MIGRAN, PENGUASAAN TANAH DAN SENGKETA

BAB IV MIGRAN, PENGUASAAN TANAH DAN SENGKETA

4.1. Kehadiran Pendatang di Dairi dan Desa Bongkaras. 4.1.1 Kehadiran Pendatang di Kabupaten Dairi. Kehadiran kelompok pendatang ke Dairi berlangsung sejak awal tahun 1900-an. Kebanyakan pendatang berasal dari Tapanuli, khususnya dari etnik Batak Toba. Kehadiran kelompok pendatang tersebut disebabkan 3 tiga faktor, antara lain; 1 masuknya kolonial Belanda ke Indonesia khususnya ke daerah Tapanuli; 2 hadirnya missioner Jerman yang ingin memperluas daerah kerjanya di Dairi dan 3 bertambahnya penduduk Tapanuli sementara daerah pertaniannya semakin sempit sehingga terjadi perpindahan. Ketiga faktor tersebut mewarnai keragaman penduduk Dairi yang penduduk aslinya etnik Pakpak. Lebih rinci dijelaskan dibawah ini. Faktor pertama masuknya kolonial Belanda ke Indonesia, khususnya ke Tapanuli. Pemerintah kolonial Belanda yang ingin menguasai daerah-daerah Batak di Tapanuli akhirnya melahirkan perang antara Belanda melawan bangsa Batak. Saat itu dari kelompok Batak dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII. Awalnya perang mulai dari wilayah Toba Holbung, kemudian bergeser ke Humbang dan akhirnya sampai ke Dairi. Pergeseran wilayah perang dikarenakan masing-masing pejuang Batak Toba memasuki daerah tersebut. Menurut catatan Sihombing dalam Purba, 1998 pada tahun 1906 tentara Belanda membawa 400 Universitas Sumatera Utara orang pembantunya dari Tarutung kebanyakan berasal dari Silindung ke Sidikalang untuk membantu Belanda melawan pejuang-pejuang Batak yang menentang kolonial. Menurut Aritonang 1961:203, selain karena perang, pada tahun 1906 kolonial melakukan pembukaan jalan dari Dolok Sanggul ke Sidikalang, sehingga memungkinkan orang-orang terutama dari Humbang dan Silindung semakin banyak menuju Dairi untuk membuka lahan pertanian. Tahun 1907 perjuangan melawan tentara kolonial Belanda mulai menurun setelah Sisingamangaraja XII gugur 28 28 Sisingamangaraja XII diyakini gugur pada tanggal 17 Juni 1907 di kaki Gunung Sitapongan Sionom Hudo n, Dairi. Dairi kemudian dikuasai oleh kolonial Belanda. Selanjutnya, Pemerintahan Belanda mulai difungsikan setelah ditempatkan dua tahun sebelumnya. Dalam rangka itu, pemerintah kolonial membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga membawa beberapa orang dari Tarutung menjadi pegawai pemerintah di Sidikalang. Faktor kedua yaitu, kehadiran missioner Jerman melalui Brinkschmidt. Dalam memperluas wilayah kerja menyebarkan injil Kristen, missioner tersebut membawa orang-orang dari Tapanuli untuk membantunya. Ketika itu, pemerintah Belanda mendukung upaya tersebut. Tahun 1908, jumlah orang Batak Toba yang tinggal di kampung Sidikalang sudah mencapai ratusan orang. Sebagian dari mereka sudah beragama Kristen dan sebagian lagi masih dengan agama suku. Pada tahun 1909 Jaihutan Kepas yaitu Raja Asah Ujung kemudian menyerahkan sebidang tanah di Sidikalang kepada missioner tersebut untuk membangun gereja. Universitas Sumatera Utara Umumnya yang membantu missioner Jerman dalam melakukan misinya adalah orang-orang berasal dari Tapanuli yang sebelumnya sudah di baptis memeluk agama Kristen dan telah dididik. Orang-orang Batak Toba pun semakin banyak yang memasuki Dairi untuk membuka pertanian. Pendidikan modern mulai diperkenalkan, dalam upaya memperbaiki tata kehidupan ekonomi. Pendidikan dilakukan melalui usaha mengubah dan memperkenalkan cara-cara yang lebih baru seperti halnya pertanian. Sampai pertengahan tahun 1920-an, kekristenan sudah berkembang di berbagai daerah Dairi, bahkan raja-raja di Dairi hampir semuanya menerima kekristenan. Di Salak, Silalahi, Paropo, Parbuluan dan daerah lainnya jumlah warga Kristen dari penduduk setempat semakin bertambah. Orang-orang Batak Toba Kristen pun semakin tersebar ke berbagai pelosok Dairi. Selain kedua faktor diatas, kehadiran kelompok pendatang juga terjadi dengan tujuan membuka persawahan dan berjualan ke Sidikalang. Dibidang pertanian, orang Batak Toba memperkenalkan metode persawahan dan membuka perkebunan-perkebunan kopi sebagai salah satu upaya memanfaatkan lahan luas, yang sewaktu itu masih hutan. Mereka mulai berpencar, bukan hanya di Sidikalang tetapi juga mulai memasuki daerah-daerah sekitarnya yang masih berupa hutan. Mereka pun memperoleh lahan melalui aturan adat yang berlaku dan atas sepengatahuan marga tanoh. Jumlah orang Batak Toba yang pindah ke Dairi terus meningkat. Mereka berangkat dari Sidikalang menuju ke daerah lain dan membentuk perkampungan seperti di Buluduri, Kanopan, Kintara, Jumateguh, Silima Pungga-Pungga dan ada Universitas Sumatera Utara yang sampai ke Tingalingga. Semakin banyak jumlah pendatang semakin banyak sumber berita tentang Dairi kepada saudara-saudara mereka yang tinggal di bona pasogit kampung asal. Hal ini merangsang yang lain untuk ikut pindah mencari daerah lain dan meninggalkan desa mereka yang kemudian berdampak pada generasi berikutnya untuk merantau ke luar desa. Sejak tahun 1925, Dairi kemudian semakin dikenal sebagai daerah panombangan 29 29 Daerah penyebaran yang biasanya dimanfaatkan untuk membuka lahan pertanian dan daerah bukaan baru. . J. Warneck dalam Generalbericht Über die Batakmission 19251926, mengemukakan bahwa antara tahun 1925-1926 terdapat 1.000 KK orang Batak Toba dari Humbang, Silindung dan Toba Holbung memasuki Dairi. Tujuan mereka adalah untuk mencari daerah-daerah baru ke seluruh pelosok Dairi bahkan ada yang sampai ke Tanah Alas dan Singkil Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pendatang dari Humbang dan Toba Holbung mulai bertani dengan membuka kebun kopi dan persawahan. Perkebunan kopi bagi sebagian pendatang, kurang menarik perhatian sehingga setelah beberapa tahun membuka lahan dan tinggal menetap, mereka pindah lagi untuk mencari lahan persawahan yang lebih luas. Pada tahun 1929 dimulai pembukaan jalan Dairiweg dari Merek saat itu Merek belum perkampungan ke Sumbul Pegagan sampai ke Sidikalang. Hal tersebut merangsang arus perpindahan semakin meningkat. Perpindahan dari Simalungun ke Sidikalang juga berlangsung karena lalu lintas dari Pematang Siantar, Merek ke Sidikalang semakin membaik Purba, 1998:38. Universitas Sumatera Utara Dairi lambat laun semakin di dominasi oleh kelompok pendatang umumnya berasal dari etnik Batak Toba. Menurut data sensus 1930, penduduk utama Dairi adalah Batak Toba, Pakpak dan Karo. Jumlah penduduknya pada waktu itu sebanyak 54.037 jiwa yang terdiri dari 53.307 orang Batak, 277 orang Cina dan 20 orang Eropah. Dari antara etnik Batak, tercatat orang Toba sabanyak 24.893 jiwa, Pakpak 18.888, Karo 8.892, Simalungun 548, Angkola 42, Mandailing 29 dan Batak lainnya 15 orang Volkstelling 1930:30-31 dalam Purba, 1998. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok pendatang sudah banyak menguasai daerah tujuan terutama penguasaan atas tanah. Selama kurang dari 3 tiga dasawarsa 1930-1961 banyak hal yang menyebabkan dan mempercepat perpindahan penduduk dari Tapanuli Utara ke luar daerahnya. Pada masa pendudukan Jepang misalnya, selain pindah secara spontan, banyak pemuda dan orang dewasa yang dilatih menjadi pembantu tentara Jepang dan disebarkan ke berbagai daerah di luar tanah kelahirannya. Demikian pula dengan revolusi kemerdekaan 1945-1949 banyak yang berjuang dan meninggalkan kampung halamannya. Mereka membentuk laskar rakyat, menjadi polisi, tentara dan lainnya. Sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia, mereka yang telah pindah tidak seluruhnya kembali ke kampung halamannya. Banyak dari mereka yang menjadi penduduk daerah lain, memulai hidup baru, bekerja dan menetap bahkan sebagian sudah menganggap daerah tersebut bona pasogit mereka. Universitas Sumatera Utara Sampai akhir tahun 1930-an perpindahan dari Humbang, Toba Holbung, Silindung dan Samosir masih berlangsung menuju Dairi, namun juga dibarengi perpindahan ke daerah lain, terutama dilakukan penduduk yang lebih dahulu memasuki Dairi. Proses perpindahan tersebut kemudian menyebar hingga keseluruh tanah Dairi. Salah satu wilayah yang dituju adalah Desa Bongkaras Kecamatan Silima Pungga-pungga yang menjadi lokasi penelitian ini. 4.1.2. Kehadiran Pendatang di Desa Bongkaras. Kehadiran kelompok pendatang yang memasuki Desa Bongkaras juga tidak terlepas dari peran kolonial Belanda dan missionaris Jerman yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, terdapat beberapa alasan pendatang sampai dan menetap di desa tersebut. Kehadiran pendatang mulai berlangsung sekitar tahun 1930-an. Kelompok pendatang ke Desa Bongkaras terbagi atas tiga gelombang. Perantau pertama terjadi pada tahun 1930-an berasal dari Simalungun yaitu keluarga Sitorop Purba. Menurut penjelasan Op. Mangara salah satu dari 8 anak Sitorop Purba yang masih hidup dan tinggal di Bongkaras bahwa saat ia berusia 12 tahun orangtuannya Sitorop Purba membawa keluarganya merantau dari Simalungun ke Dairi. Mereka tahu bahwa Dairi merupakan panombangan dari orang-orang yang telah pernah ke Dairi. Karena mempunyai hubungan marga dengan Cibro 30 30 Menurut marga Purba dan Cibro yang ada di Bongkaras bahwa asal-usul nenek moyang kedua marga tersebut sama yaitu dari Raja Parhultop-hultop. , maka mereka sampai ke daerah Kecamatan Silima Pungga- pungga dan meminta tanah kepada marga Cibro untuk pargubukan gubuk dan Universitas Sumatera Utara pargadong-gadongan perladangan. Saat itu mereka meminta melalui jalur adat Pakpak dengan membawa ayam satu ekor, beras yang dibuat di tandok serta daun sirih dan diserahkan ke pihak marga Cibro. Pihak marga Cibro melalui Kunak Cibro yang menguasai daerah Bongkaras dan menjadi pertaki memberikan tanah kepada marga Purba untuk dikelola tepatnya di Bongkaras II, sekarang menjadi dusun III. Pemberian ini juga menurut penuturan keturunan marga Purba dan Cibro karena adanya hubungan nenek moyang kedua marga tersebut. Pendatang gelombang kedua terjadi pada tahun 1940-an. Hal ini juga semakin menambah jumlah penduduk di tanah Bongkaras. Pendatang kedua berasal dari daerah Simalungun terdiri dari 5 lima KK kepala keluarga yaitu; marga Manik terdiri dari 3 tiga KK, marga Munthe 1 satu KK dan keluarga Jimo Sinaga 1 satu KK. Mereka bermukim di Bongkaras I saat ini menjadi dusun I. Adapun alasan kedatang mereka karena ajakan dari pendatang gelombang pertama. Selain itu, mereka juga mengetahui dari orang lain yang pernah ke Dairi bahwa tanah Dairi merupakan tanah yang luas dan banyak yang belum dihuni. Adapun tanah yang dimiliki oleh pendatang kedua atas permintaan kepada marga Cibro dengan cara adat Pakpak. Selain itu, ada juga atas pemberian oleh pendatang pertama marga Purba secara cuma-cuma. Menurut keluarga Jimo Sinaga, semua pendatang kedua pada saat itu mendatangi marga Cibro dan meminta izin untuk bermukim dan mengelola tanah Bongkaras. Berbeda dengan pendatang pertama dan kedua, pendatang gelombang ketiga yang terjadi pada tahun 1940-1950. pendatang lebih banyak didominasi oleh orang Toba yang berasal dari Samosir, Balige dan Tiga Lingga. Mereka Universitas Sumatera Utara terdiri dari 8 delapan KK, yakni; Keluarga Jamonen Simarmata dari Samosir, Simarmata Op. Rumondang dari Tiga Lingga, Josua Simarmata dari Tanah Karo, Jabuhit Haloho, Ohot Tampubolon dari Balige, Kenan Tampubolon dari Balige, Puro Tampubolon dari Balige dan Marga Pangaribuan hula-hula Tampubolon dari Balige. Alasan kedatangan mereka beragam. Pendatang yang berasal dari Samosir dan Balige, lebih banyak karena kampung asal mereka telah padat dan areal pertanian semakin sempit, selain itu atas ajakan kerabat yang telah pernah datang ke Dairi. Sementara pendatang yang berasal dari Tiga Lingga lebih banyak dikarenakan terjadinya permusuhan antara antar etnis Batak Karo dan Pakpak dengan Batak Toba yang terjadi pada tahun 1946-1955. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya eksodus sampai di kecamatan Silima Pungga-pungga Parongil dan akhirnya sampai ke Desa Bongkaras. Seperti penjelasan Jaluahe Sihaloho 72 tahun sebagai berikut: ”Marga Purba yang menjadi si pukka huta disini dan disebut juga sebagai kepala rodi atau yang dapat memerintahkan jika ada kegiatan gotong- royong. Kepala rodi disebut juga sebagai hampung kepala desa. Dia diberi izin oleh anak daerah sini marga Cibro jika ada orang yang datang ke sini supaya permisi dengan si Purba tadi jika ada yang perlu. Jadi jika ada yang meminta tanah harus permisi dulu kepada kepala rodi tadi. Jika permisi kepada dia, diberikanlah adat. Dibawalah ayam, beras satu liter untuk meminta tanah kepadanya, dan dia akan menunjukkan di sebelah mana kita. Dulu kami diberi tanah berbeda wilayahnya. Sebelah panapal nama bukit untuk kami, dulu keadaannya hutan. Dan kami datang kesini karena mengungsi”. Dari penuturan diatas, kepemilikan tanah oleh pendatang masih melalui mekanisme adat. Selain itu, kepemilikan tanah pendatang gelombang ketiga diperoleh melalui jual beli tanah dari pendatang gelombang pertama dan kedua. Proses jual beli tanah tersebut juga harus meminta izin kepada marga Cibro. Pada Universitas Sumatera Utara zaman itu, harga jual beli tanah sudah menggunakan mata uang rupiah. Jaluahe Purba misalnya, pada tanggal 18 Juni 1953 ia membeli tanah dari marga Purba di sebelah barat yang berbatasan dengan Desa Bonian. Saat itu, ia membayar ganti rugi tanah sebesar Rp. 100,- seratus rupiah. Hingga kondisi saat ini, kepemilikan tanah banyak dikuasai oleh kelompok pendatang umumnya etnik Batak Toba, sebagian dari mereka sudah melakukan sertifikasi tanah miliknya melalui Badan Pertanahan Nasional BPN Kabupaten Dairi. 4.2. Hubungan Marga Cibro dengan Marga Pendatang. Berdasarkan hasil penelitian, seluruh warga Desa Bongkaras mengakui marga Cibro adalah penduduk asli, pembuka kampung pertama dan pemilik tanah ulayat di Tuntung Batu Kini Tuntung Batu terdiri dari empat desa yakni: Desa Tuntung Batu, Bongkaras, Longkotan dan Bonian. Selain itu secara historis, warga desa, tokoh masyarakat dan kelompok marga Cibro yang tinggal di Bongkaras juga mengakui bahwa tuan tanah atau pemegang hak ulayat pertama adalah orang Sambo marga Sambo. Pentingnya arti tanah secara tidak langsung telah membentuk hubungan emosional maupun kekerabatan antara kelompok pendatang dengan kelompok asli. Terdapat beberapa marga yang mempunyai hubungan yang lebih terikat antara marga Cibro kelompok asli dengan marga pendatang, baik dari etnik Pakpak maupun dari etnik Simalungun. Hubungan tersebut diuraikan dalam bentuk sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. Hubungan Perkawinan Perkawinan merupakan masa peralihan hidup yang terpenting dari semua manusia dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Hampir semua kelompok etnis mengakuinya dan berpedoman kepada nilai, aturan dan kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Perkawinan juga mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat Pakpak. Perkawinan yang ideal atau yang diharapkan preference marriage bagi orang Pakpak adalah kawin dengan Putri Puhun Paman yang disebut Muat Impalna atau istilah lain Menongketti 31 Hubungan khusus marga Cibro karena perkawinan terjalin dengan marga Sambo dan Boang Manalu. Marga Sambo merupakan marga pemberi gadis kula- kula kepada marga Cibro seperti yang sudah dijelaskan pada Bab III. Sedangkan marga Boang Manalu merupakan sebagai penerima gadis anak berru dari marga Cibro, dengan demikian Cibro menjadi kula-kula dari marga Boang Manalu. Dalam setiap aktivitas adat yang dilakukan oleh marga Cibro, maka kedua marga tersebut harus selalu diikutsertakan dan mendapat status tertentu, demikian Berutu,2006. Bentuk hubungan perkawinan silang tersebut merupakan perkawinan antar kelompok marga, misalnya marga Cibro dengan kelompok marga lain. Hal ini merupakan suatu keharusan pada masyarakat Batak Pakpak yang mengenal sistem perkawinan dengan adat pembatas jodoh exogami marga. Dengan demikian, seseorang harus kawin dengan orang lain di luar marganya. Keharusan tersebut merupakan aturan adat yang difungsikan oleh setiap marga. 31 Menongketti artinya menyokong atau meneruskan kedudukan si ibu dalam keluarga marga laki-laki. Universitas Sumatera Utara sebaliknya jika marga Boang Manalu dan Sambo melakukan pesta, maka marga Cibro juga harus diikutsertakan dan mendapat status tertentu. Ditinjau dari struktur adat Pakpak, Boang Manalu merupakan boru bolon dari marga Cibro Tuntung Batu. Nenek moyang Boang Manalu adalah anak perempuan raja tanah yaitu marga Cibro. Secara adat, Boang Manalu harus menghormati marga Cibro sebagai kula-kula wifegiver. Pola hubungan sosial antara kelompok berru dan kula-kula telah diatur dalam adat yang difungsikan oleh marga. Fungsi marga sangat besar artinya dalam hubungan masyarakat Batak umumnya. Selain berfungsi mengatur pola hubungan, marga juga berfungsi mengatur tentang perkawinan, mengatur hubungan-hubungan antara berbagai pihak akibat kompleksnya hubungan di antara keturunan serta mengurangi terjadinya konflik dan hal negatif lainnya dalam Purba, 1997. Kula-kula marga Cibro menurut adat Pakpak mempunyai fungsi sebagai roh atau berkat kepada anak berrunya Boang Manalu. Fungsi tersebut membuat marga Cibro harus memperhatikan anak berrunya. Perhatian tersebut dapat terlihat dari pemberian warisan sebagai modal hidup anak berrunya. Marga Cibro sebagai kula-kula pernah memberikan warisan kepada berrunya atas sebidang tanah sebagai modal kehidupan rumah tangga Boang Manalu. Pemberian tanah tersebut dilakukan melalui proses adat yang dinamakan rading berru. Proses tersebut merupakan mekanisme adat dalam pengalihan tanah, selain itu juga menunjukkan bahwa kekeluargaan antara marga Cibro dan anak berrunya marga Boang Manalu terjalin harmonis. Setelah proses peralihan tanah tersebut, maka secara adat Pakpak anak berru Cibro sah mengelola tanah pemberian itu. Universitas Sumatera Utara Tokoh kelompok marga Cibro menyatakan bahwa pihak Cibro pernah memberikan warisan atas tanah kepada marga Boang Manalu. Namun tidak melalui mekanisme pengalihan tanah secara adat Pakpak. Marga Boang Manalu tidak melakukan sepenuhnya proses rading berru, mereka hanya datang menemui marga Cibro lalu meminta tanah untuk dikelola. Karena adanya ikatan saudara, maka marga Cibro mengabulkan permohonan mereka. Sehingga kami marga Cibro masih memiliki wewenang terhadap tanah pemberian itu dan tidak secara otomatis menjadi hak milik marga Boang Manalu. Saat ini kedua marga tersebut bersengketa atas kepemilikan tanah pemberian, selain itu luas tanah yang diberi juga menjadi persoalan. Pada saat penelitian, penjelasan dari marga Boang Manalu tidak dapat diperoleh, hal ini dikarenakan pihak marga tersebut tidak berada di Desa Bongkaras serta lokasi tanah sengketa tersebut berada di luar desa. 2. Hubungan Sejarah PersahabatanEmosional Hubungan sejarah persahabatanemosional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan yang terjalin karena kesamaan asal-usul atau atas jasa dan kedekatan seseorang. Hubungan tersebut terlihat antara marga Cibro dengan marga pendatang yang sudah terjalin sejak zaman dahulu. Marga Cibro diyakini mempunyai hubungan dengan marga Purba yang berasal dari Simalungun. Menurut informan dari marga Cibro dan Purba, kedua marga mereka merupakan satu rumpun yang disebut dengan marpadan dimana nenek moyang kedua marga tersebut mempunyai hubungan asal usul yang sama. Menurut Saidup Cibro 45 tahun nenek moyang marga Cibro adalah Raja Universitas Sumatera Utara Pangultop-ultop yang ahli berperang dengan memakai oltep, 32 Berdasarkan sejarah marga Purba, jika Raja Pangultop-ultop pergi ke Simalungun maka memakai marga Purba, sehingga marga Cibro bersaudara dengan marga Purba atau Girsang dari Simalungun. 33 Hubungan diatas semakin nyata ketika masuknya kelompok pendatang marga Purba ke tanah ulayat marga Cibro. Menurut Bapak Mangara PurbaOmpu Aldin 90 tahun, saat dia berusiaa 12 tahun orangtuanya datang ke Dairi dan sampai di tanah Bongkaras. Kedatangannya ke daerah Bongkaras karena mengetahui ada saudara mereka yaitu marga Cibro. Setibanya di Bongkaras mereka menemui marga Cibro dan tinggal bersama keluarga Cibro. terdapat 10 sepuluh sub-marga Purba. Salah satu diantaranya adalah marga Purba Pakpak. Purba Pakpak diyakini satu keturunan dengan Girsang, yaitu dari Tuntung Batu Lohu Pakpak dan merantau ke Purba Simalungun dengan jalan menyumpit burung. Selain itu dari 14 empat belas raja marga Purba, terdapat satu raja bernama Tuan Pangultop- ultop 1624-1648 yang sama dengan nama nenek moyang marga Cibro. Penjelasan diatas menunjukkan bahwa terdapat kesamaan sejarah marga Purba dengan marga Cibro. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari nama nenek moyang dan keahliannya yaitu Raja Pangultop-ultop. Nama daerah asal marga Girsang diyakini satu keturunan dengan marga Purba yaitu dari Tuntung Batu Lohu juga merupakan nama daerah tempat tinggal dan tanah ulayat marga Cibro di Dairi. Hal ini merupakan dasar sehingga marga Cibro dan marga Purba mengakui mempunyai hubungan sejarah dan menjadi saudara atau marpadan. 32 Oltep yakni alat senjata tradisional yang digunakan menembak burung, orang yang sering menggunakan oltep disebut Paroltep. 33 Lihat www.simalungun.or.id Universitas Sumatera Utara Marga Purba memperoleh tanah dari marga Cibro melalui proses adat, tepatnya di Desa Bongkaras II. Ketika itu, dari pihak Cibro yang mengurusi tanah Bongkaras adalah Kunak Cibro yang bermukim di Bongkaras I Saat ini dusun I. Seiring dengan berjalannya waktu, marga Purba ditugaskan sebagai Kepala Rodi. Adapun tugas Kepala Rodi antara lain; memerintah warga jika ada kegiatan gotong royong, mengurusi berbagai hal yang berkenaan dengan kedatangan orang tertentu yang berniat untuk tinggal atau menetap. Dalam hal ini, jika ada orang yang datang maka harus meminta izin kepada Kepala Rodi, artinya jika ingin meminta tanah harus permisi dulu kepada kepala rodi. Dalam konteks sebagai kepala rodi, marga Purba yang telah menerima tanah dari marga Cibro selanjutnya menjadi Sipukka Huta. Selain hubungan Cibro dengan Purba, kelompok marga Cibro juga menyatakan bahwa marga mereka sama dengan marga Tarigan Sibero yang berasal dari Tanah Karo. Berdasarkan sejarah marga Tarigan, terdapat sub-marga Tarigan Sibero. Hubungan yang lebih tampak di desa Bongkaras adalah Cibro dengan Purba. Hal ini dapat dilihat dimana marga Purba menjadi sipukka huta di Desa Bongkaras. Dalam setiap aktivitas adat yang dilakukan di desa tersebut, maka pihak Cibro dan Purba selalu mendapat satu bagian jambar. 34 Hubungan persahabatan juga terjalin atas pekerjaan yang sama sebagai petani, misalnya ada diantara mereka yang sama-sama bekerja mengelola ladang di pinggir hutan, sehingga saling membantu ke ladang yang lain marsiadap ari. Mereka dapat saling mewakili jika salah satu diantara mereka berhalangantidak hadir. 34 Bagian atau pembagian kepada seseorang yang berhak menerima menurut adat, biasanya dalam bentuk potongan daging. Universitas Sumatera Utara Adapun marga-marga yang meminta tanah secara adat kepada marga Cibro maupun marga Purba adalah marga Manik, Munthe, Sinaga, Haloho, Simarmata, Tampubolon, dan Pangaribuan. Marga-marga yang meminta tanah kepada marga Purba tersebut juga meminta izin kepada marga Cibro sebagai pemilik tanah ulayat. Selain itu, marga Manik juga pernah meminta tanah kepada marga Cibro melalui Kunak Cibro, tepatnya di harangan sebelah barat yang kini dikenal dengan nama harangan barisan manik lokasi pertama tempat tinggal marga manik setelah diberi izin mengelola tanah. 4.3. Sistem Kepemilikan dan Status Tanah. Secara keseluruhan Desa Bongkaras, Tungtung Batu, Longkotan, Bonian adalah milik marga Cibro yang merupakan marga tanoh di wilayah tersebut. Namun marga tanoh tidak berhak lagi mengelolah lahan selain yang dimiliki secara pribadi. Menurut adat Pakpak, marga merupakan kesatuan kelompok geneologis territorial, persekutuanpersatuan orang-orang yang bersaudara, sedarah, seketurunan atau satu nenek moyang, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama. Untuk menunjukkan suatu keanggotaan keluargakerabat semua laki-laki maupun perempuan memakai nama marga sebagai pertanda dari keturunan yang sama. Kecuali anak perempuan, jika sudah menikah maka akan masuk ke dalam kerabat suaminya. Marga tanah ialah individu-individu yang mempunyai hubungan darah dengan sipemungkah kuta pembuka desa menurut garis keturunan ayah. Selain itu, marga tanah juga disebut sebagai penduduk asli atau pembuka kampung Universitas Sumatera Utara pertama dalam hal ini adalah marga Cibro. Secara simbolik, keseluruhan tanah di wilayah marga Cibro adalah milik dari keturunan Cibro pergetenggeteng sengkut dan status mereka merupakan marga tanoh di wilayah tersebut. Tanah yang telah dijadikan kebun atau ladang akan tetap menjadi milik pembuka pertama walaupun dia ke luar dari desa, artinya keturunannya berhak untuk menguasai tanah tersebut. Ini berlaku otomatis bagi para marga tanoh. Lain halnya dengan pendatang, bila mereka pindah maka tanah akan kembali menjadi milik marga tanoh, walaupun syarat pemilikan secara adat telah dipenuhi sebelumnya Berutu, 1994:71. Seluruh warga desa Bongkaras mengakui marga Cibro merupakan pemilik tanah ulayat atau marga tanoh di desa tersebut. Tetapi sekitar 70 tahun 1930-an yang lalu keturunan Cibro terdahulu telah memberikan tanah di desa Bongkaras kepada marga Purba yang berasal dari Simalungun secara adat, sehingga marga Purba merupakan Sipukka huta pembuka kampung di Bongkaras. Saidup Cibro 62 tahun salah satu dari generasi marga tanoh menyatakan bahwa tanah di Bongkaras memang diberikan kepada marga Purba untuk dikelola. Tetapi bukan untuk dikuasai dan menjadi hak sepenuhnya marga Purba. Penuturan dari Saidup Cibro dinyatakan secara eksplisit dalam wawancara sebagai berikut: “Kalau penerimaan tanah di Bongkaras dulu memakai jalur adat, alasan meminta untuk pergadong-gadongan perladangan, jadi orang tua kami dulupun terbuka mengasihnya, tetapi bukan secara patokan menguasainya. Jangan pula diminta 1 rante dikerjakan 1 Ha, nanti terjadilah konflik. Itu makanya di kawasan hak ulayat marga Cibro di 4 empat desa ini sudah kami anjurkan agar di cek lahannya semua lalu minta Universitas Sumatera Utara persetujuan dari marga Cibro, agar kami tahu tinggal mana tanah ulayat”. Kedatangan kelompok pendatang ke Desa Bongkaras telah terjadi beberapa gelombang sehingga pendatang mendapatkan tanah dengan berbagai cara. Pada gelombang pertama, mereka mendapatkan tanah dari pihak marga Cibro dengan cara meminta melalui mekanisme adat. Selanjutnya pendatang gelombang kedua yaitu pihak marga Simarmata mendapatkan tanah dari marga Purba dengan cara meminta. Bahkan pihak marga Purba pernah membiayai hidup pendatang kedua agar mau bermukim dan berladang bersamanya. Berikut penuturan Ompu Mangara Purba generasi kedua dari marga Purba: “Hami do parjolo membuka Bongkaras on, sian marga Cibro do dijalo hami, ai sarupa do marga Cibro dohot Purba, sian Simalungun do hami. Jadi na jolo, molo adong biang, ikkon di pamasuk do tu jabu, asa unang di allang harimau. Di jujui hami do halak asa olo marjuma tu son, di belanjoi hami do halaki pette panen. Tombak-tombak do pe najolo on”. “Kami yang pertama membuka Bongkaras ini, dari marga Cibro kami minta, samanya marga Cibro dengan Purba, dari Simalungunnya kami. Waktu dulu, kalau ada anjing, harus dimasukkan ke rumah, biar tidak dimakan harimau. Kami ajakknya orang agar mau berladang disini, kami belanjai lagi mereka menunggu panen. Masih hutan dulu ini”. Pernyataan diatas dan keterangan informan pendatang kedua menyatakan bahwa tanah yang dikelola mereka diberikan marga Purba secara cuma-cuma, saat itu pendatang juga meminta izin kepada marga Cibro. Kepemilikan tanah pada gelombang ketiga diperoleh melalui cara jual beli tanah dari pendatang gelombang pertama dan kedua, tetapi ada juga beberapa keluarga yang mendapatkan tanah seluas 12 meter persegi secara cuma-cuma yang dibagi- Universitas Sumatera Utara bagikan marga Purba untuk dijadikan pertapakan rumah pendatang gelombang ketiga. Pada tahun 1945-1950, pemerintahan Kepala Nagari telah berubah menjadi pemerintahan