BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Akad dan Hibah Dalam Hukum Ekonomi Syari’ah 1. Pengertian dan Jenis Akad Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau

  13 lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

  Kata akad berasal dari bahasa Arab al-

  ‘aqd yang secara etimologi

  berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara termi nology fiqh, akad didefinisikan dengan :

  ولمح فى هرثأ تبثي عورشم وجو ىلع لوبقب بايجأ طابترا

  Artinya: “Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada

  14 objek perikatan”.

  Akad dalam hukum Indonesia disebut dengan istilah “ perjanjian” atau kontrak antara dua belah pihak atau lebih yang melahirkan akibat hukum pada mereka.

  Istilah Akad menurut bahasa Inggris, yaitu Contract, bahasa Belandanya disebut overeenkomst, menurut bahasa Jerman adalah

  13 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 15. 14 Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Saipuddin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:

  Vereinbarung, berdasarkan bahasa Cina yaitu 协 议 (Xiéyì),

  sedangkan menurut bahasa Rusianya adalah соглашение (soglasheniye).

  Menurut pasal 262 Mursyid al-Hairan, akad merupakan, “pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak lain yang

  15 menimbulkan akibat hukum pada objek akad”.

  Sebagian ulama fiqh juga mendefinisikan bahwa akad sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan, sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan tidak dinamakan akad tapi dinamakan janji. Oleh karena itu, Ath-Thusi membedakan antara akad dan janji, karena akad mempunyai ma‟na meminta diyakinkan atau ikatan, akad, akad tidak akan terjadi kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji

  16 dapat dilakukan oleh suatu orang.

  Akad dibagi menjadi beberapa jenis,yaitu : 1. Akad bernama dan Akad tak bernama

  Dilihat dari segi ditentukan atau tidak ditentukan namanya, akad dibedakan menjadi : a.

  Akad Bernama (al-‘Uqud al-Musamma) Akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya 15 oleh Pembuat Hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan

  Basya, Mursyid al- Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan (Kairo: Dar al-Furjani, 1403/1983), h. 49. 16 Mahmud Al-Alusi, Ruh Al- Ma’ani, (Beirut: Daar Al-Kutub, 2009), Cet ke-03, juz 03, h.

  khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain.

  Menurut az-Zarqa Akad bernama ada 25 (dua puluh lima) jenis, yaitu : 1)

  Jual beli (al-bai’) 2)

  Sewa-menyewa (al-ijarah) 3)

  Penanggungan (al-kafalah) 4)

  Pemindahan utang (al-hiwalah) 5)

  Gadai (ar-rahn) 6)

  Jual beli opsi (bai’al-wafa) 7)

  Penitipan (al-ida’) 8)

  Pinjam pakai (al-i’arah) 9)

  Hibah (al-hibah) 10)

  Pembagian (al-qismah) 11)

  Persekutuan (asy-syirkah) 12)

  Bagi hasil (al-mudharabah) 13)

  Penggarapan tanah (al-muzara’ah) 14)

  Pemeliharaan tanaman (al-musaqah) 15)

  Pemberian kuasa (al-wakalah) 16)

  Perdamaian (ash-shulh) 17)

  Arbitrase (at-tahkim)

  19) Pinjam mengganti (al-qardh)

  20) Pemberian hak pakai rumah (al-‘umra)

  21) Penetapan ahli waris (al-muwalah)

  22) Pemutusan perjanjian atas kesepakatan (al-iqalah)

  23) Perkawinan (az-zawaj)

  24) Wasiat (al-washiyyah)

  17

25) Pengangkatan pengampu (al-isha’).

  Perlu dicatat bahwa aneka ragam akad bernama yang disebutkan az- Zarqa‟ ini mencakup kehendak sepihak seperti wasiat, akad di luar lapangan hukum harta kekayaan seperti nikah, atau bagian dari suatu akad seperti pemberian hak pakai rumah yang merupakan bagian dari hibah.

  b.

  Akad Tak Bernama (al-‘Uqud ghair al- Musamma) Akad tak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu. Dengan kata lain, akad tak bernama adalah akad yang tidak ditentukan oleh Pembuat Hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan umum akad. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan oleh para pihak 17 sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu contoh akad tidak bernama adalah perjanjian penerbitan, periklanan dan sebagainya.

  Dalam sejarah hukum Islam , sering muncul suatu akad baru dan untuk waktu lama tidak mempunyai nama, kemudian diolah oleh fukaha, diberi nama dan dibuatkan aturannya sehingga kemudian menjadi akad bernama. Misalnya al-

  bai’ bi al-wafa’ (jual beli opsi)

  yang dalam hukum Islam timbul dari praktik dan merupakan campuran antara gadai dan jual beli, meskipun unsur gadai lebih menonjol. Oleh karena itu diberi nama sendiri.

2. Akad Pokok dan Akad Asesoir

  Dilihat dari kedudukannya, akad dibedakan menjadi akad yang pokok (al-

  ‘aqd al-ashli) dan akad asesoir (al-‘aqd at-tab’i). Akad pokok

  adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. Termasuk ke dalam jenis ini adalah akad yang keberadaannya karena dirinya sendiri, seperti akad jual beli, sewa- menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya.

  Akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, melainkan tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. Termasuk kedalam kategori ini adalah akad peanggungan (al-kafalah) dan akad gadai (ar-

  rahn ). Kedua akad ini merupakan perjanjian untuk menjamin, karena itu akad jenis ini berlaku kaidah hukum Islam yang berbunyi “suatu yang

  mengikut mengikut

  ” (at-tabi’ tabi’). Artinya perjanjian asesoir ini yang mengikuti kepada perjanjian pokok, hukumnya mengikuti perjanjian

  18 pokok tersebut.

3. Akad Bertempo dan Akad Tidak Bertempo

  Dilihat dari segi unsur tempo di dalam akad, akad dapat dibagi menjadi akad betempo (al-

  ‘aqd az-zamani) dan akad tidak bertempo (al- aqd al-fauri ). Akad bertempo adalah akad yang di dalamnya unsur waktu

  merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Termasuk dalam katagori ini, misalnya, adalah akad sewa- menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai, akad pemberian kuasa, akad berlangganan majalah atau surat kabar, dan lain-lain. Dalam akad sewa-menyewa misalnya termasuk bagian dari isi perjanjian adalah lamanya masa sewa yang ikut menentukan besar kecilnya nilai akad.

  Tidaklah mungkin suatu akad sewa-menyewa terjadi tanpa adanya unsur lamanya waktu dalam mana perwewaan berlangsung.

  Akad tidak bertempo adalah akad di mana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut. Bahkan apabila jual beli dilakukan dengan utang, sesungguhnya 18 unsur waktu tidak merupakan unsur esensial, dan bila telah tiba waktu pelaksanaan, maka pelaksanaan tersebut bersifat seketika dan pada saat itu hapuslah akad kedua belah pihak.

4. Akad Konsensual, Akad Formalistik dan Akad Riil

  Dilihat dari segi formalitasnya, akad dibedakan menjadi akad konsensual (al-

  ‘aqd ar-radha’i), akad formalistic (al-‘aqd asy-syakli) dan

  akad riil (al-

  ‘aqd al-‘aini). Dengan akad konsensual dimaksudkan jenis

  akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada keepakatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Meskipun kadang- kadang dipersyaratkan adanya formalitas tertentu, seperti harus tertulis, hal tersebut tidak menghalangi keabsahan akad tersebut, dan tetap dianggap sebagai akad konsensual. Tulisan hanyalah suatu syarat yang diperlukan untuk pembuktian. Kebanyakan akad dalam hukum Islam adalah akad konsensual seperti jual beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan seterusnya.

  Akad formalistic adalah akad yang tunduk kepada syarat-sarat formalitas yang ditentukan oleh Pembuat Hukum, di mana apabila syarat- syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah. Contohnya adalah akad di luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu akad nikah dimana di antara formalitas yang disyaratkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.

  Akad riil adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan. Ada lima macam akad yang termasuk dalam katagori jenis akad ini, yaitu hibah,

  19

  pinjam pakai, penitipan, kredit (utang) dan akad gadai. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah hukum Islam yang menyatakan “Tabaru

  (donasi) baru terjadi dengan pelaksanaan riil” (la yatimmu at-tabarru’

  20 illa bi qabdh ).

5. Akad Masyru‟ dan Akad Terlarang

  Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syarak, akad dibedakan mejadi dua, yaitu akad masyru‟ dan akad terlarang. Akad masyru‟ adalah akad yang dibenarkan oleh syarak untuk dibuat dan tidak ada larangan untuk menutupnya, seperti akad-adak yang sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan sebagainya. Sedangkan akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syarak untuk dibuat seperti akad jual beli janin, akad donasi harta anak di bawah umur, akad yang betentangan dengan akhlak Islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti sewa-menyewa untuk melakukan kejahatan, akad nikah

21 Termasuk juga akad yang dilarang dalam beberapa mazhab mut‟ah.

  22

  adalah akad jual beli kembali asal ( 19 bai’al-‘inah). 20 Az-Zarqa, syarh al- Qawa’id…,h.336-9.

  Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam (Beirut: Dar al-Kutub al- „Ilmiyyah, t.t.), I: 51, kaidah no.75. 21 22 Az-Zarqa, syarh al- Qawa’id…,h.572-3.

  Ibn Qudamah, al-Kafi fi Fiqh Ahmad Ibn Hambal, (Beirut: al-Maktab al-Islam i, t.t.), II:

  6. Akad yang Sah dan Akad Tidak Sah Dilihat dari segi sah atau tidaknya, akad dibedakan menjadi akad tah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh syarak. Sedangkan akad tidak sah adalah akad yang tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh syarak. Akad sah meliputi akad lazim, akad nafiz dan akad maukuf. Sedangkan akad tidak sah meliputi akad fasid (semua rukun ada, akan tetapi ada syarat yang tidak terpenuhi) dan akad batil (salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi).

  7. Akad mengikat dan Akad tidak mengikat Akad mengikat (al-

  ‘aqd al-lazim) adalah akad di mana apabila

  seluruh rukun dan syaratnya telah terpenuhi, maka akad itu mengikat secaa penuh dan masing-masing pihak tidak dapt membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain. Akad jenis ini dapat dibedakan mejadi dua macam lagi, yaitu: pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa-menyewa, perdmaian dan seterusnya. Dalam akad jual beli masing-masing pihak tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli tanpa persetujuan pihak lain. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad di mana salah satu pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akan tetapi pihak lain dapat membatalkannya tanpa pesetujuan pihak pertama, seperti akad kafalah (penanggungan) penggadai di mana keduanya tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak untuk siapa penanggungan dan gadai diberikan.

  Sebaliknya bagi pihak terakhir ini penanggungan dan gadai tidak mengikat dalam arti ia dapat membatalkannya secara sepihak.

  Adapun akad yang mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad tidak mengikat penuh ii dibedakan mekadi dua macam, yaitu (1) akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat (terbuka untuk difasakh), akad

  wakalah (pemberian kuasa), syirkah (persekutuan), akad hibah, akad wadi’ah (penitipan), dan akad „ariah (pinjam pakai); dan (2) akad yang

  tidak mengikat karena di dalamnya terdapat khiyar bagi para pihak.

8. Akad Nafiz dan Akad Mauquf

  Akad nafiz adalah akad yang bebas dari setiap factor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, akad nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya.

  Akad mauquf, kebalikan dari akad nafiz, adalah akad yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan akibat hukumnya skalipun telah dibuat secara sah, melainkan masih tergantung (maukuf) kepada adanya ratifikasi (ijazah) dari pihak berkepentingan. Misalnya, akad anak mumayiz (berusia 7-dewasa) yang tergantung kepada ratifikasi walinya dipaksa yang tergantung kepada ratifikasi yang bersangkutan setelah hilagnya paksaan, akad penerima kuasa yang melampaui batas pemberian kuasa yang tergantung kepada ratifikasi pemberi kuasa, atau akad pelaku tanpa kewenangan (fuduli) yang tergantung kepada ratifikasi pihak yang berhak.

9. Akad Tanggungan, Akad Kepercayaan dan Akad Bersifat Ganda

  Akad tanggungan (

  ‘aqd adh-dhaman) adalah akad yang

  mengalihkan tanggungang risiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad terebut berada dalam tanggungannnya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa. Akad kepercayaan („aqd al-‘amanah) adalah akad di mana barang yang dialihkan melalui akad tersebut merupakan amanah di tangan penerima barang tersebut, sehingga ia tidak berkewajiban menanggung risiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesengajaan dan melawan hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, peminjaman, perwakilan (pemberian kuasa).

  Sedangkan akad bersifat ganda adalah akad yang di satu sisi merupakan akad tanggungan, tetapi di sisi lain merupakan akad amanah (kepercayaan). Misalnya akad sewa-menyewa di mana barang yang disewa merupakan amanah di tangan penyewa, akan tetapi di sisi lain, apabila ia membiarkan barang yang disewanya setelah diterima tanpa ia manfaatkan, maka manfaat barang yang tidak dinikmatinya adalah atas tanggungannya. Ia wajib membayar uang sewa kepada orang yang menyewakan.

10. Akad muawadah, Akad Tabaru, dan Akad Muawadah sekaligus Tabaru

  Akad atas beban atau akad muawadah (

  ‘aqd al-muawadhah)

  adalah akad di mana terdapat prestasi yang timbale balik sehingga masing-masing pihak menerima sesuatu sebagai imbalan prestasi yang diberikannya. Misalnya akad jual beli, sewa-menyewa, perdamaian atas benda, dan semacamnya.

  Akad Cuma- Cuma atau akad Tabaru‟ (akad donasi) adalah akad di mana prestasi hanya dari salah satu pihak, seperti akad hibah dan pinjam pakai.

  Akad atas beban dan Cuma-cuma (

  ‘aqd al-mu’awdhah wa at- tabarru’) adalah akad yang pada mulanya merupakan akad Cuma-Cuma,

  namun pada akhirnya menjadi akad atas beban. Misalnya, akad peminjaman di mana pemberi pinjaman pada mulanya membantu orang yang diberi pinjaman, dan akad penganggungan di mana penanggung pada awalnya membantu orang yang ditanggung secara Cuma-Cuma, akan tetapi pada saat pemberian pinjaman menagih kembali pinjamannya dan penanggung menagih kembali jumlah yang ditanggungnya terhadap terhadap akad jenis ini diberlakukan ketentuan-ketentuan akad Cuma- Cuma pada awalnya, kemudian diberlakukan syarat-syarat melakukanTabaru‟ (donasi), sehingga penanggungan oleh anak di bawah umur, namun telah mumayyiz, tidak sah. Sedangkan pada hibah dengan imbalan diberlakukan ketentuan jual beli terhadap imbalan hibah, yaitu adanya hak pengembalian apabila barang imbalan hibah itu cacat, atau diberlakukan ketentuan syuf‟ah apabila barang imbalan hibah itu berupa benda tidak bergerak.

2. Rukun dan Syarat Akad

  Rukun akad terdiri atas : a. Pihak-pihak yang berakad b.

  Objek akad c. Tujuan pokok akad; dan

  23 d.

  Kesepakatan.

  Menurut Hedi Suhendi rukun-rukun akad adalah sebagai berikut: a. „Aqid, adalah orang yang berakad; terkadang masing masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli 23 waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang memiliki hak („aqid Ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.

  b.

  Ma’qud ‘alaih, ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual-beli, dalam akad hibah (pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.

  c.

  Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.

  Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkna barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah yaitu memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa pengganti (

  ‘iwadh). Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan

  manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok akad i

  ’arahyaitu memberikan manfaat dri seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.

  d.

  Shighat al-‘aqd ialah ijab Kabul (Pernyataan Kehendak). Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun Kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula yang di ucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab Kabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos jelaslah penerimaan majalah tersebut secara tertulis oleh penerima diatas bukti serah terima paket majalah sebagai pengganti lafadz „Kabul’ apabila tidak diucapkannya.

  Selain rukun-rukun akad, setiap transaksi akad didalam pandangan Islam juga harus memenuhi beberapa criteria syarat-syarat dari terbentuknya suatu Akad. Tanpa adanya syarat-syarat dari akad yang harus dipenuhi maka akad tersebut bisa tergolong kepada yang dimaksud dengan akad fasad. Adapun syarat dari Akad adalah : a.

  Pihak-pihak yang berakad adalah orang perseorangan, kelompok orang (Lembaga Kementerian), persekutuan, atau badan usaha; b. Orang yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tamyiz.

  c.

  Objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak.

  d.

  Objek akad harus suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserahterimakan.

  e.

  Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.

  f.

  Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan,

  24 24 dan/atau perbuatan.

  Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi …,h. 22-23.

  Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, setiap akad mempunyai syarat yang ditentukan

  syara’ yang wajib disempurnakan. Syarat-syarat tersebut ada dua

  macam : a.

  Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai berikut : 1.

  Kedua orang yang melakukan akad cakap betindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur), dan karena boros.

  2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

  3. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan „aqid yang memiliki barang.

  4. Jangan lah akad itu akad yang dilarang oleh syara‟, seperti jual beli mulasamah (saling merasakan).

  5. Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagi imbangan amanah (kepercayaan).

  6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi Kabul. Maka apabila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum Kabul maka batallah ijabnya.

  7. Ijab dan Kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum akadnya Kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

  b.

  Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini dapat juga disebut

  syarat idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.

3. Asas-Asas Akad

  Akad merupakan unsur yang pokok dalam perpindahannnya hak milik dari seseorang kepada seseorang atau beberapa orang, dari badan/lembaga hukum kepada beberapa badan/lembaga hukum lainnya. Dan dalam akad itu diperlukan asas-asas pengaturnya agar akad tersebut menjadi seimbang dan sesuai dengan harapan

  syara’. Maka akad dilakukan berdasarkan asas : 1.

  Asas Konsensualisme; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. Sehingga menghasilkan kesepakatan, tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.

  2. Asas Janji itu Mengikat; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cedera-janji.

  3. Asas Keseimbangan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

  4. Asas Kemaslahatan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. Akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buaruk lainnya.

