muamar lokasi proyek

  BERITA DAN ARTIKEL // Detail

  INISIASI SERTIFIKASI PHBML : Sebuah Pengakuan Kelola Hutan Berbasis Masyarakat ?

  20 Agustus 2004 Oleh : Wahyu F Riva Sertifikasi ekolabel adalah sebuah pengakuan yang ditunjukkan dengan adanya label pada produk yang menunjukkan bahwa produk tersebut diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Dalam konteks kehutanan, sertifikasi ekolabel dapat dijadikan sebagai salah satu alat (tools) yang berpotensi mendorong tercapainya keseimbangan antara kelestarian sumber daya hutan dengan kebutuhan ekonomi dan perdagangan. Melalui sertifikasi ekolabel, konsumen dapat memilih produk kayu atau non-kayu yang ramah lingkungan dan berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan.

  Saat ini, perhatian publik terhadap pengelolaan hutan lestari telah mengalami kemajuan yang pesat. Seiring dengan itu, sejak tahun 1996, laju kerusakan hutan (deforestasi) meningkat hingga mencapai rata-rata 2 juta hektar tiap tahunnya (FWI, 2001). Itu artinya, kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai sekitar 4 kali luas lapangan bola tiap menitnya. Ingat, itu terjadi sejak tahun 1996 dan nampaknya pada tahun 2002 deforestasi telah mencapai sekitar 2,4 juta ha/tahun. Sungguh suatu kerusakan sumberdaya hutan yang luar biasa. Adakah terobosan baru sebagai alternatif model pengelolaan hutan di Indonesia? Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) muncul sebagai salah satu alternatif model pengelolaan hutan di Indonesia dan telah terjadi pergeseran paradigma dari pengelolaan hutan berbasis negara ke pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Selain itu, PHBM juga menunjukkan manfaat yang nyata yang telah menembus pasar nasional dan internasional melalui pasokan produksi hutan. Di masa yang akan datang, PHBML akan menyeimbangkan kekurangan pasokan produk hutan dari Indonesia. Sayangnya, dukungan dari pemerintah untuk PHBM ini masih lemah dalam hal pengakuan kelestarian PHBM.

  Melalui sertifikasi ekolabel untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan dan kegalauan atas kondisi hutan dan kehutanan di Indonesia.

PROSES PENYUSUNAN SERTIFIKASI PHBML

  Dalam konteks pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sertifikasi hutan diharapkan dapat meningkatkan pengakuan lebih luas atas model pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan lebih memberdayakan masyarakat itu sendiri dalam mengelola hutan dan lahannya. Mekanisme sertifikasi diharapkan dapat menjadi jalan bagi terjadinya insentif-insentif yang diperlukan baik dari pasar maupun dukungan kebijakan dari pemerintah.

  Dalam rangka mendorong pengelolaan hutan lestari melalui sertifikasi, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah secara khusus mengembangkan Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) – dalam tulisan ini selanjutnya disebut ‘sertifikasi PHBML’. Sertifikasi PHBMLini dibangun mulai bulan Mei 2000 atas dukungan dari GTZ melalui proses multistakeholder yang transparan, partisipatif dan didasarkan atas praktek-praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang hidup di Indonesia serta memperhatikan kaidah-kaidah maupun konvensi yang berlaku luas secara internasional. Proses penyusunan sertifikasi PHBML dilakukan melalui rangkaian diskusi yang intensif dan beberapa kali ujicoba di beberapa lokasi serta beberapa konsultasi publik (Lihat Box 1)

  Pertemuan Tim

  Program penyusunan sertifikasi PHBML diawali dengan pembentukan Tim Penyusun Sertifikasi PHBML - selanjutnya disebut Tim - yang independen, mempunyai integritas tinggi, dapat diterima oleh publik dan bersifat ad hoc. Anggota Tim ini akan mewakili masing-masing bidang kepakarannya berdasarkan 3 (tiga) fungsi kelestaraian hutan, yaitu fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial.

  Pembentukan Tim ini dilakukan secara terbuka dan diumumkan kepada publik untuk mendapatkan masukan dan saran tentang Tim yang sedang dibentuk sebelum ditetapkan oleh Sekretariat LEI sebagai Tim Penyusun Sertifikasi PHBML . pakar di bidangnya dari berbagai latar belakang, dari universitas, NGO, dan lembaga penelitian. Kelima anggota Tim tersebut adalah Didik Suharjito dan Dianto Bachriadi untuk bidang sosial, Satria Astana untuk bidang produksi serta Wibowo Djatmiko dan Siswoyo untuk bidang ekologi. Didik Suharjito dan Siswoyo adalah staf pengajar pada Fakultas Kehutanan IPB, Satria Astana dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi Hutan, Wibowo Djatmiko dari LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) dan Dianto Bachriadi dari KPA (Konsursium Pembaharuan Agraria).

