PENDAHULUAN Penguasaan Tanah (Kajian Deskriptif Terhadap Kelompok Pendatang di Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah. Tanah, berapa pun luasnya dapat menjadi sebuah investasi bagi seseorang. Atas tanah tersebut seseorang dapat menjualnya, menanaminya, atau mendirikan suatu bangunan diatasnya. Intinya tanah tersebut dapat menjadi modal dasar kehidupan bagi manusia. Sebagai sebuah modal dasar, maka tanah memiliki dua fungsi: fungsi produksi dan fungsi non produksi. Fungsi produksi diartikan bernilai ekonomis, sedangkan fungsi non produksi memiliki nilai religio-magis. Dalam setiap masyarakat pengungkapan makna tanah dapat terlihat secara berbeda-beda. Purba 1997 mengatakan bahwa pada sistem nilai Batak Toba tradisional tanah merupakan lambang kekayaan dan kerajaan. Memiliki tanah, terutama persawahan memberi status yang tinggi bagi mereka, seperti dalam ungkapan lulu anak, lulu tano. 1 Hal senada juga terungkap pada masyarakat Tunggal Serambi JambiBatang Pengabuan, dimana tanah merupakan tempat mereka tinggal dan hidup, tempat dimana mereka mencari penghidupan diatasnya, bahkan tanah merupakan pusaka atau warisan dari nenek moyang mereka yang pertama kali merintisnya serta tanah merupakan tempat mereka dikuburkan bila kelak mereka meninggal dunia. 2 1 Arti harafiahnya suka akan anak supaya gabe, juga akan tanah. Ungkapan ini mengandung arti, semakin banyak anak keturunan di butuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka. 2 Lihat www.pemkab-tanjungjabungbarat.go.id. Universitas Sumatera Utara Berharganya nilai tanah membuat setiap orang berlomba untuk memiliki bahkan menguasai dengan berbagai cara. Hal ini sering membuat terjadinya sengketa akan tanah. Akhir dekade ini, sengketa tanah sering terjadi. Misalnya, kasus sengketa tanah antara PT. PSA dengan masyarakat di Desa Tambusai Timur, Kecamatan Tambusai Timur, Kabupaten Rokan Hulu, Riau yang telah menelan korban jiwa pada tahun 2004. 3 Selain itu, sengketa tanah juga terjadi antara masyarakat pendatang dan masyarakat setempat, seperti yang terjadi di Desa Kuamangkuning, Kecamatan Tabir Timur, Kabupaten Merangin, Jambi Barat. Persoalannya karena sebagian lahan telah ditempati oleh warga pendatang dalam program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah. Sementara penduduk setempat masih bersikukuh bahwa lahan yang ditempati adalah milik mereka yang merupakan warisan nenekmoyangnya. Selain itu, sengketa tanah adat Payo Langanuk yang sekarang dijadikan lahan transmigrasi juga belum selesai sejak 1999. 4 Faktor penyebab di atas tidak terlepas dari pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat, membuat berbagai kebutuhan seperti halnya tanah semakin besar, sehingga menarik perhatian untuk meninggalkan daerah asal dan mulai memilih serta menetap ke daerah lain, baik ke kota ataupun ke desa. Daldjoeni Omba 1998 menjelaskan beberapa faktor penyebab sengketa atas tanah yang dominan adalah: 1. terjadinya perubahan pola pemilikan atau penguasaan atas tanah; 2. tanah yang semula bernilai sosial dan bersifat magic; 3. adanya persepsi mengenai status tanah antara pemerintah dan masyarakat; 4. hubungan kekerabatan pada suku-suku bangsa yang mulai renggang. 3 Baca Sengketa Tanah: Kasus Tanah Tambusai Timur, Riau. Komnas HAM, 2006 4 Lihat www.jambi-independent.co.id Universitas Sumatera Utara 1986:117 mengatakan bahwa dalam banyak uraian disebutkan 2 dua faktor utama penyebab migrasi desa ke kota yaitu: 1. faktor penarik pull faktors; 2. faktor pendorong push factors. Faktor-faktor tersebut adalah; 1. perbandingan jumlah penduduk dengan luas tanah yang terlalu menyolok; 2. kurangnya lapangan pekerjaan di luar pertanian; 3. rendahnya tingkat pendapatan, yang mempengaruhi tenaga kerja. Dalam hal ini migrasi desa ke desa juga dapat disebabkan oleh 2 dua faktor tersebut. Sementara itu, Purba 1997 dalam penelitiannya terhadap migrasi Batak Toba menjelaskan bahwa pada permulaan tahun 1900-an ada 2 dua hal yang menyebabkan orang-orang dari Tapanuli, terutama Batak Toba memasuki Dairi daerah pedesaan. Pertama, kehadiran kolonial Belanda di Tanah Batak. Kedua, usaha missioner Jerman yang ingin memperluas daerah kerjanya. Kehadiran migran tersebut membuat mereka memilih tinggal menetap dan membuka lahan pertanian di daerah tujuan, sehingga berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan tanah-lahan. Di daerah tujuan, mereka yang bermigrasi tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan tanah yang telah bermakna seperti di daerah asalnya. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, penguasaan tanah biasanya didapat melalui pelepasan adat maupun penyerobotan. Pelepasan secara adat dapat diberikan kepada anggota kelompok setempat atau kelompok luar dengan status kepemilihan hak pakai, dimana tanah dapat digunakan sampai keturunan selanjutnya, bila tanah tidak di kelola lagi maka tanah tidak dapat di jual dan kembali kepada pemilik semula atau pemilik ulayat. Universitas Sumatera Utara Secara umum, menurut Purbacaraka dan Halim 1993, hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indonesia dibedakan atas dua bentuk, yaitu: “hak ulayat” dan “hak pakai”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasannya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama. Hak pakai ini dapat diberikan keapada anggota kelompok setempat atau kelompok luar, tanah yang tidak digunakan lagi maka akan kembali kepada pemilik ulayat dan dapat diberikan lagi kepada yang lain. Syahyuti 2006 menjelaskan terdapat 4 empat karateristik pokok bentuk penguasaan tanah menurut hukum adat, yaitu tidak adanya kepemilikan mutlak, penguasaan yang bersifat inklusif, larangan untuk memperjual belikan tanah meskipun untuk tanah yang sudah dikuasai secara pribadi, serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya dibanding tanah. Karena jumlahnya yang terbatas, maka tanah harus digunakan secara adil, dan harus mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh orang dimuka bumi. Untuk itu, tanah jangan dijadikan sebagai komoditas pasar yang bebas. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya bentuk penguasaan tanah melalui penyerobotan biasanya dilakukan oleh Negara dan pemilik modal atas dasar pembangunan. Dengan alasan tersebut sudah sering digunakan untuk menguasai tanah rakyat Biasanya kehadiran sebuah perusahaan juga memicu terjadinya penyerobotan tanah.. Contoh kasus perampasan hak atas tanah adat, adalah kasus PT. Freeport yang beroperasi sejak 1967 hingga saat ini, perusahaan-perusahaan HPH, dan lain sebagainya. Pada proses penguasaan tanah, kemungkinan siapa saja - pemerintah, penguasa, masyarakat pendatang dan setempat - bisa menguasai. Seperti halnya di Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi. Penguasaan tanah adat Pakpak banyak didominasi oleh kelompok pendatang dari luar daerah yang migrasi mulai tahun 1930-an. Dominasi penguasaan tanah oleh kelompok pendatang tersebut dapat memicu potensi konflik terhadap penduduk asal. Selain itu, kehadiran PT. DPM di desa tersebut juga berpotensi menumbuhkan konflik terhadap masyarakat. 5 5 Hasil pengamatan lapangan Dengan memahami pentingnya arti tanah bagi suatu masyarakat, maka sangat perlu melakukan kajian-kajian mengenai status kepemilikan tanah. Hal ini perlu guna menggambarkan status kepemilikan tanah serta proses kehadiran kelompok pendatang dan penguasaan tanah yang terjadi disuatu daerah, sehingga akan diketahui segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaanya. Universitas Sumatera Utara 1.2. Rumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini mengambarkan bagaimana status kepemilikan tanah oleh kelompok pendatang di Desa Bongkaras yang dapat menumbuhkan potensi konflik dengan penduduk setempat. Permasalahan diuraikan ke dalam 3 tiga pertanyaan penelitian yaitu: 1. Bagaimana proses kedatangan kelompok pendatang ? 2. Bagaimana proses penguasaan dan kepemilikan tanah oleh kelompok pendatang ? 3. Bentuk hubungan apa yang terwujud atas penguasaan tanah dari kelompok setempat terhadap kelompok pendatang sebelum dan sesudah kehadiran perusahaan ?. 1.3. Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Desa Bongkaras, yang berada di Kecamatan Silima Pungga-pungga Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi ini dikarenakan bahwa penguasaan tanah didominasi oleh kelompok pendatang. Selain itu, keunikan proses migrasi yang terjadi adalah dari desa di Kabupaten Simalungun dan Tapanuli ke desa di wilayah Kabupaten Dairi serta kehadiran perusahaan yang kemungkinan besar dapat menumbuhkan potensi konflik di kalangan mereka. Universitas Sumatera Utara 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan secara mendalam tentang proses-proses kehadiran serta status dan hak kepemilikan tanah oleh kelompok pendatang yang mengarah pada potensi konflik di Desa Bongkaras. Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan menambah wawasan keilmuan antropologi dalam memperkaya literatur dan khasanah pengetahuan tentang migrasi, persoalan kepemilikan tanah dan permasalahan yang muncul. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah terutama aparat desa, lembaga adat, lembaga agama, perusahaan dan pihak- pihak terkait yang berkepentingan dalam pengambilan kebijakan pembangunan yang berkaitan atas persoalan tanah. 1.5. Tinjauan Pustaka. Undang-undang Pokok Agraria UUPA menegaskan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Tanah merupakan salah satu sumberdaya alami penghasil barang dan jasa, kebutuhan yang hakiki dan berfungsi esensial bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Tanah sebagai alat produksi menjadi sumber paling menentukan bagi kelangsungan hidup manusia untuk mengembangkan kehidupan sosial dan kebudayaannya secara lebih luas. Intinya, tanah tersebut dapat menjadi sumber kehidupan bagi seseorang yang bernilai ekonomis dan kultural. Pemilikan maupun penguasaan tanah merupakan faktor penting dalam setiap masyarakat. Pentingnya penguasaan tanah bagi suatu masyarakat juga dapat Universitas Sumatera Utara dilihat dari slogan-slogan atau ungkapan-ungkapan yang hidup dan tumbuh di dalamnya. Di Indonesia dikenal dengan istilah tanah tumpah darah, yang berarti tanah atau wilayah yang harus dipertahankan dalam upaya mempertahankan eksistensi bangsa. Hampir setiap daerah di Indonesia mengenal ungkapan yang menyangkut masalah tanah. Pada masyarakat Bugis dikenal ungkapan tentang betapa hakikinya hubungan antara manusia dengan tanah yakni: “narekko mualai pale, namautona sipolo tana tudangakku tekkualangi soro ritettongkku namo tetti cera paccappurekku”. 6 Sebagaimana masyarakat Papua, pada suku Dayak Kanayatn, kosep “tanah adat” disebut dengan Palasar Palaya, yang memadukan tanah dengan fungsi- fungsinya bagi kehidupan manusia. Ada batas-batas territorial pengelolaan sumberdaya alam pada satu kampung ampu sakampongan. Berbagai fungsi yang dikenal adalah tanah keramat panyugu, padagi, pantulak, dll, tempat berburu dan tempat berladang balubutatu, bawas, tanah bersawah tawakng, bancah, Di masyarakat Papua, tanah diibaratkan sebagai “ibu kandung”. Sebagai ibu, tanah memberikan kehidupan kepada anak-anaknya. Selain bernilai ekonomis, tanah juga memiliki nilai kultural-spritual, dengan sistem kepemilikan yang berbentuk komunal. Kepemilikan tanah di Papua berkaitan dengan keberadaan serta penguasaan suatu etnik atas wilayah tertentu Anonimous, 2006a. Demikian halnya di Jawa, dikenal istilah sedumuk batu senyari bumi, artinya sekecil apapun tanah yang dikuasai, keberadaannya sudah menyatu dengan petani sehingga harus dipertahankan Suhendar dan Winarni, 1998;2. 6 Terjemahan bebas : “jika orang merampas tanahku walaupun sepotong, akan saya pertahankan sampai titik darah penghabisan”. Universitas Sumatera Utara perkebunan rakyat kabon gatah, kampokng buah, dan cagar budaya timawakng. Selain itu, juga ada tanah colap tornat pusaka tanah yang dingin, yaitu tanah perjanjian adat yang turun temurun harus tetap diabadikan pusaka. Tanah ini ada disetiap kampung. Suku Baduy juga mengenal “tanah larangan” yaitu daerah yang dilindungi dan tidak sembarang orang dapat masuk dan berbuat sekehendaknya Permana, 2003. Pengungkapan makna tanah yang bernilai ekonomis dan sakral tersebut juga terungkap pada masyarakat lain. Purba 1997 menjelaskan dalam sistem nilai Batak Toba tradisional, memiliki tanah, terutama persawahan memberi status yang tinggi bagi mereka. Tanah merupakan lambang kekayaan dan kerajaan. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga, setiap keluarga ingin memperluas areal pertaniannya. Selain itu menguasai lahan yang lebih luas yang di dalamnya dapat membangun ‘kerajaan’ buat diri dan anggota keluarga kelak. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam adat Batak Toba 3 H yakni; hagabeon, hamoraon, hasangapon, seperti terungkap sebagai lulu anak, lulu tano; yang arti harafiahnya suka akan anak supaya gabe, juga suka akan tanah. Untuk merealisasikan cita-cita dan idaman di atas, masyarakat agraris sering berpindah dari satu desa ke desa lain atau dari satu daerah ke daerah lain secara berkelompok atau perorangan. Selain itu, lingkungan kampung dan areal pertanian yang terbatas mendorong petani menginggalkan kampung halamannya. Didaerah tujuan, kelompok migrasi biasanya mulai mencari daerah yang ada areal pertaniannya. Universitas Sumatera Utara Dari hasil penelitian Purba 1996;35-50 menunjukkan bahwa kehadiran Batak Toba ke Dairi, khususnya Sidikalang selain alasan kolonial dan misionaris juga ada pendatang dengan tujuan membuka persawahan. Di bidang pertanian, orang Batak Toba memperkenalkan metode persawahan dan membuka perkebunan-perkebunan kopi salah satu upaya memanfaatkan lahan luas, yang selama itu nampak sebagai hutan. Sepanjang perjalanan waktu, para migran mulai memasuki daerah-daerah sekitarnya. Mereka memperoleh lahan melalui aturan adat. Membicarakan perpindahan orang Batak Toba dari Tapanuli Utara tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan nilai-nilai filosofis mereka yang masih dipegang teguh hingga dewasa ini. Hal ini juga merupakan salah satu faktor pendorong untuk migrasi. Biasanya keluarga-keluarga muda yang baru berdikari, manjae, dapat mendorong pendirian rumah-rumah baru di kampung yang sama. Implikasinya pertambahan jumlah penduduk semakin pesat menimbulkan tekanan terhadap lahan pertanian dan bagi perkampungan. Sebagai akibatnya mereka tidak dapat bertahan lama di huta asal sehingga muncul alternatif untuk membuka lahan pertanian dan perkampungan baru di luar huta asal bahkan ke daerah yang lebih jauh di luar batas budaya sendiri. Lebih lanjut Purba 1996 menjelaskan, migrasi Batak Toba yang disebutnya marserak memiliki istilah-istilah antara lain; manombang, mangaranto, marjalang, merlopong, mangombo, mangalului jampalan na lomak atau masiampapaga na lomak. Perpindahan kelompok biasanya berasal dari satu kelompok kecil marga atau mungkin satu kakek sasuhu atau satu kampung asal. Universitas Sumatera Utara Kampung baru yang mereka buka menjadi daerah ‘kerajaannya’ dan tidak jarang memberi nama sama dengan kampung asal atau marga pembukanya. Perpindahan penduduk seperti Batak Toba di Dairi yang telah banyak menguasai tanah dapat memicu potensi konflik terhadap penduduk yang menggangap hak ulayatnya. Dietz dalam Erpan F menyatakan bahwa pada dasarnya, gejala konflik dalam hubungan-hubungan agrarian ini berakar pada pertentangan klaim menyangkut tiga hal berikut: 1. Siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agrarian dan kekayaan alam yang menyertainya. 2. Siapa yang berhak memanfaatkan sumber-sumber agrarian dan kekayaan alam itu. 3. siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agrarian dan kekayaan alam tersebut. Ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya permasalah tanah. pertama: perbedaan persepsi mengenai penguasaan tanah antara wilayah Jawa- Madura Indonesia dalam dan luar Jawa-Madura Indonesia luar sebagaimana dikemukakan oleh Geertz 1983;12. DI ‘Indonesia dalam’ tanah itu sendiri yang dianggap sebagai hak milik dan tanah dipandang sebagai alat produksi sehingga demi tanah itu orang bersedia melakukan apa saja bahkan mempertahankan nyawanya, agar batas-batas milik orang perorangan menjadi kelas. Kedua, perbedaan kepeentingan antara penguasaan ekonomi dan politik di satu sisi dengan rakyat di sisi lain. Universitas Sumatera Utara George Aditjondro, dalam uraiannya secara khusus menyoroti bahwa konflik-konflik horizontal tentang tanah di masyarakat masih kurang mendapat perhatian. Kurangnya perhatian terhadap konflik horizontal menurutnya disebabkan oleh dua hal, yaitu kompleks atau rumitnya permasalah tersebut dari pada konflik vertical seperti konflik rakyat melawan Negara. Sehingga sangat relevan untuk mengkaji persoalan-persoalan tanah yang berada ditengah-tengah masyarakat. 1.6. Metodologi Penelitian. 1.6.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bertipekan deskriptif kualitatif. Suatu penelitian yang menggambarkan secara mendalam tentang proses-proses kehadiran kelompok pendatang serta status dan hak kepemilikan atas tanah di Desa Bongkaras yang dapat menumbuhkan potensi konflik terhadap penduduk setempat yang dianggap memiliki tanah ulayat di desa tersebut. Data dapat dikelompokkan 2 dua jenis yakni data primer dan data sekunder. a. Data Primer Data primer adalah data yang didapatkan melalui observasi dan wawancara. Observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi dimana peneliti selain melakukan pengamatan atas berbagai gejala dalam kegiatan- kegiatan masyarakat, juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Hal ini dilakukan agar peneliti benar-benar menyelami dan memahami kehidupan Universitas Sumatera Utara informan terhadap penguasaan tanah di Desa Bongkaras. Observasi partisipasi dilakukan untuk mengamati pengelolaan tanah, batas-batas tanah. Selama proses observasi, penelitian ini dilengkapi dengan kamera foto. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan wawancara sambil lalu yang dibantu dengan alat perekam tape recorder dan dituangkan ke dalam catatan lapangan. Kedua jenis wawancara tersebut dilakukan guna memperoleh keterangan sesuai masalah yang diteliti dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai informan. Wawancara mendalam menggunakan pedoman guide wawancara, sedangkan wawancara sambil lalu tanpa pedoman wawancara. Untuk memperlancar proses wawancara, terlebih dahulu dibangun hubungan baik rapport dengan informan. Wawancara mendalam ditujukan kepada informan pokok atau kunci dan informan biasa, sedangkan wawancara sambil lalu ditujukan kepada informan lain yang ditemui saat penelitian berlangsung, misalnya di warung, di jalan. Informan pokok atau kunci adalah orang yang mengetahui kehadiran kelompok pendatang dan kepemilikan tanah di Desa Bongkaras atau orang yang berkaitan langsung dengan masalah tersebut. Syarat untuk dijadikan informan pokok atau kunci adalah mereka yang mempunyai pengetahuan luas dan memberikan informasi secara mendalam dan detail tentang masalah penelitian. Dengan demikian yang menjadi informan pokok atau kunci dalam penelitian ini terdiri dari keturunan sipukka huta pembuka kampung, tokoh adat, pimpinan Universitas Sumatera Utara agama dan masyarakat yang mempunyai sengketa tanah dan yang dianggap respek terhadap masalah yang diteliti. Informan biasa adalah orang yang memberikan informasi mengenai masalah yang diteliti. Informan biasa disini adalah masyarakat yang berada di lokasi penelitian yang mengetahui tentang kehadiran kelompok pendatang dan kepemilikan tanah. Informan biasa terdiri dari keluargakerabat, tetangga dan teman informan kunci. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan kunci atau pokok untuk memperoleh informasi tentang kehadiran kelompok pendatang, proses pengalihan tanah, status kepemilikan tanah serta peran lembaga adat sulang silima marga Cibro dalam mengontrol tanah. Sedangkan wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan biasa untuk memperoleh informasi tentang persoalan yang muncul atas tanah, pengelolaan tanah dan pandangan penduduk setempat terhadap penduduk pendatang. Wawancara sambil lalu yang ditujukan kepada informan lain untuk memperoleh informasi tentang bagaimana cara memperoleh tanah dan arti tanah. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data pendukung yang dapat menyempurnakan hasil observasi dan wawancara yang diperoleh dari lembaga-lembaga resmi seperti kantor desa, kecamatan, hasil-hasil penelitian dan berbagai referensi yang relevan dengan permasalah penelitian berupa data statistik, jurnal, majalah, buletin, artikel dan buku. Universitas Sumatera Utara 1.6.2. Teknik Analisa Data. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yang menganalisis tentang status kepemilikan tanah oleh kelompok pendatang. Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data hasil observasi dan wawancara ke dalam tema-tema, katergori-kategori. Proses mengorganisasikan dengan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja. Setelah semua data terkumpul, selanjutnya dibandingkan serta dicari saling hubungannya. Dengan cara ini diharapkan akan ditemukan konsep dan kesimpulan yang menjelaskan laporan atau hasil penelitian yang disusun secara sistematis. Analisa data sebenarnya telah dilakukan mulai dari penyusunan proposal sampai penelitian ini selesai yang dikenal dengan istilah on going analysis. Universitas Sumatera Utara

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN