TANAH, MARGA SAMBO DAN LEMBAGA ADAT

BAB III TANAH, MARGA SAMBO DAN LEMBAGA ADAT

SULANG SILIMA MARGA CIBRO LASMO 3.1. Asal Usul Status Tanah. Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat. Hal ini terlihat dari hubungan yang erat dengan keberadaan manusia dalam lingkungannya dan kelangsungan hidupnya. Tanah juga mempunyai nilai ekonomis yang dapat dijadikan sebagai sumber pendukung kehidupan manusia di masa mendatang, karena di sana manusia hidup, tumbuh dan berkembang, dan sebagai tempat manusia dikebumikan pada saat meninggal dunia. Selain itu, tanah juga mempunyai nilai religius yang dapat dijadikan sebagai tempat roh-roh, dewa- dewa atau arwah nenek moyang. Oleh sebab itu, tanah selain memiliki nilai ekonomis yang tinggi juga mengandung aspek religius. Pentingnya nilai tanah juga dapat dilihat dalam penjelasan Undang- Undang Pokok Agraria UUPA yang menegaskan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Tanah merupakan salah satu sumber daya alami penghasil barang dan jasa, kebutuhan yang hakiki bagi kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan menentukan peradaban suatu bangsa. Peradaban itu akan berlangsung kebesarannya selama bangsa itu menggunakan tanahnya secara bijaksana Soeromihardjo, 1985:1. Oleh karena Universitas Sumatera Utara itu, hubungan tanah dengan manusia merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius. Hubungan manusia dengan tanah yang bersifat hakiki magic-religius itu merupakan hubungan penguasaan dan penggunaan tanah. Hubungan tersebut telihat dalam rangka memperoleh manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik untuk kepentingan bersama sebagai mahluk sosial maupun kepentingan perseorangan. Dalam perkembangannya, tanah menjadi semakin penting bagi masyarakat karena sebagai sumberdaya alam, tanah terbatas untuk berbagai aktivitas manusia. Sehingga tanah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan mengenai penggunaan dan penguasaannya. Sementara itu dalam hubungannya dengan penggunaan, tanah mempunyai kedudukan sangat penting. Hal ini dikarenakan tanah memiliki nilai ekonomis dan religius. Pentingya tanah tersebut dapat diamati dari slogan-slogan yang diungkapkan oleh kelompok masyarakat. Misalnya, di masyarakat Bugis dikenal ungkapan tentang betapa hakikinya hubungan antara manusia dengan tanah yakni sebagai berikut: “narekko mualai pale, namautona sipolo tana tudangekku tekkualangi soro riettongekku namo tetti cera paccappurekku” yang jika diartikan adalah jika orang merampas tanahku walaupun sepotong akan saya pertahankan sampai titik darah penghabisan. Masyarakat Minangkabau, tanah merupakan tempat lahir, tempat hidup dan sebagai tempat mati. Tanah sebagai tempat lahir dianalogikan sebagai tanah dimana setiap kerabat harus memiliki sebuah rumah sebagai tempat anak cucu lahir. Tanah sebagai tempat hidup dianalogikan sebagai tanah dimana setiap Universitas Sumatera Utara kerabat harus memiliki sawah atau ladang yang menjadi andalan untuk menjamin ketersediaan makanan bagi kaum kerabatnya. Tanah sebagai tempat mati dianalogikan sebagai bahwa setiap kaum mempunyai pendam-pusaran agar jenazah kerabat yang meninggal tidak terlantar. Ketiganya merupakan harta pusaka yang melambangkan adanya keabsahannya sebagai orang Minangkabau. Demikian juga halnya masyarakat bangsa Batak Toba. Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang terpenting dan merupakan sumber pencaharian utama. Selain itu, tanah memiliki arti penting dalam adat-istiadat yang berhubungan dengan usaha pertanian. Bagi masyarakat Pakpak sebagai bagian suku bangsa Batak yang terdapat di Sumatera Utara, tanah merupakan satu kesatuan dengan berbagai kehidupan masyarakat Pakpak. Disamping itu, tanah menunjukkan identitas tentang keberadaan anggota setiap masyarakat, sehingga tanah menentukan hidup matinya masyarakat tersebut. Setiap tanah di masyarakat Pakpak dikuasai oleh marga klen tertentu sebagai pemilik ulayat tanah. Adapun bentuk-bentuk tanah bagi masyarakat Pakpak adalah sebagai berikut: a. Tanah tidak diusahi, yaitu: Tanah Karangan longo-longoon, Tanah Kayu Ntua, Tanah Talin Tua, Tanah Balik Batang, dan Rabah Keddep. b. Tanah yang diusahai yaitu: Tahuma Pargadongen, Perkenenjenen, dan Bugus. c. Tanah Perpulungan yaitu: Embal-embal, Jampalan dan Jalangen. d. Tanah Sembahen Kuta tidak dapat diperladangi dan tanah Sembahen Balillon dapat diperladangi. Universitas Sumatera Utara e. Tanah Perdebaan yaitu tanah yang diperuntukkan bagi perkuburan. f. Tanah Persediaan yaitu tanah cadangan dimana tanah ini tetap hak marga, tanah yang dijaga oleh Permangmang kelompok tertua dan tidak boleh diganggu. Secara tradisional, wilayah komunitas Pakpak disebut tanoh Pakpak. Tanoh Pakpak tersebut terbagi atas lima suak 17 Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia sebaran suak tersebut berada di 4 empat Kabupaten yakni; Kabupaten Dairi dan sub wilayah yang menjadi identitas asal-usul marga. Kelima suak marga tersebut yakni; Suak Pakpak Simsim misalnya marga Cibro, Berutu, Padang, Solin, Bancin, Sinamo, Manik, Sitakar, Kebeaken, Lembeng dan lain-lain. Suak Pakpak Keppas, misalnya; marga Ujung, Capah, Kuda Diri, Maha dan lain-lain. Suak Pakpak Pegagan misalnya, marga Lingga, Matanari, Manik Siketang, Maibang dan lain-lain. Ketiga suak tersebut tersebar di wilayah Kabupaten Dairi. Suak Pakpak Kelasen yakni; marga Tumangger, Tinambunen, Kesogihen, Meka, Maharaja, Ceun, Mungkur dan lain- lain berada di Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kecamatan Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah. Kemudian Suak Pakpak Boang misalnya, marga Sambo, Saraan, Bancin dan lain-lain berada di Aceh Singkil Berutu, 2002. 18 17 Suak merupakan bahasa Pakpak yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan bagian yaitu bagian dari daerah suku bangsa Pakpak. 