  5. Asas Ibahah; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

  6. Asas Al-hurriyah (kebebasan berkontrak/berakad). Kebebasan membuat akad dalam hukum Islam tidaklah mutlak, melainkan dibatasi. Pembatasan itu dikaitkan den gan “larangan makan harta sesama dengan jalan batil”.

  7. Asas Keadilan. Setiap akad baku yang ada alasan tertentu memberatkan salah satu pihak, maka dalam hukum Islam kontemporer demi keadilan dan kemaslahatan syarat baku (clousul) itu dapat di ubah oleh pengadilan.

  8. Asas Amanah. Masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak

  25 25 meneksploitasi ketidaktahuan mitranya.

  Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah Studi tentang teori Akad dalam fikih

4. Katagori Hukum Akad

  Suatu akad menjadi sah apabila rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi, dan tidak sah apabila rukun dan syarat yang dimaksud tidak dipenuhi. Akan tetapi, oleh karena syarat-syarat akad itu beragam jenisnya, maka kebatalan dan keabsahan akad menjadi bertingkat-tingkat sesuai dengan sejauh mana rukun dan syarat-syarat itu terpenuhi.

  Hukum akad terbagi ke dalam tiga katagori, yaitu: a. Akad yang sah.

  b.

  Akad yang fasad/dapat dibatalkan.

  26 c.

  Akad yang batal/batal demi hukum.

  Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat- syaratnya. Akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalath atau khilaf, dilakukan di bawah ikhrah atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau penyamaran.

  Akad fasad berasal dari kata arab “fasid” yang merupakan kata sifat yang berarti rusak. Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat. Akad fasad menurut ahli-ahli hukum Hanafi,

  27

  adalah “akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya”.

  26 27 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi…,h. 23.

  Ibnu Nujaim, al-Asyhbah wa an- Nazha’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1985), h.

  Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan/ syarat- syaratnya.

  Kata “batil” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab bhatil, yang secara leksikal berarti sia-sia, hampa, tidak ada substansi dan hakikatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan “batil” berarti

  28

  batal, sia- sia, tidak benar”; dan “batal diartikan tidak berlaku, tidak sah, sia-

  29

  jadi dalam Kamus Besar tersebut, batil dan batal sama artinya. Akan sia, …” tetapi, dalam bahasa aslinya keduanya berbeda bentuknya, karana batal adalah bentuk masdar dan berarti kebatalan, tidak sah, tidak berlaku, sedang batil adalah kata sifat yang berarti, perbuatan buruk, memakan hak orang lain, dan mengandung kezaliman.

5. Pengertian dan Jenis Hibah

  Secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa Arab al-Hibah/ ةبهلا yang berarti pemberian atau hadiah dan bangun (bangkit). Kata hibah terambil

  30 Kemudian dari kata “hubuubur riih” artinya muruuruha (perjalanan angin).

  digunakanlah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta ataupun yang lainnya.

  Secara pengertian syara‟, hibah berarti akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain pada saat ia masih hidup, tanpa adanya imbalan. 28 Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Basar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 98, kolom 2. 29 Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus…, h.

  97,kolom 1. 30

  Kata hibah yang bentuk amr-nya hab terdapat dalam al- Qur‟an Ali-Imran ayat

  38:

  . ءاعدلا عيسم كنا ةبيط ةيرذ كن دلنم لى بى بر لاق , وبرايرك ز اع د كل انى

  Artinya: “Di sanalah Zakariya mendo‟a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya

  31 Engkau Maha Pendengar do‟a.” (Q.S. Ali „Imran: 38)

  Dari ayat diatas dapat kita lihat pernyataan nabi Zakaria yang meminta kepada Allah SWT agar diberikan (hibah) seorang anak yang baik.

  Jumhur ulama juga mendefinisikan hibah sebagai:

  . اعوطت ةايلحا لاح ضوع لاب كيلمتلا ديفي دقع

  Artinya: “akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara

  32 sukarela”.

  Hibah berarti pemberian harta milik seseorang/sekelompok orang

  kepada orang lain pada saat dia/mereka masih hidup, tanpa adanya imbalan dan untuk dimanfaatkan oleh penerimanya. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tanpa hak kepemilikan, maka hal tersebut disebut

  I’arah „pinjaman‟. Begitu juga jika seseorang

  memberikan suatu harta seperti khamar atau bangkai, maka hal tersebut tidak layak sebagai hibah dan bukanlah suatu hibah. Jika hak kepemilikan belum terlaksana pada data pemberinya masih hidup, tetapi diberikan setelah dia 31 Komplek Percetakan Al-

  Qur‟an Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fadh, Al- Qur’an…, h. 81. 32 meninggal, maka hal tersebut dinamakan wasiat. jika pemberian itu disertai imbalan maka yang demikian itu dihukumkan sebagai jual beli.

  Dalam hibah berlaku juga

  khiyar, syuf’ah, dan disyaratkan agar

  pemberian itu diketahui. Bila tidak, maka hibah itu batal. Hibah mutlak tidak menghendaki suatu imbalan, baik semisal atau yang lebih rendah, ataupun

  33 yang lebih tinggi nilainnya.

  Inilah makna khusus hibah, sedangkan makna umum hibah meliputi hal-hal berikut ini:

  1. Sedekah yaitu peberian harta kepada orang lain tanpa mengganti dan hal ini dilakukan semata ingin memperoleh ganjaran (pahala) dari Allah SWT.

  2. Ibraa yaitu menghibahkan utang kepada pihak yang berhutang.

  3. Wasiat yaitu pemberian seseorang kepada orang lain yang diakadkan ketika masih hidup (tidak lebih dari 1/3 harta) dan baru diberikan setelah orang yang berwasiat itu meninggal.

  4. Hadiah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya

  34 pengganti dengan maksud memuliakan (kasih sayang).

  Dalam penelitian ini peneliti mengartikan pemberian bantuan uang tunai bersyarat (Conditional Cash Transfers) dari Kementerian Sosial ini adalah hibah, dikarenakan pemberian bantuan uang tunai ini tujuannnya 33 Sayyid Sabiq, 34 Fiqih…, h. 435.

  adalah untuk dimanfaatkan atau digunakan oleh KSM/RTSM dalam rangka mengakses pasilitas kesehatan, pasilitas pendidikan, dan lembaga bayar dana PKH tersebut. dan definisi dari Hibah adalah pemberian harta milik seseorang/sekelompok orang kepada orang lain pada saat dia/mereka masih hidup, tanpa adanya imbalan dan untuk dimanfaatkan oleh penerimanya

  Istilah Hibah menurut bahasa Inggris, yaitu grant, bahasa Belandanya disebut verlenen, menurut bahasa Jerman adalah gewähren, berdasarkan bahasa Cina yaitu 发放 (

  Fāfàng), sedangkan menurut bahasa

  Rusianya adalah Dan hukum dari Hibah atau pemberian даровать (darovat'). ini hukum dasarnya adalah Sunnah.

6. Rukun Dan Syarat Hibah

  Dalam akad hibah juga sangat penting diperhatikan Rukun dan Syaratnya karena hal ini menentukan sah atau tidaknya suatu hibah tersebut, adapun rukun hibah terdiri dari: a.

  Wahib/pemberi; b. Mauhub lah/penerima; c. Mauhub bih/benda yang dihibahkan; d. Iqrar/pernyataan; dan

  35 e. 35 Qabd/penyerahan.

  Menurut Sayyid Sabiq berkenaan dengan rukun hibah adalah Adapun hibah sah berlaku melalui ijab-qabul dalam bentuk apa pun selagi pemberian harta tersebut tanpa imbalan. Misalnya, seseorang penghibah berkata, “Aku hibahkan kepdamu, aku hadiahkan kepadamu, aku berikan kepadamu,” atau semisalnya. Sedangkan orang lain berkata “Ya, aku terima.” Imam Malik dan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa dipegangnya qabul di dalam hibah.

  Hal tersebut diatas sesuai dengan pendapat fuqaha Wahbah al- Zuhayli pada kitabnya al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu,yang menyatakan bahwa rukun hibah itu ada 4 macam, yaitu: a.

  Pemberi hibah.

  b.

  Penerima hibah.

  c.

  Benda yang dihibahkan; dan

  36 d.

  Ijab-qabul (Shigat).

  Sedangkan menurut kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab saja itu sudah cukup (tanpa qabul).

  Disamping rukun-rukun dari Hibah kita juga perlu mengetahui apa saja persyaratan dari akad hibah itu sendiri, persyaratan akad hibah adalah sebagai berikut:

36 Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh Al-slamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), juz V,

  1. Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus berasal dari harta penghibah.

  Penghibah memiliki sesuatu yang dihibahkan.

  , h. 217 38

  Syarat Orang yang diberi hibah (Penerima Hibah)

  b.

  4. Penghibah itu tidak dipaksa sebab hibah merupakan akad yang disyaratkan adanya keridhaan.

  3. Penghibah itu orang dewasa, berakal, dan cerdas.

  2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya artiya orang yang cakap dan bebas bertindak menurut hukum.

  Syarat Orang yang Menghibah (Pemberi Hibah) 1.

  2. Harta yang bukan milik penghibah jika dihibahkan dapat dianggap sah apabila pemilik harta tersebut mengizinkannya meskipun izin tersebut diberikan setelah harta tersebut diserahkan.

  38 a.

  hibah adalah sebagai berikut:

  37 Ada pula ulama yang menyatakan bahwa syarat-syarat dari hukum

  5. Hibah yang terjadi karena ada paksaan batal.

  4. Seorang penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa.

  3. Suatu harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui.

37 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi

  Orang yang diberi hibah benar-benar ada pada waktu diberi hibah, bila tidak ada atau diperkitakan keberadaannya misalnya masih dalam bentuk janin maka tidak sah hibah.

  Jika orang yang diberi hibah itu ada pada waktu pemberian hibah, akan tetapi ia masih kecil atau gila maka hibah itu harus diambil oleh walinya, pemeliharanya, atau orang mendidiknya sekalipun ia orang asing.

  c.

  Syarat-syarat barang yang dihibahkan Beberapa syarat dari barang yang akan dihibahkan adalah sebagai berikut:

  1. Benar-benar wujud (ada).

  2. Benda tersebut bernilai.

  3. Barang tersebut dapat dimiliki zatnya, yakni bahwa barang yang dihibahkan adalah sesuatu yang dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Karena itu, tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid, atau majelis-majelis ilmu.

  4. Tidak berhubungan dengan tempat milik pemberian hibah secara tetap, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanyahnya. Akan tetapi, barang yang dihibahkan itu wajib dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah hingga menjadi milik baginya.

  5. Dikhususkan, yakni barang yang dihibahkan bukan milik umum, sebab kepemilikan tidak sah kecuali apabila ditentukan seperti halnya jaminan. Imam Malik, Sy afi‟I, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak ada syarat tertentu. Mereka berkata “Sesungguhnya hibah sah apabila untuk umum yang tidak dibagi- bagi.” Sedangkan kalangan maliki membolehkan hibah sesuati yang tidak sah dijual seperti unta liar, buah sebelum tampak hasilnya, dan barang hasil rampasan.

7. Hibah yang ditarik kembali

  Apabila wahib menarik kembali mauhub yang telah diserahkan tanpa ada persetujuan dari mauhublah, atau tanpa keputusan pengadilan, maka

  wahib ditetapkan sebagai perampas barang orang lain; dan apabila barang itu

  rusak atau hilang ketika berada dibawah kekuasaannya, maka ia harus mengganti kerugian.

39 Dalam mazhab Malikiy dinyatakan bahwa hibah yang telah diterima

  atau dalam satu pendapat sudah diikrarkan kepada orang lain, tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah seorang ayah atau ibu kepada anaknya.

  40 Menurut jumhur ulama pemberian haram diminta kembali dalam

  keadaan apapun sekalipun antara saudara atau suami isteri kecuali jika 39 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi , h. 218. 40 Abdurrahman al-Faziri, Fiqih Empat Mazhab, (Semarang: Asy Syifa, 1994), jilid IV h. pemberi hadah itu adalah seorang ayah dan penerimanya adalah anaknya

  41

  sendiri. Mereka berpendapat berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW :

  وِئْيق في ُعِجري ِبلكلاك ، وِتبى في ُدوعي يذَّلا

  Artinya: “Perumpamaan orang yang meminta kembali pemberiannya adalah seperti perumpamaan anjing yang menjilat kembali ludahnya.” (HR. Bukhari

42 No. 2499)

  Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:

  هدلو ىطعي اميف دلاولا لآا اهيف عجري ثم ويطعلا ىطعي نا ملسم لجرل ليح لآ

  Artinya: “Tidak seorang pun boleh menarik kembali pemberiannya

  43 kecuali pemberian ayah kepada anaknya”. (HR. Ahmad).

  Kebolehan seorang ayah mencabut pemberian yang telah diberikan kepada anaknya karena ia lebih berhak menjaga kemaslahatan anaknya.

  Sedangkan menurut Imam Hanfiyah, hibah itu tidak mengikat, dan boleh saja menarik kembali hibah. Alasan yang mereka gunakan adalah hadits Rasulullah SAW: 41

  اهيلع بثي لم ام وتببه قحا بىاو لا Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,(Beirut; Dar al-Fikr, 1978) Jilid III, h. 334. 42 Achmad Sunarto dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: CV.Asy Syifa‟, 1993), h.617. 43 Artinya: “orang yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap hartanya selama hibah itu tidak diiringi oleh ganti rugi”.(HR. Ibnu Majah, al-Daru

  

44

Quthni, At-Thabrani dan al-Hakim).

  Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa penghibah yang tidak boleh menarik kembali hibahnya yaitu yang semata-mata memberikan tanpa menerima imbalan. Adapun penghibah yang diperbolehkan menarik hibahnya adalah penghibah yang memberikan agar hibahnya itu diberi imbalan dan

  45 dibalas.

8. Pemberian ‘Umra dan Ruqbah

  Umra merupakan jenis hibah, yaitu jika seseorang memberikan

  hibah sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan apabila penerima hibah sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan apabila penerima hibah meninggal dunia, maka barang tersebut dikembalikan lagi kepada pemberi hibah.

  Hal demikian berlaku dengan lafazh “Aku umra-kan barang ini atau rumah ini kepadamu”, artinya „aku berikan kepadamu selama engkau hidup‟, atau ungkapan-ungkapan senada.

  Adapun orang yang mengucapkan kata umra itu disebut

  mu’mir, dan

  orang yang dinyatakan hendak di‟-umra-kan dinamakan mu’mar. Rasulullah SAW 44 menganggap pengembalian „umra setelah orang yang diberikan wafat

  Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Saipuddin Shidiq, Fiqh Muamalat 45 , h.164. adalah batil. Oleh karenanya, beliau menetapkan perkara yang berkenaan dengan masalah „umra ini akan adanya pilihan yang tetap bagi orang yang diberi „umra semasa hidupnya. Sesudah orang yang diberi „umra itu mati, maka „umra itu berpindah ke tangan ahli warisnya yang mewarisi hartanya, apabila dia mempunyai ahli waris. Jika dia tidak memiliki ahli waris, maka itu diberikan kepada baitul mal, dan tidak kembali kepada „umra

  mu’mir sedikit pun.

  . هدعب نم وبقع نم وثري نم اهثري وبقعلو ول يهف ىرمع نم : لاق ملسو ويلع للها ىلص بينلا نا ةورع نم

  Artinya: “Barangsiapa yang diberi „umra, maka „umra itu baginya dan bagi anaknya .

  „Umra itu diwarisi oleh orang yang mewarisi diantara anak-anaknya

  46

  setelah ia wafat.” Sedangkan Ruqba ialah jika seseorang mengatakan kepada temannya, ”Aku Ruqba rumahku untukmu selama engkau hidup. Apabila engkau mati sebelum aku, maka dikembalikan kepadaku. Apabila aku mati sebelum engkau, maka menjadi milikmu dan seorang sesudahmu.” Maka setiap mereka menunggu kematian yang lain-nya, sehingga rumah yang dijadikan Ruqba ini menjadi milik siapa yang masih hidup di antara keduanya.

  Hukum Ruqba sama dengan hukum „umra, menurut Syafi‟I dan Ahmad bahwa hukum tersebut berdasar-kan zhahir hadits. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa „umra diwariskan dan Ruqba sebagai barang pinjaman. 46

B. Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam

  Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan hibah pada Bab I tentang Ketentuan Umum poin (g) adalah sebagai pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

  Dinyatakan juga pada Bab VI tentang Hibah pasal 210 poin (1) bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Hal ini sesuai dengan pendapa Muhammad ibnu Hasan dan sebagian kalangan Hanafi berkata, “Tidak sah menghibahkan semua harta meskipun dengan tujuan kebaika n.” Mereka menganggap bahwa orang yang berbuat demikian itu sebagai orang bodoh yang wajib dibatasai tindakannya.

  Pengarang kitab ar-Raudhah an-Nadiyyah menganalisis masalah ini, sebagaimana perkataannya, “Barang siapa yang mampu bersabar atas kemiskinan dan kekurangan harta, maka tidak mengapa baginya menyedekahkan sebagian besar atau bahkan semua hartanya. Barangsiapa yang besar kemungkinan meminta-minta kepada manusia pada saat dia memerlukan, maka tidak

  47

  dibolehkan menyedekahkan semua atau sebagian besa 47 r dari hartanya”.

  Pada pasal 212 dinyatakan juga bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

C. Hibah Dalam Burgerlijk Wetboek

  Burgerlijk Wetboek di Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), membahas tentang Hibah pada pasal-pasalnya, yaitu sebagai berikut:

  1. Pasal 1666 menyatakan: Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat

  ditarik kembali , menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima

  hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain- lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup.

  2. Pasal 1667 menyatakan: Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru aka nada di kemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal.

  3. Pasal 1668 menyatakan: Si penghibah tidak boleh memeperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memeberikan kepada orang lain suatu benda yang termasuk dalam hibah; hibah yang semacam itu, sekedar mengenai benda tersebut, dianggap sebagai batal.