Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam Dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)

(1)

KOTA BATAM DAN OTORITA PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM)

TESIS

Oleh NOVLINDA 087011147/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG

PEMERINTAHAN DAERAH (ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN ANTARA PEMERINTAH

KOTA BATAM DAN OTORITA PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVLINDA 087011147/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004

TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

(ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN

BIDANG PERTANAHAN ANTARA

PEMERINTAH KOTA BATAM DAN OTORITA PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM)

Nama Mahasiswa : Novlinda Nomor Pokok : 087011147 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Pro. Muhammad Abduh, SH) Ketua

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Notaris Syafnil Gani, SH, MHum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 20 Nopember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

ABSTRAK

Masalah Pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan sering kali menimbulkan sengketa yang berkepanjangan dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai daerah di nusantara masing-masing memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar kemakmuran dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah, pada umumnya orang Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan penghidupan, tanah juga dapat dijadikan suatu investasi yang menguntungkan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Penetapan status pulau Batam sebagai daerah industri melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973. Tentang pembentukan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, yang tidak saja perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga di bidang pertanahan. Hal ini dapat di lihat dengan terbentuknya Keputusan MenteriDalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 yang mengatur tentang pengelolaan dan penggunaan tanah di daerah industri pulau Batam, yang di berikan hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam. Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, mengakibatkan kewenanagan di bidang pertanahan menjadi dilema dalam pelaksanaannya antara pemerintah daerah Batam dengan Otorita Batam.

Jenis penelitian Tesis ini adalah penelitian Yuridis Normatif yang bersifat Deskriptif analisis. Maksudnya adalah suatu analisa data yang berdasarkan teori hukum yang bersifat umum, diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada. Untuk kemudian di tarik kesimpulan yang menjadi inti dari solusi permasalah tersebut.

Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tidak dapat langsung secara serta merta diberlakukan di pulau Batam, khususnya kewenangan pemerintah daerah dibidang pertanahan. Hal ini disebabkan antara lain karena UU nomor 32 tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tersebut tidak mengatur secara jelas dan terperinci mengenai bentuk dan jenis kewenangan bidang pertanahan tersebut. Untuk pelaksanaan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu dibentuk suatu peraturan khusus yang memperinci secara jelas dan tegas tentang batas kewenangan di bidang pertanahan tersebut. Disamping itu pemerintah Republik Indonesia perlu menerbitkan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah tentang Hubungan kerja antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam untuk meningkatkan keselarasan, keseimbangan dan keserasian kewenangan di bidang pertanahan tersebut, dan perlu pula ditetapkan jangka waktu transisi melalui suatu peraturan yang tegas dan jelas untuk mengantisipasi munculnya masalah-masalah yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Kata Kunci : UU No. 32 Tahun 2004


(6)

ASBTRACT

Land issue is a very complicated problem which frequently results in a long dispute in the life dynamics of Indonesian community members. Each area in Indonesia has its own land problem characteristics. This condition is a clear consequence of the basicof prosperity and the view of life of the people of Indonesia on land. In general, to the people of Indonesia, land is a facility of where to live in and can also be a beneficial investment that land has a very important function.

The decision of the status of Batam Island as an industrial area through the Presidential Decree Number 41/1973 on the establishment of the authority of Batam industrial area development not only changed the policy patterns in the sector of industry but also in the sector of land use. It can be seen through the issuance of the Decree of Minister of Domestic Affairs Number 43/1977 regulating the management and the use of land in the industrial area of Batam Island which gave the batam Authority the right to manage the land. The issuance of Law No. 22/1999 which was then amended by Law No. 32/2004 on Local Administration resulted in the dilemma between the local government of Batam and the Batam Authority on who holds and implements the land authority.

This is a normative juridical study with descriptive analysis which is meant to analyze the raw data based on a general legal theory applied to describe a set of the other raw data. Basically, the approach used showed that this study describes and the analyzes the existing research problems form which a conclusion was drawn to be the core of the problem solution.

The Law no. 32 /2004 on Local Government issued could not be directly implemented in Batam Island, especially the clause on the authority of local government in the sector of land use because tha Law No. 32/2004 on Local Government does not regulate the form and the kind of authority applied in the sector of land use in clear details. To effectively implement Law No. 32/200, a strict, clear establishe. In addition, the Government of theRepublic of Indonesia needs to issue a Law/Government Regulation on the Work Relationship between the City Government of Batam and the Batam Authority to improve the harmony, balance and compatible authority in the sector of land, and the period of transition should also be set based on a strict and clear regulation to anticipate the incident of the problems that may cause a legal uncertainty.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH, Bapak Prof. Dr. Muhammad

Yamin, SH, MS, CN, dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati mengucapkan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSC (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Alm. Usman Harahap dan Ibunda Hj. Chamsiah yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.


(8)

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada suamiku Drs. H. Hamdan Basri, MSi dan anak-anakku tersayang Reza Mulyawan dan Rinda Kharisa, yang selama ini telah memberikan semangat dan doa serta kesempatan untuk menimba ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Nopember 2010 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP A. I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Novlinda

Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru/12 Nopember 1961

Status : Menikah

Alamat : Komp. Tiban Bukit Asri Blok B No. 1 Batam

Agama : Islam

II. ORANG TUA

Nama Ayah : Usman Harahap

Nama Ibu : Chamisyah

Nama Suami : Drs. H. Hamdan Basri, MSi

Nama Anak : 1. Reza Mulyawan, Amd. I’m

2. Rinda Charisa

III. PENDIDIKAN

SD : SD Negeri No. 4 Pekanbaru Tahun 1973

SMP : SMP Negeri No. 4 Pekanbaru Tahun 1976

SMA : SMA Negeri No. 4 Pekanbaru Tahun 1979

S1 : Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam

Tahun 2006

S2 : Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2010


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori... 10

2. Konsepsi... 25

G. Metode Penelitian... 26

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 26

2. Alat Pengumpul Data ... 27

3. Analisis Data ... 28

BAB II PENYERAHAN KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN PADA PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH ... 30

A. Pengertian dan Sejarah Otonomi Daerah ... 30

B. Jenis-jenis Penyerahan Kemenangan Bidang Pertanahan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ... 39 C. Peraturan Terkait di Bidang Penyerahan Kewenangan


(11)

Pertanahan Kepada Pemerintah Daerah ... 49

BAB III STATUS KEWENANGAN OTORITA BATAM DALAM BIDANG PERTANAHAN ... 68

A. Status Kewenangan Otorita Batam dalam Bidang B. Pertanahan Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau Batam ... 68

C. Kewenangan Bidang Pertanahan di Pulau Batam ... 82

BAB IV KEABSAHAN PERATURAN BIDANG PERTANAHAN YANG TELAH DITERBITKAN OLEH OTORITA BATAM DENGAN BERLAKUNYA UU NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH ... 100

A. Akibat Hukum Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ... 100

B. Status Hukum Terhadap Peraturan Bidang Pertanahan Apabila Terjadi Peralihan Kewenangan... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 108

A. Kesimpulan... 108

B. Saran ... 109


(12)

ABSTRAK

Masalah Pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan sering kali menimbulkan sengketa yang berkepanjangan dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai daerah di nusantara masing-masing memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar kemakmuran dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah, pada umumnya orang Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan penghidupan, tanah juga dapat dijadikan suatu investasi yang menguntungkan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Penetapan status pulau Batam sebagai daerah industri melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973. Tentang pembentukan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, yang tidak saja perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga di bidang pertanahan. Hal ini dapat di lihat dengan terbentuknya Keputusan MenteriDalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 yang mengatur tentang pengelolaan dan penggunaan tanah di daerah industri pulau Batam, yang di berikan hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam. Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, mengakibatkan kewenanagan di bidang pertanahan menjadi dilema dalam pelaksanaannya antara pemerintah daerah Batam dengan Otorita Batam.

Jenis penelitian Tesis ini adalah penelitian Yuridis Normatif yang bersifat Deskriptif analisis. Maksudnya adalah suatu analisa data yang berdasarkan teori hukum yang bersifat umum, diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada. Untuk kemudian di tarik kesimpulan yang menjadi inti dari solusi permasalah tersebut.

Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tidak dapat langsung secara serta merta diberlakukan di pulau Batam, khususnya kewenangan pemerintah daerah dibidang pertanahan. Hal ini disebabkan antara lain karena UU nomor 32 tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah tersebut tidak mengatur secara jelas dan terperinci mengenai bentuk dan jenis kewenangan bidang pertanahan tersebut. Untuk pelaksanaan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu dibentuk suatu peraturan khusus yang memperinci secara jelas dan tegas tentang batas kewenangan di bidang pertanahan tersebut. Disamping itu pemerintah Republik Indonesia perlu menerbitkan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah tentang Hubungan kerja antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam untuk meningkatkan keselarasan, keseimbangan dan keserasian kewenangan di bidang pertanahan tersebut, dan perlu pula ditetapkan jangka waktu transisi melalui suatu peraturan yang tegas dan jelas untuk mengantisipasi munculnya masalah-masalah yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Kata Kunci : UU No. 32 Tahun 2004


(13)

ASBTRACT

Land issue is a very complicated problem which frequently results in a long dispute in the life dynamics of Indonesian community members. Each area in Indonesia has its own land problem characteristics. This condition is a clear consequence of the basicof prosperity and the view of life of the people of Indonesia on land. In general, to the people of Indonesia, land is a facility of where to live in and can also be a beneficial investment that land has a very important function.

The decision of the status of Batam Island as an industrial area through the Presidential Decree Number 41/1973 on the establishment of the authority of Batam industrial area development not only changed the policy patterns in the sector of industry but also in the sector of land use. It can be seen through the issuance of the Decree of Minister of Domestic Affairs Number 43/1977 regulating the management and the use of land in the industrial area of Batam Island which gave the batam Authority the right to manage the land. The issuance of Law No. 22/1999 which was then amended by Law No. 32/2004 on Local Administration resulted in the dilemma between the local government of Batam and the Batam Authority on who holds and implements the land authority.

This is a normative juridical study with descriptive analysis which is meant to analyze the raw data based on a general legal theory applied to describe a set of the other raw data. Basically, the approach used showed that this study describes and the analyzes the existing research problems form which a conclusion was drawn to be the core of the problem solution.

The Law no. 32 /2004 on Local Government issued could not be directly implemented in Batam Island, especially the clause on the authority of local government in the sector of land use because tha Law No. 32/2004 on Local Government does not regulate the form and the kind of authority applied in the sector of land use in clear details. To effectively implement Law No. 32/200, a strict, clear establishe. In addition, the Government of theRepublic of Indonesia needs to issue a Law/Government Regulation on the Work Relationship between the City Government of Batam and the Batam Authority to improve the harmony, balance and compatible authority in the sector of land, and the period of transition should also be set based on a strict and clear regulation to anticipate the incident of the problems that may cause a legal uncertainty.


(14)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH, Bapak Prof. Dr. Muhammad

Yamin, SH, MS, CN, dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati mengucapkan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSC (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Alm. Usman Harahap dan Ibunda Hj. Chamsiah yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.


(15)

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada suamiku Drs. H. Hamdan Basri, MSi dan anak-anakku tersayang Reza Mulyawan dan Rinda Kharisa, yang selama ini telah memberikan semangat dan doa serta kesempatan untuk menimba ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Nopember 2010 Penulis,


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan seringkali menimbulkan sengketa berkepanjangan dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Peraturan-peraturan yang mengatur masalah pertanahan disamping Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 begitu banyak tersebar, sehingga membingungkan dan terkesan kompleks tidak hanya bagi masyarakat luar, namun juga bagi para akademisi, pejabat dan banyak instansi yang terkait dengan masalah pertanahan tersebut. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar pemahaman dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting.

Menurut Boedi Harsono, walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam konsiderans, pasal-pasal dan penjelasan, dapatlah disimpulkan bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria digunakan dalam


(17)

arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.1

Dengan pemakaian sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA, hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang meliputi hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi, hukum air yang mengatur hak-hak penguasaan atas air, hukum pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian, hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air, hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan Space Law) yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan

unsur-unsur dalam ruang angkasa yaitu memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha memelihara dan

memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 48 UUPA.2

Menurut Imam Sudiyat, sebagai salah satu unsur essensiil pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya mendominasi. Di negara

1

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 6

2Ibid, hal. 8.


(18)

yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.3

Sebenarnya, jauh sebelum pendapat Imam Sudiyat muncul, UUPA dalam pertimbangannya juga menegaskan bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia dan perkembangan zaman serta merupakan perwujudan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.4

Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang mengatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.5

Namun, kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA. Berbagai konflik seputar tanah kerap terjadi. Amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.

Batam sebagai bagian wilayah Indonesia, tidak terlepas dari fenomena semacam ini. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan yang mau

3

Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 1. Conditio sine qua non merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti syarat mutlak atau syarat yang absolut. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 82.

4

Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Pertimbangan.

5Ibid., Pasal 6.


(19)

tidak mau harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru.

Di tengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, maka jalan pintas untuk mendirikan tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi pemukiman menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liar6 pun

bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya.

Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemilikan hak pakai atas tanah negara.7

Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri lewat Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga kebijakan di bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut kebijakan pertanahan menjadi

6

Rumah liar merupakan rumah yang didirikan di atas tanah yang bukan diperuntukkan

untuk pemukiman. Markus Gunawan, “Rumah Liar, Problematika Multidimensial,” Syari Pos, Batam, 12 Juli 2002 : 4.

7

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PP No. 41 Tahun 1996, LN No. 59 Tahun 1996, TLN No. 3644, Pertimbangan.


(20)

kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk selanjutnya disebut Otoritas Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.8

Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 9 yang memberikan kekuasaan yang amat besar

kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.10

Pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.11

Dengan berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam.

Terhadap hal ini, Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa

8

Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, 2004, hal. 8 9

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi tersebut tidak banyak merevisi tentang masalah pertanahan. Hanya satu Pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut. Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437.

10Ibid,

Pasal 1. 11

Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 40.


(21)

sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam.

Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam.

Status hukum hak pengelolaan atas seluruh areal yang terletak di Pulau Batam termasuk dalam gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Ngenang, Pulau Kasem, dan Pulau Moi-moi, yang diperoleh Otorita Batam berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Februari 197712

menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di Pulau Rempang dan Galang.

Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.

Mengingat pentingnya pemahaman yang komprehensif dalam menyikapi problematika pertanahan tersebut yang amat bertautan dengan masalah yuridis, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menjadikan problematika pertanahan yang terjadi di pulau seluas 610 hektar ini sebagai topik penyusunan tesis. Untuk

12


(22)

melakukan penelitian secara lebih mendalam terhadap kewenangan pemerintah daerah Kota Batam dalam bidang pertanahan.

Adapun judul penyusunan tesis ini adalah Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana penyerahan kewenangan bidang pertanahan pada Pemerintah Daerah

berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah?

2. Bagaimana status kewenangan otorita Batam dalam bidang pertanahan berkaitan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ?

3. Bagaimana keabsahan peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ?


(23)

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui bagaimana penyerahan kewenangan bidang pertanahan pada Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Mengetahui bagaimana status kewenangan otorita Batam dalam bidang pertanahan berkaitan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

3. Mengetahui bagaimana keabsahan peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya terutama dibidang pertanahan yang menyangkut status hukum kewenangan bidang pertanahan yang dimiliki oleh otorita Batam sehubungan dengan diundangkannya


(24)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga bila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini dapat memberi sumbang saran kepada pemerintah, praktisi dan masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kewenangan bidang pertanahan yang dimiliki oleh otorita Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan apabila terjadi peralihan kewenangan dari otorita Batam kepada Pemerintah Kota Batam.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik diperpustakaan Karya Ilmiah Magister Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, penelitian tentang “Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah, Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)”, memang telah pernah dilakukan, namun memiliki perbedaan dalam hal substansi permasalahan yang dibahas, oleh karena itu penelitian ini adalah asli adanya. Secara akademik penelitian ini dapat saya dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.


(25)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.13 Fungsi teori dalam

penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan oleh karena itu kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami masalah kewenangan antara pemerintah daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam di bidang pertanahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, secara yuridis, artinya memahami objek penelitian sebagai hukum, yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum sebagaimana yang ditentukan dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum pertanahan, kewenangan antara Pemerintah Daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, batas-batas kewenangannya antara pemerintah Kota Batam dengan otorita pengembangan

13

DJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203.

14

Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.


(26)

daerah industri pulau Batam di bidang pertanahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.15

Kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum perdata, khususnya dibidang hukum pertanahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.16 Teori yang dipakai adalah teori keseimbangan

kewenangan Pemerintah Daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, batas-batas kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertanahan di Kota Batam yang dikaji berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.17 Keseimbangan untuk memperoleh kepastian

hukum terhadap pemberian kewenangan hukum dan hak-hak atas tanah terhadap masyarakat yang diberikan oleh pemerintah Kota Batam dan otorita pengembangan dan arah industri kota Batam dengan mengacu kepada batas-batas kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk memperoleh kepastian hukum pemberian hak-hak atas tanah oleh kedua instansi berwenang di pulau Batam tersebut.18

Teori keseimbangan ini dipelopori oleh Aristoteles dimana Ia menyatakan bahwa hukum harus diluruskan penegakannya sehingga memberi keseimbangan yang

15

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, hal. 17.

16

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 17

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1994, hal. 102. 18Ibid,


(27)

adil terhadap orang-orang yang mencari keadilan. Dalam teori keseimbangan semua orang mempunyai kedudukan yang sama dan diperlakukan sama pula (seimbang) dihadapan hukum.19

Sistem hukum pertanahan dibangun berdasarkan asas-asas hukum Mariam Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.20 Pandangan ini menunjukkan arti

sistem hukum dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar tentang kebenaran (waarheid truth) untuk menopang norma hukum dan

menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum pertanahan.

Konsiderans UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria Nasional berdasarkan atas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak menjabarkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Menyimak konsiderans dari UUPA tersebut, maka pembangunan Hukum Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis “selama hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh serta menunjukkan adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan Hukum Tanah Nasional itu.”21

AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat kepada hukum adat di dalam UUPA, tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti yang dikenal sebelum berlakunya UUPA. Reorientasi pelaksanaan hukum di Indonesia akan lebih

19

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1985, hal. 87. 20

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1990, hal. 15. 21


(28)

berhasil jika kita mampu memahami jiwa hukum adat yang akan dikembangkan di dalam perundang-undangan modern. Pemberian tempat bagi hukum adat didalam

UUPA, apalagi penempatan itu dalam posisi dasar, merupakan kristalisasi dari asas-asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat yang sebenarnya. Hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional22. Sehingga

dalam hubungan dengan prinsip-prinsip satuan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara :23

a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa dan seterusnya (Pasal 5) dan tidak merupakan penghambat pembangunan.

b. Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa serta dapat menghambat pembangunan negara.

Hukum adat yang tidak bertentangan tersebut dalam poin a di atas, tetap berlaku dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal II, VI dan VIII Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam poin b tidak diberlakukan lagi (tidak diadatkan).24

22

AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 47.

23

Alvi Syahrin, Op. cit, hal. 40. 24

Iman Soetikjno, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 48-49.


(29)

“Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan norma-norma hukum adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA, bahkan Pasal 5 UUPA memberikan syarat yang lebih rinci, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya”.25

Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.26

Konsepsi hukum adat dalam hukum tanah nasional di rumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum tanah nasional ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat komunalistik menunjukkan semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religius dari konsepsi ini ditujukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

25

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 1

26Ibid,


(30)

terkandung di dalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia.

Suasana religius dalam Hukum Tanah Nasional juga terlihat dalam konsiderans UUPA yang menyebutkan “…perlu adanya hukum agraria nasional yang tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”……..”harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Pasal 5 UUPA yang menyebutkan : “dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum Tanah Nasional, antara lain asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanah secara berencana, serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.27

Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum (ratio legis) selanjutnya. Namun

demikian, penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu memperhatikan faktor-faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan menyimpang dari asas tersebut guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat memenuhi rasa keadilan dan kebenaran.

Tujuan diundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, agar daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka pengembangan wilayahnya masing-masing untuk kemajuan daerahnya, agar

27


(31)

sesuai dengan aspirasi masyarakat di daerah tersebut demi mencapai kesejahteraan bersama di semua sektor pembangunan.

Kewenangan mengurus rumah tangga sendiri tersebut juga mencakup kewenangan mengatur masalah pertanahan diwilayahnya demi mengembangkan otonominya sesuai gerak tuntutan kesejahteraan rakyat, atau minimal daerah tidak kesulitan mengajak investor menanamkan modal di daerahnya demi peningkatan usaha yang berkaitan dengan tanah didaerahnya.28 Keadaan ini dapat dipahami,

karena daerah berkeinginan untuk memajukan daerahnya serta mensejahterakan masyarakatnya dengan landasan pengembangan ekonomi sebagai basisnya dengan tetap bertumpu kepada kebijakan ekonomi baru mencakup kebijaksanaan, strategi dan pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, tanpa mengabaikan peranan perusahaan-perusahaan besar. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnya dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan pengusahaan dan pemilihan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai basis usaha pertanian diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat.29

28

Muhammad Yamin, Politik Agraria dalam Mengatur Perkembangan Otonomi Daerah, Artikel, dimuat Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 2, November 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 8.


(32)

Perlindungan hukum terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi serta petani masih perlu lebih ditingkatkan pelaksanaannya, mengingat dalam prakteknya masih sering terabaikan dan cukup memprihatinkan. Kendati sarana hukum yang tersedia dari segi kuantitas dalam hal perlindungan hukum tersebut sudah memadai, namun penegakan dan pengawasan peraturan itu masih lemah.30

1. Kewenangan hak menguasai dari negara, diatur secara terperinci dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu berupa kegiatan :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak menguasai dari negara tidak akan hapus, selama Negara Republik Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

2. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada31.

30

Muhammad Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal. 118.

31


(33)

3. Hak-hak penguasaan individual, terdiri atas : a. Hak-hak atas tanah32, meliputi :

Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai yang diberikan oleh Negara33.

Sekunder : Hak Guna Bangunan dan hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lain34.

b. Hak Wakaf35, hak individual yang berasal dari hak milik yang sudah

diwakafkan dan mempunyai kedudukan khusus dalam Hukum Tanah Nasional.

c. Hak jaminan atas tanah, yang disebut dengan hak tanggungan.36

Dalam lingkup hak bangsa, para warga negara mempunyai hak bersama untuk menguasai tanah dan menggunakannya, serta dimungkinkannya para warga untuk menguasai dan menggunakannya secara individual dengan hak-hak yang bersifat pribadi, artinya bahwa tanah tersebut tidak harus dikuasai dan digunakan secara bersama-sama dengan orang lain.

Sifat pribadi hak-hak individual menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan tanahnya bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.37

32

Pasal 4 UUPA 33

Pasal 16 UUPA 34

Pasal 37, 41 dan 53 UUPA 35

Pasal 49 UUPA 36


(34)

Hak-hak individual yang bersifat pribadi tersebut, dalam konsepsinya mengandung unsur kebersamaan, karena semua hak pribadi secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bersama. Hak-hak primer (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai) langsung bersumber dari hak bangsa, melalui pemberian oleh negara sebagai petugas bangsa. Hak-hak yang lain seperti hak sewa, hak bagi hasil dan lain-lainnya merupakan hak-hak sekunder yang bersumber pada Hak Bangsa secara tidak langsung, melalui pemegang hak primer.38

Adanya unsur kebersamaan dalam hak individual39 ini sesuai dengan alam

pikiran asli orang Indonesia yang menegaskan bahwa manusia Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus mahkluk sosial, yang mengusahakan terwujudnya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.

Perintah untuk mengadakan perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah (Pasal 14 UUPA), meletakkan kewajiban kepada mereka yang mempunyai tanah untuk menggunakan tanah yang dihaki-nya (Pasal 10 UUPA), kewajiban untuk memelihara, menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA), larangan pemilikan dan penguaaan tanah yang berlebihan (Pasal 7 dan 17 UUPA), serta kebijakan dan ketentuan yang digariskan dalam Pasal 11, 12 dan 13 UUPA, merupakan penjabaran sifat fungsi sosial yang menunjukkan adanya unsur kebersamaan.

37

Pasal 9 UUPA berikut penjelasannya. 38

Boedi Harsono, Tinjauan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang dan Masa Akan Datang, Makalah, Seminar Nasional Pertanahan dalam rangka HUT UUPA ke-XXXII, Yogyakarta, 1992, hal. 15.

39


(35)

Dengan demikian, filosofis pemberian hak atas tanah kepada seseorang ataupun badan hukum didasarkan pada diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya yang nyata, serta adanya kewajiban untuk menggunakannya. Ini berarti, tanah bukan merupakan komoditi perdagangan, walaupun dimungkinkan untuk dijual kepada pihak lain jika ada keperluan. Tanah tidak bisa dijadikan obyek investasi semata-mata, lebih-lebih dijadikan obyek spekulasi.40

Selanjutnya, asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan perlindungan hukum yang diberikan oleh Hukum Tanah Nasional terhadap para pemegang hak atas tanah41, adalah :

1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional; 2. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal), tidak

dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU 51 Prp 1960);

3. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya;

4. Hukum menyediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada :

40

Boedi Harsono, Op.cit, hal. 16. 41


(36)

- Gangguan oleh sesama anggota masyarakat; gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya (UU 51 Prp 1960);

- Gangguan oleh penguasa; gugatan melalui Pengadilan Umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara;

5. Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang menjadi hak seseorang, harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya;

6. Tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh pihak manapun kepada pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri (seperti diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata)

7. Dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, dan tidak mungkin menggunakan tanah yang lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara pencabutan hak atas tanah, yang diatur dalam UU 20/1961;


(37)

8. Dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang dideritanya sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan;

9. Bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.

Batam sebagai bagian wilayah Indonesia, tidak terlepas dari fenomena konflik masalah pertanahan. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan yang mau tidak mau harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru.

Ditengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, maka jalan pintas untuk mendirikan tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi pemukiman menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liarpun bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya.42

42

Markus Gunawan, Rumah Liar Problematika Multidimensial, Syari Pos, Batam, 12 Juli 2002, hal. 4.


(38)

Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena itu pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemulihan hak pakai atas tanah negara.

Penetapan status pulau Batam sebagai zona industri menurut Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat perubahan dalam pola kebijakan dibidang industri tetapi juga kebijakan di bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk selanjutnya disebut otorita Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.43

Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 200444 yang memberikan kekuasaan yang amat besar

kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.45

43

Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, 2004, hal. 8. 44

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Revisi tersebut tidak banyak, merevisi masalah pertanahan hanya satu pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut.

45


(39)

Pemberian otonomi dibidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.46

Dengan berbekal Undang-Undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. Terhadap hal ini, otorita Batam mengacu kepada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan kepada otorita Batam, termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam.

Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-Undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan, sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam. Status hukum hak pengelolaan atas seluruh aral yang terletak di pulau Batam, termasuk dalam gugusan pulau Janda berhias pulau Tanjung Sauh, pulau Ngenang, pulau Kasem dan pulau Moi-Moi yang diperoleh otorita Batam berdasarkan Keputusan Menteri Dalam

46

Arie, S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 40.


(40)

Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Februari 1977 menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di pulau Rempang dan Galang. Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.

2. Konsepsi

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional.47 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan

perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai berikut : yang dimaksud dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan/perbuatan hukum dibidang pertanahan dalam hal pemberian hak-hak atas tanah kepada masyarakat di Kota Batam.48

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

47

Sumardi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3. 48

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 1010.


(41)

prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.49

Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.50 Otonomi Daerah adalah

hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.51

Daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.52

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Untuk menjawab dan membahas permasalahan dalam penelitian ini maka sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analisis, yang mengusahakan/memaparkan bagaimana pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan dalam hal ini adalah batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh

49

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 50

Pasal 1 ayat (3), Ibid. 51

Pasal 1 ayat (5), Ibid 52


(42)

Pemerintah Kota Batam dengan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam dalam hal pemberian hak-hak atas tanah di Kota Batam, dalam hal memberikan kepastian hukum kepada masyarakat di Kota Batam atas kewenangan pemberian hak-hak atas tanah tersebut.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan juridis normatif (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang berawal dari premis umum, untuk kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran pokok (teoritis).

2. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau

doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual, dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan pemerintah daerah (otonomi) dibidang pertanahan dan juga UU yang terkait masalah pertanahan tersebut. Studi dokumen dalam bentuk buku teks, jurnal, makalah dan berbagai artikel yang terbit disejumlah media massa, kamus umum dan kamus Hukum.


(43)

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan,

yang dapat berupa wawancara langsung dengan para pihak terkait seperti pejabat Pemerintah Kota Batam dan otorita Batam yang berwenang dalam bidang pertanahan, yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan narasumber.

3. Analisis Data

Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakikatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis konstruksi.

Sebelum analisa dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan (primer, sekunder maupun tertier) untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.53

Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus untuk melakukan analisis terhadap

53

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 106.


(44)

permasalahan yang ada dengan cara yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.54

Ada 3 (tiga) alasan penggunaan penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif, antara lain :

1. Analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

2. Data yang dianalisa beraneka ragam memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikualifisir.

3. Sifat dasar data yang dianalisa dalam penelitian ini adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (hilistic) dimana hal itu menunjukkan

adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information).55

Hasil penelitian ini bersifat evaluasif analisis yang kemudian dikonstruksikan dalam suatu kesimpulan yang ringkas dan tepat sesuai tujuan dari penelitian ini.

54

Ibid, hal. 107. 55

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditas, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1


(45)

BAB II

PENYERAHAN KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN PADA PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH A. Pengertian dan Sejarah Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti sendiri

dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu, secara harfiah otonomi berarti

peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintah sendiri.56

Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian dari pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses menyejahterakan rakyat”, sedangkan menurut Thoha, otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah di bawahnya dan sebaliknya pemerintah di bawahnya yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakannya.57

Selain itu, pengertian otonomi daerah menurut Fernandes adalah pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk meningkatkan daya guna dan

56

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 81.

57Ibid, hal. 82.


(46)

hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.58

Pengertian otonomi daerah sering disalahgunakan atau dipertukarkan penggunaannya dengan istilah desentralisasi. MP Walker III menyebutkan bahwa so

complete was the confusion that among many Indonesians…..politicians,

administrators, lawyers, and teachers…the two words otonomi and desentralisasi

were generally used interchangeably.59 Secara singkat pengertian desentralisasi

mengandung pengertian adanya pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya (daerah yang dibentuk) oleh pemerintah pusat.60

Sementara itu, otonomi daerah adalah pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang

secara formal berada di luar pemerintah pusat.61

Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama, komponen

wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang

mengacu pada konsep “pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada kata-kata

58Ibid. 59

Millidge Penderell Walker III, Administration and Local Government in Indonesia, Ph.D. Thesis, Berkley, University of Carolina, 1967, hal. 16 dalam Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertai Program Pasc asarjana, 1993, hal. 17.

60

Bhenyamin Hoessein, Ibid., hal. 12. 61


(47)

“oleh, dari dan untuk rakyat”. Kemandirian tersebut diterjemahkan oleh Moh. Hatta sebagai mendorong tumbuhnya prakarsa dan aktivitas sendiri.62

Komponen pertama : wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan tertentu tersebut diperoleh dari pemerintah pusat melalui desentralisasi wewenang dan wewenang tersebut merupakan kekuasaan formal (formal power).63

Wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang (domain of power) dan

bidang-bidang (gatra) kehidupan yang terliput dalam wewenang (scope of power) ditetapkan

oleh pemerintah pusat (sebagai pihak yang memberi wewenang melalui desentralisasi) yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.64 Domain dan

scope of power tersebut dapat berubah yang berakibat pada perubahan bobot

wewenang (weight of power), yaitu misalnya pemerintah pusat dalam wilayah yang

sama melaksanakan dekonsentrasi atau desentralisasi fungsional atau bahkan menarik kembali (resentralisasi) kewenangan dalam gatra kehidupan tertentu sehingga

wewenangnya mengecil. Dapat juga terjadi wewenang tersebut membesar bila pemerintah pusat menambah penyerahan kewenangannya kepada daerah.65

Masih merupakan bagian dari komponen pertama, yaitu perubahan bobot wewenang tidak akan menimbulkan staat dalam Negara Indonesia. Penyerahan

wewenang tersebut tidak meliputi wewenang untuk menetapkan produk legislatif

62 Ibid 63

Harorl D. Lasswell and Abraham Kaplan, Power and Society, A Framework for Political Inquiry, forth printing, Yale University Press, New Haven, 1961, hal. 133, dalam Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertai Program Pascasarjana, 1993, hal. 19.

64

Bhenyamin Hoessein, Ibid, hal. 19. 65Ibid.


(48)

yang disebut secara formal dengan “undang-undang” dan wewenang yudikatif (rechtspraak) seperti yang dimiliki oleh suatu negara bagian.66 Terdapat pula

wewenang lain yang tidak diserahkan kepada daerah bentukan tersebut yang kemudian diatur secara tegas pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada

Pasal 7 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 10 ayat (1 dan 3).

Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal di luar pemerintahan pusat sebagai pengemban dan pelaksana wewenang penetapan kebijaksanaan yang tertuang dalam peraturan daerah. Lembaga-lembaga tersebut dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 diwujudkan dalam bentuk pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lembaga pemerintah daerah tersebut memiliki birokrasi daerah beserta birokratnya sebagai badan yang menyiapkan dan melaksanakan kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah. Sebagai wujud pelaksanaan suatu kegiatan pemerintahan, daerah yang memiliki otonomi harus memiliki sumber keuangan dan dikelola secara terpisah dari keuangan pemerintah pusat untuk mendukung dan melaksanakan kebijaksanaan daerahnya, terutama untuk tugas rutin dan tugas pembangunan.67

Komponen kedua dapat dilihat dari kemandirian daerah dari sisi pendapatan yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Bila pendapatan asli daerahnya (PAD) relatif besar dibanding dana yang didapat dari bantuan pemerintah pusat dalam bentuk Dana

66Ibid. 67


(49)

Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta dana-dana yang lain, daerah tersebut memiliki kemandirian yang relatif besar, dan demikian pula sebaliknya.

Pengaturan otonomi daerah di Indonesia terletak pada undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Cikal bakal sudah dimulai pada tahun 1903 dengan keluarnya Decentralizatie Wet. Pada tahun tersebut, Pemerintah Belanda

menetapkan Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie68

(S. 1903/219 dan S. 1903/329) yang disebabkan oleh dorongan dari berbagai pihak dan faktor. Berdasarkan wet (undang-undang) tersebut dan peraturan pelaksanaannya,

dibentuklah daerah otonom di wilayah gewest dan bagian gewest yang bercorak

perkotaan yang disebut dengan gemeente. Pembentukan daerah otonom dan

pelaksanaan pemerintahannya inilah yang mengawali hubungan kewenangan antara pusat dan daerah di Indonesia.69

Kemudian, ketika Indonesia merdeka, mulailah masalah pemerintahan daerah diatur dengan undang-undang yang terus berganti, dan terakhir pengaturannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Masing-masing undang-undang membawa nuansa tersendiri yang berhubungan erat dengan situasi dan tujuan negara pada saat itu, terutama masalah politik. Dalam menjalankan kebijaksanaan, menetapkan dan melaksanakan, daerah harus memiliki wewenang. H.D. Stout berpendapat bahwa wewenang dapat dijelaskan sebagai

68

Sutandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal. 11

69


(50)

keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hubungan hukum publik,70

E. Utrecht dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia melihat bahwa kekuasaan (gezag, authority) lahir dari kekuatan (matcht, power) apabila

diterima sebagai sesuatu yang sah atau sebagai tertib hukum positif dan badan yang lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (otoriteit).71

Soerjono Soekanto lebih melihat wewenang sebagai kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.72 Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (macht)

menggambarkan hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, sedangkan wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Lebih lanjut Nicolai

menyebutkan bahwa mengenai hak dan kewajiban adalah hak memberikan pengertian kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara itu, kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.73

Prinsip otonomi daerah sebenarnya telah diterapkan jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di

70

Stout H.D. De Betekenissen van de wet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1994, hal. 102 dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, hal. 40.

71

Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Padjajaran, Bandung, 1960, hal. 43.

72

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1988, hal. 79-80 73

Nicolai, P & Oliver, B.K., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hal. 4 dalam Irfan Fachruddin,

Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, hal. 39-40.


(1)

adanya kepatuhan hukum, maka perlu juga diatur tentang bagian hak pengelolaan yang telah diberikan kepada pihak ketiga sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru.

B. Saran

1. Penyerahan kewenangan di bidang pertanahan dari Otorita Batam kepada Pemerintah Kota Batam, di dalam pelaksanaan penyerahan kewenangan tersebut perlu dibentuk suatu peraturan khusus yang memperinci secara jelas dan tegas tentang batas kewenangan di bidang pertanahan tersebut. Hal ini mengingat bahwa Pulau Batam merupakan salah satu wilayah yang memiliki kekhususan yang selama ini kewenangan di bidang pertanahan di wilayah tersebut dilaksanakan oleh suatu badan yaitu Otorita Batam. Pemberlakuan peraturan khusus ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan di bidang pertanahan antara Otorita Batam dengan Pemerintah Kota Batam yang dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan kewenangan di bidang pertanahan tersebut.

2. Pemerintah Republik Indonesia perlu menerbitkan suatu Undang-Undang / Peraturan Pemerintah tentang hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam Dengan meningkatkan keselarasan keseimbangan dan keserasian kewenangan bidang pertanahan tersebut antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Batam agar dapat tercipta suatu kejelasan, ketegasan dan kepastian hukum terhadap kewenangan masing-masing institusi tersebut di bidang pertanahan


(2)

sehingga tidak terjadi kebingungan dalam pelaksanaan kewenangan di bidang pertanahan di Pulau Batam itu sendiri.

3. Apabila terjadi pelimpahan kewenangan dari Otorita Batam kepada pemerintah kota Batam dalam bidang pertanahan tersebut, maka perlu ditetapkan jangka waktu transisi melalui suatu peraturan yang tegas dan jelas untuk mengganti antisipasi munculnya masalah – masalah yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum kepada masyarakat di Pulau Batam dalam bidang status hak kepemilikan atas tanah.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Andayani Dwi B, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Disertai, Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2004.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

Fachruddin Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004.

Gunawan Markus, Rumah Liar Problematika Multidimensial, Syari Pos, Batam, 12 Juli 2002.

Gunawan Markus dan Anggraini Lisya (Editor), Batam Problematika Multidimensial

CV. Karya Mandiri, Batam, 2004.

Harsono Boedi, Tinjauan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang dan Masa Akan Datang, Makalah, Seminar Nasional Pertanahan dalam rangka HUT UUPA ke-XXXII, Yogyakarta, 1992.

_____________, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional Djambatan, Jakarta, 1999.

_____________, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003.

_____________, 46 Tahun UUPA, Usaha Penyempurnaan yang Belum Selesai, Makalah disampaikan pada Pertemuan Tahunan Memperingati Hari Ulang Tahun UUPA, Jakarta, 14 September 2006.

Hoessein Bhenyamin, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertai Program Pascasarjana, 1993.

Hutagalung, S. Arie, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005.


(4)

Idham, Konsilidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 2004.

Kamelo Tan, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006.

Lubis M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2002.

Moelong J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

Nasution Surya Makmur, Batam Jangan Sampai Arang Abis Besi Binasa,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.

Nicolai, P & Oliver, B.K., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hal. 4 dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004.

Nugraha Safri, dkk, Hukum Administrasi Negara, CLGS-FHUI, Depok, 2007.

Parlindungan AP., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998.

Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani, 2004, Pemko Batam, 2004. Rahardjo Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1994.

Roeroe Freddy, Et.al, Batam Komitmen Sete ngah Hati, Aksara Karunia, Jakarta, 2003.

Salam Dharma Setyawan, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.

Soekanto Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1988. Sudiyat Iman, Hukum Adat, Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 1. Conditio

sine qua non merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti syarat mutlak atau syarat yang absolut. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.


(5)

Surya Brata Sumardi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Syahrin Alvi, Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009.

Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan,

Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional, Direktorat Tata Ruang dan

Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, Jakarta, 2004.

Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Padjajaran, Bandung, 1960.

Wasistiono Sadu, Esensi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Makalah disampaikan pada Rakernas Asosiasi DPRD Kota-Se-Indonesia, Batam, 2005. Wignjosoebroto Sutandyo, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial

Hindia Belanda, Bayumedia Publishing, Malang, 2004.

Wuisman, M, DJJ, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, Tentang Penataan Ruang, Tahun 2007.

Undang-Undang No. 53 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuatnan Singingi, dan Kota Batam. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat

Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal

atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional.


(6)

Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau Batam. Keputusan Presiden No. 28 tahun 1992 Tentang Penambahan Wilayah Lingkungan

Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya Sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone),.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 1977 Tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam.

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9-VIII-1993 Tahun 9-VIII-1993 Tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau –pulau Lain di Sekitarnya.


Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI PEMBERIAN KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN KEPADA PEMERINTAH DAERAH SESUAI UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 DI KABUPATEN SLEMAN

0 6 102

KEWENANGAN GUBERNUR SUMATERA BARAT DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 10

KEWENANGAN SEKRETARIAT DAERAH KOTA PADANGSIDEMPUAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 12

KEWENANGAN SEKRETARIAT DAERAH KOTA PADANGSIDEMPUAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 17

KEWENANGAN DPRD DALAM PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 6

KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 10

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAYANAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DI KOTA SURAKARTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAH DAERAH.

0 0 10

KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH OTONOM DALAM PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH | FAHRIAH | Legal Opinion 5850 19411 1 PB

0 0 10

BAB II TINJAUAN TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN HUBUNGAN LUAR NEGERI BIDANG EKONOMI - ASPEK HUKUM KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MELAKSANAKAN KERJASAMA EKONOMI DENGAN LUAR NEGERI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIN

0 0 56

MENENGAH (RPIJM} BIDANG CIPTA KARYA TAHUN 2OL7-2O21 Berdasarkan Undang- Undang No.32 Tahun 20A4 tentang Pemerintahan Daerah telah ditetapkan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan

0 0 6