18 Pada tahun 2003 Kab. Dairi telah mekar menjadi 2 kabupaten yakni, Kab. Dairi dan Kab. Pakpak Bharat, sehingga secara administratif persebaran suku bangsa Pakpak saat ini berada di lima kabupaten. , Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara, dan Kabupaten Aceh Singkil Aceh. Wilayah sebaran tersebut bagi masyarakat Pakpak Universitas Sumatera Utara merupakan hak ulayat secara tradisional yang disebut tanoh Pakpak. Kabupaten Dairi merupakan daerah asal dan sentra utama orang Pakpak 19 Kuta atau lebuh merupakan sebutan batas suatu teritorial bagi masyarakat Pakpak. Jika diartikan, Kuta Berutu, 2002. Secara tradisional, seluruh wilayah yang tercakup dalam silima suak merupakan hak ulayat suku bangsa Pakpak. Wilayah kelima suak tersebut kemudian tersekmentasi menjadi hak ulayat marga dari setiap suak yang disebut kuta atau lebuh. 20 Sebelum zaman penjajahan, masyarakat hukum adat telah mempunyai aturan tentang hak-hak atas tanah. Tanah dimana suatu masyarakat hukum adat bertempat tinggal adalah merupakan hak ulayatnya. seperti halnya masyarakat adat Pakpak juga mempunyai hak ulayat masing-masing menurut marga. Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi setiap orang yang di dalam hukum adat disebut, bahwa merupakan suatu kenyataan: adalah suatu kesatuan komunitas yang terdiri dari gabungan lebuh-lebuh yang dihuni oleh suatu klen besar yaitu marga tertentu. Sementara lebuh merupakan bagian dari kuta yang dihuni oleh klen kecil. Jadi setiap lebuh dan kuta dimiliki oleh klen atau marga tertentu yang dianggap sebagai penduduk asli dan pemilik tanah ulayat, sementara marga lain dikategorikan sebagai pendatang. Setiap kuta atau lebuh memiliki hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakatnya, khususnya tanah. 19 Berdasarkan pengamatan lapangan, setelah pemekeran sentra utama suku bangsa Pakpak kini berada di Kab. Pakpak Bharat. 20 Kuta adalah kesatuan territorial yang biasanya dihuni oleh keluarga-keluarga yang berasal dari satu klen yang sama. Disusul kemudian oleh keluarga pendatang dari marga yang berbeda, tetapi terikat oleh suatu hubungan perkawinan dengan penduduk asli. Selain memiliki pemukiman, sebuah kuta biasanya juga memiliki lahan perladangan yang khusus diperuntukkan bagi anggota kuta bersangkutan. Universitas Sumatera Utara 1. Tanah merupakan tempat tinggal persekutuan 2. Memberikan penghidupan kepada persekutuan 3. Merupakan tempat para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan 4. Merupakan tempat tinggal para dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. Surojo Wignojodipuro, 1971 : 249, 270. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tanah merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat berarti bagi setiap individu ataupun kelompok. Untuk itu, sangat perlu mengkaji asal usul status tanah dan penguasaannya, sehingga diketahui status kepemilikan tanah tersebut. Dalam konteks penelitian ini, maka akan diuraikan asal usul status tanah dan penguasaannya di Desa Bongkaras, yang kini diyakini sebagai salah satu daerah tanah ulayat marga Cibro 21 Berdasarkan hasil penelitian, seluruh masyarakat di Desa Bongkaras dan desa-desa yang berdekatan dengan bongkaras mengakui bahwa asal usul kepemilikan tanah bongkaras merupakan milik marga Sambo. Sambo merupakan marga tanoh didaerah tersebut. Kepemilikan tanah ulayat marga Sambo meliputi; Desa Tuntung Batu, Bongkaras, Longkotan dan Bonian Tiga desa terakhir yang telah banyak dikuasai oleh kelompok pendatang. Menurut konsep setempat, tanah seluruhnya merupakan milik marga. marga yang pertama kali membuka kuta disebut sebagai marga pertanoh. Secara adat hukum, marga pertanoh berhak mengatur pengelolaan tanah yang terdapat di dalam kuta itu, dalam hal ini adalah Desa Bongkaras. 21 Dari hasil penelitian, tanah ulayat marga Cibro terdiri dari 4 empat desa yakni; Desa Bongkaras, Tuntung Batu, Longkotan dan Bonian. Universitas Sumatera Utara merupakan hasil pemekaran dari Desa Tuntung Batu. Saat ini, kepemilikan desa Bongkaras umumnya daerah ulayat marga Sambo telah beralih menjadi tanah ulayat marga Cibro. 22 Atas jasa Cibro, maka Raja Sambo yang merupakan marga tanah dan pemilik awal tanah ulayat diwilayah 4 empat desa tersebut memberikan tawaran kepada Cibro. Adapun tawaran tersebut adalah memilih salah satu dari 7 tujuh putri Raja Sambo untuk dinikahi oleh Cibro. Pada saat itu, Cibro memilih dan menikahi putri bungsu Raja Sambo yang cantik namun cacat yaitu boru Sambo Jauh sebelum marga Cibro datang ke bongkaras, marga Sambo sudah mendirikan kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Sambo. Saat itu raja yang dikenal adalah Sambo. Peralihan kepemilikan tanah dari marga Sambo kepada marga Cibro bermula dari pemberian Sambo atas jasa Cibro. Pada zaman itu, Cibro membantu kerajaan Sambo dalam peperangan antar marga mergraha atau perang saudara untuk merebut wilayah kekuasaan kerajaan. Perang berlangsung antara Cibro melawan marga Ujung Suak Keppas. Menurut penuturan keturunan marga Cibro dan Sambo yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang berada di Desa Bongkaras dan Tuntung Batu, pada zaman peperangan antar kelompok marga yang disebut mergraha, nenek moyang marga Cibro yaitu Raja Parngultop-Ultop membantu Raja Sambo melawan marga Ujung dalam perebutan wilayah kerajaan. Pada saat itu yang memimpin perang adalah marga Cibro. Peperangan tersebut dimenangkan oleh Cibro. 22 Pada zaman kerajaan Sambo, Tuntung Batu merupakan pusat kerajaan Universitas Sumatera Utara Tempang. Setelah Cibro dan boru Sambo Tempang menjadi keluarga batih, mereka masih tinggal bersama dengan Raja Sambo. Kemudian berencana hidup diperkampungan berbeda dengan Raja Sambo. Rencana tersebut membuat boru Sambo Tempang menyampaikan keinginannya dan meminta tanah kepada Raja Sambo untuk dijadikan perkampungan dan perladangan mereka. Atas dasar kasih sayang terhadap putrinya dan telah berhutang budi kepada Cibro, Raja Sambo mengutus anaknya laki-laki untuk membawa Cibro dan boru Sambo Tempang melihat dan memilih daerah yang mereka inginkan. Cibro dan boru Sambo Tempang memilih daerah Tuntung Batu saat ini telah mekar menjadi empat desa yakni; Desa Tuntung Batu, Bongkaras, Longkotan dan Bonian. Mulai saat itu hingga sekarang marga Cibro mendiami daerah tersebut serta berangsur diyakini menjadi marga tanoh dan pemilik ulayat atas daerah tersebut. Menurut penjelasan Saidup Cibro 58 tahun salah satu keturunan marga Cibro yang ada di Desa Tuntung Batu. Marga Sambo sebagai raja tanah di wilayah ini menikahkan putrinya pada Cibro dan menyerahkan tanah miliknya pada Cibro melalui suatu upacara adat yang dikenal dengan sebutan rading berru. Sementara berdasarkan wawancara bersama Usen Sambo 83 tahun salah satu keturunan marga Sambo yang berada di Desa Tuntung Batu. Menuturkan bahwa pada waktu itu awal tahun 1900-an terjadi peristiwa pengalihan atas hak tanah pada Cibro. Pengaliha tanah tersebut sebagai penghormatan atas jasa Cibro membantu perang mergraha. Selain itu, merupakan warisan kepada Cibro sebagai anak berru karena telah menikahi putri dari raja Sambo. Pengalihan tanah tersebut merupakan warisan yang diberikan kepada anak perempuan atas permintaannya. Universitas Sumatera Utara Dalam adat Pakpak, warisan tersebut dikenal sebagai pangaseang yaitu warisan yang diberi atas dasar permintaan anggota keluarga perempuan sebagai keperluan kelangsungan hidup tanpa menghilangkan status pemilik asal, dalam hal ini tidak menjadi hak milik atau hak ulayat marga Cibro. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tanah pemberian marga Sambo yang menjadi tanah ulayat marga Cibro meliputi Desa Bongkaras, Tuntung Batu, Longkotan dan Bonian. Umumnya masyarakat Desa Bongkaras bahkan warga sekitar desa bongkaras mengetahui asal usul kepemilikan tanah tetapi tetap mengatakan marga Cibro sebagai pemilik hak ulayat dan menjadi marga tanoh diwilayah tersebut. Dengan demikian seluruh marga Cibro berhak untuk mengolah lahan yang tersedia. Kepemilikan hak ulayat marga Cibro diperkuat atas dominannya marga Cibro mengurus aktivitas adat khususnya mengenai pertanahan di daerah tersebut. Sebagai contoh, bilamana ada seseorang ingin mengolah lahanhutan untuk perladangan atau mendirikan rumah maka harus seizin dari marga Cibro. Selain itu, jika ada persoalan-persoalan pertanahan yang melibatkan pihak lain misalnya PT.DPM maka akan berurusan kepada pihak marga Cibro melalui Lembaga Adat Sulang Silima Marga Cibro LASMO. Menyangkut pergeseranpengalihan tanah tidak ada dalam hukum adat Pakpak, kecuali tanah rading berru yaitu tanah yang diberikan kepada anak perempuanmenantu sepanjang masih dipakai. Tanah rading berru bila tidak dikelola lagi maka harus dikembalikan kepada kula-kulanyamora sebagai Universitas Sumatera Utara pemberi tanah rading berru. Bila ada permasalah mengenai pertanahan, penyelesaiannya diserahkan kepada sulang silima marga. 23 Menurut adat Pakpak, marga merupakan kesatuan kelompok geneologis territorial, persekutuanpersatuan orang-orang yang bersaudara, sedarah, seketurunan atau satu nenek, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama. Untuk menunjukkan suatu keanggotaan keluargakerabat, maka semua laki-laki maupun perempuan memakai nama marga sebagai petanda dari keturunan yang sama. Selain itu, marga juga mengatur hubungan sosial antara marga satu dengan marga lainnya. Hubungan sosial tersebut dapat terlihat dari status yang dimiliki dalam hubungan tertentu seperti sebagai kula-kulamora, berru, denggan sebeltek. 3.2. Hubungan Marga Sambo dengan Marga Cibro. Koentjaraningrat 1980: 121-124 mengkategorikan marga dalam masyarakat Batak sebagai klen yang patrilineal. Ciri-cirinya adalah anggotanya tidak saling mengenal, tidak tahu akan hubungan darah masing-masing, tidak bergaul secara itensif, terikat pada tanda lahir seperti nama marga yang sama dan mengaku berasal dari satu nenek moyang. Lebih lanjut dikatakan, ada empat fungsi klen besar yakni; 1 mengatur perkawinan; 2 menyelenggarakan kehidupan keagamaan dari seluruh kelompok kesatuan; 3 merupakan rangka bagi hubungan-hubungan antara kelas-kelas berlapis dalam masyarakat, dan 4 menjadi dasar organisasi politik. 23 Sulang Silima Marga merupakan lembaga adat yang dimiliki setiap marga suku bangsa Pakpak. Universitas Sumatera Utara Dalam satu marga, juga diatur hubungan antara dengngan sebeltek, hubungan tersebut terbagi atas situaen, penengah, siampunen. Setiap marga mempunyai sejarah dan perkembangannya, seperti marga Cibro. Menurut Muka Cibro 48 tahun salah seorang keturunan marga Cibro di Tuntung Batu, bahwa Cibro memiliki keturunan 3 tiga orang anak. Anak pertama yaitu Cibro Telaju. Berada di wilayah Sim-sim dan merupakan tuan tanah diwilayah tersebut melalui proses rading berru 24 dari marga Padang. Anak kedua yaitu Cibro Mbinanga Neur. Berada di Lae Merampat di perbatasan antara wilayah Simsim dengan Kepas. Cibro Mbinanga Neur juga merupakan tuan tanah di wilayah tersebut atas pemberian marga Angkat melalui proses rading berru. Sedangkan anak ketiga yaitu Cibro Tuntung Batu yang menjadi kajian peneliti. Cibro Tuntung Batu menjadi tuan tanah di wilayah Sim-sim tepatnya di 4 empat desa yaitu; Desa Bongkaras, Tuntung Batu, Longkotan dan Bonian. Cibro Tuntung Batu juga memperoleh tanah melalui proses rading berru dari marga Sambo, yang kini menjadi pemilik ulayat. Dari penjelasan sejarah dan perkembangan marga Cibro, penelitian ini hanya menguraikan Cibro Tuntung Batu terkait hubungannya dengan marga Sambo. Hubungan kedua marga tesebut dapat dilihat dari 2 dua bentuk yaitu; hubungan secara pertemenanpolitik dan hubungan karena perkawinan. Lebih rinci dijelasan dibawah ini. 24 Rading Berru adalah suatu penyebutan upacara dalam adat Pakpak untuk menyatakan bahwa seorang anak perempuan mendapat hak milik atas tanah sebagai warisan dari orang tuanya. Universitas Sumatera Utara 1. Hubungan PertemananPolitik Hubungan pertemanan atau politik dalam penelitian ini diartikan bahwa hubungan baik yang terjalin atas perkenalan dan bukan karena hubungan keluarga atau sedarah. Perkenalan tersebut juga lebih dikarena kedua marga yakni Sambo dan Cibro merupakan satu sukubangsa yang sama yaitu Pakpak. Hubungan marga Sambo dengan marga Cibro dimulai dari hubungan pertemanan sejak Raja Pangultop-ngultop nenek moyang marga Cibro. Raja Pangultop-ultop dikenal sebagai raja hebat dalam berperang dan ahli memakai senjata tiup yang terbuat dari bambu. Atas kehebatan raja tersebut, ia diminta Raja Sambo untuk membantu Kerajaan Sambo dalam mempertahankan kerajaan. Saat itu, kerajaan Sambo berperang melawan marga Ujung. Peperangan tersebut merupakan perang saudara dalam merebut wilayah kerajaan, dalam sejarah Pakpak perang tersebut dikenal sebagai mergraha. Pada zaman itu peperangan terjadi antara kelompok marga Cibro melawan marga Ujung. Peperangan dimenangkan oleh Cibro. Atas jasa Cibro dalam memenangkan dan mempertahankan kerajaan Sambo, maka hubungan kedua marga tersebut semakin harmonis. Marga Sambo sebagai raja tanah di wilayahnya menikahkan putrinya pada Cibro. Selain itu, marga Sambo juga menyerahkan tanah miliknya pada Cibro melalui suatu upacara adat yang dikenal dengan sebutan Rading Berru. Universitas Sumatera Utara 2. Hubungan Perkawinan Peralihan yang terpenting dari siklus hidup semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tinggkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan Koentjaraningrat, 1981;90. Istilah perkawinan menurut orang Pakpak disebut Merbekaskom. Maksudnya bilamana seseorang masih remaja berarti belum mempunyai pegangan, tanggung jawab atau merasa bebas. Setelah kawin, hal tersebut harus berubah atau dihentikan. Istilah lain disebut juga Merkejjejapen atau jejap. Bagi laki-laki istilah kawin disebut Merunjuk, sedangkan bagi wanita disebut Sijahe. Suku Pakpak menganut garis keturunan berdasarkan laki-laki Patrilineal. Perkawinan yang ideal atau yang diharapkan adalah kawin dengan putri pamannya yang disebut Muat impalna atau istilah lain menongketi yang artinya menyokong meneruskan kedudukan si ibu dalam keluarga marga laki-laki. Perkawinan satu marga tidak diperbolehkan oleh adat, jika terjadi maka disebut sumbang incest. Dengan demikian sistem perkawinan yang diperbolehkan oleh adat adalah eksogami marga, artinya seseorang harus kawin dengan orang di luar marga atau kelompok marganya. Secara tradisional, suku Pakpak mengenal bebarapa bentuk perkawinan, yaitu; Sitari-tari Merbayo, Menama, Mengrampas, Mencukung, Mengeke dan Mengalih. Sitari-tari Merbayo merupakan bentuk perkawinan yang ideal, yang biasa dilaksanakan. Menama merupakan perkawinan dimana pria dan wanita ada rasa saling mencintai, namu pihak orang tua si gadis tidak setuju, sehingga dicari cara lain yaitu dengan kawin lari. Mengrampas merupakan bentuk perkawinan Universitas Sumatera Utara yang membawa paksa calon istri. Mencukung hampir sama dengan Mengrampas. Mengeke yakni mengawini janda dari adik atau abang dari si laki-laki. Dan bentuk perkawinan terakhir Mengalih adalah seorang laki-laki mengawini janda dari abangnyaa, namun dapat juga mengawini janda orang lain Tandak Berutu dalam Lister Berutu, 1998; 14-16. Dalam hubungan marga Sambo dengan marga Cibro, menurut penuturan keturunan dari marga Cibro yang ada di desa Bongkaras dan Tuntung Batu awalnya tidak ada hubungan kerabat atau marga. Hubungan yang terjalin diawali dari persahabatan karena telah membantu dalam mempertahankan kerajaan marga Sambo. Dari hubungan pertemanan dan jasa tersebut, marga Sambo memberikan tawaran untuk mempersunting putri Raja Sambo bernama Putri Sambo Tempang kepada marga Cibro yaitu Raja Panghultop-hultop. Tawaran tersebut diterima Cibro dan Putri Sambo Tempang menjadi istrinya. Hal ini merupakan awal terjalinnya hubungan kekerabatan atas dasar ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan tersebut membuat hubungan kedua marga menjadi lebih terikat dan menjadi satu kelompok kerabat. Ditinjau dari struktur adat Pakpak, marga Cibro menjadi anak berru 25 dari kelompok marga Sambo yang merupakan kula-kulamora atau Puang 26 25 Berru adalah kelompok kerabat pihak penerima gadis. 26 Kula-kula, Mora, Puang adalah kelompok kerabat pemberi gadis. marga Cibro. Secara adat, marga Cibro harus menghormati marga Sambo sebagai mora wifegiver. Secara struktural marga Berru juga dinamakan marga pendatang. Pola-pola hubungan sosial antara kelompok berru dan mora juga diatur dalam adat. Dengan kata lain dalam Universitas Sumatera Utara kekerabatan dan hubungannya dengan istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus dituruti atau ditaati. Dari hubungan perkawinan tersebut, maka kedua marga menjadi kerabat,, sehingga kedua marga saling masuk dalam struktur sosial sulang silima yang dikenal dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Pakpak. Sulang silima terdiri dari 5 lima unsur, antara lain; berru, dengan sibeltek atau senina dan puang atau kula- kula. Dengan demikian marga cibro telah masuk dalam struktur sosial sulang silima dari marga Sambo, demikian juga marga Sambo telah masuk dalam struktur sosial sulang silima marga Cibro. Dengan struktur sulang silima, maka marga seseorang menentukan kedudukan dan peranannya dalam setiap aktivitas adat, dimana di dalamnya terdapat sejumlah hak dan kewajiban yang mengatur hubungan antar unsur tersebut. 3.3. Mekanisme Adat Pengalihan Hak Tanah. Pengalihan hak atas tanah secara adat memang telah diatur dalam adat Pakpak. Dari hasil penelitian di Desa Bongkaras, diketahui mekanisme adat Pakpak yang pernah dilakukan dalam pengalihan hak atas tanah yakni Rading berru, Naporan Cayur dan Beteken Tanoh. Mekanisme tersebut merupakan satu kesatuan dalam upacara pengalihan hak atas tanah. Rading Berru merupakan suatu penyebutan upacara dalam adat Pakpak untuk menyatakan bahwa seorang anak perempuan mendapat hak milik atas tanah sebagai warisan dari orang tuanya. Upacara ini dapat juga disebut suatu proses pengesahan pengalihan hak atas tanah. Penduduk setempat menyebut proses Universitas Sumatera Utara pengesahan pengalihan atas hak tanah ini sebagai upacara ganti rugi tanah yang disebut dengan beteken tanoh betek=perut. Dalam hubungan Sambo dengan Cibro terhadap pengalihan hak atas tanah, dari marga Sambo beralih ke marga Cibro. Penduduk menyebutnya rading berru Sambo. Menurut Usen Sambo 83 tahun terdapat 2 dua jenis rading berru yaitu; pangaseang dan tedoh-tedoh. Kedua jenis pewarisan tersebut merupakan pemberian kepada anak perempuan. Pangaseang merupakan warisan yang dapat berupa tanah, emas, ternak dan materi lainnya yang diberi atas dasar permintaan anggota keluarga yang perempuan sebagai keperluan kelangsungan hidup. Bentuk warisan ini menurutnya tidak dapat menghilangkan status marga pemilik asal dan masih menjadi tanah ulayat marga tanoh, dalam arti marga Sambo masih berhak pengelola atas tanah tersebut. Namun bentuk pemberian ini bisa saja tidak dikabulkan, karena di adat Pakpak tidak mengharuskan seorang anak perempuan mendapatkan warisan dari orang tuanya. Sementara bentuk warisan tedoh-tedoh merupakan warisan berupa tanah, ternak, emas dan materi lainnya yang diberikan oleh orangtua kepada anak perempuannya. Pemberian warisan ini atas dasar kebaikan oleh orangtua dengan menunjuk kepada siapa dan apa yang diberi. Kedua jenis pemberian warisan tersebut menurut Usen Sambo hanyalah sebagai hak pakai dan bukan hak milik. Sehingga nama pemilik awal haruslah diakui dan dapat kapan saja diambil atau dikelola oleh pemilik awal Sambo. Proses rading berru kepada marga Cirbo saat itu diberi dengan pangaseang, sehingga menurut Usen Sambo marga Cibro Universitas Sumatera Utara harus mengakui tanah yang diberi adalah tetap tanah ulayat marga Sambo dan tidak menjadi tanah ulayat marga Cibro. Berbeda dengan Usen Sambo, menurut tokoh marga Cibro bahwa upacara adat rading berru yang diberikan oleh marga Sambo adalah syah secara hukum adat Pakpak. Dengan demikian, Cibro menjadi raja tanah dan pemegang hak ulayat atau tanah adat di wilayah Tuntung Batu saat ini menjadi empat desa. Melalui upacara adat tersebut, pihak marga Cibro telah memberi makan atau mempersembahkan kepada marga Sambo lauk-pauk lengkap dengan nasi ditambah oles Menurut beberapa tokoh masyarakat, proses pengalihan hak atas tanah secara adat ini dapat saja disertai dengan sejumlah uang atau tanpa memberi uang. Bagian yang terpenting dari upacara ini adalah memberikan penganan berupa jambar. Jambar beteken tanoh adalah kunci syah atau tidaknya pengalihan hak atau ganti rugi tanah tersebut serta dilengkapi dengan naporan cayur. Proses adat untuk pengalihan hak atas tanah ini tidak hanya berlaku bagi marga Cibro kepada marga Sambo. Untuk masa-masa selanjutnya, proses adat ini tetap berlaku. Naporan cayur sebagai ganti rugi beteken tanah harus diberikan oleh pihak manapun yang meminta tanah pada marga Cibro sebagai Raja tanah dan kain sarung tradisional Pakpak, riar uang dan seperangkat sirih- kapur-gambir yang disebut sebagai Naporan Cayor. Biasanya perangkat tersebut disuguhkan dalam satu wadah tertentu kampil, jika hendak memberi sejumlah uang, maka uang tersebut dapat diletakkan dalam sajian sirih. Dalam upacara penganan selendang adat, pinang dan rokok, kelengkapan adat ini disertai dengan jambar dan diserahkan kepada mora Cibro yaitu pihak marga Sambo. Universitas Sumatera Utara pemegang hak ulayat di wilayah 4 empat desa ini. Lebih rinci, proses adat tersebut akan diuraikan dibawah ini. Naporan Cayor merupakan suatu bentuk adat dalam mekanisme pengalihan kepemilikan tanah dalam adat Pakpak. Naporan cayor tersebut terdiri atas seperangkat bahan untuk makan sirih dan isap rokok yang jumlahnya terdiri dari 5 lima bagian yaitu; sirih, kapur, gambir, pinang dan rokok kretek. Naporan cayor ditempatkan dalam satu wadah berupa piring datar untuk diserahkan kepada marga pertanoh pemilik tanah ulayat. Bersamaan dengan itu, diserahkan juga jambar beteken tanah upah sebagai penghargaan kepada pemilik tanah adat. Jambar tersebut terdiri dari seekor hewan yang dipotong biasanya kambing tapi untuk saat ini ada juga yang membuat jenis ayam. Jambar dimasak dengan bumbu tradisional yang disajikan lengkap sebagaimana wujud hidupnya hewan tersebut. Dari bagian potongan tubuh hewan yang akan dijadikan jambar tidak boleh dibuang dan bagian yang harus utuh adalah bagian kepala, dada kiri dan kanan, perut dan kaki. Beteken kiri atau dada bagian kiri dari hewan kambing tersebut diserahkan kepada Raja tanahmarga tanah pemilik tanah ulayat. Sementara beteken kanan atau dada bagian kanan diserahkan kepada pihak pemberi gadis wife giver atau mora dari si Raja tanah tersebut. Jambar beteken tanah ini cenderung disajikan dalam sebut piring putih yang disebut pinggan pasu. Selanjutnya bila pihak yang meminta tanah atau penerima tanah diwajibkan untuk menyerahkan uang kepada pemilik tanah atau penyerah tanah dalam jumlah tertentu maka harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Universitas Sumatera Utara Uang serahan tersebut juga diletakkan bersamaan dengan naporan cayor di atas pinggan pasu dari jambar. Pada zaman dahulu, mekanisme peralihan tanah diatas hanya diberikan kepada kelompok masyarakat Pakpak saja. Namun seiring perubahan zaman, proses tersebut telah dapat diberikan pada orang di luar masyarakat Pakpak. Selain itu bagi pihak satu marga, misalnya Cibro, jika hendak menjual tanah miliknya yang merupakan warisan leluhur juga harus melakukan hal yang sama seperti orang luar tersebut. Pembayaran pelepasan hak atas tanah tersebut diberikan kepada generasi Cibro yang tertua yang ada di Tuntung Batu saat ini. Pada masa sekarang ini, jambar beteken tanah diganti dengan sejumlah materi berupa uang. Secara simbolis uang tersebut tidak dikalkulasi berdasarkan harga jual tanah dalam bentuk rupiah pada setiap meter, tetapi jumlahnya relatif dengan memakai perhitungan secara adat. Pelepasan hak atas tanah dengan perhitungan adat dibagi dalam 3 tiga klasifiikasi berdasarkan pesta yaitu pesta adat kecil, adat tengah dan adat besar. Klasifikasi adat ini tergantung kepada tinggi-rendahnya status sosial sipeminta atau sipenerima tanah adat. Semakin tinggi status sosial sipenerima tanah adat, maka tinggi juga jumlah yang harus diserahkan kepada sipemilik tanah, demikian sebaliknya. Dalam pesta adat kecil, napuran cayor dan beteken tanoh yang diberikan pada pihak Cibro sejumlah 3 tiga riar 27 27 Riar adalah mata uang pada zaman kerajaan. sampai 6 enam riar. Hitungan 1 satu riar sama dengan Rp. 10.000,-. Jadi jumlah rupiah dalam adat kecil yang harus diserahkan adalah sebesar Rp. 10.000,- sampai Rp. 60.000,-. Universitas Sumatera Utara Pesta adat menengah, jumlah uang yang harus diserahkan antara 12 dua belas riar sampai 24 duapuluh empat riar. Jika diakumulasi dalam bentuk rupiah berjumlah sekitar Rp. 120.000,- sampai Rp. 24.000,-. Sementara untuk pesta adat besar, jumlah uang yang harus diserahkan disebut dengan istilah ”kurang dua lima puluh riar”. Artinya dua dikurang dari jumlah 50 riar, berarti 48 riar. Jika dihitung dalam bentuk rupiah sejumlah Rp. 480.000,-. Dalam proses adat ini biasanya sipeminta tanah harus datang bersama dengan anggota keluarganya untuk menyerahkan utang pelepasan hak atas tanah. Idealnya anggota keluarga yang datang antara lain; si peminta tanah, kula- kula wife giver, dan kelompok semarga dengan sipeminta tanah. Namun dapat juga dihadiri salah satu dari kerabat tersebut. Pentingnya kehadiran kerabat tersebut agar mengetahui perjanjian yang akan disepakati dalam pengelolaan tanah. Selain mekanisme peralihan tanah secara adat diatas, terdapat bentuk pelepasan tanah dengan cara lain. Menurut beberapa tokoh masyarakat, terdapat cara lain yang lebih sederhana dalam hal meminta tanah pada tuan tanah atau raja tanah dari pada mekanisme Napuran Cayor beberapa warga lain menyebutnya Napuran Tiar. Bentuk pelepasan tanah tersebut tidak memiliki sebutan khusus. Namun prosesnya tetap harus menyertakan sirih, gambir, pinang dan rokok, selain itu dibawa juga ols selendang tradisional Pakpak atau kain sarung, manuk ayam hidup satu ekor, belengan tikar, beras secukupnya 1 tumba = 2 liter dan kepeng uang sekedarnya tidak diharuskan memakai uang. Universitas Sumatera Utara Persyaratan adat tersebut bersifat fleksibel. Artinya, apabila kelompok peminta tanah tidak mempunyai kerabat di desa yang bersangkutantujuan maka sipeminta dapat saja datang beserta keluarganya karena peminta merupakan pendatang di desa tersebut sehingga tidak memiliki keluarga sebagaimana aturan adat Pakpak. Hal ini cenderung terjadi pada pendatang-pendatang yang pertama di wilayah tanah ulayat marga Cibro. Pada tahun 1985, seorang pendatang JH 80 tahun mengatakan bahwa dia meminta tanah Batu Kapur tombak batu kapur seluas 1,5 Ha. Pada saat meminta tanah tersebut, keluarganya terlebih dahulu menemui sipukka kuta dan marga tanoh. Kunjungan keluarganya sebagai tanda membujuk pemilik tanah agar memberi lahan yang belum digunakan. Sebagai tanda membujuk maka keluarganya menggunakan adat Pakpak dengan membawa beras, ayam, dan sirih. Saat itu, marga tanoh memberi lahan dengan membayar ganti rugi 40 empat puluh kaleng padi. Jumlah padi tersebut dapat juga digantikan dengan rupiah, namun untuk menghidari naik-turunnya nilai tukar rupiah maka ditetapkan menggunakan bentuk lain padi. 3.4. Lembaga Adat Sulang Silima Marga Cibro. Pada masyarakat Pakpak, sulang silima merupakan lembaga adat yang dimiliki oleh setiap marga. Menurut Berutu 2006; 44-49 sulang bisa diartikan dengan kata benda yakni bagian daging yang telah dipotong-potong sesuai aturan adat, atau kata kerja dan kata sifat yang menyangkut kedudukan dan peranan. Dalam kata kerja sulang disebut menulangi, yang artinya memberi makan seseorang dengan menggunakan tangan menyuapi. Jadi sulang adalah suatu Universitas Sumatera Utara benda yang harus disulangkan oleh pihak yang satu ke pihak yang lain, dalam adat Pakpak maka sulang sesuatu hak yang diserahkan sesuai kedudukannya dalam struktur sosial dan hukum adat. Selanjutnya dalam hukum adat Pakpak, telah ditentukan siapa-siapa yang akan menerima sulang. Jenis sulang diterima sesuai dalam kedudukannya dalam hukum adat yang berhubungan dengan pesta adat atau dalam bahasa Pakpak disebut dengan ”kerja adat” yang dilaksanakan sesuai upacara-upacara adat dalam pelaksanaannya. Agar kerja adat sah berdasarkan ketentuan hukum adat, maka kerja adat tersebut biasanya harus dibarengi dengan acara makan bersama. Sulang yang diterima tersebut selalu disertai dengan batu sulang yaitu berupa mata uang. Besarnya batu sulang tersebut tergantung besar kecilnya “kerja” yang dilaksanakan serta kedudukan atau posisi yang diduduki dalam adat tersebut. Posisi atau kedudukan dalam adat ini disebut dengan “sitatang sulang ”. Dalam kerja adat, ada dua jenis hewan yang sering disembelih dalam pesta yaitu siempat nehe biasanya kerbau, babi, atau kambing dan sidua nehe biasanya ayam. Besar kecilnya hewan yang dipotong tergantung pesta yang diselenggerakan, hal