desa, sehingga bongkaras menjadi satu kesatuan wilayah desa. Kepala Desa yang pertama adalah Jimo Sinaga. Perubahan status Nagari ke Desa tersebut mempengaruhi kekuasaan yang berlaku, dimana saat perubahan menjadi desa, Kepala Desa mempunyai otoritas dalam Desa. Berdasarkan keterangan beberapa warga pendatang gelombang kedua, sebelum adanya pemerintahan desa, sudah mulai diterbitkan beberapa surat tanah yang menyatakan kepemilikan sah atas sebidang tanah tertentu dari perseorangan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa hanya gelombang pertama yang meminta tanah secara adat kepada marga Cibro sebagai pemilik tanah ulayat. Selanjutnya proses peralihan tanah dikendalikan oleh marga Purba sampai akhirnya terjadi jual-beli tanah ke pendatang berikutnya. Hingga saat ini kepemilikan tanah sudah merupakan hak perseorangan. Hal ini dapat dilihat dari dokumen-dokumen tentang kepemilikan tanah baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun berkas jual-beli yang telah berlangsung. Berdasarkan data Kepala Desa tahun 2008, terdapat 66 enam puluh enam Kepala Keluarga, baik yang berada di Desa Bongkaras maupun di luar desa yang mempunyai surat sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional BPN. Selain itu, pendatang lainnya sudah memiliki Surat Keterangan dengan menggunakan materai dan kesaksian dari orang yang mengetahui dan berada di Desa Bongakras. Universitas Sumatera Utara 4.4. Sengketa Tanah dan Penyelesaiannya. Pembahasan tentang sengketa tanah dalam penelitian ini bukanlah tujuan utama, namun pembahasan ringkas tentang ini tidak terhindarkan karena memiliki korelasi dengan temuan penelitian tentang penguasaan tanah oleh kelompok pendatang. Terjadinya sengketa tanah tidak terlepas dari hubungan kekerabatan yang terjalin. Di Indonesia dalam dengan menggunakan istilah Geertz untuk menyebut Pulau Jawa isu sengketa tanah sebagian besar muncul sebagai akibat pembebasan tanah untuk kepentingan industri, pembangunan infrastruktur ekonomi, penggusuran lahan garapan petani untuk kepentingan pariwisata, dan lain-lain. Di Indoensia luar luar Pulau Jawa sengketa tanah sebagian besar terjadi antara masyarakat adat yang mempertahankan hak adat atas tanah dengan pemilik modal yang didukung oleh negara yang dikemas dalam paket pemberian hak pengusahaan hutan dan hutan tanaman industri, dan pengembangan agribisnis dengan pola Perusahaan Inti Rakyat dan lain-lain Endang Suhendar dan Ifdal Kasim, 1996. Berdasarkan hasil penelitian, telah terjadi beberapa kasus yang muncul ke permukaan, diantaranya adalah kasus sengketa tanah yang bersifat laten. Kasus ini, selain persoalan dengan motif harga diri dari pihak yang menyatakan sebagai pemilik yang sah, juga ditengarai oleh motif ekonomis. Kasus sengketa tanah tersebut justru terjadi antara pihak yang memiliki kekerabatan, dalam hal ini antara pihak marga Cibro dengan pihak Boang Manalu. Dari pihak marga Cibro mengatakan bahwa tanah yang diberikan kepada berrunya seluas 75 Hektar, sementara dari pihak Boang Manalu mengatakan bahwa tanah yang diberi oleh Universitas Sumatera Utara kula-kulanya seluas 750 Hektar. Penyelesaian persoalan ini telah ditempuh secara adat dengan melibatkan tokoh-tokoh adat, pemerintahan desa, namun tidak menemukan jalan perdamaian. Selanjutnya pihak Boang Manalu menempuh melalui jalur hukum dengan melaporkan marga Cibro kepada pihak Kepolisian yang berlanjut hingga tingkat Mahkamah Agung Banding tingkat tinggi pada tahun 2004. Adapun sebagai termohon adalah Saludin Cibro, dkk dan pemohon atau terdakwa adalah Iskandar Boang Manalu, dkk. Akhirnya menurut Saludin Cibro persoalan ini dimenangkan oleh pihak Cibro melalui keputusan MA RI No. 2294KPDT2004. Jika dilihat dari situs Mahkamah Agung, persoalan ini masih dalam proses pemeriksaan oleh Tim 42. Beberapa tokoh adat marga Cibro yang ada di Tuntung Batu menyatakan bahwa kasus sengketa tanah tersebut bukanlah perebutan jumlah uang. Namun kasus tersebut lebih menyangkut harga diri marga Cibro sebagai kula-kula yang telah ditipu oleh berru yaitu Boang Manalu. Mereka Boang Manalu telah melanggar kesepakatan permintaan tanah yang telah dilakukan secara adat dan dihadiri oleh tokoh-tokoh adat. Tidak ada niat baik dari Boang Manalu untuk berdamai secara adat, malah mengadukan marga Cibro pada pihak kepolisian. Pada tahun 2004, sengketa tanah juga terjadi antara kelompok pendatang yaitu keluarga Jaluahe Haloho 72 tahun dengan kelompok asli yaitu keluarga Amir Cibro anak dari Kunak Cibro. Berikut penuturan Jaluahe: “Amir Cibro sebagai keturunan pemilih tanah ulayat menggugat kepemilikan tanah perladangan saya yang berada bersebelahan dengan perladangan Amir Cibro, di harangan Panapal. Persoalan mulai ketika Amir Cibro membersihkan dan menanami ladangnya hingga lewat perbatasan. saya pun mengingatkan Amir Cibro bahwa tanamannya sudah masuk ke tanah miliknya. Namun, Amir Cibro tetap saja tidak Universitas Sumatera Utara memperdulikan sehingga saya terus mengingatkan. Merasa bosan terus diingatkan, Amir Cibro langsung mengucapkan bahwan tanah yang saya miliki adalah milik ulayat marga Cibro dan semua pendatang merupakan hak pakai. Ketika itu sayapun melawannya, terjadilah adu mulut. Sepulang dari ladang, esok harinya Amir Cibro melaporkan saya kepolsek. Sehingga pihak kepolisian datang kerumah saya. Saya pun melaporkan persoalan ini kepada kepala desa. Waktu itu kepala desa berjanji menyelesaikannya secara musyawarah dan membujuk Amir Cibro untuk menarik pelaporannya. Setelah laporannya ditarik, kepala desa mengundang kami dan tokoh-tokoh masyarakat untuk menyelesaikan persoalan ini tapi Amir Cibro