya memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan tugas dan fungsinya serta pemberian hak dalam kelembagaan Kasultanan Yogyakarta di DIY kepada lembaga yang dipercayakan dalam bidang pertanahan.
Dari ketiga elemen diatas, dalam membangun kelembagaan walau kadang-kadang ada yang dominan, tapi mereka berkerja dalam kombinasi. Ketiganya datang dari perbedaan cara pandang terhadap sifat realitas sosial dan keteraturan sosial dalam tradisi sosiologi sebelumnya. Ketiga elemen tersebut adalah aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-cognitif. Maka ketiga elemen yang digunakan dalam kelembagaan akan besifat dominan dengan keadaan tertentu ketika realitas yang terjadi dimasyarakat DIY terjadi pergeseran tradisi yang sudah berlaku sebelumnya. Sehingga peran dan kewenangan dari Sultan
(18)
18
Yogyakarta beserta lembaga yang yang mempunyai kewenangan dalam pertanahan harus mampu membuat aturan yang dapat disesuaikan dengan keadaan masyarakat DIY pada saat ini.
2.2.2. Instrumen Kelembagaan Baru (New Institutions)
Jika dirumuskan, bahwa lembaga adalah sebagaian hal yang didalamnya yang berisi tentang normatif, regulatif, dan kultural-kognitif yang menjadi pedoman bagi sumber daya yang menjalankan, dan sekaligus hambatan untuk pelaksanaan kewenangannya sebagai Sultan Yogyakarta, kelembagaan yang dibentuk dalam mengawasi urusan pertanahan sangat erat kaintanya dengan norma-norma yang suda berjalan selama ini, oleh sebab itu regulasi dalam kelembagaan harus berpihak sesuai dengan kultural masyarakat DIY.
Tiga pilar diatas jika dikaitkan dengan penelitian tentang kelembagaan Kasultanan Yogyakarta dalam bidang pertanahan dengan menjalankan tata kelola pemerintahan yang menuju pada pemerintah yang baik maka akan mampu menjawab pemasalahan yang terkait dengan pertanahan selama ini di DIY. Sehingga adapun penafsiran tentang suatu kelembagaan yang didalamnya didasari oleh (Scott:2008). Pertama, institusi sosial yaitu struktur dimana struktur tersebut telah mencapai derajat kelenturan yang tinggi. Kedua, institusi juga terdiri didalamnya suatu elemen seperti: kultural-kognitif, normatif, dan regulatif, dimana elemen tersebut membentuk pilar-pilar institusi. Ketiga,
(19)
19
institusi juga dapat ditransformasikan ke berbagai instrumen yaitu: sistem simbolik, sistem relasi, rutinitas, dan artefak.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik suatu variabel penelitian terkait dengan lembaga pemerintahan DIY yang memiliki peran andil dalam pengelolaan tanah SG dan PAG, baik lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun lembaga yang dibentuk oleh Kasultanan Yogyakarta. Maka oleh karena itu, untuk mengetahui hubungan dari lembaga tersebut. Tentu dapat dilihat dari instrument seperti sistem simbolik, sistem relasi, rutinitas, dan artifact. Dimana dari instrumen tersebut mencangkup tentang sistem regulasi, normatif, dan kultur-budaya suatu lembaga.
Kemudian, Scott (2008) juga mengembangkan tiga pilar dalam tatanan sebuah kelembagaan, yaitu regulatif, normatif, dan kognitif. Pada pilar regulatif menekankan aturan dan pengaturan sanksi, pilar normatif mengandung dimensi evaluatif dan kewajiban, sedangkan pilar kognitif melibatkan konsepsi bersama dan frame yang menempatkan pada pemahaman makna. Setiap pilar tersebut memberikan alasan yang berbeda dalam hal legitimasi, baik yang berdasakan sanksi hukuman, secara kewenangan moral dan dukungan budaya. Jika dikaitkan dengan ketiga pilar diatas, maka kelembagaan yang ada di tatanan pemerintahan DIY akan jauh lebih baik karena mampu menjawab permasalan pertanahan di DIY.
Adapun banyak pendapat yang menganalisis tentang institusi dari aspek politik, ekonomi dan sosial, tetapi menurut scott (2008) mereka lebih percaya
(20)
20
pada tiga pilar tadi yaitu, normatif, kognitif, dan regulatif dan ada yang mengemukakan regulatif rule (Aturan) yang membantu memberikan tugas dan struktur pada aktor yang sudah ada, aturan institutif , menciptakan aktor-aktornya dan memberikan tugas untuk melakukannya. Karena lembaga yang terdiri dari regulasi, normatif dan kognitif budaya yang sama dengan terkait dan sumber daya memberikan stabilitas dan makna untuk kehidupan social.
Sementara Davies (2004), menjelaskan bahwa pada empat studi kasus lengkap dan bukti dari penelitian yang sedang berlangsung ke New Deal Communities untuk masyarakat (NDC). Berargumen bahwa Inggris dengan gaya kemitraan cenderung untuk mewujudkan nilai-nilai yang saling bertentangan dan pola hirarkis organisasi. Oleh karena itu, seiring perjalanan bentuk kemitraan/kerjasama belum menetapkan diri sebagai mekanisme yang dibangun atas hubungan yang kuat. Hal ini menyimpulkan bahwa saat ini kelembagaan yang berada dibawah kewenangan Sultan DIY adalah saat yang tepat untuk mengembangkan pengetahuan Tentang jalan membentuk dan perubahan kelembagaan berdasarkan Perdais yang merupakan bagian dari DIY sebagai daerah yang diistimewakan dengan UUK yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Selanjutnya, David (2008) menambahkan bahwa penelitian ini berfokus pada pengembangan hubungan antara pemimpin bisnis lokal dan elit politik. Temuan ini didukung dengan wawasan dari penelitian kontemporer pada
(21)
21
program regenerasi lingkungan unggulan buruh baru New Deal Communities
untuk masyarakat (NDC). Artikel dimulai dengan mengeksplorasi konsep dan perkembangan terakhir dalam teori institusional.Secara garis besar metodologi penelitian diikuti dengan analisis institusionalis pengembangan kemitraan.
Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa kerjasama tidak mencerminkan sebuah rangkaian penyelesaian yang dependen. Akan tetapi sebaliknya, mereka adalah jalan yang membentuk arena di mana terdapat nilai-nilai yang berbeda dan mengatur mekanisme bersaingdalam pemerintah daerah, ada satu set yang dominan nilai-nilai yang mendukung kemitraan, bersama oleh unsur-unsur bisnis lokal dan masyarakat setempat.
Namun, nilai-nilai ini belum diterjemahkan ke dalam praktek institusi terikat aturan yang menghasilkan pengembalian penambahan yang stabil dan membatasi perkembangan konsep nasional. Keterlibatan warga setempat dalam kemitraan (NDC), sering muncul untuk mengintensifkan pertentangan tentang aturan, sedangkan inisiatif pembangunan ekonomi berdasarkan hubungan bilateral antara pemerintah daerah dan bisnis lokal dapat berjalan lancar untuk institusionalisasi jaringan (David, 2005).
Dari sudut pandang Olsen (2005) bahwa institusi sesuatu yang secara tidak mutlak memberikan wewenang dan mewajibkan pelaku-pelaku secara berbeda dan membuat para pelaku lebih atau kurang mampu bertindak seturut perspektif aturan yang pantas. Institusionalisme merupakan suatu terminologi yang
(22)
22
berkaitan dengan pendekatan umum terhadap studi tentang institusi-institusi politik. Jadi institusi adalah kumpulan-kumpulan dari struktur-struktur, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur pelaksanaan standar yang memiliki peran sebagai otonom dalam kehidupan berpolitik.
Institusionalisme mengandung dua perspektif yang berbeda tentang politik.
Pertama; rational actor (pelaku rasional) yakni suatu perspektif yang melihat perpolitikan sebagai yang terorganisir oleh perubahan di antara perhitungan dan kepentingan pribadi pelaku. Kedua; Cultural Community (komunitas budaya) yang melihat perpolitikan sebagai yang teroganisir oleh nilai-nilai dan pandangan-pandangan tentang dunia bersama dalam suatu komunitas dari budaya, pengalaman, dan visi bersama.
Temuannya tentang pengaruh institusi adalah aturan yang dihubungkan dan dipertahankan melalui identitas, melalui rasa keanggotaan dalam kelompok dan pengenalan akan peran. Sekalipun demikian, selalu ada kemungkinan terjadinya persaingan anturan-aturan dan antar-interpretasi tentang aturan dan situasi. Organisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti bagaimana kegiatan-kegiatan dibagi, posisi apa yang ditempati tiap individu, dan tanggung jawab. Maka oleh karena itu temuannya adalah identifikasi dipengaruhi juga oleh masa jabatan dan perpindahan, perbandingan antara veteran dan pendatang baru, kesempatan untuk promosi dan waktu rata-rata antara promosi, pengalihan tugas dari luar, kepemilikan luar dari kelompok-kelompok yang berbeda.
(23)
23
Kemudian, Olsen (2006) melihat bahwa aspek dari perkembangan institusionalisme baru dan pengaruhnya untuk mengembangkan pemahaman teori tentang bagaimana kehidupan politikdisusun. Adapun yaitu, (a). kontekstual: melihat politik sebagai bagian dari masyarakat, kurang cenderung untuk membedakan organisasi dari masyarakat; (b) reduksionis: melihat fenomena politik sebagai konsekuensi agregat dari sikap individu, untuk menganggap hasil dari politik ke struktur organisasi dan aturan perilaku yang sesuai; (c) ulitarian: melihat tindakan sebagai produk dari ketertarikan pribadi, kurang melihat pelaku politik sebagai pelaksana obligasi dan tugas; (d) fungsionalis: melihat sejarah sebagai mekanisme yang efisien untuk mencapai keunikan ekuilibrum yang sesuai, kurang peduli dengan kemungkinan untuk
maladaptation dan ketidakunikan dalam perkembangan sejarah; (e) instrumentalis: berkaitan dengan membuat keputusan dan alokasi dari sumber sebagai perhatian utama dalam dunia politik, kurang perhatian pada cara mengorganisir kehidupan politik pada perkembangan makna melalui simbol, ritual, dan seremoni.
Dalam temuan ini bahwa mereka bekerjasama berdasarkan kesadaran tentang sebuah pengaturan fenomena yang lebih mudah diamati dari pada perpindahan. New Institutionalisme atau kelembagaan baru secara empiris berdasarkan prasangka, pernyataan bahwa apa yang kita amati di dunia tidak konsisten dengan cara di mana teori kontemporer meminta kita untuk berbicara. Sehingga kelembagaan pada pemerintah DIY sudah saatnya mengarah pada
(24)
24
institusional baru yang lebih menekankan pada aspek regulasi, normatif, dan kultural-kognitif masyarakat DIY saat ini. Adapun istrumen kelembagaan akan di jelaskan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Instrumen Kelembagaan
Instrumen Regulatif Normatif Cultural cognitive
Sistem
Simbolik Aturan dan Hukum Nilai dan harapan
Kategori, tipikasi dan skema Sistem
Relasi
Sistem tatakelola dan sistem kekuasaan
Sistem kewenangan Rezim
Isomorfis structural, identitas
Rutinitas Protokol dan SOP
Pekerjaan, Peran, Kepatuhan pada tugas
Scripts/kesepakatan
Artifact Mandat
Kesepakatan berbasis nilai yang distandarisasi
Sitem nilai simbolik yang diproseskan Sumber: W. Richard Scott (2008:79)
Dari tabel di atas menjelaskan tentang bagaimana instrumen dari kelembagaan yang dikemukakan oleh Scott (2008) dapat terlaksana dengan baik. Oleh karena itu instrumen tersebut yang ada pada penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun sebagai dasar dalam melakukan analisis. Kelembagaan pada Kasultanan Yogyakarta dalam bidang pertanahan serta tata kelola pemerintahan menuju pemerintah yang baik dengan melihat fenomena sosial masyarakat di DIY saat ini dapat disebabkan oleh adanya sistem simbolik, sistem relasi, rutinitas dan artifac yang telah tersusun dengan baik.
(25)
25
Berdasarkan beberapa pengertian dari teori diatas, dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan suatu aktivitas manusia yang saling berhubungan dengan adanya keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya dan berada pada sebuah wadah organisasi sehingga keterikatan antar mereka ditetapkan berdasarkan adanya tujuan yang disepakati secara bersama yang didalamnya berisi tentang regulasi, normatif dan kultur-kognitif demi terlaksananya suatu lembaga yang baik.
Dari pilar-pilar tersebut, maka kewenangan Kasultanan dalam bidang pertanahan di DIY dapat dilihat ketika di dalam tata kelola pemerintahan juga memiliki peran dalam pengelolaan tanah SG dan PAG. Oleh karena itu Kasultanan sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengakomodir hak-hak masyarakat yang berkaitan dengan persoalan pertanahan dari zaman Hindia Belanda walaupun belum ada kejelasan yang kuat. Keterlibatan Kasultanan sebagai bentuk representasi dari masyarakat akan sangat berpengaruh pada terciptanya ketentraman sesuai dengan karakteristik pelaksanaan Kasultanan di DIY dalam pengelolaan tanah SG dan PAG. Selain itu, sebagai daerah yang memiliki karaktristik pemerintahan yang berbeda dengan pemerintahan di daerah lainya. Tentu juga memiliki tugas pokok dan fungsi kelembagaan yang berbeda.
(26)
26
Agar lebih memahami alur pemikiran dalam penelitian ini, maka berikut peneliti sajikan dalam bentuk skema:
2.4. Definisi Konseptual a) Kasultanan DIY
Kasultanan adalah lembaga pemerintahan DIY yang memliki tatanan kelembagaan dalam bentuk kerajaan sehingga nilai-nilai yang dijalankan berdasarkan aturan-aturan yang dibuat oleh kerajaaan, maka Kasultanan DIY memiliki hak istimewa untuk mengurus rumah tangganya. Hal tersebut kembali diperkuat oleh Negara dengan memberikan Hak keistimewaan melalaui Undang-Undang Keistimewaan.
b) Kelembagaan
Lembaga merupakan aspek yang menekan pada elemen normatif, regulatif, dan kultural sehingga kelembagaan yang dimiliki suatu daerah harus mampu menyusaikan pada fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat.
c) Pertanahan DIY
Merupakan tanah yang memiliki oleh Keraton di DIY dengan kreteria yang berbeda baik tanah Kasultanan, tanah Pakualaman mapun tanah yang dimiliki oleh masyarakat saat ini. Pertanahan yang dimiki oleh keraton
KelembagaanKasultana n Sebagai Lembaga Pengakomodir Hak
Masyarakat
Normatif Dalam Bidang
Pertanahan Regulatif Dalam Bidang
Pertanahan
Kultur-Kognitif Dalam Bidang
(27)
27
maupun yang dimiliki oleh masyarakat wajib mendukung pembangunan yang ada di DIY guna meningkatkan infrastruktur daerah agar menjadi lebih baik dengan didasari nilai-nilai yang di daerah tersebut.
2.5. Definisi Operasional
Berikut penelitian ini disajikan dalam bentuk beberapa indikator tentang konsep kelembagaan pemerintah ataupun kelembagaan Kasultanan Yogyakarta berdasarkan teori kelembagaan. Jadi kerangka operasional disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.3 Operasional Penelitian
Instrumen Elemen Aspek Indikator
Sistem Simbolik
Regulatif Aturan dan Hukum Kasultanan dalam tata kelola pemerintahan DIY
Aturan hukum yang jelas, sistem monitoring dan sanksi di DIY
Normatif Nilai dan harapan dari KasultananYogyakarta
Sistem nilai dan harapan oleh aktor (Sultan)
Cultural cognitive
Kategori, tipikasi dan skema Kasultanan
Ciri khas nilai yang digunakan dalam Kasultanan
Sistem Relasi
Regulatif Sistem tatakelola dan sistem kekuasaan di Kasultanan Yogyakarta
Struktur organisasi dan pembagian kewenangan di Kasultanan
Normatif Sistem kewenangan Rezim di Kasultanan Yogyakarta
Penggunaan kekuasaan dan demokratis hubungan kekuasaan secara informal yang mewarnai interaksi antar lembaga khususnya di Kasultanan Yogyakarta
Cultural cognitive
Isomorfis structural, identitas di Kasultanan Yogyakarta
Sistem nilai yang disepakati dan sistem simbol yang dibanggakan di Kasultanan Yogyakarta
Rutinitas
Regulatif Protokol dan SOP Kasultanan Yogyakarta
Aturan organisasi dan SOP
pengambilan keputusan
KasultananYogyakarta Normatif Pekerjaan, Peran
Kepatuhan pada tugas di Kasultanan Yogyakarta
Deskripsi pekerjaan dan kepatuhan pada tugas KasultananYogyakarta
(28)
28
Cultural cognitive
Scripts Kasultanan Yogyakarta
Kebiasaan organisasi sesuai dengan nilai lokaldi Kasultanan Yogyakarta
Artifact
Regulatif Mandat yang ada di Kasultanan Yogyakarta
Kewenangan yang dilimpahkan lewat undang-undang pada Kasultanan Yogyakarta
Normatif Kesepakatan berbasis nilai yang distandarisasi olehKasultanan
Yogyakarta
Kesepakatan lokal Kasultanan Yogyakarta dan masyarakat
Cultural cognitive
Sistem nilai simbolik yang diproseskan
Sistem nilai yang dipraktekkan dalam tata kelola pemerintahan
(29)
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Karena menurut Moleong (2012:6) penelitian kualitatif merupakan pemahaman tentang fenomena yang sedang dialami oleh subyek penelitian baik secara holistik ataupun dengan cara memanfaatkan berbagai metode alamiah. Sehingga fenomena yang terjadi dalam bidang kelembagaan terhadap urusan pertanahan di DIY sangat mendukung peneliti untuk melakukan penelitian dengan metode kualitatif berdasarkan karakteristik penelitian dilapangan.
Senada dengan penjelasan diatas bahwa Agus Salim (2006:4) juga mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) data penelitian diperoleh secara langsung dari lapangan, dan bukan dari labotorium atau penelitian yang terkontrol; (2) penggalian data dapat dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada situasi-situasi alamiah subyek; dan (3) untuk memperoleh makna baru dalam bentuk kategori-kategori jawaban, peneliti wajib mengembangkan situasi dialogis sebagai situasi ilmiah.
(30)
30
Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana kewenangan dari kelembagaan yang berada di bawah Sultan dalam bidang pertanahan di DIY serta akan mengnalisa data secara kualitatif. Peneliti juga menggunakan instrumen wawancara dalam bentuk konsioner dengan tujuan memperoleh beberapa data penelitian dan memaparkannya secara rinci tentang fenomena-fenomena apa yang diteliti pada pedoman kelembagaan DIY dalam bidang pertanahan. Selain itu, penelitian ini juga akan menggambaran tentang bagaimana proses fenomena serta dampaknya berdasarkan fokus penelitian ini.
3.2. Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah bertempat di Daerah Istimewa Yogtakarta. Salah satu alasan peneliti memilih DIY sebagai lokasi penelitian karena dari segi fokus penelitian yang ingin diteliti sangat relevan dengan permasalahan yang ada, disamping itu waktu dan biaya, jarak untuk mencari informan pada lembaga seperti BPN DIY, DPRD DIY Komisi A, Paniti Kismo, Biro Tata Pemerintahan Setda DIY dan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY merupakan lokasi yang efesien dengan fokus penelitian yang ingin diteliti oleh peneliti dalam penelitian ini.
3.3. Jenis Data
Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Menurut Lofland (dalam Moleong, 2012;157) mengatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif merupakan
(31)
31
kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
3.3.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli objek penelitian. Data primer berupa opini, atau keterangan objek (orang) yang diperoleh dari kelompokatau individu, hasil dari observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, hasil pengujian dengan menggunakan metode wawancara. Data primer dalam penelitian ini merupakan sumber data yang didapatkan melalui sumber informasi yang jelas tentang kewenangan Kasultan dalam bidang pertanahan di DIY.
3.3.1 Data Sekunder
Data sekunder merupakan data tambahan (penunjang). Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian, yaitu melalui perantara media. Data sekunder biasanya berupa bukti catatan, laporan, peraturan, kebijakan, atau laporan historis yang telah tersusun dalam sebuah arsip atau berbentuk dokumenter, file baik sudah terpublikasi atau tidak terpublikasi. Adapun jenis-jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, peneliti sajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
(32)
32
Tabel 3.1.Jenis dan Sumber Data.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi, pengumpulan data yang dimaksud yaitu:
3.4.1. Wawancara
Teknik wawancara banyak digunakan dalam pengumpulan data. Sementara menurut Salim (2006:16) penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata, oleh karena itu wawancara menjadi perangkat yang penting. Senada dengan penjelasan tersebut Rahmawati (2010:33) juga mengatakan bahwa wawancara merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-No Jenis Data Sumber Data Metode Pengumpulan data
1
Aturan hukum yang jelas, sistem
monitoring dan sanksi di DIY a. BPN DIY Kuesioner setengah terbuka
2
Sistem nilai dan harapan oleh aktor
(Kasultanan) b. DPRD DIY Komisi A Wawancara
3
Ciri khas nilai yang digunakan dalam
Kasultanan c. Paniti Kismo dokumentasi
4
Struktur organisasi dan pembagian
kewenangan di Kasultanan DIY d. Biro Tata Pemerintahan Setda DIY
5
Penggunaan kekuasaan dan demokratis antar lembaga khususnya di Kasultanan DIY
e. Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY
6
Sistem nilai yang disepakati dan sistem simbol yang dibanggakan di Kasultanan DIY
7
Aturan organisasi dan SOP pengambilan keputusan Kasultanan DIY
8
Deskripsi pekerjaan dan kepatuhan pada tugas Kasultanan DIY
9
Kebiasaan organisasi sesuai dengan nilai local di Kasultanan DIY
10
Kewenangan yang dilimpahkan lewat UU No. 13 tahun 2012 pada Kasultanan DIY
11
Kesepakatan lokal Kasultanan dan masyarakat DIY
12
Sistem nilai Kasultanan yang dipraktekkan dalam tata kelola pemerintahan DIY
(33)
33
pertanyaan mengenai konsep penelitian (yang terkait dengannya) terhadap individu manusia yang menjadi unit analisa penelitian ataupun terhadap individu manusia yang dianggap memiliki data mengenai unit analisa penelitian.
Maka dalam metode penelitian ini peneliti memilah dalam empat titik kunci yaitu: menentukan siapa yang ingin di wawancarai, mendapatkan akses dan mengatur wawancara, melakukan wawancara dan menganalisa hasil (Burhan,et.al,2004). Metode wawancara tersebut mempunyai tujuan untuk mendapatkan data secara langsung kepada infoman yang dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu, dalam proses wawancara diperlukan komunikasi yang produktif antara peneliti dan informan, setiap hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan Kasultanan terhadap regulasi atau pedoman kelembagaan dalam bidang pertanahan di DIY.
3.4.2 Dokumentasi
Menurut Sugiono (2014:240) bahwa teknik pengumpulan data dengan dukumentasi dapat mencatat peristiwa yang sudah berlalu. Baik dalam bentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dalam penelitian ini, data dokumentasi yang akan dikumpulkan berupa bentuk regulasi seperti hasil kesepakatan antara Kasultanan dengan DPRD DIY dalam bidang pertanahan maupun SOP yang ada di lembaga pertanahan DIY. Serta peneliti juga akan mengumpulkan data tentang program kerja atau kinerja Kasultanan Yogyakarta yang telah dilaksanakan berkaitan dengan pelaksanaan kelembagaan dalam bidang pertanahan. Kemudian berita-berita yang telah dimuat di media
(34)
34
cetak seperti Koran yang secara khusus berbicara mengenai keterlibatan Kasultanan dalam bidang pertanahan, foto-foto serta data-data penunjang lainnya yang berhubungan dengan fokus penelitian.
3.5. Unit Analisa Data
Unit analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.2.Unit Analisa Penelitian
Nama Instansi/ Narasumber Nama Data Kelembagaan Bidang Pertanahan Jumlah Narasumber
Biro Tata Pemerintahan Setda DIY
Aturan, Hukum, SOP, Sitem Tata Kelola,
Protokol dan Mandat 1
DPRD DIY Komisi A
Aturan, Hukum, SOP, Sistem Tata Kelola, Protokol, Mandat, dan Kesepakatan
Kasultanan
1
BPN DIY
Aturan, Hukum, SOP, Sistem Tata Kelola, Protokol, dan Mandat
1
Paniti Kismo
Aturan, Hukum, SOP, Sistem Tata Kelola, Protokol, dan Mandat
1 Dinas Pertanahan dan Tata Ruang
DIY
Aturan, Hukum, SOP, Sistem Tata Kelola, Protokol, dan Mandat
1
(35)
35 3.6. Teknik Analisa Data
Penelitian ini juga akan menggunakan analisa data dengan menggunakan analisa kualitatif. Menurur Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2012:248) menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan dengan jalan berkerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi suatu yang dapat di kelola dan mengsintesiskanya. Kemudin mencari dan menemukan pola, menemukan tentang apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Senada dengan pembahasan diatas, Salim (2006:20) menambahkan bahwa penelitian yang kaya data tidak akan berarti sama sekali jika data tersebut tidak dirangkai dalam struktur makna yang logis. Oleh karena itu, analisa data dalam setiap hasil wawancara dan dokumentasi dengan lembaga pertanahan di DIY yang akan dilakukan oleh peneliti adalah mencari hal-hal yang relevan dari masalah dalam penelitian ini.
Gambar 3.1 Komponen Analisa Data Model Intraktif (Interactive Model)
Sumber: diadopsi dari Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (D alam Agus Salim, 2006:22)
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data
(36)
36
Proses-proses analisa data kualitatif dalam penelitian ini yang terkait dengan jawaban dari rumusan masalah yang ingin ditemukan oleh peneliti. Maka dapat dijelaskan, sebagai berikut:
a. Pengumpulan data, yaitu data penelitian di lapangan yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan metode yang telah ditentukan. b. Reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh dari lokasi penelitian
c. Penyajian data (data display), yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penarik kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification). Dari proses pengumpulan data, peneliti mencari makna dari setiap gejala yang diperoleh di lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas, dan proposisi. Jika penelitian masih berlangsung, maka setiap kesimpulan yang ditetapkan, kemudian akan terus-menerus diverifikasi hingga benar-benar diperoleh kesimpulan yang valid.
(37)
37
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
4.1. Deskripsi Wilayah DIY
4.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
DIY adalah Provinsi terkecil Nomor 2 setelah provinsi DKI Jakarta, yang di hempit oleh Provinsi Jawa Tengah ketiga sisinya yaitu sebelah timur, utara, dan barat. Sementara sebelah selatannya berhadapan langsung dengan samudra Hindia.
Gambar 4.1. Wilayah Administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber: Mengenal Daerah Istimewa Yogyakarta
http://id.images.search.yahoo.com
Dari gambar peta diatas luas wilayah yang dimiliki oleh pemerintah DIY tidak begitu besar dibandingkan dengan daerah lainya. Provinsi DIY memiliki 5 Kabupaten/ Kota yaitu Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta.
(38)
38
Daerah Istimewa Yogyakarta posisinya geografis wilayahnya terletak diantara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan 110.00- 110.50 Bujur Timur, tercatat memiliki luas 3.185,80 km atau 0,17% dari luas Indonesia (1.860.359,67 km). DIY merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi DKI Jakarta. Maka untuk lebih jelasnya luas wilayah dari DIY dapat dililat pada gambar sebagai berikut:
Gambar 4.2. Luas Wilayah DIY menurutKabupaten/Kota
Sumber: DIY dalam angka 2013, BPS DIY
Dari data diagram diatas, maka dapat diketahui bahwa luas wilayah dari 5 kabupaten dan kota yang berada di DIY begitu luas dengan luas wilayah 3.185,80 km atau sama dengan 0,17% dari luas wilayah indonesia, Kabupaten Gunung Kidul salah satu daerah di DIY yang memiliki luas wilayah paling luas dengan 46,63% setelah Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul sementara Kota Yogyakarta adalah daerah yang paling kecil di DIY dengan luas wilayah 1,02% dari jumalah wilayah yang ada di DIY .
1. Kota Yogyakarta, dengan luas 32,50 km (1,02%);
2. Kabupaten Bantul, dengan luas 506,85 km (15,91%);
3. Kabupaten Kulon Progo, dengan luas 586,27 km (18,40%); 4. Kabupaten
Gunungkidul, dengan luas 1.485,36 km (46,63%);
5. Kabupaten Sleman, dengan luas 574,82 km (18,04%).
(1)
Penjelasan mengenai perbadingan luas wilayah SG dan PAG, sebelum dan setelah diberlakukannya UU No 13 Tahun 2012 tentang keistimewaan DIY di Kabupaten Gunung Kidul Pada Tahun 2002 dan Tahun 2014 ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya penyusutan, diataranya yaitu :
Pertama, yaitu terjadinya pergeseran regulasi, kemudian yang
Kedua, masih berpegang pada pada aturan Rijksblad yang selama ini diberlakukan sebagai pegangan lembaga Kasultanan dalam pengelolaan pertanahan. Ketiga, Tidak ada pemberlakukan sanksi bagi pengguna SGdan PAG merupakan tugas yang harus diselsaikan dalam rangka inventarisai tanah oleh lembaga pertanahan.
Gambar.V.7. Luas wilayah tanah SG dan PAG di Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2014
Sumber : Data yang di olah peneliti dari BPN dan Dinas Pertanahan danTata Ruang DIY
Dari penjelasan gambar diatas, diketahui bahwa dari luas wilayah tanah SG dan PAG pada tahun 2014 terdapat lima Kecamatan paling luas wilayahnya di Kabupaten Gunung Kidul yaitu Kecamatan Wonosari dengang luas wilayah 16 %, kemudian diikuti oleh Kecamatan Palian 16 % , Kecamatan Patuk 13 %, Kecamatan Rongkop 11 % dan Kecamatan Ngilpar 10% selanjutnya Kecamatan lainya di bawah angka 10%.
Akan tetapi luas wilayah tanah SG dan PAG yang sudah ada saat ini tidak dapat dijadikan ukuran muntlak sebagai tanah SG dan PAG secara keseluruhan di Kabupaten Gunung kidul. Hal ini dikarenakan masih banyak tanah SG dan PAG yang belum terinventariser di kedukuhan. Adanya peningkatan maupun penururunan terkait luas wilayah SG dan PAG di DIY disebabkan pada persoalan administratif pada setiap kedukuhan dan laporan dari masyarakat yang mengunakan tanah SG dan PAG hingga turun temurun.
A. Aturan Hukum lembaga Pertanahan
Dasar peraturan dan hukum yang digunakan oleh lembaga pertanahan seperti Paniti Kismo yang merupakan lembagaKeraton tentu berbeda dengan dasar hukum yang digunakan oleh BPN selaku lembaga yang dibentuk oleh negara.Akan tetapi pada dasarnya peraturan yang digunakan sebelum adanya UU Keistimewaan No.13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY, lembaga pertanahan hanya memberikan Serat Kekacingan dengan tujuan kesepakatan yang mengikat antara masyarakat dengan Paniti Kismo.
Berdasarkan data wawancara dari informan,maka dapat disimpulkan bahwa aturan yang digunakan selama ini dalam mengelola SG dan PAG belum ada kejelasan dan tidak kuat dasar hukumnya jika hanya bersadar pada Serat Kekacingan. Jika hal ini terus dibiarkan dengan dasar
hukum yang tidak kuat, namun teta dijalani oleh lembaga pertanahan yang ada di DIY, akan menjadi kekhawatiran terkait hasil inventarisasi tanah SG dan PAG.
Tabel.1 Dasar Aturan dan Hukum Kelembagaan mengelola Tanah SG dan PAG
No Lembaga Dasar Aturan dan Hukum Tanah SG dan PAG 1 Pemerint
ah Pusat
UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta
Keputusan Presiden RIN Nomor 38 Tahun 1984 pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) di DIY Peraturan Menteri Agraria /Kepala BPN
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah Pasal 10 ayat (1,3) bahwa UU No 32 Tahun
2004 mengatur kewenangan dari pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang pembentukan BPN .
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan antara Pemerintah
Undang-Undang Nomor 13 Tahun Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY 2 Pemerint
ah Daerah
Peraturan Daerah Istimewa DIY Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistemewaan DIY.
Peraturan Daerah DIY Nomor 10 Tahun 2014 tentang Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah DIY tahun 2015
Peraturan Gubernur DIY Nomor 72 Tahun 2013 Tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DIY Tahun Anggaran 2014
Keputusan Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda DIY Nomor
590/3298/Ro.I/TIM/2014 Tentang Pembentukan Tim Fasilitasi Lembaga Pertanahan Kraton dan Pakualaman. Peraturan Gubernur DIY Nomor 55 Tahun
2015 membentuk Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY tujuanmengelola SG dan PAG.
3 Karaton DIY
Traktat Surat perjanjian Sultan HB IX tanggal 18 Maret 1940; Pasal 25 ayat (1) ,(2),(3) mengenai Rijksblad/Lembaran Kerajaan Berisi Peraturan Sultan Berlaku Mengikat bagi penduduk dan Kasultanan
Rijksblad Van Djojakarta/ Lembar Kerajaan Kasultanan No. 16 Tahun 1918 ,Cap Nama Sultan pada tanggal 8 Agustus 1918 adalah Sultan HB VII dalam bahasa Belanda disusun dalam Pasal demi Pasal Surat UU Rijksblad/Lembar Kerajaan
Kasultanan No. 16 Tahun 1918, diperintahkan di Istana Yogyakarta Cap Nama Raja pada tanggal 8 Agustus adalah Sultan HB VII dalam bahasa huruf jawa disusun dalam Bab demi Bab Surat UU Rijksblad/ Lembar Kerajaan
Kasultanan No.23 Tahun 1925, diperintahkan di Yogyakarta, Cap Nama Sultan HB VIII
Surat UU Rijksblad/ Lembar Kerajaan Kasultanan No. 11 Tahun 1928, diperintahkan di Yogyakarta, Cap Nama Sultan HB VIII.
(2)
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
Seiring pekembangan dasar hukum dari Tabel.1 diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar aturan yang digunakan oleh lembaga pertanahan di DIY dalam mengelola tanah SG dan PAG selama ini masih lema. Kelemahan pada dasar aturan hukum yang dimaksud adalah ketika dasar aturan hukum yang digunakan masing-masing lembaga, baik dari pihak Kasultanan, BPN DIY, DPRD DIY, maupun Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY banyak mengalami perubahan. Sihingga dasar hukum yang sama untuk dijadikan acuan tau pedoman dalam bentuk Perdais Pertanahan belum dimiliki selama ini. Maka tidak heran, ketika ada aturan lokal yang selama ini sudah digunakan di DIY yang medominasi proses regulasi tata kelola tanah SG dan PAG.
B. Sistem Monitoring dalam Kelembagaan
Tim pelaksana mempunyai lima tugas dalam melakukan inventarisasi serta hasil pengukuran tanah SG dan PAG. Diataranya yaitu, Pertama, melakukan koordinasi. Kemudian,Kedua, memberikan penjelasan kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa yang menangani pertanahan, karena pihak dari pemerintah desa akan menentukan lokasi kegiatan keberadaan SG dan PAG yang tersebar di wilayah desa. Selanjutnya, Ketiga, melaksanakan pendataan dan inventarisasi yang menghasilkan data tanah berupa letak, luas, penggunaan tanah kasultanan yang lebih jelas. Sementara yang
Keempat, melaksanakan pendaftaran pengukuran tanah SG dan PAG. Terakhir yang Kelima, melaksanakan monitoring kegiatan.
Dari hasil inventarisasi dan pengukuran yang dilakukan oleh Biro tata Pemerintahan Setda DIY kemudian wajib di sertifikatkan kepada pihak BPN DIY. Pada proses pelaksanaann kegiatan yang telah dilakukan di Kabupaten Bantul memakan anggran yang banyak. Adapun penyerapan anggaran pada pendaftaran tanah SG dan PAG dengan target 300 bidang yangakan disertifikasi kepada BPN DIY. Maka dalam pelaksanaanya diKabupaten Bantul memakan pagu anggaran sebesar Rp. 1.031.845.000 (satu miliar tiga puluh satu juta delapan ratus empat puluh lima ribu rupiah). Dengan jumlah yang begitu banyak, kemudian lembaga pertanahan melakukan beberapa tahap yaitu, tahap sosialisasi, inventarisasi tanah sasaran, pemberkasaan pendaftaran tanah hingga tahap pendaftaran pensertifikatan.
Berdasarkan hasil temuan bahwa penyimpangan yang kerap terjadi dilapangan saat lembaga pertanahan melakukan kegiatan monitoring invenatrisasi tanah SG dan PAG di masyarakat adalah terdapat perbedaan pendapat terkait data tanah SG dan PAG yang dimiliki oleh pihak Desa berdasarkan Letter C dengan data yang dimiliki oleh Dinas Pertanahan yang diperoleh dari Kasultanan. Kemudian juga ditemukan tanah SG dan PAG yang banyak dijula belikan oleh ahli waris pemegang serta Kekacingan tanpa ada pemberitahuan laporan kepada Lembaga Paniti Kismo sehingga hal ini menyebabkan perbedaan ukuran didalam sertifikat.
C. Sanksi bagi pengguna tanah SG dan PAG
Adapun hal yang harus diperhatikan sebagaimana yang tercantum Dalam Pasal 3 Serat Kecancingan Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo
Karaton Ngayogyakarta menyebutkan bahwa pihak kedua akan menggunakan tanah tersebut dengan sebaik-baiknya dan tidak akan menggunakan untuk keperluan lainya. Selanjutnya, Pasal 4 dan 5 menyebutkan bahwa diberikan ijin mendirikan bangunan diatas tanah tesebut dan diwajibkan memelihara keutuhan dan kebaikan tanah tesebut dan tidak dibenarkan menggunakan tanah untuk melawan hal-hal yang melawan hukum. Kemudian Pasal 6 juga meyebutkan bahwa pihak yang mengunakan tanah SG dan PAG tidak diperkenankan mengalihkan ijin pinjam pakai tanah tersebut, baik sebagaian maupun seluruhnya kepada pihak lainya tanpa ada sepengetahuan dari pemilik tanah.
Penemuan dari aspek sanksi yang diberlakukan oleh Kasultanan DIY terhadap masyarakat yang menggunakan tanah SG dan PAG selama ini membuktikan bahwa nilai-nilai normatif pada setiap poin aturan Serat Kekacingan tidak berjalan. Ketika banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang menggunakan tanah SG dan PAG bisa berdampak padapengelolaan tanah yang dilakukan oleh lembaga peranahan, jika nilai-nilai normatif yang terkadung pada setiap aturan yang dibuat tidak berjalan.
D. Struktur organisasi Kelembagaan Pertanahan
di DIY
Adanya Peraturan Gubernur DIY No 55 Tahun 2015 tentang hak keistimewaan terhadap penguatan kelembagaan yang membentuk Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY merupakan representatif dari UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Sebagai daearah yang memiliki hak otonom dan bersifat istimewa, DIY berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri asalkan singkron terhadap keinginan pemerintah pusat dan tidak berbentur pada aturan yang telah ditetapkan. Tentunya posisi ini sangat menguntungkan bagi pihak Pemda DIY dan Kasultanan, sebab persoalaan selama ini yang terjadi pada kelembangaan yang mengurus pertanahan masih banyak kelemahan selain dari kapasitas lembaga yang masih kecil serta SDM namun persoalan anggaran juga tidak bisa disampingkan.
Hasil temuan dilapangan bahwa mengidikasikan terjadi dualisme kewenangan pada pengelolaan bidang pertanahan di DIY antara Pihak Kasultanan dan BPB DIY. Oleh karena itu, keadaan ini telah berdampak pada Tupoksi dari BPN selaku lembaga pertanahan yang mempuyai wewenang dalam mengurus semua tanah miliki negara baik yang mempunyai sertifikat atau tanah yang tidak memiliki sertifikat. Terjadi dualisme kewenangan pada lembaga yang mengelola tanah SG dan PAG tidak lain dikarenakan oleh resgulasi yang belum kuat untuk merangkul kepetingan semua lembaga pertanahan yang mengelola tanah SG dan PAG.
Secara regulasi yang dijalankan oleh lembaga pertanahan dari aspek tata kelola dan sistem kekuasaan Kasultanan DIY juga di tentukan oleh pola struktur organisasi dari lembaga pertanahan dan pembagian kewenangan antar lembaga pertanahan.Oleh karena itu, hasil temuan peneliti saat melakuan penelitian di lembaga Paniti Kismo Karaton DIY bahwa tidak di temukan struktur organisasi yang membuktikan lembaga Panitis
(3)
Kismo DIY memiliki garis kordinasi dengan Lembaga pertanahan lainya. Selain dari itu, tentu sangat miris sekali ketika tanah SG dan PAG yang bertebaran di DIY hanya dilayani oleh Lima (5) Staff. Jumlah staff yang hanya berjumlah Lima (5) orang, tentu tidak akan efektif untuk memberikan kinerja yang maksimal terhadap pelayanan pertanahan yang diberikan kepada masyarakat.
E. Pembagian Kewenangan antar Kembagaan
Kewenangan dari BPN DIY adalah melakukan pendaftaran tanah SG dan PAG sesuai kondisi yang ada. Selanjutnya BPN DIY juga mempunyai tugas membuat SOP atas pendaftaran tanah SG dan PAG.Kemudian lembaga lainya juga dapat mengikuti SOP serta peran dari lembaga lainya dapat dioptimalkan perannya dalam mengelola SG dan PAG. Sehigga kebijakan terkait dengan Persyaratan, Prosedur, Waktu dan Biaya dapat disusun secara matang melalui Dana Keistimewaan DIY.
Secara regulasi bahwa pembagian kewenangan antar kelembagaan pertanahan dalam mengelola tanah SG dan PAG, peneliti menemukan kewenangan dari Kasultanan DIY masih kuat ketika pada proses inventarisasi tanah SG dan PAG pihak Kasultanan tetap dilibatkan, sebagai contoh, pelaksananan inventarisasi di Kabupaten Gunung Kidul Pihak Kasultanan dilibatkan sebagai nara sumber pada tahap sosialisasi kepada masyarakat terkait keberadaan tanah SG dan PAG.
F. SOP yang digunakan oleh Lembaga
Pertanahan
Hak kepemilikan dari SG dan PAG secara jelas mengacu pada Domein verklaring atau sering disebut Riksjblad semenjak tahun 1918, kemudian diperkuat dengan adanya Perda DIY No.5 Tahun1954, hingga di nyatakan kembali pada tanggal 11 April Tahun 2000 yang pada saat itu pemerintah daerah dan instansi terkait melakukan inventarisasi dan seritifikasi tanah. Serta dengan adanya UUPA No. 3 Tahun 1950 yang diberlakukan di DIY dianggap sebagai pelidung yang kuat terhadap intervensi hukum tanah nasional
Sementara, data yang didapatkan oleh peneliti bahwa SOP yang yang digunakan oleh lembaga Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY dalam penyesaian inventarisasi Tanah Kasultanan DIY memilki tahapan yang dilkasanakan dalam rangka menanggapai dan menindak lanjuti pengaduan, dan permohonan permasalahan tanah kasulatan adalah sebaga berikut:
1. Pencermatan berkas pengaduan permasalahan yang masuk
2. Dibuat resume dengan kronologis permasalahan sesuai data-data yang disampaikan.
3. Untuk mendukung data-data yang diperlukan masih belum lengkap maka akan cros cek ke pemerintah Desa mapun ke Instannsi yang berkaitan diadakan tinjaulokasi untuk mengetahui kondisi di lapangan sbelum diadakan rapat koordinasi
4. Melaksanakan rapat kordinasi dengan Tim dengan mengundang instansi terkait serta pemerintah desa dimana wilayah permasalahan itu terjadi untuk klasifikasi data, mengggali informasi serta
memperoleh masukan dalam rangka penyelesaian permasalahan.
5. Membuat telaah staf kepada atasan terhadap hasil tindak lanjut permasalahan/pengduan yang disampaikan namun tidak diperlukan Surat jawaban.
6. Dibuat net Konsep Surat jawaban Gubernur sesuai permasalahan yang disampaikan.
7. Penyapaian Surat jawaban Gubernur tersebut kepada pemohon/pengadu dengan tembusan disampaikan kepada instansi terkait.
Pada instrument regulatif dalam sisitem rutinitas kelembagaan, dindikasikan bahwa ada struktur yang yang sangat berperan dan memiliki kewenangan dalam urusan pengelolaan tanah SG dan PAG. Secara regulasi, bisa dilihat bahwa peran dari lembaga Kasultanan sangat berperan aktif ketika persoalan yang di hadapi oleh Dinas Pertanahan mapun BPN DIY tetap berkordinasi kepada pihak Kasultanan, terkait dengan kendala-kendala yang dihadapai dalam pengelolaan SG dan PAG.
G.Mandat yang ada di Kasultanan
Peluang yang besar bagi isntitusi maupun lembaga kasultanan saat ini, karena telah dibukanya keran kewenangan Kasultanan dalam hak keistimewaan DIY melalui UU No 13 Tahun 2012 tentang keistimewaan DIY, termasuk didalamnya tetang hak keistimewaan mengatur SGdan PAG.
Kemudian kembali dipertegaskan oleh Luthfi (2009:160) menjelaskan bahwa dalam Rijksblad kadipaten Paku Alam No.18 Tahun 1918 mengatur beberapa hal diantaranya yaitu:
1. Warga di perkotaan memiliki hak andarbe yang masing-masing memperoleh luas tanah yang relatif sama.Warga pedesaan (luar kotapraja) diberikan hak anganggo turu temurun.
2. Kelurahan diberi hak andarbe, sebagai tanah desa yang diperuntuhkan guna Kas Desa, penghasilan pamong kelurahan, tanah
bengkokatautanahlungguh, tanah pengrem-arem, dan untu kepentingan umum desa.
Secara mandat yang diberikan Kasultanan kepada pada masing-masing Lembaga pertanahan tidak ditemukan.Akan tetapi dalam peneliti menemukan bahwa mandat selama ini yang digunakan oleh Kasultanan untuk mengelola tanah SG dan PAG hanya berpegang tegu pada Rijksbald tahun 1918. Oleh sebab itu, dari aspek aturan hukum, sanksi, monitoring, SOP, pembagian kewenangan dan Mandat dari Kasultanan secara regulasi hanya mengacu pada Rijksbald tahun 1918. Jika selama ini lembaga pertanahan hanya mengacu
Rijksbald tahun 1918 maka hal ini merupakan kekeliruan bagi lembaga pertanahan dan membuktikan bahwa regulasi yang digunakan benar-benar masih lemah
1. Elemen Normatif
A.Sistem nilai dan harapan dari Kasultanan DIY
Pada Rijksblad Tahun 1918 terdapat beberapa harapan Kasultanan agar nilai-nilai tersebut dapat dipertahankan. Adapun harapan tersebut yaitu, Pertama, tidak boleh ada perubahan status tanah Kebrabon. Kemudian yang Kedua,
(4)
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
tanah yang bisa dirubah sesuai kebutuhan seperti tempat tinggal kerabat Karaton melalui ijin lembaga pertanahan Karaton. Selanjutnya, Ketiga, tanah yang digunakan diperuntukan untuk Pemerintah, Masyarakat dan sisanya dikosongkan.
Pada kesempatan lain, peneliti juga mengikuti Rapat Kordinasi terkait temuan Omdusman di DIY. Ternyata dari banyaknya temuan Omdusman dilapangan salah satu temuan juga ditemukan pada lembaga pertanahan DIY. Adapun temuan lembaga Omdusman DIY yaitu:
1. Tanah SG/PAG di jual belikan oleh ahli waris pemegang Serat Kekancingan.
2. Konversi letter C ke SHM banyak permasalahan, buku lengger rentan untuk disalah gunakan. 3. Status tanah yang dirubah sepihak oleh BPN 4. Perbedaan ukuran didalam sertifikat dan
pengukuran saat ini (terdampat tanah bandara) 5. Proses turun waris yang rumit (atas nama bersama
dulu) baru dipecah dengan pajak tinggi 5% penjual dan 5% pembeli padahal obyek waris hakekatnya bukan obyek pajak.
Temuan yang diperoleh dari sistem nilai dan harapan kasultanan Pada proses inventarisasi tanah SG dan PG yang digunakan oleh masyarakat DIY atas status hak pakai tidak membuktikan bawah nilai-nilai normatif tersebut berlaku. Selain itu, terbukti bahwa sanksi-sanki tersebut tidak berjalan ketika memberikan sanksi kepada masyarakat atas penggunaan tanah Kasultanan. Sering kali terjadi dilapangan banyak diantara masyarakat menolak bahwa tanah yang digunakan saat ini adalah tanah Kasultanan
B. Sistem Kewenagan Rezim di Kasultanan DIY
Pada pengunaan sistem kewenangan dari rezim Kasultanan pada pada pengelolaan tanah SG dan PAG kepada lembaga pertanahan dapat dilihat dari aspek kewenangan Kasultanan dengan menjalan sistem pengeloaan secara asas demokrasi. Penggunaan asas demokasi tersebut dapat dilihat ketika Kasultanan melibatkan lembaga pertanahan lainya dalam mengelola tanah SG dan PAG yang ada DIY. Namun, pada aspek kewenangan terjadi pergeseran aturan yang mengakibatkan nilai-nilai normatif tidak berjalan sesuai dengan haparan Kasultanan.
Berdasarkan Laporan Biro Tata Tata Pemerintahan Setda DIY Tahun 2014 Tentang Kegiatan Penyusunan Draft Peraturan Daerah Istimewa Pertanahan menyebutkan bahwa Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Kadipaten adalah pendayagunaan tanah Kasultanan dan Kadipaten sesuai dengan statusnya. Oleh sebab itu lembaga pertanahan lebih melihat aspek kemanfaatanya, karena melalui pemanfaatan tanah yang lebih bagus diharapkan dapat memenuhui kesejahteraan masyarakat DIY.
Berdasakan pemapaparan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa sisitem kewenangan pada rezim Kasultanan terhadap lembaga pertanahan lainya tidak berjalan, hal ini disebabkan banyak nilai-nilai pada rezim Kasultanan terhadap pengelolaan SG dan PAG masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa lembaga pertanahan tidak
menjalan tugas dengan baik dalam pengolaan tanah SG dan PAG.
C. Kepatuhan Lembaga Pertanahan DIY pada
tugas yang diberikan
Berdasarkan data dari Biro Tata Pemerintahan Setda DIY tahun 2014, menyebutkan bahwa masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang menggunakannya tidak sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya, untuk melaksanakan tertib admistrasi tanah SG dan PAG perlu dilakukan fasiltasi sarana dan prasarana lembaga pertanahan Kasulatanan.
Peneliti menyimpulkan bahwa kepatuhan tugas lembaga pertanahan di DIY tidak berjalan maksimal, hal ini dikarenakan nilai-nilai normatif pada kepatuhan lembaga pertanahan terhadap Kasultanan DIY banyak terjadi penggaran serta tidak ada pemeberlakuan sanksi yang diberikan oleh Kasultanan kepada lembaga yang melanggar nilai-nilai normatif pada pengelolaan tanah SG dan PAG.
D. Kesepakatan Lokal Kasultanan dan
Masyarakat
Keberadaan tanah SD dan PAG dapat dilihat dari pola pemberian hak atas tanah Karaton melalui ijin/surat Karaton (Kekacingan) tetap berlangsung. Sebagai contoh, pada saat dilakukan invetarisasi tanah SG dan PAG masyarakat yang mengusai dan memanfaatkan, menyatakan bahwa tanah tersebut milik Kasultanan DIY.
Kesepakatan lokal Kasultanan dengan masyarakat dalam penggunaan tanah SG dan PAG yang berpedoman pada aturan lama seperti Rijksblad tahun 1918, tenyata dalam pelaksanaanya terdapat perbedaan pandangan yang mengindikasikan ketidak setujuan lembaga lainya terhadap aturan lama, akan tetapi aturan lama tersebut masih diterapkan.
2. Elemen Kultural-Kognitif
A.Ciri khas nilai yang di gunakan Kasultanan
Dalam pengelolaan tanah SG dan PAG dibagi menjadi dua model yaitu pengeloaan secara administrasi dan pengelolaan secara katagori penggunaan tanah. Pada model administrasi dibagi menjadi empat bagian diataranya yaitu, tanah bekas hak barat yang dikelola oleh Kantor Jawatan pendaftaran tanah. Tanah yang berada diwilayah Kota di kelola oleh Kantor urusan tanah Kota. Selanjutnya, tanah di luar wilayah Kota dikelola oleh pemerintah desa dengan Buku Letter C dan Buku Pemeriksaan desa dan yang terakhir tanah SGdan PAG dikelola oleh Panitiskismo (dibawah Kawedan Wahono Sarto Kriyo) maupun Puro Pakualaman
.
Walaupun dari beberapa model ciri khas nilai yang digunakan Kasultanan masih digunakan oleh lembaga pertanahan seperti Paniti Kismo Karaton DIY dengan pemberian serat Kekancingan kepada masyarkat yang ingin mengunakan tanah SG dan PAG, namun pada realitasnya nilia-nilai kultural-kognitif pada pada pengadministarian banyak terjadi penggaran. Hal ini membuktikan bahwa ciri khas nilai yang digunakan secara kognitif pada pengelolaan tanah SG dan PAG sudah tidak berlaku lagi.
(5)
masih lemah, serta seacara normatif tidak berjalan dengan banyaknya pelanggaran serta pada aspek kultural-kognitif tidak berlaku maka akan berdampak pada pengelolaan tanah SG dan PAG yang tidak akan berjalan sesuai dengan harapa Kasultanan DIY selaku pemilik tanah.
B. Sistem nilai dan Simbol yang di gunakan Kasultanan DIY
Pelaksanaan sistem nilai dan simbol yang digunakan Kasultanan DIY dalam mengelola tanah SG dan PAG selama ini terletak pada model-model tanah yang telah dipetahkan berdasakan jenis dan kegunaannya. Oleh karena itu, pengelolaan tanah SG dan PAG yang dilakukan oleh lembaga pertanahan tetap mengacu pada aturan lama atau aturan yang bersumber dari Rijksblad
tahun 1918. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa berdasarkan Rijksblad
Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad
Pakualaman Tahun 1918 Nomor 18 menyebutkan bahwa Karaton Yogyakarta memberikan Hak Anggaduh kepada Kelurahan dan Hak Anganggo turun temurun kapada rakyat yang secara nyata-nyata digunakan oleh rakyat untuk kesejahteraan rakyat DIY.
Pemberian tanah kepada pemerintah daerah atau masyarakat melalui lembaga Panitis Kismo Karaton DIY dengan status hak pakai diatas tanah SG dan PAG. Dalam ini, Hak atas pengusaan tanah yang dimiliki oleh pihak Karaton sebagai mana yang telah tertulis di Rijksblad
merupakan sistim nilai dan simbol pada pengelolaan tanah SG dan PAG. Adapun simbol yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Tanah hak Barat : Eigendom, Opstal, Erfacht, dll 2) Tanah rakyat Kotapraja : hak andarbe turun
temurun
3) Tanah rakyat di luar Kota Praja: hak angango turun temurun
4) Desa mengusai tanah dengan hak anggaduh- tanah desa meliputi: tanah Kas Desa, pelungguh, pangarem-arem dll
5) Tanah Sultan Ground dan Paku Alaman Ground
Dari Lima poin diatas, bahwa status tanah yang dimiliki oleh KasultananDIY pada setiap desa dengan hak Anggaduh. Secara adminstrasi selama ini, pengelolaan tanah SG/PAG yang telah diberikan kepada setiap desa yang berada di luar Kota dapat dilihat pada Letter A dan tertera dalam Peta Desa, sedangkan didalam kota teratat dala Buku register dan tertera dalam Peta Kadester Jawi. Walaupun terdapat simbol tanah yang digunakan oleh masyarakat DIY, tetapi dalam pelaksanannya telah banyak terjadi pelanggaran.
C. Kebiasaan Organisasi sesuai dengan nilai lokal di Kasultanan DIY
Lembaga yang benaung di bawah Kasultanan serta lembaga pemerintah di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa, dan Dukuh maupun perangkat desa dengan organisasi pengayubannya. Namun harus diakui bahwa ketaatannya secara sukarela kepada Sultan sebagai pemimpin. Mereka bersedia pula menanggalkan lencana PNS dan menggatikannya pula lencana Karaton. Hal serupa terjadi ketika para bupati dan wali Kota Sowan ke Karaton dalam acara ngabektan (upacara memberikan
salam dan bakti kepada Sultanm pada saat Lebaran-Red) kegiatan kultural demikian masih berlansung hingga sampai saat ini (Susanto, 2011:42).
Akan tetapi, peran aktif dari Paniti Kismo yang merupakan kebiasaan oraganisasi dalam mengelola tanah SG dan PAG tidak dapat dijadikan sebagai ukuran bahwa nilai-nilai kultural sudah berjalan dengan baik, lembaga yang melaksanakan nilai-nilai lokal di Kasultanan hanya pada proses pengadministarsian Serat Kekancingan hanya lembaga Paniti Kismo, sementara lembaga pertanahan lainya tidak pernah melaksanakan kebiasaan nilai-nilai lokal dalam mengelola tanah SG dan PAG
.
D. Sistem nilai yang di praktekan dalam tata kelola pemerintahan DIY
Penggunaan tanah Kasultanan yang digunakan oleh lembaga lainya ataupun masyarakat dengan setatus hak pakai wajib membayar dua kali pajak, yang pertama membayar pajak kepada Paniti Kismo yeng merupakan representative dari keraton dan membayar pajak kapada negara. Selain dari pada itu, Surat perjanjian yang dibuat oleh pihak Karaton memiliki banyak kelemahan diataranya tidak ada ketegasan atau sanksi bagi pengguna tanah Kasultanan yang diantumkan dalam Serat Kecancingan tersebut.
Namun, sistem nilai yag dipraktekan dalam tata kelola pemerintahan DIY terhadap tanah SG dan PAG tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang berada di desa, hal ini dibuktikan dengan berbanding terbalik antara keinginan Masyarakat dan Pihak Karaton. Dalam proses sertifikasi lahan PAG yang akan digunakan untuk lokasi pabrik pasir besi dikarangwuni Kecamatan Wates mendapat penolakan oleh masyarakat setempat (Tribun Jogja Rabu,13 januari 2016).
Hasil Inventarisasi tanah SGdan PG yang dilakukan oleh pemerintah melalui Bagian Pertanahan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY sebelum menjadi Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY dari tahun 2012 hingga sampai saat tahun 2016 belum bisa memastikan jumlah luas wilayah tanah yang dimiliki SGdan PAG. Hal ini disebabkan oleh banyaknya persoalan yang terjadi dalam mengelola tanah SG dan PAG maka aturan yang masih lema, nilai-nilai normatif pada pengelolaan tanah tidak berlaku dan kebiasaan pada lembaga untuk melaksanakan nilai kultural-kognitif tidak berjalan. Oleh karena itu, berdampak pada pengelolaan tanah SG dan PAG
.
3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi
Kelembaagaan
Dalam pelaksanaan pengelolaan tanah SG dan PAG di DIY, selama ini lembaga pertanahan kerap mengalami beberapa hambatan. Oleh sebab itu, hambatan dalam pelaksanaan tersebut ternyata sangat mempengaruhi kelembagaan dalam mengelola tanah SG dan PAG. Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam peroses pengelolaan tanah SG dan PAG pada saat pelaksanaan kegiatan inventarisasi maupun pengukuran serta proses sertifikasi yang dilaksanakan oleh lembaga tidak dapat dilepaskandari aspek regulasi yang diterapkan pada setiap lembaga, nilai-nilai normatif yang menjadi kepatuhan lembaga dan kultural-kognitif yang diberlakukan oleh Kasultanan kepada lembaga pertanahan dalam mengelola
(6)
Prosiding Konferensi Nasional Ke- 4
SG dan PAG.
Berdasarkan Laporan Kegiatan Fasilitasi Lembaga Pertanahan Kraton Dan Pakulamann dari Biro Tata Pemerintahan Setda DIY Tahun 2014 bahwa terdapat permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan, diataranya
Pertama, ketergatungan Pemerintah Desa dalam tahap pemberkasan sangat tinggi sehingga belum bisa ditindak lanjuti dengan pembuatan SPS dan tidak dapat diukur. Kemudia yang Kedua, Lambatnya pemerintah desa dalam melaksanakann pemberkasan sehingga selalu di pantau dan dikordinasikan untuk mengetahui kesulitan yang di hadapi dan Ketiga, luas Tanah SG dan PAG yang belum diketahui jumlahnya secara keseluruhan sehingga berdampak pada pembayaran.
Terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kelembagaan yang mengelola tanah SG dan PAG adalah kesiapan SDM dari lembaga pertanahan yang mengelola tanah SG dan PAG masih kurang matang. Karena persiapan SDM akan berdampak pada penggunaan anggaran yang didapatkan melalui dana keistimewaan DIY. Jika pengelolaan anggaran yang diperuntukan untuk mengelola tanah SG dan PAG tidak dapat diimbangi dengan kesiapan SDM dari lembaga pertanahan. Maka akan berdampak dengan penggunaan anggaran yang terserap dengan baik.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dalam pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai Kewenangan Kasultanan Dalam Bidang Pertanahan DIY adalah sebagai berikut :
1. Secara regulatif dalam penelitian ini menemukan bahwa lembaga pertanahan di DIY masih menggunakan aturan lama yang bersumber dari aturan Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Pakualaman Tahun 1918 Nomor 18 yang mangatur tentang SG dan PAG. Oleh karena itu, Lembaga pertanahan yang ada di DIY masih dalam tahap penataan regulasi.
2. secara normatif dalam penelitian ini, membuktikan bahwa norma-norma dari lembaga pertanahan dalam mengelola SG dan PAG tidak terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan karena pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang mengunakan tanah SG dan PAG diatas tanah Kasultanan.
3. Aspek kultural-kognitif dalam penelitian ini, membuktikan tidak berlaku. Karena simbol-simbol tanah sultan menjadi tolak ukur pengambilan keputusan bagi lembaga pertanahan dalam mengelola SG dan PAG secara regulatif masih lema dan secara normatif tidak berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Huda. 2014. Desentralisasi Asimetrik Dalam NKRI Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Dan Otonomi Khusus. Bandung: Nusa Media
[2] Scott. (2008) Institutions and Organizations (Ideas and Intrest) Thisrd Edition, Stanford University: sage Publictions
[3] Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Taira Wacana.
[4] Moleong, L. J. 2012. Metodelogi Penelitian Kualitatif (Ed). Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
[5] Umar. 2006. Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) yogyakarta setelah Berlakukanya UU No. 5/ 1960
[6] Pratama, Dkk.2013. Kajian Tentang Politik Hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta.
Jurnal Diponegoro law review Vol. 1, No.2, 2013
[7] Wibawanti dan Harjiyatni.2008. Pemberian Hak Dalam Pemanfaatan Tanah Pesisir Pantai Untuk Transmigrasi Ring I Di Kabupaten Kulon
Progo. Jurnal Mimbar Hukum Vol.2,No.1. (Februari 2008)
[8] Herbarina dan Sina. 2013. Eksistensi Tanah Grand Sultan Di Wilayah Kerajaan Gunung Tabur Dalam Sudut Pandang Hukum Adat. Jurnal Beraja Niti Vol. 2, No. 10, 2013
[9] Sukisno. 2014. Pengelolahan Tanah Kasultanan (Sultan Grond) Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.
Universitas Gadjah Mada: 2014
[10] Olsen. 2005. New Institusionalism: Oraganizational Factor
Political Life : The American Political Science Review is Currently by American Political Science Association
[11] Penolkan Pasir Besi : (Tribun Jogja Rabu,13 januari 2016).
[12] North D.C.Institutions, 1990. Institutional Change And Economic
Performance. Cambridge University Press
[13] Hasil Pemetaan tanah SG dan PAG (Harian Jogja, Jumat 6 September 2013).