ini menggambarkan besar kecilnya pesta tersebut. Umumnya masyarakat Pakpak memiliki pandangan yang menjadi pegangan menjalani hidup, pandangan tersebut bersumber dari Sangkp Nggeluh dalam artian Pelindung Adat. Hal ini sering juga disebut dengan sulang silima. Setiap marga pada etnik Pakpak memiliki sulang silima yang menjadi lembaga adat dari marga tersebut, misalnya sulang silima marga Cibro. Universitas Sumatera Utara Lebih rinci sulang silima dijelaskan menurut konsep setempat. Menurut Saidup Cibro 62 tahun, sulang silima marga Cibro merupakan lembaga adat milik marga Cibro yang berfungsi sebagai tatanan pelaksanaan mekanisme kebudayaan dan penyelenggaraan adat istiadat Pakpak. Sulang Silima marga Cibro bertempat diatas tanah marga Cibro, sesuai dengan ketentuan adat Pakpak dilingkungan marga Cibro. Hal ini terlihat dari pepatah Pakpak, yaitu ”terkundulen tanohna, terenum lae na, terkataken katana, teradatken adatna, engket terpalu gruk-grukna”, artinya secara umum, kata-katanya diterima dan segala hukum dan perintah yang diperbuatnya dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat diwilayah tanah marga Cibro. Berdasarkan hasil penelitian, personalia sulang silima terdiri dari 3 tiga golongan dasar, salah satu dari golongan tersebut dibagi lagi menjadi 3 tiga unsur, sehingga jumlahnya 5 lima, berikut penjelasannya: 1. Golongan Denggan Sebeltek, ialah semua laki-laki dalam satu marga. 2. Golongan berru, ialah pihak yang mengambil anak gadis termasuk suami, anak-anak mereka demikian juga orang tua suaminya. 3. Kula-kula Puang, ialah pihak yang memberikan anak gadisnya kawin dengan pihak lain. Dari ketiga personalia sulang diatas, golongan dengan sebeltek dibagi lagi menjadi tiga unsur yaitu situaen, penengah, dan siampunen. Dengan demikian personalia sulang menjadi 5 lima kelompok atau yang disebut sebagi sulang silima antar lain: Universitas Sumatera Utara 1. Dengngan Sibeltet terbagi atas: 1. Situaen saudara laki-laki yang tertua atau sulung disebut juga permangmang. Dalam pelaksanaan kerja maka pemimpin pesta adalah anak yang tertua yaitu permangmang. 2. Penengah saudara laki-laki setelah anak tertua sebelum anak bungsu atau siampunen disebut juga siku raja 3. Siampunen saudara laki-laki yang terkecil atau bungsu disebut juga persinabul 2. Kula-kula atau Puang yaitu kelompok pemberi gadis. 3. Berru, yaitu kelompok penerima gadis. Ketiga unsur sulang diatas, dituangkan dalam 5 lima bentuk sulang yang harus ditatang. Kelima bentuk sulang yang menjadi bentuk sulang silima tersebut antara lain: 1. Per Isang-isang Per isang-isang dalam pengertian adat adalah keseluruhan kepala ternak. Yang berhak menerima isang-isang adalah bagian dari sukut yaitu pihak orang tua penganti perempuan perberru. 2. Per Tulen Tengngah Pengertian adatnya adalah paha ternak atau bagian tulang belakang. Yang berhak menerima sulang per tulen tengngah adalah saudara atau anak setelah anak tertua sampai sebelum anak bungsu. Universitas Sumatera Utara 3. Per Ekur-ekur Pengertian adatnya adalah bagian ujung atau ekor ternak. Yang berhak menerima sulang per ekur-ekur adalah saudara atau anak bungsu dari keluarga yang mempunyai kerja. 4. Per Punca Niadep atau Suyuk-suyuk Pengertian adatnya adalah tulang dada atau bagian dada hewan. Penerima bagian per punca niadep adalah kula-kula pemberi anak gadis. Kula-kula meliputi orang tua dari pihak wanita yang diambil oleh marga yang punya kerja adat. Jika dalam suatu kerja misalnya adat perkawinan atau yang berhubungan dengan pertanahan, unsur sulang silima tidak sepakat maka per punca niadep berfungsi memberikan petunjuk atau jalan keluar. 5. Per Betteken atau takal peggu Per Betteken dalam pengertian adat adalah bagian lenggan ternak. Yang menerima sulang tersebut adalah anak berru atau saudara perempuan dari sukut laki-laki. Selain mendapat per betteken anak berru juga mendapat takal peggu dalam pengertian adatnya bagian dalam organ ternak. Seluruh sulang silima diatas merupakan prinsip-prinsip yang menjalin hubungan satu sama lain dalam masyarakat Pakpak. Peranannya diketahui dalam pelaksanaan kerja. Jika pelaksanaan kerja tidak dilaksanakan oleh sulang silima maka akan menimbulkan persoalan atau kerja dianggap tidak sempurna sehingga dapat membuat martabat keluarga buruk. Dengan demikian, sulang silima sangatlah penting dan saling berhubungan karena selain merupakan prinsip juga sebagai badan atau lembaga yang mengatur tatacara hidup masyarakat Pakpak. Universitas Sumatera Utara Selain dari unsur sulang silima, juga terdapat tingkatan sulang silima. Dari hasil penelitian diketahui tingkatan sulang silima marga Cibro terdiri atas atas 3 tiga bagian, antara lain: 1. Sulang Silima Jabu, merupakan sulang silima yang hanya untuk satu ayah atau satu keluarga. 2. Sulang Silima Terpukmarga, yaitu sulang silima yang berkuasa hanya pada satu marga dan kerabatnya. Sulang silima ini meliputi keturunan Cibro yang berada di tanah ulayatnya. Masing-masing unsur sulang silima marga Cibro terdiri dari; pihak berru marga Boang Manalu dan Ujung, serta kula-kula yaitu marga Sambo. 