tidak datang. Sampai tiga kali di undang baru lah dia datang. Waktu itu pun masih terjadi adu mulut, baru saya terangkanlah, bawah saya mendapatkan tanah itu dengan membeli dari marga Manik dan saya tunjukkan surat pembelian lengkap ada materainya. Beberapa tokoh masyarakat waktu itu juga mengakui pembelian itu. Akhirnya dia minta maaf. Sebagai sanksinya maka dia harus membayar pagu-pagu karena telah memalukan nama keluarga kami”. Sementara itu, Amir Cibro 57 tahun menganggap sengketa ini dikarenakan pihak marga Haloho tidak menaati aturan adat. Berikut penuturan Amir Cibro: “Kasus saya dengan marga Haloho, saya dituntut karena mengambil tanahnya. Padahal sebenarnya sudah tidak ada lagi hak nya disana karena sudah lama ditinggalkan dan kayu-kayunya yang tumbuh sudah besar. Jika ada kayu yang tumbuh sebesar bambu ya tidak ada lagi hak untuk membuka itu. Itulah peraturannya. Itu harus pulang ke marga Cibro selaku marga tanoh disini. Tetapi lantaran kepala desa yang mendukungnya ya sudahlah saya biarin saja mau diapakan saya”. Penuturan diatas menunjukkan bahwa kepemilikan tanah dari tanah ulayat milik marga Cibro kini telah bergerser menjadi kepemilikan secara pribadi oleh kelompok pendatang. Bagi generasi marga tanoh, aturan adat dalam pengolahan tanah masih dipandang berlaku dan harus ditaati siapa saja, termasuk kelompok pendatang. Sementara bagi kelompok pendatang, kepemilikan tanah tersebut sah secara hukum dan menjadi milik pribadi jika dilengkapi dengan dokumen resmi. Universitas Sumatera Utara Persoalan Amir Cibro juga dirasakan oleh keturunan Cibro yang ada di Tuntung Batu. Mereka merasa bahwa sebagai marga tanoh tidak dapat lagi mengontrol pertanahan seperti mana waktu zaman dahulu. Aturan yang disampaikan oleh Amir Cibro, bahwa lahan yang ditinggalkan dan sudah ditumbuhi tumbuhan sebesar bambu merupakan salah satu aturan adat di Pakpak dalam mengelola lingkungannya. Sebagai seorang Pakpak maka marga Cibro tetap memberlakukan aturan adat, sementara itu kelompok pendatang yang berasal dari luar etnik Pakpak tidak lagi mengikuti aturan adat meski mereka masih mengakui kepemilikan tanah secara adat tetapi sudah menaati atuaran hukum Negara. Sengketa diatas bisa saja terjadi kembali atau terjadi pada yang lain jika tidak diselesaikan secara baik. Bagi masyarakat Desa Bongkaras, penyelesaian suatu masalah dilakukan dengan cara lebih dahulu musyawarah antara yang bersengketa. Jika musyawarah yang dilakukan tidak berhasil, maka tokoh-tokoh yang ada di desa akan terlibat melakukan perdamaian. Selanjutnya, jika kedua cara diatas tidak menemukan jalan keluar, maka persoalan ditempuh melalui jalur hukum. Tokoh masyarakat Bongkaras Marijon Manik 47 tahun mengatakan bahwa, untuk menghindari timbulnya konflik atau barisan sakit hati di antara penduduk desa, hendaknya beberapa tokoh diundang secara bersama dalam membicarakan suatu masalah. Keragaman tokoh ini akan mewakili keragaman aspirasi dan kepentingan diantara penduduk. Jika tokoh-tokoh masyarakat mewakili berbagai lapisan dan kepentingan, diajak untuk duduk bersama, maka Universitas Sumatera Utara suasana aman dan dukungan penuh dari masyarakat akan tercipta untuk kegiatan atau pembangunan apapun. Hal ini terjadi karena para tokoh masyarakat adalah orang yang didengar oleh penduduk sebagai tempat panungkunan tempat bertanya oleh penduduk untuk masalah sosial, ekonomi, budaya dan hal apa saja. Konflik-konflik internal yang terjadi seperti diatas, potensial memicu berbagai sengketa, terutama sengketa tanah. Sengketa yang terjadi antara marga Cibro dengan pihak Boang Manalu dapat merupakan salah satu contoh kasus. Sengketa ini bahkan tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme adat. Dalam konteks ini, mekanisme adat mengalami delegitimasi hingga pada tingkat tertentu dan digantikan oleh mekanisme hukum positip negara. Padahal, mekanisme adat sebagai wilayah hukum adat yang bersifat komunalistik religius Boedi Hasono, 2005 merupakan suatu sistem yang eksistensinya turut diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Penduduk dan beberapa tokoh masyarakat juga mengakui, bahwa terdapat beberapa kasus yang tidak dapat diselesaikan secara adat dan akhirnya menempuh jalur hukum melalui pengadilan. Misalnya konflik yang harus menempuh jalur hukum, kasus sengketa hutan antara Boang Manalu dan Cibro melibatkan desa Longkotan dan Tuntung Batu. Versi beberapa tokoh adat Cibro di Tuntung Batu, kasus sengketa tanah antara Boang Manalu dan Cibro bukanlah kasus dalam perebutan jumlah uang. Kasus ini lebih menyangkut pada kasus penipuan yang sudah menyinggung area ‘harga diri’ marga Cibro dan kerabatnya sebagai raja tanah. Hal utama dari mencuatnya kasus ini adalah karena pihak Boang Manalu Universitas Sumatera Utara melanggar kesepakatan bersama secara lisan mengenai permintaan tanah oleh Boang Manalu pada Cibro. Ditinjau dari struktur adat Pakpak, Boang Manalu Boru Bolon dari Cibro. Nenek moyang Boang Manalu adalah anak perempuan raja tanah Cibro. Secara adat, Boang Manalu harus menghormati Cibro sebagai mora wifegiver. Pola- pola hubungan sosial antara kelompok boru dan mora juga diatur dalam adat. Berangkat dari konteks kasus sengketa yang terjadi antara sesama kerabat, tampak motif lainnya, yakni motif ekonomi turut menimpali penyelesaian kasus ini dengan jalur hukum. Pada konteks ini hubungan emosional kekerabatan antara yang bertikai dan sistem hukum adat tidak mampu menjembatani perdamaian. Berbeda dengan kasus marga Cibro dan Boang Manalu, kasus sengketa tanah di Tuntung Batu, Longkotan, Bongkaras dan Bonian yang melibatkan berbagai pihak, merupakan kasus umum. Kasus ini terjadi di antara warga masyarakat, disebabkan warisan dan juga batas tanah. Kasus ini diselesaikan dengan melibatkan tokoh adat, pihak sengketa tanah dan kerabat sebagai saksi. Proses penyelesaian dilakukan dengan duduk bersama semua pihak yang terlibat dan diupayakan kedua belah pihak terlibat untuk menemukan jalan tengah bagi perdamaian. 4.5. Eksistensi Penguasaan Tanah di Desa Bongkaras. Menyusuri sejarah Desa Bongkaras melalui dokumen resmi Pemerintahan Desa Bongkaras dan hasil penelitian yang dilakukan, tidak bisa terlepas dari sejarah marga Cibro selaku pemilik tanah ulayat. Dari wawancara yang Universitas Sumatera Utara dilakukan, seluruh informan mengetahui dan mengakui hal tersebut. Penelusuran yang lebih lanjut atas kepemilikan tanah ulayat tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh masyarakat di Desa Bongkaras dan desa-desa yang berdekatan dengan bongkaras mengakui bahwa asal usul kepemilikan tanah bongkaras merupakan salah satu daerah tanah ulayat marga Sambo yang merupakan marga tanoh. Dalam suatu peperangan antara marga Sambo dengan Ujung, marga Cibro membantu marga Sambo dan memenangkan peperangan tersebut. Setelah kemenangan dalam peperangan yang di pimpin oleh marga Cibro, hubungan antara marga Cibro dan Sambo diperkuat dengan pernikahan marga Cibro dengan salah satu putri marga Sambo. Atas jasa dan hubungan kekerabatan tersebut Sambo memberikan tanah warisan. Mulai saat itu hingga kini marga Cibro mendiami daerah tersebut serta berangsur diyakini menjadi marga tanah serta pemilik ulayat atas daerah tersebut, yang meliputi wilayah desa Bongkaras, Tuntung Batu, Longkotan dan Bonian. Dalam konteks ini eksistensi penguasaan tanah di Desa Bongkaras secara sah dimiliki oleh marga Cibro. Dalam perkembangan berikutnya, kehadiran para pendatang dalam 3 tiga gelombang ke bongkaras membuat eksistensi penguasaan tanah kembali mengalami pergeseran. Pengalihan tanah terjadi dari marga Cibro ke kelompok pendantang. Penguasaan tanah yang dilakukan oleh para pendatang melalui mekanisme adat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat temuan bahwa pergeseran tersebut mengalami penguatan. Marga Purba sebagai pendatang gelombang pertama yang kemudian diangkat oleh marga Cibro sebagai Kepala Universitas Sumatera Utara Rodi yang memiliki wewenang untuk memberi atau menolak penguasaan tanah oleh pendatang berikutnya merupakan pergeseran eksistensi penguasaan tanah ulayat marga Cibro. Pergeseran ini ditandai dengan pengakuan masyarakat secara umum dan melalui penelusuran dari informan bahwa marga Purba merupakan si pungka huta, yang memiliki kedudukan strategis tersendiri pada masa lalu dan saat ini. Pergeseran eksistensi penguasaan tanah yang terjadi, setidaknya disebabkan oleh 2 dua faktor. Pertama, faktor internal, antara lain konflik internal antar warga misalnya; sengketa tanah antara pihak yang masih memiliki kekerabatan. Kedua, faktor eksternal, yakni dominasi negara melalui regulasi yang telah ditetapkan hukum positip dan pandangan tanah sebagai komoditi yang bernilai ekonomis strategis. Diantara kedua faktor tersebut tarikan antara keduanya lebih didominasi oleh faktor kedua. Tarikan kedua faktor tersebut bukanlah hal baru, sebab secara substansial kedua hal tersebut merupakan perdebatan panjang antara sumber hukum adat yang berkonsepsi komunalistik religius sebagai suatu sistem yang telah hidup ditengah komunitas adat dengan sumber hukum perdata barat yang individualistik-liberal. Pergeseran paradigma di tengah masyarakat, tak terkecuali masyarakat di lokasi penelitian, memandang tanah menjadi suatu komoditi merupakan fakta yang tak terbantahkan. Paradigma ini yang lebih mendominasi pemikiran pasca generasi marga Sambo-Cibro-Purba-hingga para pendatang gelombang berikutnya. Upaya-upaya yang dilakukan untuk melegitimasi hak atas penguasaan tanah ialah melalui proses sertifikasi tanah sebagaimana keterangan Marijon Universitas Sumatera Utara Manik Kepala Desa, bahwa setidaknya saat ini sudah cukup banyak tanah yang bersertikat di bongkaras dengan rincian, 28 dua puluh delapan pemilik sertifikat yang tinggal di desa, 28 dua puluh delapan pemilik sertifikat yang tinggal di daerah lain dan 13 tiga belas sertifikat sedang dalam proses pengurusan. Dengan demikian penguasaan tanah yang pada awalnya berdasarkan hubungan kekerabatan yang bersumber pada adat secara perlahan didominasi oleh kepentingan individual bermotif ekonomi. Kehadiran PT. Dairi Prima Mineral PT. DPM di sekitar daerah penelitian turut memberikan andil terhadap kondisi tersebut. Namun harus disadari bahwa kondisi demikian bukan hal yang baru. Deregulasi pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya meningkatkan peran swasta merupakan sumber utama tingginya ekspansi berbagai usahaindustri yang berbanding lurus terhadap kebutuhan penguasaan tanah. Paradigma yang telah bergeser mempengaruhi hubungan kekerabatan yang terjalin antara marga pemberi tanah dengan penerima tanah. Jika pada masa sebelum berkembangnya paradigma tanah sebagai komoditas atau pada masa masih kuatnya adat, pihak penerima tanah memberikan penghormatan tertentu atas pengusahaan tanah. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama pada saat kehadiran PT. DPM setidaknya melalui kasus marga Cibro dengan Bonang Manalu, hubungan kekerabatan tersebut tidak lagi harmonis. Upaya-upaya yang dilakukan oleh warga dengan proses legitimasi hak atas penguasaan tanah melalui sertifikasi juga merupakan bentuk baru proses delegitimasi terhadap marga tano sebagai pemilik tanah ulayat. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN