BAB IV PERBANDINGAN ANTARA PEMAHAMAN DAN PRAKTEK MISI NOMMENSEN
DENGAN PEMAHAMAN DAN PRAKTEK MISI HKBP
4.1 Tujuan Misi
Menurut pandangan modern kalangan liberal misi mencakup penginjilan dan pelayanan sosial, namun bagi kalangan liberal penginjilan tidak lebih penting daripada pelayanan sosial.
Berkaitan dengan hubungan antara misi dan penginjilan, John Stott mempelopori perubahan paradigma di kalangan Injili tentang pengertian misi. Ia berpendapat bahwa misi Alkitabiah
mencakup penginjilan dan pelayanan, tetapi penginjilan tetap menjadi inti misi John R. W. Stott, Christian Mission in the Modern World, hlm. 15-34. Murid-murid diutus untuk melakukan misi
sama seperti yang telah dilakukan Yesus, sedangkan dalam pelayanan Yesus, Ia tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga memperhatikan masalah sosial.
1
Konsultasi United in Mission 1998 sudah merumuskan dengan sangat tepat: “Kita tidak berhak untuk membuat Injil impian
sorgawi saja. Yesus menyenangkan orang lapar dan membasuh kaki yang kotor. Yesus menyembuhkan orang sakit dan menghiburkan orang yang berdukacita. Yesus memanggil orang
kaya dan berkuasa untuk bertobat. Oleh karenanya adalah merupakan suatu tugas menyebutkan nama Yesus yang melebihi segala nama di bawah kolong langit ini kisah Para Rasul 4 : 12 dan
berjuang untuk keadilan di sisi orang yang tertindas dan terasing”.
2
Misi adalah sebuah pelayanan berwajah banyak, sehubungan dengan kesaksian, pelayanan, keadilan penyembuhan,
1 http:www.gkri-exodus.orgpage.php?ART-MS-Pengantar_Misi
pada 29 Juli 2009 pukul 19.40 wib.
2 Beyer, Ulrich. Dr; “United Evangelical Mission, Bersekutu untuk Misi Bersam-sama” Menggapai Gereja Inklusif; Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung 2004, hal: 226
perujukan, pembebasan, perdamaian, penginjilan, persekutuan, penanaman gereja, kontekstualisasi dan lebih banyak lagi. Usaha-usaha untuk mendefinisikan misi adalah sesuatu
yang baru. Gereja Kristen mula-mula tidak melakukan hal itu. Dan pada dekade-dekade terakhir, telah terjadi peningkatan dalam penggunaan istilah ‘misi’.
Menanggapi perdebatan dalam masalah hubungan antara misi dan penginjilan, Bosch meyakini bahwa sebenarnya pekabaran injil atau penginjilan tidak sama dengan misi, namun
keduanya mempunyai kaitan dan saling berhubungan secara teologis dan praksis.
3
Hal ini diuraikannya dengan penjelasan bahwa misi lebih luas daripada penginjilan dan misi berarti
keseluruhan tugas yang telah Allah berikan kepada gereja demi keselamatan dunia, tetapi selalu terkait dengan suatu konteks, kuasa jahat, keputus-asaan dan ketersesatan. Lebih lanjut, Bosch
menambahkan, misi adalah gereja yang diutus ke dalam dunia, untuk mengasihi, melayani, memberitakan, mengajar, menyembuhkan dan membebaskan.
4
Sejarah Penginjilan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Penginjilan di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Setelah masuknya agama
Kristen pertama kali ke Indonesia melalui bangsa-bangsa penjajah hingga pekerjaan penginjilan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penginjilan secara berkelompok yang terpisah dari ikatan
pemerintah, penginjilan dilakukan dengan cara-cara yang ‘bertransformasi’ dari waktu ke waktu yang tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan konteks yang terjadi pada masanya. Konteks
ataupun situasi ini meliputi perubahan pemahaman tentang makna penginjilan yang terjadi dalam ‘tubuh Kristen’ sendiri, kemudian perubahan atau perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan
sosial, politik, ekonomi, hingga pada perkembangan agama-agama lain diluar Kristen.
3 Bosch, Transformasi Misi, 626.
4 Ibid, 631-632.
Gereja melaksanakan Pekabaran Injil karena adanya pengutusan, dan Pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja merupakan penggenapan Misi di dunia. Di sini berarti bahwa gereja
melaksanakan Pekabaran Injil atas perintah Allah Tritunggal. Seperti Allah Bapa mengutus Putra dan Allah Putra mengutus Roh Kudus, ketiga-Nya mengutus gereja ke tengah-tengah dunia. Di
mana yang kita ketahui bersama bahwa misi gereja di dunia ini adalah menciptakan kerajaan ALLAH dan mendatangkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan-Nya serta menjadikan bumi ini
untuk layak didiami. Mayoritas lembaga-lembaga penginjilan yang bertugas di Indonesia ini diprakarsai oleh
kebangkitan Pietisme dan Revival di Eropa. Sehingga, dalam perjalanan misinya, gerakan ini bergaya Pietisme yang menekankan pertobatan perorangan dan bersikap kritis terhadap ilmu
duniawi. Kemudian juga, gerakan ini menekankan adanya penyatuan dan tidak boleh membawa paham dari gereja-gereja tertentu darimana mereka berasal.
5
Gaya Pietisme ini bahkan dianut hingga utusan-utusan zending yang datang ke Indonesia pada abad 19. Dan dalam tahun 1800-
1900, pekabaran Injil dengan realitas penjajahan kolonialisme semakin menonjol.
6
Sejarah PI adalah bagian dari sejarah gereja. Ditinjau dari sudut tertentu dan menentukan, Prof. J.H. Bavink membedakan sejarah PI menurut motif atau dorongan melakukan PI.
7
1. Masa sesudah para rasul. Pada masa ini, belum ada motif atau dorongan yang pasti untuk melakukan PI, semua dilakukan
dengan spontan. Namun ada catatan penting pada masa ini, bahwa PI kurang berminat terhadap hal-hal yang berbau politik dan juga tidak berminat pada kebudayaan. Penginjilan pada masa
5
Dr. Th. Van Den End, Ragi Carita 1 Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006, 156.
6 Prof. B.F. Drewes, M.Th. dan Pdt. Julianus Mojau, M.Th, Apa itu Teologi? Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 2003, 55.
7 Venema, Injil untuk Semua, 210.
awal-awal kekristenan ini dilakukan bukan oleh lembaga-lembaga penginjilan yang terorganisir dengan baik, tetapi lebih banyak dilakukan dengan cara penginjilan secara perorangan dan
spontan. 2. Agama Negara, sekitar tahun 350 – 1700.
Pada masa ini, motif melakukan PI adalah gerejani, politik dan pertapaan. Sehingga PI mulai meluas hingga ke dalam dunia kebudayaan dan politik. Catatan penting masa ini adalah Kristen
dipakai sebagai agama negara dan PI berarti perluasan Negara Kristen. 3. Pietisme, Methodisme, sekitar abad ke-17.
Masa ini, PI tidak lagi mencampuri dunia politik dan melepaskan diri dari gereja negara. Pada masa ini, kesalehan perorangan sangat diutamakan, PI dilakukan dengan
memberi kritik kepada kebudayaan dan pelaksanaan PI dengan memberikan penekanan pada dimensi eskhatologia.
4. Abad ke-19. Masa ini ditandai dengan memberikan reaksi terhadap Pietisme. Badan-badan PI sudah
terlepas sepenuhnya dari unsur pemerintah, meskipun masih sering mengikuti jejak-jejak kolonialisme. Pada masa ini, teologia yang mulai dipakai adalah teologi yang mengarah
kepada teologi liberal dengan penekanan kepada sudut-sudut sosial dan peradaban. PI sangat giat dilakukan, namun mengakibatkan korban yang tidak sedikit. Ada beberapa
motif yang dipakai untuk melaksanakan PI pada masa ini, yaitu kasih dan ketaatan. 5. Masa baru, sejak 1914.
Pada masa ini, badan-badan PI pada umumnya sudah mulai digerejanikan, gereja-gereja ‘muda’ mulai didewasakan. PI mulai berkembang kearah oikumene, perhatian kepada
kaum awam ditingkatkan, namun penekanan PI masih pada dimensi eskhatologia. Masa
ini juga ditandai dengan adanya penghalang pelaksanaan PI yaitu nasionalisme barat dan timur.
Pembagian sejarah PI yang dituliskan oleh Bavink diatas, sebenarnya hanya merupakan salah satu bentuk pembagian sejarah PI yang dibuat oleh para ahli. Namun setidaknya pembagian
ini dapat memberikan sedikit gambaran kepada kita tentang bagaimana sejarah PI itu berlangsung dari waktu ke waktu.
4.2 Misi Penginjilan Awal di Tanah Batak 4.2.1 Bangsa Batak sebelum masuknya penginjilan