3. Sulang Silima Aur, merupakan sulang silima yang meliputi seluruh kawasan negeri, dalam artian keseluruhan marga Cibro dari Ompu Raja Parngultop- ngultop yang menerima gaja meratah tanah dari marga Sambo. Selain itu semua sulang silima lainnya harus tunduk dan mengikuti sulang silima aur. Ketiga tingkatan diatas masing-masing dibagi lagi kedalam 5 lima bentuk sulang silima seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tingkatan tersebut merupakan sulang silima yang dimiliki setiap marga. Selain itu, bagian sulang disesuaikan dengan pesta yang diselenggarakan. Dalam pelaksanaan suatu kerja adat maka pihak yang mempunyai pesta atau keluarga dengan unsur sulang silimanya sulang silima jabu harus bermusyawarah dengan sulang silima marga dan sulang silima aur. Hal ini dilakukan agar pesta dapat berjalan dengan baik. Selain itu, semua tingkatan sulang silima tersebut dapat bertanggungjawab atas kesepakatan musyawarah. Universitas Sumatera Utara Adapun yang menjadi tugas sulang silima adalah: 1. Mengatur penggunaan, pemberian tanah dan pelestarian lingkungan 2. Mengatur pelaksanaan adat istiadat 3. Mengatur hubungan ke dalam dan ke luar 4. Mengatur keamanan, kesejahteraan dan pendidikan warganya. Sehingga dalam lembaga adat sulang silima marga Cibro dibentuk kepengurusan yang masing-masing mempunyai tanggungjawab sesuai tugas sulang silima. Kepengurusan tersebut meliputi; peradaten, pertanohen, pendidikankebudayaan dan generasi muda, kesejahteraan dan sosial serta penanggung jawab balai. Seluruh pengurus tersebut terdiri dari keturunan marga Cibro. 3.5. Hubungan Sulang Silima dengan Tanah. Sulang Silima seperti telah dijelaskan di atas merupakan wadah atau lembaga adat masyarakat Pakpak yang merupakan pedoman dan mengatur tatacara hidupnya, baik sesama individu, kelompok maupun dengan lingkungan alamnya. Sehingga sulang silima sangat erat kaitannya dengan manusia sebagai pelaksanan prinsip. Selain itu, manusia sebagai makhluk hidup tidak dapat lepas dari pentingnya arti tanah, dimana tanah dijadikan sebagai sumber penghidupan yang bernilai ekonomis dan religius. Dalam adat Pakpak, urusan pertanahan diserahkan kepada sulang silima. Maka, sulang silima sangat erat hubungannya dengan tanah. Oleh karena itu, sulang silima marga Cibro memilliki peranan dan fungsi dalam mengatur dan menjaga tanah adatnya. Universitas Sumatera Utara Menurut keturunan marga Cibro sejak awal berdirinya Desa Bongkaras, sulang silima marga Cibro telah mengatur pertanahan yang ada di desa. Hal ini dapat dilihat ketika kelompok pendatang masuk ke desa, dimana terlebih dahulu pendatang harus meminta persetujuan kepada marga Cibro. Persetujuan tersebut harus melalui mekanisme adat dengan membawa beras 1 satu liter, ayam, sirih sebagamana aturan adat Pakpak. Setelah itu baru bisa mengelola pergadong- gadongan perladangan dan membuat rumah. Hal serupa juga diutarakan oleh kelompok pendatang yaitu Jaluahe Haloho 72 tahun sebagai berikut; ”Pada waktu lalu masih hutan rimba dari bongkaras hingga longkotan. Hutan ini adalah hutan kemenyan. Sangat ngeri saya rasa pada waktu itu. Kalau kita tidak ada teman untuk pergi ke sekolah atau sendirian saya pergi ke sekolah ya tidak jadi sekolah karena masih hutan begitu. Ketika sampai di bongkaras kami permisi dengan kepala rodi. Lalu kepala rodi itu memberitahu kepada marga cibro yang punya ulayat. Meminta tanah harus permisi dulu kepada kepala rodi tadi. Jika permisi kepada dia, diberikanlah adat. Dibawalah ayam, beras satu liter untuk meminta tanah kepadanya, dan dia akan menunjukkan di sebelah mana kita. Kalau kami mula-mula masuk ke sini ada 6 enam rumah tangga marga simarmata empat, marga silalahi 2 dua rumah tangga. Jadi kami berbeda wilayah diberikan. Sebelah panapal untuk kami, sebelah sikulombulah mereka, dan keadaan hutan masih rimba”. Penuturan diatas menunjukkan bahwa sulang silima sebagai lembaga adat sangat berhubungan dengan kehidupan masyarakat bongkaras. Namun seiring berjalannya waktu, urusan pertanahan tidak lagi dengan pertimbangan sulang silima. Hal ini dikarenakan konsepsi kepemilikan tanah telah menjadi kepemilikan pribadi dan tidak lagi sebagai milik ulayat marga, hanya sebagian wilayah lagi perbukitan yang masih menjadi tanah adat atau hak raja tanah marga Cibro. Sehingga sulang silima tidak lagi mengurusi pertanahan seperti awalnya. Saat ini Universitas Sumatera Utara sulang silimai hanya banyak mengurusi aktivitas adat seperti perkawinan, kematian. Pada tahun 1997-an ketika masuknya perusahaan pertambangan PT. Dairi Prima Mineral sulang silima marga Cibro kembali diaktifkan dalam urusan pertanahan. Sampai penelitian ini berlangsung, sulang silima marga Cibro selalu diikutsertakan jika perusahaan ingin membeli tanah di daerah tanah ulayat marga. Selain itu, sulang silima marga Cibro telah membentuk personilia dengan lebih terstruktur. Dari hasil penelitian dan umumnya adat Pakpak, marga Cibro membuat ketentuan-ketentuan atas tanah bahwa: 1. Tanah seluruhnya merupakan hak milik marga yang pertama kali membuka kuta dan disebut sebagai marga pertanoh yaitu marga Cibro sebagai pemilik hak ulayat dan tidak bisa digantikan. 2. Marga pertanoh berhak mengatur pengelolaan tanah yang terdapat di dalam kuta, dalam hal ini adalah Desa Bongkaras. 3. Tanah yang dipakai kelompok luar dari marga Cibro merupakan hak pakai. Jika Tanah tidak dikelola dan ditumbuhi semak belukar biasanya ditandai pohon-pohon sebesar gelas tidak dapat dipindahtangankan tanpa sepengetahuan sulang silima atau akan diambil alih sulang silima melalui pertaki. 4. Seluruh persoalan tentang pertanahan di tanah ulayat marga Cibro harus mengikutsertakan lembaga adat sulang silima marga Cibro. Universitas Sumatera Utara Ketentuan-ketentuan diatas merupakan kesepakatan tidak tertulis yang dibuat kelompok marga Cibro. Namun dari hasil lapangan, hal tersebut tidak diketahui bahkan tidak dihiraukan penduduk bongkaras khusunya kelompok pendatang. Hal tersebut dikarenakan kepemilikan tanah di Desa Bongkaras telah menjadi hak milik seseorang dengan ditandai sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional BPN dan bukan milik hak ulayat. Menurut Saidup Cibro 45 tahun, seluruh tanah yang meliputi Desa Bongkaras, Tuntung Batu, Longkotan dan Bonian tetap merupakan hak ulayat marga Cibro. Sehingga marga Cibro melalui lembaga adat sulang silima marga Cibro akan mengatur kepemilikan tanah ulayat yang telah dimiliki secara pribadi. Universitas Sumatera Utara

BAB IV MIGRAN, PENGUASAAN TANAH DAN SENGKETA