  Dalam proses penyusunan sertifikasi PHBMLini, satu orang staf LEI dari Divisi Pengembangan Sistem Sertiifkasi telah memfasilitasi proses ini dan apabila diperlukan akan memberikan masukan tentang ide sertifikasi. Sebagai lembaga yang independen, LEI tidak dapat mengembangkan sertifikasi sendiri. LEI harus menerapkan prinsip-prinsip sertifikasi ekolabel yang transparan, independen dan melibatkan banyak pihak (multistakeholders process ).

  Tim bekerja berdasarkan waktu pertemuan yang disepakati bersama. Karena tiap-tiap anggota Tim mempunyai constraint waktu, maka mereka sepakat untuk bekerja secara fleksibel dan profesional. Pertemuan Tim dilakukan hanya untuk mendiskusikan beberapa topik atau isu yang sangat penting yang memang perlu untuk didiskusikan bersama. Dalam pertemuan Tim biasanya terjadi perdebatan dan diskusi yang cukup intensif sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Diskusi seperti ini dilakukan biasanya ketika membahas draf sertifikasi PHBML atau ketika membahas beberapa dokumen/referensi yang sangat penting bagi perkembangan sertifikasi PHBML.

  Konsultasi publik

  Setelah Tim menyelesaikan beberapa tugasnya, dalam rangka mendapatkan umpan balik mengenai penyusunan sertifikasi PHBML, maka perlu dilaksanakan konsultasi publik. Konsultasi publik ini sangat penting agar proses pengembangan sertifikasi PHBML ini dapat dilaksanakan secara partisipatif, transparan dan demokratis. Selain itu, konsultasi publik ini diharapkan akan menjadi wahana bagi para pihak terkait (stakeholders )untuk berdiskusi dan memberikan masukan bagi keberhasilan pengembangan sertifikasi PHBML ini. Dalam kegiatan ini akan diundang berbagai pihak terkait terutama pihak-pihak yang akan berperan baik langsung maupun tidak langsung dalam sertifikasi PHBML di Indonesia.

  Selama proses penyusunan sertifikasi PHBML, telah dilakukan 2 kali konsultasi publik. Konsultasi Publik pertama dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 2000 di Bogor. Dalam pertemuan ini hadir perwakilan dari pemerintah (Departemen Kehutanan), pemerhati, pengusaha, akademisi, LSM dan perwakilan dari lembaga internasional. Banyak saran dan masukan yang diperoleh dari hasil konsultasi publik ini yang telah memperkaya data dan informasi bagi penyempurnaan sertifikasi PHBML.

  Beberapa masukan yang sangat berarti itu diantaranya adalah :

  1. LEI diharapkan lebih memperhatikan aspek legal dan legitimasi praktek PHBM yang akan menjadi objek sertifikasi. dengan pihak luar terutama pasar.

  3. Melalui sertifikasi PHBML diharapkan petani memperoleh insentif yang tinggi (misalnya melalui premium price) dari produk hutan yang dihasilkan.

  4. Sertifikasi PHBML tidak hanya diarahkan menjadi orientasi perdagangan (trade orientation ) dan pengelolaan hutan yang lestari saja tetapi juga perlu diperjuangan demi keadilan bersama

  5. Untuk memudahkan sosialisasi dan pemahaman petani sebaiknya LEI perlu membuat panduan sertifikasi PHBML yang lebih sederhana dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. Masukan dan saran hasil konsultasi publik ini kemudian didiskusikan dalam Tim untuk kemudian dilakukan review oleh 2 orang external review yaitu Dicky Simorangkir dari SFDP-GTZ dan Martua Sirait dari ICRAF. Konsultasi publik kedua diselenggarakan pada tanggal 24 Oktober 2001 di Bogor. Seperti pada konsultasi publik pertama, pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah (Departemen Kehutanan), pemerhati, pengusaha, akademisi, LSM dan perwakilan dari lembaga internasional. Hasil dari konsultasi publik ini juga yang telah banyak memperkaya data dan informasi bagi penyempurnaan sertifikasi.

  Berbeda dengan konsultasi publik pertama, pada konsultasi publik kedua ini peserta lebih banyak menyentuh hal-hal yang bersifat teknis dan lebih detail mengenai sertifikasi. Masukan dan saran tersebut diantaranya adalah pertama, LEI diharapkan dapat mempromosikan lebih luas sertifikasi PHBML ini kepada publik termasuk kepada dunia internasional; kedua, isu sertifikasi PHBML bisa saja dijadikan alat untuk menangkal pencucian penebangan liar (illegal logging laundering ), untuk itu

  PHBML ini; ketiga, perlu dikembangkan sistem monitoring ketika sertifikasi PHBML ini berjalan; keempat, diperlukan suatu prakondisi sebelum sertifikasi PHBML ini diimplementasikan secara luas; dan kelima, hak penguasaan lahan (land tenure ) dapat dijadikan isu penting dalam penyusunan sertifikasi PHBML.

  Hasil konsultasi publik ini kemudian dijadikan bahan diskusi dan bahan pertimbangan Tim untuk menyempurnakan sertifiasi PHBML yang sedang dibangun. Selaian itu, hasil diskusi Tim ini kemudian direview oleh external review yaitu Muayat Ali Muhsi dari KpSHK dan Ricardo Simarmata dari HUMA. Muayat lebih menyoroti masalah perlunya dilakukan prakondisi di lapangan sebelum sertifikasi PHBML ini diimplementasikan secara luas serta memberikan masukan tentang konstelasi permasalahan yang terjadi berkaitan dengan implementasi sertifikasi PHBML.

  Sementara itu Ricardo menggarisbawahi tentang aspek legal dalam pengembangan sertifikasi PHBML terutama mengenai bagaimana Tim dapat memformulasikan tipologi sertifikasi PHBML di Indonesia secara tepat.

  Uji Coba Sertifikasi PHBML

  Proses penyusunan sertifikasi PHBML tidak hanya dilakukan dengan pertemuan Tim dan konsultasi publik saja. Uji coba (field test ) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penyusunan sertifikasi PHBML. Uji coba sertifikasi di lapangan dilakukan dengan tujuan untuk menguji dan menyempurnakan sertifikasi menginventarisasi kesulitan-kesulitan dan masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan uji coba lapangan. Uji coba ini juga merupakan bagian dari proses sosialisasi sertifikasi PHBML kepada pihak-pihak terkait terutama di lokasi uji coba. Selama proses penyusunan sertifikasi PHBML, dilakukan 2 kali uji coba lapangan. Uji coba pertama dilaksanakan pada tanggal 9 – 14 Mei 2001 di Desa Putat dan Desa Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dan di Desa Jongolsari, Desa Bogoran dan Desa Gunung Tugel, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi ini lebih berdasarkan pada ketersediaan informasi dan data yang diperoleh Tim berkaitan dengan kedua lokasi tersebut yang sebelumnya telah didiskusikan secara intensif di dalam Tim.

  Sebelum Tim terjun ke lapangan untuk mengamati kondisi di lapangan, Tim terlebih dahulu mengadakan konsultasi publik secara terbatas yaitu dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) UGM, pemerintah daerah, Dinas Perdagangan, Dinas Kehutanan dan Lembaga ARuPA di Yogyakarta. Kemudian pertemuan di Wonosobo dilakukan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Wonosobo, Yayasan Konservasi Lingkungan (Koling) dan Dinas Konservasi Lahan dan Hutan di Wonosobo. Pertemuan ini dimaksudkan untuk menjaring data dan informasi berkaitan dengan 2 lokasi uji coba yang akan dikunjungi oleh Tim sekaligus untuk memperkuat dukungan dari pihak-pihak yang relevan di daerah dalam proses pengembangan sertifikasi PHBML.

  Secara umum kondisi hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonosobo tidak terlalu berbeda. Namun yang membuat menarik dari kedua lokasi tersebut adalah kondisi kayu jati sementara di Wonosobo adalah kayu sengon. Secara kelembagaan sebenarnya telah terbentuk kelompok tani hutan (KTH) di masing-masing lokasi namun masih belum dapat bekerja dengan optimal karena keterbatasan sumber daya manusia dan biaya dalam mengfungsikan KTH tersebut.

  Dalam rangkaian kegiatan uji coba ini Tim juga mengunjungi beberapa industri pengolahan kayu di Wonosobo yaitu PT Surya Sindoro Sumbing Wood Industries (SSWI) dan CV Mekar Abadi. Kunjungan ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi berkaitan dengan asal sumber bahan baku, supply bahan baku, negara tujuan ekspor dan melihat peluang pasar bagi kayu yang disertifikasi (certified ). Uji coba kedua dilaksanakan pada tanggal 8 – 14 Juni 2001 di hutan Desa Bantaian yang merupakan lokasi proyek SFDP-GTZ Sanggau, Kalimantan Barat. Uji coba kedua ini dilaksanakan setelah melalui konsultasi publik pertama dengan harapan bahwa dokumen yang dihasilkan setelah uji coba kedua ini akan menjadi lebih aplikatif dan kredibel. Sebelum melakukan kunjungan ke lapangan, Tim mengadakan pertemuan dengan pihak SFDP-GTZ untuk memperoleh gambaran umum kondisi lokasi proyek. Selain itu Tim juga mengadakan konsultasi publik terbatas di Pontianak dengan mengundang beberapa LSM lokal, Dinas Kehutanan Propinsi dan SFDP-GTZ.

  Setelah melalui rangkaian proses yang panjang, mulai dari pertemuan Tim, konsultasi PHBML. Set dokumen sertifikasi PHBML ini telah direview oleh Mustofa Agung Sardjono dari UNMUL Samarinda dan Nur Fauzi. Set dokumen sertifikasi PHBML ini terdiri atas dokumen-dokumen standar yang merupakan kriteria dan indikator penilaian, prosedur yang mengatur tata laksana dan keterkaitan para pihak pelaksana sertifikasi PHBML, serta persyaratan yang mengatur kompetensi para pihak pelaksana sertifikasi PHBML. Dokumen ini menjadi panduan bagi para pihak dalam melaksanakan sertifikasi PHBML.

  SISTEM SERTIFIKASI PHBML Pen